Anda di halaman 1dari 24

i

MAKALAH PERNIKAHAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama

Dosen Pengampu: Hikmah Maulani

Disusun Oleh:

1. Oki Dwi Oktavian 181711057

2. Reivie Putri Rachmawati 181711058

D3-Teknik Konversi Energi

Jurusan Teknik Konversi Energi

Politeknik Negeri Bandung

2018-2019

i
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat illahi rabbi yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Pernikahan”.
Salawat serta salam marilah kita limpahkan kepada baginda kita yakni Nabi Besar
Muhammad Saw beserta keluarga dan kerabatnya.
Dengan kehadiran makalah ini mudah-mudahan dapat membantu dalam proses belajar
mengajar dalam bermakna bagi kita semuanya Amin.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah serta kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
pembuatan makalah yang akan datang.

Bandung , 24 Juni 2019

Penyusun

ii
3

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii

Daftar Isi 3

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 4


1.2 Perumusan masalah 4

Bab II Pembahasan

2.1 PERNIKAHAN

2.1.1 Pengertian pernikahan 5


2.1.2 Tujuan pernikahan . 5
2.1.3 Anjuran Menikah 7
2.1.4 Hukum Pernikahan 8
2.1.5 Rukun dan syarat Pernikahan 10
2.1.6 Pernikahan Yang Dilarang 11
2.1.7 Hak dan kewajiban 12

2.2 TALAK

2.2.1 Pengertian talak 16

2.2.2 Dalil talak 16

2.2.3 Hukum talak 17

2.3 IDDAH

2.3.1 pengertian 19

2.3.macam-macam masa iddah 19

Bab III Penutup

1. Kesimpulan 21
2. Saran 21

Daftar Pustaka 22

3
4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kehidupan berkeluarga cerminan semua makhluk ciptaan Allah SWT, sehingga
kelangsungan kehidupan di dunia akan terus menerus berkembang. Manusia adalah salah
satu makhluk yang sangat sempurna di bandingkan dengan makhluk lainnya. Manusiapun
di takdirkan untuk hidup berpasang - pasangan satu dengan yang lainnya yakni yang
berlainan jenis.

Dengan jalan nikah inilah yang paling baik untuk dapat melangsungkan
keturunan. Nikah adalah fitra yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai
makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa serta sehat jasmani dan
rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman
hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang
dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan
ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.

Menikahi perempuan yang sholeh ,bahtera kehidupan rumah tangga yang baik.
Pelaksanaan ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan
teratur. Rasulullah saw memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang sholeh.
Mempunyai istri yang sholeh, berarti Allah SWT menolong suaminya melaksanakan
setengah dari urusan agamanya.

B. RUMUSAN MASALAH

4
5

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PERNIKAHAN
2.1.1 Pengertian Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan
dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau
bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan
dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.

Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia
sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat
jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis
kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat
mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat
bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan
dalam hidup berumah tangga.

Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad


saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan
menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa,
makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka
bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)

2.1.2Tujuan Pernikahan

Seseorang yang akan menikah harus memiliki tujuan positif dan mulia untuk
membina keluarga sakinah dalam rumah tangga, di antaranya sebagai berikut.

a. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi Rasulullah saw.,


bersabda: 122

5
6

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad saw., beliau
bersabda:’wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya,
kecantikannya, dan karena agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya, kalau
tidak kamu akan celaka" (HR.Al-Bukhari dan Muslim).
b. Untuk mendapatkan ketenangan hidup Allah Swt. berfirman:

Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan


pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda
(kebesaran Allah Swt.) bagi kaum yang berpikir”. (Q.S. Ar-Rµm/30:21).

c. Untuk membentengi akhlak

Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian


berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan
pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak
mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya”. (HR.Al-Bukhari dan Muslim)

d. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian


termasuk sedekah!”. Mendengar sabda Rasulullah para sahabat keheranan dan
bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya
terhadap istrinya akan mendapat pahala?” Nabi Muhammad saw. menjawab,
“Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain
istrinya, bukankah mereka berdosa? “ Jawab para shahabat, ”Ya, benar”. Beliau
bersabda lagi, “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat
yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (HR. Muslim).

e. Untuk mendapatkan keturunan yang salih

Allah Swt. berfirman: “Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan
suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-
6
7

cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka


beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”. (Q.S. An-
Nahl/16:72).

f. Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami

Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talaq


(perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi mempertahankan
keutuhan rumah tangga. Firman Allah Swt.: “Talaq (yang dapat dirujuki) dua
kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.
Itulah hokum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa
yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dzalim”.
(Q.S. Al-Baqarah/2:229).

2.1.3 Anjuran Menikah

Pernikahan adalah sunnatullah yang berlaku umum bagi semua makhluk


Nya. Al-Qur`ān menyebutkan dalam Q.S. Adz-Zakariyat /51:49.

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat


akan kebesaran Allah.“

Islam sangat menganjurkan pernikahan, karena dengan pernikahan manusia


akan berkembang, sehingga kehidupan umat manusia dapat dilestarikan. Tanpa
pernikahan regenerasi akan terhenti, kehidupan manusia akan terputus, dunia
pun akan sepi dan tidak berarti, karena itu Allah Swt. mensyariatkan pernikahan
sebagaimana difirmankan dalam Q.S.an-Nahl/16:72.

Artinya: “ Allah menjadikan dari kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dan istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu dan

7
8

memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman


kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah.”

Ayat tersebut menguatkan rangsangan bagi orang yang merasa belum sanggup,
agar tidak khawatir karena belum cukup biaya, karena dengan pernikahan yang benar
dan ikhlas, Allah Swt. akan melapangkan rezeki yang baik dan halal untuk hidup
berumah tangga, sebagaimana dijanjikan Allah Swt. dalam firman-Nya:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orangorang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah Swt. Akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Swt. Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha
Mengetahui.” ( Q.S. An-Nµr/24:32).

Rasulullah juga banyak menganjurkan kepada para remaja yang sudah mampu untuk
segera menikah agar kondisi jiwanya lebih sehat, seperti dalam hadis berikut.

“Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang sudah mampu maka
menikahlah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan. Jika belum mampu maka berpuasalah, karena berpuasa dapat menjadi
benteng (dari gejolak nafsu)”. ( HR.Al-Bukhari dan Muslim)

2.1.4 HUKUM PERNIKAHAN

a. Hukum Asal Nikah adalah Mubah


Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya
boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan
ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang
yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah,
wajib, makruh atau haram.

b. Nikah yang Hukumnya Sunnah


Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu
sunnah. Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai
Al-Qur’an dan hadits hanya merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar
dalam ayat dan hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib
sebab tidak semua amar harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan
suatu ketika hanya mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang
sudah mampu memberi nafkah dan berkehendak untuk nikah.

c. Nikah yang Hukumnya Wajib


Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan
bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib.
8
9

Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah
saw., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah
termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan
faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi
seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina,
dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji
dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.

Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab
sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan
Abu Daud)

d. Nikah yang Hukumnya Makruh


Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan
perkawinan telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum
mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.

e. Nikah yang Hukumnya Haram


Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk
menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan
puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli
Hadits)
Firman Allah di dalam Al-Qur’an:

Maka nikahilah wanita yang engkau senangi. (QS.An-Nisa/4:3)

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki
dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada
mereka dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya),
MahaMengetahui. (QS.An-Nur/24:32)

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian1036 diantara kamu, dan orang-


orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui”.(Q.S An-Nur/24:32)

Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka bahwa
dapat dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor
dan sebab yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk
mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk,
atau sakit gila, maka dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram
uinutuk menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan
menimbulkan mudharat yang lebih besar pada orang lain.

9
10

2.1.5 RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH


Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita
kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab)
sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai
miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian,
disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al
Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat
QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom
dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

4. Adanya wali.

Syarat wali adalah :


a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.

Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:


a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
i) Anak laki-laki dari paman sekandung
j) Anak laki-laki dari paman seayah.
k) Hakim

10
11

5. Adanya saksi (2 orang pria).


Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi,
tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar
pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah

a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).


b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :

a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari
seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat
QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik
mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini
untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus
berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan
pernah pula.

2.1.6 PERNIKAHAN YANG DILARANG


Pernikahan yang terlarang aalah pernikahan yang di haramkan oleh agama Islam.
Adapun penikahan yang terlarang adalah sebagai berikut:
a. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara
waktu saja (hanya untuk bersenang-senang), misalnya seminggu, satu bulan, atau dua
bulan. Masa berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. Nikah mut’ah telah dilarang oleh
rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:
Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika dia
bersama rasulullah saw., beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, dulu pernah aku
izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mut’ah, tetapi ketahuilah sesungguhnya Allah
telah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (HR. Muslim)

b. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya
dengan tujuan agar seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada laki-
laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini dilarang
dengan sabda Rasulullah saw.
Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar. (HR.
Muslim)

11
12

c. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud pernikahan tersebut membuka
jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas istrinya tersebut
setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami yang menalak ba’in
untuk mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini dilarang oleh rasulullah saw. dengan
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. melaknat muhallil (yang mengawini setelah ba’in)
dan muhallil lalu (bekas suami pertama yang akan mengawini kembali). (HR. Al-Kamsah
kecuali Nasai)

d. Kawin dengan pezina


Seorang laki-laki yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram) mengawini perempuan
pezina. Wanita pezina hanya diperbolehkan kawin dengan laki-laki pezina, kecuali kalau
perempuan itu benar-benar bertobat.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan
perempuan musyrik; dan Pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina
laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang
mukmin. (QS. An-Nur/24:3)

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
oran-orang yang mu'min” (Q.S An-Nur/24:3)

Akan tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan yang
dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda rasulullah saw.: Orang
yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka
dapat kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baiuk-baik).

2.1.7 Hak-Hak Isteri (Kewajiban-Kewajiban Suami)


Hak-hak isteri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua, yaitu hak-hak

kebendaaan dan hak-hak bukan kebendaan. Hak-hak kebendaaan diantaranya mahar dan

nafkah. Sedangkan hak-hak bukan kebendaan misalnya pendidikan dan pengajaran,

mengauli isteri dengan makruf, adil dalam berinteraksi, kesenangan yang bebas, tidak

cemburu yang berlebihan, berprasangka baik pada isteri.

12
13

1. Mahar
Kata mahar berasal dari bahasa Arab yaitu al-mahr, jamaknya al- muhur
atau al-muhurah. Mahar dalam bahasa Indonesia lebih umum dikenal dengan
“maskawin”, yaitu pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri ketika
berlangsungnya acara akad nikah diantara keduanya untuk menuju kehidupan bersama
sebagai suami isteri. Mahar menurut bahasa mesmpunyai beberapa nama, diantaranya :
Shodaq, Nihlah, Faridhah, Ajr. Nama-nama ini terdapat dalam Al-Qur‟an, yaitu pada
surat An-Nisa‟ (4): 4, Al-Baqarah (2): 236 dan n Nisa‟(4): 25. Selain itu ada Mahar, „
liqah, „ qrun, nama-nama ini terdapat dalam As- Sunnah.
2. Nafkah

Kata nafkah berasal dari bahasa Arab yang memiliki banyak arti sesuai dengan
konteks kalimat yang menggunakannya. Nafkah adalah bentuk kata dasar/kata benda
(masdar/noun) dari kata kerja nafaqa (‫ ) نفق‬Dasar hukum yang menunjukkan adanya
kewajiban seseorang untuk memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggung
jawabnya. Adapun dalil dari nash Al-Qur'an yang menerangkan kewajiban memberi
nafkah adalah di antaranya QS. Baqarah (2) ayat 233

Hak-Hak Suami (Kewajiban-Kewajiban Isteri)

Hak-hak suami yang wajib dipenuhi isteri hanya merupakan hak-hak

bukan kebendaan sebab menurut hukum Islam isteri tidak dibebani kewajiban

kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup keluarga. Hak

suami tercermin dalam ketaatannya, menghormati keinginannya, dan mewujudkan

kehidupan yang tenang dan nikmat sebagaimana yang diinginkan.

