Anda di halaman 1dari 15

AKHLAK DAN SPIRITUAL DI ERA MODERN

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

1.2 PERUMUSAH MASALAH


Dalam pembahasan mengenai akhlak dan spiritual di era modern, penulis
merumuskan beberapa permasalahan yang akan menjadi pembahasan antara
lain:
1. Apa yang dimaksud dengan akhlak?
2. Apa yang dimaksud dengan spiritual?
3. Bagaimana akhlak di era modern?
4. Bagaimana contoh-contoh spiritual di era modern??

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak

Sebagaimana disebutkan oleh Drs. M. Yatimin Abdullah, M.A, menurut


bahasa (etimologi), akhlak ialah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi
pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Dalam bahasa Yunani, pengertian
khuluq ini disamakan dengan kata ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan,
perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos
kemudian berubah menjadi etika.

Sedangkan dari sudut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat,


namun intinya sama yaitu tentang perilaku manusia. Pendapat-pendapat ahli
tersebut dihimpun sebagai berikut:
- Imam Al-Ghazali mengatakan akhlak ialah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan gampang
dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
- Farid Ma’ruf mendefinisikan akhlak sebagai kehendak jiwa manusia
yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa
memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.
- M. Abdullah Darraz, mendifinisikan akhlak sebagai suatu kekuatan
dalam kehendak yang mantap, kekuatan berkombinasi membawa
kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (akhlak baik) atau
pihak yang jahat (akhlak buruk)
- Ibn Miskawaih (w.1030 M) mendifinisikan akhlak sebagai suatu
keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang berbuat dengan mudah
tanpa melalui proses pemikiran atau pertimbangan (kebiasaan hari-hari).

Jadi, pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi
atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian. Dari sini,
timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan
tanpa memerlukan pikiran.

Dapat dirumuskan bahwa akhlak ialah ilmu yang mengajarkan manusia


berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat dalam pergaulannya dengan Tuhan,
manusia, dan makhluk sekelilingnya.1

Adapun pengertian akhlak Islam dapat diartikan sebagai akhlak yang


berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada
di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat.

Dengan demikian, akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan


mudah, disengaja, mendarah daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran

1
Drs. M. Yatimin Abdullah, M.A, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Quran, (Jakarta, AMZAH,
Februari 2007, cet. 1) hlm. 2-4
Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islai juga bersifat
universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak Islam yang universal ini
diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial yang
terkandung dalam ajaran etika dan moral.

Dengan kata lain, akhlak Islami adalah akhlak yang di samping mengakui
adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai
yang bersifat lokal dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai universal itu.
Menghormati kedua orang tua misalnya adalah akhlak yang bersifat mutlak dan
universal. Sedangkan bagaimana bentuk dan cara menghormati kedua orang tua
dapat dimanifestasikan oleh hasil pemikiran manusia yang dipengaruhi oleh
kondisi dan situasi dimana orang yang menjabarkan nilai universal itu berada.
Bagi orang Jawa misalnya menghormati kedua orang tua dengan cara sungkem
sambil menggelesor di lantai. Bagi orang Sunda, menghormati orang tua dengan
cara mencium tangannya. Dan, menurut orang Sumatera, menghormati kedua
orang tua dengan cara memeliharanya hidup bersama dengan anaknya.
Selanjutnya bagi orang Barat berbuat baik kepada kedua orang tua mungkin
dilakukan dengan memberikan berbagai fasilitas hidup dan sebagainya.2

2. Pengertian Spiritual

Menurut kamus webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa
latin “spiritus” yang berarti napas dan kata kerja “spairare” yang berarti untuk
bernafas, dan memiliki nafas berarti memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti
memiliki sifat lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan
dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan
kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup.
Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa kata "spiritual" itu diambil dari
bahasa Latin, Spiritus, yang berarti sesuatu yang memberikan kehidupan atau

