Anda di halaman 1dari 37

NASKAH AKADEMIK RANPERDA LOMBOK UTARA

TENTANG
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Substansi landasan filosofis dalam menyusun naskah akademik suatu
Rancangan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, termasuk Rancangan
Peraturan Daerah berisikan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-
cita moral yang luhur yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa
Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Suatu peraturana perundang-undangan yang dibuat atau dirancang haruslah
memiliki landasan atau dasar bentukan. Menurut Bagir Manan, suatu peraturan
perundang-undangan agar mempunyai kekuatan berlaku harus memiliki tiga landasan
berlaku yaitu landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan filosofis. Peraturan
Daerah sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia
tentu harus memiliki dasar sebagaimana yang dikemukakan di atas. Setiap masyarakat
selalu mempunyai cita hukum (rechts-idee) yaitu apa yang mereka harapkan dari
hukum seperti keadilan, ketertiban, kepastian, kesejahteraan, demokratisasi, partisipasi
dan lain-lain.
Eksistensi hukum pada hakekatnya adalah untuk mengatur prilaku subyek
hukum (manusia dan badan hukum) dalam mengadakan hubungan hukum, baik
hubungan antar individu, individu dengan badan hukum (privat dan publik) maupun
antar badan hukum., termasuk hubungan hukum antar lembaga negara. Dalam
hubungan hukum itu, penghargaan, penghormatan, serta perlindungan hak asasi
manusia (HAM) merupakan hal amat penting yang tidak mengenal ruang dan waktu.
Masalah HAM ini tonggak awalnya adalah Magna Charta tahun 1215, yang
merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan Raja John dari Kerajaan Inggris, telah
berkembang hingga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia. Salah
satu bidang HAM yang menjadi perhatian bersama, baik di dunia internasional maupun
di Indonesia, adalah hak-hak perempuan dan anak.
Perempuan dan anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
kepada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai karunia, anak merupakan
harapan masa depan. Kepada anak digantungkanlah berbagai harapan, sehingga anak
diharapkan menjadi orang yang berguna bagi orang tua, masyarakat, bangsa dan
negara. Orang tua mengharapkan anaknya dapat meneruskan keturunan, merawatnya di
hari tua, mengembalikan harkat dan martabat keluarga (mamangkik batang tarandam).
Oleh masyarakat, bangsa dan negara anak diharapkan menjadi generasi penerus, guna
melanjutkan pengurusan, pengembangan, dan pelestarian eksistensi masyarakat, bangsa
dan negara itu. Kepada anak itulah digantungkan keberlangsungan dan nasib dari
masyarakat, bangsa dan negara. Demikian pula halnya dengan perempuan, kepadanya
diharapkan lahir anak dan terbentuknya keluarga, masyarakat, bangsa dan negara yang
adil dan makmur ;
Sebaliknya , sebagai amanah, seorang anak itu merupakan beban yang harus
dipikul oleh orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Bagi orang tua, anak dipandang
sebagai kewajiban yang berat, memberi makan, mendidik, dan melindungi mereka.
Semua itu memerlukan biaya, tenaga dan waktu yang banyak. Akibatnya, ada orang
tua yang tidak mampu untuk melaksanakan kewajiban itu, sehingga anaknya menjadi
terlantar, terlunta-lunta, hidup di jalanan, mengemis, diekploitasi, bahkan karena emosi
ada yang menyakiti anak secara melampaui batas, dsb. Demikian pula bagi masyarakat,
bangsa dan negara, sebagai amanah, anak dipandang sebagai beban, yakni penyedian
fasilitas pendidikan, oleh raga, kesehatan, ekonomi, dsb. yang kadang-kadang tidak
mampu lagi dipikul dengan income negara.
Dalam hal perempuan dan anak sebagai beban inilah terjadi pelanggaran atas
hak-hak perempuan dan anak, baik oleh orang tua, maupun masyarakat dan negara,
sehingga perlu diatur secara tegas pelaksanaan kewajiban itu agar tidak melanggar hak-
hak mereka.
Anak bagaikan lembaran putih pada saat lahir ke dunia, hitam dan putihnya
lembaran itu tergantung kepada peranan orang tua, masyarakat dan negara yang
mengisinya.
Konsep Negara Kemakmuran (Welfare State) memandang bahwa anak
merupakan asset suatu Negara. Bapak Negara Soekarno pernah berorasi bahwa kita
sebagai bangsa memiliki kekuatan yang besar, ia mengandaikan dipinjamkan sepuluh
orang pemuda maka akan diperintahkan memindahkan Gunung Semeru, demikianlah
ungkapan Soekarno menghormati sumber daya anak bangsa. Walaupun demikian
besarnya harapan digantungkan kepada perempuan dan anak, karena fisiknya yang
lemah dibanding laki-laki dan orang dewasa serta karena kodratnya perempuan itu
sendiri, mereka sering menjadi objek pelampiasan kehendak, kemarahan, ekploitasi
ekonomi, kekerasan (fisik, psikis dan seksual), kekejaman, penelantaran, dsb.
Oleh karena itu, sebagai asset bangsa maka kita wajib melindungi keberadaan
seorang perempuan dan anak. Dalam Undang-undang Dasar 1945, dalam Preambule ,
Alinea ke 4 secara tersurat jelas dinyatakan bahwa Negara aktif melindungi warga
negara, dalam hal ini termasuk juga perempuan dan anak. Oleh karena itu perempuan
dan anak harus memproleh perlindungan hukum sebagai hak warga negara dari segala
macam tindakan yang merugikan terhadap diri mereka, baik secara pidana, perdata
maupun hukum tata negara. Perlindungan Hukum mempunyai beberapa aspek yaitu
perlindungan hukum preventif, reprepresif dan postremedial. Perlindungan preventif
adalah upaya untuk mencegah jangan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak
dan perempuan, seperti sosialisasi kepada suami, orang tua, guru, dan pemuka adat
setempat tentang hak-hak anak dan sanksi bagi yang melanggarnya. Perlindungan
represif dilakukan melalui penegakan hukum terhadap pihak yang melanggar hak-hak
anak perempuan melalui proses hukum dengan penghukuman, baik sanksi pidana
maupun perdata. Perlindungan postremedial adalah usaha rehabilitasi terhadap anak
yang menjadi korban pelanggaran hak-hak anak, seperti pendampingan dalam proses
hukum, pengobatan, dan bimbingan olen psikolog dan rohaniwan . Dalam hal ini kita
dapat memanfaatkan konsep perlindungan hukum dominan dilakukan oleh negara
sebagai organisasi kekuasaan, dan konsep partisipasi/ peran organisasi yang bukan
mengatasnamakan negara (NGO).
Dalam Konvensi Hak Anak (Child Right Convention ) pasal 52 menegaskan
bahwa harus dilakukan upaya pencegahan agar anak terhindar dari penculikan,
penyeludupan dan penjualan. Dalam upaya pemerintah untuk menindaklanjuti
Konvensi Hak Anak dan turut serta dalam melakukan pencegahan kejahatan terhadap
anak, maka Pemerintah menetapkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagai instrument Nasional dari program aksi Nasional dalam
membahas implementasi hak anak menyangkut Perlindungan Anak.
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 59. “Pemerintah dan
Lembaga Negara lainya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan
perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas, dan terisolasi, anak tereksploitasi secara
ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan Narkotika,alkohol, psikotropika, dan zat aditif lainya/ napza, anak
korban kekerasan baik fisik dan/ mental anak yang menyandang cacat, dan anak korban
perlakuan salah dan penelantaran”
Sedangkan menurut Pasal 68 UU No 23 Tahun 2002 dalam ayat (1)
“perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan,
perlindungan, pencegahan, perawatan dan rehabilitasi oleh Pemerintah dan Masyarakat.
Ayat (2) “ Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau
perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Walaupun perlindungan hak-hak perempuan dan anak itu telah diatur dalam
Undang-undang tingkat nasional, berhubung terdapat kekhasan dalam pola hidup dan
prilaku masyarakat Dayan gunung yang dipengaruhi modernisasi, terlihat bahwa
perlindungan hak-hak perempuan dan anak belum terlaksana dengan baik.

