Anda di halaman 1dari 14

Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

Konsep Penataan Permukiman Bantaran Sungai di Kota


Banjarmasin berdasarkan Budaya Setempat
Betty Goenmiandari1) Johan Silas2) Rimadewi Supriharjo3)

Abstrak

Kondisi geografis yang berawa dan sejarahnya menjadikan sungai sebagai pusat
pertumbuhan, jalur pergerakan ,sumber kehidupan, orientasi hidup dan identitas diri bagi
masyarakat Banjarmasin, yang disebut. budaya sungai. Meningkatnya jumlah penduduk dan
pertumbuhan kota,menyebabkan budaya sungai di permukiman bantaran sungai mengalami
pergeseran dan mulai kehilangan kekhasannya berupa penurunan hingga kerusakan
lingkungan karena berubahnya orientasi masyarakat dari sungai ke daratan, padahal
sungai/air masih besar peranannya bagi kehidupan warga.. Penelitian bertujuan untuk
memperoleh konsep penataan permukiman bantaran sungai di kota Banjarmasin berdasarkan
budaya setempat.
Penelitian dengan pendekatan rasionalistis dan merupakan penelitian deskriptif
kualitatif. Data diperoleh dari wawancara, observasi langsung dan penelitian terhadap
dokumen terdahulu. Teknik analisa deskriptif kualitatif digunakan untuk memperoleh kriteria-
kriteria penataan permukiman pinggir sungai di kota Banjarmasin yang kemudian
didialogkan dengan contoh permukiman pinggir sungai di daerah lain, dan pendapat pakar
dengan Analisa triangulasi yang menghasilkan konsep penataan.
Pasar terapung bukti bahwa kekhasan lokal masih eksis termasuk permukiman
pinggir sungai pada Kawasan Sungai Jingah Banjarmasin patut dipertahankan. Konsep
penataan yang dihasilkan meliputi pembenahan transportasi sungai, kegiatan ekonomi di
sungai, penataan ruang permukiman dan sanitasi serta pelestarian ekosistem, sehingga
kekhasan permukiman pinggir sungai, yaitu interaksi manusia dengan sungai dapat
dilestarikan

.
Kata Kunci— budaya sungai, penataan, permukiman bantaran sungai

1) Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Arsitektur FTSP ITS Surabaya Indonesia 60111, email:
goenmiandaribetty@yahoo.co.id
2) Jurusan Arsitektur FTSP ITS Surabaya Indonesia 60111
3) Jurusan Perencanaan Wilayah Kota FTSP ITS Surabaya Indonesia 60111

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 1


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

Concept of Local Culture Based Riverbank Settlement


Arrangement in Banjarmasin
Betty Goenmiandari1) Johan Silas2) Rimadewi Supriharjo3)

Abstract
Geographically Banjarmasin has marshy land that is play by many rivers. From the
city’s history, the river is the center of growth, circulation and the source of living as well as
life orientation and identity for the Banjar people. Community interaction and dependence on
the river are known as the river culture. Along with the city and population growth, the
cultural life of the people living along the river banks has begun to shift and to lose its
original identity. The environment around the settlements have undergone quality decrease
and worse of all environmental degradation due to community orientation shifting from river
to land base life,although river/water still plays an important role on the people’s life. This
research aims to formulate concept of settlement arrangements along river banks in
Banjarmasin, that refers to the local culture.
This study is an inductive and descriptive qualitative research. The data was obtained
by interview and questionnaire and direct observation as well as studying from the previous
documents. Qualitative descriptive analysis was used to obtain the factors that led to the river
settlers relation with water/river, the shifting patterns of the people’s life as a result of living
orientation changes as well as changes in the criteria of riverbanks settlement arrangement.
Meanwhile, triangulation analysis was used to formulate the concept of riverbanks settlement
arrangement. Three aspect were discussed : examples of riverbank settlement in other cities,
criteria of riverbank arrangements in Banjarmasin and expert opinions.
Floating market proves that local identities including river banks settlement at Sungai
Jingah area should be maintained. The result of this research, which is in the form of
riverbank settlements which cover river transportation arrangements, economic activities in
the river, settlement space arrangement, sanitation and ecosystem preservation, can be used to
present riverbank settlement characterictics including the people or human interaction with
river.

Key words: river culture, arrangement, riverbank settlements.

1) Postgraduate Student at Arsitektur Major FTSP ITS Surabaya Indonesia 60111, email:
goenmiandaribetty@yahoo.co.id
2) Arsitektur Major FTSP ITS Surabaya Indonesia 60111
3) Jurusan Perencanaan Wilayah Kota FTSP ITS Surabaya Indonesia 60111

