Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN MENINGITIS POST

VENTRICULOPERITONEAL (VP) SHUNT

A. Pengertian
Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges. Organisme penyebab
meningitis bakterial memasuki area secara langsung sebagai akibat cedera
traumatik atau secara tidak langsung bila dipindahkan dari tempat lain di
dalam tubuh ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Berbagai agens dapat
menimbulkan inflamasi pada meninges termasuk bakteri, virus, jamur, dan zat
kimia (Betz, 2009).
Meningitis adalah infeksi yang terjadi pada selaput otak (termasuk
durameter, arachnoid, dan piameter) (Harold, 2005).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan
serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada
sistem saraf pusat (Suriadi, 2006).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
meningitis adalah suatu peradangan dari selaput-selaput (meningen) yang
mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang (spinal cord).

B.
Etiologi
Penyebab
dari meningitis meliputi :
1. Bakteri piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama
meningokokus, pneumokokus, dan basil influenza.
2. Virus yang disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat bervariasi.
3. Organisme jamur (Muttaqin, 2008)
C. Klasifikasi
1. Meningitis diklasifikasikan sesuai dengan faktor penyebabnya :
a. Asepsis
Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau
menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak,
ensefalitis, limfoma, leukimia, atau darah di ruang subarakhnoid.
Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi
pada meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur
cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh korteks serebri dan
lapisan otak. Mekanisme atau respons dari jaringan otak terhadap
virus bervariasi bergantung pada jenis sel yang terlibat.
b. Sepsis
Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh
organisme bakteri seperti meningokokus, stafilokokus, atau basilus
influenza. Bakteri paling sering dijumpai pada meningitis bakteri akut,
yaitu Neiserria meningitdis (meningitis meningokokus), Streptococcus
pneumoniae (pada dewasa), dan Haemophilus influenzae (pada anak-
anak dan dewasa muda). Bentuk penularannya melalui kontak
langsung, yang mencakup droplet dan sekret dari hidung dan
tenggorok yang membawa kuman (paling sering) atau infeksi dari
orang lain. Akibatnya, banyak yang tidak berkembang menjadi infeksi
tetapi menjadi pembawa (carrier). Insiden tertinggi pada meningitis
disebabkan oleh bakteri gram negatif yang terjadi pada lansia sama
seperti pada seseorang yang menjalani bedah saraf atau seseorang
yang mengalami gangguan respons imun.
c. Tuberkulosa
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel.
Infeksi meningen umumnya dihubungkan dengan satu atau dua
jalan, yaitu melalui salah satu aliran darah sebagai konsekuensi dari
infeksi-infeksi bagian lain, seperti selulitis, atau melalui penekanan
langsung seperti didapat setelah cedera traumatik tulang wajah. Dalam
jumlah kecil pada beberapa kasus merupakan iatrogenik atau hasil
sekunder prosedur invasif seperti lumbal pungsi) atau alat-alat invasif
(seperti alat pemantau TIK) (Muttaqin, 2008).
2. Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi
pada cairan otak, yaitu :
a. Meningitis Serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan
otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium
tuberculosa. Penyebab lainnya virus, Toxoplasma gondhii dan
Ricketsia.
b. Meningitis Purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak
dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus
pneumoniae (pneumokokus), Neisseria meningitis (meningokokus),
Streptococcus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas
aeruginosa (Satyanegara, 2010).

D. Patofisiologi/ Pathway
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti
dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis
bagian atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis
media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur
bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang
melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid
menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini
penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi
radang di dalam meningen dan di bawah korteks yang dapat menyebabkan
trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami
gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi.
Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis.
Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis
bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri
dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier
otak), edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum
terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal,
kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada
sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan
endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus
(Corwin, 2009).
Pathway

(Muttaqin, 2008)

E. Tanda dan Gejala (Manifestasi Klinis)


1. Neonatus : menolak untuk makan, refleks menghisap kurang, muntah,
diare, tonus otot melemah, menangis lemah.
2. Anak-anak dan remaja : demam tinggi, sakit kepala, muntah, perubahan
sensori, kejang, mudah terstimulasi, foto pobia, delirium, halusinasi,
maniak, stupor, koma, kaku kuduk, tanda kernig dan brudinzinski positif,
ptechial (menunjukkan infeksi meningococal) (Nurarif, 2013).

