Psikis 3
Psikis 3
Kata Pengantar
Bab I Pendahuluan
-Sejarah Dan Defenisi Psikologi
-Tujuan Dan Faedah Dalam Mempelajari Psikologi
-Metode Psikologi
Bab II Manusia
-Manusia Sebagai Makhluk Yang Bereksistensi
-Manusia Dalam Pandangan Al-Qur’an
-Perkembangan Manusia
Menurut asal katanya, psikologi berasal dari kata-kata Yunani: psyche yang berarti
jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa. Namun, arti
“ilmu jiwa” masih kabur sekali.
Dalam bahasa Arab, kata jiwa sepadan dengan kata nafs. Kata ini secara berdiri
sendiri terulang sebanyak 295 kali dalam berbagai ayat Al-qur’an yang tersebar di 63 surah
atau 55% dari jumlah surah dalam Al-qur’an dengan arti dan penggunaan yang berbeda,
tanpa perubahan tashrif yang berarti. Yang terbanyak terdapat dalam surah Al-baqarah (35
kali), Ali-Imran (21 kali), An-nisa’ (19 kali), Al-An’am (17 kali), At-taubah (17 kali), Al-
a’raf (13 kali), dan Yusuf (13 kali).
Beberapa arti yang terkandung dalam kata nafs, antara lain: Hati (qalb);Qs. Al-isra’
ayat 17, Jenis (jins); Qs. At-taubah ayat 128, Ruh; Qs. Az-zumar ayat 42, Totalitas
Manusia; Qs. Ali-Imran ayat 185, dan Sisi dalam (jiwa) manusia sebagai penggerak dari
tingkah laku; Qs. Ar-Ra’d ayat 11.
Begitu beragamnya makna jiwa dan penggunaannya dalam pembicaraan sehari-hari
menyebabkan terjadinya kekaburan arti. Dampak dari kekaburan arti tersebut, sering
menimbulkan berbagai pendapat mengenai defenisi psikologi yang berbeda.
Sebelum menjadi ilmu pengetahuan tersendiri pada tahun 1879, psikologi dipelajari
dalam cabang filsafat dan ilmu faal. Filsafat sudah mempelajari gajala-gejala kejiwaan sejak
500 atau 600 sebelum masehi, yaitu melalui filsuf-filsuf Yunani kuno, yaitu Socrates (469-
399 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Pada zaman Renaisance, misalnya, Rene Descartes
(1596-1650 SM), filsuf prancis, pernah mendefenisikan bahwa ilmu jiwa (psikologi) adalah
ilmu tentang kesadaran. Pada generasi berikutnya, George Barkeley (1685-1753 SM), filsuf
Inggris, mengemukakan pendapat bahwa psikologi adalah ilmu tentang pengindraan
(persepsi).
Di pihak lain, para ahli ilmu faal, terutama para dokter yang mulai tertarik pada
masalah-masalah kejiwaan ini pada saat yang bersamaan dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan di Negara-negara Eropa, berpendapat bahwa jiwa erat sekali hubungannya
dengan susunan saraf dan refleks-refleks. Di mulai dengan Sir Charles Bell (1774-1842,
Inggris) dan Prancis Magensie (1783-1855, Perancis) yang menentukan saraf-saraf sensoris
(pengindraan) dan saraf-saraf motorik (yang memengaruhi gerak dan kelenjar), para ahli
kemudian menentukan berbagai hal, antara lain pusat bicara di otak (Paul Brocca, 1824-1880,
Jerman) dan mekanisme Refleks (Marshall hall, 1790-1857, Inggris). Setelah penemuan itu
timbullah defenisi-defenisi tentang psikologi yang mengaitkan tingkah laku dengan refleks.
Dari pengertian refleks ini kemudian berkembang pengertian tingkah laku yang pada
akhirnya menjadikan psikologi sebagai sebuah ilmu tentang prilaku.
