Anda di halaman 1dari 16

ARTIKEL ILMIAH

ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER


LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PENERAPAN HACCP PADA PROSES PRODUKSI DAGING


BABI DI RPH UNTUK MEMINIMALKAN KONTAMINASI
YERSINIA PSEUDOTUBERCULOSIS

Oleh:
AZIZ ANINUR RAHMAN, S.KH
170130100011092

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
ABSTRAK
AZIZ ANINUR RAHMAN. Penerapan HACCP Pada Proses Produksi Daging
Babi di RPH Untuk Meminimalkan Kontaminasi Yersinia Pseudotuberculosis.
Dibimbing oleh ANI SETIANINGRUM.
Foodborne disease akibat Yersinia pseudotuberculosis, atau dapat juga
disebut dengan yersiniosis, berawal dari terjadinya kontaminasi pada daging babi
saat proses produksi daging babi di Rumah Potong Hewan (RPH). Prevalensi
kontaminasi Yersinia pseudotuberculosis pada saat proses produksi daging babi
mencapai 6% di Jerman, 10% di Jepang dan 4% di Finlandia. Daging yang
terkontaminasi tersebut, apabila dikonsumsi oleh manusia akan dapat
menyebabkan gejala demam, anoreksia, mual, muntah, mesenteric adenitis akut
(pseudoappendicitis) yang dapat berhubungan dengan terminal ileitis serta
komplikasi penyakit lainnya. Penerapan Hazard Analysis Critical Control Points
(HACCP) dengan baik di RPH akan dapat meminimalkan kontaminasi Yersinia
pseudotuberculosis pada proses produksi daging babi. Kontaminasi pada daging
babi selama proses produksi daging babi di RPH dicegah melalui penentuan
Critical Control Points (CCP) serta pelaksanaan langkah selanjutnya yang
diaplikasikan pada CCP tersebut, sehingga diharapkan daging babi yang
diproduksi terjamin keamanan dan kualitasnya.
Kata Kunci: Yersinia pseudotuberculosis, daging babi, Hazard Analysis Critical
Control Points (HACCP), Rumah Potong Hewan

ABSTRACT
AZIZ ANINUR RAHMAN. Application of HACCP in Pork Production at
Slaughterhouse to Minimize Contamination of Yersinia Pseudotuberculosis.
Supervised by ANI SETIANINGRUM.
Foodborne disease due to Yersinia pseudotuberculosis, or can also be
called yersiniosis, starts from contamination of pork during pork production at
slaughterhouses. The prevalence of Yersinia pseudotuberculosis contamination
during the pork production reaches 6% in Germany, 10% in Japan and 4% in
Finland. The contaminated meat, if consumed by humans, can cause symptoms of
fever, anorexia, nausea, vomiting, acute mesenteric adenitis (pseudoappendicitis)
which can be associated with terminal ileitis and other complications of the
disease. The application of Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) well
in slaughterhouses will minimize the contamination of Yersinia
pseudotuberculosis during pork production. Contamination during pork
production at slaughterhouses is prevented through the determination of the
Critical Control Points (CCP) and the implementation of the next steps applied to
the CCP, so that the expected quality of the pork produced is guaranteed.

ii
Keywords : Yersinia pseudotuberculosis, pork, Hazard Analysis Critical Control
Points (HACCP), Slaughterhouse
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Penerapan HACCP Pada Proses Produksi Daging Babi di RPH Untuk
Meminimalkan Kontaminasi Yersinia Pseudotuberculosis
Nama : Aziz Aninur Rahman
NIM : 170130100011092

Disetujui,
Dosen Pengampu Penulis,

drh. Ani Setianingrum, M.Sc Aziz Aninur Rahman, S.KH


NIP. 2012018206252001 NIM. 170130100011092

Diketahui oleh
Koordinator Rotasi
Keshatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Masdiana C. Padaga, M.App.Sc