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 2


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

I. PENDAHULUAN

Kota Banjarmasin sebagai kota tertua di Kalimantan terbentuk dari sebuah permukiman
tepi sungai di muara sungai Kuin yang akhirnya berkembang menjadi kerajaan Islam yang
terbesar di Kalimantan. Sebagai kota yang berbasis sungai didukung oleh kondisi geogafis
yang seluruh wilayahnya berada pada tanah rawa dan berada 16 cm dibawah permukaan laut
maka peranan sungai sangat penting bagi masyarakat Banjarmasin. Sungai merupakan pusat
pertumbuhan, jalur pergerakan dan prasarana transportasi utama sampai sekarang. Kegiatan
dan kehidupan berorientasi ke sungai sehingga hal ini disebut Budaya Sungai.
Budaya Sungai ditandai dengan adanya permukiman pinggir sungai, pasar terapung dan
jukung, serta interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Permukiman pinggir sungai yang
merupakan bagian dari budaya sungai ini adalah permukiman lama yang sebelumnya tumbuh
secara spontan di sepanjang sungai dan di pusat kota pada lokasi-lokasi perkampungan lama
seperti Kawasan Kuin, Sungai Jingah, Pasar Lama, Antasan, Pekapuran, Teluk Tiram, Teluk
Dalam, Belitung, Kampung Melayu, dan lainnya. Kawasan lama seperti ini dapat dimasukkan
kedalam kawasan cagar budaya, seperti bunyi Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya pasal 1 ayat 1dimana disebutkan bahwa benda yang dilindungi berupa
cagar budaya adalah benda buatan manusia atau benda alam , bergerak atau tidak bergerak
yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur
sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas yang dianggap
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan , dan kebudayaan. Sehingga kawasan
ini perlu dipertahankan dan ditata kembali untuk menampilkan kekhasannya sehingga dapat
dijadikan sebagai potensi daerah.
Seiring dengan pertumbuhan kota dan meningkatnya jumlah penduduk, Permukiman
baru berkembang tidak terkendali disepanjang sungai, sehingga beberapa sungai kehilangan
fungsinya dan menurun kualitas lingkungannya berupa pendangkalan, penyempitan,
menurunnya kualitas air sungai dan banyak sungai yang hilang tertutup hunian atau diuruk
untuk berbagai pembangunan. Budaya sungai yang merupakan ciri khas masyarakat sepanjang
sungai mengalami pergeseran diakibatkan oleh perubahan orientasi bermukim dari masyarakat
sungai menjadi masyarakat daratan sehingga mengakibatkan rusaknya lingkungan
permukiman di bantaran sungai
Penelitian ini penting dilakukan karena permukiman di bantaran sungai di Banjarmasin
sebagian besar adalah permukiman lama dan mayoritas telah berubah menjadi kawasan
kumuh. Penataan permukiman pada kawasan bantaran sungai yang mempunyai budaya dan
adat dimungkinkan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
pada pasal 6 ayat 2 yang yang menyatakan bahwa Penguasaan sumber daya air yang dikuasai
oleh negara tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa
dengan itu,
Permasalahan utama yang diangkat adalah bahwa permukiman di bantaran sungai yang
merupakan cikal bakal pertumbuhan kota Banjarmasin sudah mulai kehilangan kekhasannya
dan mengalami kerusakan lingkungan karena berubahnya orientasi masyarakat dari sungai ke
daratan, di satu sisi sungai/air masih besar peranannya dalam kehidupan warga

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 3


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan konsep penataan permukiman


bantaran sungai di kota Banjarmasin yang mengacu pada budaya setempat.dengan beberapa
sasaran , yaitu :
a. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan keterkaitan penghuni permukiman
pinggir sungai dengan sungai/ air
b. Mengidentifikasi penyebab pola perubahan pada kehidupan tepi sungai akibat
berubahnya orientasi bermukim.
c. Menyusun kriteria penataan permukiman pinggir sungai di kota Banjarmasin
d. Merumuskan konsep penataan permukiman pinggir sungai
Lingkup wilayah penelitian dilakukan di permukiman bantaran sungai Martapura di
kawasan Sungai Jingah
KAWASAN SEI
JINGAH
BANJARMASIN

P. SEBUKU
P. LAUT

BANJARMASIN

Gambar 1 Lokasi Penelitian

Manfaat yang bisa di berikan dari hasil penelitian ini adalah bagi ilmu pengetahuan
diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan bidang arsitektur, terutama
bidang perumahan permukiman khususnya permukiman tepi sungai. Sedangka bagi
pemerintah kota adalah sebagai masukan untuk menentukan kebijakan berkaitan dengan
permukiman pinggir sungai sebagai aset budaya khas kota Banjarmasin

II. KAJIAN TEORI

Menurut Rapoport (1980:9), para antropolog setuju bahwa inti dari ’Budaya’ adalah
kemanusiaan. Sedangkan Budaya itu sendiri didefinisikannya menjadi 3 maksud :
a. Budaya sebagai cara hidup yang khas (a way of life) dari kelompok tertentu.
b. Budaya sebagai suatu sistem simbol-simbol, arti dan kerangka pikir yang dikirim
melalui kode-kode simbolik.
c. Budaya sebagai satu set strategi-strategi beradaptasi untuk bertahan hidup dalam
hubungannya dengan ekologi dan sumber daya.
Ketiga definisi ini tidak bisa diartikan sendiri-sendiri tetapi harus saling melengkapi satu
sama lain.
Budaya Sungai menurut definisi di atas dapat diartikan sebagai cara hidup masyarakat
yang berada dekat dengan sungai, menjadikan sungai sebagai way of lifenya, sungai sebagai
tempat berkehidupan dan sungai membentuk karakter masyarakat yang akan tercermin dalam
kehidupan fisik, sosial dan ekonominya, Sedangkan cara beradaptasi dan bertahan hidup
dilakukan dengan cara menyesuaikannya dengan karakter sungai, kehidupan ekologi dan
sumber daya yang dimiliki sungai.
Rumah atau perumahan menurut Turner (1971:149) tidak hanya bisa diterjemahkan
sebagai kata benda, karena rumah akan berarti sebuah produk atau komoditi saja. Secara luas
rumah lebih diartikan sebagai kata kerja, karena rumah itu adalah suatu proses atau aktivitas