Secara ringkas berikut ini dapat dipaparkan beberapa pengertian psikologi yang
dikemukakan para ahli, antara lain:
1. Psikologi adalah ilmu jiwa pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta
prosesnya sampai akhir (Plato dan Aristoteles).
2. Psikologi bertugas menyelidiki apa yang kita sebut pengalaman bagian dalam sensasi dan
perasaan kita sendiri, pikiran serta kehendak kita yang bertolak belakang dengan setiap
objek pengalaman luar yang melahirkan pokok permasalahan ilmu alam (Wundt, 1829).
3. Semua kesadaran, normal atau abnormal, manusia atau binatang, merupakan pokok
permasalahan yang dicoba untuk dijelaskan oleh ahli psikologi, dan tidak ada defenisi ilmu
ini yang sepenuhnya dapat di terima, semua bunyinya kurang lebih sama (Angell, 1910).
4. Bagi aliran Behaviorisme psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang menekankan
prilaku manusia perbuatan dan ucapannya baik yang di pelajari maupun yang tidak sebagai
pokok masalah (Watson, 1919)
5. Defenisi psikologi sementara ini, kita boleh mengatakan bahwa pokok masalahnya adalah
studi ilmiah mengenai prilaku makhluk hidup dalam hubungan mereka dengan dunia luar.
(Koffka, 1925).
6. Secara luas, psikologi mencoba menemukan peraturan umum yang menerangkan prilaku
organisme hidup. Bidang ini mencoba menunjukkan, menerangkan dan menggolongkan
berbagai macam kegiatan yang sanggup dilakukan oleh binatang, manusia atau lainnya
(Gates, 1931)
7. Psikologi biasanya didefenisikan sebagai studi ilmiah mengenai prilaku. Lingkupnya
mencakup berbagai proses prilaku yang dapat diamati, seperti gerak tangan, cara berbicara da
perubahan kejiwaan dan proses yang hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi (Clark
dan Miller, 1970)
8. Psikologi merupakan analisis ilmiah mengenai proses mental dan struktur daya ingat untuk
memahami prilaku manusia (Mayer, 1981)
9. Psikologi dapat diartikan sebagai studi sistematis mengenai tingkah laku dan kehidupan
mental (Roediger, 1984)
10. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan (Morgan C.T.
King)
Beragamnya defenisi di atas dalam pandangan modern disederhanakan menjadi ilmu
mengenai tingkah laku yang mencari jawaban mengenai sebab-sebab kemunculan satu bentuk
tingkah laku.
Berbeda dengan itu, dalam khazanah keilmuan Islam, psikologi atau ilmu nafs tidak
tumbuh sebagai ilmu yang membahas prilaku sebagai fenomena kejiwaan belaka, melainkan
dibahas dalam konteks sistem kerohanian yang memiliki hubungan vertikal dengan Allah,
karna Al-qur’an dan As-sunnah banyak menyebut secara langsung sepertiqalb, ‘aql, ruh, dan
bashirah, yang kesemuanya bersifat multidimensi, sehingga para ulama dibuat sibuk untuk
menggali pengertian nafs dan sistemnya dalam perspektif Al-qur’an dan As-sunnah yang
salah satu ilmu yang mengkaji nafs dalam khazanah keilmuan Islam adalah ilmu dan
ilmu nafs sendiri.
B. Tujuan Dan Faedah Dalam Mempelajari Materi Psikologi
Dalam psikologi, ada beberapa metode yang dapat diterapkan pada kehidupan.
Beberapa di antaranya akan diterangkan berikut ini.
1. Metode Eksperimental
Cara ini biasanya dilakukan di dalam laboratorium. Hal yang merupakan cirri pokok
dalam metode ini adalah peneliti bisa mengubah-ubah situasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Metode ini merupakan penggabungan antara metode introspeksi dan eksperimen. Dengan
kata lain, ia mengendalikan variabel-variabel tertentu (variabel bebas atau independent) untuk
melihat bagaimana akibatnya terhadap variabel lainnya (variabel tergantung atau independent
variable). Atau, situasi dalam eksperimen ini sengaja dibuat, misalnya: orang dimasukkan
dalam ruang simulasi di mana peneliti bisa mengatur kekuatan cahaya atau gelombang suara
yang akan diberikan kepada orang percobaan. Biasanya metode ini sifatnya umum dan
ditujukan mencari hukum-hukum umum pula dan tidak terlalu memperhatikan perbedaan-
perbedaan individual.
2. Observasi Alamiah
Metode observasi ialah metode untuk mempelajari kejiwaan dengan sengaja
mengamati secara langsung, teliti, dan sistematis. Dalam hal ini observer dapat melakukan
tiga cara, yaitu: introspeksi (retrospeksi), intropeksi eksternal, dan ekstrospeksi.
Contohnya pada sekelompok pengunjuk rasa bisa diamati siapa yang menjadi
pimpinannya dan dikenali bagaimana pola/cara dia mendorong/memberi semangat kepada
kelompoknya. Pada saatnya, hasil pengamatan ini bisa digunakan untuk menyusun langkah-
langkah untuk mengantisipasi atau mencegah pemimpin itu melaksanakan niatnya.
3. Sejarah Kehidupan
Sejarah hidup seseorang dapat merupakan sumber data yang penting untuk
mengetahui jiwa orang yang bersangkutan. Misalnya, dari cerita ibunya, seorang anak yang
tidak naik kelas mungkin diketahui bahwa ia bukannya kurang pandai, tetapi minatnya di
bidang musik sehingga ia tidak cukup serius untuk mengikuti pendidikan di sekolah.
4. Wawancara
Wawancara merupakan metode pendidikan dengan menggunakan pertanyaan-
pertanyaan yang diberikan secara lisan. Maksudnya, agar orang yang diperiksa
mengungkapkan isi hatinya, pendapatnya dan lain-lain sedemikian rupa sehingga
pewawancara dapat menggali semua informasi yang diperlukan.
BAB II
MANUSIA
Pendapat para filsuf sejak sebelum Socrates, sampai zaman sarjana-sarjana psikologi
modern saat ini, bahwa manusia, selain merupakan makhluk biologis yang sama dengan
makhluk hidup lainnya adalah juga makhluk yang mempunyai sifat-sifat tersendiri yang khas.
Oleh karena itu, dalam mempelajari manusia kita harus mempunyai sudut pandangan yang
khusus pula. Pandangan psikologi modern adalah bahwa kita tidak dapat menjadikan manusia
hanya sebagai objek seperti pandangan kaum materialis, tetapi kita juga tidak dapat
mempelajari manusia hanya dari kesadarannya saja seperti pandangan kaum Idealis. Manusia
adalah objek sekaligus subjek.
Banyak sudah sarjana yang mencoba untuk memberi definisi yang tepat tentang
manusia. E. Cassirer menyatakan: “Manusia adalah makhluk simbolis”, dan Plato
merumuskan : “Manusia harus dipelajari bukan dalam kehidupan pribadinya, tetapi dalam
kehidupan sosial dan kehidupan politiknya”, Sedangkan menurut paham filsafat
eksistensialisme: “Manusia adalah Eksistensi”. Manusia tidak hanya ada atau berada di dunia
ini, tetapi ia secara aktif “mengada”. Manusia tidak semata-mata tunduk pada kodratnya dan
secara pasif menerima keadaannya, tetapi ia selalu secara sadar dan aktif menjadikan dirinya
sesuatu. Proses perkembangan manusia sebagian di tentukan oleh kehendaknya sendiri.
Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya yang sepenuhnya tergantung pada alam.
Kebutuhan untuk terus menerus menjadi inilah yang khas manusiawi dan karenanya pulalah
manusia bisa berkarya, bisa mengatur dunia untuk kepentingannya sehingga timbullah
kebudayaan dalam segala bentuknya itu. Bentu-bentuk kebudayaan ini antara lain adalah
sistem perekonomian, kehidupan sosial dengan norma-normanya dan kehidupan politik.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna dan teristimewa yang
menyandang gelar khalifah di muka bumi. Al-qur’an menjelaskan bahwa manusia diciptakan
dari tanah, kemudian setelah sempurna kejadiaannya, Tuhan menghembuskan kepadanya ruh
(QS. 38:71-72). Dengan tanah manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti makhluk
lainnya sehingga butuh makan, minum hubungan seks, dan sebagainya. Dengan “Ruh” dia
diantar ke arah tujuan dan materi yang tak berbobot, tak bersubtansi dan tak dapat di ukur di
laboratorium atau bahkan tak dikenal oleh alam material.
Manusia dibekali tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak
kehidupan ke arah yang lebih baik (QS. 13:11), serta di tundukkan dan dimudahkan
kepadanya alam raya untuk di kelola dan di manfaatkan ( QS.45:12-13), ditetapkan arah yang
harus di tuju (QS. 51:56) dan di anugrahkan padanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam
perjalanan ini (QS. 2:28).
Al-qur’an tidak menguraikan secara rinci proses penciptaan adam sebagai manusia
pertama. Al-Qur’an hanya menyampaikan bahwa:
a. Awal manusia dari tanah (QS. Al-mu’minun: 12-14).
b. Bahan tersebut disempurnakan (QS. As-Sajadah: 9)
c. Setelah proses penyempurnaan selesai, di tiupkan padanya Ruh ilahi (QS. Al hijr: 28-29 dan
Shad: 71-72).
Mengenai apa dan bagaimana proses penyempurnaan itu tidak di singgung oleh Al-
Qur’an. Al-Qur’an hanya menguraikan proses pertama, tengah dan akhir.
Al-Qur’an banyak membicarakan manusia, di antaranya yang di bahas adalah
mengenai sifat-sifat dan potensinya. Salah satu potensinya adalah Hawa yang merupakan
manifestasi ekspresi kreasi jiwa. Ia memiliki dorongan primitif. Sedangkan potensi yang lain
adalah nafs. Ia Memiliki dorongan kreatif eksistensial dan sekaligus menjadi penggerak bagi
tingkah laku dalam pemenuhan dorongan hawa dan Akal. Akal dalam fungsi mentalnya
menjadi semacam pemberi pertimbangan logis terhadap apapun yang muncul dalam
keinginan hawa. Keinginan Syahwati dapat saja membuat akal menjadi kotor secara
frekuentif akibat akumulasi tindakan yang keliru dari jiwa. Akal dapat saja terjebak
memberikan pertimbangan yang tidak jernih pada cara berfikir yang tidak logis.
Hati dalam fungsinya memahami (yafqahuna biha) melaksanakn fungsi penimbang
dan pengambil keputusan melalui berfikir logis dan berpikir rasa (fungsi pikir dan dzikir).
Namun ada kalanya ia bolak balik (yataqallabu) di antara hawa dan akal. Pada saat itu
biasanya muncullah akal budi (dhamir) dan suara hati (fuad)memberikan semacam insight
yang membuat insan ingat akan dasar fitrahnya sebagai hamba. Jika jiwa dan qalbu tidak
kembali, maka ia akan jatuh (QS. 95:5), tetapi jika ia tetap berada dalam koridor lingkaran
ilahi yang menjembatani ruhnya dan Allah ia akan mulia semulia saat ia diciptakan pertama
kali (QS. 17:70, 51:6, 95:4). Untuk itu ia membutuhkan konsepsi yang benar (QS. 5:3).
Terkait dengan rangkaian psikodinamik diatas, jiwa (nafs) diposisikan pertama kali
pada QS. Muzammil ayat 20 yang menyebutkan kebaikan-kebaikan diri masa lalu yang juga
akan berpengaruh pada pembentukan kepribadian kemudian. Pada QS. Mudatsir ayat 38 di
sebutkan bahwa usaha diri akan memberikan pengaruh pada jiwa.
Kata nafs dalam pengertian jiwa tercantum dalam QS. 81:14 dan 89:27-30. Dalam
ayat terakhir bahkan tertera penghormatan Allah terhadap hamba yang memiliki jiwa
yang muthmainnah. QS. 59:9 memperlihatkan bahwa yang mempengaruhi dan
menggerakkan prilaku adalah jiwa.
C. Perkembangan Manusia
3. Teori Konvergensi
Teori ini merupakan teori gabungan (konvergensi) dari kedua teori tersebut di atas,
yaitu suatu teori yang dikemukakan oleh William Stern baik pembawaan maupun
pengalaman atau lingkungan mempunyai peranan yang penting di dalam perkembangan
individu. Perkrmbangan individu akan ditentukan baik oleh faktor yang dibawa sejak lahir
(faktor endogen) maupun faktor lingkungan (termasuk pengalaman dan pendidikan) yang
merupakan faktor eksogen. Penelitian dari W. Stern memberikan bukti tentang kebenaran
dari teorinya. W. Stern mwngadakan penelitian dengan anak-anak kembar di Hamburg.
Dilihat dari segi faktor endogen atau faktor genetik anak yang kembar mempunyai sifat
keturunan yang dapat dikatakan sama. Anak-anak tersebut dipisahkan dari pasangannya dan
ditempatkan pada pengaruh lingkungan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
b. Faktor-faktor eksogen/eksternal
Dalam hal ini, Syah (2003) menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang
memengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan
sosial dan faktor lingkungan nonsosial.
Lingkungan sosial
Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-
sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaan keluarga, dapat memberi
dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga, orangtua, anak,
kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan
baik.
Lingkungan nonsosial.
A. Inteligensi
Inteligensi merupakan kemampuan yang di bawa sejak lahir dan dianggap sebagai
kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup yang hanya di miliki manusia, yang dengan
kemampuan inteligensi ini memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu.
Menurut W. Stern, inteligensi ialah kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan
diri dengan cepat dan tepat dalam situsai yang baru. Sedangkan menurut V. Hees, inteligensi
ialah sifat kecerdasan jiwa.
Menurut arah atau hasilnya, inteligensi ada 2 macam:
1. Inteligensi Praktis. Ialah inteligensi untuk dapat mengatasi suatu situasi yang sulit dalam
sesuatu kerja, yang berlansung secara cepat dan tepat.
2. Inteligensi teoritis. Ialah inteligensi untuk dapat mendapatkan suatu pikiran penyelesaian
soal atau masalah dengan cepat dan tepat.
Macam-macam Inteligensi
Ada beberapa macam intelegensi, antara lain :
Inteligensi keterampilan verbal
Yaitu kemampuan untuk berpikir dengan kata-kata dan menggunakan bahasa untuk
mengungkapkan makna.
Inteligensi keterampilan matematis
Yaitu kemampuan untuk menjalankan operasi matematis. Peserta didik dengan kecerdasan
logical mathematical yang tinggi memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan
eksplorasi.
Inteligensi kemampuan ruang
Yaitu kemampuan untuk berpikir secara tiga dimensi. Cenderung berpikir secara visual.
Mereka kaya dengan khayalan internal (Internal imagery) sehingga cenderung imaginaif dan
kreatif.
Inteligensi kemampuan musical
Yaitu kepekaan terhadap pola tangga nada, lagu, ritme, dan mengingat nada-nada. Ia juga
dapat mentransformasikan kata-kata menjadi lagu, dan menciptakan berbagai permainan
musik.
Inteligensi Keterampilan kinestetik tubuh
Yaitu kemampuan untuk memanipulasi objek dan mahir sebagai tenaga fisik. Senang
bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan, keseimbangan,
ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak.
Inteligensi Keterampilan intrapersonal
Yaitu kemampuan untuk memahami diri sendiri dengan efektif mengarahkan hidup
seseorang. Memiliki kepekaan perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami
diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri dalam konflik. Ia juga mengetahui apa yang
dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan sosial
Inteligensi keterampilan interpersonal
Yaitu kemampuan untuk memahami dan secara efektif berinteraksi dengan orang lain. Pintar
menjalin hubungan sosial, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat
berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan
orang lain, serta mampu bekerja sama dengan orang lain.
Inteligensi keterampilan naturalis
Yaitu kemampuan untuk mengamati pola di alam serta memahami system buatan manusia
dan alam.
Inteligensi emosional
Yaitu kemampuan untuk merasakan dan mengungkapkan emosi secara akurat dan adaftif
(seperti memahami persfektif orang lain).
Orang yang berjasa menemukan tes inteligensi pertama kali ialah seorang dokter
bangsa Prancis Alfred Binet dan pembantunya Simon. Tesnya terkenal dengan nama tes Tes
Binet-Simon. Seri tes dari Binet-Simon ini, pertamakali diumumkan antara 1908-1911 yang
diberi nama : “Chelle Matrique de l’inteligence” atau skala pengukur kecerdasan. Tes binet-
simon terdiri dari sekumpulan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikelompok-kelompokkan
menurut umur (untuk anak-anak umur 3-15 tahun). Sehingga dengan demikian kita dapat
melihat adanya perbedaan-perbedaan IQ (Inteligentie Quotient) pada tiap-tiap orang/anak.
Klasifikasi IQ antara lain :
Genius 140 ke atas
Sangat Cerdas 130-139
Cerdas (superior) 120-129
Di atas rata-rata 110-119
Rata-rata 90-109
Di bawah rata-rata 80-89
Garis Batas 70-79
Moron 50-69
Imbisil, Idiot 49 ke bawah
B. Personalisme
Personalisme adalah filosofi yang menyatakan bahwa martabat pribadi manusia dinilai dari
norma dasar etika .Pandangan ini memperlihatkan secara jelas bahwa norma dasar langsung dan
konkrit moralitas bukan otoritas luar (Moralitas Ekstrinsik), kesenangan (Hedonisme), manfaat
terbesar bagi jumlah terbesar orang (Utilitarisme), kebahagiaan (Eudaimonisme), kebebasan yang
menciptakan nilai (Eksistensialisme Humanistis), kewajiban (Formalisme Kant), tetapi Martabat
Pribadi Manusia, baik martabat pribadiku sendiri dan martabat pribadi orang lain, harkat intrinsik
setiap orang.
Menurut Imanuel Kant, manusia harus dihormati karena manusia adalah satu-satunya
makluk yang merupakan tujuan dalam dirinya sendiri. Sikap hormat tak bersyarat ini dituntut oleh
kodrat atau harkat pribadi manusia yang intrinsic sebagai persona, pusat kemandirian, makluk
berakal-budi dan berkehendak. Untuk menegaskan kemutlakan nilai manusia dan sikap hormat yang
tidak bersyarat atas manusia, Kant membedakan antara “harga” (Preis) dan “martabat (Würde).
Harga dan martabat manusia ini memang menjadi tujuan, tetapi prinsipnya, hal yang memiliki “harga”
selalu bisa tergantikan, selalu tersedia alternatif, substitusi. Tetapi sesuatu yang memiliki “martabat”
selalu unik, tak tergantikan oleh alternatifnya. Karena itu, untuk manusia yang memiliki martabat, Kant
memberikan inperatif moral: “Hendaklah memperlakukan kemanusiaan, baik dalam diri Anda maupun
dalam diri orang lain, selalu sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah sebagai sarana”.
Daftar Pustaka
Penyusun
MAKALAH
Fungsi-fungsi psikis
Disusun Oleh :