CIDERA KEPALA Restu
CIDERA KEPALA Restu
A. Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma
pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang
terjadi (Sylvia anderson Price, 1985).
B. Etiologi
Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal : kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.
C. Manifestasi klinis
Cidera otak karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala, cidera akut dengan
cepat menyebabkan pingsan (coma), yang pada akhirnya tidak selalu dapat
disembuhkan. Karena itu, sebagai penunjang diagnosis, sangat penting diingat arti
gangguan vegetatif yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual,
muntah, dan puyeng. Gangguan vegetatif tidak dilihat sebagai tanda-tanda penyakit dan
gambaran penyakit, namun keadaannya reversibilitas.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia
antegrad), tetapi biasanya korban/ pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera
(amnezia retrograd dan antegrad). Timbul tanda-tanda lemah ingatan, cepat lelah, amat sensitif,
negatifnya hasil pemeriksaan EEG, tidak akan menutupi diagnosis bila tidak ada kelainan EEG.
Koma akut tergantung dari beratnya trauma/ cidera. Akibatnya juga beraneka ragam,
bisa terjadi sebentar saja dan bisa hanya sampai 1 menit. Catatan kesimpulan mengenai cidera
kepala akan lebih kalau terjadi koma berjam-jam atau seharian, apalagi kalau tidak
menampakkan gejala penyakit gangguan syaraff. Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf
dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak akan terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1
jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi
kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.
D. Patofisiologi
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya karena terjatuh, dipukul, kecelakaan
dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam
tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi
terus menerus dapat menyebabkan hipoksia sehingga tekanan intra kranial akan meningkat.
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan meneyebabkan robekan dan terjadi
perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan
kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
E. Klasifikasi
Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater disertai cidera
jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat menyebabkan infeksi di jaringan otak.
Untuk pencegahan, perlu operasi dengan segera menjauhkan pecahan tulang dan tindakan
seterusnya secara bertahap.
Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura di depan:
Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal, dan arachnoidal.
Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus maksilaris masuk ke lapisan
selaput otak encepalon.
Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita mata dan biji lensa mata
memberi gejala pendarahan intracranialis pula.
Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas menetesnya cairan otak
bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba eustachii. Gambaran rontgen sebagai
tanda khas pada fractura basis cranii selalu hanya memperlihatkan sebagian. Karena itu, dokter-
dokter ahli forensik selalu menerima kalau hanya ada satu tanda-tanda klinik.
Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara lain anosmia (I);
gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji mata (III,IV, V); gangguan rasa di wajah
(VI); kelumpuhan facialis (VII); serta ketulian bukan karena trauma octavus tetapi karena trauma
pada haemotympanon. Pada umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf otak tidak akan rusak pada
fractura basis cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio maka terjadi dislocatio pada
tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini harus selalu diperhatikan karena kemungkinan ini
akibat contusio cerebri.
a. Epiduralis haematoma
Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus. Foto rontgen kepala
sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan terhadap pasien. Saat ini, diagnosis
yang cepat dan tepat ialah CT scan atau Angiografi. Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan
"Burr hole Trepanasi", karena dicurigai akan terjadi epiduralis haematoina. Dengan ini sekaligus
bisa didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk epiduralis haematoma adalah suatu kejadian
yang gawat dan harus segera ditangani.
Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil
sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau jembatan vena bagian atas pada interval yang
akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak
sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian
dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra
Kranial). Pada kejadian akut haematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah beberapa jam
sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini jarang memberi gejala epileptiform pada
perdarahan dasar duramater. Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi
tanpa Fractura Cranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di corteks terluka. Pasien segera
pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang pembuluh darah besar
seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai kombinasi dengan
intracerebral haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi (80%).
c. Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada
permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah
perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna pelebaran
pembuluh darah. Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Gambaran klinik tidak
menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan karena timbulnya gangguan
meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah
korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan
otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan pada
durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai gejala
kliniknya.
d. Contusio Cerebri
Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan tipe centralis -
kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau kelumpuhan syaraf-syaraf otak, gangguan bicara,
yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling
berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar
otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru -
jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka
merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio
rigiditas).
E. Pemeriksaan diagnostik
Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau ruptur
atau fraktur).
CT Scan
Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang
infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika
dicurigai.
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas
terjadinya perdarahan otak.
Thorax X ray
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita
dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
F. Pengobatan
Penderita trauma saraf spinal akut yang diterapi dengan metilprednisolon (bolus 30
mg/kg berat badan dilanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam),
akan menunjukkan perbaikan keadaan neurologis bila preparat itu diberikan dalam waktu paling
lama 8 jam setelah kejadian (golden hour). Pemberian nalokson (bolus 5,4 mg/kg berat badan
dilanjutkan dengan 4,0 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam) tidak memberikan perbaikan
keadaan neurologis pada penderita trauma saraf spinal akut.
Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat, dapat
memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi peroksidasi lipid. Dengan
kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara:
Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi fosfolipid dan komponen membran lain dari
kerusakan.
H. Diagnosa keperawatan
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit meningkat.
Gangguan perfusi Gangguan perfusi jaringan tidak Pantau status neurologis Mengkaji adanya
jaringan b/ d dapat diatasi setelah dilakukan secara teratur. kecenderungan pada tingkat
oedema cerebri, tindakan keperawatan selama 2x kesadaran dan potensial
meningkatnya 24 jam dengan KH : peningkatan TIK dan
aliran darah ke bermanfaat dalam
Mampu mempertahankan tingkat
otak. menentukan lokasi,
kesadaran
perluasan dan
Fungsi sensori dan motorik perkembangan kerusakan
membaik. SSP
Menentukan tingkat
kesadaran
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Evaluasi kemampuan
membuka mata (spontan,
Dikatakan sadar bila pasien
rangsang nyeri).
mampu meremas atau
melepas tangan pemeriksa.
Pembatasan cairan
diperlukan untuk
menurunkan Oedema
cerebral: meminimalkan
klien
Gangguan rasa Rasa nyeri berkurang setelah Teliti keluhan nyeri, catat Mengidentifikasi karakteristik
nyaman nyeri b/ dilakukan tindakan keperawatan intensitasnya, lokasinya nyeri merupakan faktor yang
Perubahan Fungsi persepsi sensori kembali Evaluasi secara teratur Fungsi cerebral bagian atas
persepsi sensori normal setelah dilakukan perubahan orientasi, biasanya terpengaruh
b/ d penurunan perawatan selama 3x 24 jam kemampuan berbicara, lebih dahulu oleh adanya
kesadaran, dengan KH : alam perasaan, sensori
gangguan sirkulasi,
peningkatan dan proses pikir.
mampu mengenali orang dan oksigenasi. Perubahan
tekanan intra
lingkungan sekitar. persepsi sensori motorik
kranial.
dan kognitif mungkin akan
Mengakui adanya perubahan
berkembang dan menetap
dalam kemampuannya.
dengan perbaikan respon
secara bertahap
Pasien mungkin
mengalami keterbatasan
perhatian atau
Bicara dengan suara yang
pemahaman selama fase
lembut dan pelan.
Gunakan kalimat pendek akut dan penyembuhan.
Mengurangi kelelahan,
kejenuhan dan
memberikan kesempatan
Berikan lingkungan
untuk tidur REM
tersetruktur rapi, nyaman
(ketidakadaan tidur REM
dan buat jadwal untuk
ini dapat meningkatkan
klien jika mungkin dan
tinjau kembali. gangguan persepsi
sensori).
Memberikan perasaan
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
bokong.
Mempertahankan
mobilitas dan fungsi sendi/
Berikan/ bantu untuk latihan posisi normal ekstrimitas
rentang gerak dan menurunkan
terjadinya vena statis.
Kolaborasi pemberian
atibiotik sesuai indikasi. Terapi profilaktik dapat
digunakan pada pasien
yang mengalami trauma,
kebocoran LCS atau
setelah dilakukan
pembedahan untuk
menurunkan resiko
terjadinya infeksi
nosokomial.
Setelah dilakukan tindakan Kaji tanda klinis dehidrasi atau Deteksi dini dan intervensi
Gangguan keperawatan selama 3 x 24 jam kelebihan cairan. dapat mencegah
keseimbangan
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Hipokalimia/ fofatemia
Kolaborasi pemeriksaan lab.
dapat terjadi karena
kalium/fosfor serum, Ht
dan albumin serum. perpindahan intraselluler
selama pemberian makan
awal dan menurunkan
fungsi jantung bila tidak
diatasi.
Gangguan Pasien tidak mengalami gangguan Kaji kemampuan pasien untuk Faktor ini menentukan
kebutuhan nutrisi nutrisi setelah dilakukan mengunyah dan menelan, terhadap jenis makanan
b/ d kelemahan perawatan selama 3 x 24 jam batuk dan mengatasi sehingga pasien harus
otot untuk dengan KH : sekresi.
terlindung dari aspirasi.
menguyah dan
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Menurunkan regurgitasi
dan terjadinya aspirasi.
alternatif pemberian
makan.
Gangguan pola Tidak terjadi gangguan pola nafas Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat
nafas b/ d setelah dilakukan tindakan kedalaman pernafasan. menunjukan komplikasi
obstruksi keperawatan selama 2x 24 jam Catat ketidakteraturan pulmonal atau
trakeobronkial, dengan KH : pernafasan.
menandakan lokasi/
neurovaskuler,
Memperlihatkan pola nafas luasnya keterlibatan otak.
kerusakan medula
normal/ efektif, bebas Pernafasan lambat,
oblongata.
sianosis dengan GDA dalam periode apneu dapat
batas normal pasien. menendakan perlunya
ventilasi mekanis.
Untuk memudahkan
Angkat kepala tempat tidur
sesuai aturan posisi miring ekspansi paru dan
Mencegah/ menurunkan
atelektasis.
Anjurkan pasien untuk latihan
nafas dalam yang efektif
jika pasien sadar.
Untuk mengidentifikasi
adanya masalah paru
Auskultasi suara nafas. seperti atelektasis,
Perhatikan daerah kongesti atau obstruksi
hipoventilasi dan adanya jalan nafas yang
suara- suara tambahan
membahayakan oksigenasi
yang tidak normal.
serebral atau menandakan
(krekels, ronki dan
adanya infeksi paru
whiszing).
(umumnya merupakan
komplikasi pada cidera
kepala).
Menentukan kecukupan
oksigen, keseimbangan
asam-basa dan kebutuhan
Kolaborasi untuk pemeriksaan
AGD, tekanan oksimetri. akan terapi.