Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid atau dikenal dengan demam enterik adalah infeksi


sistemik oleh Salmonella typhi atau oleh bakteri yang lebih lemah,
Salmonella paratyphi. Sejak jaman dahulu kala, bakteri ini telah
menghantui pada masa perang dan saat penurunan sanitasi lingkungan.
Ahli arkelogi telah menemukan S typhi di kuburan massal di Athena yang
digunakan ada era perang Peloponnesia, dan menduga bahwa bakteri inilah
yang menyebabkan wabah besar di Athena. S yyphi sering terdapat di
negara dengan sanitasi lingkungan yang buruk. Walaupun wabah juga
pernah terjadi di negara maju, namun pasien tersebut kebanyakan baru tiba
dari negara-negara endemik.(1)
Dari semua serotipe Sallmonella, hanya S typhi dan S paratyphi
yang patogen secara khusus pada manusia. Demam tifoid adalah penyakit
multisistemik berat yang karakteristiknya berupa demam yang
berkepanjangan, bakterremia menetap tanpa keikutsertaan endotelial
ataupun endokardial, dan invasi serta perkembangbiakan bakterinya terjadi
di sel fagosit mononuklear pada hati, lien, linfonodi dan pacth payer.
Demam tifoid dapat fatal bila tidak mendapatkan perawatan.(1)
Orang-orang biasanya terinfeksi S typhi and S paratyphi melalui
makan dan minuman yang terkontaminasi kotoran dari pembawa
kronis penyakit ini. Jarang kali, si pembawa mengeluarkau bakteri ini
lewat urinnya. Seseorang juga dapat terinfeksi dari minum air keran yang
terkontaminasi atau dari makan makanan kaleng yang terkontaminasi.(1)
Salmonella adalah genus dari famili Enterobacteriaceae yang
memiliki lebih dari 2300 serotipe. Salmonellae adalah gram-negatif,
berflagella, nonsporulating, facultatif anaerobik basil yang memfermentasi
glukosa, mengubah nitrat menjadi nitrit, dan mensintesis flagella
peritrichous saat motil. Semuanya, kecuali S typhi yang memproduksi gas
saat fermentasi gula.(1)

4
Salmonellae di kelompokan dalam antigen O somtik dan lebih
lanjut dibagi menjadi serotipe-serotipe berdasarkan antigen flagellar H and
surface virulence (Vi). Khususnya, S lyphi penyebab demara tifoid,
memiliki antigen O dan H, antigen pembungkus (K), dan suatu komplek
makromolekular lipopolisakarida yang disebut endotoksin yang
membentuk bagian luar dinding selnya.
S typhi, S paratyphi C, dan Salmonella Dublinare adalah satu-
satunya serotipe Salmonella yang membawa antigen Vi. Berdasarkan studi
DNA, semua salmonellae kini digolongkan dalam salah satu dari dua
kelompok spesies: Salmonella enlerica (yang sebelumnya
disebut Salmonella choleraesuis) and Salmonella bongori.
S enlerica memiliki 6 subspesies (I, II, Ilia, Illb, IV, VI); S
bongori memiliki satu subspesies (V). S typhi sedangkan S
paratyphi adalah S enterica subspesies I, serotipe typhi and paratyphi.(1)

5
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


 Nama : An. P
 Umur : 5 tahun 6 bulan
 Jenis kelamin : Perempuan
 Alamat : Tanjungsari, Kab. Semarang
 Nama Ayah : Tn. S
 Pendidikan Ayah : SMK
 Nama Ibu : Ny. M
 Pendidikan Ibu : D1
 Tanggal Masuk RS : 16 Mei 2019
 Tanggal Keluar RS : 21 Mei 2019

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada Ibu pasien di Bangsal
Anggrek RSUD Ambarawa tanggal 19 Mei 2019.

