Makalah Pernikahan
Makalah Pernikahan
MAKALAH PERNIKAHAN
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama
Disusun Oleh:
2018-2019
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat illahi rabbi yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Pernikahan”.
Salawat serta salam marilah kita limpahkan kepada baginda kita yakni Nabi Besar
Muhammad Saw beserta keluarga dan kerabatnya.
Dengan kehadiran makalah ini mudah-mudahan dapat membantu dalam proses belajar
mengajar dalam bermakna bagi kita semuanya Amin.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah serta kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
pembuatan makalah yang akan datang.
Penyusun
ii
3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi 3
Bab I Pendahuluan
Bab II Pembahasan
2.1 PERNIKAHAN
2.2 TALAK
2.3 IDDAH
2.3.1 pengertian 19
1. Kesimpulan 21
2. Saran 21
Daftar Pustaka 22
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kehidupan berkeluarga cerminan semua makhluk ciptaan Allah SWT, sehingga
kelangsungan kehidupan di dunia akan terus menerus berkembang. Manusia adalah salah
satu makhluk yang sangat sempurna di bandingkan dengan makhluk lainnya. Manusiapun
di takdirkan untuk hidup berpasang - pasangan satu dengan yang lainnya yakni yang
berlainan jenis.
Dengan jalan nikah inilah yang paling baik untuk dapat melangsungkan
keturunan. Nikah adalah fitra yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai
makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa serta sehat jasmani dan
rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman
hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang
dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan
ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Menikahi perempuan yang sholeh ,bahtera kehidupan rumah tangga yang baik.
Pelaksanaan ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan
teratur. Rasulullah saw memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang sholeh.
Mempunyai istri yang sholeh, berarti Allah SWT menolong suaminya melaksanakan
setengah dari urusan agamanya.
B. RUMUSAN MASALAH
4
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PERNIKAHAN
2.1.1 Pengertian Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan
dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau
bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan
dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia
sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat
jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis
kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat
mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat
bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan
dalam hidup berumah tangga.
2.1.2Tujuan Pernikahan
Seseorang yang akan menikah harus memiliki tujuan positif dan mulia untuk
membina keluarga sakinah dalam rumah tangga, di antaranya sebagai berikut.
5
6
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad saw., beliau
bersabda:’wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya,
kecantikannya, dan karena agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya, kalau
tidak kamu akan celaka" (HR.Al-Bukhari dan Muslim).
b. Untuk mendapatkan ketenangan hidup Allah Swt. berfirman:
Allah Swt. berfirman: “Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan
suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-
6
7
Artinya: “ Allah menjadikan dari kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dan istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu dan
7
8
Ayat tersebut menguatkan rangsangan bagi orang yang merasa belum sanggup,
agar tidak khawatir karena belum cukup biaya, karena dengan pernikahan yang benar
dan ikhlas, Allah Swt. akan melapangkan rezeki yang baik dan halal untuk hidup
berumah tangga, sebagaimana dijanjikan Allah Swt. dalam firman-Nya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orangorang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah Swt. Akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Swt. Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha
Mengetahui.” ( Q.S. An-Nµr/24:32).
Rasulullah juga banyak menganjurkan kepada para remaja yang sudah mampu untuk
segera menikah agar kondisi jiwanya lebih sehat, seperti dalam hadis berikut.
“Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang sudah mampu maka
menikahlah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan. Jika belum mampu maka berpuasalah, karena berpuasa dapat menjadi
benteng (dari gejolak nafsu)”. ( HR.Al-Bukhari dan Muslim)
Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah
saw., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah
termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan
faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi
seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina,
dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji
dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab
sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan
Abu Daud)
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki
dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada
mereka dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya),
MahaMengetahui. (QS.An-Nur/24:32)
Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka bahwa
dapat dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor
dan sebab yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk
mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk,
atau sakit gila, maka dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram
uinutuk menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan
menimbulkan mudharat yang lebih besar pada orang lain.
9
10
4. Adanya wali.
10
11
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari
seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat
QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik
mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini
untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus
berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan
pernah pula.
b. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya
dengan tujuan agar seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada laki-
laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini dilarang
dengan sabda Rasulullah saw.
Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar. (HR.
