Anda di halaman 1dari 10

JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 69-78

Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/gaussian

ANALISIS SPASIAL
PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN
INDEKS MORAN DAN GEARY’S C
(STUDI KASUS DI KOTA SEMARANG TAHUN 2011)

Nuril Faiz1, Rita Rahmawati2, Diah Safitri3


1
Mahasiswa Jurusan Statistika FSM Universitas Diponegoro
2,3
Staf Pengajar Jurusan Statistika FSM UNDIP

ABSTRAK
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegypti melalui virus yang dimilikinya yaitu virus dengue dari penderita
kepada orang lain melalui gigitannya. Tingkat ketergantungan penyakit DBD di suatu daerah
diperkirakan dipengaruhi oleh penyakit DBD di daerah lain yang berdekatan. Pernyataan
tersebut didukung oleh Hukum Geografi Pertama yang diungkapkan Tobler yang menyatakan
“Semua hal berhubungan dengan hal lainnya, tetapi hal yang dekat lebih berhubungan
dibandingkan dengan hal yang berjauhan”. Oleh karena itu, jika suatu wilayah menjadi endemi
penyakit DBD, maka diduga wilayah tersebut akan membuat wilayah yang berbatasan
langsung dengannya menjadi endemi penyakit DBD yang baru. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi spasial dalam penyebaran penyakit DBD
di wilayah Kota Semarang. Dibatasi pada metode Indeks Moran dan Geary’s c serta pemetaan
penyebaran penyakit DBD di wilayah Kota Semarang dengan memperhatikan lokasi
(kecamatan) pada tahun 2011. Dari kedua metode yang digunakan menunjukkan adanya pola
penyebaran penyakit DBD secara spasial di Kota Semarang dan menunjukkan autokorelasi
spasial positif, yang mengindikasikan lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang mirip,
dan cenderung berkelompok.

Kata Kunci: Demam Berdarah Dengue (DBD), spasial, Indeks Moran, Geary’s c.

ABSTRACT
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is an infectious disease transmitted by the mosquito
Aedes aegypti through its the virus dengue virus from patient to another via the bite. Rate
dependence dengue in an area estimated to be affected by dengue fever in other neighboring
areas. The statement was supported by the First Law of Geography expressed Tobler that all
things related to everything else, but near things are more related than distant things.
Therefore, if a dengue endemic area, the suspected region make the area immediately adjacent
to endemic dengue with a new one. The purpose of this study was to determine whether there
is spatial autocorrelation in the spread of dengue fever in the city of Semarang. Limited to
methods index and Geary's C Moran and mapping the spread of dengue fever in the city of
Semarang with respect to the location (district) in 2011. Of the two methods used showed a
pattern of spread of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) are spatially in Semarang and show
positive spatial autocorrelation, indicating a nearby location to have similar values, and tend to
cluster.

Keyword: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), Spatial, Moran Index, Geary’s c.

1. PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang ditularkan
oleh nyamuk Aedes aegypti melalui virus yang dimilikinya yaitu virus dengue dari
penderita kepada orang lain melalui gigitannya. Virus ini berkembang biak di dalam
kelenjar liur di pangkal belalai nyamuk dan berkembang subur di dalam darah manusia
(Yatim, 2007).
Tingkat ketergantungan penyakit DBD di suatu daerah diperkirakan dipengaruhi oleh
penyakit DBD di daerah lain yang berdekatan. Yatim (2007) menyatakan DBD menyebar
secara ruang dan waktu melalui gigitan nyamuk dari penderita ke orang lain dari suatu
tempat ke tempat lain di mana penderita lain tersebut berada. Pernyataan mengenai
penyebaran penyakit DBD yang diperkirakan dipengaruhi oleh penyakit DBD di daerah
lain yang berdekatan didukung oleh Hukum Geografi Pertama yang diungkapkan Tobler.
Tobler dalam Anselin (1993) mengatakan, “Semua hal berhubungan dengan hal lainnya,
tetapi hal yang dekat lebih berhubungan dibandingkan dengan hal yang berjauhan”. Oleh
karena itu, jika suatu wilayah menjadi endemi penyakit DBD, maka diduga wilayah
tersebut akan membuat wilayah yang berbatasan langsung dengannya menjadi endemi
penyakit DBD yang baru.
Menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang, di wilayah Kota Semarang jumlah
penderita DBD mengalami kenaikan dari tahun 2009 ke 2010, yaitu dari 3.883 penderita
menjadi 5.556 dan di tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 1.317 dengan 10
penderita meninggal. Meskipun mengalami penurunan di tahun 2011, jumlah penderita
yang meninggal pada tahun 2012 sampai minggu ke-37 sebanyak 17 orang
(Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012). Melihat meningkatnya jumlah penderita DBD
yang meninggal dari tahun 2011 ke 2012 maka DBD tetap menjadi penyakit yang tingkat
endemisitasnya tinggi di wilayah Kota Semarang, sehingga diperlukan suatu analisis yang
dapat digunakan untuk melihat bagaimana pola penyebaran penyakit DBD secara spasial di
wilayah Kota Semarang.
Pada penelitian ini dibatasi pada metode Indeks Moran dan Geary’s c dan pemetaan
penyebaran penyakit DBD di wilayah Kota Semarang dengan memperhatikan lokasi
(kecamatan) pada tahun 2011.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Data Spasial
Statistika spasial adalah metode statistika yang digunakan untuk menganalisis data
spasial. Metode ini telah digunakan dalam berbagai bidang antara lain sosial, ekonomi,
alam dan lingkungan, kesehatan, meteorologi, serta klimatologi. Sedangkan data spasial
adalah data yang memuat informasi “lokasi”, jadi tidak hanya “apa” yang diukur tetapi
menunjukkan lokasi dimana data itu berada (Banerjee, 2004). Menurut Rajabidfard dan
Williamson dalam Suryantoro (2009), data spasial adalah salah satu item dari informasi di
mana di dalamnya terdapat informasi mengenai bumi, termasuk permukaan bumi, di bawah
permukaan bumi, perairan, kelautan dan bawah atmosfir.

2.2 Analisis Data Spasial


Data spasial adalah data yang berkaitan dengan lokasi berdasarkan geografi yang terdiri
dari lintang-bujur dan wilayah. Analisis data spasial tidak dapat dilakukan secara global,
artinya setiap lokasi mempunyai karakteristik sendiri. Sebagian besar pendekatan
analisisnya merupakan eksplorasi data yang disajikan dalam bentuk peta tematik. Peta
tematik juga disebut peta statistik atau peta tujuan khusus, menghasilkan gambaran
penggunaan ruangan pada tempat tertentu sesuai dengan tema yang diinginkan. Peta-peta
tematik menekankan pada variasi penggunaan ruangan dari distribusi geografis. Distribusi
geografis bisa berupa fenomena fisikal seperti iklim, kepadatan penduduk atau
permasalahan kesehatan (Pfeiffer dkk, 2008).

JURNAL GAUSSIAN Vol. 2, No. 1, Tahun 2013 Halaman 70


2.3 Autokorelasi Spasial
Autokorelasi Spasial adalah suatu korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri atau
dapat juga diartikan ukuran kemiripan dari objek dalam suatu ruang. Permulaan dari
keacakan spasial mengindikasikan pola spasial seperti clustered (berkelompok), dispersed
(menyebar), atau random (acak). Autokorelasi spasial positif mengindikasikan lokasi yang
berdekatan mempunyai nilai yang mirip dan cenderung berkelompok. Autokorelasi spasial
negatif mengindikasikan lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang berbeda dan
cenderung menyebar. Dan tidak ada autokorelasi spasial mengindikasikan pola lokasi acak
(Lee dan Wong, 2001).
Pengukuran Autokorelasi Spasial untuk data spasial area dapat dihitung menggunakan
metode Moran’s I (Indeks Moran), Geary’s c, dan Tango’s excess (Pfeiffer dkk, 2008).
Akan tetapi pada penelitian ini akan dibatasi pada metode Indeks Moran dan Geary’s c.

