Oleh:
AZIZ ANINUR RAHMAN, S.KH
170130100011092
ABSTRACT
AZIZ ANINUR RAHMAN. Application of HACCP in Pork Production at
Slaughterhouse to Minimize Contamination of Yersinia Pseudotuberculosis.
Supervised by ANI SETIANINGRUM.
Foodborne disease due to Yersinia pseudotuberculosis, or can also be
called yersiniosis, starts from contamination of pork during pork production at
slaughterhouses. The prevalence of Yersinia pseudotuberculosis contamination
during the pork production reaches 6% in Germany, 10% in Japan and 4% in
Finland. The contaminated meat, if consumed by humans, can cause symptoms of
fever, anorexia, nausea, vomiting, acute mesenteric adenitis (pseudoappendicitis)
which can be associated with terminal ileitis and other complications of the
disease. The application of Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) well
in slaughterhouses will minimize the contamination of Yersinia
pseudotuberculosis during pork production. Contamination during pork
production at slaughterhouses is prevented through the determination of the
Critical Control Points (CCP) and the implementation of the next steps applied to
the CCP, so that the expected quality of the pork produced is guaranteed.
ii
Keywords : Yersinia pseudotuberculosis, pork, Hazard Analysis Critical Control
Points (HACCP), Slaughterhouse
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Penerapan HACCP Pada Proses Produksi Daging Babi di RPH Untuk
Meminimalkan Kontaminasi Yersinia Pseudotuberculosis
Nama : Aziz Aninur Rahman
NIM : 170130100011092
Disetujui,
Dosen Pengampu Penulis,
Diketahui oleh
Koordinator Rotasi
Keshatan Masyarakat Veteriner
iii
iv
PRAKATA
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK...............................................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii
PRAKATA.............................................................................................................iv
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
PENDAHULUAN...................................................................................................1
Latar Belakang.....................................................................................................1
Rumusan Masalah................................................................................................1
Tujuan..................................................................................................................2
Manfaat................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................2
Proses Produksi Daging Babi di RPH..................................................................2
Yersinia pseudotuberculosis Pada Daging Babi...................................................3
Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP)............................................4
PEMBAHASAN.....................................................................................................5
PENUTUP...............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................9
vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan pangan asal hewan yang satu diantaranya adalah daging, merupakan
kebutuhan esensial bagi setiap manusia yang berguna untuk memulihkan dan
memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses di dalam tubuh,
perkembangbiakan, dan menghasilkan energi untuk kepentingan berbagai
metabolisme. Oleh sebab itu, pangan harus mempunyai jaminan keamanan dari
cemaran-cemaran yang berbahaya. Cemaran tersebut dapat berupa cemaran
biologis (bakteri patogenik, parasit, cacing, virus, kapang/cendawan, dan riketsia),
kimiawi (mikotoksin, cemaran logam berat, dan residu antibiotika), fisika
(serpihan kaca, potongan kayu, logam, batu, rambut, benang, dll), atau lainnya
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
(Kusumaningsih, 2010). Cemaran biologis, khususnya bakteri patogenik pada
pangan dapat mengakibatkan munculnya foodborne disease, yaitu penyakit yang
ditularkan melalui bahan pangan yang tercemar. Berdasarkan data dari WHO
(2015), foodborne disease telah menyebabkan 550 juta orang sakit dan 230 ribu
orang mengalami kematian. Foodborne disease dapat disebabkan oleh cemaran
bakteri Yersinia pseudotuberculosis yang sering mengontaminasi daging babi
(serotipe 4/O:3) dan susu (serotipe 1B/O:8) (Anses, 2012).
Foodborne disease akibat Yersinia pseudotuberculosis, atau dapat juga
disebut dengan yersiniosis, berawal dari terjadinya kontaminasi pada daging babi
saat proses produksi daging babi di Rumah Potong Hewan (RPH). Prevalensi
kontaminasi Yersinia pseudotuberculosis pada saat proses produksi daging babi
mencapai 6% di Jerman, 10% di Jepang dan 4% di Finlandia (Martinez, 2010).
Daging yang terkontaminasi tersebut, apabila dikonsumsi oleh manusia akan
dapat menyebabkan gejala demam, anoreksia, mual, muntah, mesenteric adenitis
akut (pseudoappendicitis) yang dapat berhubungan dengan terminal ileitis serta
komplikasi penyakit seperti Erythema nodosum, Deep abscess akibat septicaemia,
Arthritis Kawasaki syndrome and Far East scarlet-like fever (di Jepang and
Siberia) (Anses, 2012).
Penerapan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) pada proses
produksi daging babi dapat menjadi solusi untuk menekan terjadinya foodborne
disease yang berasal dari daging babi. Daging babi yang diproduksi dari RPH
yang telah menerapkan HACCP dengan baik dapat terjamin keamanan dan
kualitasnya ketika didistribusikan kepada konsumen. HACCP pada proses
produksi daging babi di RPH diharapkan dapat diterapkan oleh seluruh RPH Babi
di Indonesia sehingga dapat meminimalkan kontaminasi Yersinia
pseudotuberculosis pada daging babi.
Rumusan Masalah
Bagaimana penerapan HACCP pada proses produksi daging babi di RPH
sehingga tidak menjadi sumber penyebaran penyakit akibat kontaminasi Yersinia
pseudotuberculosis?
Tujuan
Mengetahui penerapan HACCP pada proses produksi daging babi di RPH
sehingga tidak menjadi sumber penyebaran penyakit akibat kontaminasi Yersinia
pseudotuberculosis.
Manfaat
Memberikan pengetahuan mengenai model penerapa HACCP pada proses
produksi daging babi di RPH sehingga meminimalkan penyebaran penyakit akibat
kontaminasi Yersinia pseudotuberculosis pada daging babi.
TINJAUAN PUSTAKA
2
Gambar 1. Proses produksi daging babi secara umum di RPH
3
Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP)
HACCP merupakan sistem untuk menjamin keamanan pangan,
memastikan perlindungan produk dan koreksi kegagalan sebelum produk pangan
tersebut diedarkan di masyarakat (Saleh et al., 2015). HACCP dalam
penerapannya akan didasarkan pada identifikasi, evaluasi, serta kontrol terhadap
bahaya biologis, kimia maupun fisik pada bahan pangan (Gebru dan Gebretinsae,
2018). Filosofi sistem HACCP adalah pembinaan dan pengawasan mutu dan
keamanan pangan berdasarkan pencegahan preventif (preventive measure) yang
dipercayai lebih unggul dibanding dengan cara-cara tradisional (conventional)
yang terlalu menekankan pada sampling dan pengujian produk akhir di
laboratorium. Sistem HACCP lebih menekankan pada upaya pencegahan
preventif untuk memberi jaminan keamanan produk pangan. Semua upaya
tersebut didasarkan pada tujuh prinsip HACCP menurut Horchner dan Pointon
(2011), yakni sebagai berikut.
1. Analisis bahaya (Hazard Analysis) dan penetapan resiko beserta cara
pencegahannya.
Pendekatan pertama pada HACCP adalah analisis bahaya yang
mungkin dapat muncul pada setiap proses produksi dari produk pangan.
Pemeriksaan atau analisis terhadap bahaya ini harus dilaksanakan, sebagai
tahap utama untuk mengidentifikasi semua bahaya yang dapat terjadi bila
produk pangan dikonsumsi. Terdapat tiga jenis bahaya yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan apabila produk pangan dikonsumsi oleh
masyarakat, yakni bahaya biologis, bahaya kimia dan bahaya fisik.
2. Identifikasi dan penentuan titik kendali kritis atau Critical Control Points
(CCP) di dalam proses produksi.
Titik kendali kritis atau CCP dalam HACCP merupakan langkah
kontrol (proses penanganan) yang dapat digunakan sebagai pencegah atau
pengeliminasi bahaya hingga mereduksinya pada tingkat yang dapat
diterima. CCP dapat ditentukan secara sistematis menggunakan metode
alur keputusan atau CCP Decision Tree.
3. Penetapan batas kritis (Critical Limits) terhadap setiap CCP yang telah
teridentifikasi.
Batas kritis didefinisikan sebagai batas toleransi yang dapat diterima
untuk mengamankan bahaya, sehingga CCP dapat mengendalikan bahaya
kesehatan secara cermat dan efektif. Beberapa contoh batas kritis adalah suhu
dan waktu maksimal untuk proses pemanasan, suhu maksimal untuk menjaga
kondisi pendinginan, kadar pH maksimal dan lain-lain.