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 4


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

dalam berumah. Rumah adalah suatu proses yang terus berkembang sesuai mobilitas ekonomi
penghuninya dan tergantung pada tempat dan waktunya.
Menurut Newmark dan Thompson (1977 : 2) rumah mencerminkan dua
aspek, yaitu :
a. Aspek fisik, berupa bangunan rumah beserta lingkungannya, neighborhoods dan
lembaga-lembaga kemasyarakatannya.
b. Aspek lingkungan psikososial, berupa tempat yang spesial, mewadahi manusia
melakukan kegiatan pribadi dan bermasyarakat.
Sehingga dapat diartikan bahwa rumah tidak hanya sebuah bentuk fisik atau produk fisik
saja, tetapi lebih sebagai proses yang dilakukan oleh penghuni terhadap rumah itu sendiri.
Proses tersebut dipengaruhi oleh kondisi penghuni baik aspek ekonomi, pendidikan,
pekerjaan, tingkatan usia dan jumlah penghuninya serta komposisi jenis kelamin. Selain itu
rumah juga tidak berdiri sendiri, tetapi juga menyangkut lingkungan sekitarnya beserta
infrastrukturnya.
Rumah memenuhi beberapa kebutuhan manusia, seperti yang dikatakan oleh Maslow
dalam Newmark &Thompson (1954) bahwa ada lima hirarki dasar kebutuhan manusia, yaitu :
a. Physiological needs, bahwa rumah menyediakan perlindungan dari lingkungan
sekitarnya
b. Security or safety needs, menjelaskan bahwa pemagaran dan tempat penyimpanan
disediakan untuk persediaan makanan dan kebutuhan akan adat dan keagamaan.
c. Social needs, bahwa rumah adalah tempat untuk berinteraksi dengan keluarga dan
teman
d. Self esteem or ego needs, bahwa rumah bisa mencerminkan identitas penghuninya
e. Self actualization needs, bahwa rumah bisa sebagai jalan manusia untuk
mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya
Di dalam Sistem Permukiman, menurut Doxiadis (1968:35), permukiman adalah
paduan antara unsur manusia dan masyarakatnya, alam dan unsur buatan. Semua unsur
pembentuk permukiman tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi serta saling
menentukan satu dengan lainnya.
Lingkungan permukiman merupakan sistem yang terdiri dari lima elemen, yaitu :
a. Nature (unsur alam) , mencakup sumber-sumber daya alam seperti geologi, topografi,
hidrologi, tanah, iklim, dan unsur hayati seperti vegetasi dan fauna.
b. Man (manusia), mencakup segala kebutuhan pribadinya, seperti kebutuhan biologis,
emosional, nilai-nilai moral, perasaan dan persepsinya.
c. Society (masyarakat), manusia sebagai bagian dari masyarakatnya.
d. Shell (lindungan), tempat dimana manusia sebagai individu dan kelompok melakukan
kegiatan dan kehidupannya.
Network (jejaring), merupakan sistem alami atau yang dibuat manusia untuk
menunjang berfungsinya lingkungan permukimannya, seperti jalan, jaringan air bersih, listrik,
telepon, sistem persampahan dan lain sebagainya
Menurut Rapoport (1969) dalam bukunya House Form and Culture mengatakan
bahwa :
”The house, the village, and town express the fact societies share certain generally accepted
goals and life values. The environment sought reflects many socio-cultural forces, including religious
beliefs, family and clan structure, social organization, way of gaining livelihood, and social relation
between individuals”

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 5


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

Jadi perubahan rumah dan permukiman dipengaruhi oleh kekuatan sosial budaya, termasuk
agama, pola hubungan kekeluargaan, organisasi/ kelompok social, cara hidup dan beradaptasi
sehari-hari dan hubungan sosial antar individu.
Pola permukiman bantaran sungai umumnya adalah pola linier, karena berderet-deret
sepanjang pinggiran sungai mengikuti bentuk sungainya. Di kota Banjarmasin pola
permukiman pinggir sungainya juga berbentuk linear. Rumah- rumah dibangun menghadap ke
sungai dan pada tepian sungai terdapat dermaga yang dihubungkan dengan titian. Dermaga
digunakan untuk menambatkan perahu sebagai satu-satunya alat transportasi pada saat itu
serta digunakan sebagai sarana dalam memanfaatkan air sungai sebagai sumber air minum dan
sanitasi. (Daud, 1997). Permukiman ini tidak bisa meluas ke arah belakang dan depan karena
faktor alam (Daldjoeni dalam Atmojo,2002). Bagian depan terdapat aliran sungai sebagai
sisitem transpirtasi utama, sedangkan bagian belakang terdapat rawa-rawa yang selalu
tergenang. Sehingga permukiman pola perkembangannya adalah menyamping.
Keterangan :

: arah perkembangan perkim.