2.3.1 Indeks Moran


Indeks Moran paling sering digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial global
dan mengkuantifikasi kesamaan dari variabel hasil antar wilayah (area) yang didefinisikan
sebagai spasial terkait. Hal tersebut dapat diterapkan untuk mendeteksi permulaan dari
keacakan spasial. Permulaan dari keacakan spasial mengindikasikan pola spasial seperti
berkelompok atau membentuk tren terhadap ruang (Pfeiffer dkk, 2008).
Perhitungan autokorelasi spasial menggunakan Indeks Moran dengan matriks
pembobot W berdasarkan perkalian silang adalah sebagai berikut :
n i  j wij ( xi  x )( x j  x )
I (1)
(i  j wij )i (xi  x ) 2

(Banerjee, 2004)
Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan Indeks Moran berkisar antara -1 sampai 1.
Nilai indeks moran bernilai nol mengindikasikan tidak berkelompok, nilai indeks moran
yang positif mengindikasikan autokorelasi spasial yang positif yang berarti lokasi yang
berdekatan mempunyai nilai yang mirip dan cenderung berkelompok, dan nilai indeks
moran yang negatif mengindikasikan autokorelasi spasial negatif yang berarti lokasi yang
berdekatan mempunyai nilai yang berbeda (Pfeiffer dkk, 2008).
Signifikansi Indeks Moran dapat ditaksir di bawah pendekatan normal. Uji
signifikansi Indeks Moran dilakukan dengan pendekatan normal dengan ketentuan sebagai
berikut :
i. Hipotesis
I = 0 (tidak ada autokorelasi spasial)
I 0 (ada autokorelasi spasial)
ii. tingkat signifikansi
iii. statistik uji
I  E(I ) a
Z (I )  ~ N (0;1) (2)
Var ( I )

1
dengan nilai harapan : E(I )  I 0  
n 1

JURNAL GAUSSIAN Vol. 2, No. 1, Tahun 2013 Halaman 71


ragam untuk pendekatan normal (Banerjee, 2004) :
n 2 (n  1) S1  n(n  1) S 2  2S 02
Var ( I ) 
(n  1)(n  1) 2 S 02 (3)
1
dengan S 0  i  j wij , S1   (wij  w ji ) 2 ,
2 i j
S 2  k ( j wkj  i wik ) 2

iv. daerah kritis


dengan uji dua arah akan ditolak jika |Z (I)| >
v. kesimpulan

2.3.2 Geary’s c
Menurut Pfeiffer dkk (2008) metode lain untuk mengukur autokorelasi spasial
global adalah Geary’s c. Metode ini membandingkan antara dua nilai daerah secara
langsung. Dua nilai daerah yang berdekatan ( dan ) dibandingkan dengan yang lainnya
secara langsung.
Perhitungan autokorelasi spasial menggunakan Geary’s c adalah sebagai berikut :
n n
(n  1) w ij ( xi  x j ) 2
i 1 j 1
c (4)
n n n
2( ( xi  x ) 2 )( wij )
i 1 i 1 j 1

Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan Geary’s berkisar antara nol sampai dua. Nilai c
bernilai nol mengindikasikan autokorelasi spasial positif yang sempurna, dan c bernilai dua
mengindikasikan autokorelasi spasial negatif yang sempurna (Pfeiffer dkk, (2008).
Signifikansi Geary’s c dapat ditaksir di bawah pendekatan normal. Uji signifikansi
Geary’s c dilakukan dengan pendekatan normal dengan ketentuan sebagai berikut :
i. Hipotesis
c = 1 (tidak ada autokorelasi spasial)
c 1 (ada autokorelasi spasial)
ii. tingkat signifikansi
iii. statistik uji
c 1 a
Z (c )  ~ N (0;1)
Var (c) (5)
dengan nilai harapan untuk Geary’s c selalu 1
ragam untuk pendekatan normal (Lee dan Wong, 2001) :
(2S1  S 2 )(n  1)  4S 0
2

Var (c) 
2(n  1) S 0
2
(6)
n n
1
dengan S0  ( wij ) , S1  i  j ( wij  w ji ) 2 ,
i 1 j 1 2
S 2  k ( j wkj  i wik ) 2