4. Penyusunan prosedur pemantauan dan persyaratan untuk mengawasi CCP.
Pemantauan merupakan rencana pengawasan dan pengukuran
berkesinambungan untuk mengetahui apakah suatu CCP dalam keadaan
terkendali dan menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan
dalam verifikasi nantinya. Kegiatan pemantauan ini mencakup: (1)
Pemeriksaan apakah prosedur penanganan dan pengolahan pada CCP
dapat dikendalikan dengan baik; (2) Pengujian atau pengamatan terjadwal
terhadap efektifitas sustu proses untuk mengendalikan CCP dan batas
kritisnya; (3) Pengamatan atau pengukuran batas kritis untuk memperoleh
4
data yang teliti, dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas kritis yang
ditetapkan dapat menjamin keamanan produk.
5. Menetapkan/menentukan tindakan koreksi yang harus dilakukan bila
terjadi penyimpangan pada batas kritisnya.
Tindakan koreksi adalah prosedur yang harus dilaksanakan ketika
kesalahan serius atau kritis ditemukan dan batas kritisnya terlampaui. Dengan
demikian, apabila terjadi kegagalan dalam pengawasan pada CCP-nya, maka
tindakan koreksi harus segera dilaksanakan. Tindakan koreksi yang dilakukan
harus dapat mengurangi atau mengeliminasi potensi bahaya dan resiko yang
terjadi ketika batas kritis terlampaui pada CCP-nya, sehingga dapat menjamin
bahwa disposisi produk yang tidak memenuhi, tidak mengakibatkan potensi
bahaya baru.
6. Menetapkan prosedur verifikasi untuk menguji kebenaran.
Prosedur verifikasi dibuat dengan tujuan untuk memeriksa apakah
program HACCP telah dilaksanakan sesuai dengan rancangan HACCP yang
ditetapkan dan untuk menjamin bahwa rancangan HACCP yang ditetapkan
masih efektif dan benar. Hasil verifikasi ini dapat pula digunakan sebagai
informasi tambahan dalam memberikan jaminan bahwa program HACCP
telah terlaksana dengan baik. Prosedur verifikasi tersebut termasuk
diantaranya adalah prosedur audit atau peninjauan serta pada beberapa kasus
dapat dilakukan analisis uji dengan random sampling.
7. Melaksanakan prosedur yang efektif untuk pencatatan dan penyimpanan
datanya (Record keeping).
Sistem dokumentasi dalam HACCP bertujuan untuk mengarsipkan
rancangan program HACCP dengan cara menyusun catatan yang teliti dan
rapi mengenai seluruh sistem dan penerapan HACCP serta memudahkan
pemeriksaan oleh manager atau instansi berwenang jika produk yang
dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab kasus foodborne
disease. Sistem dokumentasi tersebut termasuk diantaranya adalah analisis
bahaya, dokumen referensi yang digunakan untuk penilaian resiko,
penentuan CCP dan penetapan batas kritis.
PEMBAHASAN
5
(Manitoba, 2012). Bahaya kimia dapat diidentifikasi juga seperti residu antibiotik
dan obat-obatan seperti hormon.
Proses produksi berikutnya adalah pemingsanan dan pengeluaran darah.
Pada proses produksi tersebut bahaya yang dapat diidentifikasi adalah bahaya
biologis akibat kemungkinan adanya patogen dalam darah babi yang dapat
mengontaminasi karkas. Bahaya fisik juga dapat muncul berupa fragmen tulang
akibat pemingsanan secara mekanis, meski bahaya tersebut sangat jarang terjadi.
Proses produksi selanjutnya adalah pengulitan dan penghilangan rambut. Bahaya
yang dapat diidentifikasi adalah bahaya patogen yang berasal dari
mikroorganisme pada kulit babi. Bahaya fisik dan kimia tidak teridentifikasi pada
proses pengulitan dan penghilangan rambut. Proses produksi selanjutnya adalah
pemisahan kepala dan eviscerasi. Bahaya yang dapat diidentifikasi pada proses
tersebut adalah bahaya biologis terutama patogen yang berasal dari saluran
pencernaan. Proses eviscerasi merupakan sumber terbesar kontaminasi bakteri
Yersinia pseudotuberculosis pada daging babi di RPH. Sumber kontaminasi
Yersinia pseudotuberculosis lainnya berasal dari tonsil, sehingga terdapat
penelitian bahwa pengambilan saluran pencernaan dan tonsil secara hati-hati agar
tidak mengenai karkas, dapat menurunkan prevalensi kontaminasi Yersinia
pseudotuberculosis pada daging babi dari 1-11% menjadi 0-2% (Ranta et al.,
2010).