NIP. 19560210 198403 2 001

iii
iv
PRAKATA

Ucapan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena


atas limpahan rahmat, hidayah dan pertolongan-Nya lah sehingga penulis dapat
menyelesaikan paper yang berjudul Penerapan HACCP Pada Proses Produksi
Daging Babi di RPH Untuk Meminimalkan Kontaminasi Yersinia
Pseudotuberculosis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. drh. Masdiana C. Padaga,
M.App.Sc. selaku koordinator rotasi kesmavet, drh. Ani Setianingrum, M.Sc
selaku pembimbing di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner atas segala
bantuan, bimbingan yang diberikan kepada penulis, serta teman sejawat PPDH
Gelombang X Kelompok 4 atas kerjasama, dorongan, semangat, inspirasi,
keceriaan, dan kebersamaannya.
Penulis berharap semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas segala
kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama penulisan paper
ini. Penulis sadar bahwa paper ini jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran
dari pembaca akan selalu penulis terima dengan tangan terbuka. Penulis berharap
semoga paper ini dapat digunakan sebagaimana mestinya, dapat memberikan
manfaat serta menambah pengetahuan tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi
pembaca, Aamiin.

Malang, April 2019

Penulis

v
DAFTAR ISI

ABSTRAK...............................................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii
PRAKATA.............................................................................................................iv
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
PENDAHULUAN...................................................................................................1
Latar Belakang.....................................................................................................1
Rumusan Masalah................................................................................................1
Tujuan..................................................................................................................2
Manfaat................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................2
Proses Produksi Daging Babi di RPH..................................................................2
Yersinia pseudotuberculosis Pada Daging Babi...................................................3
Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP)............................................4
PEMBAHASAN.....................................................................................................5
PENUTUP...............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................9

vi
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bahan pangan asal hewan yang satu diantaranya adalah daging, merupakan
kebutuhan esensial bagi setiap manusia yang berguna untuk memulihkan dan
memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses di dalam tubuh,
perkembangbiakan, dan menghasilkan energi untuk kepentingan berbagai
metabolisme. Oleh sebab itu, pangan harus mempunyai jaminan keamanan dari
cemaran-cemaran yang berbahaya. Cemaran tersebut dapat berupa cemaran
biologis (bakteri patogenik, parasit, cacing, virus, kapang/cendawan, dan riketsia),
kimiawi (mikotoksin, cemaran logam berat, dan residu antibiotika), fisika
(serpihan kaca, potongan kayu, logam, batu, rambut, benang, dll), atau lainnya
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
(Kusumaningsih, 2010). Cemaran biologis, khususnya bakteri patogenik pada
pangan dapat mengakibatkan munculnya foodborne disease, yaitu penyakit yang
ditularkan melalui bahan pangan yang tercemar. Berdasarkan data dari WHO
(2015), foodborne disease telah menyebabkan 550 juta orang sakit dan 230 ribu
orang mengalami kematian. Foodborne disease dapat disebabkan oleh cemaran
bakteri Yersinia pseudotuberculosis yang sering mengontaminasi daging babi
(serotipe 4/O:3) dan susu (serotipe 1B/O:8) (Anses, 2012).
Foodborne disease akibat Yersinia pseudotuberculosis, atau dapat juga
disebut dengan yersiniosis, berawal dari terjadinya kontaminasi pada daging babi
saat proses produksi daging babi di Rumah Potong Hewan (RPH). Prevalensi
kontaminasi Yersinia pseudotuberculosis pada saat proses produksi daging babi
mencapai 6% di Jerman, 10% di Jepang dan 4% di Finlandia (Martinez, 2010).
Daging yang terkontaminasi tersebut, apabila dikonsumsi oleh manusia akan
dapat menyebabkan gejala demam, anoreksia, mual, muntah, mesenteric adenitis
akut (pseudoappendicitis) yang dapat berhubungan dengan terminal ileitis serta
komplikasi penyakit seperti Erythema nodosum, Deep abscess akibat septicaemia,
Arthritis Kawasaki syndrome and Far East scarlet-like fever (di Jepang and
Siberia) (Anses, 2012).
Penerapan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) pada proses
produksi daging babi dapat menjadi solusi untuk menekan terjadinya foodborne
disease yang berasal dari daging babi. Daging babi yang diproduksi dari RPH
yang telah menerapkan HACCP dengan baik dapat terjamin keamanan dan
kualitasnya ketika didistribusikan kepada konsumen. HACCP pada proses
produksi daging babi di RPH diharapkan dapat diterapkan oleh seluruh RPH Babi
di Indonesia sehingga dapat meminimalkan kontaminasi Yersinia
pseudotuberculosis pada daging babi.