Dalam naskah akademik ini telah sesuai dengan ketentuan yang memuat nilai yuridis dalam
Undang-undang Dasar 1945, dalam Preambule , Alinea ke 4 secara tersurat jelas
dinyatakan bahwa Negara aktif melindungi warga negara, dalam hal ini termasuk juga
perempuan dan anak. Dalam Konvensi Hak Anak (Child Right Convention ) pasal 52
menegaskan bahwa harus dilakukan upaya pencegahan agar anak terhindar dari penculikan,
penyeludupan dan penjualan. Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 59.
“Pemerintah dan Lembaga Negara lainya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas, dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan Narkotika,alkohol, psikotropika, dan zat aditif lainya/
napza, anak korban kekerasan baik fisik dan/ mental anak yang menyandang cacat, dan
anak korban perlakuan salah dan penelantaran”

Secara Sosiologis telah memuat kaitan dengan hubungan sosial dalam kaitannya
Perempuan dan anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai karunia, anak merupakan harapan masa
depan. Secara Filosofis telah mengandung falsafah bangsa dan negara anak diharapkan
menjadi generasi penerus, guna melanjutkan pengurusan, pengembangan, dan pelestarian
eksistensi masyarakat, bangsa dan negara itu. Aspek tersebut telah mengandung sesuai
dengan pengaturan asas dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi “Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan
pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.”

B. IDENTIFIKASI MASALAH
Ada beberapa masalah dalam hal perlindungan perempuan dan anak di Lombok Utara yaitu:
1. Bagaimana bentuk terjadinya pelanggaran hak-hak perempuan dan anak dalam
kuantitas dan kualitas yang mengkhawatirkan di Lombok Utara ,
2. Belum adanya pengaturan yang bersifat implementatif untuk melindungi hak-hak
perempuan dan anak di Lombok Utara .

Dalam Identifikasi Masalah naskah akademik ini telah mengandung unsur yang sesuai dengan
asas yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah mengenai perlindungan kemanusiaan yang
termuat dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
berbunyi “Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional” serta memiliki kaitan dengan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf g Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN


1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mencari langkah-langkah untuk menanggulangi
pelanggaran hak-hak perempuan dan anak di Lombok Utara , baik langkah preventif
maupun represif dan post remedial
2. Kegunaan
3. Hasil penelitian ini berguna untuk arahan dalam menyusun Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Lombok Utara Tentang Perlindungan Perempuan dan anak.

Dalam naskah akademik ini tujuan dan kegunaan telah sesuai dengan asas yang terkandung
dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
berbunyi “Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.”
Kejelasan dalam perumusan tujuan telah sesuai dengan asas menurut penjelasan Pasal 5 ayat
(1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi “Yang dimaksud dengan
“asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.”

D. METODE PENELITIAN

1 Tipologi Penelitian
Menurut sifatnya, penelitian ini dapat digolongkan ke dalam jenis penelitian
deskriptif analitis. Penelitian ini membahas dan mengkaji perlindungan anak di
seluruh wilayah kabupaten Lombok Utara . Hasil kajian tersebut menjadi
bahanmasukan terhadap pembentukan rancangan peraturan daerah tentang
perlindungan perempuan dan anak. Kemudian, pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dibagi ke dalam 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan hukum
normatif dan pendekatan hukum empiris.
2 Data dan Sumber Data
Seperti yang telah diuraikan di atas, pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan hukum normatif
dan pendekatan hukum empiris. Sebagaimana diketahui, data utama dalam penelitian
hukum normatif adalah data primer, sedangkan data utama dalam penelitian hukum
empiris adalah data sekunder. Dengan demikian, data yang diperlukan dalam
penelitian ini, meliputi:
1) Data Primer
Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini berupa informasi yang terkait
dengan perlindungan anak di Kabupaten Lombok Utara . Data ini diperoleh melalui
pelaskanaan Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan pihak-pihak yang
mempunyai pengalaman dengan perlindungan perempuan dan anak
2) Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan fokus kajian penelitian. Selain itu, literatur-literatur yang membahas
perlindungan perempuan dan anak, hasil-hasil penelitian, dan dokumen-dokumen
lainnya yang terkait dengan penelitian ini, juga menjadi data sekunder dalam
penelitian. Berikut bahan hukum primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3039);
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran
Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3243);
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);

d. Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran


Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668);
e. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO 138
Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835);
f. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
g. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 166 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3887);
h. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO 182
tentang Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3941);
i. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi manusia
(Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 208 Tambahan Lembaran Negara Nomor
4026);
j. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran
Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235);
k. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara
Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4252);
l. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);
m. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4301);
n. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4419);
o. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437); jo.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran


Negara Nomor 4548);
p. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak
Bagi Yang Mempunyai Masalah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3367);
q. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
r. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak;
s. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Trafiking);
t. Keputusan Presiden Nomor 77 tahun 2004 tentang Komisi Perlindungan Anak
Indonesia;
u. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan
Tanggal 28 Januari 20120;

1. Instrumen Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data primer dari responden, penelitian ini akan memakai
metode wawancara semi-structured. Dalam teknisnya, pertanyaan-pertanyaan yang
telah terstruktur dipersiapkan terlebih dahulu, kemudian satu-persatu diperdalam
dengan mengorek keterangan lebih lanjut dari responden (Arikunto, 1991:183).
Pengumpulan data dari responden ini dilakukan dengan tekhnik focus group
discussion (FGD). Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan dengan cara studi
dokumen. Dalam studi dokumen, data diperoleh melalui penelusuran isi dokumen dan
dikelompokkan ke dalam konsep-konsep pokok sebagaimana terdapat dalam
perumusan masalah.
2. Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini akan menggunakan teknik atau metode pengolahan dan analisis
data kualitatif. Uraian kegiatan pengolahan dan analisisnya meliputi: (1) reduksi data,
(2) penyederhanaan dan penyajian data dan (3) verifikasi hasil penelitian serta
penarikan kesimpulan. Kegiatan analisis data dilakukan secara simultan dengan
proses pengolahan data, bahkan telah dimulai sejak awal pengumpulan data. Alur
kegiatan analisis data penelitian ini mengikuti komponen-komponen analisis data
model interaktif (component of data analysis: interactive model) (Huberman dan
Miles, 1994: 429).
Model analisis seperti ini dimaksudkan untuk memungkinkan peneliti dapat kembali ke
(berinteraksi dengan) tahapan sebelumnya (awal) walaupun sudah berada pada tahap
kesimpulan, jika data yang terkumpul dirasa masih kurang memadai untuk pengambilan
kesimpulan.