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan pungsi lumbal
Dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal,
dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
a. Pada meningitis serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih,
sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada meningitis purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh,
jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun,
kultur (+) beberapa jenis bakteri.
2. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah leukosit, Laju Endap Darah
(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Di
samping itu, pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga
peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
3. Pemeriksaan Radiologis
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin
dilakukan CT Scan.
b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid,
sinus paranasal, gigi geligi) dan foto dada (Smeltzer, 2002).

G. Penatalaksanaan
Penatalaksaan medis meningitis yaitu :
1. Antibiotik sesuai jenis agen penyebab
2. Steroid untuk mengatasi inflamasi
3. Antipiretik untuk mengatasi demam
4. Antikonvulsant untuk mencegah kejang
5. Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa
dipertahankan
6. Pembedahan : seperti dilakukan VP Shunt (Ventrikel Peritoneal Shunt)
Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan yang dilakukan
untuk membebaskan tekanan intrakranial yang diakibatkan oleh terlalu
banyaknya cairan serbrospinal. Cairan dialirkan dari ventrikel di otak
menuju rongga peritoneum. Prosedur pembedahan ini dilakukan di dalam
kamar operasi dengan anastesi umum selama sekitar 90 menit. Rambut di
belakang telinga dicukur, lalu dibuat insisi tapal kuda di belakang telinga
dan insisi kecil lainnya di dinding abdomen. Lubang kecil dibuat pada
tulang kepala, lalu selang kateter dimasukkan ke dalam ventrikel otak.
Kateter lain dimasukkan ke bawah kulit melalui insisi di belakang telinga,
menuju ke rongga peritoneum. Sebuah katup diletakkan di bawah kulit di
belakang telinga yang menempel pada kedua kateter. Bila terdapat tekanan
intrakranial meningkat, maka CSS akan mengalir melalui katup menuju
rongga peritoneum (Jeferson, 2004).
Terapi bedah merupakan pilihan yang lebih baik. Alternatif lain selain
pemasangan shunt antara lain:
a. Choroid pleksotomi atau koagulasi pleksus Choroid
b. Membuka stenosis akuaduktus
c. Eksisi tumor
d. Fenestrasi endoskopi

H. Pengkajian Primer
1. Airway
Adanya sumbatan atau obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan
sekret akibat kelemahan refleks batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
a. Chin lift atau jaw trust
b. Suction atau hisap
c. Guedel airway
d. Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral
2. Breathing
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot bantu apas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering
didapatkan pada klien meningitis disertai adanya gangguan pada sistem
pernapasan. Palpasi thoraks hanya dilakukan apabila terdapat deformitas
pada tulang dada pada klien dengan efusi pleura masif (jarang terjadi pada
klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi
pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer di
paru.
3. Circulationtekanan darah dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi
pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normla pada tahap dini,
disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap
lanjut.
4. Dissability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap
nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS.
5. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera
yang mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang,
maka imobilisasi in line harus dikerjakan (Muttaqin, 2008).