Keluhan Utama
Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang anak laki-laki usia 5 tahun 6 bulan diantar keluarga datang ke RSUD
Ambarawa dengan keluhan demam sudah 5 hari. Demam muncul perlahan dan
semakin lama semakin tinggi. Demam naik turun dan dirasakan memberat
terutama pada malam hari. Demam turun dengan obat penurun panas dan
kemudian demam kembali lagi. Riwayat berpergian ke daerah endemis malaria
tidak dijumpai. Keluhan mual dan muntah diakui. Muntah dirasakan pasien sejak
±3 hari sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 2-3 kali/hari dengan. Isi
muntah pasien berupa apa yang dimakan dan diminum oleh pasien. Penurunan
nafsu makan dan penurunan berat badan diakui. Keluhan sulit menelan disangkal,
keluhan batuk pilek disangkal. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepalanya
bersamaan dengan keluhan demamnya. BAB cair juga dirasakan pasien sejak ±3

6
hari sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 4-5 kali/hari. Konsistensi air
lebih banyak dibandingkan ampas. BAB cair tidak disertai dengan darah dan
lender. BAB cair tidak dijumpai lagi sejak 2 hari setelah masuk rumah sakit.
Buang air kecil (BAK) dalam batas normal. Nyeri perut juga dialami pasien sejak
±5 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan disekitar daerah pusar.
Riwayat makan makanan sembarangan diakui oleh pasien yang dibeli di sekitar
rumahnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan serupa disangkal

Anamnesis Sistem
a. Sistem Cerebrospinal
kejang (-), keluhan kaku kuduk (-), nyeri kepala (+).
b. Sistem Kardiovaskular
Bengkak pada tungkai (-), kebiruan (-), dada berdebar (-)
c. Sistem Respirasi
Suara serak (-), sesak (-), sulit bernapas (-), suara ngik ngik (-),
mengorok(-), pilek (-),
d. Sistem Gastrointestinal
BAB cair (+), nyeri tekan (+), kembung (-), mual (+), muntah (+), nyeri
telan (-).
e. Sistem Muskuloskeletal
Gerak aktif (+), gerak tidak terbatas, nyeri sendi (-), sendi bengkak (-),
sendi panas (-), nyeri ngilu pada tulang (-), kaku sendi (-), bengkak jari (-).
f. Sistem Integumentum
Tidak ada bercak-bercak kemerahan pada kulit, jaringan adipose kulit
normal.
g. Sistem Urogenital
BAK berwarna kuning jernih, nyeri BAK (-), tidak menahan BAK, BAK
terasa lampias tidak tersendat, nyeri pinggang (-), konsumsi air putih ± 5
gelas/ hari. BAK sedikit.
h. Sistem Vestibular

7
Nyeri pada telinga (-), bising pada telinga (-), cairan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan ataupun riwayat sakit
serupa.
Riwayat Kehamilan Ibu :
 Morbiditas kehamilan : selama masa kehamilan, ibu pasien menyatakan
bahwa dalam keadaan sehat, tidak mengkonsumsi alkohol, tidak
mengkonsumsi obat-obatan dan tidak merokok.
 Perawatan antenatal : Ibu pasien rutin kontrol ke bidan.
Kesan : Tidak ditemukan adanya riwayat kelainan pada kehamilan
Riwayat Kelahiran :
 Tempat Bersalin : RSUD Ambarawa
 Penolong : Bidan
 Cara persalinan : Spontan
 Berat Badan Lahir : 2800 gram
 Masa Gestasi : 38 minggu
 Keadaan Setelah Lahir : Langsung menangis, tidak pucat dan tidak kuning.
 Kelainan Bawaan : Tidak Ada
Kesan : Pasien lahir spontan, kehamilan cukup bulan dengan BBLC
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Pasien mampu berinteraksi dan bergaul dengan teman sebayanya dan saat
ini bersekolah di sekolah dasar.
 Riwayat Pertumbuhan
o BB sekarang : 13 kg
o TB sekarang : 110 cm
 Kesan : Gizi kurang dan perkembangan anak sesuai usia.