Rumusan Masalah
Bagaimana penerapan HACCP pada proses produksi daging babi di RPH
sehingga tidak menjadi sumber penyebaran penyakit akibat kontaminasi Yersinia
pseudotuberculosis?
Tujuan
Mengetahui penerapan HACCP pada proses produksi daging babi di RPH
sehingga tidak menjadi sumber penyebaran penyakit akibat kontaminasi Yersinia
pseudotuberculosis.

Manfaat
Memberikan pengetahuan mengenai model penerapa HACCP pada proses
produksi daging babi di RPH sehingga meminimalkan penyebaran penyakit akibat
kontaminasi Yersinia pseudotuberculosis pada daging babi.

TINJAUAN PUSTAKA

Proses Produksi Daging Babi di RPH


Produksi daging babi di Indonesia tercatat sekitar 327 ribu ton pada tahun
2018 dan mengalami peningkatan jika dibandingkan pada tahun 2017 yang
tercatat sekitar 317 ribu ton. Peningkatan tersebut diakibatkan oleh konsumsi
daging babi per kapita per tahun di masyarakat Indonesia yang mencapai 0,261 kg
(Kementan, 2018). Produksi daging babi telah diatur agar dilaksanakan di RPH
untuk dapat menjamin penyediaan daging aman, sehat dan utuh melalui
pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (antemortem) serta pemeriksaan
karkas dan jeroan (postmortem) untuk mencegah penularan penyakit zoonosis ke
masyarakat.
Proses produksi daging babi di RPH berdasarkan CFIA (2014) diawali dari
kedatangan babi dari peternakan-peternakan babi untuk kemudian dipotong di
RPH. Kemudian dilakukan serangkaian proses pemeriksaan antemortem dan
penimbangan berat hewan. Proses selanjutnya adalah pemingsanan yang
dilanjutkan dengan pengeluaran darah melalui penusukan pada jantung.
Pemingsanan dapat dilakukan menggunakan alat penyetrum atau dengan stunner
bolt yang ditembakkan menuju otak tepat melalui os frontalis dari babi. Setelah
dipastikan pengeluaran darah berhenti yang juga menjadi indikator kematian pada
babi maka proses selanjutnya adalah pengulitan dan penghilangan rambut.
Pengulitan dan penghilangan rambut dapat dilakukan dengan menggunakan
pemanas atau secara otomatis dengan Dehairing Machine. Proses pengulitan
diakhiri secara manual menggunakan pisau cukur serta dilakukan pemeriksaan
bahwa sudah tidak ada lagi rambut atau benda asing yang menempel pada tubuh
babi. Kemudian dilanjutkan dengan proses pemisahan kepala serta eviscerasi atau
pengeluaran organ viscera dari dalam tubuh babi hingga tertinggal karkasnya saja.
Proses eviscerasi harus dilakukan secara hati-hati terutama pada jeroan hijau agar
konten didalam organ tersebut tidak sampai mencemari karkas. Proses eviscerasi
juga disertai dengan pemeriksaan untuk memastikan bahwa kondisi organ viscera
babi dalam keadaan sehat. Karkas tersebut dilakukan penimbangan serta
pemeriksaan akhir sebelum disimpan pada suhu chiller selama semalam untuk
kemudian didistribusikan pada konsumen. Proses produksi daging babi di RPH
secara umum dapat dilihat pada diagram alir berikut ini.