2
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 147-148.
vitalitas. Dengan vitalitas itu maka hidup kita menjadi lebih "hidup". Spiritus ini
bukan merupakan label atau identitas seseorang yang diterima dari atau diberikan
oleh pihak luar, seperti agama, melainkan lebih merupakan kapasitas bawaan
dalam otak manusia. Artinya, semua manusia yang lahir ke dunia ini sudah
dibekali kapasitas tertentu di dalam otaknya untuk mengakses sesuatu yang paling
fundamental dalam hidupnya. Jika kapasitas itu digunakan atau diaktifkan, maka
yang bersangkutan akan memiliki vitalitas hidup yang lebih bagus. Kapasitas
dalam otak yang berfungsi untuk mengakses sesuatu yang paling fundamental
itulah yang kemudian mendapatkan sebutan ilmiyah, seperti misalnya: Kecerdasan
Spiritual (SQ), Kecerdasan Hati (Heart Intelligence), Kecerdasan Transendental,
dan lain-lain.
Spiritualitas dalam makna yang luas, merupakan hal yang berhubungan
dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan
dengan tujuan hidup manusia. Salah satu aspek menjadi spiritual adalah memiliki
arah dan tujuan hidup, yang secara terus menerus meningkatkan kebijaksanaan
dan kekuatan berkehendak dari seseoranng, mencapai hubungan yang lebih dekat
dengan Tuhan. Dengan kata lain spiritualitas memberikan jawaban siapa dan apa
seseorang itu. Manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi akan
memiliki hubungan yang kuat dengan Allah, sehingga akan beradampak pula
kepada kepandaian dia dalam berinteraksi dengan manusia, karena dibantu oleh
Allah yaitu hati manusia dijadikan cenderung kepada Nya.3
3. Akhlak di Era Modern
Pada akhir abad kelima belas Masehi, Eropa mulai mengalami
kebangkitan dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ahli
bangsa Eropa termasuk Itali mulai meningkatkan keiatan dalam bidang filsafat
Yunani, ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Kehidupan mereka yang semula
terikat pada dogma Kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan
peran yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran. Segala sesuatu yang

3
Roisatun Nisa, Aspek Kecerdasan Spiritual dalam Perspektif Al-Qur’an, (Malang, UIN
Malik Ibrahim, Agustus 2009), hlm. 53-54.
selama ini dianggap mapan mulai diteliti, dikritik dan diperbaharui hingga
akhirnya mereka menerapkan pola bertindak dan berpikir secara liberal.
Di antara masalah yang mereka kritik dan dilakukan pembaharuan adalah
masalah akhlak. Penentuan patokan baik buruk yang semula didasarkan pada
dogma gereja diganti dengan penentuan baik buruk berdasarkan pandangan ilmu
pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman empirik.
Akhlak yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan menurut
kenyataan empirik dan tidak mengikuti gambaran-gambaran khayal atau
keyakinan yang terdapat dalam ajaran agama. Sumber akhlak yang semula ajaran
Al-Kitab dan dogma Kristiani dan khayalan mereka ganti dengan ajaran akhlak
yang bersumber pada logika dan pengalaman empirik. Hal yang demikian pada
gilirannya melahirkan apa yang disebut dengan etika dan moral yang berbasis
pada pemikiran akal pikiran.
Pandangan baru terhadap akhlak tersebut pada tahap selanjutnya mampu
mengubah konsep-konsep akhlak termasuk dalam menilai sesuatu yang baik dan
mulia. Keutamaan kedermawanan misalnya tidak lagi dianggap mempunyai nilai
yang tinggi sebagaimana yang terjadi pada abad pertengahan. Sementara masalah
keadilan menempati posisi sebagai akhlak yang mulia yang melampaui pandangan
abad selanjutnya.
Selanjutnya pandangan akhlak mereka diarahkan pada perbaikan yang
berkaitan dengan kehidupan para pemuda, wanita dan anak-anak dengan tujuan
agar mereka menjadi anggota masyarakat yang mandiri. Penyelidikan baru yang
mereka lakukan itu berjasa bagi penentuan patokan mengenai hak dan kewajiban
yang pada akhirnya melahirkan masyarakat yang bersifat individualistik, mandiri
dan inovatif.
Banyak tokoh pemikir akhlak yang lahir pada abad baru ini. Mereka itu di
antaranya adalah Descartes, Shafesbury dan Hatshon, Bentham, John Stuart Mill
Kant dan Bertrand Russel. Pemikiran akhlak telah banyak mereka kemukakan dan
tersebar dalam berbagai literatur mengenai etika, dan sebagian menjadi pedoman
hidup masyarakat Barat dan Eropa hingga saat ini.4
Sebagai contoh pemikiran akhlak era modern, marilah kita simak
pemikiran dari Bertrand Russel. Corak pemikiran akhlak yang dimajukan tokoh
ini bersifat materialistik. Menurutnya manusia bersifat materialistik, dan ia tidak
lebih dari wujud benda. Dengan dasar ini, maka ia mengingkari adanya perbuatan
yang ditujukan untuk kebaikan orang lain. Ia mengklaim bahwa perasaan
mencintai orang lain adalah kebohongan semata. Karena mencintai orang lain
tidak lebih sekadar dari basa-basi. Menurut Russel, pada dasarnya setiap orang
hanya menginginkan segala sesuatu untuk dirinya sendiri. Manusia tidak mungkin
melakukan perbuatan untuk orang lain.
Russel menolak adanya intuisi akhlaki dan keindahan esenial suatu
perbuatan. Menurut Russel, manusia tidak mampu memahami keindahan dan
keburukan pada perbuatan. Dia juga menolak keindahan dan keburukan roh.
Menurutnya, manusia sama sekali tidak mempunyai akal atau roh murni.
Jika diamati secara seksama, tampak pandangan akhlaki yang
dikemukakan Russel bercorak humanistik. Menurutnya, akhlak adalah senyawa
dengan kelicikan dan pandangan jauh yang dilatarbelakangi oleh tujuan mencari
keuntungan. Semua madzhab akhlaki memandang bahwa mencari keuntungan
berlawanan dengan akhlak, kecuali madzhab moral Russel. Menurutnya, akhlak
harus diwujudkan dalam rangka mencari keuntungan, akan tetapi mencari
keuntungan secara licik dan dengan pandangan yang jauh. Manusia yang hendak
memenuhi kepentingan individualitistiknya dengan pandangan jauh dan kelicikan,
tindakannya itulah yang dinamakan akhlak.
Selanjutnya Russel berpendapat bahwa akal berada di bawah kendali
naluri fisik. Akal adalah lentera bagi manusia, dan ia berada pada kendali
pemiliknya. Ke mana pun dia hendak pergi, lampu itu akan setia mengikutinya,
serta menerangi jalan yang akan ditempuhnya itu. Manusia menjadikan akalnya