Dalam metode penelitian yang digunakan dalam naskah akademik ini telah sesuai dengan
penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 “Yang
dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.” Sehingga
dalam pelaksanaan naskah akademik dalam Ranperda telah dapat dilaksanakan karena telah
dikaji dengan baik menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan secara
rinci dapat dipelajari dan diterapkan. Dengan menggunakan pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dibagi ke dalam 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan hukum
normatif dan pendekatan hukum empiris.
BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS
a) Pengertian perempuan
Partisispasi sejajar antara perempuan dan laki laki dalam kehidupan adalah
salah satu prinsip mendasar yang diamanatkan didalam Konvensi Penghapusan Segala
bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ( Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Agains Woman atau CEDAW) yang diadopsi oleh siding umum PBB
pada tahun 1979 dan disahkan mulai tahun 1981.
Suyono Usman mengatakan bahwa tidak banyak perempuan yang menempati
posisi sentral didalam badan Legislatif dan eksekutif. Kebanyakan dari mereka berada
dipinggiran ( Periphery zone ) dan kurang kuat pengaruhnya dalam proses
pengambilan keputusan.
b) Anak
Secara umum dapat dikatakan bahwa anak merupakan manusia yang belum
dewasa. Menurut Zakaria Ahmad Al Barry, orang yang dewasa adalah cukup umur
untuk berketurunan dan muncul tanda laki-laki dewasa untuk putra, muncul tanda-tanda
wanita dewasa pada putri. Inilah dewasa yang wajar yang biasanya setelah anak putra
berumur 12 tahun dan putri sudah berumur 9 tahun. Kalau sudah melewati usia tersebut
diatas, ternyata belum nampak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa yang
bersangkutan telah dewasa, maka harus ditunggu sampai ia berumur 15 tahun. Sedang
Zakiah Derajat mengatakan bahwa mengenai batas usia anak-anak dan dewasa
berdasarkan pada usia remaja adalah masa usia antara 13 tahun sampai 21 tahun.
Dimana anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat disegala bidang dan mereka
bukan lagi anak-anak, baik untuk badan, sikap, cara berfikir, cara bertindak, tetapi
mereka bukan pula orang dewasa. Pendapat dua sarjana diatas dilatar belakangi oleh
pandangan ajaran Islam. Menurut hukum adat ukuran dewasa bukanlah dari umur tetapi
kecakapan untuk bekerja dan melakukan tindakan-tindakan yang disyaratkan dalam
hidup bermasyarakat. Selanjutnya dapat pula dikutip pendapat Hilman Hadikusuma
yang menyatakan bahwa menarik batas antara belum dewasa dan sudah dewasa tidak
perlu dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa,
namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa
telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya, walaupun ia belum berwenang
kawin.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pertata (BW) Pasal 330. Belum dewasa
ialah mereka yang belum berumur genap dua puluh sata tahun atau sebelum belum
pernah kawin. Menurut UU No.23 Tahun 2004 Tentang Perlindungan anak Pasal 1
angka 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas ) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berhubung perda ini menyangkut perlindungan anak, maka dalam perda ini
yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
juga yang telah kawin. Sedangkan pengertian perempuan adalah seseorang yang
terlahir, diakui masyarakat dan diregistasikan sebagai seorang perempuan.
1. Pengertian dan bentuk perlindungan yang akan diberikan terhadap anak
perempuan?
a. Pengertian Perlindungan Perempuan dan anak .
Seminar perlindungan anak/remaja yang diadakan oleh prayuana pusat tanggal 30 Mei
1977 menghasilkan 2 perumusan tentang pengertian perlindungan anak yaitu:
Segala daya dan upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun
lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan,
penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan sosial anak dan remaja yang
sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.
b. Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perseorangan, keluarga,
masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan
pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0 – 21 tahun, tidak
dan belum pernah menikah, sesuai dengan hak asasinya dan kepentingannya agar
dapat mengembangkan diri seoptimal mungkin. Dua rumusan diatas menunjukkan
luasnya cakupan perlindungan anak baik upaya pencegahan, rehabilitasi maupun
pemberdayaan terhadap anak yang mengalami tindak perlakuan yang salah (child
abuse). Sehubungan dengan ini, Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan :
“Masalah perlindungan hukum bagi perempuan dan anak-anak merupakan salah satu
sisi pendekatan untuk melindungi perempuan anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak
semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas yaitu
ekonomi, sosial dan budaya.”
c. Menurut UU No. 23/2002 tentang Perindungan Anak, Pasal 1 angka 2. Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Berdasrkan pasal ini maka perlindungan anak dan
pemerempuan adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi perempuan dan
anak serta hak-haknya agar dapat hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
2. Bentuk Perlindungan Perempuan dan anak
1) Perlindungan Preventif, yakni usaha untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan
yang melanggar hak-hak perempuan dan anak. Ke dalam bentuk ini dapat dimasukkan
usaha sosialisasi hak-hak perempuan dan anak kepada orang tua, keluarga, pemuka
adat dan majikan; serta pembuatan aturan kerja khusus bagi perempauan dalam
perjanjian perburuhan (perjanjian kerja bersama) antara setrikat buruh dengan
majikan ataua serikat amjikan pada masing-masing perusahaan
2) Perlindungan Represif, yakni usaha untuk menegakkan hukum terhadap orang yang
melanggar hak-hak perempuan dan anak, baik penegakan hukum pidana maupun
perdata (perbuatan melawan hukum- pembayaran ganti rugi). Ke dalam perlindungan
represif ini dapat dimasukkan usaha pendampingan terhadap korban oleh pemuka
adat, pengacara, Lembaga Perlidungan Anak dan serempuan mulai dari tingkat
peneyelidikan, penyidikan, penuntutan/gugatan perkaranya, baik dalam rangka non-
litigasi (di luar pengadilan) maupun litigasi (melalui peradilan);
3) Rehabilitasi, yakni usaha untuk memperbaiki dan mengobati dampak
pelanggaran hak-hak perempuan dan anak yang menjadi korban pelanggaran hak. Ke
dalam bentuk ini termasuk usaha pengobatan penyakit fisik maupun kejiwaan yang
dilakukan oleh tenaga medis (perawat, bidan, dokter) dan psikolog;
4) Penyediaan dana perlindungan perempuan dan anak mulai angka 1 sampai 3 di atas.
3. Hak-hak Perempuan dan Anak Sebagai kewajiban Laki-laki, Orang Tua,
Masyarakat, Majikan dan Negara Setiap perempuan berhak :
a. diperlakukan sama tanpa diskriminasi dalam pekerjaan, pergaulan, agama, dan
kegiatan politik;
b. memperoleh cuti hamil dan menstruasi, menyusui bayi;
c. bebas dari pelampiasan kekerasan dari laki-laki. Ke dalamnya termasuk
kekerasan fisik, seksual, dan mental;
d. bebas dari rasa takut atas ancaman perlakuan dari laki-laki.
Setiap anak berhak :
a. untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari tindak kekerasan,
eksploitasi dan keterlantaran;
b. atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;
c. untuk beribadah menurut agamanya dalam bimbingan orang tua;
d. untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;
e. memperoleh pelayanan kesehatan;
f. memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan minat dan bakatnya;
g. menyatakan dan didengar pendapatnya;
h. beristirahat dan memanfaatkan waktu luang demi pengembangan diri;
i. memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan
dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam
peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan, sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi dan
pelibatan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk; dan
j. memperoleh hak-hak lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam kajian teoritis naskah akademik ini “Suyono Usman mengatakan bahwa tidak
banyak perempuan yang menempati posisi sentral didalam badan Legislatif dan eksekutif.
Kebanyakan dari mereka berada dipinggiran ( Periphery zone ) dan kurang kuat
pengaruhnya dalam . . .” telah mengandung asas penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi “Yang dimaksud dengan “asas
kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional” Dengan penjelasan
mengenai anak dan perempuan yang cukup rinci dalam kajian teoritis diatas mampu
memahami dalam aspek teori mengenai cakupan materi anak dan perempuan.

b) KAJIAN TERHADAP ASAS-ASAS


Perlindungan Perempuan dan anak dilaksanakan dengan asas :
a. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
b. Prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak, meliputi non diskriminasi; kepentingan
yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
dan penghargaan terhadap pendapat anak.
c. Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah; syarak mangato adat mamakai, alam
takambang manjadi guru.
d. Perempuan dan Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya. Kondisi fisik
dan mentalnya yang masih lemah, tidak memungkin baginya melindungai dirinya
sendiri. Kehidupan anak dipengaruhi oleh banyak pihak, mulai dari orang tua, guru,
pemuka adat, dan masyarakat sekitar mereka. Karena itu orang tua, masyarakat dan
negara harus mengusahakan perlindungan hak-hak anak agar tidak terjadi pelanggaran
terhadap hak-hak tersebut.
e. Kepentingan terbaik anak menjadi prioritas utama.
f. Dalam perlindungan anak, apa yang menjadi kepentingan terbaik bagi sang anak,
haruslah menjadi prioritas tertinggi. Setiap pengambilan keputusan yang menyangkut
anak harus berpegang pada prinsip ini.
g. Siklus daur kehidupan.
h. Setiap upaya perlindungan perempuan dan anak haruslah mengacu pada daur
kehidupan anak. Artinya perlindungan perempuan dan anak harus dilakukan secara
konsisten mengikuti tahap-tahap perkembangan anak sejak masih janin sampai
melewati usia anak.
i. Asas lintas sektoral.
j. Berbagai persoalan perempuan dan anak, seperti kemiskinan, kekurangan pendidikan,
penelantaran tidak dapat diatasi hanya oleh satu orang atau satu keluarga saja
melainkan membutuhkan banyak orang pada banyak tingkatan. Artinya penanganan
itu mestilah bersifat lintas sektoral dan terpadu.

Dalam kajian mengenai asas-asas yang digunakan dalam naskah akademik ini telah mempu
menjelaskan mengenai landasan yang digunakan dalam penerapan mengenai pengelolaan
perlindungan perempuan dan anak untuk dapat dijadikan patokan berpikir menyusun kerangka
yang dibuat dan telah sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam menjadikan asas yang dibangun.

c. Kajian Terhadap Praktik, Kondisi Dan Permasalahan Penyelenggaraan


Perlindungan Perempuan Dan Anak
Bahwa pada saat ini , perlindungan terhadap perempuan dan anak didasarkan
pada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap
kepentingan anak secara sektoral. Dalam berbagai perundang-undangan itu terdapat pula
perbedaan dalam mendefinisikan anak. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimaksud dengan anak yang belum
dewasa adalah yang belum berumur 16 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 35, 45, 46 dan
47 KUHP yang sudah dihapuskan dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 dinyatakan
bahwa dimaksud dengan anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah
mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah
menikah.
Dalam Kitab Undang-undang hukum perdata juga dirumuskan pengertian orang
yang belum dewasa. Pasal 330 KUH Perdata menyatakan orang yang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah
kawin. Selanjutnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Ratifikasi Konvensi,
mengenai pelarangan dan tindakan segera untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak pada Pasal 2 menyebutkan : istilah anak berarti semua orang yang
diperbolehkan bekerja yang berumur tidak boleh kurang dari 18 tahun. Namun demikian
perundang-undangan nasional diperbolehkan mengatur memperkerjakan orang berusia
13 sampai 15 tahun dalam pekerjaan ringan yang (a) tidak berbahaya bagi kesehatan dan
perkembangan mereka. (b) tidak mengganggu kehadiran mereka dalam mengikuti
pelajaran di sekolah, mengikuti orientasi kejuruan atau proram latihan yang disetujui
oleh pemerintah yang berwenang.
Dalam praktek kesejahteraan dan perlindungan anak pembuatan kebijakan dan
program yang terkait dengan kesejahteraan anak mengacu paga undang-undangn No. 4
Tahun 1979. Sedangkan yang berkaitan dengan perlindungan anak mengacu pada
undang-undang No. 3 Tahun 2002. Dengan catatan kriteria tentang usia anak tidak sama
antara dua undang-undang ini. Demikian pula halnya untuk perlindungan anak dibidang
lain. Instruksi Menteri Dalam Negeri Tahun 1999 misalnya, menyatakan bahwa pekerja
anak adalah anak yang berusia dibawah 15 tahun yang sudah melakukan pekerjaan berat
dan berbahaya. Pekerjaan ini oleh Instruksi Mendagri tersebut dipandang sebagai hal
yang dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak. Selanjutnya dapat pula dilihat
batasan usia anak dalam pelaksanaan wajib belajar yang diatur dalam Instruksi Presiden
Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990. Dalam aturan-aturan ini
dinyatakan bahwa wajib belajar adalah gerakan nasional yang diselenggarakan diseluruh
Indonesia bagi warga negara Indonesia yang berusia 7 tahun – 15 tahun.
Secara normatif, hak anak dipandang sebagai salah satu hak yang sangat
fundamental. Demikian pentingnya hak anak sehingga UU No. 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia menempatkan hak ini sebagai satu hak asasi manusia (yang
dilindungi oleh hukum positif), disamping sembilan jenis hak asasi manusia lainnya yang
diatur dalam UU tersebut. Hal ini terkait dengan Pasal 5 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999
yang menyatakan, “setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya”. Siapa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan?
Penjelasan pasal tersebut menyatakan, “. . . kelompok masyarakat yang rentan antara lain
adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat”.
Jadi, anak merupakan salah satu kelompok masyarakat yang rentan sehingga diberi
perlakuan dan perlindungan lebih.
Untuk merealisir perlakuan dan perlindungan lebih itu, UU ini telah
menempatkan hak anak sebagai salah satu jenis hak asasi manusia. Selanjutnya telah
dibentuk pula UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam UU
yangterakhir ini diatur secara khusus dan komprehensif macam-macam hak anak dan
perlindungan yang diberikan oleh negara dan pemerintah terhadap hak-hak tersebut.
Tetapi, berbeda dengan gagasan normatif yang dituangkan melalui perUUan
diatas, kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa hak-hak anak masih jauh dari
terlindungi.
Dilihat dari segi perundang-undangan hal ini terjadi karena undang undang
perlindungan anak tidak terimplementasi dengan baik di lapangan. Ada ruang dan celah
yang terdapat dalam UU tersebut yang mesti diisi dengan pengaturan yang lebih rinci
dan lebih implementatif ditingkat daerah sebagai satuan pemerintahan yang lebih dekat
dengan masyarakat.
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah memperkenalkan pranata
“Concurrent power” dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dengan pranata ini,
diluar urusan yang merupakan kewengan pemerintah pusat, urusan-urusan pemerintah
pada tiap bidang urusan diurus secara bersama oleh pusat dan daerah. Artinya pada tiap
bidang urusan pemerintahan ada bagian yang merupakan urusan pusat dan ada bagian
yang merupakan urusan daerah. Demikian pula halnya dengan perlindungan anak.
Disamping pengaturan oleh pusat, urusan ini sesuai dengan prinsip concurret power
tersebut dapat pula diatur dan diurus oleh pemerintah daerah. Kenyataan-kenyataan
sosiologis yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa pengaturan persoalan ini pada
tingkat daerah sudah merupakan suatu conditio sine qua non dalam menyelenggarakan
perlindungan terhadap anak.

Dalam naskah akademik ini telah mampu menjelaskan mengenai kondisi di lapangan yang
jauh berbeda dengan yang ada dalam suatu rumusan peraturan perundang-undangan
kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa hak-hak anak masih jauh dari terlindungi.
“Dilihat dari segi perundang-undangan hal ini terjadi karena undang undang perlindungan
anak tidak terimplementasi dengan baik di lapangan. Ada ruang dan celah yang terdapat
dalam UU tersebut yang mesti diisi dengan pengaturan yang lebih rinci dan lebih
implementatif ditingkat daerah sebagai satuan pemerintahan yang lebih dekat dengan
masyarakat.” Artinya naskah akademik telah mampu melihat tujuan yang ingin diraih
dengan dibentuknya pengaturan mengenai hal tersebut yang termuat dalam penjelasan
Pasal 5 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi “Yang
dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.”

