Anda di halaman 1dari 7

EVALUASI I

TATA GUNA LAHAN DAN PENGEMBANGAN LAHAN

Critical Review :

ANALISIS KONVERSI
LAHAN SAWAH DI
PROPINSI JAWA TIMUR

Madaniya Hiya Efendi


3613100024

Dosen
Ema Umilia, ST, MT.

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2014
Judul Jurnal : Analisis Konversi Lahan Sawah di Propinsi Jawa Timur
Penulis : Syarif Iman Hidayat
Tahun : 2008
I. Sintesa/ ringkasan jurnal
Perubahan penggunaan lahan pertanian ke nonpertanian dikenal dengan istilah alih
fungsi lahan. Alih fungsi lahan yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan
pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Fenomena
konversi lahan muncul dengan seiring tingginya kebutuhan penduduk dan permintaan
terhadap lahan, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor nonpertanian untuk kegiatan
pembangunan. Sumaryanto et al. (1994) mengatakan bahwa dampak negatif akibat konversi
lahan pertanian (sawah) adalah hilangnya peluang atau kesempatan dalam memproduksi
hasil pertanian yang terkonversi.
Lahan pertanian memiliki manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan. Secara sosial,
eksistensi lahan pertanian terkait dengan tatanan kelembagaan masyarakat petani dan aspek
budaya lainnya. Secara ekonomi, lahan pertanian adalah faktor utama dalam
keberlangsungan proses produksi. Dan secara lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya
relatif selaras dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan (Bappenas, 2006). Ketahanan
Pangan sangat erat dengan persediaan pangan. Produksi pangan selama ini didominasi oleh
hasil dari tanaman padi yang ditanam di lahan sawah dibandingkan dengan tanaman padi
yang ditanam di ladang. Dengan demikian bila konversi lahan banyak terjadi di lahan subur,
maka akan mengganggu pertumbuhan produksi pangan.
Wilayah Propinsi Jawa Timur mempunyai lahan sawah yang berpotensi menurun
akibat perkembangan industri dan bertambahnya perumahan seiring dengan pertumbuhan
penduduk yang cukup pesat. Kondisi peralihan fungsi lahan sawah per Kabupaten/Kota di
Jawa Timur berdasarkan Hasil Podes 2006, bahwa telah terjadi alih fungsi lahan sawah
selama 3 tahun (2003-2006) menjadi lahan pertanian bukan sawah sebesar 5.665 Ha
(31,86%), lahan untuk perumahan sebesar 8.567,7 (48,16%), lahan untuk bangunan industri
sebesar 1.204,2 Ha (6,77%), lahan untuk bangunan perusahaan/perkantoran sebesar 693,1
Ha (3,90%), dan untuk keperluan lain-lain sebesar 1.651,3 Ha (9,29%). Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa luasan lahan sawah telah terjadi penurunan, terjadinya alih fungsi lahan
sawah sebagai salah satu unsur produksi akan memberikan pengaruh terjadinya penurunan
produksi pangan.
Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Timur telah mengalami alih fungsi lahan dari lahan
sawah ke penggunaan untuk selain sawah. Wilayah Jember, Gresik, Lamongan, Pasuruan,
dan Jombang merupakan wilayah yang paling dominan mengalami alih fungsi lahan sawah.
Wilayah tersebut merupakan daerah pusat lumbung padi di Jawa Timur, ironisnya termasuk
wilayah yang paling banyak terjadi alih fungsi lahan sawahnya. Alih fungsi sawah dapat terjadi
secara langsung dan tidak langsung. Alih fungsi secara langsung terjadi akibat keputusan
para pemilik lahan yang memanfaatkan lahan sawah mereka ke penggunaan lain, seperti
untuk industri, perumahan, prasarana dan sarana atau pertanian lahan kering. Alih fungsi
secara langsung, didorong oleh motif ekonomi dimana penggunaan lahan setelah
dimanfaatkan untuk keperluan nonpertanian memiliki nilai jual/sewa yang lebih tinggi
dibandingkan pemanfaatan lahan untuk sawah. Sementara itu, alih fungsi tidak langsung
terkait dengan semakin menurunnya kualitas lahan sawah atau semakin rendahnya dalam
memperoleh pendapatan dari lahan tersebut akibat kegiatan tertentu, seperti terisolasinya
petak-petak sawah di pinggiran perkotaan karena konversi lahan di sekitarnya. Dalam jangka
waktu tertentu, lahan sawah yang dimaksud akan berubah ke penggunaan nonpertanian atau
digunakan untuk pertanian lahan kering.
Di Jawa Timur, lebih dari 95% lahan sawah beririgrasi teknis yang terkonversi adalah
untuk pengembangan permukiman, industri, dan jalan raya. Sekitar 45% dari lahan sawah
yang mengalami alih fungsi pada mulanya adalah lahan sawah yang memiliki irigrasi
teknis/semiteknis. Alih fungsi lahan sawah, pada umumnya paling banyak terjadi di wilayah
sekitar urban, karena pertumbuhan penduduk yang pesat dan berkembangnya pusat kegiatan
ekonomi seperti industri/jasa yang tinggi sehingga membutuhkan ketersediaan lahan, dan
kemudian individu maupun investor melakukan pembelian lahan. Dampak berkurangnya
luasan sawah akibat mengalami alih fungsi adalah ancaman terhadap ketahanan pangan di
Jawa Timur. Pemerintah telah melakukan upaya meningkatkan produksi pangan melalui
peningkatan produktivitas lahan dengan mengembngkan teknologi pertanaman yang diikuti
perbaikan sarana dan prasarana irigrasi.
Peralihan fungsi lahan sawah yang terjadi di Propinsi Jawa Timur umumnya diawali
dengan penjuaan lahan. Dalam jangka pendek, mungkin uang hasil penjualan tersebut akan
meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi karena umumnya sebagian besar uang hasil
penjualan tersebut dibelanjakan untuk aset nonproduktif seperti membuat/rehabilitasi rumah
dan membeli kendaraan, maka lahan pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama
akan semakin sempit yang dalam jangka panjang akan semakin menurunkan skala usahanya.
Perubahan penggunaan lahan akan mengarah kepada land rent yang lebih tinggi,
sehingga secara ekonomi demand lahan akan dideterminasi oleh surplusnya. Dengan nilai
land rent kegiatan pertanian yang rendah maka secara logis pertumbuhan ekonomi akan
mendorong terjadinya alokasi lahan yang bisa ke sektor ekonomi lain dan menimbulkan
konversi lahan pertanian. Konversi lahan pertanian tersebut cenderung terjadi pada lahan
pertanian berproduktivitas tinggi seperti lahan sawah beririgrasi. Faktor utamanya adalah
ketersediaan infrastruktur ekonomi yang berada di daerah pertanian yang berkembang
menyebabkan permintaan lahan oleh investor cenderung lebih tinggi, utamanya yang
mendekati sasaran konsumennya seperti di daerah pinggiran kota. Selain itu, perlindungan
pemerintah terhadap lahan pertanian produktif relatif lemah.
Adanya pembangunan ekonomi akan terjadi peningkatan pendapatan yang cenderung
menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian dengan laju lebih cepat
dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Dengan kata lain
pertumbuhan ekonomi cenderung merangsang terjadinya konversi lahan pertanian ke
penggunaan di luar pertanian, terutama daerah dengan kelangkaan lahan tinggi. Alih fungsi
lahan sawah pada dasarnya merupakan suatu proses alamiah yang terkait dengan tiga faktor
dasar yaitu, kelangkaan lahan, dinamika pembangunan, dan pertumbuhan penduduk.
Konversi lahan sawah merupakan dinamika tataguna dan alokasi sumber daya lahan akibat
terjadinya pergeseran struktural dalam perekonomian dan tekanan penduduk. Variabel-
variabel yang disinyalir dapat mempengaruhi luas alih fungsi lahan sawah di Jawa Timur
diantaranya, variabel jumlah rumah tangga, pertumbuhan ekonomi, dan jumlah petani.
Meskipun variabel jumlah rumah tangga tidak memiliki pengaruh yang signifakan terhadap
alih fungsi lahan sawah, namun variabel ini juga mengakibatkan sedikit pengurangan lahan
sawah yang ada. Variabel pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap alih fungsi lahan sawah, yaitu bila pertumbuhan ekonomi bertambah banyak, maka
lahan akan mengalami alih fungsi yang semakin luas. Begitu juga dengan variabel jumlah
petani memiliki pengaruh yang signifikan juga terhadap alih fungsi lahan sawah.
II. Pendapat Tentang Studi Kasus
Seiring dengan adanya peningkatan jumlah penduduk dan semakin berkembangnya
perekonomian, kebutuhan akan penyediaan lahan untuk mendukung kegiatan perekonomian
yang bersifat non pertanian cenderung terus meningkat. Hal inilah yang menyebabkan alih
fungsi lahan pertanian semakin marak terjadi tak terkecuali di Propinsi Jawa Timur dengan
pertumbuhan penduduk yang cukup pesat. Konversi lahan dapat diartikan sebagai
berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti
direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi
lahan itu sendiri.