4
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 81-82.
sebagai pelayan keuntungannya. Akal berkhidmat pada keuntungan dan
kepentingan manusia, yakni kepada kehendak materialitik yang diikuti manusia.
Pandangan akhlak yang terdapat dalam pemikiran Barat tersebut tampak
memperlihatkan coraknya yang amat sekuler, yakni memisahkan pandangan
akhlak tersebut dari agama atau wahyu Tuhan. Pandangan akhlak yang
dikemukakan para sarjana Barat itu sepenuhnya didasarkan pada pemikiran
manusia semata-mata.5

4. Spiritual di Era Modern

Salah satu aktifitas untuk meningkatkan spiritualitas di era modern adalah


dengan jalan bertasawwuf. Dr. H. Abdul Muhaya menukil dari beberapa pendapat
bahwa; Tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisis spiritual dengan beberapa
sebab. Pertama, tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai
perngalaman spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung
mengenai realitas-realitas ketuhanan yang cenderung menadi inovator dalam
agama. Pengalaman keagamaan ini memberikan sugesti dan pemuasan
(pemenuhan kebutuhan) yang luar biasa bagi pemeluk agama.

Kedua, kehadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dan dapat


menimbulkan keyakinann yang sangat kuat. Perasaan-perasaan mistik, seperti
ma’rifat, ittihad, hulul, mahabbah, uns, dan lain sebagainya mampu menjadi
moral force bagi amal-amal shalih. Dan selanjutnya amal shalih akan
membuahkan pengalaman-pengalaman mistis yang lain dengan lebih tinggi
kualitasnya. Nabi Muhammad bersabda bahwa: Apabila seorang hamba mendekat
kepada Allah melalui ibadah sunnah (nawafil), maka Allah akan mendekat
kepadanya. Jika ia mendekat sejengkal, maka Dia akan mendekat sehasta, bila ia
mendekat sehasta, maka Dia akan mendekat sedepa. Dan bila ia mendekat dengan

5
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 86-88.
berjalan kaki, maka Dia akan mendekatinya dengan segera. (Ibn Hajar, 1390, xiii,
384).

Ketiga, dalam tasawuf, hubungan seorang dengan Allah dijalin atas rasa
kecintaan. Allah bagi sufi, bukanlah Dzat yang menakutkan tetapi Dia adalah Dzat
yang sempurna, Indah, Penyayang, Kekal, Al-Haqq, serta selalu hadir kapan pun
dan dimana pun. Oleh karena itu, Dia adalah dzat yang paling patut dicintai dan
abadi. Hubungan yang mesra ini akan mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu yang baik, lebih baik bahkan yang terbaik, inti dari ajaran tobat (al-
Qusyairi, 1957, 47; al-Hujwiri, 1980, 539). Di samping itu hubungan tersebut juga
dapat menjadi moral kontrol atas penyimpangan-penyimpangan dan berbagai
perbuatan yang tercela. Sebab, melakukan hal yan tidak terpuji berarti menodai
dan menghianati makna cinta mistis yang telah terjalin, karena Sang Kekasih
hanya menyukai yang baik saja. Dan manakala seseorang telah berbuat sesuatu
yang positif saja, maka ia telah memelihara, membersihkan, menghias spirit yang
ada dalam dirinya.

Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti dari ajaran tasawuf dapat
mendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkan kebutuhan-
kebutuhan spiritualitasnya. Sebab, menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat
bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki Allah. Di samping itu, hubungan
perasaan mistis dan berbagai pengalaman spiritual yang dirasakan oleh sufi juga
dapat menjadi pengobat, penyegar, dan pembersih jiwa yang ada dalam diri
manusia.6

Sementara itu, Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A mengatakan: Tasawuf
merupakan wujud dari hadits Nabi saw tentang ihsan yakni, “Beribadah kepada
Allah seakan-akan melihat-Nya, namun apabila Anda tidak mampu, maka
hendaknya diketahui bahwa Dia melihat kepada Anda.” Dengan landasan ihsan

6
Prof. DR. HM. Amin Syukur, MA dan DR. Abdul Muhayya, MA, Tasawuf dan Krisis,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, April 2001, cet 1), hlm. 24-26.
ini, selanjutnya tasawuf mengandung makna ibadah dengan penuh keikhlasan dan
kekhusyukan, penuh ketundukan dengan cara yang baik. Dengan kata lain,
menurut Annemarie Shcimmel, pelaksanaan ihsan atau tasawuf berarti
“pembatinan” (interiorization) Islam.

Dengan pembatinan itu berarti melaksanakan ajaran Islam secara sempurna.


Sebab, seseorang harus merasakan setiap saat ia berada di hadapan Tuhan, dia
harus selalu berlaku penuh hormat dan puja, jangan sampai terjerumus lagi ke
dalam “lelap dalam kelalaian” dan tak pernah melupakan kehadiran Ilahi yang
merengkuh segalanya.

Maka ihsan atau tasawuf meliputi semua tingkah laku, baik tindakan lahiri
maupun batini, dalam ibadah maupun mu’amalah. Sebab ihsan atau tasawuf
adalah jiwa atau roh dari Iman dan Islam. Iman sebagai fondasi yang ada pada
jiwa seseorang dari hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan.

Perpaduan antara iman dan Islam pada diri seseorang akan menjilma dan
menjiwai pribadi dalam bentuk akhlak al-karimah sebagaimana dinyatakan Allah
dalam Al-Qur’an surat Luqman (31): 22 yang artinya: Barangsiapa yang
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedan dia orang yang berbuat kebaikan
(muhsin) maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada tali yang kokoh .... “

Di sini ada nuansa penghayatan terhadap akidah dan ibadah. Penghayatan


terhadap ibadah ini menurut Al-Maududi akan menghasilkan buah segar, karena
dia mengumpamakannya bagaikan pohon dengan akarnya. Penjelasan ini
menegaskan betapa pentingnya keimanan yang mewujud dalam perilaku ibadat,
baik dalam pengertian sempit (ibadat mahdlah/khusus) maupun luas (ibadah
ghairu mahdlah) yang tercermin dalam aktivitas hidup yang bermoral dalam
kehidupan orang Muslim. Di sini letak manfaat tasawuf.7

7
Prof. DR. H.M. Amin Syukur, M.A, Tasawuf Kontekstual, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
Maret 2012, Cetakan 2) hlm. 86-87.
Salah satu contoh spiritualitas pada era modern bisa kita lihat pada Jamaah
Tarekat Naqsabandiyah Surau Nurul Amin – Surabaya – Jawa Timur. Marilah kita
simak keberadaan tarekat ini sebagai berikut:
Ada beberapa cabang atau aliran tarekat Naqsabandiyah, seperti:
Qadiriyah Naqsabandiyah, Naqsabandiyah Khalidiyah, Naqsabandiyah
Samaniyah dan Naqsabandiyah Mazhariyah. Salah satu dari tarekat
Naqsabandiyah yang cukup banyak pengikutnya adalah Tarekat Naqsabandiyah
Khalidiyah yang dikembangkan oleh Prof. DR. Kadirun Yahya, Msc (dikenal
dengan sebutan Syeikh Kadirun, yang sekaligus sebagai mursyid).
Tarekat Naqsabandiyah yang dikembangkan oleh Syeikh Kadirun
tergolong unik, lain daripada yang lain. Dikatakan unik, karena Naqsabandiyah
termasuk tarekat konversional, namun Kadirun menyebut sebagai tarekat modern
dengan ciri khasnya adalah metafisika ilmiah. Metafisika sebagai ilmu pasti,
dimana dalam menjelaskan masalah-masalah keagamaan disertai dengan contoh-
contoh yang merujuk pada ilmu fisika. Keunikan lainnya adalah kemampuan
supranatural yang dimiliki oleh Syeikh Kadirun yaitu dengan metode metafisika-
eksakta yang dikembangkannya Syeikh Kadirun mampu menerapkan dan
menyalurkan tenaga Ilahiyah.
Tarekat Syeikh Kadirun pada awalnya didirikan di Medan, yaitu di
kampus Universitas Panca Budi yang sekaligus merupakan surau (asal rumah
suluk). Pada perkembangan selanjutnya, Syeikh Kadirun mengembangkan ajaran-
ajarannya dengan mendirikan surau di berbagai daerah. Di antaranya adalah surau
Mujibul Amin di Samarinda, surau El-Amin di Pekan Baru, surau Abdul Amin di
Padang, surau Qutubul Amin Arco di Bogor, surau Baitul Amin di Sawangan,
surau Nurul Amin di Surabaya, surau Akhlaqul Amin di Mataram, surau Ghausil
Amin di Jember dan surau Saiful Amin di Yogyakarta.
Pengikut tarekat modern Syaikh Kadirun cukup beragam, mereka berasal
dari kalangan petani, buruh, hingga kalangan menengah ke atas. Kelompok sosial
yang belakangan ini memang sedang disorot, dimana saat ini kalangan menengah
dan atas tengah gandrung pada agama terutama tasawuf dan tarekat. Bergabung
dalam satu tarekat ini seolah menjadi tren.
Sementara itu, di daerah Surabaya dalam gelapnya dunia modern, ada satu
kesempatan yang justru muncul dari kesadaran dan sekaligus kekecewaan. Sadar
ketika dunia ruhani yang selama ini dianut oleh kalangan beragama, khususnya
umat Islam, bahwa nilai-nilai agung dan luhur, selama berpuluh tahun terlantarkan
begitu saja. Karena mereka terlibat dalam keasyikan politik, intelektualisme, dan
perdebatan yang mengarah pada emosi. Bahkan apa yang disebut dengan gerakan
ruhani melalui tasawuf, malam terasing dalam gundukan sejarah Islam sendiri.
Islam (yang sebenarnya) menjadi asing di tengah-tengah pemeluknya sendiri.
Begitu pula para penempuh jalan sufi, di kalangan masyarakat muslim pada
umumnya dianggap nyeleneh (dalam bahasa Jawa artinya berbeda dengan yang
ada pada umumnya).
Begitu juga dengan para pengikut (penempuh jalan sufi) di tarekat
Naqsabandiyah Khalidiyah, adalah mereka yang kecewa terhadap kehidupan
modern. Kekecewaan ini sebagai akibat dari ketidak puasan terhadap ajaran
agama yang selama ini diamalkan dan kesalahan/kekurangan para pendidik agama
(orang tua, guru agama, kyai, ustadz dan lain-lain) yang hanya terpaku pada aspek
ritual formal. Menurutnya, agama tidak akan pernah selesai dengan formalisme
keagamaan belaka, tanpa mencapai tujuan makrifat kepada Allah. Seperti dalam
ibadah shalat, sebelum mengikuti ajaran sufi, selama ini mereka menjalankan
shalat hanya dirasakan sebatas pada gerakan jasmani saja, tidak merasakan
kekhusyukan beribadah serta manfaat dalam kehidupan sehari-hari.8
Pada awal mengikuti kehidupan tasawuf, banyak tantangan yang dihadapi,
baik dari keluarga maupun dari lingkungan sekitar. Bahkan ada orang tua yang
melarangnya, dan berpandangan bahwa tarekat adalah suatu aliran yang tidak
diajarkan Islam. Orang tua menganjurkan, dalam beribadah hendaknya seperti
yang telah diajarkan selama ini dan dilakukan oleh orang Islam pada umumnya.
Setelah mengikuti orientasi dan kegiatan rituai (zikir) melalui suluk,
mereka merasakan sesuatu yang selama ini tidak pernah diperolehnya.