2
Gambar 1. Proses produksi daging babi secara umum di RPH

Yersinia pseudotuberculosis Pada Daging Babi


Yersinia pseudotuberculosis merupakan bakteri gram negatif yang dapat
menular dari hewan dan menyebabkan infeksi pada manusia. Gejala yang umum
terjadi pada manusia adalah demam dan rasa sakit pada abdomen sehingga
seringkali diduga sebagai appendicitis. Kejadian penyakit tersebut didapat melalui
saluran pencernaan setelah termakannya bahan pangan yang terkontaminasi,
dalam hal ini biasanya adalah akibat mengonsumsi daging babi secara mentah
atau tidak dimasak sempurna. Masa inkubasinya dari 5 sampai 10 hari dengan
rata-rata adalah sekitar 4 hari setelah termakannya daging babi yang
terkontaminasi (Brady dan Anjum, 2019). Bakteri Yersinia pseudotuberculosis
seringkali mengontaminasi daging babi selama proses produksi daging babi di
RPH. Berdasarkan penelitian L-Ninios et al. (2014) di beberapa RPH, persentase
ditemukannya bakteri Yersinia pseudotuberculosis adalah 0,4% pada karkas, 2-4%
pada lidah dan tonsil serta 3-10% pada jeroan. Sehingga secara umum,
kebanyakan kontaminasi bakteri Yersinia pseudotuberculosis pada daging babi di
RPH adalah apabila tercampur oleh lidah dan jeroan terutama saluran pencernaan.
Lingkungan di RPH serta peralatan-peralatan yang terdapat di RPH juga
dapat menjadi sumber pencemaran bakteri. Berdasarkan penelitian Martinez
(2010), bakteri Yersinia pseudotuberculosis di RPH dapat diisolasi pada lantai
RPH, area pengeluaran darah, serta peralatan untuk proses eviscerasi. Bakteri
tersebut juga pernah diisolasi pada ruang istirahat karyawan yang berarti
menunjukkan bahwa karyawan di RPH juga dapat menjadi sumber kontaminasi
Yersinia pseudotuberculosis pada daging babi (Laukkanen et al., 2010).
Banyaknya sumber kontaminasi bakteri Yersinia pseudotuberculosis pada daging
babi selama proses produksi daging babi harus diatasi dengan penerapan HACCP
dengan baik di RPH yang didasari juga dengan penerapan Good Manufacturing
Practice (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) secara
konsisten di RPH. Selain untuk mencegah kontaminasi bakteri pada daging babi,
penerapan konsep tersebut dapat melindungi karyawan RPH dari infeksi Yersinia
pseudotuberculosis selama proses produksi daging babi berlangsung.

