Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nasal, Sinus paranasalis, Nasopharynx dan Tractus respiratorius inferior merupakan suatu

kesatuan anatomis dan fungsional yang saling berhubungan timbal-balik. Hal ini menyebabkan

setiap gangguan nafas yang terjadi pada Tractus respiratorius superior dapat menyebabkan atau

disertai oleh gangguan pada Tractus inferior-nya ataupun sebaliknya. Istilah Sinobronchial

syndrome (SBS) pertama kali diperkenalkan oleh Greenberg (1966), yang menunjukkan adanya

infeksi Sinus paranasalis dan Tractus respiratorius inferior secara bersamaan. Sinobronchial

syndrome ini selanjutnya juga dikenal dengan nama Bronchosinusitis atau Sinobronchitis.1, 2

Sinobronchial syndrome dapat mengenai segala usia, baik anak maupun dewasa, namun pada

anak peluang terjadinya penyakit tersebut lebih besar. Anak-anak diperkirakan setiap tahun rata-

rata mengalami 6-8 kali infeksi Tractus respiratorius superior, sedangkan pada dewasa hanya

sebanyak 2-3 kali. Diperkirakan 0,5-5 % atau 5-10 % infeksi pada Tractus respiratorius superior

anak akan mengalami komplikasi sebagai Sinusitis, sehingga keadaan Sinobronchial syndrome

akan sering muncul pada anak.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
1. Nasal

Pada bagian luar Nasal yang berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah,

yaitu 1) pangkal hidung, 2) batang hidung, 3) puncak hidung, 4) Ala nasi, 5) Columnela, dan

6) lubang hidung (Nares anterior). Nasal bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan

tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil. Kerangka tulang

yang membentuk hidung luar terdiri dari 1) Os nasal, 2) Procesus frontalis os maksila, dan

3) Proccesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa

pasang tulang rawan pada bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang Cartilago nasalis

lateralis superior, 2) sepasang Proccesus frontalis os maxilla (Ala major), dan 4) Cartilago

septi nasii. 4, 5

Gambar 1. Rangka hidung; pandangan frontal dari sisi kanan. 6

2
Cavum nasi yang berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh Septum nasi

pada bagian tengahnya sehingga menjadi Cavum nasi dextra dan sinistra. Tiap Cavum nasi

memiliki 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. 4, 5 Cartilago

septi nasi membentuk bagian frontal dari septum nasi dan meluas sepanjang Proc. posterior

diantara bagian-bagian tulang penyusun Septum nasi (atas), yang terdiri dari Lamina

perpendicularis ossis ethmoidalis, dan Os vomer (bawah).6

Pada dinding lateral terdapat 4 buah Conchae, yang paling besar dan letaknya paling bawah

ialah Conchae nasalis inferior, kemudian Conchae nasalis media dan yang lebih kecil ialah

Conchae nasalis superior. Di antara Conchae nasalis dan dinding lateral hidung terdapat

rongga sempit yang disebut Meatus nasi.1 Pada bagian bawah sepertiga Conchae nasalis

inferior terdapat muara Duktus nasolacrimalis yang membuka ke dalam Meatus nasi inferior.

Di bawah Conchae nasalis media terdapat muara Sinus frontalis, Sinus maxlla, dan Sinus

etmoid anterior. Pada bagian bawah Conchae nasalis superior terdapat muara Sinus ethmoid

posterior dan Sinus sphenoid.6

Vaskularisasi bagian atas Cavum nasi berasal dari cabang A. opthalmica diantaranya ialah A.

ethmoid anterior dan A. ethmoid posterior. Sedangkan pada bagian bawah rongga hidung

mendapat perdarahan dari ujung A. palatina major dan A. sphenopalatina yang merupakan

cabang dari A. maxillaris interna. Vaskularisasi bagian depan Nasal didapat dari cabang-

cabang A. facialis. Pada bagian depan Septum nasi terdapat Plexus Kiesselbach (Little’s

area) yang merupakan anastomosis dari cabang-cabang A. Sphenopalatina, A. ethmoid

anterior, A. labialis superior dan A. palatina major. Plexus Kiesselbach terletak pada

3
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber perdarahan

hidung (epistaksis, mimisan).4, 5,

Gambar 2. Arteri-arteri rongga hidung; a) dinding lateral Cavitas nasi dextra, b) Septum
nasi pada Cavitas nasi dextra.6

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.

Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk

mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.4

4
Persarafan sensorik bagian depan dan atas Cavum nasi didapat dari N. etmoidalis anterior,

yang merupakan cabang dari N. Nasociliaris, yang berasal dari N. opthalmicus (N. V/1).

Selain itu, Cavum nasi juga dipersarafi oleh N. maxillaris melalui Ganglion sphenopalatina.

Fungsi penghidu berasal dari N. olfactorius yang turun melalui Lamina cribrosa os

ethmoidalis dan berakhir pada Bulbus olfactorius.4, 5

Gambar 3. Persarafan Cavum nasi; a) dinding lateral Cavitas nasi dextra, b) Septum nasi pada
Cavitas nasi dextra.6

2.

Sinus paranasalis
Sinus paranasalis merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk

rongga di dalam tulang. Bagian dalamnya dilapisi oleh Mucoperiosteum, berisi udara dan

berhubungan dengan Cavum nasi melalui Apertura.4 Semua Sinus bermuara ke dalam Cavum

nasi. Struktur penyusun Sinus khusus pada Sinus anterior (Maxilla, Frontal dan Ethmoidal),

dibentuk oleh suatu saluran sempit menyerupai labirin. Area tersebut disebut sebagai

Osteomeatal complex (OMC). Struktur tersebut terdiri atas Infundibulum, Proc. Ucinatus,

Hiatus semilunaris, Recessus frontal, Ager nasi dan Bullae etmoid. 4


Gambar 4. Lokasi Sinus maxillaris dan Frontalis.7

5
Sinus paranasalis terdiri atas 4 pasang yang diurutkan dari yang terbesar, yaitu Sinus

maxillaris, Sinus frontalis, Sinus ethmoidalis dan Sinus sphenoidalis.


 Sinus maxillaris
Terdapat dua sinus, Dextra dan Sinistra. Terletak didalam Corpus maxillaris, sinus ini

memiliki bentuk menyerupai piramida. Basis-nya membentuk dinding lateral dari Nasal

sedangkan bagian apeksnya berada didalam Processus zygomatico-maxillae. Atap sinus ini

dibentuk oleh Fossa orbita sedangkan dasarnya dibentuk oleh Proc. Alveolaris. Akar Pre-

molar 1 dan 2, Molar 3, serta kadang-kadang Caninus dapat menonjol kedalam sinus ini.

Ekstraksi dari gigi dapat menimbulkan adanya Fistula, yang berujung pada infeksi sinus

(Sinusitis). 7
Sinus maxillaris bermuara kedalam Meatus nasi media melalui Hiatus semilunar. Inervasi

Sinus maxillaris diperankan oleh Nervus alveolaris superior dan Nervus infraorbitalis.7
 Sinus frontalis
Ada dua buah, terdapat didalam Os frontale dan dipisah satu sama lainnya dengan Septum

tulang yang sering menyimpang dari median. Setiap sinusnya berbentuk seperti segitiga dan

meluas kearah atas pada ujung medial dan kebelakang, ke bagian medial atap orbita.7
Masing-masing Sinus frontalis akan bermuara kedalam Cavum nasi, tepatnya pada Meatus

nasi media. Membran Mucosa sinus in di inervasi oleh Nervus supraorbitalis.7


 Sinus ethmoidalis

6
Terdapat didalam Os ethmoid, Os ethmoid, diantara Nasal dan Orbita. Sinus ini terpisah dari

Orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga apabila terjadi peradangan pada Sinus ethmoidalis

akan sangat mudah menyebar kedalam Orbita. Sinus ini dibagi menjadi tiga kelompok yakni

Anterior, Media dan Posterior. Kelompok anterior akan bermuara kedalam Infundibulum,

kelompok kedua akan bermuara di Meatus nasi media, pada atau diatas Bullae ethmoidalis.

Kelompok Posterior akan bermuara pada Meatus nasi superior. Membran Mucosa sinus ini

di inervasi oleh Nervus ethmoidalis anterior dan Posterior.


 Sinus sphenoidalis
Terdapat dua buah sinus yang terletak didalam Corpus ossis spenoidalis. Setiap sinus ini

akan bermuara ke kedalam Recessus sphenoethmoidalis di atas Conchae nasalis superior.

Membran mucosa diinervasi oleh Nervus ethmoidalis posterior.

3. Pharynx
Pharynx adalah bagian sistem pencernaan yang meluas ke superior, terletak di posterior

Cavitas nasi dan Oris, yang memanjang ke inferior melewati Larynx. Pharynx meluas dari

Basis cranii ke Margo inferior cartilago cricoidea di Anterior dan Margo inferior Vertebrae

C6 di Posterior. Pada ujung Inferior-nya berlanjut dengan Oesophagus.5


Pharynx terbagi menjadi tiga bagian yaitu Nasopharynx di Posterior Nasal, Oropharynx di

Posterior Oris, dan Laryngopharynx di Posterior Larynx. Nasopharynx memiliki fungsi

untuk Respiratorius. Cavum nasi bermuara ke dalam Nasopharynx melalui dua Choanae.

Oropharynx berfungsi untuk pencernaan.5

7
Gambar 5. Bagian Pharynx; .6

Saraf yang menyuplai ke Pharynx berasal dari Plexus pharyngeus. Serat motorik pada Plexus

berasal dari N. vagus (N.X) melalui R. pharyngeus. Serat sensorik pada Plexus berasal dari

N. glossopharyngeus (IX). Saraf sensorik yang menyuplai selaput lendir Nasopharynx

anterior dan superior terutama dari N. maxillaris (N V/II).5

4. Trachea
Trachea adalah tabung Fibrocartilaginosa yang mengisi posisi median leher. Trachea

memanjang dari ujung inferior Larynx setinggi Vertebrae C6 ke dalam Thorax, berakhir di

Inferior pada level Angulus sterni atau Discus IV T4-T5 dan terbagi menjadi Bronchus utama

dextra dan sinistra. Trachea membawa udara ke dan dari Pulmo, dan epitelnya mengeluarkan

mucus bermuatan debris ke arah Pharynx untuk dikeluarkan dari mulut.4, 5, 6


5. Bronchus
Merupakan saluran lanjutan dari Trachea untuk menyalurkan udara menuju Pulmo. Saluran

ini akan bercabang menjadi dua saluran utama yang dikenal dengan istilah Bronchus

principalis dextra dan Sinistra. Bronchus principalis dextra memiliki ukuran yang lebih

besar dibandingkan Bronchus principalis sinistra. Panjangnya kurang-lebih 2,5 cm dan

8
berjalan lebih vertikal ketika menuju Hilum pulmonal bila dibandingkan dengan Bronchus

principalis sinistra.7
Bronchus principalis sinistra memiliki diameter yang lebih kecil, lebih panjang (5 cm) dan

arahnya lebih horizontal. Saluran ini berjalan di Inferolateral, di sebelah Inferior Arcus aorta

dan di Anterior Oesophagus dan Aorta thoracica untuk mencapai Hilum pulmonal.7, 8

Gambar 6. Percabangan Tracheobronchial. 8

Didalam Pulmo, Bronchus principalis akan bercabang secara konstan membentuk gambaran

seperti akar pohon (Tracheobronchial tree) yang terdiri dari percabangan Arteri, Vena dan

Bronchus. Setiap Bronchus principalis akan bercabang mejadi Bronchus lobaris (Secundus)

yakni 2 cabang pada Sinistra dan 3 cabang pada Dextra. Selanjutnya setiap Bronchus lobaris

akan bercabang lagi menjadi Bronchus segmentalis (Tertius) yang akan menyuplai udara ke

segmen-segmen Tracheobronchial.8

9
Bronchus segmentalis akan bercabang menjadi lebih kecil menjadi 20-25 cabang

Bronchiolus terminalis. Selanjutnya beberapa cabang Bronchiolus terminalis akan

menghasilkan beberapa Bronchiolus respiratorius. Setiap Bronchiolus respiratorius akan

membentuk 2-11 Ductus alveolaris, masing-masing Ductus tersebut akan berakhir menjadi

5-6 Saccus alveolus yang dilapisi oleh Alveolus.8

A. Definisi Sinobronchial Syndrome (SBS)


Sinobronchial Syndrome (SBS) merupakan suatu tipe Sinusitis yang muncul pada gangguan

Tractus respiratorius inferior, seperti Bronchitis atau Asthma. SBS juga digunakan sebagai

istilah untuk menggambarkan hubungan antara sinus dan gejala Tractus respiratorius

inferior, yang sering dialami oleh anak-anak dengan Tractus respiratorius yang reaktif,

Cysctic fibrosis, imunodefisiensi dan Diskinetic cilia. SBS juga didefinisikan sebagai

peradangan kronik yang melibatkan Rhino-sinus dan Tractus respiratorius inferior

( penyebab tersering adalah Bronchitis). 9, 10 , 11


B. Etiologi
Peradangan pada Sinus paranasalis lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri patogen,

patogen yang terbanyak adalah: Streptococcus pneumoniae, Haemophylus influenzae, dan

Moraxella catarrhalis. Selain kelompok patogen tersebut proses infeksi dapat pula

disebabkan oleh infeksi bakteri anaerob dan virus (Rhinovirus dan Influeza virus). alergen

berupa tungau, debu rumah, zat iritan, spora jamur, susu, dan lain-lain diketahui juga dapat

memicu terjadinya Sinusitis.3


Rahajoe (2000) dalam penelitiannya mengemukaan dalam penelitiannya, patogen penyebab

infeksi sinusitis akut dan kronis tertinggi adalah Streptococcus pneumoniae, Branhamella

catarrhalis dan Haemophylus influenza. Sedangkan patogen terbanyak yang menyebabkan

10
infeksi Sinus paranasalis dan Bronchus secara bersamaan adalah Pseudomonas,

Streptococcus hemolyticus dan Streptococcus anhemolyticus.1


Berbagai keadaan lainnya yang dapat menyebabkan atau meningkatkan risiko terjadi SBS

antara lain Cystic fibrosis, Kartagener syndrome, Cilia immotile syndrome, Young syndrome,

Sinobronchial allergic mycosis (SAM) dan Wagener granulomatous.12

C. Epidemiologi

Gwaltney (1981), dalam penelitiannya menyatakan bahwa setiap tahunnya anak-anak, rata-

rata mengalami 6-8 kali infeksi saluran nafas atas, sedangkan dewasa hanya sebanyak 2-3

kali. Dimana 5-10 % infeksi yang terjadi pada anak akan berkembang menjadi Sinusitis.

Keadaan ini menyebabkan anak-anak akan lebih sering mengalami SBS. Dalam penelitian

lainnya menyatakan bahwa sekitar 20 sampai 70 % pasien dewasa dengan Asthma akan

disertai oleh peradangan pada Sinus (SBS). 1, 9


D. Manifestasi Klinis
SBS merupakan suatu peradangan kronik yang melibatkan Sinus paranasalis dan Tractus

respiratorius inferior, maka manifestasi yang akan muncul juga mengikuti lokasi peradangan

tersebut. Pada Sinusitis gejala yang muncul dapat dibedakan menjadi gejala mayor dan

minor. Gejala mayor dapat berupa nyeri pada wajah, rasa tersumbat, ingus purulen/postnasal

drip, hiposmia/anosmia, dan demam. Sedangkan gejala minor dapat berupa mulut berbau,

sakit kepala, kelelahan, sakit pada gigi, batuk, penurunan pendengaran dan sakit pada

telinga .3 \
E. Patogenesis
Beberapa literatur menyebut bahwa patogenesis dari SBS dipengaruhi oleh tiga hal yakni

inflamasi, infeksi dan obstruksi, dimana ketiga hal itu saling akan berinteraksi satu sama lain.

Proses infeksi sinus, sebagian besar ditentukan oleh patensi Ostium, fungsi Cilia dan kualitas

sekret. Apabila infeksi (dapat juga disebabkan alergi atau iritasi) terjadi, maka daerah

mukosa akan mengalami peradangan. Sehingga terjadi edema mukosa, transudasi serum, dan

11
berkurangnya pertukaran gas di dalam sinus sehingga PO2 lebih rendah. Dampak yang

terjadi selanjutnya adalah obtruksi dari Osteomeatal complex (OMC)/ Ostium ductus

excretorius sinus, yang menyebabkan terjadinya retensi dari sekret, peradangan makin

bertambah, berkurangnya jumlah silia atau gangguan fungsi, berlebihannya produksi, atau

perubahan pada viskositas sekret. 1, 3


Kombinasi dari retensi sekret dan suatu lingkungan anaerob menyebabkan bakteri tumbuh

dengan cepat. Infeksi menyebabkan pula penurunan tekanan oksigen lebih lanjut,

peningkatan PCO2, dan penurunan pH. Semuanya menghalangi gerakan silia dan fungsi

granulosit. Gerakan silia penting untuk memperlancar drainase sinus dan mencegah infeksi

pada sinus.10
F. Diagnosis
Diagnosis SBS ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Karena SBS selalu melibatkan gangguan Sinus paranasalis dan Tractus respiratorius

inferior, maka gejala dan tanda dari kedua penyakit tersebut harus digali, baik melalui

anamnesis maupun pemeriksaan fisik. Untuk menegakan adanya Sinusitis pada pasien SBS

maka perlu kita mengidentifikasi gejala mayor dan minor yang sering muncul pada Sinusitis.

Gejala mayor dapat berupa nyeri pada wajah, obstruksi Nasal, sekret purulen/postnasal drip,

hiposmia/anosmia, dan demam. Gejala minor berupa sakit kepala, mulut berbau, kelelahan,

sakit pada gigi, batuk, dan sakit pada telinga. Dua gejala mayor atau lebih, atau satu gejala

mayor ditambah dua gejala minor, dapat dicurigai sebagai Sinusitis. Diagnosis dikonfirmasi

dengan pemeriksaan radiologi. 3


Pada peradangan Tractus respiratorius dalam hal ini adalah Bronchus gejala dan tanda yang

dapat muncul adalah batuk produktif, purulent dan mudah memburuk dengan pajanan iritan

atau udara dingin, produksi mucus meningkat dan dipsneu. Sedangkan tanda yang dapat

12
muncul adalah Barrel chest, retraksi otot bantu nafas, fremitus melemah, ronchi/wheezing,

blue bloater, ekspirasi memanjang dan bunyi jantung menjauh.13


Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil anamnesis dan

pemeriksaan fisik adalah:


1. Sinus
 Radiologi Sinus
Posisi yang rutin digunakan adalah posisi Waters, Posteroanterior (PA) dan lateral. Posisi

digunakan untuk menilai Sinus maxillaris, frontalis dan ethmoidalis. Posisi PA untuk

menilai Sinus frontalis, sedangkan foto lateral untuk menilai Sinus frontalis, sphenoidalis

dan ethmoidalis. Pemeriksaan ini dapat ditentukan apakah ditemukan perkabutan parsial

atau komplit di rongga sinus, atau adanya air fluid level.3, 14


Metode yang lebih mutakhir sekarang adalah CT-Scan Sinus paranasalis. Potong yang

biasanya digunakan adalah potongan Coronal dan Axial. CT-Scan Sinus diindikasikan

apabila terjadinya Sinusitis kronik, trauma dan tumor. 3, 14

 Transiluminasi

Pemeriksaan ini memiliki manfaat yang terbatas hanya pada Sinus maxillaris dan

frontalis, sehingga hanya akan dilakukan jika tidak tersedianya fasilitas radiologi.

Transluminasi dilakukan untuk mengetahui adanya cairan di sinus yang sakit, yang akan

terlihat lebih gelap bila dibandingkan dengan sinus yang normal. 3, 14

 USG

Dengan pemeriksaan ini dapat dibedakan antara cairan dalam rongga sinus dan penebalan

mukosa. 3

 Sinoskopi

13
Merupakan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan alat endoskop, dimana

endoskop akan dimasukan melalui lubang yang dibuat kedalam Meatus nasi inferior.

Menggunakan pemeriksaan ini dapat diindetifikasi apakah kelain Sinus disebabkan oleh

polip, sekret, jaringan granulasi, tumor atau kista, keadaan mucosa dan kondisi dari
14
Ostium.

 Pemeriksaan mikrobiologi

Bahan pemeriksaan berasal dari sekret di rongga hidung, dan dapat ditemukan

bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal hidung atau kuman patogen. 3

2. Tractus respiratorius inferior


Pemeriksaan radiologis paru/bronkoskopi, seringkali hasilnya tidak khas karena

dipengaruhi oleh luas dan lamanya penyakit berlangsung. Pada gambaran rontgen akan

tampak corakan Bronchovasculer yang kasar, namun juga dapat berupa atelektasi atau

fibrosis Pulmo (khas Bronchitis). Pada Bronchiectasis, hasil foto rontgen akan tampak

seperti sarang lebah (Honey comb).3


G. Tatalaksana
Tatalaksana pada SBS adalah medikamentosa dan tindakan operatif. Antibiotik merupakan

pilihan utama dalam terapi medikamentosa pasien dengan SBS. Terapi antibiotik awal yang

dapat digunakan adalah Amoxicilin yang diberikan selama 10-20 hari. Selain itu obat pilihan

pertama lainnya adalah Cotrimoksazole (gabungan Trimetoprim dan Sulfametoxazole),

biasanya dengan antibiotik 70-80 % pasien SBS akan membaik pada hari ke 2-3 pengobatan

Bila tidak ada reaksi dalam 3 hari, perlu diberikan obat alternatif, yaitu β-lactamase-resistant

agent selama 10−20 hari tambahan. Pada penderita tertentu dengan kuman anaerob, dapat

diberikan Metronidazole atau Clindamisin. 3


Pemberian Antihistamin tidak selalu harus diberikan pada Sinusitis, namun penggunaannya

dapat bermanfaat pada Rhinitis yang dipicu oleh Allergen (Rhinitis alergica). Kunci dari
14
pengobatan adalah menghilangkan obstruksi nasal sehingga pemberian Mucolitic sangat

dianjurkan.3, 8
Terapi operatif diindikasikan apabila SBS berulang pasca pemberian antibiotik. Metode

operatif yang dikembangkan adalah teknik Functional Endoscopy Surgery yang bersifat

minimal invasive dengan tingkat keberhasilan kurang-lebih 80 %. 3, 10


BAB III
KESIMPULAN

Sinobronchial syndrome (SBS) merupakan suatu peradangan kronik yang melibatkan Sinus

paranasalis dan Tractus respiratorius inferior (Bronchus). Peradangan paling banyak

disebabkan oleh proses infeksi dengan patogen yang tersering menyebabkan infeksi adalah

Streptococcus pneumoniae, Haemophylus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Selain

infeksi, penyebab seperti alergi dan zat iritan juga dapat mengakibat terjadi SBS.
SBS lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa. Hal ini dikarena sistem imun

pada anak masih belum matang dan sempurna, sehingga anak-anak biasanya akan mengalami

6 hingga 7 infeksi virus per tahun Beberapa literatur menyebut bahwa patogenesis dari SBS

dipengaruhi oleh tiga hal yakni inflamasi, infeksi dan obstruksi, dimana ketiga hal itu saling

akan berinteraksi satu sama lain.


Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah terapi medikamentosa dan operatif. Terapi

medikamentosa pilihan adalah pemberian antibiotik seperti Amoxicilin, Cotrimoxazole dll,

jika tidak ada perkembangan pemberian golongan beta-lactamase turut dipertimbangkan.

Pada infeksi oleh bakteri anaerob, perlu untuk diberikan antibiotik Metronidazol atau

Clindamicyn. Pemberian Mucolitic juga dianjurkan untuk mengurangi obstruksi Nasal.

Terapi operatif dilakukan apabila SBS rekuren.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe N. Sinobronkitis pada Anak. Sari Pediatri. Desember 2000. Vol 2 (3): 146-154
2. Corren J, Togias A, Bousquet J. Upper and Lower Respiratory Disease. CRC Press; New

York: 2003. Page: 421-23


3. Modul Respirologi: Rinosinobronkitis. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran

Airlangga. [Internet] 2017 [Diambil pada 21 April 2018]. Diambil dari:

http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/RS05_Rhinosinobronkitis-

Q.pdf
4. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi 7. Penerbit FK UI; Jakarta: 2014.

Hal: 96-8
5. Moore KL, Dalley AF. Agus A, Moore M. Anatomi berorientasi klinis. Edisi 5. Jilid 3.

Jakarta: Penerbit Erlangga; 2013: Hal.129-33


6. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Kepala Leher dan Neuroanatomi

Jilid 3. Edisi 23. EGC; Jakarta: 2013. Hal: 177


7. Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC; Jakarta: 2012.

Hal: 805-6 dan 88-9


8. Moore KL, Dalley AF. Agus A, Moore M. Anatomi berorientasi klinis. Edisi 5. Jilid 1.

Jakarta: Penerbit Erlangga; 2013: Hal.124-5


9. Bruce DF, Grossan M. The Sinus Cure: 7 Simple Steps to Relieve Sinusitis and other Ear,

Nose, and Throat Conditions. Random House Publishing Group; New York: 2008. Page:

51-2
10. Chmielik M Zajac B. Sinobronchial syndrome. Czytelnia Medyczna. Borgis. Maret 1999.

Page: 8-9
11. Suzaki H, Kudoh S, Sugiyama Y, Maeda H, Nomura Y. Sinobronchial Syndrome in

Japanese People. American Journal of Rhinology. July-August 1990, Vol. 4, No.4: 133-9
12. Stockley R, Rennard S, Rabe K, Celli B. Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

Blaclwll Publishing; Massachusetts: 2007. Page: 514-5

16
13. Roslan NB. Referat: Bronkitis Kronis. Fakultas Kedokteran Universita Trisakti; Jakarta:

2013. Hal: 1-27


14. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasalis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi 7. Penerbit FK UI; Jakarta: 2014.

Hal: 122-26

17

Anda mungkin juga menyukai