d) Kajian Terhadap Implikasi Peraturan Daerah Tentang Perlindungan Anak


1. Implikasi Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat
Dengan dibentuknya perda tentang Perlindungan perempuan dan anak ini,
orang tua, masyarakat dan pemerintah mempunyai arahan yang jelas dalam
melaksanakan perlindungan hak-hak anak. Mereka mempunyai pegangan yang jelas
tentang apa saja hak-hak anak yang akan dilindungi, cara melindungi, dan akibat dari
perbuatan yang melanggar hak-hak perempuan dan anak. Dengan demikian
diharapkan kehidupan masyarakat yang damai dan tentram dalam kehidupan keluarga
dan anak-anak mereka khususnya dan kehidupan masyarakat umumya.
2. Implikasi Terhadap Keuangan Negara
Memang untuk merancang, menetapkan dan melaksanakan perda ini
dibutuhkan dana yang cukup besar. Mulai dari dana pembuatan Naskah Akademik,
Rancangan, Pembahasan di DPRD, Pengesahan Oleh Bupati, dan pemuatannya dalam
Lembaran Daerah, sampai kepada biaya pelaksanaannya di lapangan, seperti biaya
sosialisasi, biaya lembaga dan personalia pelaksana, dsb. Namun dengan dibentuk dan
dilaksanakan perda ini diharapkan akan terjadi perubahan yang signifikan dalam
penurunan kasus pelanggaran hak-hak perempuan dan anak. Dengan perlindungan
yang bersifat preventif, akan terjadi penurunan kasus pelanggaran hak-hak perempuan
dan anak, sehingga dana penbgobatan, rehabiltasi dan pendampingan akan mnurun
drastis. Demikian pula pelaksanaan perindungan represif kepada pelaku pelanggaran
hak-hak anak akanmenimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran hak-hak perempuan
dan anak, sehingga akan menyebabkan tumbuhnya generasi mendatang yang kuat fisik
dan mentalnya sserta mandiri akan sangat berguna bagi kelangsungan hidup
masyarakat, bangsa dan negara kita yang tidak dapat diukur dengan uang.
Dalam naskah ini telah menjelaskan mengenai implikasi perlindungan kepada anak dan
perempuan yang sesuai dengan asas dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf g Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi “Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara.” Yang berkaitan dengan penjelasan Pasal 6
ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Yang dimaksud dengan “asas
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status
sosial.”
BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT

A. Kondisi Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Mengenai


Perlindungan Perempuan dan Anak
a. Peraturan Perundang-undangan yang secara langsung berkaitan dengan
Perlindungan perempuan dan anak yang telah ada antara lain :Undang-undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran
Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3243);
c. Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668);
d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO 138
Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835);
e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
f. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO 182
tentang Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3941);
g. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi manusia
(Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 208 Tambahan Lembaran Negara Nomor
4026);
h. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran
Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235);
i. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4419);
j. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak
Bagi Yang Mempunyai Masalah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3367);
k. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
l. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak;
m. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Trafiking);
n. Keputusan Presiden Nomor 77 tahun 2004 tentang Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
o. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Tanggal
28 Januari 20120;
Sedangkan Peraturan Perundang-undangan yang secara tidak langsung berkaitan
dengan Perlindungan perempuan dan anak antara lain :
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3039);
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
c. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 166 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3887);
d. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara
Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4252);
e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);
f. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4301);
g. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437); jo.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4548);

Dalam naskah akademik ini telah memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang


terkait dengan masalah yang telah dikaji, dengan demikian peraturan yang telah ada
dapat dijadikan bahan untuk mengenalisis pengaturan yang telah berlaku sebelumnya
dan mencari kebaikan dan keburukan yang timbul akibat penerapan hukum tersebut,
sehingga telah sesuai dengan asas yang digunakan yaitu dalam penjelasan Pasal 5 ayat
(1) huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Yang dimaksud dengan “asas
kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

B. Posisi Peraturan Daerah Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak.

Subtansi peraturan daerah ini terutama berasal dari muatan local dan
karakteristil local , dalam hal ini yang berkaitan dengan bahan sumber hukum tidak
tertulis adalah yaitu hukum adat dan ada-istiadat Dayan gunung. Pengaturan ini
merupakan kewenangan pilihan (regulatory) yaitu kewenangan yang berdasarkan
karateristik local dapat dilihat dalam pasal 13 Undang-undang nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, junto pasal 18 B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945
menyatakan;

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat berserta


hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.

Bersasarkan hal tersebut maka subtansi Peraturan Daerah dapat bersumber dari
Adat setempat dalam hal ini adalah Hukum Adat Dayan gunung. Karena kewenangan
mengatur tersebut disampaikan oleh Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.

Persinggungan peraturan daerah dengan peraturan lebih tinggi secara hiratkis


tidak ada berimplikasi negative karena peraturan daerah yang dibuat bukanlah
peraturan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tingggi dan bersifat
regulatory /kewenangan pengaturan tidak banyak bersinggungan dengan areal
obligatori/keharusan yang telah dibuat secara produktif oleh peraturan lebih tinggi.

Kewenagan mengatur (regulory) yang bermuatan yang sifatnya visi, supervise,


incentive, kebijakan, strategi, pelembagaan, kepatuhan dan kepatutan dikenal juga
dengan soft law. Oleh karena itu persinggungan peraturan public yang bersifat
memaksa dan kepentingan dan hak privat sangat dihindarkan, tetapi dapat diatur hak
privat seperti hak pengasuhan anak secata harmonis disesuaikan dengan kebijakan
pemerintahan, dan sanksi yang diberikan bukan bersifat penghukuman (hard laws),
tetapi kepatuhan dan kepatutan.

Peraturan yang bermuatan regulatory dalam ilmu hukum disebut sebagai


Beleidregel /peraturan kebijakan yang berisikan beberapa tindakan administrasi
(freermesen) yang berasal dari kepatutan (equity). Di samping aspek legalitas juga
menjadi perhatian peraturan tersebut dalam pembuatannya. Misalnya pelarangan media
menayangkan konten kekerasan dan pornografi. Sebenarnya merupakan tindakan
(freermesen) terhadap kepatutan perkembangan pisikologi anak. Dan pelarangan
pekerja anak merupakan kepatutan (equity) dari hak anak untuk memperoleh masa
depan dan pendidikan yang layak. Hal-hal demikian yang menjadi topic pembahasan
dalam peraturan daerah yang akan dibentuk disamping isu-isu lain tentang
perlindungan anak yang dapat diakomodir dalam peraturan daerah yang akan dibentuk
tersebut.

Dalam naskah akademik ini telah mampu menjelaskan mengenai posisi peraturan daerah
tentang pengelolaan perlindungan anak dan perempuan, sehingga tidak mencampuri dan
merusak haerarki yang telah ada sesuai yang dirumuskan oleh konstitusi termuat dalam
penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Yang
dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan
materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