3
Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP)
HACCP merupakan sistem untuk menjamin keamanan pangan,
memastikan perlindungan produk dan koreksi kegagalan sebelum produk pangan
tersebut diedarkan di masyarakat (Saleh et al., 2015). HACCP dalam
penerapannya akan didasarkan pada identifikasi, evaluasi, serta kontrol terhadap
bahaya biologis, kimia maupun fisik pada bahan pangan (Gebru dan Gebretinsae,
2018). Filosofi sistem HACCP adalah pembinaan dan pengawasan mutu dan
keamanan pangan berdasarkan pencegahan preventif (preventive measure) yang
dipercayai lebih unggul dibanding dengan cara-cara tradisional (conventional)
yang terlalu menekankan pada sampling dan pengujian produk akhir di
laboratorium. Sistem HACCP lebih menekankan pada upaya pencegahan
preventif untuk memberi jaminan keamanan produk pangan. Semua upaya
tersebut didasarkan pada tujuh prinsip HACCP menurut Horchner dan Pointon
(2011), yakni sebagai berikut.
1. Analisis bahaya (Hazard Analysis) dan penetapan resiko beserta cara
pencegahannya.
Pendekatan pertama pada HACCP adalah analisis bahaya yang
mungkin dapat muncul pada setiap proses produksi dari produk pangan.
Pemeriksaan atau analisis terhadap bahaya ini harus dilaksanakan, sebagai
tahap utama untuk mengidentifikasi semua bahaya yang dapat terjadi bila
produk pangan dikonsumsi. Terdapat tiga jenis bahaya yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan apabila produk pangan dikonsumsi oleh
masyarakat, yakni bahaya biologis, bahaya kimia dan bahaya fisik.
2. Identifikasi dan penentuan titik kendali kritis atau Critical Control Points
(CCP) di dalam proses produksi.
Titik kendali kritis atau CCP dalam HACCP merupakan langkah
kontrol (proses penanganan) yang dapat digunakan sebagai pencegah atau
pengeliminasi bahaya hingga mereduksinya pada tingkat yang dapat
diterima. CCP dapat ditentukan secara sistematis menggunakan metode
alur keputusan atau CCP Decision Tree.
3. Penetapan batas kritis (Critical Limits) terhadap setiap CCP yang telah
teridentifikasi.
Batas kritis didefinisikan sebagai batas toleransi yang dapat diterima
untuk mengamankan bahaya, sehingga CCP dapat mengendalikan bahaya
kesehatan secara cermat dan efektif. Beberapa contoh batas kritis adalah suhu
dan waktu maksimal untuk proses pemanasan, suhu maksimal untuk menjaga
kondisi pendinginan, kadar pH maksimal dan lain-lain.
4. Penyusunan prosedur pemantauan dan persyaratan untuk mengawasi CCP.
Pemantauan merupakan rencana pengawasan dan pengukuran
berkesinambungan untuk mengetahui apakah suatu CCP dalam keadaan
terkendali dan menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan
dalam verifikasi nantinya. Kegiatan pemantauan ini mencakup: (1)
Pemeriksaan apakah prosedur penanganan dan pengolahan pada CCP
dapat dikendalikan dengan baik; (2) Pengujian atau pengamatan terjadwal
terhadap efektifitas sustu proses untuk mengendalikan CCP dan batas
kritisnya; (3) Pengamatan atau pengukuran batas kritis untuk memperoleh

4
data yang teliti, dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas kritis yang
ditetapkan dapat menjamin keamanan produk.
5. Menetapkan/menentukan tindakan koreksi yang harus dilakukan bila
terjadi penyimpangan pada batas kritisnya.
Tindakan koreksi adalah prosedur yang harus dilaksanakan ketika
kesalahan serius atau kritis ditemukan dan batas kritisnya terlampaui. Dengan
demikian, apabila terjadi kegagalan dalam pengawasan pada CCP-nya, maka
tindakan koreksi harus segera dilaksanakan. Tindakan koreksi yang dilakukan
harus dapat mengurangi atau mengeliminasi potensi bahaya dan resiko yang
terjadi ketika batas kritis terlampaui pada CCP-nya, sehingga dapat menjamin
bahwa disposisi produk yang tidak memenuhi, tidak mengakibatkan potensi
bahaya baru.
6. Menetapkan prosedur verifikasi untuk menguji kebenaran.
Prosedur verifikasi dibuat dengan tujuan untuk memeriksa apakah
program HACCP telah dilaksanakan sesuai dengan rancangan HACCP yang
ditetapkan dan untuk menjamin bahwa rancangan HACCP yang ditetapkan
masih efektif dan benar. Hasil verifikasi ini dapat pula digunakan sebagai
informasi tambahan dalam memberikan jaminan bahwa program HACCP
telah terlaksana dengan baik. Prosedur verifikasi tersebut termasuk
diantaranya adalah prosedur audit atau peninjauan serta pada beberapa kasus
dapat dilakukan analisis uji dengan random sampling.
7. Melaksanakan prosedur yang efektif untuk pencatatan dan penyimpanan
datanya (Record keeping).
Sistem dokumentasi dalam HACCP bertujuan untuk mengarsipkan
rancangan program HACCP dengan cara menyusun catatan yang teliti dan
rapi mengenai seluruh sistem dan penerapan HACCP serta memudahkan
pemeriksaan oleh manager atau instansi berwenang jika produk yang
dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab kasus foodborne
disease. Sistem dokumentasi tersebut termasuk diantaranya adalah analisis
bahaya, dokumen referensi yang digunakan untuk penilaian resiko,
penentuan CCP dan penetapan batas kritis.