Riwayat Makanan
ASI, pemberian ASI sampai umur 1 tahun 9 bulan. Makanan tambahan
mulai umur 6 bulan. Diet makanan pokok yaitu lauk hewani, lauk nabati, sayur,
(buah jarang), air putih, serta selingan semua dengan kuantitas yang cukup.
Kesan : Anak mendapat ASI eksklusif, makanan sesuai usia anak

8
Riwayat Imunisasi

a. 0 bulan : hepatitis B 0

b. 1 bulan : BCG, polio 1

c. 2 bulan : DPT-HB, polio 2

d. 3 bulan : DPT-HB, polio 3

e. 4 bulan : DPT-HB, polio 4

f. 9 bulan : campak

g. 18 bulan : DPT-HB

h. 24 bulan : campak

i. 5 tahun : DPT 5

Kesan : pasien mengikuti imunisasi lengkap yang diadakan puskesmas.

Genogram

Keadaan Sosial dan Lingkungan


 Keadaan Sosial
Pasien merupakan anak pertama di keluarga. Pasien sudah bersekolah di
Sekolah Dasar.
 Keadaan Lingkungan
Rumah orangtua pasien memiliki ventilasi yang cukup dan sinar matahari
dapat masuk melalui jendela.

9
Kesan: keadaan lingkungan tidak menjadi faktor risiko.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Pasien tanggal 28 Maret 2019
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos Mentis
- Nadi : 108 x/menit, regular, equal, isi cukup
- Respirasi : 32 x/menit,
- SpO2 : 98%
- Suhu : 38.2 ºC
- Berat Badan : 13 kg
- Tinggi Badan : 110 cm
Status Generalis
 Kelainan mukosa kulit/subkutan yang menyeluruh:
Pucat (-), Sianosis (-), Perdarahan (-), Oedem (-), Turgor cukup, Lemak
bawah kulit cukup
 Kepala :
Normocephal, rambut hitam, terdistribusi merata, tidak mudah dicabut,
kulit kepala tidak ada eritema dan skuama
 Mata :
Palpebra tidak edema, tidak cekung, konjungtiva anemis (-/-)dan sclera
tidak ikterik, kornea jernih (+/+), lensa jernih (+/+), refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+)
 Telinga
o Daun telinga : Bentuk, besar dan posisinya normal
o Lubang telinga : Tidak dilakukan
o Gendang telinga : Tidak dilakukan
 Hidung :
Bentuk normal, secret (-)
 Tenggorokan :
Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
 Mulut :
Bibir tidak sianosis, mukosa bibir lembab, lidah kotor (+)

10
 Leher :
Trachea di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
 Thorax :
Bentuk simetris, tidak ada deformitas, tidak ada retraksi pernafasan

ANTERIOR POSTERIOR
KIRI KANAN KIRI KANAN
Inspeksi Pergerakan dada Pergerakan dada Pergerakan dada Pergerakan dada
simetris simetris simetris simetris
Palpasi Ekspansi dada Ekspansi dada Ekspansi dada Ekspansi dada
simetris simetris simetris simetris
Perkusi Sonor seluruh Redup pada Sonor seluruh Sonor seluruh
lapang paru bagian basis lapang paru lapang paru
Auskulta Reguler Reguler Reguler Reguler
si Ronkhi (-) Ronkhi (-) Ronkhi (-) Ronkhi (-)
Wheezing (-) Wheezing (-) Wheezing (-) Wheezing (-)
 Paru :

 Jantung :
o Inspeksi : Sulit dinilai
o Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
o Perkusi : redup, batas jantung kasar kesan jantung tidak membesar.
o Auskultasi : SI-II reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : bising usus (+) dbn
Palpasi :supel, hepar tidak teraba dan lien teraba pada garis
schuffner 2, nyeri tekan (+) regio umbilikal.
Perkusi : thympani seluruh lapang

11
 Ekstremitas :
Petekie (-), purpura(-). Akral normal, CRT <2 detik, tidak edem
 Genital : -

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratoium tanggal 17 Mei 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 13,1 12,8-13,16,8 g/dl
Leukosit 3,0 L 4,5-13,5 ribu
Eritrosit 3,90 3,8-5,8 juta
Hematokrit 31,5 40-52 %
Trombosit 36,2 L 150-400 ribu
MCV 80,9 L 82-98 Fl
MCH 27,0 27-32 pg
MCHC 33,4 32-37 g/dl
RDW 13,8 10-15
MPV 12,5 7-11 mm³
Limfosit 1,58 L 4-10,5
Monosit 0.335 0-0,8
Eosinofil 0,004 L 0,02 – 0,65
Basofil 0,084 0,02
Neutrophil 2,48 1,8 – 7,5
LED 75 H 0 – 20
IgM anti salmonella 10 <= 2 : negative, 3
: borderline, 4 – 5
: positif lemah,
=>6 : positif kuat
igG anti dengue negatif negatif
igM anti dengue negatif Negative

12
negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia.
Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui.
Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu
antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.Hasil uji
ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan
hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat
disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan
vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain
(Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan
adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat
disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah
mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah
kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk,
dan adanya penyakit imunologik lain.
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila
a/titer O = 1/160 , bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut
harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini
endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu.
Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada
penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang
tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar
bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontrak
sebelumnya.
 Elisa Salmonella typhi/paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih
baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan
uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai
tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui.
Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila
lgM positif menandakan infeksi akut; 2/ jika lgG positif
menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah
endemik.

24
e. Mikrobiologi
 Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk
pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil
: jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/
Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan
Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah
darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera
dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku
dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan),
saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah
mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat
vaksinasi.Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera
diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman
(biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan
koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang
digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk
stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.
f. Biologi molekular.
 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di
lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian
diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji
ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit
(sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula.
Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan
tubuh lainnya serta jaringan biopsi.

DIAGNOSA
Salmonella harus selalu dipikirkan sebagai penyebab potensial gastroenteritis.
Demam, tanda – tanda disentri, defisiensi imun, baru imigrasi dari daerah

25
endemik, atau kaitan dengan sumber wabah yang umum harus meningkatkan
kecurigaan.
Tinja harus selalu dibiak. Bila tidak diperoleh tinja segar, dapat dibiak apusan
rektum, walaupun kemungkinan menemukan organisme lebih rendah. Kompetisi
bakteri dan sedikitnya inokulum mungkin memerlukan pembiakan lebih dari satu
spesimen untuk menemukan Salmonella.
Gastroenteritis dengan demam, terutama pada anak berusia di bawah 2 tahun,
biasanya merupakan indikasi untuk melakukan biakan darah. Untuk demam
enterik yang dicurigai, rangkaian biakan darah harus dilakukan bila biakan
pertama negatif karena adanya serangan intermitten bakteremia rendah –
inokulum. Lebih dari 90 % pasien demam tifoid yang tidak diobati mempunyai
biakan darah dan sumsum tulang positif selama minggu pertama sakit. Hasilnya
menurun seiring waktu dengan peningkatan positif biakan tinja dan urin secara
bersamaan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastroentestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran,
dengan kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka tifoid.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Pada dua minggu
pertama sakit, kemungkinana mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih
besar daripada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses,
kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi
sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90%
kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari – hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen
empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi
aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk
membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia, pengambilan angka titer O
aglutinin ≥1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination menunjukkan nilai
ramal positif 96 %. Artinya apabila hasil tes positif, 96 % kasus benar sakit
demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidk menyingkirkan. Banyak senter
berpendapat apabila titer O aglutinin sekali diperiksa ≥1/200 atau pada titer

26
sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau.
Diagnosa demam tifoid ditegakkan atas dasar anamnesis, gambaran klinik dan
laboratorium (jumlah lekosit menurun dan titer widal yang meningkat) .
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya bakteri pada salah satu biakan.
Adapun beberapa kriteria diagnosis demam tifoid adalah sebagai berikut :
 Tiga komponen utama dari gejala demam tifoid yaitu:
1. Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari). Demam naik secara
bertahap lalu menetap selama beberapa hari, demam terutama pada sore/ malam
hari.
2. Gejala gastrointestinal; dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah,hilang
nafsu makan dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi
hiperemi.
3. Gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran; sakit kepala, kesadaran
berkabut, bradikardia relatif.

PENCEGAHAN
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang berpotensi menimbulkan
wabah sehingga perlu diadakannya suatu tindakan pencegahan. Rute penularan
utama demam tifoid, yakni melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
oleh Salmonella typhi. Pencegahan berdasarkan hal ini dapat dilakukan dengan
menjamin akses untuk mendapatkan air bersih dan mempromosikan kebiasaan
makan yang aman dan sehat. Pendidikan mengenai kesehatan merupakan hal yang
penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mempengaruhi perubahan
perilaku.
Tindakan pencegahan demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari
Salmonella typhi sebagai agen penyebab penyakit, faktor pejamu dan faktor
lingkungan. Di Indonesia, terdapat 3 strategi besar yang menjadi program
pencegahan demam tifoid, yakni:
1. Mengidentifikasi dan mengobati secara sempurna pasien demam tifoid
asimtomatik, karier dan akut.

27
2. Mencegah penularan secara langsung dari pasien terinfeksi S. typhi dan
mengatasi faktor yang berperan terhadap rantai penularan.
3. Proteksi dini pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi.
Menurut WHO (2003) terdapat beberapa cara-cara yang lebih spesifik
yang dapat membantu upaya pencegahan demam tifoid, yang secara lengkap akan
dijelaskan dibawah ini:
1. Air Bersih
Demam tifoid merupakan penyakit yang penjalarannya dapat melalui air
sehingga tindakan pencegahan utama yang didapat dilakukan yakni
memastikan adanya akses ke air bersih.
2. Keamanan Makanan
Makanan yang terkontaminasi merupakan salah satu cara penularan demam
tifoid. Penanganan dan pengolahan makanan yang tepat merupakan hal yang
terpenting. Tindakan kebersihan dasar di bawah ini harus dilakukan selama
epidemi:
a. Mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan atau memakan
makanan.
b. Menghindari makanan mentah, kerang dan es.
c. Hanya memakan makanan yang sudah dimasak dan masih panas atau
dipanaskan kembali.
Jika terjadi wabah, pengawasan keamanan makanan harus diperkuat di restoran
dan juga penjaja makanan di pinggir jalan.
Bila terdapat karier demam tifoid, orang ini tidak boleh diikutsertakan dalam
aktivitas yang termasuk mengolah dan menyiapkan makanan. Karier baru dapat
melanjutkan pekerjaannya (dalam hal makanan) hingga mereka memiliki tiga
tes kultur tinja negatif yang setidaknya masing-masing berjarak satu bulan.
3. Sanitasi
Sanitasi yang baik berkontribusi dalam menurunkan risiko transimisi semua
patogen diare, termasuk Salmonella typhi. Fasilitas pembuangan limbah
manusia (feses) yang tepat harus tersedia pada semua komunitas. Pengumpulan
dan pengolahan limbah, terutama saat musim hujan harus diterapkan.
4. Pendidikan Kesehatan

28
Pendidikan kesehatan penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pada
hal-hal yang berperan dalam pencegahan seperti telah disebutkan di atas. Pada
fasilitas kesehatan, semua pekerja harus berulang kali dididik mengenai
perlunya kebersihan pribadi yang baik ditempat kerja, tindakan isolasi bagi
pasien dan melakukan tindakan disinfeksi.
5. Vaksinasi
Vaksinasi belum dilakukan secara rutin di Amerika Serikat, demikian juga di
daerah lain. Indikasi vaksinasi adalah bila: hendak mengunjungi daerah
endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas
laboratorium atau mikrobiologi kesehatan.
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah :
a. Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel S. typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc vaksin
mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-4 tahun adalah
0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2 kali
dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat perlindungannya
yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi.
b. Vaksin oral Ty21a
Ini adalah vaksin oral yang mengandung S. typhi strain Ty21a hidup.
Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari
selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan
perlindungan selama 5 tahun.
c. Vaksin parenteral polisakarida
Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin
diberikan secara parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuskular pada usia
mulai 2 tahun dengan dosis ulangan setiap 3 tahun. Jenis vaksin ini menjadi
pilihan utama karena relatif paling aman.

PENATALAKSANAAN
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta

29
pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit
agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi di samping observasi kemungkinan
timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik
merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi S. typhi
berhubungan dengan keadaan bakterimia.
Antibiotik yang digunakan sebagai kontrol positif pada penelitian ini adalah
seftriakson. Seftriakson merupakan salah satu pilihan antibiotik untuk pengobatan
demam tifoid (Fauci dkk., 2008). Seftriakson ini termasuk golongan antibiotik
sefalosporin generasi ketiga dan merupakan antibiotik spektrum luas untuk bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif.

 Aktivitas Antimikroba
Seftriakson bekerja dengan cara menganggu sintesis transpeptidase
dinding sel bakteri dengan cara berikatan dengan Penicillin-binding protein (PBP,
sebuah enzim). Dinding sel bakteri secara utuh membungkus membran
sitoplasma, mempertahankan bentuk dan integritas sel, dan mencegah sel lisis dari
tekanan osmotik yang tinggi. Dinding sel bakteri terbentuk dari polimer kompleks
polisakarida dan polipeptida yang saling bertautan (cross-linked), yakni
peptidoglikan. Polisakarida berisi gula amino yang berganti-ganti, yakni asam N-
asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramik. Terdapat lima asam amino peptida
yang berhubungan dengan gula N-asetilmuramik. Peptida ini berakhir di D-alanil-
D-alanin. Penicillin-binding protein menghapus alanin terminal dalam proses
pembentukan cross-linked dengan peptida di dekatnya. Cross-linked ini
memberikan dinding sel struktur yang kokoh. Antibiotik β-laktam, salah satunya
golongan sefalosporin, memiliki struktur yang analog dengan senyawa D-ala-D-
ala dan dapat berikatan secara kovalen dengan tempat aktif PBP. Hal ini akan
menghambat reaksi transpeptidase sehingga sintesis peptidoglikan berhenti dan
menyebabkan kematian sel. Antibiotik β-laktam hanya dapat membunuh bakteri
ketika mereka tumbuh dan mensintesis dinding sel secara aktif.
 Dosis dan Sediaan
Seftriakson diberikan dengan dosis 1-2 g/hari selama 7-14 hari secara
intravena untuk pasien demam tifoid dewasa (Fauci dkk., 2008). Antibiotik ini

30
tersedia dalam bentuk powder hingga reconstitute untuk injeksi (0.25, 0.5, 1, 2, 10
g per vial).

KOMPLIKASI
 Perforasi usus pada tempat inokulasi, biasanya pada ileum, terjadi pada
0,5-3% dan perdarahan gastrointestinal beratterjadi pada 1- 10% anak
dengan demam tifoid.
 Ensefalopati toksik, trombosis serebral, ataksia serebelar akut,
neuritis optik, afasia, ketulian, serta kolesistitis akut dapat terjadi
 Pneumonia biasa terjadi selama stadium kedua penyakit, tetapi
disebabkan oleh superinfeksi.

PROGNOSIS
Prognosis demam tifoid tergantung tepatnya terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya > 10% biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Prognosis juga menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang
berat seperti :
a. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu
b. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium
c. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein)

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Widoyono, 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,


dan Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta
2. Soedarmo, Sumarmo, 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi
kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia
3. Isselbacher, Kurt, 2010. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi
13. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
4. Rubenstein, David, 2006. Kedokteran Klinis. Edisi keenam. Erlangga :
Jakarta
5. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
6. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari 11 Juni 2019.
7. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
8. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000.
9. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :
2003. h. 2-20.
10. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
11. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan
demam pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr.
H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. 2012. Diunduh dari 12 Juni 2019 .

32
33

Anda mungkin juga menyukai