JURNAL GAUSSIAN Vol. 2, No. 1, Tahun 2013 Halaman 72


iv. daerah kritis
dengan uji dua arah akan ditolak jika |Z (c)| >
v. kesimpulan

2.4 Matriks Pembobot Spasial


Salah satu hal yang sangat penting dalam analisis spasial adalah penentuan bobot. Cara
untuk memperoleh matriks pembobot spasial (W) yaitu dengan menggunakan informasi
jarak dari ketetanggaan (neighborhood ) kedekatan antara satu region dengan region yang lain.
Jika data didapatkan di sejumlah lokasi (n), maka matriks pembobot spasial akan menjadi n
x n (Lee dan Wong, 2001).
Matriks pembobot spasial dapat diklasifikasikan melalui beberapa cara sebagai berikut :
1. Bobot untuk dua lokasi yang berbeda konstan.
2. Semua hal yang diteliti dan mempunyai jarak mempunyai bobot tersendiri.
3. Tetangga terdekat mempunyai bobot satu dan yang lainnya nol.
(Lee dan Wong, 2001)

2.5 Moran Scatterplot


Langkah untuk menginterpretasikan statistik Indeks Moran adalah melalui Moran’s
Scatterplot, yaitu alat untuk melihat hubungan antara nilai pengamatan yang sudah
distandarisasi dengan nilai rata-rata daerah tetangga yang sudah distandarisasi
(Zhukov, 2010).

2.6 Pemetaan
Peta adalah gambaran sebagian atau seluruh muka bumi baik yang terletak di atas
maupun di bawah permukaan dan disajikan pada bidang datar pada skala dan proyeksi
tertentu secara matematis (GIS Konsorsium Aceh Nias, 2007).

3. METODOLOGI PENELITIAN
Tahapan analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian dalam penulisan
tugas akhir ini diuraikan sebagai berikut :
1. Menggunakan peta Kota Semarang untuk menentukan kedekatan antar kecamatan
di Kota Semarang dengan membuat matriks Rook Contiguity.
2. Menghitung Indeks Moran dari data jumlah penderita DBD tiap kecamatan di Kota
Semarang.
3. Menguji ada tidaknya autokorelasi spasial menggunakan Indeks Moran. Selanjutnya
dilihat apakah autokorelasi yang terjadi positif apa negatif.
4. Menghitung Geary’s c dari data jumlah penderita DBD tiap kecamatan di Kota
Semarang.
5. Menguji ada tidaknya autokorelasi spasial menggunakan Geary’s c.
6. Selanjutnya dilihat apakah autokorelasi yang terjadi positif apa negatif.
7. Membuat Moran’s Scatterplot
8. Membuat peta hasil Moran’s Scatterplot. Pemetaan digunakan untuk menunjukkan
tingkat penyebaran penyakit DBD di wilayah Kota Semarang.
9. Software yang digunakan adalah Microsoft Excel, GeoDa, ArcGis 9.3 dan ArcView
3.3.

JURNAL GAUSSIAN Vol. 2, No. 1, Tahun 2013 Halaman 73


4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Dinas
Kesehatan Kota Semarang pada tahun 2011 berupa data jumlah penderita DBD per
kecamatan dan data posisi (contiguity atau ketersinggungan) antar kecamatan dan data
jumlah penderita DBD tiap kecamatan di Kota Semarang.

4.2 Kota Semarang

Gambar 1. Peta Kota Semarang

Kota Semarang adalah ibukota dari provinsi Jawa Tengah, berbatasan Laut Jawa di
utara, Kabupaten Demak di timur, Kabupaten Semarang di selatan, dan Kabupaten Kendal
di barat. Kota Semarang yang terdiri dari 16 kecamatan (Pemerintah Kota Semarang,
2012).

4.3 Matriks Contiguity


Untuk penentuan kedekatan antar kecamatan alat yang digunakan adalah peta Kota
Semarang. Diketahui Kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan sehingga matriks
contiguity yang terbentuk berukuran 16 x 16. Dengan menggunakan metode rook contiguity
dari 16 kecamatan tersebut dapat diketahui total dari banyaknya neighborhood yang
terbentuk adalah 64, yaitu jumlah dari semua elemen matriks contiguity yang bernilai 1.