Menurut Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan


Pertanian Pangan Berkelanjutan, lahan pertanian adalah bidang lahan yang digunakan untuk
usaha pertanian. Selain itu, aturan dalam UU No. 24/1992 yang secara jelas berisi tentang
Penyusunan RTRW seharusnya dilaksanakan secara baik oleh berbagai pihak yakni
mempertimbangkan budidaya tanaman pangan (sawah irigrasi teknik) agar tetap lestari.
Meskipun telah ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan yang bertujuan untuk menjaga kapasitas penyediaan pangan, namun
dengan pertumbuhan penduduk dan tuntutan perkembangan ekonomi yang semakin
meningkat, seolah tidak dapat menghambat adanya konversi lahan sawah yang telah ada.
Bahkan di Jawa Timur dari tahun ke tahun, konversi lahan sawah untuk dijadikan lahan
kegiatan nonpertanian semakin meningkat. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
konversi lahan sawah untuk lahan kegiatan non pertanian, antara lain kelangkaan
sumberdaya lahan dan air, dinamika pembangunan, dan peningkatan jumlah penduduk yang
begitu cepat dan berdampak pada permintaan terhadap lahan permukiman yang meningkat.
Faktor lainnya yaitu ketersediaan infrastruktur ekonomi yang berada di daerah pertanian yang
berkembang menyebabkan permintaan lahan oleh investor cenderung lebih tinggi, utamanya
yang mendekati sasaran konsumennya seperti di daerah pinggiran kota. Faktor luar yaitu
pengaruh warga dari daerah perbatasan yang telah lebih dahulu menjual tanah mereka
kepada pihak swasta. Selain itu, perlindungan pemerintah terhadap lahan pertanian produktif
relatif lemah.