a. Suami ditaati oleh isteri


Isteri wajib mentaati suami selama dalam hal-hal yang tidak maksiyat. Isteri

menjaga dirinya sendiri dan juga harta suaminya, menjauhi diri dari mencampuri sesuatu

yang dapat menyusahkan suaminya, tidak cemberut dihadapan dan tidak menunjukkan

keadaan tidak disenangi oleh suaminya.18 Isteri hendaknya taat kepada suaminya dalam

melaksanakan urusan rumahtangganya selama suami menjalankan ketentuan-ketentuan

berumah- tangga.

Q.S. An-Nisaa: 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami) berkewajiban

memimpin kaum perempuan (isteri) karena laki-laki mempunyai kelebihan atas

kaum perempuan (dari segi kodrat kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-
13
14

laki memberi nafkah untuk keperluan keluarganya. Isteri-isteri yang saleh

adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suami mereka serta

memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka

serta memelihara harta benda dan hak- hak suami, meskipun suami-suami

mereka dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta

taufik-Nya kepada isteri-isteri itu. Isi dari pengertian taat adalah :

i. Isteri tinggal bersama suami di rumah yang telah disediakan.

Isteri berkewajiban memenuhi hak suami bertempat tinggal di

rumah yang telah disediakan apabila memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut: pertama, Suami telah memenuhi kewajiban

membayar mahar untuk isteri. Kedua, Rumah yang disediakan

pantas menjadi tempat tinggal isteri serta dilengkapi dengan

perabot dan alat yang diperlukan untuk hidup berumahtangga

secara wajar, sederhana, tidak melebihi kekuatan suami. Ketiga,

rumah yang disediakan cukup menjamin keamanan jiwa dan harta

bendanya, tidak terlalu jauh dengan tetangga dan penjaga-

penjaga keamanan. Keempat, suami dapat menjamin keselamatan

isteri di tempat yang disediakan.

ii. Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar

larangan Allah. Isteri wajib memenuhi hak suami, taat kepada

perintah-perintahnya apabila memenuhi syarat-syarat: pertama,

perintah yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada

hubungannya dengan kehidupan rumahtangga. Kedua, perintah

yang dikeluarkan harus sejalan dengan ketentuan syari‟ah. pabila

suami

14
15

memerintahkan isteri untuk menjalankan hal-hal yang bertentangan

dengan ketentuan syari‟ah, perintah itu tidak boleh ditaati. Ketiga,

suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang memberi hak isteri,

baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.

iii. Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami. Hak

suami agar isteri tidak menerima masuknya seseorang tanpa

izinnya, dimaksudkan agar ketentraman hidup rumahtangga tetap

terpelihara. Ketentuan tersebut berlaku apabila orang yang datang

itu bukan mahram isteri.

b. Memberikan rasa tenang dalam rumahtangga untuk suaminya, dan

memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam

batas- batas kemampuannya.

c. Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak

disenangi oleh suaminya.

Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara
yang tidak enak didengar

15
16

2.2 TALAK
2.2.1 Pengertian Talak
Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari
‫“اْل إ‬ithlaq”,
kata ‫ط اَلق‬ ِ‫إ‬ yang berarti melepas atau meninggalkan.
Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.
2.2.2 Dalil Dibolehkannya Talak
Allah Ta’ala berfirman,
‫ساك ِب ام إعروف أ ا إو تاس ِإريح ِبإِحإ ا‬
‫سان‬ َّ ‫ال‬
ِ ‫ط اَلق ام َّرت‬
‫اان فاإ ِ إم ا‬

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)

‫ط ِلِّقوه َّن ِل ِعدَّتِ ِه َّن‬ ‫طلَّ إقتم النِِّ ا‬


‫سا اء فا ا‬ ُّ ِ‫ياا أايُّ اها النَّب‬
‫ي إِذاا ا‬

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath
Tholaq: 1)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah
mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu
‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

،‫س‬َّ ‫طلَّقا قا إب ال أ ا إن يا ام‬ ‫ ث َّم ِإ إن شاا اء أ ا إم ا‬، ‫ ث َّم ت إاطه ار‬، ‫يض‬
‫سكا با إعد او ِإ إن شاا اء ا‬ ‫ ث َّم ِلي إم ِس إك اها احتَّى ت إاطه ار ث َّم ت ِاح ا‬، ‫اج إع اها‬ ِ ‫م إره فا إلي ار‬
‫ساء‬ ‫طلَّقا لا اها النِِّ ا‬ َّ ‫فاتِ إلكا إال ِعدَّة الَّتِى أ ا ام ار‬
‫َللا أ ا إن ت ا‬
“Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian
haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh
mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah
sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla.”
Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’)
akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam
rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa
mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak
kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut
diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.

Kritik Hadits
Adapun hadits yang berbunyi,

َّ ‫أا إبغاض إال احَلا ِل إِلاى‬


َّ ‫َللاِ تاعاالاى ال‬
‫طَلاق‬
“Perkara yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak.”Dalam sanad hadits ini ada dua
‘illah (cacat): (1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi
perselisihan di dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu
Daud menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits
dari Al Hakim dinilaidho’if. Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang dho’if. Di
antara yang mendho’ifkannya adalah Al Baihaqi, Syaikh Al Albani, dan Syaikh Musthofa
Al ‘Adawi.
16
17

2.2.3 Hukum Talak


Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang
makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.”

Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.
Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika
pernikahan yang ada diteruskan.
Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan
(yang tidak mungkin lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).
Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki
sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-
perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat
itu ia pun sulit diperingatkan.
Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan
bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih
tujuan dari menikah.

1. Talak Sunni dan Talak Bid’i


Talak dipandang dari aspek sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan syara’
terbagi pada dua bagian; a. Talak sunni dan b. Talak bid’i. Ulama’ fikih beraneka
ragam dalam menstandari batasan-batasan talak sunni dan bid’i.
Kalangan Hanafiyah membagi talak kedalam tiga bagian, yaitu: a. Talak ahsan b.
Talak hasan dan c. Talak bid’i.
Talak ahsan adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dengan talak
satu, pada masa suci dan tidak disetubuhi pada waktu sucinya serta ia membiarkan
(tidak mentalak lagi) pada istrinya sampai iddahnya berakhir dengan tiga kali
haid. Talak hasan adalah talak yang dilakukan suami pada istrinya dengan talak
tiga, dalam waktu tiga kali suci dan disetiap masa suci dilakukan talak satu.
Sedangkan Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dengan
talak tiga, atau talak dua dengan memakai satu kalimat, atau ia mentalak tiga
dalam satu masa suci.
Sedangkan kalangan Malikiyah dalam mengkatagorikan talak sunni atau bid’i
dengan memberi syarat-syarat tertentu. Ada empat syarat talak dapat
dikategorikan talak sunni:
a. Perempuan pada waktu ditalak suci dari haid dan nifas,
b. Suami tidak menjima’nya pada waktu,
c. Suami mentalak satu,
d. Suami tidak mentalak istrinya yang kedua kali sampai masa ‘iddahnya berakhir.
Dan menurut mereka, talak bid’i adalah talak yang tidak memenuhi satu syarat
atau seluruhnya. Misalnya : seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau
ia mentalak istrinya pada masa haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi
dicampurinya dalam masa suci itu. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa suami
yang mentalak bid’i pada isrinya ia dipaksa untuk rujuk kembai sampai masa
iddah yang terakhir. Namun jika ia tidak mau untuk merujuknya, Hakim boleh
mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap enggan untuk merujuknya
ia boleh dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam keengganannya, seorang
Hakim berhak memaksa untuk merujuknya.
Sementara kalangan Syafi’iyah membagi talak pada tiga bagian dengan istilah
17
18

yang sedikit berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah :
a. Talak sunni, b. Talak bid’i, dan c. Talak bukan sunni dan bukan bid’i (talak
qhairu bid’I wa la- sunni).
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa
suci dan tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa
haid sebelumya, dan bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia
menjatuhkan talak satu disetiap masa suci.
Berkenaan dengan talak bid’i terbagi menjadi dua macam:
a. Talak yang dijatuhkan pada masa haid yang dicampuri pada masa haidnya,
sebab syara’ memerintahkan untuk mentalak istri pada masa suci, dan juga
membuat mudharat pad istri dengan lamanya menjalani masa iddah.
b. Talak yang dijatuhkan pada istri dalam masa suci tetapi telah dicampuri pada
masa suci itu.
Macam talak yang terakhir, yaitu talak qhiru bid’i wa la-sunni hanya terjadi bagi istri
yang masih kacil, perempuan monopause, istri yang berkhulu’, istri yang hamil dan
kehamilannya dipastikan hasil hubungan dengan suaminya, dan istri yang belum
pernah didukhul.
Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni adalah talak yang
suami menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya
itu kemudian ia tidak mentalaknya lagi sampai masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan
talak bid’i adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid
atau nifas, atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat
mayoritas Ulama’ selain Hanafiyah, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan
122.
Pasal 121: Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan
terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122: Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada
waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri
pada waktu suci tersebut.

2. Talak Raj’i dan Talak Ba’in


Talak ditilik dari boleh dan tidak bolehnya rujuk terbagi pada dua macam :
a. Talak raj’i, dan b. Talak ba’in.
Talak raj’i adalah talak yang boleh bagi suami untuk merujuk pada istrinya dengan
tanpa perlu akad baru selama masa ‘iddah, meskipun istri tidak mau untuk dirujuk.
Talak raj’i ini terjadi dalam talak satu dan dua tetapi setelah masa ‘iddah istri sudah
habis, suami tidak dapat merujuk kembali melainkan dengan akad baru.
Talak ba’in ada dua macam:
a. Ba’in shughraa (ba’in kecil)
b. Ba’in kubraa (ba’in besar)
Talak ba’in shughraa adalah talak yang suami tidak dapat untuk rujuk kembali pada
mantan istrinya, melainkan dengan akad dan mahar baru. Talak ba’in shughraa
terjadi bagi istri yang belum didukhul, istri yang berkhuluk dengan menyerahkan
‘iwad (ganti rugi), talak yang dijatuhkan oleh Hakim, dan talak sebab ila’.
Talak ba’in kubraa adalah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali
kepada istri kecuali bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah
dicampurinya, kemudian ia ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang
kedua. Talak macam ini terjadi dalam talak tiga

18
19

2.3 IDDAH
2.3.1 Pengertian Iddah
Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak
(perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh
atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang
wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh
suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau
berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

2.3.2Macam-Macam Masa Iddah


Barangsiapa yang ditinggal mati suaminya, maka, iddahnya empat bulan
sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini mengacu pada
firman Allah SWT,
”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-
isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan
sepuluh hari.” (Al-Baqarah :234).
Terkecuali isteri yang sudah dicampuri dan sedang hamil, maka masa iddahnya
sampai melahirkan,
”Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq : 4).
Dari al-Miswar bin Makhramah bahwa, Subai’ah al-Aslamiyah r.a. pernah
melahirkan dan bernifas setelah beberapa malam kematian suaminya. Lalu ia,
mendatangi Nabi saw lantar meminta idzin kepada Beliau untuk kawin (lagi).
Kemudian Beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). (Muttafaqun ’alaih:
Fathul Bari IX:470 no:5320 dan Muslim II:1122 no:1485).
Wanita yang ditalak sebelum sempat dicampuri, maka tidak ada masa iddah baginya,
berdasarkan pada firmannya Allah SWT berfirman,
”Hai orang-orang yang beriman, ’apabila kamu menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya,
maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta,
menyempurnakannya.” (Al-Ahzaab:49).
Sedang wanita yang ditalak yang sebelumnya sempat dikumpuli dan dalam keadaan
hamil maka, masa iddahnya ialah ia melahirkan anak yang diakndungnya. Allah
SWT berfirman,
”Dan wanita-wanita hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq:4).
Dari az-Zubair bin al-Awwam r.a. bahwa ia mempunyai isteri bernama Ummu
Kultsum bin ’Uqbah radhiyallahu ’anha. Kemudian Ummu Kultsum yang sedang
hamil berkata kepadanya, ”Tenanglah jiwaku (dengan dijatuhi talak satu).” Maka az-
Zubir pun menjatuhkan padanya talak satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan shalat,
sekembalinya (dari shalat) ternyata isterinya sudah melahirkan. Kemudian az-Zubir
berkata: ”Gerangan apakah yang menyebabkan ia menipuku, semoga Allah
menipunya (juga).” Kemudian dia datang kepada Nabi saw lalu beliau bersabda
kepadanya,
”Kitabullah sudah menetapkan waktunya; lamarlah (lagi) di kepada
dirinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1546 dan Ibnu Majah I:653 no:2026).
Jika wanita yang dijatuhi talak termasuk perempuan yang masih berhaidh secara
normal, maka masa iddahnya tiga kali haidh berdasarkan Firman Allah SWT,
”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali
quru’).”. (Al-Baqarah :228).

19
20

Kata quru’ berarti haidh. Hal ini mengacu pada hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu
Habibah r.a. sering mengeluarkan darah istihadhah(darah yang keluar dari wanita karena
sakit atau lainnya), lalu dia bertanya kepada Nabi saw. (mengenai hal tersebut). Maka
Beliau menyuruh meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya. (Shahih Lighairih:
Shahih Abu Daud no:252 dan ’Aunul Ma’bud I:463 no:278).
Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah hadih atau
sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haidh), maka iddahnya adalah
tiga bulan lamanya. Allah swt berfirman,
”Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (manopause) diantara isteri-isteri
kaian jika ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga
bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haidh.” (At-Thalaq:4)

20
21

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Nikah menjadi wajib atas orang yang sudah mampu dan ia khawatir terjerumus pada
perbuatan zina. Sebab zina haram hukumnya, demikian pula hal yang bisa mengantarkannya
kepada perzinaan serta hal-hal yang menjadi pendahulu perzinaan (misalnya; pacaran, pent.).
Maka, barangsiapa yang merasa mengkhawatirkan dirinya terjerumus pada perbuatan zina ini,
maka ia wajib sekuat mungkin mengendalikan nafsunya. Manakala ia tidak mampu
mengendalikan nafsunya, kecuali dengan jalan nikah, maka ia wajib melaksanakannya.
Barangsiapa yang belum mampu menikah, namun ia ingin sekali melangsungkan akad
nikah, maka ia harus rajin mengerjakan puasa, hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Mas'ud
bahwa Nabi saw. pernah bersabda kepada kami, "Wahai para muda barangsiapa yang telah
mampu menikah di antara kalian, maka menikahlah, karena sesungguhnya kawin itu lebih
menundukkan pandangan dan lebih membentengi kemaluan: dan barangsiapa yang tidak mampu
menikah, maka hendaklah ia berpuasa; karena sesungguhnya puasa sebagai tameng."
Kini jelas sudah mengapa kita sebagai seorang muslim dan muslimah dianjurkan untuk
menikah oleh Allah SWT. Untuk itu bagi yang sudah merasa berkewajiban untuk menikah,
janganlah merasa bingung dengan beban yang akan ditanggung setelah menikah nanti karena
seperti yang telah di jelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwasannya Allah akan
memudahkan segala kesulitan hambaNya dan memberi kenikmatan arau rahmat yang lebih
kepada hambaNya dengan jalan pernikahan.

3.2 Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, namun
kami berharap para pembaca sekalian bisa mengambil manfaat dari makalah ini. Dan untuk
menyempurnakan makalah ini kami sangat mengharapkan koreksi yang bersifat membangun.

21
22

Daftar pustaka
http://baetysk.blogspot.com/2011/05/bab-i-pendahuluan.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam

http://gudangilmudanpeluangsukses.blogspot.com/2012/03/makalah-tentang-
pernikahan.html

22
23

23
24

24

Anda mungkin juga menyukai