4.4 Indeks Moran dan Geary’s c


Hasil analisis menggunakan Indeks Moran dan Geary’s c
Indeks Moran Geary’s c
Nilai Perhitungan 0,1529 0,730
Varian 0,013 0,034
Statistik Uji (Z) 1,928a 1,46b
a
signifikan pada = 10%, b signifikan pada = 15%
Dari pengujian dengan Indeks Moran didapatkan kesimpulan bahwa terdapat
autokorelasi spasial dengan tingkat signifikansi 10% dalam penyebaran DBD di Kota
Semarang. Dengan nilai Indeks Moran sebesar 0,1529 berada pada rentang 0 dan 1 maka
dapat disimpulkan autokorelasi yang dihasilkan adalah autokorelasi spasial positif.
Autokorelasi positif mengindikasikan lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang mirip

JURNAL GAUSSIAN Vol. 2, No. 1, Tahun 2013 Halaman 74


dan kasus DBD di Kota Semarang cenderung berkelompok. Dalam analisis digunakan
ketentuan ketetanggaan berdasarkan kecamatan, oleh karena itu kelompok yang dimaksud
ialah antar kecamatan satu dengan kecamatan lainnya berkelompok dengan nilai jumlah
penderita yang hampir sama.
Dari pengujian dengan Geary’s c kesimpulan yang didapatkan bahwa terdapat
autokorelasi spasial dengan tingkat signifikansi 15% dalam penyebaran DBD di Kota
Semarang. Sedangkan nilai Geary’s c sebesar 0,730 dan berada direntang 0 sampai dengan
1, maka dapat disimpulkan autokorelasi yang dihasilkan adalah autokorelasi spasial positif
yang mengindikasikan lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang mirip dan kasus DBD
di Kota Semarang cenderung berkelompok.
Meskipun mempunyai kesimpulan yang sama yaitu terdapat autokorelasi spasial,
namun Indeks Moran dan Geary’s c mempunyai tingkat signifikansi yang berbeda. Indeks
Moran mempunyai tingkat signifikasi 10% sedangkan Geary’s c 15%. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa Indeks Moran lebih sensitif daripada Geary’s c.

4.5 Moran’s Scatterplot


Titik-titik menyebar diantara kuadran HH, LH, LL dan HL. Kuadran I disebut High-
High (HH), menunjukkan daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh
daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kecamatan yang berada dalam kuadran I
adalah Kecamatan Candisari, Gajahmungkur, Pedurungan, Banyumanik, Semarang Selatan
dan Tembalang. Dapat dilihat Tembalang berada di kuadran High-High (HH) yaitu daerah
mempunyai nilai pengamatan yang tinggi dikelilingi daerah yang mempunyai nilai
pengamatan tinggi juga yaitu Kecamatan Banyumanik. Kuadran II disebut Low-High (LH),
menunjukkan daerah yang mempunyai nilai pengamatan rendah tapi dikelilingi oleh daerah
yang mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kecamatan yang berada dalam kuadran II adalah
Kecamatan Tugu, Gunungpati, Genuk dan Semarang Tengah. Dapat dilihat Gunungpati
berada di kuadran Low-High (LH) yaitu daerah yang mempunyai nilai pengamatan yang
rendah dikelilingi daerah yang mempunyai nilai tinggi yaitu Kecamatan Banyumanik.
Kuadran III disebut Low-Low (LL), menunjukkan daerah yang mempunyai nilai
pengamatan rendah dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan rendah.
Kecamatan yang berada dalam kuadran III adalah Kecamatan Mijen, Semarang Timur,
Gayamsari dan Semarang Utara. Dapat dilihat Mijen berada di kuadran Low-Low (LL)
yaitu daerah yang mempunyai nilai pengamatan rendah dikelilingi oleh daerah yang
mempunyai nilai pengamatan rendah yaitu kecamatan Gunungpati. Kuadran IV disebut
High-Low (HL), menunjukkan daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi
oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan rendah. Kecamatan yang berada dalam
kuadran IV adalah Kecamatan Ngaliyan dan Semarang Barat. Dapat dilihat Kecamatan
Ngaliyan berada di kuadran High-Low (HL) yaitu daerah yang mempunyai nilai
pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan rendah yaitu
Kecamatan Mijen.