Muslim)
11
12
c. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud pernikahan tersebut membuka
jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas istrinya tersebut
setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami yang menalak ba’in
untuk mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini dilarang oleh rasulullah saw. dengan
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. melaknat muhallil (yang mengawini setelah ba’in)
dan muhallil lalu (bekas suami pertama yang akan mengawini kembali). (HR. Al-Kamsah
kecuali Nasai)
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
oran-orang yang mu'min” (Q.S An-Nur/24:3)
Akan tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan yang
dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda rasulullah saw.: Orang
yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka
dapat kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baiuk-baik).
kebendaaan dan hak-hak bukan kebendaan. Hak-hak kebendaaan diantaranya mahar dan
mengauli isteri dengan makruf, adil dalam berinteraksi, kesenangan yang bebas, tidak
12
13
1. Mahar
Kata mahar berasal dari bahasa Arab yaitu al-mahr, jamaknya al- muhur
atau al-muhurah. Mahar dalam bahasa Indonesia lebih umum dikenal dengan
“maskawin”, yaitu pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri ketika
berlangsungnya acara akad nikah diantara keduanya untuk menuju kehidupan bersama
sebagai suami isteri. Mahar menurut bahasa mesmpunyai beberapa nama, diantaranya :
Shodaq, Nihlah, Faridhah, Ajr. Nama-nama ini terdapat dalam Al-Qur‟an, yaitu pada
surat An-Nisa‟ (4): 4, Al-Baqarah (2): 236 dan n Nisa‟(4): 25. Selain itu ada Mahar, „
liqah, „ qrun, nama-nama ini terdapat dalam As- Sunnah.
2. Nafkah
Kata nafkah berasal dari bahasa Arab yang memiliki banyak arti sesuai dengan
konteks kalimat yang menggunakannya. Nafkah adalah bentuk kata dasar/kata benda
(masdar/noun) dari kata kerja nafaqa ( ) نفقDasar hukum yang menunjukkan adanya
kewajiban seseorang untuk memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggung
jawabnya. Adapun dalil dari nash Al-Qur'an yang menerangkan kewajiban memberi
nafkah adalah di antaranya QS. Baqarah (2) ayat 233
bukan kebendaan sebab menurut hukum Islam isteri tidak dibebani kewajiban
menjaga dirinya sendiri dan juga harta suaminya, menjauhi diri dari mencampuri sesuatu
yang dapat menyusahkan suaminya, tidak cemberut dihadapan dan tidak menunjukkan
keadaan tidak disenangi oleh suaminya.18 Isteri hendaknya taat kepada suaminya dalam
berumah- tangga.
kaum perempuan (dari segi kodrat kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-
13
14
adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suami mereka serta
serta memelihara harta benda dan hak- hak suami, meskipun suami-suami
mereka dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta
suami
14
15
Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara
yang tidak enak didengar
15
16
2.2 TALAK
2.2.1 Pengertian Talak
Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari
“اْل إithlaq”,
kata ط اَلق ِإ yang berarti melepas atau meninggalkan.
Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.
2.2.2 Dalil Dibolehkannya Talak
Allah Ta’ala berfirman,
ساك ِب ام إعروف أ ا إو تاس ِإريح ِبإِحإ ا
سان َّ ال
ِ ط اَلق ام َّرت
اان فاإ ِ إم ا
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath
Tholaq: 1)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah
mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu
‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
،سَّ طلَّقا قا إب ال أ ا إن يا ام ث َّم ِإ إن شاا اء أ ا إم ا، ث َّم ت إاطه ار، يض
سكا با إعد او ِإ إن شاا اء ا ث َّم ِلي إم ِس إك اها احتَّى ت إاطه ار ث َّم ت ِاح ا، اج إع اها ِ م إره فا إلي ار
ساء طلَّقا لا اها النِِّ ا َّ فاتِ إلكا إال ِعدَّة الَّتِى أ ا ام ار
َللا أ ا إن ت ا
“Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian
haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh
mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah
sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla.”
Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’)
akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam
rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa
mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak
kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut
diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.
Kritik Hadits
Adapun hadits yang berbunyi,
Pertama, talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.
Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika
pernikahan yang ada diteruskan.
Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan
(yang tidak mungkin lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).
Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki
sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-
perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat
itu ia pun sulit diperingatkan.
Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan
bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih
tujuan dari menikah.
yang sedikit berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah :
a. Talak sunni, b. Talak bid’i, dan c. Talak bukan sunni dan bukan bid’i (talak
qhairu bid’I wa la- sunni).