Proses produksi berikutnya adalah pemotongan karkas, penimbangan serta
pemeriksaan akhir postmortem. Bahaya yang dapat diidentifikasi adalah bahaya
biologis yang berasal dari kemungkinan adanya feses, ingesta serta cairan susu
atau cairan tubuh yang berpotensi sebagai sumber kontaminasi patogen seperti
Yersinia pseudotuberculosis. Proses produksi berikutnya merupakan
penyemprotan dengan larutan asam organik pada karkas. Meski tidak semua RPH
melakukan proses tersebut, penyemprotan larutan asam organik bertujuan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri yang tertinggal pada karkas. Bahaya yang
dapat diidentifikasi pada proses tersebut adalah bahaya biologis akibat patogen
yang masih tetap dapat tumbuh pada karkas karena penyemprotan yang tidak
benar atau larutan asam organik yang digunakan tidak sesuai. Proses produksi
terakhir adalah penyimpanan dalam ruang berpendingin. Pada proses tersebut,
bahaya biologis dapat diidentifikasi dan umumnya berasal dari patogen yang
mampu bertahan pada suhu dingin.
Mengidentifikasi CCP
Prosedur identifikasi CCP pada tiap proses produksi daging babi di RPH
didasarkan dari analisis bahaya yang terdapat pada tiap proses produksi. Hasil
analisis bahaya tersebut kemudian dimasukkan dalam CCP Decision Tree. CCP
Decision Tree merupakan rangkaian pertanyaan sistematis mengenai bahaya yang
muncul pada tiap proses produksi untuk menentukan CCP-nya. Berikut ini adalah
contoh CCP Decision Tree untuk produksi daging babi di RPH.
6
Gambar 2. CCP Decision Tree (diadaptasi dari Horchner dan Pointon, 2011)
Berdasarkan CCP Decision Tree tersebut, maka didapatkan tiga CCP pada
proses produksi daging babi di RPH untuk meminimalkan kontaminasi Yersinia
pseudotuberculosis. Ketiga CCP tersebut adalah:
- Pemeriksaan akhir postmortem
- Penyemprotan larutan asam organik
- Pendinginan
7
Tabel 1.CCP, batas kritis, prosedur pemantauan dan tindakan koreksi di RPH
8
Penentuan CCP serta langkah-langkah selanjutnya yang diaplikasikan pada
CCP dapat berbeda-beda antar RPH. Hal tersebut dapat dikarenakan perbedaan
kondisi pada masing-masing RPH, perbedaan proses produksi daging babi pada
masing-masing RPH serta perbedaan hasil analisis antar tim HACCP yang dibentuk
pada masing-masing RPH. Namun demikian, tujuan utama dari penerapan HACCP
tetap sama, yakni untuk mencegah tersebarnya foodborne disease serta penjaminan
keamanan pangan pada produk daging babi terutama dari ancaman Yersinia
pseudotuberculosis.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
9
Control. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 13:
1165-1191
Manitoba. 2012. Communicable Disease Management Protocol – Yersiniosis.
Diunduh dari www.manitoba.ca
Martinez, P.O. 2010. Prevalence of Enteropathogenic Yersinia in Pigs from
Different European Countries and Contamination in the Pork Production
Chain. ISBN 978-952-10-6393-0
Ranta, J., K. Siekkinen, L. Nuotio, R. Laukkanen, S. Hellstr¨om, H. Korkeala dan
R. Maijala. 2010. Causal Hidden Variable Model of Pathogenic
Contamination from Pig to Pork. Stat Model 10(1):69–87
Saleh, E.A., S. El-Shehemy, M.A. Ayoub, Safaa, H. Gorbal dan A.K.A. Hozyen.
2015. Application of Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
in Egyptian Slaughter Houses to Obtain High Quality Meat. Global
Veterinaria 14(3): 297-303
World Health Organization [WHO]. 2015. Estimates of the Global Burden of
Foodborne Diseases. Diunduh dari http://www.who.int
10