I. Pengkajian Sekunder
1. Anamnesa
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi,
kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
2. Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui jenis kuman penyebab.
Pada pengkajian klien dengan meningitis, biasanya didapatkan keluhan
yang berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK.
Keluhan gejala awal tersebut biasanya sakit kepala dan demam. Sakit
kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai
akibat iritasi meningen. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran dihubungkan dengan meningitis bakteri. Disorientasi dan
gangguan memori biasanya merupakan awal adanya penyakit.
3. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkingkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami infeksi jalan napas bagian atas, otitis media,
mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, tindakan bedah
saraf, riwayat trauma kepala, dan adanya pengaruh immunologis pada
masa sebelumnya.
4. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital (TTV).
Pada klien dengan meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu
tubuh lebih dari normal, yaitu 38-41oC, dimulai dari fase sistemik,
kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya
dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah
mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.
a. Tingkat kesadaran
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien
sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau
pemberian asuhan keperawatan.
b. Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik
yang pada klien meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
c. Pemeriksaan saraf kranial
1) Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan fungsi
penciuman.
2) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutama pada
meningitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural yang
menyebabkan terjadinya peningkatan TIK.
3) Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada
klien meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya
tanpa kelainan. Pada tahap lanjut meningitis yang telah
mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan
reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui,
klien meningitis mengeuh mengalami fotofobia atau sensitif yang
berlebihan terhadap cahaya.
4) Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan
paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada
kelainan.
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius. Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher
dan kaku kuduk (regiditas nukal)
9) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada
meningitis tahap lanjut mengalami perubahan.
e. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respons normal. Refleks patologis akan
didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma.
Adanya refleks Babinski (+) merupakan tanda adanya lesi UMN.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada
keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama
pada anak dengan meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang
tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan
meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang
peka.
g. Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi
raba, nyeri, dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaa
tubuh. Sensasi proprioseptif dan diskriminatif normal.
5. Pemeriksaa diagnostik
Pemeriksaan diagnostik rutin pada klien meningitis meliputi laboratorium
klinik rutin (Hb, leukosit, LED, trombosit, retikulosit, glukosa).
Pemeriksaan faal hemostatis diperlukan untuk mengetahui secara awal
adanya DIC. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk
mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama
hiponatremia (Muttaqin, 2008).

J. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


1. Gangguan perfusi serebra berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial
2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya iritasi lapisan otak
3. Potensial terjadinya injuri berhubungan dengan adanya kejang, perubahan
status mental dan penurunan tingkat kesadaran
4. Resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran diseminata hematogen dari
patogen, stasis cairan tubuh, penekanan respons inflamasi (akibat-obat),
pemajanan orang lain terhadap patogen
5. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan iritasi korteks serebral, kejang
lokal, kelemahan umum, paralisis parestesia, ataksia, vertigo
6. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan
sekret pada saluran nafas
7. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
8. Gangguan pola nafas berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
9. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi penyakit (Herdman, 2009).

K. Intervensi keperawatan
1. Gangguan perfusi serebra berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial
Tujuan :
a. Pasien kembali pada keadaan status neurologis sebelum sakit
b. Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris
Kriteria hasil :
a. Tanda – tanda vital dalam batas normal
b. Rasa sakit kepala berkurang
c. Kesadaran meningkat
d. Adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya tanda –
tanda tekanan intrakranial yang meningkat
Rencana Tindakan :
Intervensi Rasionalisasi
Pasien bed rest total dengan Perubahan pada tekanan intakranial
posisi tidur terlentang tanpa akan dapat meyebabkan resiko untuk
bantal terjadinya herniasi otak
Monitor tanda-tanda status Dapat mengurangi kerusakan otak
neurologis dengan GCS. lebih lanjut
Monitor tanda-tanda vital seperti Pada keadaan normal autoregulasi
TD, Nadi, Suhu, Resoirasi dan mempertahankan keadaan tekanan
hati-hati pada hipertensi sistolik darah sistemik berubah secara
fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan
menyebabkan kerusakan vaskuler
cerebral yang dapat dimanifestasikan
dengan peningkatan sistolik dan
diiukuti oleh penurunan tekanan
diastolik. Sedangkan peningkatan suhu
dapat menggambarkan perjalanan
infeksi.
Monitor intake dan output hipertermi dapat menyebabkan
peningkatan IWL dan meningkatkan
resiko dehidrasi terutama pada pasien
yang tidak sadra, nausea yang
menurunkan intake per oral
Bantu pasien untuk membatasi Aktifitas ini dapat meningkatkan
muntah, batuk. Anjurkan pasien tekanan intrakranial dan intraabdomen.
untuk mengeluarkan napas Mengeluarkan napas sewaktu bergerak
apabila bergerak atau berbalik di atau merubah posisi dapat melindungi
tempat tidur. diri dari efek valsava
Kolaborasi
Berikan cairan perinfus dengan Meminimalkan fluktuasi pada beban
perhatian ketat. vaskuler dan tekanan intrakranial,
vetriksi cairan dan cairan dapat
menurunkan edema cerebral
Monitor AGD bila diperlukan Adanya kemungkinan asidosis disertai
pemberian oksigen dengan pelepasan oksigen pada tingkat
sel dapat menyebabkan terjadinya
iskhemik serebral
Berikan terapi sesuai advis Terapi yang diberikan dapat
dokter seperti: Steroid, menurunkan permeabilitas kapiler,
Aminofel, Antibiotika. menurunkan edema serebri,
menurunkan metabolik sel / konsumsi
dan kejang.