: arah orientasi rumah

: sungai
SUNGAI
: rumah

: kendala alam

Gambar 2. Pola permukiman tepi sungai di Banjarmasin


Sumber : Bulletin Arkeologi Naditira Widya (Atmojo, 2002)

III. METHODE

Karena penelitian ini mengkaji pergeseran budaya akibat lingkungan binaan dan
merumuskan sebuah konsep penataan maka proses penelitian dilakukan dengan pendekatan
rasionalistis dan dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Menurut buku Materi Dasar
Pendidikan Program Akta Mengajar V, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas
Terbuka, (1984/1985) penelitian deskriptif adalah penelitian untuk membuat pencandraan
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah
tertentu. Penulis dapat menjelaskan metode-metode atau sistem desain yang digunakan dalam
melakukan riset secara sistematis. Menurut Sevilla dkk (1993:91} bahwa tujuan utama
menggunakan penelitian deskreptif adalah untuk menggambarkan sifat dari suatu keadaan
yang ada pada waktu penelitian dilakukan dan menjelajahi penyebab dari gejala-gejala
tertentu.
Penelitian kualitatif menurut Basrowi dan Suwandi (2008:20) adalah penelitian yang
dilakukan berdasarkan paradigma, strategi dan implementasi model secara kualitatif dengan
ciri-ciri antara lain bahwa data yang dikumpulkan dalam kondisi asli dan alamiah, yang
dikumpulkan dan di deskriptifkan dalam bentuk tulisan dan gambar, bukan angka. Dalam hal
ini, peneliti adalah alat penelitian yang secara aktif melakukan pengamatan dan menggali
informasi melalui responden yang dipilih berdasarkan konteks penelitian.

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 6


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

Populasi yang akan diteliti adalah permukiman disepanjang bantaran sungai Martapura
di kawasan Sungai Jingah Banjarmasin.Data-data yang diperoleh menghasilkan data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara, angket questioner, observasi
langsung, foto-foto dan sketsa, sedangkan data sekunder diperoleh dari penelitian dokumen-
dokumen terdahulu, berupa laporan proyek, arsip rencana-rencana pengembangan, arsip peta
kawasan, data-data monografi kawasan.
Untuk mendapatkan konsep penataan permukiman pinggir sungai dilakukan analisa
berdasarkan sasaran yang dicapai, yaitu dengan :
1. Analisa Deskriptif Kualitatif bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta dan
karakteristik suatu populasi secara faktual dan cermat. Analisis ini digunakan untuk
menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan keterkaitan penghuni permukiman
pinggir sungai dengan sungai/ air, analisis pola perubahan pada kehidupan tepi sungai
akibat berubahnya orientasi bermukim dan analisis kriteria penataan permukiman
pinggir sungai di kota Banjarmasin.Data-data yang diperoleh selanjutnya dipilah-pilah
sesuai tema, kemudian disusun secara sistematis dan dibuat pola-pola yang dapat
menjawab permasalahan. Hasil yang diperoleh kemudian dideskripsikan agar mudah
dipahami. Analisis kriteria penataan permukiman pinggir sungai di kota Banjarmasin
akan diperoleh dari hasil analisis faktor-faktor keterkaitan penghuni permukiman
pinggir sungai dengan sungai dan analisis pola perubahan kehidupan tepi sungai
akibat perubahan orientasi bermukim.
2. Analisa Trianggulasi dipergunakan untuk merumuskan konsep penataan permukiman
pinggir sungai yang sesuai dengan budaya setempat. Analisa dilakukan dengan dialog
antara tiga sumber, yaitu; studi kasus permukiman pinggir sungai di kota lain, kriteria-
kriteria penataan permukiman pinggir sungai di kota Banjarmasin dan pendapat pakar
yang tertuang dalam RTRW kota Banjarmasin 2007

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Secara formal Banjarmasin dianggap berdiri 473 tahun yang lalu tepatnya 24 September 1526
ketika Pangeran Samudera menyatakan dirinya memeluk agama Islam dan berganti nama
menjadi Sultan Suriansyah. Tetapi sejarah awal mula timbulnya kota Banjarmasin sebenarnya
telah dimulai jauh sebelum peristiwa tersebut, yaitu berasal dari sebuah perkampungan orang-
orang Melayu di muara sungai Kuin, sebuah anak sungai Barito tepatnya pada tepian 5 anak
sungai yaitu; sungai Sipandai, sungai Sigaling, sungai Keramat, sungai Jagabaya dan sungai
Pangeran yang bertemu membentuk semacam danau kecil. Perkampungan itu bernama
Banjarmasih yang diperintah oleh Patih Masih yang nama sebenarnya tidak diketahui. Nama
Banjarmasih adalah sebutan orang Dayak Ngaju terhadap perkampungan tersebut, karena
dalam bahasa mereka ”Banjar” artinya deretan rumah, sedang ”Masih” adalah sebutan untuk
orang Melayu. Orang-orang yang tinggal di perkampungan itu disebut Oloh Masih.
Perkampungan ini tumbuh pesat sejak dijadikan sebagai pusat kerajaan oleh Pangeran
Samudera pada abad ke 16. Pangeran Samudera adalah raja terpilih yang diusir oleh
pamannya sendiri dari kerajaan Daha di Hulu Sungai Utara. Setelah meminta bantuan dari
wilayah lain di Kalimantan dan dari Kasultanan Demak di Jawa, maka Pangeran Samudera
berhasil menaklukkan kerajaan Daha dan mendirikan kerajaan Banjarmasih dengan cara
menaklukkan dan menguasai Bandar Muara Bahan, yaitu pelabuhan dan pusat perdagangan
kerajaan Daha yang terletak di daerah Bakumpai di pinggir sungai Barito. Pada 24 September

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 7


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

1526 Pangeran Samudera masuk Islam dan bergelar Sultan Suriansyah, dan momen ini
dianggap dan ditetapkan oleh masyarakat sebagai hari lahirnya kota Banjarmasin.
Dari kondisi geografis dan sejarah berdirinya kota, terlihat bahwa sungai merupakan
pusat pertumbuhan, jalur pergerakan dan prasarana transportasi utama pada waktu itu.
Kegiatan dan kehidupan masyarakat berorientasi ke sungai sehingga sungai mempunyai
peranan dan arti yang sangat penting bagi masyarakat Banjarmasin.
Jalan darat diperkenalkan pertama kali oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pembuatan
jalan darat ini dilanjutkan dengan memindah pemukiman penduduk ke pinggir jalan dengan
tujuan untuk mengawasi kegiatan penduduk dan mengantisipasi pemberontakan. Pada saat ini
dimana transportasi darat lebih berkembang, maka masyarakat lebih memilih model
transportasi ini dibandingkan dengan transportasi air. Hal ini ditunjang pula oleh pengertian-
pengertian yang mengatakan bahwa suatu daerah dianggap tertinggal atau terpencil bila
belum terhubungkan oleh transportasi darat.
Kawasan Sungai Jingah adalah kampung tua yang merupakan bagian dari sejarah
awal perkembangan kota Banjarmasin. Wilayahnya berada di pinggiran sungai Martapura
antara pertemuan sungai Antasan dengan sungai Martapura di daerah Pasar Lama sampai
pertemuan sungai Awang dengan sungai Martapura di daerah Banua anyar. Seperti
kebanyakan perkampungan-perkampungan lama di daerah Kuin, daerah Kawasan Sungai
Jingah ini perkampungan lamanya juga berada di sepanjang sungai. Seiring dengan
perkembangan kota perumahan mulai tumbuh di daerah daratan apalagi dengan dibangunnya
jalan darat. Menurut salah satu tokoh masyarakat di daerah ini yaitu Bapak Kamarul Zaman,
diperoleh informasi bahwa Kawasan Sungai Jingah dulunya adalah Kawasan pemukiman para
Bangsawan (istilah dalam bahasa Banjar adalah bubuhan Pegustian), terutama di daerah
Taluk, dan para pedagang. Ada banyak bukti sejarah yang ada di kawasan ini. Antara lain
masih banyak terdapat bangunan rumah kuno. Juga terdapat bangunan masjid tua yang
didirikan tahun 1777 yang bernama Masjid Jami (dulu bernama masjid Teluk Masjid)
Menurut kondisi existing serta RTRW 2007 kota Banjarmasin, kawasan ini
dipergunakan sebagai kawasan perumahan dan permukiman. Terdapat permukiman lama di
sepanjang tepi sungai Martapura yang tumbuh secara tradisional akibat dari poros transportasi
sungai dan tumbuh perumahan-perumahan baru baik yang terencana maupun swadaya di
bagian daratan akibat dari pembangunan jalan tembus (transportasi daratan). Perkembangan
permukiman dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain pertambahan penduduk, perubahan
pola permukiman, penggerak ekonomi kawasan, jalur transportasi dan lain sebagainya.

Gambar 3. Permukiman di Banjarmasin 1899


(sumber : www.kitlv.nl)

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 8


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

Pola permukiman terbentuk karena budaya yang menyangkut cara hidup, cara beradaptasi
dengan alam dan lingkungan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan. Pada awalnya pemukiman
di Kawasan Sungai Jingah berbentuk linear dengan arah orientasi kesungai. Bangunan
merupakan bangunan tradisional, kebanyakan berbentuk palimasan dan palimbangan, yaitu
rumah panggung dengan bentuk atap perisai dan pelana.
kolam kakus kolam kakus kolam kakus

Rumah Rumah Rumah

halaman halaman halaman

dermaga dermaga dermaga

Gambar 4. Pola permukiman awal


Sumber : sketsa pribadi berdasarkan wawancara, 2009

Pembahasan mengenai data data yang diperoleh dari wawancara dan observasi lang
sung setelah dianalisa secara deskriptif kualitatif menghasilkan faktor-faktor yang
menyebabkan keterkaitan penghuni permukiman pinggir sungai dengan sungai/ air adalah (1)
aktivitas transportasi sungai, hal ini dipengaruhi oleh pemenuhan sarana dan prasarananya, (2)
aktivitas ekonomi sungai dan termasuk di dalamnya sebagai sumber ekonomi, (3) aktivitas
mandi, cuci, kakus, dan persampahan (4) aktivitas sosial dan budaya, (5) kebutuhan akan
pemenuhan air bersih dan air minum. Namun pada saat ini faktor pengikat yang masih ada
adalah pada pemenuhan kebutuhan sanitasi dan penyediaan air bersih untuk mandi dan cuci.
Adaptasi masyarakat terhadap lingkungan sungai hanya sebatas pada proteksi
terhadap diri sendiri, tetapi tidak memperhitungkan akibat yang diterima oleh lingkungan
akibat dari adaptasi yang dilakukan. Contohnya adalah pembuatan rumah di pinggir sungai
dengan sistem panggung adalah adaptasi terhadap sungai yang terkait dengan keselamatan
pribadi. Tetapi dengan banyaknya rumah di pinggir sungai maka pohon dan tumbuhan sungai
yang berfungsi untuk menahan tebing sungai dan menyaring pulusi telah di babat habis.
Demikian pula dengan organisme air, terbukti dengan berkurangnya jumlah jenis ikan di
sungai, sehingga limbah hasil MCK tidak dapat ternetralisir. Tetapi dari hasil pengujian
dilaboratorium tentang kualitas air sungai yang masih berada antara kelas I dan kelas II
memberikan harapan bahwa kondisi kualitas air sungai masih bisa diperbaiki dengan
penanganan limbah yang tepat terutama limbah manusia.
Sedangkan bentuk permukiman tepi sungai mempunyai pola perubahan beberapa kali,
mulai timbulnya permukiman tersebut di abad 17 sampai dengan sekarang. Perubahan-
perubahan itu disebabkan oleh berbagai hal dengan analisa sebagai berikut:

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 9


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

kolam kakus kolam kakus kolam kakus

Rumah Rumah Rumah

halaman halaman halaman

titian

2 c a b
batang WC
titian

Jalur sirkulasi
Orientasi bangunan 1
Gambar 5. Perubahan pola permukiman dan orientasinya.
Sumber : Analisa, 2009

Selain Pola permukiman, juga dianalisa perubahan bentuk bangunan dan perubahan
kegiatan sosial budaya pada masyarakat yang menghasilkan faktor penyebab perubahan, yaitu
:
a. Bertambahnya jumlah rumah akibat dari pertambahan penduduk dan urbanisasi
b. Bertambahnya jalur sirkulasi
c. Keinginan memperoleh rumah yang layak dan kemudahan mendapatkan keperluan
kehidupan sehari-hari tanpa mengeluarkan biaya karena keterbatasan finansial
penghuni.
d. Berkurangnya minat untuk mempergunakan sarana transportasi sungai karena adanya
sarana transportasi lain dan kurangnya campur tangan pemerintah untuk membenahi
transportasi sungai.
Untuk menata suatu permukiman maka harus diperhatikan unsur-unsur di dalam permukiman
tersebut, karena menurut Doxiadis (1971) unsur-unsur pembentuk permukiman saling terkait
dan saling mempengaruhi satu sama lain. Unsur-unsur permukiman itu adalah alam, manusia,
kehidupan bermasyarakat, tempat berlindung dan sarana prasarana permukiman (networking)
Untuk memperoleh konsep penataan yang bercirikan budaya sungai maka diperlukan
faktor- faktor pengikat kehidupan tepi sungai dan faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan pola permukiman yang telah dibahas dalam analisis sebelumnya.Kedua faktor ini
dianalisa dengan dengan alat analisa unsur permukiman dari Doxiadis (1971) hingga
diperoleh beberapa kriteria penataan untuk menampilkan kekhasan pemukiman tepi sungai :

