Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pertumbuhan rumah sakit di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat
dengan status kepemilikan pemerintah dan swasta. Selain itu, pemberlakuan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) sesuai dengan peta jalan (roadmap) jaminan kesehatan
semesta/ Universal Health Coverage (UHC) pada tahun 2019, dimana seluruh penduduk
menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Komunitas keperawatan dunia
melalui International Council of Nursing (ICN) menyikapi trend pembiayaan kesehatan
yang ada dengan berkomitmen tentang nilai-nilai keperawatan untuk mencapai
pelayanan yang “Care Effective, Cost Effective” dengan melaksanakan intervensi
keperawatan yang efektif cara dan biaya, meningkatkan pemanfaatan teknologi oleh
perawat untuk memberikan perawatan yang efektif biaya, meningkatkan efektifitas peran
perawat dalam mengembangkan kesehatan komunitas, meningkatkan efektifitas perawat
melalui komposisi ketenagaan perawat (skill mix) dan peningkatan level pendidikan
perawat.
Kondisi tersebut di atas, menyebabkan semakin tingginya tuntutan masyarakat
untuk memperoleh pelayanan keperawatan yang berkualitas, efektif dan efisien.
Pelayanan keperawatan merupakan salah satu ujung tombak pelayanan rumah sakit,
sehingga pelayanan keperawatan berkualitas akan meningkatkan kualitas rumah sakit.
Pengelolaan pelayanan keperawatan yang berkualitas dipengaruhi oleh ketersediaan
sumberdaya serta kemampuan pengelola/manajer keperawatan. Seorang manajer
keperawatan dituntut utk memiliki kemampuan dalam merencanakan, mengorganisir,
melakukan pengarahan, mengendalikan dan mengevaluasi pelayanan sehingga setiap
permasalahan yang dihadapi dapat diatas dengan baik.
Peningkatan kualitas rumah sakit dapat dicapai salah satunya dengan proses
pengendalian dan mengevaluasi pelayanan khususnya pelayanan keperawatan.
Pengawasan dan Pengendalian merupakan proses akhir dari proses manajemen, dimana
dalam pelaksanaannya proses pengawasan dan pengendalian saling keterkaitan dengan
proses-proses yang lain terutama dalam perencanaan. Pengawasan dan Pengendalian
merupakan proses akhir dari proses manajemen, dimana dalam pelaksanaannya proses
pengawasan dan pengendalian saling keterkaitan dengan proses-proses yang lain
terutama dalam perencanaan. Dengan demikian dalam pelaksanaannya perlu dilakukan
pengawasan apakah setiap tahapan proses manajemen telah sesuai dengan standar atau
tidak dan jika ditemukan adanya penyimpangan maka perlu dilakukan pengendalian
sehingga kembali sesuai standar yang berlaku.

B. Tujuan
Tujuan pengendalian manajemen adalah untuk mengkaji dan menganalisa fungsi
pengendalian (controlling) manajemen mutu pada sebuah rumah sakit mencapai
standarisasi manajemen.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. FUNGSI CONTROLLING (PENGAWASAN)


Pengawasan dan Pengendalian merupakan proses akhir dari proses manajemen,
dimana dalam pelaksanaannya proses pengawasan dan pengendalian saling keterkaitan
dengan proses-proses yang lain terutama dalam perencanaan. Pengawasan merupakan
pemeriksaan terhadap sesuatu apakah terjadi sesuai dengan rencana yang
ditetapkan/disepakati, instruksi yang telah dikeluarkan, serta prinsip-prinsip yang
telah ditentukan, yang bertujuan untuk menunujukkan kekurangan dan kesalahan agar
dapat diperbaiki (Fayol, 1998 dalam Swansburg).
Pengawasan juga diartikan sebagai suatu usaha sistematik untuk menetapkan
standar pelaksanaan dengan tujuan perencanaan, merancang sistem infomasi timbale
balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan
sebelumnnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta
mengambil tindakan yang digunakan dengan cara yang paling efektif dan efisien
dalam pencapaian tujuan (Mockler, 2002). Pengontrolan atau pengevaluasian adalah
melihat bahwa segala sesuatu dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah
disepakati, instruksi yang diberikan, serta prinsip-prinsip yang telah diberlakukan
(Urwick, 1998).
Dalam proses manajemen ditetapkan suatu standar yang menjadi acuan,
diantaranya yaitu: visi-misi, standar asuhan, penampilan kinerja, keuangan, dan lain
sebagainya. Dengan demikian dalam pelaksanaannya perlu dilakukan pengawasan apakah
setiap tahapan proses manajemen telah sesuai dengan standar atau tidak dan jika
ditemukan adanya penyimpangan maka perlu dilakukan pengendalian sehingga kembali
sesuai standar yang berlaku. Komponen Pengawasan dan Pengendalian adalah : 1) Setting
standar, 2) Measuring Perform, 3) Reporting Result, 4) Corrective Action, 5) Redirection
Tugas seorang manajer dalam usahanya menjalankan dan mengembangkan
fungsi pengawasan manajerial perlu memperhatikan beberapa prinsip berikut
(Muninjaya, 2004) :
a. Pengawasan yang dilakukan pimpinan harus dimengerti oleh staff dan hasilnya
mudah diukur, misalnya menepati jam kerja.
b. Fungsi pengawasan merupakan kegiatan yang amat penting dalam upaya
mencapai tujuan organisasi
c. Standar untuk kerja yang akan diawasi perlu dijelaskan kepada seluruh staf,
sehingga staf dapat lebih meningkatkan rasa tanggung jawab dan komitmen
terhadap kegiatan program.
d. Control sebagai pengukuran dan koresksi kinerja untuk meyakinkan bahwa
sasaran dan kelengkapan rencana untuk mencapai tujuan telah tersedia, serta alat
untuk memperbaiki kinerja.