PEMBAHASAN

Menentukan Bahaya Pada Proses Produksi Daging Babi di RPH


Penerapan HACCP dalam proses produksi daging babi di RPH untuk
meminimalkan kontaminasi bakteri Yersinia pseudotuberculosis yang termasuk
dalam jenis bahaya biologis, dimulai dengan analisis bahaya pada tiap proses
produksi daging babi tersebut. Hampir seluruh rangkaian proses produksi daging
babi diduga dapat menjadi sumber kontaminasi Yersinia pseudotuberculosis.
Proses produksi dimulai dari kedatangan babi ke RPH. Bahaya yang dapat
diidentifikasi pada proses tersebut adalah bahaya biologis akibat mikroorganisme
patogen yang terdapat dalam tubuh babi. Bahaya tersebut bisa muncul karena babi
dalam keadaan sakit ketika dikirim ke RPH atau babi yang dikirimkan menjadi
reservoir dari suatu penyakit. Babi merupakan reservoir dari Yersinia
pseudotuberculosis, sehingga kondisi tersebut menjadi sebab mengapa daging
babi merupakan sumber foodborne disease akibat Yersinia pseudotuberculosis

5
(Manitoba, 2012). Bahaya kimia dapat diidentifikasi juga seperti residu antibiotik
dan obat-obatan seperti hormon.
Proses produksi berikutnya adalah pemingsanan dan pengeluaran darah.
Pada proses produksi tersebut bahaya yang dapat diidentifikasi adalah bahaya
biologis akibat kemungkinan adanya patogen dalam darah babi yang dapat
mengontaminasi karkas. Bahaya fisik juga dapat muncul berupa fragmen tulang
akibat pemingsanan secara mekanis, meski bahaya tersebut sangat jarang terjadi.
Proses produksi selanjutnya adalah pengulitan dan penghilangan rambut. Bahaya
yang dapat diidentifikasi adalah bahaya patogen yang berasal dari
mikroorganisme pada kulit babi. Bahaya fisik dan kimia tidak teridentifikasi pada
proses pengulitan dan penghilangan rambut. Proses produksi selanjutnya adalah
pemisahan kepala dan eviscerasi. Bahaya yang dapat diidentifikasi pada proses
tersebut adalah bahaya biologis terutama patogen yang berasal dari saluran
pencernaan. Proses eviscerasi merupakan sumber terbesar kontaminasi bakteri
Yersinia pseudotuberculosis pada daging babi di RPH. Sumber kontaminasi
Yersinia pseudotuberculosis lainnya berasal dari tonsil, sehingga terdapat
penelitian bahwa pengambilan saluran pencernaan dan tonsil secara hati-hati agar
tidak mengenai karkas, dapat menurunkan prevalensi kontaminasi Yersinia
pseudotuberculosis pada daging babi dari 1-11% menjadi 0-2% (Ranta et al.,
2010).
Proses produksi berikutnya adalah pemotongan karkas, penimbangan serta
pemeriksaan akhir postmortem. Bahaya yang dapat diidentifikasi adalah bahaya
biologis yang berasal dari kemungkinan adanya feses, ingesta serta cairan susu
atau cairan tubuh yang berpotensi sebagai sumber kontaminasi patogen seperti
Yersinia pseudotuberculosis. Proses produksi berikutnya merupakan
penyemprotan dengan larutan asam organik pada karkas. Meski tidak semua RPH
melakukan proses tersebut, penyemprotan larutan asam organik bertujuan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri yang tertinggal pada karkas. Bahaya yang
dapat diidentifikasi pada proses tersebut adalah bahaya biologis akibat patogen
yang masih tetap dapat tumbuh pada karkas karena penyemprotan yang tidak
benar atau larutan asam organik yang digunakan tidak sesuai. Proses produksi
terakhir adalah penyimpanan dalam ruang berpendingin. Pada proses tersebut,
bahaya biologis dapat diidentifikasi dan umumnya berasal dari patogen yang
mampu bertahan pada suhu dingin.