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 10


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

a. Menghidupkan transportasi sungai, meliputi penyediaan sarana dan prasarananya


b. Menghidupkan kegiatan ekonomi di sungai dengan cara meletakkan simpul-simpul
pasar diantara beberapa permukiman pinggir sungai
c. Menata permukiman dengan mempertimbangkan :
• Orientasi kawasan tertuju ke sungai
• Fasade bangunan ke arah sungai
• Aksesebilitas dua arah, dari sungai ke darat dan dari darat ke sungai
• Ada hubungan antara jalan darat beserta fasilitas publiknya dengan sungai
• Tampilan sungai terlihat dari daratan
d. Memperbaiki sanitasi lingkungan menggunakan teknik baru dengan masih
mempertimbangkan kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi dengan sungai
e. Menghentikan pertumbuhan permukiman baru di tepi sungai
f. Membongkar bangunan ilegal dan berumur kurang dari 50 tahun untuk dipindahkan
ke tempat lain atau diberikan solusi dengan permukiman lanting
g. Menjaga ekosistem sungai dengan cara mengendaikan :
• Sedimentasi sungai
• Kebersihan sungai
Perumusan konsep penataan permukiman pinggir sungai di kota Banjarmasin ini diperoleh
berdasarkan budaya sungai yang ada pada masyarakat Banjar. Menurut Singarimbun, 1989
dalam Rolalisasi, 2009, Konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan
atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan pada kelompok atau
individu tertentu. Agar tidak terjadi kesalahan pengukuran maka konsep perlu didefinisikan
dengan jelas, sebab konsep berperan sebagai penghubung antara teori dengan observasi,
antara abstraksi dengan realitas. Sehingga konsep penataan permukiman pinggir sungai di
kota Banjarmasin adalah kompilasi antara kriteria penataan permukiman tepi sungai yang
diperoleh dari budaya sungai dengan bentuk penataan pada beberapa kawasan tepi sungai di
daerah lain dan pendapat pakar yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Banjarmasin 2007. Proses kompilasi adalah dengan penyatuan substansi yang saling
berkesesuaian antara ketiganya yang disebut dengan analisa Trianggulasi. Hasil analisa
tersebut adalah :
1. Penataan Sistem Transportasi.
Transportasi sungai yang merupakan unsur utama dalam budaya sungai diperbaiki
meliputi sarana dan prasarananya dan dibuat jalur untuk angkutan publik seperti bis
air dan taksi air dan rute untuk angkutan wisata beserta promosinya. Pengembangan
sistem transportasi ini akan berpengaruh terhadap sistem ekonomi di sungai dan dapat
mengurangi biaya untuk infrastruktur jalan.
2. Penataan Kegiatan Ekonomi
Kegiatan ekonomi di sungai yang juga merupakan unsur utama budaya sungai
dikembangkan dengan meletakkan pasar tradisional pada simpul pertemuan sungai,
sehingga transportasi sungai akan bergairah kembali.
3. Penataan Pemukiman
a. Penataan pemukiman di bantaran sungai dengan mempertahankan pola massa
bangunan seperti yang ada tetapi dengan penghentian pembangunan baru ke arah
sungai dan penghentian pertumbuhan permukiman baru pada sisi bantaran sungai.
b. Pemindahan pemukim liar dari bangunan ilegal dan berumur kurang dari 50
tahun di tepi sungai ke model permukiman lanting dengan konstruksi
pengapungnya diperbaharui sesuai dengan teknologi baru.

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 11


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

c. Tampilan bangunan diperbaiki dengan arah orientasi bangunan ke sungai. Bagi


bangunan yang terletak di bantaran sungai mempunyai dua arah orientasi yaitu ke
sungai dan ke daratan.
d. Ruang terbuka hijau diletakkan diantara massa bangunan dan di depan bangunan
tradisional asli untuk memberi tampilan yang baik dari arah sungai serta
menonjolkan unsur heritage kawasan berupa bangunan bangunan tradisional asli
dan kuno. Ruang terbuka juga difungsikan sebagai tempat berinteraksi warga dan
sebagai dermaga publik.
4. Penataan dan Pengendalian Lingkungan
a. Sanitasi lingkungan, terutama dampaknya terhadap kualitas sungai diperbaiki
dengan cara mempertahankan pola sanitasi lama menggunakan batang atau rakit
tetapi dengan sistem pengolahan yang telah dikembangkan yaitu sistem perpipaan
dengan septictank komunal.
b. Ekosistem sungai dijaga dengan cara mengendalikan sedimentasi sungai dan
menjaga kebersihan sungai. Pengendalian ini dengan perbaikan lingkungan tepi
sungai berupa penanaman kembali vegetasi khas pinggir sungai, penelitian
kualitas air sungai secara berkala, perbaikan sistem persampahan serta
penyadaran pentingnya kebersihan sungai terhadap masyarakat. Pengendalian
sampah kiriman dilakukan dengan melakukan pembersihan berkala terhadap
sampah dan penerapan Perda Sampah serta Undang-undang Lingkungan Hidup
yang ketat terhadap masyarakat

V. KESIMPULAN

Permukiman bantaran sungai di kota Banjarmasin patut untuk ditata agar terjaga kekuatan
budaya dan kelestariannya karena mempunyai kehidupan yang khas menyangkut interaksi dan
ketergantungannya kepada sungai. Konsep yang diperoleh dari analisa terhadap budaya sungai
pada masyarakat permukiman bantaran sungai di Kawasan Sungai Jingah Banjarmasin
meliputi :
a. Penataan Sistem Transportasi Sungai
b. Penataan Kegiatan Ekonomi di sungai
c. Penataan Pemukiman Bantaran Sungai
d. Penataan serta Pengendalian Lingkungan Sungai
Keempat konsep harus dilaksanakan bersamaan karena keempatnya saling berkaitan
satu sama lain.
Beberapa saran untuk melengkapi hasil konsep penataan, yaitu :
a. Karena masyarakat Banjarmasin di tepian sungai adalah homogen, maka konsep
penataan permukiman bantaran sungai ini bisa diterapkan di setiap ruas sungai di kota
Banjarmasin. Tetapi dalam pelaksanaannya direkomendasikan sungai yang dapat
dipertahankan pemukiman bantaran sungainya adalah dengan lebar sungai besar
sampai sedang dan jenis yang masih aktif dipergunakan sebagai sarana transportasi.
b. Sesuai dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2004 yang memberi pengakuan
terhadap hak ulayat masyarakat adat, maka pemerintah daerah perlu segera membuat
Peraturan Daerah mengenai Permukiman pada Bantaran Sungai yang mengatur
tentang pelestarian budaya, aturan mengenai pembangunan baru serta sangsinya,
wilayah-wilayah yang dipertahankan dan yang perlu direlokasi serta aturan lain yang
berkaitan dengan permukiman lama serta pelestarian kawasan tersebut.

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 12


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

c. Sebelum Peraturan Daerah di atas terealisir perlu pengawasan yang ketat terhadap
pembangunan baru pemukiman di bantaran sungai untuk menghindari kerusakan
lingkungan sungai yang lebih parah lagi.

VI. DAFTAR PUSTAKA


A. Buku
Altman, Irwin, at all (1980), Human Behavior and Environment advances in theory and
research, Plenum Press, New York.
Basrowi, Dr. M.Pd dan Suwandi, Dr. M.Si (2008) Memahami Metoda Kualitatif, Rineka
Cipta, Jakarta.
Doxiadis, Constantinos. A (1968), Existic an Introduction to The Science of Human
Settlement.
Mulyanto,HR (2007), Sungai, Fungsi dan Sifat-sifatnya, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Newmark, Norma L.dan Thompson, Patricia J.(1977), Self, Space & Shelter an introducting to
housing, Harper and Row Publisers Inc, New York.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya,
(1977/1978), Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta.
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, (1982), Adat Istiadat Darah
Kalimantan Selatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Rapoport, Amos (1969), House Form and Culture, Prentintice Hall,Inc, Englewood, New
York.
Rapoport, Amos (1977), Human Aspects of Urban Form, Towards a Ma-Environment
Approach to Urban Form and Design, Pergamon Press, New York.
Rapoport, Amos (2005), Culture, Architecture and Design, Locke Science Publishing
Company, Inc, Chicago
.Saleh, M. Idwar, Drs. (1984), Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya
sampai dengan akhir abad 19, Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi
Kalimantan Selatan.
Sevilla, Consuelo G. at all (1993), Pengantar Metoda Penelitian,U I Press, Jakarta.
Subagya, P. Joko (1997), Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Rineksa Cipta, Jakarta.
Sudjana, Nana, Dr (1997), Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, Makalah, Skripsi, Tesis,
Desertasi, Sinar Baru Algensindo, Bandung.
Surakhmad Winarno, (1994), Pengantar Penelitian Ilmiah dan Dasar Metode Teknik,
Transito, Bandung.
Syani, Abdul, (1995), Sosiologi dan perubahan masyarakat, suatu interpetasi kea rah realita
social, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Turner, John FC dan Fichter, Robert (1972), Freedom to Build dweller control of the housing
process, The Macmillan Company, New York.
Wijanarka (2008), Desain Tepi Sungai, Ombak, Yogyakarta.

B. Tesis
Hikmansyah (2007), Pola Perubahan Rumah Sasadu Akibat Urbanisasi studi kasus
Masyarakat Sahu Halmahera propinsi Maluku Utara, Tesis S2 ITS, Surabaya.

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 13


Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010

Subaqin, Agus (2003), Model Perumahan dan Permukiman di Daerah Rawan Banjir studi
kasus Desa Bulu Tigo kecamatan Laren kabupaten Lamongan Jawa Timur, Tesis S2
ITS, Surabaya.
Rolalisasi, Andarita (2009), Konsep Partisipasi Masyarakat dalam Perbaikan Kawasan
Permukiman Kumuh di Kelurahan Sukolilo Kecamatan Bulak Kota Surabaya, Tesis
S2 ITS, Surabaya.

C. Penelitian
Mentayani, Ira dan Muchamad, Bani Noor, (2004), Makna dan Fungsi Sungai bagi
Masyarakat sebagai Dasar Penataan Permukiman Tepi Sungai di kota Banjarmasin,
Unlam, Banjarmasin.

D. Artikel
Atmojo, Bambang Sakti Wiku (2002), ”Wilayah DAS Barito dan Anak-anak Sungainya :
Pusat Pertumbuhan Permukiman dan Kerajaan di Kalimantan Selatan”, Bentang
Lahan dan Permukiman Kuno di Indonesia, Bulletin Arkeologi ”Naditira Widya”
edisi khusus, No.09, hal.60-69.
Majid, Noorhalis (2007), Kampung Patih Masih diusianya 481 Tahun,
http://wwww.walhikalsel.org/content/view/81/48/, diakses pada 20 Agustus 2009.
Mahin, Marko, (2009). Perempuan Dayak dan Budaya Sungai, yang diperoleh
darihttp://www.tokohindonesia.com/politisi/aktivis/abti/pancasila/10.shtml, diakses
pada 14 Juli 2009.
Fatchiati, Nurul,(2009), Budaya Sungai dan Patronase Wilayah, yang diperoleh dari
http://kompas.co.id/read/xml/2009/02/17/09211097/budayasungai.d.., diakses pada 9
Juli 2009.

E. Standart dan Peraturan Perundangan


Presiden Republik Indonesia (1992), Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya.
Presiden Republik Indonesia (2004), Undang-undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 2004
tentang Sumber Daya Air..
Presiden Republik Indonesia (1991), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 35
tahun 1991 tentang Sungai.

F. Data
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan, (2004), 0utlandplan kota
Banjarmasin 2004.
.Badan Perencanaan Pembangunan Kota Banjarmasin, (2007) Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Banjarmasin 2007-2016.
Dinas Permukiman dan Prasarana Kota Banjarmasin, (2007), Laporan Fakta dan Analisa
Perencanaan Kawasan Kota Lama Sungai Jingah 2007.

Jurusan Arsitektur ITS – Maret 2010 | 14

Anda mungkin juga menyukai