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa
suci dan tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa
haid sebelumya, dan bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia
menjatuhkan talak satu disetiap masa suci.
Berkenaan dengan talak bid’i terbagi menjadi dua macam:
a. Talak yang dijatuhkan pada masa haid yang dicampuri pada masa haidnya,
sebab syara’ memerintahkan untuk mentalak istri pada masa suci, dan juga
membuat mudharat pad istri dengan lamanya menjalani masa iddah.
b. Talak yang dijatuhkan pada istri dalam masa suci tetapi telah dicampuri pada
masa suci itu.
Macam talak yang terakhir, yaitu talak qhiru bid’i wa la-sunni hanya terjadi bagi istri
yang masih kacil, perempuan monopause, istri yang berkhulu’, istri yang hamil dan
kehamilannya dipastikan hasil hubungan dengan suaminya, dan istri yang belum
pernah didukhul.
Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni adalah talak yang
suami menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya
itu kemudian ia tidak mentalaknya lagi sampai masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan
talak bid’i adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid
atau nifas, atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat
mayoritas Ulama’ selain Hanafiyah, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan
122.
Pasal 121: Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan
terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122: Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada
waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri
pada waktu suci tersebut.
18
19
2.3 IDDAH
2.3.1 Pengertian Iddah
Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak
(perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh
atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang
wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh
suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau
berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
19
20
Kata quru’ berarti haidh. Hal ini mengacu pada hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu
Habibah r.a. sering mengeluarkan darah istihadhah(darah yang keluar dari wanita karena
sakit atau lainnya), lalu dia bertanya kepada Nabi saw. (mengenai hal tersebut). Maka
Beliau menyuruh meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya. (Shahih Lighairih:
Shahih Abu Daud no:252 dan ’Aunul Ma’bud I:463 no:278).
Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah hadih atau
sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haidh), maka iddahnya adalah
tiga bulan lamanya. Allah swt berfirman,
”Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (manopause) diantara isteri-isteri
kaian jika ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga
bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haidh.” (At-Thalaq:4)
20
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nikah menjadi wajib atas orang yang sudah mampu dan ia khawatir terjerumus pada
perbuatan zina. Sebab zina haram hukumnya, demikian pula hal yang bisa mengantarkannya
kepada perzinaan serta hal-hal yang menjadi pendahulu perzinaan (misalnya; pacaran, pent.).
Maka, barangsiapa yang merasa mengkhawatirkan dirinya terjerumus pada perbuatan zina ini,
maka ia wajib sekuat mungkin mengendalikan nafsunya. Manakala ia tidak mampu
mengendalikan nafsunya, kecuali dengan jalan nikah, maka ia wajib melaksanakannya.
Barangsiapa yang belum mampu menikah, namun ia ingin sekali melangsungkan akad
nikah, maka ia harus rajin mengerjakan puasa, hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Mas'ud
bahwa Nabi saw. pernah bersabda kepada kami, "Wahai para muda barangsiapa yang telah
mampu menikah di antara kalian, maka menikahlah, karena sesungguhnya kawin itu lebih
menundukkan pandangan dan lebih membentengi kemaluan: dan barangsiapa yang tidak mampu
menikah, maka hendaklah ia berpuasa; karena sesungguhnya puasa sebagai tameng."
Kini jelas sudah mengapa kita sebagai seorang muslim dan muslimah dianjurkan untuk
menikah oleh Allah SWT. Untuk itu bagi yang sudah merasa berkewajiban untuk menikah,
janganlah merasa bingung dengan beban yang akan ditanggung setelah menikah nanti karena
seperti yang telah di jelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwasannya Allah akan
memudahkan segala kesulitan hambaNya dan memberi kenikmatan arau rahmat yang lebih
kepada hambaNya dengan jalan pernikahan.
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, namun
kami berharap para pembaca sekalian bisa mengambil manfaat dari makalah ini. Dan untuk
menyempurnakan makalah ini kami sangat mengharapkan koreksi yang bersifat membangun.
21
22
Daftar pustaka
http://baetysk.blogspot.com/2011/05/bab-i-pendahuluan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam
http://gudangilmudanpeluangsukses.blogspot.com/2012/03/makalah-tentang-
pernikahan.html
22
23
23
24
24