A. LANDASAN FILOSOFIS

Konsep Negara Hukum, menghendaki perlindungan hukum aktif kepada Warga


Negara secara garis besar kita melakukan penghormatan terhadap hak azasi manusia.
Konsep Negara hukum meletakkan hukum sebagai supremasi dalam penyelenggaraan
Negara Secara falsafah Negara, Preambule Konstitusi Undang-undang Dasar 1945,
pada alinea ke 4, secara eksplisit menyatakan bahwa Negara atau dalam hal ini
pemerintah bertugas melindungi warga Negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia
secara tidak eksplisit menyatakan Konsep Negara Kemakmuran (Welfare State),
tetapi secara ide dasar/ Konsep Negara Kemakmuran telah menjadi Cita-cita Negara
yaitu bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Dan kemakmuran sebagai cita-cita Negara
dapat diwujutkan hanya dalam sebuah Negara hukum, seperti ungkapan Konstitusi
UUD 1945 dalam alinea Ke 4 Preambule;
“Kemudian daripada itu untuk membentuk Suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa…….(didasari)… “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan
beradap, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia”
Apabila kita berpedoman pada konsep Negara Kemakmuran dan semangat
yang dinyatakan kostitusi maka seluruh sumberdaya yang ada di Indonesia harus
dikelola oleh Pemerintah Indonesia yaitu Sumber daya manusia (SDM), dan sumber
daya alam (SDA) , serta sumber daya kreatif (SDK) yang mana Sumber Daya yang ada
pada Negara digunakan untuk mencapai kemakmuran Negara. Hal ini sangat relefan
dengan perlindungan warga negara dalam hal ini adalah anak sebagai asset negara
yang harus diperhatikan oleh negara, walaupun secara nyata dan batiniah dan materi
anak adalah asset orang tua. Anak sebagai calon warga negara yang baik (Good
Citizen) dan berdaya guna bagi negara, oleh karena itu harus dipersiapkan untuk tujuan
negara dan tujuan bernegara.
Perempuan dan anak harus dilindungi karena sangat rentan terhadap tindakan
yang sifatnya spekulatif dan sesaat yang mengakibatkan seorang anak tidak
memperoleh haknya secara baik dan terlindungi dari perbuatan melawan hukum.
Apabila kita merujuk dari sisi keadilan dan supremasi hukum bahwa terdapat
kedudukan yang sama di hadapan hukum, oleh karena itu anak harus dilindungi hak-
haknya di hadapan hukum.
Khusus mengenai hak anak secara subtansi telah dicantumkan dalam Undang-
undang Perlindungan Anak dan secara konsep perlindungan telah dinyatakan dengan
tegas, serta badan-badan yang melakukan perlindungan hukum aktif dan pasif. Tetapi
kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak anak sering terjadi yang umumnya karena
masalah ekonomi keluarga dan minimmya tingkat pendidikan, budaya yang tidak
mendukung, serta kurang kepedulian social. Kriminalitas terhadap anak juga secara
kuantitas sering terjadi misalnya (maaf) kasus pedopilia, penjualan manusia
(trafficking), jual beli organ dan lain-lain yang mana anak sebagai korban.
Apabila kita mengkaji secara konsep filosofi dalam ilmu hukum sosiologis
(Sociological Yurisprudence) bahwa hukum sebagai sarana merekayasa social berarti
ada titik persinggungan yang tidak dapat tersentuh oleh hukum, atau kemungkinan
hukum alpa menangani suatu permasalahan social. Dalam hal ini Freedman,
mengajarkan tentang system hukum yang diangap baik apabila komponen subtansi
hukum, penegakan hukum dan budaya hukum baik. sistem hukum seharusnya berhasil
memberikan patron social sehingga seluruh tindakan masyarakat seperti yang
diinginkan oleh cita-cita negara, tetapi kenyataan-nya hal ini belum berjalan dengan
baik. Inilah sebagai pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan oleh Hukum apabila
kita menjunjung tinggi keadilan dan supremasi hukum.
Kalau diruang perkuliahan kita menyatakan ada wilyah abu-abu yang belum
tersentuh oleh hukum yang ada dan jarang menjadi pemikiran penyelengara negara,
ditingkat Perundang-undangan yaitu ilmu politik hukum ditingkat peraturan bawahan
secara hirakis yaitu wilayah peraturan yang didasari oleh freeermesen (tindakan
administrative), kebijakan public dalam Hukum Administrasi Negara dinyatakan
sebagai beleidregels (peraturan kebijakan), dan Planing. Beleidregels dan planning
dalam perlindungan hukum dimasukan dalam perlindungan hukum Premtif, sedangkan
peraturan lainnya berada dalam wilayah Perlindungan hukum Preventif dan Represif.
Media beleidregels adalah kebijakan, humaniora (adat-istiadat), incentive, visi,
teoritic, analytic dan media planning adalah patron social serta strategi yang harus
dipedomani oleh Hukum. Yang dapat melakukan beleidregel dan Planing adalah
pemerintah di daerah /Pemerintah Daerah karena Pemerintah Daerah diberikan
kewenangan untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah secara
Otonomi.

Dalam naskah akademik ini secara filosofi telah mampu menjelaskan betapa pentingnya
peran pengelolaan perlindungan anak dan perempuan yang memiliki peran yang sangat
vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak merupakan tempat harapan orang tua
untuk mewujudkan harapan agar mampu bermanfaat bagi negara, masyarakat dan agama
serta peran perempuan yang sangat mempengaruhi dalam arah pertumbuhan mental dan
pendidikan utama anak agar dapat mengarahkan menuju tempat yang lebih baik,
pentingnya perlindungan terhadap anak dan perempuan sangat perlu diperhatikan karena
kedua makhluk tersebut lebih lemah dari kaum pria dan dewasa pada umumnya, sehingga
pembangunan suatu bangsa dan negara di masa depan ditentukan oleh tumbuh kembangnya
peranan anak dan perempuan di masyarakat.

B. LANDASAN SOSIOLOGIS
Sistem Tatanan sosial (patron social system), anak pertama setelah kelahiran di
bawah dominasi/ketergantungan orangtua/ wali. Oleh karena itu nilai perlindungan dan
hak perempuan dan anak berada dalam naungan keluarga. Kemudian setelah usia
sekolah anak berinteraksi dengan lingkungan sekolah dan luar sekolah sehingga anak
berhubungan langsung dengan institusi sosial dan institusi publik. Dominasi orang tua
sedikit beralih kepada sekolah sebagai institusi formal yang berhubungan dengan
Negara dan institusi social lainnya, sebagai subjek hukum anak perlu dilindungi oleh
institusional terutama dalam hal ini adalah Negara, karena perempuan dan anak berada
pada pihak yang lemah secara nilai dominasi (penguasaan).
Konsep teoritis ilmu hukum sosial (sociological jurisprudence) dalam
Perlindungan perempuan dan anak dikaitkan dengan konsep institusional/kelembagaan.
Dalam ilmu ini diajarkan hukum sebagai pranata social (social engineering ) oleh
karena itu hukum harus menciptakan patron yang sesuai dengan cita-cita social dan
cita-cita Negara. Hukum merupakan pranata dalam kelembagaan social, ungkapan
klasik ; ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat di situ ada hukum) dapat
dipastikan ada hukum yang mengikat interaksi sosial tertentu. Hukum sebagai pranata
sosial merupakan das solen (ideal) sedangkan interaksi sosial adalah das sein (empiric),
walaupun tak pernah di dalam kenyataan terjadi keharmonisan antara das solen dan das
sein, tetapi hukum tetap harus produktif dan proaktif dalam interaksi sosial.
Dalam ilmu hukum dikenal sebagai teori legal system dinyatakan Freedman
kemudian juga Philip Nonet dan Philip Zelnic menyatakan berfungsinya hukum
dikarenakan berjalannya organ-organ hukum secara peristilahan dikenal sebagai system
hukum itu sendiri secara autonomy tanpa paksaan dan tekanan dalam tatanan social
dan tatanan Negara (kemudian dikenal sebahgai ajaran hukum responsive). Sehingga
hukum dapat memperoleh supremasinya dan memperoleh nilai tersendiri di
masyarakat.
Konsep kelembagaan/institusional merupakan determinasi dari organic, bahwa
sebuah kelembagaan memiliki perangkat/organ yang membantu eksistensi kelembagaan
tersebut. Dapat dicontohkan kasat mata, di rumah tangga lazimnya ayah sebagai pusat
kegitatan keluarga dan kemudian dibantu oleh ibu serta anak-anaknya. Lembaga
keluarga dapat menetapkan peraturan-peraturan keluarga walaupun tidak tertuang
dalam kertas tetapi menyesuaikan dengan pengetahuan dan pengalaman ataupun
adaptasi terhadap lingkungan setempat, seperti dilarang keluar malam lewat jam 10
malam, dan larangan-larangan lainya yang dibuat keluarga menjadi peraturan keluarga.
Peraturan Negara yang melidungi anak seperti peraturan wajib belajar, peraturan
kependudukan mangenai akta kelahiran dan sebagainya.
Kaitan dengan keberadaan perempuan dan anak di tengah-tengah masyarakat,
dan eksistensi hukum maka hukum yang dikenal sebagai pranata social adalah Hukum
Negara, Hukum Adat, dan loyalitas (aturan-aturan sesama / underground yang bernilai
negative di masyarakat grupis, anak pank, geng motor, kelompok radikal dan
kelompok ajaran agama sesat). Hukum yang dikenal dalam Hukum Negara dan
Hukum Adat berjalan harmonis apabila adanya akses social terhadap pranata hukum
tersebut, tetapi terkadang sebagian masyarakat tidak dapat akses hukum yang jelas oleh
karena itu hukum tidak akan muncul maka yang ada dipermukaan/ sanubari sebagian
masyarakat sehingga yang muncul adalah bentuk loyalitas sebutlah contoh loyalitas
kepada kelompok tertentu misalnya kelompok pengamen, geng motor yang mana
mereka melakukan aturan menurut apa yang mereka anggap benar. Ini terjadi karena
akses mereka tak diterima oleh hukum dulu dikenal kelompok marginal. Tetapi kami
tidak setuju dengan istilah tersebut karena mereka tidak lagi sebagai kelompok yang
dimarginalkan karena sudah menampakan aktifitas dan existensi yang jelas dan
melakukan tindakan hukum bebas/underwriting, kepada kelompok masyarakat lainya
dan cendrung criminal. Kelompok yang praloyalitas ini tidak mengenal hukum yang
baik cenderung melawan hukum atau melanggar norma kebiasaan contohnya (maaf)
melakukan phedodilia, jual beli manusia, sex bebas, napza dan pelanggaran hukum
lainya. Kegiatan dan kegilaan yang tidak peroduktif tersebut melibatkan anak dan
bahkan menjadi korban, di beberapa Negara konflik menjadikan anak sebagai tameng
hidup dan pembawa bom bunuh diri. Ini lah sisi lain dari kelemahan hukum dalam hal
pendisteribuisian perlindungan hukum. Tidakan tindakan yang negative oleh para-
loyalitas ini dianggap benar oleh mereka seperti intimidasi dan tindakan criminal
seperti masalah narpza, pencurian, jual beli manusia dan sex bebas. Secara hukum
diyatakan adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before laws) juga
sebagai subjek hukum dan warga negara, tetapi perlindungan hukum tidak merata
sehingga tetap terjadi tindakan diluar hukum yang dilakukan disebagian kelompok
masyarakat dan dianggap sebagai pengecualian hukum itu sendiri (discrese). Oleh
karena itu Hukum sebagai pranata social harus jelas dan memberikan batasan-batasan
norma dan sanksi yang tegas disamping dilandasi oleh toeri dan kebijakan yang jelas.
Subtansi Hukum haruslah dapat mengakomodir kebutuhan hukum yang dinginkan
masyarakat dan dikenal dalam tatanan masyarakat.
Norma yang berlaku dalam bernegara adalah Pancasila sebagai Staat
Fundamental Norm, oleh karena itu nilai dari setiap norma Pancasila dijadikan azas
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia disamping norma lain seperti norma
social. Norma sosial yang berlaku dan efektif dalam system perlindungan anak secara
sepsifik kami menyatakan Hukum Adat inilah karateristik bangsa Indonesia, walaupun
Norma Sosial tersebut sulit dihimpun dari seluruh Indonesia dalam peraturan
perundang-undangan tetapi secara garis besar norma sosial/ adat di Indonesia telah
terwakili oleh Norma bernegara yaitu Pancasila. Tetapi karateristik local dapat menjadi
bahan dasar pembuatan Peraturan di Tingkat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah.