Karakteritik suatu sistem kontrol yang baik adalah harus menunjukkan sifat
dan aktivitas, harus melaporkan kesalahan-kesalahan dengan segera, harus
memandang ke depan, harus menunjukkan penerimaan dalam titik kritis, harus
objektif, harus fleksibel, harus menunjukkan pola organisasi, harus ekonomis, harus
mudah dimengerti, dan harus menunjukkan tindakan perbaikan.
Untuk fungsi kontrol dapat dibedakan pada setiap tingkat manajer. Sebagai
contoh, seorang manajer perawat kepala dari satu unit bertanggung jawab mengenai
kegiatan operasional jangka pendek termasuk jadwal harian dan mingguan, dan
penugasan, serta penggunaan sumber-sumber efektif. Kegiatan-kegiatan control untuk
perubahan yang cepat.
Dua metode pengukuran yang digunakan untuk mengkaji pencapaian tujuan-
tujuan keperawatan adalah :
a. Analisa tugas : kepala perawat melihat gerakan, tindakan dan prosedur yang
tersusun dalam pedoman tertulis, jadwal, aturan, catatan, anggaran. Hanya
mengukur dukungan fisik saja, dan secara relatif beberapa alat digunakan untuk
analisa tugas dalam keperawatan.
b. Control kualitas : kepala perawat dihadapkan pada pengukuran kualitas dan
akibat-akibat dari pelayanan keperawatan.
Fungsi pengawasan dan pengendalian dapat dilaksanakan dengan tepat, maka
akan diperoleh manfaat : dapat diketahui apakah suatu kegiatan atau program telah
dilaksanakan sesuai dengan standar atau rencana kerja, dapat diketahui adanya
penyimpangan pada pengetahuan dan pengertian serta dalam melaksanakan tugas-
tugasnya, dapat diketahui apakah waktu dan sumber daya lainnya telah mencukupi
kebutuhan dan telah digunakan secara benar, dan dapat diketahui oleh staf yang perlu
diberikan penghargaaan atau bentuk promosi dan latihan lanjutan.
B. Evaluasi Personil (Penilaian Kinerja)
Tenaga Keperawatan merupakan salah satu sumber daya manusia dalam suatu unit
pelayanan keperawatan. Dimana kualitas pelayanan keperawatan sangat berkaitan erat
dengan kualitas sumber daya manusianya, sehingga perlu dilakukan upaya yang terus
menerus untuk meningkatkan kualitas kerja perawat yaitu dengan melakukan
“Penilaian Kinerja”.
1. Penilaian Kinerja (Performance Appraisal)
a. Definisi
Douglass (1992) mengatakan bahwa Penilaian Kinerja adalah metode untuk
mendapatkan dan memproses informasi yang dibutuhkan. Sedangkan
Marquis dan Houston (2000) menjelaskan pengertian penilaian kinerja adalah
salah satu bagian dari proses pengawasan dan pengendalian, dimana kinerja
staf keperawatan dinilai dan dibandingkan dengan standar yang ada pada
organisasi. Dengan demikian penilaian kinerja juga dapat dikatakan sebagai
suatu proses ketika suatu unit keperawatan mengevaluasi hasil kerja atau
prestasi para pemegang jabatan, baik sebagai kepala bidang keperawatan,
kepala ruangan maupun sebagai perawat pelaksana.
b. Manfaat Penilaian Kinerja
Hasil penilaian kinerja dari masing-masing staf keperawatan memiliki nilai
manfaat dan kegunaan, diantaranya yaitu :
1) Setiap staf keperawatan akan mengetahui dimana letak kekurangan
dirinya, sehingga catatan kekurangan dirinya akan menjadi dasar untuk
perbaikan kinerjanya dikemudian hari.
2) Sebagai dasar dalam penyesuaian kompensasi, dimana kompensasi
dimaksudkan sebagai reward atas kinerja yang ditampilkan.
3) Kinerja yang ditampilkan dapat menjadi pertimbangan bagi staf untuk
dipromosikan atau adanya penurunan jabatan.
4) Untuk menentukan pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan oleh
staf keperawatan
5) Untuk menentukan perencanaan dan pengembangan karir dari masing-
masing staf keperawatan
6) Defisiensi penempatan staf
7) Ketidakakuratan informasi dapat diklarifikasi dengan hasil dari penilaian
kinerja
8) Dapat mendiagnosis kesalahan dari rancangan pekerjaan
9) Memberikan kesempatan kerja yang adil bagi seluruh staf keperawatan
10) Tantangan eksternal
11) Sebagai umpan balik pada staf keperawatan

2. Metode Evaluasi
a. Anecdotal records
Penilaian yang didasarkan pada catatan kinerja dari staf keperawatan pada
periode tertentu
b. Check list
Penilaian yang menggunakan instrument khusus dapat melalui observasi
maupun kuesioner, dimana dalam instrument tersebut sudah terdapat
pernyataan-pernyataan yang tinggal di check list sesuai kinerja yang
ditampilkan staf perawat
c. Rating scales
Penilaian yang menggunakan skala yang member gambaran mulai dari
kinerja tinggi sampai rendah
d. Metode manajemen berdasarkan sasaran (Management By Objective-MBO)
merupakan suatu program penilaian dan penetapan tujuan diseluruh
organisasi yang komfrehensif dengan menetapkan tujuan organisasi,
menetapkan tujuan departemental, membahas tujuan departemen,
menetapkan sasaran yang diharapkan, mengukur hasilnya dengan tolok ukur
yang telah disepakati, sehingga dapat digunakan sebagai umpan balik secara
berkala.
e. Peer review
Penilaian dilakukan oleh kelompok khusus yang memiliki profesi dan
keilmuan yang sama.
f. Critical incident
Penilai membuat buku harian yang berisi contoh-contoh yang diinginkan atau
tidak diinginkan atau insiden dari perilaku staf perawat yang berhubungan
dengan kerja masing-masing jawaban.

Tenaga Keperawatan merupakan salah satu sumber daya manusia dalam suatu
unit pelayanan keperawatan. Dimana kualitas pelayanan keperawatan sangat berkaitan
erat dengan kualitas sumber daya manusianya, sehingga perlu dilakukan upaya yang
terus menerus untuk meningkatkan kualitas kerja perawat yaitu dengan melakukan
penilaian kinerja.
Menurut Gillies (1996). Untuk mengevaluasi bawahan secara tepat dan adil,
manajer sebaiknya mengamati prinsip-prinsip tertentu. Evaluasi pekerja sebaiknya
didasarkan pada standar pelaksanaan kerja orientasi tingkah laku untuk posisi yang
ditempati (Romber, 1986 dikutip Gillies, 1996). Dalam penilaian pelaksanaan kerja
pegawai, manajer sebaiknya menunjukkan segi-segi dimana pelaksanaan kerja itu bisa
memuaskan dan perbaikan apa yang diperlukan. Supervisor sebaiknya merujuk pada
contoh-contoh khusus mengenai tingkah laku yang memuaskan maupun uang tidak
memuaskan supaya dapat menjelskan dasar-dasar komentar yang bersifat evaluative.
Jika diperlukan, manajer sebaiknya menjelaskan area mana yang akan diprioritaskan
seiring dengan usaha perawat untuk meningkatkan pelaksanaan kerja (Gillies, 1996).
Pertemuan evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu yang cocok bagi perawat
dan manajer, diskusi evaluasi sebaiknya dilakukan dalam waktu tang cukup bagi
keduanya. Baik laporan evaluasi maupun pertemuan sebaiknya disusun dengan
terencana sehingga perawat tidak merasa kalau pelaksanaan kerjanya sedang
dianalisa. Seorang pegawai dapat bertahan dari kecaman seorang manajer yang
mempertimbangkan perasaannya serta menawarkan bantuan untuk meningkatkan
pelaksanaan kerjanya (Gillies, 1996).

C. PENGENDALIAN MUTU
Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang
diamati dan juga merupakan kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan,
sedangkan Tappen (1995) menjelaskan bahwa mutu adalah penyesuaian terhadap
keinginan pelanggan dan sesuai dengan standar yang berlaku serta tercapainya tujuan
yang diharapkan. Berdasarkan uraian di atas, maka mutu dapat dikatakan sebagai
kondisi dimana hasil dari produk sesuai dengan kebutuhan pelanggan, standar yang
berlaku dan tercapainya tujuan. Mutu tidak hanya terbatas pada produk yang
menghasilkan barang tetapi juga untuk produk yang menghasilkan jasa atau pelayanan
termasuk pelayanan keperawatan.
Jasa diartikan juga sebagai pelayanan karena jasa itu menghasilkan pelayanan
(Supranto, 2006). Definisi mengenai pelayanan telah banyak dijelaskan, dan Kottler
(2000, dalam Supranto, 2006) menjelaskan mengenai definisi pelayanan adalah suatu
perbuatan di mana seseorang atau suatu kelompok menawarkan pada kelompok/orang
lain sesuatu yang pada dasarnya tidak berwujud dan produksinya berkaitan atau tidak
berkaitan dengan fisik produk, sedangkan Tjiptono (2004) menjelaskan bahwa
pelayanan merupakan aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual,
sehingga dapat dikatakan bahwa pelayanan itu merupakan suatu aktivitas yang
ditawarkan dan menghasilkan sesuatu yang tidak berwujud namun dapat dinikmati
atau dirasakan.
Kotler (1997) dan Tjiptono (2004), menjelaskan karakteristik dari pelayanan
sebagai berikut :
1. Intangibility (tidak berwujud), yaitu suatu pelayanan mempunyai sifat tidak
berwujud, tidak dapat dirasakan atau dinikmati, tidak dapat dilihat, didengar dan
dicium sebelum dibeli oleh konsumen. Misalnya : pasien dalam suatu rumah sakit
akan merasakan bagaimana pelayanan keperawatan yang diterimanya setelah
menjadi pasien rumah sakit tersebut.
2. Inseparibility (tidak dapat dipisahkan), yaitu pelayanan yang dihasilkan dan
dirasakan pada waktu bersamaan dan apabila dikehendaki oleh seseorang untuk
diserahkan kepada pihak lainnya, dia akan tetap merupakan bagian dari pelayanan
tersebut. Dengan kata lain, pelayanan dapat diproduksi dan dikonsumsi/dirasakan
secara bersamaan. Misalnya : pelayanan keperawatan yang diberikan pada pasien
dapat langsung dirasakan kualitas pelayanannya.
3. Variability (bervariasi), yaitu pelayanan bersifat sangat bervariasi karena
merupakan non standardized dan senantiasa mengalami perubahan tergantung
dari siapa pemberi pelayanan, penerima pelayanan dan kondisi di mana serta
kapan pelayanan tersebut diberikan. Misalnya : pelayanan yang diberikan kepada
pasien di ruang rawat inap kelas VIP berbeda dengan kelas tiga.
4. Perishability (tidak tahan lama), dimana pelayanan itu merupakan komoditas
yang tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Misalnya : jam tertentu tanpa
ada pasien di ruang perawatan, maka pelayanan yang biasanya terjadi akan hilang
begitu saja karena tidak dapat disimpan untuk dipergunakan lain waktu.

Pengendalian mutu adalah pengendalian kualitas melibatkan pengembangan


sistem untuk memastikan bahwa produk dan jasa dirancang dan diproduksi untuk
memenuhi atau melampaui persyaratan dari pelangggan maupun produsen sendiri.
Sistem-sistem ini sering menggunakan pendekatan lintas fungsional. ISO 9000 atau
TQM (Total Quality Management) adalah contoh standar dan pendekatan yang
digunakan untuk pengendalian mutu. TQM adalah suatu sistem untuk meningkatkan
mutu jasa dan produk. Manajemen mutu akan dikaitkan dengan QAP (Quality
Assurance Program) atau PJM (Program Jaminan Mutu) (Muninjaya, 2004).
Ada tiga pengertian dasar yang dipakai untuk memahami konsep tentang PJM
(Muninjaya, 2004), yaitu :
1. Karakteristik dan falsafah kegiatan PJM
Program jaminan mutu adalah suatu upaya yang dilaksanakan secara
berkesinmabungan, sistematis, objektif, dan terpadu untuk :
a. Menetapkan masalah mutu dan penyebabnya berdasarkan standar yang telah
ditetapkan
b. Menetapkan dan melaksanakan cara penyelesaian masalah sesuai dengan
kemampuan yang tersedia
c. Menilai hasil yang dicapai
d. Menyusun rencana tindak lanjut untuk lebih meningkatkan mutu
2. Tujuan PJM
Ada dua tujuan yaitu tujuan antara dan tujuan akhir. Tujuan antara adalah tujuan
pengembangan mutu, dimana masalah mutu dijadikan dasar untuk menetapkan
tujuan peningkatan mutu yang akan dicapai. Tujuan akhir yang ditetapkan untuk
menjaga mutu pelayanan kesehatan adalah meningkatnya mutu produk dan jasa
pelayanan kesehatan. Tujuan ini terkait dengan kepuasan konsumen, termasuk
turunnya biaya (cost) produksi jasa pelayanan.
3. Kegiatan PJM
Ada dua faktor penting kegiatan PJM :
a. Persiapan, yaitu: menumbuhkan komitmen pimpinan institusi, membentuk
tim atau gugus kendali mutu, menyelenggarakan pelatihan staff,
menetapakan batasan wewenang, tanggung jawab, dan mekanisme kerja,
menetapkan jenis dan ruang lingkup program, merumuskan dan
mensosialisasikan standar PJM.
b. Pelaksanaan, yaitu: menetapkan masalah mutu institusi, menetapkan
penyebab masalah mutu, menetapkan cara penyelesaian masalah mutu,
menyelesaikan cara-cara untuk menyelesaikan mutu, menilai hasil yang
telah dicapai, dan menyusun sasaran tindak lanjut.
4. Sasaran PJM
Pendekatan sistem digunakan untuk menetapkan berbagai jenis sasaran
PJM. Ada empat komponen pokok yang menjadi sasaran PJM (Muninjaya, 2004)
: komponen masukan (input) pelayanan, komponen lingkungan (environment),
komponen proses (process), dan unsur keluaran (output)

Quality assurance dalam pelayanan keperawatan adalah kegiatan menjamin


mutu yang berfokus pada proses agar mutu pelayanan keperawatan yang diberikan
sesuai dengan standar. Dimana metode yang digunakan adalah : audit internal dan
surveilan untuk memastikan apakah proses pengerjaannya (pelayanan keperawatan
yang diberikan kepada pasien) telah sesuai dengan standar operating procedure
(SOP); evaluasi proses; mengelola mutu; dan penyelesaian masalah. Sehingga
sebagai suatu sistem (input, proses, outcome), menjaga mutu pelayanan keperawatan
difokuskan hanya pada satu sisi yaitu pada proses pemberian pelayanan keperawatan
untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan.
Continuous Quality Improvement (Peningkatan Mutu Berkelanjutan) dalam
pelayanan keperawatan adalah upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan secara terus menerus yang memfokuskan mutu pada perbaikan mutu
secara keseluruhan dan kepuasan pasien. Oleh karena itu perlu dipahami mengenai
karakteristik-karakteristik yang dapat mempengaruhi mutu dari outcome yang
ditandai dengan kepuasan pasien.
Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh) adalah suatu cara
meningkatkan performansi secara terus menerus pada setiap level operasi atau proses,
dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua
sumber daya manusia dan modal yang tersedia dan berfokus pada kepuasan pasien
dan perbaikan mutu menyeluruh Manajemen Resiko Manajemen Resiko adalah
mencegah injuri dengan mengidentifikasi potensial faktor resiko dan mengambil
langkah untuk mengendalikan faktor-faktor tersebut.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam manajemen resiko diantaranya adalah :
1. menciptakan hubungan yang baik antara perawat dan klien,
2. Pahami kebijakan instusi dan proses yang berlaku,
3. Dokumentasi tindakan keperawatan : faktual, menunjuk waktu, runtut, nama dan
paraf,
4. Jaminan keamanan klien,
5. Laporan kejadian khusus (incident)
Dalam memfasilitasi jaminan keamanan pada pasien/klien, unsure-unsur penting
yang harus dilakukan dalam memberikan pelayanan keperawatan adalah :
1. Cegah dari potensi bahaya fisik dan lindungi martabat klien,
2. Kesiapan alat-alat pendukung tindakan dan pemakaian secara proper,
3. Lakukan setiap tindakan sesuai standar.
Laporan kejadian khusus adalah “kejadian diluar kebiasaan dan tidak konsisten
dengan operasional rutin institusi atau asuhan baku baik disertai dengan potensi
bahaya atau sudah terjadi injury, melibatkan klien-keluarga, pengunjung atau staf”.
Sebagai contoh : kesalahan pengobatan, jatuh, kegagalan penggunaan alat, atau
kehilangan barang.
Komponen utama manajemen mutu terdiri dari komitmen untuk
mengembangkan mutu. Komitmen harus diawali dengan tumbuhnya obsesi dari
pimpinan organisasi untuk terus meningkatkan kualitas produk dan pelayanan
organisasi yang mereka pimpin. Setiap merancang produk dan pelayanan atau
mengambil keputusan harus disertai dengan upaya penilaian menggunakan
pendekatan ilmiah. Untuk maksud tersebut, dibutuhkan proses perekaman data (hasil)
kegiatan dan analisisnya menggunakan computer. Selain itu, semua staff yang bekerja
dalam suatu organisasi harus disadarkan tentang pentingnya peran mereka dalam
mengembangkan proses menghasilkan produk dan pelayanan yang bermutu.
Berbagai kegiatan yang terfokus untuk menjamin kepuasan pasien dapat
dikembangkan asal tidak melanggar standard operating procedure (standar prosedur
pelaksanan) dan etika profesi. Untuk mengawali manajemen mutu di RS unit kerja
PJM perlu dibentuk dan diaktifkan perannya. Peningkatan mutu produk dan pelayanan
harus dikaitkan dengan manajemen pelayanan kesehatan yang berlaku di RS tersebut
(Muninjaya, 2004).
Penilaian terhadap mutu dilakukan dengan menggunakan pendekatan-
pendekatan yang dikelompokkan dalam tiga komponen, yaitu :
1. Struktur (Input)
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Tappen (1995), yaitu bahwa
struktur berhubungan dengan pengaturan pelayanan keperawatan yang diberikan
dan sumber daya yang memadai. Aspek dalam komponen struktur dapat dilihat
melalui :
a. Fasilitas, yaitu kenyamanan, kemudahan mencapai pelayanan dan
keamanan;
b. peralatan, yaitu suplai yang adekuat, seni menempatkan peralatan;
c. staf, meliputi pengalaman, tingkat absensi, ratarata turnover, dan rasio
pasien-perawat; dan
d. Keuangan, yaitu meliputi gaji, kecukupan dan sumber keuangan.
Pendekatan struktur lebih difokuskan pada hal-hal yang menjadi masukan
dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan, diantaranya yaitu :
a. fasilitas fisik, yang meliputi ruang yang indah;
b. peralatan, peralatan keperawatan yang lengkap, bersih, rapih dan ditata
dengan baik;
c. staf keperawatan sebagai sumber daya manusia, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas;
d. dan keuangan, yang meliputi bagaimana mendapatkan sumber dan alokasi
dana.
Faktor-faktor yang menjadi masukan ini memerlukan manajemen yang baik,
baik manajemen sumber daya manusia, keuangan maupun logistik.
2. Proses (Process)
Donabedian (1987, dalam Wijono 2000) menjelaskan bahwa pendekatan ini
merupakan proses yang mentransformasi struktur (input) kedalam hasil
(outcome). Proses adalah kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh
tenaga kesehatan (perawat) dan interaksinya dengan pasien.
Dalam kegiatan ini mencakup diagnosa, rencana perawatan, indikasi
tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Dengan kata lain penilaian dilakukan
terhadap perawat dalam merawat pasien. Dan baik tidaknya proses dapat diukur
dari relevan tidaknya proses bagi pasien, fleksibelitas/efektifitas, mutu proses itu
sendiri sesuai dengan standar pelayanan yang semestinya, dan kewajaran (tidak
kurang dan tidak berlebihan).
Tappen (1995) juga menjelaskan bahwa pendekatan pada proses
dihubungkan dengan aktivitas nyata yang ditampilkan oleh pemberi pelayanan
keperawatan. Hal ini termasuk perawatan fisik, intervensi psikologis seperti
pendidikan dan konseling, dan aktivitas kepemimpinan. Penilaian dapat melalui
observasi atau audit dari dokumentasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pendekatan ini difokuskan pada pelaksanaan pemberian pelayanan keperawatan
oleh perawat terhadap pasien dengan menjalankan tahap -tahap asuhan
keperawatan. Dan dalam penilaiannya dapat menggunakan teknik observasi
maupun audit dari dokumentasi keperawatan. Indikator baik tidaknya proses
dapat dilihat dari kesesuaian pelaksanaan dengan standar operasional prosedur,
relevansi tidaknya dengan pasien dan efektifitas pelaksanaannya.
3. Hasil (Outcome)
Pendekatan ini adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan perawat terhadap
pasien. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik
positif maupun negatif. Sehingga baik tidaknya hasil dapat diukur dari derajat
kesehatan pasien dan kepuasan pasien terhadap pelayanan perawatan yang telah
diberikan (Donabedian, 1987 dalam Wijono 2000). Sedangkan Tappen (1995)
menjelaskan bahwa outcome berkaitan dengan hasil dari aktivitas yang diberikan
oleh petugas kesehatan. Hasil ini dapat dinilai dari efektifitas dari aktivitas
pelayanan keperawatan yang ditentukan dengan tingkat kesembuhan dan
kemandirian. Sehingga dapat dikatakan bahwa fokus pendekatan ini yaitu pada
hasil dari pelayanan keperawatan, dimana hasilnya adalah peningkatan derajat
kesehatan pasien dan kepuasan pasien. Sehingga kedua hal tersebut dapat
dijadikan indikator dalam menilai mutu pelayanan keperawatan.
Pendekatan-pendekatan di atas dapat digunakan sebagai indikator dalam
melakukan penilaian terhadap mutu. Namun sebagai suatu sistem penilaian mutu
sebaiknya dilakukan pada ketiga unsur dari sistem tersebut yang meliputi
struktur, proses dan hasil. Dan setelah didapatkan hasil penilaiannya, maka dapat
dilakukan strategi yang tepat untuk mengatasi kekurangan atau penilaian negatif
dari mutu pelayanan tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, strategi
peningkatan mutu mengalami perkembangan yang dapat menjadi wacana kita
mengenai strategi mana yang tepat dalam melakukan upaya yang berkaitan
dengan mutu pelayanan keperawatan. Oleh karena itu pada sub bab berikutnya
akan dibahas mengenai strategi dalam mutu pelayanan keperawatan.
D. KEPUASAN PELANGGAN
Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan dan
kebutuhan pelanggan dipenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan
tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Pengukuran kepuasan
pelanggan merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik,
lebih efisien dan lebih efektif. Apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu
pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif
dan tidak efisien. Kepuasan pelanggan adalah indikator pertama dari standar suatu
rumah sakit dan merupakan suatu ukuran mutu pelayanan.
Kepuasan pelanggan, sangat berhubungan dengan kenyaman, keramahan, dan
kecepatan pelayanan. Bentuk konkret untuk mengukur kepuasan pelanggan rumah
sakit, dalam seminar survai kepuasan pelanggan di RS, Junadi (2007), mengemukakan
ada empat aspek yang dapat diukur yaitu:
1. Kenyaman, aspek ini dijabarkan dalam pertanyaan tentang lokasi rumah sakit,
kebersihan, kenyamanan ruangan, makanan dan minuman, peralatan ruangan, tata
letak, penerangan, kebersihan WC, pembuangan sampah, kesegaran ruangan dll.
2. Hubungan pelanggan dengan petugas Rumah Sakit, dapat dijabarkan dengan
pertanyaan yang menyangkut keramahan, informasi yang diberikan, sejauh mana
tingkat komunikasi, responsi, support, seberapa tanggap dokter/perawat di
ruangan IGD, rawat jalan, rawat inap, farmasi, kemudahan dokter/perawat
dihubungi, keteraturan pemberian meal, obat, pengukuran suhu dsb.
3. Kompetensi teknis petugas, dapat dijabarkan dalam pertanyaan kecepatan
pelayanan pendaftaran, ketrampilan dalam penggunaan teknologi, pengalaman
petugas medis, gelar medis yang dimiliki, terkenal, keberanian mengambil
tindakan, dsb.
4. Biaya, dapat dijabarkan dalam pertanyaan kewajaran biaya, kejelasan komponen
biaya, biaya pelayanan, perbandingan dengan rumah sakit yang sejenis lainnya,
tingkat masyarat yang berobat, ada tidaknya keringan bagi masyarakat miskin.
Dalam konsep quality assurance (QA), kepuasan pelanggan dipandang sebagai
unsur penentu penilaian baik buruknya sebuah rumah sakit. Unsur penentu lainnya
dari empat komponen yang mempengaruhi kepuasan adalah: aspek klinis, efisiensi
dan efektivitas dan keselamatan pelanggan. Aspek Klinis, merupakan komponen yang
menyangkut pelayanan dokter, perawat dan terkait dengan teknis medis. Efisiensi dan
efektivitas, menunjuk pada pelayanan yang murah, tepat guna, tidak ada diagnosa dan
terapi yang berlebihan. Aspek Keselamatan pelanggan, adalah upaya perlindungan
pelanggan dari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan pelanggan, seperti
jatuh, kebakaran, dll.
Jaminan mutu pelayanan di Rumah Sakit (RS) merupakan salah satu faktor
penting dan fundamental khsususnya bagi manajemen RS itu sendiri, pasalnya
dampak dari QA menentukan hidup matinya sebuah rumah sakit. Bagi Rumah Sakit,
adanya QA yang baik tentu saja membuat RS mampu untuk bersaing dan tetap exist
di masyarakat. Bagi pelanggan, QA dapat dijadikan sebagai faktor untuk memilih RS
yang bermutu dan baik. Bagi praktisi medis, selain terikat dengan standar profesinya,
dengan adanya QA para praktisi medis dituntut untuk semakin teliti, telaten, dan hati2
dalam menjaga mutu pelayanannya. Dan bagi pemerintah sendiri, adanya QA dapat
menjadikan standar dalam memutuskan salah benarnya suatu kasus yang terjadi di
Rumah sakit (Heriandi, 2007)
Irawan (2006) merumuskan lima dimensi mutu yang menjadi dasar untuk
mengukur kepuasan, yaitu :
1. Tangible (bukti langsung), yang meliputi fasilitas fisik, peralatan, personil, dan
media komunikasi yang dapat dirasakan langsung oleh pelanggan. Dan untuk
mengukur dimensi mutu ini perlu menggunakan indera penglihatan.
2. Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang
tepat dan terpercaya. Pelayanan yang terpercaya artinya adalah konsisten.
Sehingga reliability mempunyai dua aspek penting yaitu kemampuan
memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan dan seberapa jauh mampu
memberikan pelayanan yang tepat atau akurat.
3. Responsiveness (ketanggapan), yaitu kesediaan/kemauan untuk membantu
pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat. Dengan kata lain bahwa
pemberi pelayanan harus responsif terhadap kebutuhan pelanggan.
Responsiveness juga didasarkan pada persepsi pelanggan sehingga faktor
komunikasi dan situasi fisik disekitar pelanggan merupakan hal yang penting
untuk diperhatikan. Assurance (jaminan kepastian), yaitu pengetahuan dan
kesopanan karyawan dan kemampuannya untuk memberikan rasa percaya dan
keyakinan atas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Dan komponen dari
dimensi ini yaitu keramahan, kompetensi, dan keamanan.
4. Emphaty (empati), yaitu membina hubungan dan memberikan pelayanan serta
perhatian secara individual pada pelanggannya.
E. PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL
Pencegahan infeksi nosokomial yang dikemukakan oleh WHO (2002)
menyatakan bahwa infeksi nosokomial membutuhkan keterpaduan, pemantauan, dan
program dari semua tenaga kesehatan profesional yang meliputi: dokter, perawat,
terapis, apoteker, dan lain-lain. Pencegahan infeksi nosokomial yang menjadi kunci
utama yaitu: (1) membatasi transmisi organisme antara pasien dalam melakukan
perawatan pasien secara langsung melalui cuci tangan, menggunakan sarung tangan,
teknik aseptik yang tepat, strategi isolasi, sterilisasi dan teknik desinfektan; (2)
mengendalikan lingkungan yang berisiko untuk infeksi; (3) melindungi pasien
dengan penggunaan profilaksis antimikroba yang tepat, nutrisi, dan vaksinasi; (4)
membatasi risiko terjadinya infeksi endogenous dengan meminimalkan prosedur
invasive, dan mempromosikan penggunaan antimikroba yang optimal; (5) surveilans
infeksi, mengidentifikassi dan mengendalikan wabah; (6) pencegahan infeksi pada
tenaga kesehatan; (7) meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan secara terus
menerus dengan memberikan pendidikan.
Peran perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan layanan
konsultasi mengenai semua aspek pencegahan dan pengendalian infeksi dengan
menggunakan metode yang berdasarkan bukti penelitian, praktisi, dan keefektifan
biaya (Brooker, 2008). Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk pengendalian
infeksi nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002).
WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection
menyatakan bahwa kepala ruangan bertanggung jawab untuk (1) berpartisipasi dalam
Komite Pengendalian Infeksi; (2) mempromosikan pengembangan dan peningkatan
teknik keperawatan yang berkaitan dengan pengendalian infeksi nosokomial, dan
pengawasan teknik aseptik yang dilakukan oleh perawat dengan persetujuan Komite
Pengendalian Infeksi; (3) mengembangkan pelatihan program bagi setiap perawat;
(4) mengawasi pelaksanaan teknik pencegahan infeksi di daerah khusus seperti ruang
operasi, ruang perawatan intensif, ruang persalinan, dan ruang bayi baru lahir; (5)
pemantauan kepatuhan perawat terhadap kebijakan yang dibuat oleh kepala ruangan.
Peran perawat selain yang diatas adalah bertanggung jawab atas lingkungan yaitu: (1)
menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit
dan praktik keperawatan; (2) pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan
penggunaan isolasi, (3) melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah yang
dihadapi terutama jika ditemui adanya gejala infeksi pada saat pemberian layanan
kesehatan; (4) melakukan isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit
menular, ketika layanan kesehatan tidak tersedia; (5) membatasi paparan pasien
terhadap infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien lain, atau
peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan; (6)
mempertahankan suplai peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan yang
aman dan memadai di ruangan.
Perawat yang bertanggung jawab dalam pengendalian infeksi adalah perawat
yang menjadi anggota dari tim pengendalian infeksi yang bertanggung jawab untuk
(1) mengidentifikasi infeksi nosokomial; (2) melakukan penyelidikan terhadap jenis
infeksi dan organisme yang menginfeksi; (3) berpartisipasi dalam pelatihan; (4)
surveilans infeksi di rumah sakit; (5) berpartisipasi dalam penyelidikkan wabah; (6)
memastikan kepatuhan perawat terhadap peraturan pengendalian infeksi lokal
maupun nasional; (7) menyediakan layanan konsultasi untuk petugas kesehatan dan
program rumah sakit yang sesuai dalam hal-hal yang berhubungan dengan penularan
infeksi.

F. SUPERVISI
1. Definisi
Supervisi adalah proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil
pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan bawahannya sesuai dgn rencana, perintah,
tujuan/kebijakan yang telah ditentukan (Mc Farland, 1988 dalam Harahap, 2004).
Selain itu Swansburg (1999) juga mendefinisikan supervisi sebagai segala usaha
untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan
tugas, dimana dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu menghargai potensi tiap individu, mengembangkan potensi tiap individu,
dan menerima tiap perbedaan.
Dalam supervisi keperawatan dapat dilakukan oleh pemangku jabatan
dalam berbagai level seperti ketua tim, kepala ruangan, pengawas, kepala seksi,
kepala bidang perawatan atau pun wakil direktur keperawatan. Namun pada
dasarnya seorang supervisor harus memiliki kemampuan sebagai berikut : 1)
membuat perencanaan kerja, 2) Kontrol terhadap pekerjaan, 3) Memecahkan
masalah, 4) Memberikan umpan balik terhadap kinerja, 5) Melatih (coaching)
bawahan, 6) Membuat dan memelihara atmosfir kerja yang motivatif, 7)
Mengelola waktu, 8) Berkomunikasi secara informal, 9) Mengelola diri sendiri,
10) Mengetahui sistem manajemen perusahaan, 11) Konseling karir, 12)
Komunikasi dalam pertemuan resmi.
2. Prinsip supervisi
a. Sesuai dengan struktur organisasi
b. Dilandasi pengetahuan manajemen, HAM, klinis/keperawatan, dan
kepemimpinan
c. Fungsi supervisi diuraikan dengan jelas dan terorganisir
d. Merupakan suatu kerjasama yang demokratis
e. Menggunakan proses manajemen menerapkan visi, misi, tujuan yang harus
f. direncanakan dengan baik
g. Harus mendukung/menciptakan lingkungan yang mendukung komunikasi
efektif
h. Yang menjadi fokus dalam supervise adalah kepuasan klien, perawat dan
manajer
3. Teknik supervisi
a. Langsung
Teknik supervisi dimana supervisor berpartisipasi langsung dalam
melakukan supervisi. Kelebihan dari teknik ini pengarahan dan petunjuk dari
supervisor tidak dirasakan sebagai suatu perintah, selain itu umpan balik dan
perbaikan dapat dilakukan langsung saat ditemukan adanya penyimpangan.
b. Tidak langsung
Teknik supervisi yang dilakukan melalui laporan baik tertulis maupun lisan
sehingga supervisor tidak melihat langsung apa yang terjadi di lapangan.
4. Elemen Proses Supervisi :
a. Standar praktek keperawatan yang digunakan sebagai acuan dalam menilai
dan mengarahkan penyimpangan yang terjadi.
b. Fakta empirik di lapangan, sebagai pembanding untuk pencapaian tujuan dan
menetapkan kesenjangan
c. Adanya tindak lanjut sebagai upaya mempertahankan kualitas maupun upaya
memperbaiki Manajemen Mutu
BAB III
KESIMPULAN

Pengawasan dan Pengendalian merupakan proses akhir dari proses manajemen, dimana
sangat berkaitan dengan masing-masing proses manajemen lainnya, karena pada prosesnya
dilakukan evaluasi yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan.
Dengan demikian pengawasan dan pengendalian dalam prosesnya mencakup penilaian
kinerja staf keperawatan, supervisi, manajemen mutu dan manajemen resiko. Dimana untuk
mencapai kualitas pelayanan yang baik, perlu diupayakan peningkatan kualitas yang terus
menerus dan mempertahankan segala sesuatu yang baik berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, A. (1996). Menuju pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Jakarta : Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Colton. (2000). Quality improvement in healthcare, hlm.20, http//www.ehp.sagepub.com,
diperoleh tanggal 30 September 2006
DepKesRI (2003), Indonesia sehat 2010. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I
Gillies, D.A. (1994). Nursing management, a system approach. Third Edition. Philadelphia :
WB
Saunders. Harris, M. (1989). Quality assurance : administrative support. Maryland : Aspen
Publication.
Kottler, P. (1997). Marketing management analysis, planning, implementation and control &
edition. New Jersey: Prentice Hall Inc
Kozier, Erb & Blais. (1997). Profesional nursing practice : concept & perspectives. Third
Edition. California : Addison Wesley Publishing.Inc
Meisenheimer, C.G. (1989). Quality Assurance for Home Health Care. Maryland : Aspen
Publication.
Oki. (2000). Dimensi mutu pada organisasi jasa. Jakarta : Manajemen Manusia Press.
Potter, P.A. & Perry, A.G. (1994). Fundamental of nursing, concepts, proccess and practise.
St.Louis : Mosby Year Book Inc.
Shortell, S.M. & Kaluzny, A.D. (1994). Health care management. organization design and
behavior. Third Edition. Canada : Delmar Publishers.
Shortell, S.M., Bennett, C.L. & Byck, G.R. (1998). Assessing the impact of continuous
quality improvement on clinical practice : what it will take to accelerate progress.
http//www.shortell_SM.QI, diperoleh tanggal 30 September 2006.
Swansburg, R.C. & Swansburg, R.J. (1999). Introductory management and leadership for
nurses. Canada : Jones and Barlett Publishers.
Tappen (1995). Nursing leadership and management : Concepts & Practice. Philadelphia :
F.A. Davis Company.
Tjiptono, F. (2004). Prinsip-prinsip total quality service (TQS). Yogyakarta : Andi Press.
Tjong, A.E.S. (2004). Perubahan paradigma ke arah budaya melayani dalam pelayanan prima
di RS. Jurnal Manajemen & Administrasi Rumah Sakit Indonesia, 5 (1), 714.
Wijono, D. (2000). Manajemen mutu pelayanan kesehatan. Teori, Strategi dan Aplikasi.
Volume.1. Cetakan Kedua. Surabaya : Airlangga Unniversity Press.
Yaslis, I. (2004). Perencanaan SDM rumah sakit. teori, metoda dan formula. Depok : FKM-
UI.

Anda mungkin juga menyukai