2. Potensial terjadinya injuri berhubungan dengan adanya kejang, perubahan


status mental dan penurunan tingkat kesadaran
Tujuan :
- Pasien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan
kesadaran
Rencana tindakan :
Intervensi Rasionalisasi
Mandiri
monitor kejang pada tangan, Gambaran tribalitas sistem saraf pusat
kaki, mulut dan otot-otot muka memerlukan evaluasi yang sesuai
lainnya dengan intervensi yang tepat untuk
mencegah terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan
yang Melindungi pasien bila kejang terjadi
aman seperti batasan ranjang,
papan pengaman, dan alat
suction selalu berada dekat
pasien.
Pertahankan bedrest total selama Mengurangi resiko jatuh / terluka jika
fae akut vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi
Berikan terapi sesuai advis Untuk mencegah atau mengurangi
dokter seperti; diazepam, kejang. Catatan : Phenobarbital dapat
phenobarbital, dll. menyebabkan respiratorius depresi dan
sedasi.

3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan


sekret pada saluran nafas
Tujuan :
- Jalan napas pasien kembali efektif

Kriteria hasil :
a. Frekuensi napas 16-20 kali/menit
b. Tidak menggunakan otot bantu napas
c. Tidak ada suara tambahan
d. Dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif
e. Sesak napas berkurang
Rencana tindakan :
Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya Memantau dan mengatasi komplikasi
bunyi napas tambahan, potensial. Pengkajian fungsi pernapasan
perubahan irama dan dengan interval yang teratur adalah
kedalaman, penggunaan penting karena pernapasan yang tidak
otot-otot aksesori, warna, efektif dan adanya kegagalan, akibat
dan kekentalan sputum adanya kelemahan atau paralisis pada
otot-otot interkostal dan diafragma
berkembang dengan cepat.
Atur posisi fowler dan Peninggian kepala tempat tidur
semifowler memudahkan pernapasan,
meningkatkan ekspansi dada, dan
meningkatkan batuk lebih efektif.
Ajarkan cara batuk efektif Klien berada ada risiko tinggi bila tidak
dapat batuk dengan efektif untuk
membersihkan jalan napas dan
mengalami kesulitan dalam menelan,
sehingga menyebabkan aspirasi saliva
dan mencetuskan gagal napas akut.
Lakukan fisioterapi dada : Terapi fisik dada membantu
vibrasi dada meningkatkan batuk lebih efektif.
Lakukan persiapan lendir di Pengisapan mungkin diperlukan untuk
jalan napas mempertahankan kepatenan jalan napas
menjadi bersih.
(Muttaqin, 2008)

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Herdman, T. 2009. Nursing Diagnoses : Definition and Classification 2012 –

2014. Jakarta : EGC


Jeferson, Thomas. 2004. Ventriculoperitoneal Shunt. Thomas Jeferson

University Hospital.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.


Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan

Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA (North America

Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC. Yogyakarta :

Mediaction Publishing.
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. Tangerang : Gramedia Pustaka

Utama.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner

& Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester,

dkk. Edisi 8. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai