Sinobronchial Syndrome
Sinobronchial Syndrome
PENDAHULUAN
Nasal, Sinus paranasalis, Nasopharynx dan Tractus respiratorius inferior merupakan suatu
kesatuan anatomis dan fungsional yang saling berhubungan timbal-balik. Hal ini menyebabkan
setiap gangguan nafas yang terjadi pada Tractus respiratorius superior dapat menyebabkan atau
disertai oleh gangguan pada Tractus inferior-nya ataupun sebaliknya. Istilah Sinobronchial
syndrome (SBS) pertama kali diperkenalkan oleh Greenberg (1966), yang menunjukkan adanya
infeksi Sinus paranasalis dan Tractus respiratorius inferior secara bersamaan. Sinobronchial
syndrome ini selanjutnya juga dikenal dengan nama Bronchosinusitis atau Sinobronchitis.1, 2
Sinobronchial syndrome dapat mengenai segala usia, baik anak maupun dewasa, namun pada
anak peluang terjadinya penyakit tersebut lebih besar. Anak-anak diperkirakan setiap tahun rata-
rata mengalami 6-8 kali infeksi Tractus respiratorius superior, sedangkan pada dewasa hanya
sebanyak 2-3 kali. Diperkirakan 0,5-5 % atau 5-10 % infeksi pada Tractus respiratorius superior
anak akan mengalami komplikasi sebagai Sinusitis, sehingga keadaan Sinobronchial syndrome
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
1. Nasal
Pada bagian luar Nasal yang berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah,
yaitu 1) pangkal hidung, 2) batang hidung, 3) puncak hidung, 4) Ala nasi, 5) Columnela, dan
6) lubang hidung (Nares anterior). Nasal bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil. Kerangka tulang
yang membentuk hidung luar terdiri dari 1) Os nasal, 2) Procesus frontalis os maksila, dan
3) Proccesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan pada bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang Cartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang Proccesus frontalis os maxilla (Ala major), dan 4) Cartilago
septi nasii. 4, 5
2
Cavum nasi yang berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh Septum nasi
pada bagian tengahnya sehingga menjadi Cavum nasi dextra dan sinistra. Tiap Cavum nasi
memiliki 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. 4, 5 Cartilago
septi nasi membentuk bagian frontal dari septum nasi dan meluas sepanjang Proc. posterior
diantara bagian-bagian tulang penyusun Septum nasi (atas), yang terdiri dari Lamina
Pada dinding lateral terdapat 4 buah Conchae, yang paling besar dan letaknya paling bawah
ialah Conchae nasalis inferior, kemudian Conchae nasalis media dan yang lebih kecil ialah
Conchae nasalis superior. Di antara Conchae nasalis dan dinding lateral hidung terdapat
rongga sempit yang disebut Meatus nasi.1 Pada bagian bawah sepertiga Conchae nasalis
inferior terdapat muara Duktus nasolacrimalis yang membuka ke dalam Meatus nasi inferior.
Di bawah Conchae nasalis media terdapat muara Sinus frontalis, Sinus maxlla, dan Sinus
etmoid anterior. Pada bagian bawah Conchae nasalis superior terdapat muara Sinus ethmoid
Vaskularisasi bagian atas Cavum nasi berasal dari cabang A. opthalmica diantaranya ialah A.
ethmoid anterior dan A. ethmoid posterior. Sedangkan pada bagian bawah rongga hidung
mendapat perdarahan dari ujung A. palatina major dan A. sphenopalatina yang merupakan
cabang dari A. maxillaris interna. Vaskularisasi bagian depan Nasal didapat dari cabang-
cabang A. facialis. Pada bagian depan Septum nasi terdapat Plexus Kiesselbach (Little’s
anterior, A. labialis superior dan A. palatina major. Plexus Kiesselbach terletak pada
3
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber perdarahan
Gambar 2. Arteri-arteri rongga hidung; a) dinding lateral Cavitas nasi dextra, b) Septum
nasi pada Cavitas nasi dextra.6
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
4
Persarafan sensorik bagian depan dan atas Cavum nasi didapat dari N. etmoidalis anterior,
yang merupakan cabang dari N. Nasociliaris, yang berasal dari N. opthalmicus (N. V/1).
Selain itu, Cavum nasi juga dipersarafi oleh N. maxillaris melalui Ganglion sphenopalatina.
Fungsi penghidu berasal dari N. olfactorius yang turun melalui Lamina cribrosa os
Gambar 3. Persarafan Cavum nasi; a) dinding lateral Cavitas nasi dextra, b) Septum nasi pada
Cavitas nasi dextra.6
2.
Sinus paranasalis
Sinus paranasalis merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Bagian dalamnya dilapisi oleh Mucoperiosteum, berisi udara dan
berhubungan dengan Cavum nasi melalui Apertura.4 Semua Sinus bermuara ke dalam Cavum
nasi. Struktur penyusun Sinus khusus pada Sinus anterior (Maxilla, Frontal dan Ethmoidal),
dibentuk oleh suatu saluran sempit menyerupai labirin. Area tersebut disebut sebagai
Osteomeatal complex (OMC). Struktur tersebut terdiri atas Infundibulum, Proc. Ucinatus,
5
Sinus paranasalis terdiri atas 4 pasang yang diurutkan dari yang terbesar, yaitu Sinus
memiliki bentuk menyerupai piramida. Basis-nya membentuk dinding lateral dari Nasal
sedangkan bagian apeksnya berada didalam Processus zygomatico-maxillae. Atap sinus ini
dibentuk oleh Fossa orbita sedangkan dasarnya dibentuk oleh Proc. Alveolaris. Akar Pre-
molar 1 dan 2, Molar 3, serta kadang-kadang Caninus dapat menonjol kedalam sinus ini.
Ekstraksi dari gigi dapat menimbulkan adanya Fistula, yang berujung pada infeksi sinus
(Sinusitis). 7
Sinus maxillaris bermuara kedalam Meatus nasi media melalui Hiatus semilunar. Inervasi
Sinus maxillaris diperankan oleh Nervus alveolaris superior dan Nervus infraorbitalis.7
Sinus frontalis
Ada dua buah, terdapat didalam Os frontale dan dipisah satu sama lainnya dengan Septum
tulang yang sering menyimpang dari median. Setiap sinusnya berbentuk seperti segitiga dan
meluas kearah atas pada ujung medial dan kebelakang, ke bagian medial atap orbita.7
Masing-masing Sinus frontalis akan bermuara kedalam Cavum nasi, tepatnya pada Meatus
6
Terdapat didalam Os ethmoid, Os ethmoid, diantara Nasal dan Orbita. Sinus ini terpisah dari
Orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga apabila terjadi peradangan pada Sinus ethmoidalis
akan sangat mudah menyebar kedalam Orbita. Sinus ini dibagi menjadi tiga kelompok yakni
Anterior, Media dan Posterior. Kelompok anterior akan bermuara kedalam Infundibulum,
kelompok kedua akan bermuara di Meatus nasi media, pada atau diatas Bullae ethmoidalis.
Kelompok Posterior akan bermuara pada Meatus nasi superior. Membran Mucosa sinus ini
3. Pharynx
Pharynx adalah bagian sistem pencernaan yang meluas ke superior, terletak di posterior
Cavitas nasi dan Oris, yang memanjang ke inferior melewati Larynx. Pharynx meluas dari
Basis cranii ke Margo inferior cartilago cricoidea di Anterior dan Margo inferior Vertebrae
untuk Respiratorius. Cavum nasi bermuara ke dalam Nasopharynx melalui dua Choanae.
7
Gambar 5. Bagian Pharynx; .6
Saraf yang menyuplai ke Pharynx berasal dari Plexus pharyngeus. Serat motorik pada Plexus
berasal dari N. vagus (N.X) melalui R. pharyngeus. Serat sensorik pada Plexus berasal dari
4. Trachea
Trachea adalah tabung Fibrocartilaginosa yang mengisi posisi median leher. Trachea
memanjang dari ujung inferior Larynx setinggi Vertebrae C6 ke dalam Thorax, berakhir di
Inferior pada level Angulus sterni atau Discus IV T4-T5 dan terbagi menjadi Bronchus utama
dextra dan sinistra. Trachea membawa udara ke dan dari Pulmo, dan epitelnya mengeluarkan
ini akan bercabang menjadi dua saluran utama yang dikenal dengan istilah Bronchus
principalis dextra dan Sinistra. Bronchus principalis dextra memiliki ukuran yang lebih
8
berjalan lebih vertikal ketika menuju Hilum pulmonal bila dibandingkan dengan Bronchus
principalis sinistra.7
Bronchus principalis sinistra memiliki diameter yang lebih kecil, lebih panjang (5 cm) dan
arahnya lebih horizontal. Saluran ini berjalan di Inferolateral, di sebelah Inferior Arcus aorta
dan di Anterior Oesophagus dan Aorta thoracica untuk mencapai Hilum pulmonal.7, 8
Didalam Pulmo, Bronchus principalis akan bercabang secara konstan membentuk gambaran
seperti akar pohon (Tracheobronchial tree) yang terdiri dari percabangan Arteri, Vena dan
Bronchus. Setiap Bronchus principalis akan bercabang mejadi Bronchus lobaris (Secundus)
yakni 2 cabang pada Sinistra dan 3 cabang pada Dextra. Selanjutnya setiap Bronchus lobaris
akan bercabang lagi menjadi Bronchus segmentalis (Tertius) yang akan menyuplai udara ke
segmen-segmen Tracheobronchial.8
9
Bronchus segmentalis akan bercabang menjadi lebih kecil menjadi 20-25 cabang
membentuk 2-11 Ductus alveolaris, masing-masing Ductus tersebut akan berakhir menjadi
Tractus respiratorius inferior, seperti Bronchitis atau Asthma. SBS juga digunakan sebagai
istilah untuk menggambarkan hubungan antara sinus dan gejala Tractus respiratorius
inferior, yang sering dialami oleh anak-anak dengan Tractus respiratorius yang reaktif,
Cysctic fibrosis, imunodefisiensi dan Diskinetic cilia. SBS juga didefinisikan sebagai
Moraxella catarrhalis. Selain kelompok patogen tersebut proses infeksi dapat pula
disebabkan oleh infeksi bakteri anaerob dan virus (Rhinovirus dan Influeza virus). alergen
berupa tungau, debu rumah, zat iritan, spora jamur, susu, dan lain-lain diketahui juga dapat
infeksi sinusitis akut dan kronis tertinggi adalah Streptococcus pneumoniae, Branhamella
10
infeksi Sinus paranasalis dan Bronchus secara bersamaan adalah Pseudomonas,
antara lain Cystic fibrosis, Kartagener syndrome, Cilia immotile syndrome, Young syndrome,
C. Epidemiologi
Gwaltney (1981), dalam penelitiannya menyatakan bahwa setiap tahunnya anak-anak, rata-
rata mengalami 6-8 kali infeksi saluran nafas atas, sedangkan dewasa hanya sebanyak 2-3
kali. Dimana 5-10 % infeksi yang terjadi pada anak akan berkembang menjadi Sinusitis.