Secara Sosiologis telah memuat kaitan dengan hubungan sosial dalam kaitannya
Perempuan dan anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai karunia, anak merupakan harapan masa
depan. Secara Filosofis telah mengandung falsafah bangsa dan negara anak diharapkan
menjadi generasi penerus, guna melanjutkan pengurusan, pengembangan, dan pelestarian
eksistensi masyarakat, bangsa dan negara itu. Aspek tersebut telah mengandung sesuai
dengan pengaturan asas dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi “Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan
pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.”

C. LANDASAN YURIDIS.
Kajian aspek hukum Perlindungan perempuan dan anak adalah bagian dari
upaya perlindungan hak azasi manusia. Sejumlah peraturan yang ada di Indonesia telah
mengakomudir dari system perlindungan hukum tersebut, baik praturan di tingkat
Konstitusi, ditingkat Perundang-undangan dan peraturan yang lebih rendah yang dibuat
oleh pemerintah pusat. Tetapi sumber hukum lain yang dapat menjadi bahan
pembuatan norma dalam Peraturan Daerah ada yang bersumber dari norma masyarakat,
pendapat sarjana konvensi internasional dan mekanisme hukum sendiri.
Sumber hukum perundang-undangan berlaku positif berkaitan dengan
perlindungan perempuan dan anak di Indonesia, diterapkan oleh lembaga instasi
dipusat seperti kementrian pendidikan, kementerian dalam negeri, kementrian agama,
kementrian hukum, Kepolisian RI dan kementrian terkait. Demikian juga dinasi-dinas
yang ada di daerah seperti dinas pendidikan, dinas kependudukan, dinas tenaga kerja
dan lain sebagainya. Selain itu penerapan peraturan dilaksanakan juga oleh sebuah
pengawas independen bentukan Negara yaitu Komisi Perlindungan perempuan dan
anak Indonesia. Ini membuktikan secara de facto pemerintah aktif melakukan
perlindungan hukum, tetapi apakah efektif dan berkelanjutan ini lah yang menjadi
pekerjaan rumah lembaga-lembaga tersebut.
Dari sisi Penerapan hukum Undang-undang Perlindungan Anak adalah berlaku
secara specialis yang menkoordinir tentang system perlindungan anak di Indonesia,
sedangkan secara massive perlindungan anak terkait dengan beberapa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan aspek perlindungan anak, contohnya
Undang-undang tentang Tenaga Kerja, Undang-undang tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Undang-undang tentang Kewarganegaraan.
Azas yang digunakan dalam pembuatan Undang undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan perempuan dan anak adalah:
1. Azas Non Diskriminasi;
2. Azas Kepentingan yang terbaik bagi Anak;
3. Azas Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
4. Azas Penghargaan terhadap pandangan/ Pendapat Anak.
Perlindungan Hukum efektif dan aktif harus tetap dilakukan oleh Negara,
dalam hal ini di daerah oleh karena itu Pemerintah Daerah sebagai garda depan
pemerintahan didaerah harus melakukan perlindungan hukum aktif dan efektif dengan
kewenangan otonomi. Secara real telah banyak peraturan Nasinal yang mengatur
tentang perlindungan anak tetapi masih ada pengaturan yang bertersentuh oleh
peraturan Nasional yaitu di areal kebijakan dan strategis. Oleh Karena itu secara
keilmuan hukum telah memenuhi syarat formil dan syarat materil dalam pembuatan
peraturan ditambah dengan kondisi social dan filosofis sangat mendukung untuk
munculnya Peraturan Daerah kabupaten Lombok Utara tentang perlindungan Anak.

Dalam naskah akademik ini secara yuridis telah tepat dalam pemilihan landasan hukum
yang digunakan dalam menjelaskan perumusan pengaturan yang sesuai dalam asas
penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi
“Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.” Pemilihan peraturan yang sesuai mampu menjadi penyelesai
masalah yang dihadapi dengan baik sehingga secara yuridis tidak bertentangan degnan
Pancasila dan Konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN,
DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN

A. JANGKAUAN PERDA PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK


Jangkauan Peraturan Daerah ini adalah dalam ruang lingkup wilayah
kewenangan Pemerintahan daerah kabupaten Lombok Utara , kewenangan yang
digunakan adalah kewenangan wajib (oligatory) dan kewenangan mengatur
(regulatory) yang terdapat dalam kewenangan pasal 13 Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu kewenangan yang merupakan
kewenangan wajib (obligatori) dan materi mauatan dari Perda merupakan kewenangan
yang diatur oleh pasal 14, Undang-undang nomor 12 tahun 2011 yang mengatur tentang
muatan Peraturan Daerah yaitu berkaitan dengan pelaksanan otonomi dan tugas
pembantuan.
Materi Perlindungan Anak secara spesifik telah diatur oleh UU nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi muatan peraturan Peraturan Daerah
menjangkau kepada Aturan Otonomi mengenai Perlindungan Anak termasuk dalam
jangkauan lingkup kebijakan dan planning. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok
Utara merupakan peraturan yang menjangkau kebijakan dan pengaturan di lintas kota
dan kabupaten, karena secara mayoritas penduduk kabupaten Lombok Utara adalah
masyarakat Dayan gunung, oleh karena itu Peraturan Daerah dapat menjangkau
lembaga kemasyarakatan termasuk adat dan norma berlaku dalam masyarakat.
Jangkauan kelembagaan tersebut diupayakan meningkatkan peran lembaga lembaga
masyarakat dan adat yang ada.

Dalam naskah akademik ini jangkauan yang ingin dicapai telah diukur dan sesuai dengan
asas yang termuat dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 dalam Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.” Sehingga keselarasan antara peran
lembaga-lembaga masyarakat dengan adat yang sudah ada dapat diupayakan untuk
mencapai kemaslahatan bersama.

B. ARAH PENGATURAN DAN RUNG LINGKUP PERDA PERLINDUNGAN


PEREMPUAN DAN ANAK
Arah pengaturan dari Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara ,
disesuaikan dengan system perlindungan hukum yaitu perlindungan preventif dan
represif. Sistem perlindungan hukum juga menerapkan mekanisme sanksi untuk
mewujudkan kepatuhan terhadap hukum, sanksi yang digunakan adalah sanksi
administrasi, dan sanksi pidana ringan. Yang menjadi tujuan dari peraturan daerah
adalah berada dalam wilayah kebijakan bukan wilayah penegakan hukum, oleh karena
itu sanksi dijatuhkan bukanlah bertujuan untuk penghukuman (punishment) tetapi
kepatutan (equity)

Dalam naskah akademik ini pengaturan mengenai arah dan ruang lingkupnya telah sesuai
dengan tujuan yang ingin diraih dengan merencanakan arah yang menjadi pokok
permasalahan untuk diselesaikan dengan mengacu pada ruang lingkup yang ingin
diselesaikan, sehingga telah sesuai dengan asas dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 “Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan”
adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai. “

C. MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK


UTARA TENTAG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK
Muatan Peraturan Daerah yang dapat dibagi-bagi dalam subtansi yaitu:
1. Ketentuan Umum
2. Prinsip Dan Tujuan
3. Ruang Lingkup
4. Tugas Pemerintah Daerah
5. Perlindungan Perempuan Dan Anak
6. Peran Serta Masyarakat
7. Kelembagaan
8. Pembinaan Dan Pengawasan
9. Pembiayaan
10. Ketentuan Penutup

Dalam naskah akademik ini telah sesuai dengan substansi yang diatur dalam penjelasan Pasal
5 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi “Yang dimaksud dengan
“asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.” Pemilihan materi muatan
yang sesuai mampu menjadi penyelesai masalah yang dihadapi dengan baik karena telah dimuat
dan dianalisis dengan perincian tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Pelangaran-pelanggaran berkaitan dengan hak perempuan dan anak serta tindak
kriminal terhadap mereka merupakan hal yang meresahkan masyarakat, sangat
disayangkan peran pemerintah dalam bidang perlindungan belum efektif apalagi
beberapa system perlindungan yang ada belum mampu menghindarkan pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi karena sebagaian masyarakat tidak memperoleh akses
perlindungan. Di samping itu peraturan yang ada hanya bersifat normative tidak
berada dalam lingkup kebijakan dan perencanaan sehingga perlindungan hanya partial
dan sporadic, dan tidak melibatkan komponen masyarakat yang berinteraksi dengan
perempuan anak, sehingga pelanggran dan tindak kriminal terhadap anak menjadi
massive dan ditutup-tutupi oleh fungsionaris masyarakat.
2. Kebutuhan Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara akan dibuatnya Peraturan
Daerah mengenai Perlindungan Anak sangat perlu sekali karena hal ini dapat ditinjau
dari aspek kewenangan, aspek legalitas, dan aspek kebutuhan sebagai aturan otonomi
yang bersifat responsive. Peraturan daerah ini dibuat untuk mengakomodir kondisi
real di lapangan untuk dapat mewujudkan supremasi hukum dalam bidang
perlindungan perempuan dan anak.

Dalam kesimpulan naskah akademik ini telah memuat dalam pengumpulan pelanggaran-
pelanggaran terhadap anak dan perempuan yang terjadi dan kebutuhan mengenai urgensi
pengaturannya sehingga kesimpulan telah memuat hal penting dalam naskah akademik ini
termuat dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.” Sehingga pengaturan dapat mencakup segala keperluan
keadilan yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.

B. SARAN
1. Bahwa kiranya segera dibentuk peraturan daerah yang memberikan perlindungan
bagi perempuan dan anak di Lombok Utara sekaligus dapat mengangkat harkat dan
mastabat perempuan dan anak sekaligus memberikan kejelasan bagi masa depan
mereka;
2. Bahwa dalam adat Dayan gunung terlihat jelas bahwa anak dipangku kamanakan
dibimbiang memberian garansi kepada Pemerintah Daerah bahwa secara komunal
seluruh sendi tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin, termasuk organisasi sosial
seperti KAN, LKAAM dan Bundo Kanduang merupakan organ dalam masyarakat
yang ikut bertanggung jawab, dan ini dengan nyata harus dilibatkan secara langsung .

Dalam saran naskah akademik ini telah memberikan masukan untuk mengangkat
perlindungan mengenai permasalahan yang dihadapi dalam perumusan masalah naskah
akademik ini telah sesuai asas dalam pembentukan peraturan termuat penjelasan Pasal 6
ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam Yang dimaksud dengan
“asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
negara.”
DAFTAR PUSTAKA
1. Bagir Manan, Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, In
-Hill .Co, Jakarta, 1992, hlm 13.
2. M. Irfan Islami, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanan Negara, Bina
Aksara, Jakarta, 1986, hal 1
3. Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta :1998 hal 24
4. Sjahmunir : kedudukan Wanita dalam Kepemilikan Hak Ulayat di
Minagkabau, Buletin Nagari, 2004
5. Zakaria Ahmad Al Barry, Hukum Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
tanpa tahun, hal 114.
6. Zakiah Derajat, Kesehatan Mental, Inti Idayu Press, Jakarta, 1983, hal 181.
7. Irma Setyowati, op cit, hal 19.
8. Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasai dan Hukum Perlindungan
Anak, Granmedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta, 2000, hal 27.
9. Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara,
Jakarta, 1990, hal 14.
10. Abdul Hakim Garuda Nusantara, Prospek Perlindungan Anak, makalah
seminar Perlindungan Anak, Jakarta, 1986, hal 22.
Sistem Perlindungan Hukum adalah suatu ajaran/konsep tentang bagaimana
pelaksanaan perlindungan hukum di tengah-tengah masyarakat, perlindungan hukum
secara aktif dilakukan oleh Negara, sedangkan perlindungan hukum pasif dilakukan
oleh partisan (non governanve). Secara garis besar system perlindungan hukum
menjelaskan tentang kapan dimulai berlakunya perlindungan hukum dan untuk tujuan
apa perlindungan hukum tersebut dilakukan. Olah karena itu dikenallah system
perlindungan hukum yang bersifat preventive, preamtive, dan represif. Kealpaan
Negara dalam system perlindungan hukum, akan berakibat langsung pelanggaran
HAM.
“Law as a toll social engineering” diungkapkan oleh R Pound seorang filsafat
social di Amerika dengan ajaran Sosiological Yurisprudence, di sitir oleh Soejono
Soekamto, Sosiologi Hukum lihat juga Sacipto Raharjo dalam Penghantar Ilmu
Hukum
Politik Hukum ilmu baru dibidang hukum penngemukanya adalah “ Daniel S
L, Mahfud MD, dan Kawan-kawan” bidang ini mengemukakan bagaimana politik dan
kebijakan peraturan menangani suatu fenomena di masyarakat, system hukum apa
yang akan cendrung dengan baik di gunakan dan sterusnya.
Philipus M. Hadjon, ed all, Penghantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gajah Mada Universty Press, jogyakarta, 1994, hal. 152
Philip Nonet dan Philip Zelnic, Hukum Responsive
Istilah lain wilayah kewenangan adalah yurisdiksi
Aturan dan kaarifan local disebut sebagai folklore dan wisdom

Anda mungkin juga menyukai