Mengidentifikasi CCP
Prosedur identifikasi CCP pada tiap proses produksi daging babi di RPH
didasarkan dari analisis bahaya yang terdapat pada tiap proses produksi. Hasil
analisis bahaya tersebut kemudian dimasukkan dalam CCP Decision Tree. CCP
Decision Tree merupakan rangkaian pertanyaan sistematis mengenai bahaya yang
muncul pada tiap proses produksi untuk menentukan CCP-nya. Berikut ini adalah
contoh CCP Decision Tree untuk produksi daging babi di RPH.

6
Gambar 2. CCP Decision Tree (diadaptasi dari Horchner dan Pointon, 2011)

Berdasarkan CCP Decision Tree tersebut, maka didapatkan tiga CCP pada
proses produksi daging babi di RPH untuk meminimalkan kontaminasi Yersinia
pseudotuberculosis. Ketiga CCP tersebut adalah:
- Pemeriksaan akhir postmortem
- Penyemprotan larutan asam organik
- Pendinginan

Penerapan Langkah HACCP Lainnya terhadap CCP yang Teridentifikasi


Langkah selanjutnya setelah CCP teridentifikasi adalah penetapan batas
kritis untuk setiap CCP tersebut. Biasanya batas kritis untuk bahaya biologis,
kimia dan fisika untuk setiap jenis produk berbeda satu sama lainnya. Kemudian
dilakukan penyusunan prosedur pemantauan untuk mengetahui apakah suatu CCP
dalam keadaan terkendali. Umumnya terdapat empat hal yang perlu diperhatikan
untuk memantau CCP. Empat hal tersebut adalah objek berkaitan dengan proses
produksi yang terdapat CCP, prosedur pemantauan, frekuensi dilakukan pemantauan
serta personel yang bertanggung jawab. Lalu jika dari hasil pemantuan (monitoring)
ternyata menunjukkan telah terjadi penyimpangan terhadap CCP dan batas kritisnya,
maka harus dilakukan tindakan koreksi (corrective action) atau perbaikan dari
penyimpangan tersebut. Semua contoh sederhana langkah yang telah disebutkan
terangkum pada Tabel 1 berikut ini.

7
Tabel 1.CCP, batas kritis, prosedur pemantauan dan tindakan koreksi di RPH

Langkah selanjutnya adalah menentukan prosedur verifikasi yang mencakup


berbagai kegiatan evaluasi terhadap rancangan dan penerapan HACCP. Kegiatan
evaluasi tersebut dapat pula digunakan sebagai informasi tambahan dalam
memberikan jaminan bahwa program HACCP telah terlaksana dengan baik. Langkah
terakhir adalah pencatatan (recording) serta pendokumentasian dalam penerapan
HACCP. Pencatatan dan pendokumentasian yang dilakukan tepat dan sesuai dengan
sistem HACCP, maka dapat diartikan bahwa keefektifan sistem dokumentasi HACCP
dapat diuji atau dibuktikan. Contoh prosedur verifikasi serta pencatatan penerapan
HACCP terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2.CCP, batas kritis, tindakan verifikasi dan pencatatan di RPH

8
Penentuan CCP serta langkah-langkah selanjutnya yang diaplikasikan pada
CCP dapat berbeda-beda antar RPH. Hal tersebut dapat dikarenakan perbedaan
kondisi pada masing-masing RPH, perbedaan proses produksi daging babi pada
masing-masing RPH serta perbedaan hasil analisis antar tim HACCP yang dibentuk
pada masing-masing RPH. Namun demikian, tujuan utama dari penerapan HACCP
tetap sama, yakni untuk mencegah tersebarnya foodborne disease serta penjaminan
keamanan pangan pada produk daging babi terutama dari ancaman Yersinia
pseudotuberculosis.

PENUTUP

Penerapan HACCP dengan baik di RPH akan dapat meminimalkan


kontaminasi Yersinia pseudotuberculosis pada proses produksi daging babi.
Kontaminasi pada daging babi selama proses produksi daging babi di RPH
dicegah melalui penentuan CCP serta pelaksanaan langkah selanjutnya yang
diaplikasikan pada CCP tersebut. Selain memberikan keuntungan pada konsumen
karena bahan pangan yang mereka inginkan dalam keadaan terjamin keamanan
dan kualitasnya, penerapan HACCP dapat pula memberikan keuntungan pada
pelaku usaha karena dapat mencegah kerusakan atau penurunan kualitas dan
keamanan produknya akibat kontaminasi patogen seperti Yersinia
pseudotuberculosis sehingga memberikan keuntungan yang lebih pada pelaku
usaha produsen daging babi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anses. 2012. Yersinia enterocolitica, Yersinia pseudotuberculosis. Dalam Data


Sheet on Foodborne Biological Hazards, Februari 2012
Brady, M.F., dan F. Anjum. 2019. Yersinia Pseudotuberculosis. Dalam StatPearls,
Treasure Island: StatPearls Publishing diunduh dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430717
Canadian Food Inspection Agency [CFIA]. 2014. HACCP Generic Model: Swine
Slaughter. Ontario
Gebru, G. dan T. Gebretinsae. 2018. Evaluating the Implementation of Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP) in Small Scale Abattoirs of
Tigray Region, Ethiopia. Food Protection Trends 38(4): 250–257
Horchner, P.M. dan A.M. Pointon. 2011. HACCP-Based Program for on-Farm
Food Safety for Pig Production in Australia. Food Control 22: 1674-1688
Kementerian Pertanian [Kementan]. 2018. Statistik Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Jakarta: Kementerian Pertanian
Kusumaningsih, A. 2010. Beberapa Bakteri Patogenik Penyebab Foodborne
Disease pada Bahan Pangan Asal Ternak. Wartazoa 20(3): 103-111
Laukkanen, R., J. Ranta, X. Dong, M. Hakkinen, P.O. Martinez, J. Lund´en, T.
Johansson dan H. Korkeala. 2010. Reduction of Enteropathogenic Yersinia
in the Pig Slaughterhouse by Using Bagging of the Rectum. J Food Prot
73:2161–8
Laukkanen‐Ninios, R., M. Fredriksson‐Ahomaa, dan H. Korkeala. 2014.
Enteropathogenic Yersinia in the Pork Production Chain: Challenges for

9
Control. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 13:
1165-1191
Manitoba. 2012. Communicable Disease Management Protocol – Yersiniosis.
Diunduh dari www.manitoba.ca
Martinez, P.O. 2010. Prevalence of Enteropathogenic Yersinia in Pigs from
Different European Countries and Contamination in the Pork Production
Chain. ISBN 978-952-10-6393-0
Ranta, J., K. Siekkinen, L. Nuotio, R. Laukkanen, S. Hellstr¨om, H. Korkeala dan
R. Maijala. 2010. Causal Hidden Variable Model of Pathogenic
Contamination from Pig to Pork. Stat Model 10(1):69–87
Saleh, E.A., S. El-Shehemy, M.A. Ayoub, Safaa, H. Gorbal dan A.K.A. Hozyen.
2015. Application of Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
in Egyptian Slaughter Houses to Obtain High Quality Meat. Global
Veterinaria 14(3): 297-303
World Health Organization [WHO]. 2015. Estimates of the Global Burden of
Foodborne Diseases. Diunduh dari http://www.who.int

10

Anda mungkin juga menyukai