Keadaan ini menyebabkan anak-anak akan lebih sering mengalami SBS. Dalam penelitian
lainnya menyatakan bahwa sekitar 20 sampai 70 % pasien dewasa dengan Asthma akan
respiratorius inferior, maka manifestasi yang akan muncul juga mengikuti lokasi peradangan
tersebut. Pada Sinusitis gejala yang muncul dapat dibedakan menjadi gejala mayor dan
minor. Gejala mayor dapat berupa nyeri pada wajah, rasa tersumbat, ingus purulen/postnasal
drip, hiposmia/anosmia, dan demam. Sedangkan gejala minor dapat berupa mulut berbau,
sakit kepala, kelelahan, sakit pada gigi, batuk, penurunan pendengaran dan sakit pada
telinga .3 \
E. Patogenesis
Beberapa literatur menyebut bahwa patogenesis dari SBS dipengaruhi oleh tiga hal yakni
inflamasi, infeksi dan obstruksi, dimana ketiga hal itu saling akan berinteraksi satu sama lain.
Proses infeksi sinus, sebagian besar ditentukan oleh patensi Ostium, fungsi Cilia dan kualitas
sekret. Apabila infeksi (dapat juga disebabkan alergi atau iritasi) terjadi, maka daerah
mukosa akan mengalami peradangan. Sehingga terjadi edema mukosa, transudasi serum, dan
11
berkurangnya pertukaran gas di dalam sinus sehingga PO2 lebih rendah. Dampak yang
terjadi selanjutnya adalah obtruksi dari Osteomeatal complex (OMC)/ Ostium ductus
excretorius sinus, yang menyebabkan terjadinya retensi dari sekret, peradangan makin
bertambah, berkurangnya jumlah silia atau gangguan fungsi, berlebihannya produksi, atau
dengan cepat. Infeksi menyebabkan pula penurunan tekanan oksigen lebih lanjut,
peningkatan PCO2, dan penurunan pH. Semuanya menghalangi gerakan silia dan fungsi
granulosit. Gerakan silia penting untuk memperlancar drainase sinus dan mencegah infeksi
pada sinus.10
F. Diagnosis
Diagnosis SBS ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Karena SBS selalu melibatkan gangguan Sinus paranasalis dan Tractus respiratorius
inferior, maka gejala dan tanda dari kedua penyakit tersebut harus digali, baik melalui
anamnesis maupun pemeriksaan fisik. Untuk menegakan adanya Sinusitis pada pasien SBS
maka perlu kita mengidentifikasi gejala mayor dan minor yang sering muncul pada Sinusitis.
Gejala mayor dapat berupa nyeri pada wajah, obstruksi Nasal, sekret purulen/postnasal drip,
hiposmia/anosmia, dan demam. Gejala minor berupa sakit kepala, mulut berbau, kelelahan,
sakit pada gigi, batuk, dan sakit pada telinga. Dua gejala mayor atau lebih, atau satu gejala
mayor ditambah dua gejala minor, dapat dicurigai sebagai Sinusitis. Diagnosis dikonfirmasi
dapat muncul adalah batuk produktif, purulent dan mudah memburuk dengan pajanan iritan
atau udara dingin, produksi mucus meningkat dan dipsneu. Sedangkan tanda yang dapat
12
muncul adalah Barrel chest, retraksi otot bantu nafas, fremitus melemah, ronchi/wheezing,
digunakan untuk menilai Sinus maxillaris, frontalis dan ethmoidalis. Posisi PA untuk
menilai Sinus frontalis, sedangkan foto lateral untuk menilai Sinus frontalis, sphenoidalis
dan ethmoidalis. Pemeriksaan ini dapat ditentukan apakah ditemukan perkabutan parsial
biasanya digunakan adalah potongan Coronal dan Axial. CT-Scan Sinus diindikasikan
Transiluminasi
Pemeriksaan ini memiliki manfaat yang terbatas hanya pada Sinus maxillaris dan
frontalis, sehingga hanya akan dilakukan jika tidak tersedianya fasilitas radiologi.
Transluminasi dilakukan untuk mengetahui adanya cairan di sinus yang sakit, yang akan
USG
Dengan pemeriksaan ini dapat dibedakan antara cairan dalam rongga sinus dan penebalan
mukosa. 3
Sinoskopi
13
Merupakan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan alat endoskop, dimana
endoskop akan dimasukan melalui lubang yang dibuat kedalam Meatus nasi inferior.
Menggunakan pemeriksaan ini dapat diindetifikasi apakah kelain Sinus disebabkan oleh
polip, sekret, jaringan granulasi, tumor atau kista, keadaan mucosa dan kondisi dari
14
Ostium.
Pemeriksaan mikrobiologi
Bahan pemeriksaan berasal dari sekret di rongga hidung, dan dapat ditemukan
bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal hidung atau kuman patogen. 3
dipengaruhi oleh luas dan lamanya penyakit berlangsung. Pada gambaran rontgen akan
tampak corakan Bronchovasculer yang kasar, namun juga dapat berupa atelektasi atau
fibrosis Pulmo (khas Bronchitis). Pada Bronchiectasis, hasil foto rontgen akan tampak
pilihan utama dalam terapi medikamentosa pasien dengan SBS. Terapi antibiotik awal yang
dapat digunakan adalah Amoxicilin yang diberikan selama 10-20 hari. Selain itu obat pilihan
biasanya dengan antibiotik 70-80 % pasien SBS akan membaik pada hari ke 2-3 pengobatan
Bila tidak ada reaksi dalam 3 hari, perlu diberikan obat alternatif, yaitu β-lactamase-resistant
agent selama 10−20 hari tambahan. Pada penderita tertentu dengan kuman anaerob, dapat
dapat bermanfaat pada Rhinitis yang dipicu oleh Allergen (Rhinitis alergica). Kunci dari
14
pengobatan adalah menghilangkan obstruksi nasal sehingga pemberian Mucolitic sangat
dianjurkan.3, 8
Terapi operatif diindikasikan apabila SBS berulang pasca pemberian antibiotik. Metode
operatif yang dikembangkan adalah teknik Functional Endoscopy Surgery yang bersifat
Sinobronchial syndrome (SBS) merupakan suatu peradangan kronik yang melibatkan Sinus
disebabkan oleh proses infeksi dengan patogen yang tersering menyebabkan infeksi adalah
infeksi, penyebab seperti alergi dan zat iritan juga dapat mengakibat terjadi SBS.
SBS lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa. Hal ini dikarena sistem imun
pada anak masih belum matang dan sempurna, sehingga anak-anak biasanya akan mengalami
6 hingga 7 infeksi virus per tahun Beberapa literatur menyebut bahwa patogenesis dari SBS
dipengaruhi oleh tiga hal yakni inflamasi, infeksi dan obstruksi, dimana ketiga hal itu saling
Pada infeksi oleh bakteri anaerob, perlu untuk diberikan antibiotik Metronidazol atau
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe N. Sinobronkitis pada Anak. Sari Pediatri. Desember 2000. Vol 2 (3): 146-154
2. Corren J, Togias A, Bousquet J. Upper and Lower Respiratory Disease. CRC Press; New
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/RS05_Rhinosinobronkitis-
Q.pdf
4. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi 7. Penerbit FK UI; Jakarta: 2014.
Hal: 96-8
5. Moore KL, Dalley AF. Agus A, Moore M. Anatomi berorientasi klinis. Edisi 5. Jilid 3.
Nose, and Throat Conditions. Random House Publishing Group; New York: 2008. Page:
51-2
10. Chmielik M Zajac B. Sinobronchial syndrome. Czytelnia Medyczna. Borgis. Maret 1999.
Page: 8-9
11. Suzaki H, Kudoh S, Sugiyama Y, Maeda H, Nomura Y. Sinobronchial Syndrome in
Japanese People. American Journal of Rhinology. July-August 1990, Vol. 4, No.4: 133-9
12. Stockley R, Rennard S, Rabe K, Celli B. Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
16
13. Roslan NB. Referat: Bronkitis Kronis. Fakultas Kedokteran Universita Trisakti; Jakarta:
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi 7. Penerbit FK UI; Jakarta: 2014.
Hal: 122-26
17