JURNAL GAUSSIAN Vol. 2, No. 1, Tahun 2013 Halaman 75


4.6 Pemetaan

Gambar 2. Peta Penyebaran Penyakit DBD

Daerah High-High (HH), menunjukkan daerah yang mempunyai nilai pengamatan


tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi. Terdiri dari
Kecamatan Candisari, Gajahmungkur, Pedurungan, Banyumanik, Semarang Selatan dan
Tembalang. Daerah Low-High (LH), menunjukkan daerah yang mempunyai nilai
pengamatan rendah tapi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi.
Terdiri dari Kecamatan Tugu, Gunungpati, Genuk dan Semarang Tengah. Daerah Low-Low
(LL), menunjukkan daerah yang mempunyai nilai pengamatan rendah dikelilingi oleh
daerah yang mempunyai nilai pengamatan rendah. Terdiri dari Kecamatan Mijen,
Semarang Timur, Gayamsari dan Semarang Utara. Daerah High-Low (HL), menunjukkan
daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai
nilai pengamatan rendah. Terdiri dari Kecamatan Ngaliyan dan Semarang Barat.

5. PENUTUP
Dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diperoleh beberapa
kesimpulan, yaitu:
1. Terdapat autokorelasi spasial dalam penyebaran penyakit DBD di Kota Semarang.
Dengan metode Indeks Moran autokorelasi spasial signifikan dengan = 10%
sedangkan metode geary’s c signifikan dengan = 15%.
2. Terdapat autokorelasi spasial positif yang mengindikasikan lokasi yang berdekatan
mempunyai nilai yang mirip, dalam kasus ini kecamatan yang jumlah penderita
DBD-nya tinggi berdekatan dengan kecamatan yang jumlah penderita DBD-nya
tinggi juga dan cenderung berkelompok.
3. Dari pemetaan diketahui penyebaran penyakit DBD tertinggi berada di daerah
Kecamatan Candisari, Gajahmungkur, Pedurungan, Banyumanik, Semarang Selatan
dan Tembalang.

JURNAL GAUSSIAN Vol. 2, No. 1, Tahun 2013 Halaman 76


6. DAFTAR PUSTAKA
1. Anselin, L. 1993. Exploratory Spatial Data Analysis and geographic Information
Systems. National Center for Geographic Information and Analysis of California
Santa Barbara: CA93106.
2. Banerjee, S. 2004. Hierarchical Modeling and Analysis for Spatial Data. Boca
Raton: Chapman and Hall/CRC.
3. Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2012. Info Penyakit Terkini. http://www.dinkes-
kotasemarang.go.id. (diakses pada tanggal 21 September 2012).
4. Lee, J. and Wong, S.D. 2001. Statistical Analysis With Arcview GIS. New York:
John Willey & Sons. Inc.
5. GIS Konsorsium Aceh Nias. 2007. Modul Pelatihan ArcGis Tingkat Dasar.
Pemerintah Kota Banda Aceh: Banda Aceh.
6. Pemerintah Kota Semarang. 2012. Kondisi Umum. http://www.semarangkota.go.id.
(diakses pada tanggal 10 Januari 2012)
7. Pfeiffer, D et al. 2008. Spatial Analysis in Epidemiologi. New York: Oxford
University Press.
8. Suryantoro, A. 2009. Integrasi Aplikasi Sistem Informasi Geografi. Yogyakarta:
LP2IP.
9. Yatim, F. 2007. Macam-Macam Menyakit Menular & Cara Pencegahannya.
Jakarta: Pustaka Obor Populer.
10. Zhukov, Y. 2010. Spatial Autocorrelation. Amerika: IQSS, Harvard University.

JURNAL GAUSSIAN Vol. 2, No. 1, Tahun 2013 Halaman 77


JURNAL GAUSSIAN Vol. 2, No. 1, Tahun 2013 Halaman 78

Anda mungkin juga menyukai