8
Prof. Marzani Anwar, Sufi Perkotaan, (Jakarta, Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama, 2007, cet 1), hlm. 6-7
Kehidupannya menjadi tenang dan bisa merasakan shalat yang sesungguhnya
yaitu dengan penuh kekhusyukan. Di samping manfaat-manfaat lain ataupun
peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak bisa dan tidak perlu untuk diungkapkan.
Kaitannya dengan modernitas. Modernitas itu muaranya materialistik dan
ujungnya lagi lebih ke sekuler. Akhirnya terjadi kontradiksi antara modernitas
dengan sufisme itu. Masalahnya kehidupan ini tidak bisa menghindari modernitas.
Karena perlu ada keterpaduan antara fungsi sufisme dan modernitas. Modernitas
sesungguhnya tidak bertentangan dengan sufi, sebab manusia terdiri dari jiwa dan
raga. Sufisme harus menjadi pembimbing modernitas. Sufi akan mengembalikan
jiwa menguasai materi, bukan sebaliknya justru jiwa dikuasai oleh materi. Dan
bagaimana memanusiakan nilai-nilai ketuhanan itu menyatu dalam diri manusia.
Jika kita bicara modernitas tidak akan lepas dari rasionalitas, efesiensi,
demokrasi, pengakuan pada pluralisme dan hak asasi manusia. Semua itu tidak
bertentangan dengan tasawuf. Manusia terdiri dari jiwa dan raga, maka kebutuhan
akan hal-hal yang sifatnya material juga harus dipenuhi. Dalam rangka memenuhi
yang material seharusnya sufisme berfungsi. Artinya, kebutuhan materi manusia
dapat diatur oleh etika atau moral itu.
Menurut tasawuf, dunia sebagai sarana bukan tujuan. Oleh karena itu, agar
sufisme bisa menjadi jalan keluar menghadapi tantangan modernitas, para
pemeluk sufi jangan lagi berperilaku ekslusif atau memisahkan diri dari
modernitas. Sebab modernitas sendiri tidak bisa dihindari atau merupakan sebuah
keniscayaan. Karena itu harus ada upaya sebagaimana mengembalikan fungsi
dunia sebagai alat bukan sebagai tujuan.
Jika ada sebagai muslim berupa membuat garis peisah antara sufi dengan
modernitas. Artinya, penganut sufi tidak mau peduli dengan modernitas, karena
itu bentuk penyelewengan. Pendapat itu merupakan kekeliruan besar, karena
modernitas tak bisa dihindari dan manusia tidak dapat membendung
kehadirannya. Yang perlu dilakukan para penganut tasawuf (penempuh jalan
spiritual) tetap terlibat dalam kehidupan modern (menghanyutkan) tetapi tidak
terhanyut (kebablasan).9

9
Prof. Marzani Anwar, Sufi Perkotaan, (Jakarta, Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama, 2007, cet 1), hlm. 6-12.
BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. DR. H.M. Amin Syukur, M.A, Tasawuf Kontekstual, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, Maret 2012, Cetakan 2).
2. Roisatun Nisa, Aspek Kecerdasan Spiritual dalam Perspektif Al-
Qur’an, UIN Malik Ibrahim Malang, Agustus 2009.
3. Drs. M. Yatimin Abdullah, M.A, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Quran,
(Jakarta, AMZAH, Februari 2007, cet. 1)
4. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2011).
5. Prof. DR. HM. Amin Syukur, MA dan DR. Abdul Muhayya, MA, Tasawuf dan
Krisis, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, April 2001, cet 1)
6. Prof. Marzani Anwar, Sufi Perkotaan, Penerbit: Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama – Jakarta, cet 1, Tahun 2007, halaman 6-12.
7. Abdurrrahman Hasan Al-Midani, Al-Akhlak Al-Islamiyyah wa
Ususuha, Darul Qalam – Damaskus, cetakan ke 5.
8. Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha Kama Yuqarriruhu Ulama As-Salaf,
DR. Ahmad Farid, Tahqiq: Majid bin Abu Al-Lail, Darul Qalam,
Beirut – Libanon, Cet 1, 1405 H/1985 M.

Anda mungkin juga menyukai