Dari studi kasus tersebut di atas, bahwa adanya konversi lahan sawah atau alih fungsi
lahan di Propinsi Jawa Timur disebabkan oleh beberapa faktor atau variabel, diantaranya
adalah variabel jumlah rumah tangga, pertumbuhan ekonomi, dan jumlah petani. Variabel
jumlah rumah tangga tidak memiliki pengaruh yang signifakan terhadap alih fungsi lahan
sawah, namun variabel ini juga mengakibatkan sedikit pengurangan lahan sawah yang ada.
Variabel pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap alih fungsi
lahan sawah, yaitu bila pertumbuhan ekonomi bertambah banyak, maka lahan akan
mengalami alih fungsi yang semakin luas. Begitu juga dengan variabel jumlah petani memiliki
pengaruh yang signifikan juga terhadap alih fungsi lahan sawah. Dampak dari konversi lahan
sawah adalah dengan adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi
padi terutama di Jawa Timur karena sebagian besar konversi lahan terjadi di kota- kota yang
menjadi lumbung padi Jawa Timur. Dampak lain adalah kesempatan kerja pertanian menurun
sejalan dengan menurunnya lahan pertanian yang tersedia, kesempatan kerja yang terkait
secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi padi, dan degradasi
lingkungan.

Upaya pengendalian konversi lahan sawah yang dapat dilakukan, antara lain
pengendalian dengan instrumen ekonomi dapat dilakukan melalui mekanisme kompensasi
dan kebijakan pajak progressif. Kebijakan pajak progresif relatif mudah diaplikasikan dan
sudah dirintis oleh pemerintah. Di samping itu, perlu adanya revitalisasi kebijakan dalam
mengatasi konversi lahan dimana lebih diarahkan untuk meminimalkan berbagai dampak
negatif yang ditimbulkan. Dari faktor sosial, perilaku dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat cenderung mendorong terjadinya konversi lahan. Lahan sebagai private goods
berbeda dengan common goods yang dapat dikendalikan pemanfaatannya berdasarkan
kesepakatan sosial, seperti layaknya pada kawasan hutan dan perairan masih dapat
dilindungi pemanfaatannya dengan kesepakatan masyarakat setempat. Selain itu, diperlukan
informasi yang akurat tentang perkembangan kondisi mutakhir tentang luasan lahan yang
dipergunakan untuk berbagai keperluan oleh penduduk sehingga ada semacam informasi
peringatan dini bagi para penentu kebijakan.

III. Kesimpulan
Dari review jurnal tentang permasalahan konversi lahan di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan, diantaranya sebagai berikut:

1. Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah perubahan penggunaan lahan pertanian ke
nonpertanian. Selain itu, konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi
sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi
fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
2. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan sawah untuk lahan
kegiatan non pertanian, antara lain kelangkaan sumberdaya lahan dan air, dinamika
pembangunan, peningkatan jumlah penduduk, ketersediaan infrastruktur ekonomi yang
berada di daerah pertanian yang berkembang menyebabkan permintaan lahan oleh
investor cenderung lebih tinggi, adanya pengaruh warga dari daerah perbatasan yang
telah lebih dahulu menjual tanah mereka kepada pihak swasta, serta perlindungan
pemerintah terhadap lahan pertanian produktif relatif lemah.
3. Upaya pengendalian konversi lahan sawah yang dapat dilakukan, antara lain
pengendalian dengan instrumen ekonomi dapat dilakukan melalui mekanisme
kompensasi dan kebijakan pajak progressif, revitalisasi kebijakan dalam mengatasi
konversi lahan, pengendalian lahan dalam pemanfaatannya berdasarkan kesepakatan
sosial, dan diperlukan informasi yang akurat tentang perkembangan kondisi mutakhir
tentang luasan lahan yang dipergunakan untuk berbagai keperluan oleh penduduk
sehingga ada semacam informasi peringatan dini bagi para penentu kebijakan.

IV. Daftar Pustaka


Hidayat, Syarif Imam. 2008. Analisis Konversi Lahan Sawah di Propinsi Jawa Timur. Jurnal
Sosial Ekonomi Pertanian. Volume 2. UPN “Veteran” Jawa Timur.
Soemarno. 2013. Konversi Lahan. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Malang.
-------------. 2005. Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif bagi Ketahanan
Pangan dan Lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Volume
27. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai