Anda di halaman 1dari 16

BASEMENT INDONESIA TIMUR

I. PENDAHULUAN
Dalam ranah Geologi Indonesia, wilayah Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah yaitu
Indonesia Barat, Indonesia Tengah, dan Indonesia Timur. Pembagian tersebut berdasarkan
pada distrubusi batuan dengan karakteristik yang sama, kesamaan pola kelurusan dan struktur
geologi, serta kesamaan proses tektonik yang bekerja pada suatu wilayah. Penulisan makalah
ini ditekankan pada pembahasan batuan dasar (basement) Indonesia Timur yang meliputi jenis
dan karakteristik basement, letaknya pada tatanan stratigrafi regional, kronologi pembentukan
dalam skala waktu geologi, genesa, dan potensinya. Secara umum batuan dasar diartikan
sebagai batuan kristalin baik batuan beku maupun metamorf yang menjadi dasar dari suatu
reservoar hidrokarbon. Pada dunia pertambangan, terminologi basement tidak digunakan.
Batuan kristalin dalam dunia pertambangan disebut dengan country rock.

Gambar 1.1. Lempeng tektonik penyusun Indonesia Timur. Garis kotak merah merupakan batas wilayah
Indonesia Timur (Metcalfe, 2013)

1
Indonesia imur merupakan terbentuk dari serakan mikrokontinen yang saling
bertumbukan yang meliputi Pulau Papua, Pulau Selawesi (kecuali Sulawesi Barat), Kepulauan
Sunda Kecil, Pulau Maluku, serta pulau-pulau kecil di antara Maluku dan Papua.
Pembentukan Indonesia Timur mengubah tatanan tektonik Indonesia hingga memiliki bentuk
yang sama dengan Indonesia saat ini.

II. KARAKTERISTIK dan JENIS BATUAN DASAR WILAYAH INDONESIA


TIMUR

III. BATUAN DASAR dalam TATANAN STRATIGRAFI WILAYAH INDONESIA


TIMUR

III.1. HALMAHERA

Basemen Halmahera bagian Timur meliputi ofiolit, batuan metamorf, dan batuan
sedimen. Ofiolit terbentuk oleh gerusan kuat dan mafik terbreksikan dan batuan ultramafik
meliputi peridotit terserpentinisasi, gabbro, basalt, dan diabas (Sukamto et al., 1981). Hall et
al (1988) mencatat bahwa kompleks basemen tidak hanya didominasi oleh batuan ultrabasa,
meskipun jenis batuan terlihat bervariasi dari daerah ke daerah, dan kompleks basemen
meliputi rijang radiolaria berwarna merah dan batulumpur berwarna merah. Batuan beku basa
dan batuan ultrabasa, membentuk basemen pada lengan timur Halmahera. Pulau Pakal secara
regional tersusun oleh batuan ultrabasa berumur Pra-Tersier. Komplek batuan ultramafik
terdiri dari dunit, harsburgite, lersolit dan serpentinit (Subiyanto & Rusmana, 2001). Dunit
berbutir halus sampai menengah, sebagian telah mengalami serpentinisasi. Butiran kromit
halus umumnya terdapat secara tersebar dalam jumlah <1%.

Formasi Breksi Dodaga diambil dari Sungai Dodaga, dimana keterdapatannya secara
tektonik terisolasi namun dasar dari formasi ini dapat terlihat di Sungai Gau dimana terdapat
transisi beberapa meter dari batugamping Formasi Gau menjadi batulanau berlapis tipis dan
batupasir berbutir halus Formasi Breksi Dodaga. Diatas dari bagian ini didominasi oleh
sedimen silisiklastik, keabu – abuan, dan struktur sedimen yang melimpah. Beberapa karbonat
ditemui dan mikrit lanau pelagic dengan debris volkanik berumur Campanian akhir –
Maastrichtian.

Sebagian besar dari klastika batuan beku merupakan mafik, sedangkan klastika
sedimen termasuk diantaranya batulempung, batupasir, breksi, serta batugamping
rekristalisasi berwarna merah – putih. Salah satu klastika batugamping berumur Campanian
atau Maastichtian diperkirakan pada lingkungan laut dangkal; mirip dengan batugamping
Kretaseus akhir yang ditemukan pada singkapan di Formasi Breksi Dodaga di Sungai Onat.

2
Gambar 3.1. (a) Klastika batugamping merah berbentuk angular, dengan breksi bersortasi
buruk pada Breksi Formasi Dodaga, yang ditemukan pada Sungai Onat. (b) Klastika Gabbro dan
Diorite yang ditemukan di Sungai Onat.

Gambar 3.2. (a) Kumpulan olivine di Sungai Dodaga. (b) Blok gabbro-diorite

3
Gambar 3.3. Log transisi antara Batugamping Formasi Gau dengan Breksi Formasi Dodaga pada
Sungai Gau. Batas antara kedua formasi diambil dari keterdapatan batugamping pelagik.

Gambar 3.4. (a), (b) Multiple intrusion dari batuan mafik yang membentuk Pegunungan Sibela, Bacan.
Meta-gabbro pada Sungai Ra di utara Pegunungan Sibela. (c) Lava bantal terdeformasi di Saleh Kecil.
(d) Batuan metasedimen terdeformasi berasosiasi dengan lava bantal di Saleh Kecil.
4
III.2. PULAU BURU, MALUKU

Gambar 3.5. Peta tektonik Indonesia dan lokasi dari Pulau Buru (After Hamilton, 1979)

Pulau Buru relative kerak benua yang stabil dengan blok sesar (Wiryosudjono, 1978) dan
dicirikan oleh ketiadaan sesar naik, struktur imbrikasi, mélange, dan peridotite. Batuan tertua di Buru
merupakan batuan sedimen flysch termetamorfosis pada fasies greenschist. Secara tidak selaras batuan
yang menutupi basemen merupakan sedimen klastik mirip flysch dari Dalan, batugamping Ghegan,
dan batugamping Leksula (PERTAMINA-Mobil-GRDC, 1994).

5
Gambar 3.6. Lokasi dari daerah penelitian

Pada wilayah sungai Duna, saat Jurasik terjadi adanya aktivitas volkanik yang menghasilkan
lava bantal dari Mefa Volkanik, yang menjari dengan lapisan kaya fosil dari Formasi Duna (Harahap,
2000). Formasi ini secara tidak selaras menutupi batuan metamorf dan sedimen. Formasi Kuma secara
tidak selaras ditutupi oleh Formasi Waeken pada Oligosen akhir – awal Miosen.

Gambar 3.7. Perselingan dari shale kemerahan dengan shale keabu – abuan dari Formasi Dalan
berumur Triasik yang terekspos di Sekar timber road di lokasi Bu-94-016-15.

6
Gambar 3.8. Perlapisan kalsilutit dengan rijang pada Formasi Duna berumur Jurasik – Kretaseus
tersingkap di Sungai Kuma (lokasi Bu 94-016-23)

Gambar 3.9. Perlapisan kalsilutit dengan perlapisan tipis dan nodular rijang dari Formasi Kuma
berumur Kretaseus-Osen, tersingkap pada Sungai Kuma (lokasi BU-94-016-19)

7
Gambar 3.10. Kolom stratigrafi dari Sungai Kuma

III.3. PAPUA

Daerah Sepik Selatan

Daerah Speik Selatan merupakan segmen pecahan kecil yang memisah dari blok kontinen
Australia dari selatan ke utara. Pemecahan ini ditandai pada Sepik Selatan dengan Zona Sesar Lagaip.
Batuan tertua berumur Triasik tengah dan atas yang termasuk batuan volkanik dari Kana Volcanics.
Mengalami ketidakselarasan oleh sekuen yang tebal dari serpih pirit hitam (Lagaip Beds), yang
terendapkan di selatan dari Zona Sesar Lagaip saat Jurasik dan Kretaseus.

Gambar 3.11. Batupasir kuarsa dengan perselingan serpih pada Lagaip Beds di atas dari Sungai Ambum.
8
Utara zona sedimentasi dimulai saat Jurasik tengah dengan deposisi dari batuan volkanik basa
yang disebut Mongum Volkanik. Shale (Maril Shale dan Sitipa Sahle) terdeposisi pada Jurasik atas
dan eugeosyncline mencapai perkembangan penuh saat Kretaseus dan Eosen, disaat Formasi Salumei
yang tersusun oleh shale, turbidit, dan material volkanik serta batugamping terendapkan.

Gambar 3.12. Laminasi dari perlapisan tipis serpih dan batulanau dari Formasi Salumei yang
terletak diatas Sungai Karawari.

Gambar 3.13. Abu volkanik subaerial pada sisi jalan diantara Wapenamanda dan Wabag.
Lapisan termasuk pada Gunung Volkanik Hagen atau Sugarloaf Volcanics.

Terdapat jeda pengendapan dari kedua sisi pada zona patahan saat Eosen dan Oligosen,
setelah sedimen volkanik terendapkan (Pundugum Formation) di utara zona sesar saat Miosen. Pada
bagian selatan saat Miosen bawah terendapkan sedimen batugamping serta napal (Yangi Beds) dan
anggota batugamping Tibinini).

9
Pada Miosen tengah terdapat klimaks dari tektonik serta aktivitas batuan beku pada bagian
selatan. Terdapat pluton besar (Diorit Maramuni), andesite plugs, dan dykes (Frieda Porphyry), serta
tubuh besar peridotite dan dunite (April Ultramafics) yang muncul pada daerah ini. Bagian dari
Fomrasi Salumei juga termetamorfismekan menjadi fasies greenschist secara regional dan secara lokal
menjadi sekis glaucophane dan echlogite (Gafug Gneiss).

Gambar 3.14. Kenampakan hornblende-biotite microgranodiorit dari Maramuni Diorit yang


terletak dibagian bawah Sungai Maramuni.

Gambar 3.15. Olivine bearing pyroxene diorite dari Maramunu Diorite yang terletak dibawah area
Sungai Arafundi.

10
Gambar 3.16. Hornblende-biotit-olivine diorite dari Maramuni Diorit.

IV. KRONOLOGI PEBENTUKAN BATUAN DASAR WILAYAH INDONESIA


TENGAH dalam SKALA WAKTU GEOLOGI
Indonesia Timur memiliki karakteristik yang berkebalikan dengan Indonesia Barat.
Dalam Siklus Wilson mengenai pembentukan lempeng samudera, Indonesia Timur terletak
pada setengah fase awal dari siklus sehingga Indonesia Timur terbentuk pada waktu yang
relatif muda. Gambar 4.1 membagi secara sederhana event tektonik Indonesia Timur yang
sebagian besar mikrokontinen dulunya berasal dari benua Gondwanaland. Secara sederhana
pembentukan Indonesia Timur dapat dibagi menjadi Devon Akhir, Cretaceous, dan Eocene-
recent.

11
\
Gambar 4.1. Pembagian event tektonik dalam pembentukan Indonesia Timur (Metcalfe, 2006)
a. Devon Akhir
Pada zaman sebelum Devon, mikrokontinen yang membentuk Indonesia Timur masih
bergabung menjadi satu dalam Gondwanaland. Baru pada Zaman Devon, mikrokontinen
mulai memisah dari bagian utama Gondwanaland yang dimulai dengan terpisahnya kelompok
Cathaysialand (Lempeng Tharim, North China, South China). Mulai Zaman Devon ini
mikrokontinen yang mengalami pemisahan dengan bagian utama Gondwanaland terus
bergerak ke utara karena adanya dorongan rifting di selatan dan tarikan subduksi di utara.
Akibatnya Lempeng Australia menjadi batas utara dari Gondwanaland setelah terjadi
pemecahan bagian utara Gondwanaland, dan kelompok Gondwanaland utara yang pecah telah
menempati posisinya membentuk Sundaland dan India.

b. Zaman Kapur
Pada Zaman Kapur terjadi event tektonik berupa perekahan lantai samudera Keno
Tethys di sebelah timur Gondwanaland sedangkan di utara Australia terdapat zona subduksi.
Dari arah timur yang merupakan bagian dari Pasifik Modern terdapat Busur Sepik yang
merupakan bagian dari serakan mikrokontinen di daerah Pasifik. Pemekaran Samudera
Kenothetys dan subduksi di utara Australia mengakibatkan Lempeng Australia bagian utara
(kepala dan badan burung Australia) bergerak ke utara bersama Sula Spur (cikal bakal
kepulauan kecil-kecil di antara Sulawesi dan Papua). Subduksi di utara tersebut berakhir
12
setelah terjadinya kolisi antara bagian utara Lempeng Australia (Papua) dengan Sula Spur
yang membentuk Pulau Papua secara utuh (kepala dan badan burung). Kolisi tersebut
membentuk suture berupa pegunungan yang membentang di bagian tengah Papua sepanjang
jalur suture, dan merupakan jejak penutupan Samudera Kenothetys di Indonesia.

c. Eosen – saat ini


Memasuki Paleogen, tepatnya pada Kala Eosen, terjadi banyak peristiwa tektonik
penting yang membentuk Indonesia Timur. Laut Sulu dan Halmahera yang ada di utara Papua
mengalami drifting 19 Ma dan Pulau Halmahera terdorong ke selatan semakin mendekati
Papua. Kolisi antara Australia dan Busur Sepik yang membentuk Papua juga membawa Sula
Spur semakin dekat dengan Lengan Barat Sulawesi. Sula Spur ini bergerak mendorong ke
barat laut karena di utara Papua sudah ada Lempeng Filipina, sehingga Sula Spur dan Papua
tidak bisa bergerak ke utara. Sebagai gantinya masalah ruang diakomodasi oleh Sesar Sorong
(23 Ma) bersifat sinistral di antara bagian utara Papua dengan Halmahera. Sesar ini yang
mendorong Halmahera ke posisinya saat ini. halmahera bergerak sangat cepat karena selain
didorong oleh Sesar Sorong juga ditarik oleh subduksi ganda (13 Ma).
Sula Spur yang semakin mendekati Sulawesi akhirnya mengalami kolisi dengan
Lengan Utara Sulawesi yang berasal dari Lempeng Filipina. Sula Spur membentuk lengan
tenggara Sulawesi. Kemudian pergerakanlengan tenggara Sulawesi ke barat laut terhenti
karena menumbuk Lengan Barat Sulawesi. Masalah ruang tersebut diakomodasi dengan
terbentuknya Sesar Palu Koro yang berupa sesar transform. Busur Sunda Kecil yang
merupakan bagian Sula Spur juga mengalami emplacment seiring pembentukan Lengan
Sulawesi dan kemudian mengalami subduksi drngan Pulau Flores.. samudra Banda Utara juga
terbentuk pada fase ini yang merupakan lempeng samudera terdalam di dunia saat ini.
Akibat proses pecahnya benua, pemekaran samudra, kolisi, dan subduksi maka terbentuk
batuan-batuan dengan karakteristik dasar sebagaimana persebarannya tergambar pada gmbar
4.2.

13
Gambar 4.2. Peta geologi Indonesia Timur yang disederhanakan (Hamilton, 1979)
Batuan di Indonesia Timur umumnya berumur relatif sangat muda dibandingkan
dengan batuan-batuan di Sundaland. Beberapa batuan metamorf termuda di dunia dapat
ditemukan di Indonesia Timur seperti granulit Pulau Seram yang berumur 16 Ma (Pownall,
dkk., 2014) dan sekis biru Pulau Leti yang berumur 11 Ma (Kadarusman, dkk., 2010). Umur
batuan metamorf yang muda mengindikasikan bahwa proses tumbukan berupa subduksi
maupun kolisi antara blok tektonik yang berserakan di Indonesia Timur terjadi pada umur
yang muda. Namun beberapa batuan berumur lebih tua juga dijumpi di Indonesia Timur
karena berasal dari Lempeng Benua Australia yang berumur sangat tua karena merupakan
bagian dari Gondwanaland. Gambaran mengenai persebaran umur batuan pada Indonesi
Timur dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Persebaran umur batuan di Indonesia Timur (Vulleneuve, dkk., 2010)

14
V. PROSES PEMBENTUKAN BATUAN DASAR WILAYAH INDONESIA TENGAH

VI. POTENSI BATUAN DASAR WILAYAH INDONESIA TENGAH

15
DAFTAR PUSTAKA

Hall, R., 1996. Reconstructing Cenozoic SE Asia. In: Hall, R., Blundell, D.J. (Eds.), Tectonic
Evolution of Southwest Asia, 106. Geological Society of London Special Publication,
pp. 153±184.
Hall, R., 2002, Cenozoic Geological And Plate Tectonic Evolution Of SE Asia and The SW
Pacific: Computer-Based Reconstructions, Model and Animations: Journal of Asian
Earth Sciences, p. 20, p. 353–431.

Hamilton, W. 1979. Tectonics of The Indonesian Region. U.S. Geological Survey Profesional
Paper 1078

Kadarusman, Ade, Massonne, Hans-Joachim. Roermund, Herman van. Permana, Haryadi &
Munasri. 2007. P-T Evolution of Eclogites and Blueschists from the Luk Ulo
Complex of Central Java, Indonesia, International Geology Review, 49:4, 329-356

Metcalfe, I. 2006. Palaeozoic and Mesozoic Tectonic Evolution and Paleogeography of East
Asian Crustl Fragment : The Korean Peninsula Context. Gondwana Research 9, 24-
46

Pownwall, J.M., Hall, R., Armstrong, R.A., Foster, M.A. 2014. Earth’s Youngest Known
Ultrahigh-Temperature Granulite Discovered on Seram, Eastern Indonesia.
Geological Society of America v.42 No. 4, p: 279-282

Villeneuve, M., dkk. 2010. Dechipering of Six Blocks of Gondwanan Origin Within Eastern
Indonesia (South East Asia). Gondwana Research 18, 420-437

16

Anda mungkin juga menyukai