Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KELOMPOK SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA

“MASYARAKAT MAJEMUK”

OLEH :

KELOMPOK 5

LATIFA NOUR AZIZAH

DWI RAHMAYANI

DODY PRASETYO

ABD WAHID RASYIDIN

SUNARTI

ERICK MELIANTO

ULFINAWASARI

A NURUL AFANA FITRA

ANDI SUTRISMAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia tersebar dari sabang sampai merauke, terdiri dari berbagai macam
agama, suku bangsa, budaya, dan ras. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia disebut
masyarakat majemuk atau multiculture. Kemajemukan masyarakat dapat menimbulkan
konflik sosial, tetapi jika berjalan secara selaras, serasi, dan harmonis akan tercipta integrasi
social. Indonesia dikenal dengan kemajemukan masyarakat, baik dari sisi etnisitas maupun
budaya serta agama dan kepercayaannya.

Kemajemukan juga menjangkau pada tingkat kesejahteraan ekonomi, pandangan politik


serta kewilayahan, yang semua itu sesungguhnya memiliki arti dan peran strategis bagi
masyarakat Indonesia. Meski demikian, secara bersamaan kemajemukan masyarakat itu juga
bersifat dilematis dalam kerangka penggalian, pengelolaan, serta pengembangan potensi bagi
bangsa Indonesia untuk menapaki jenjang masa depannya. Kemajemukan masyarakat
Indonesia dapat berpotensi membantu bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang
bersama.

B. Rumusan Masalah

Dalam penyusunan makalah ini rumusan masalah kami sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari masyarakat majemuk ?


2. Bagaimana jenis masyarakat majemuk ?
3. Bagaimana struktur masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk ?
4. Bagaimana karakteristik masyarakat majemuk ?
5. Bagaimana kemajemukan masyarakat di Indonesia ?
6. Bagaimana pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia ?
C. Tujuan

Dalam pembuatan makalah ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui apa itu masyarakat majemuk.


2. Untuk mengetahui apa saja jenis masyarakat majemuk itu sendiri.
3. Untuk mengetahui bagaimana struktur masyarakat Indonesia sebagai masyarakat
majemuk.
4. Untuk bagaimana kita memahami karakteristik masyarakat majemuk.
5. Untuk mengetahui tentang kemajemukan masyarakat di Indonesia.
6. Untuk mengetahui apa saja dampak dari pengaruh kemajemukan masyarakat di
Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Masyarakat Majemuk

Konsep masyarakat majemuk pertama kali diperkenalkan oleh J.S. Furnivall (1948).
Furnivall merumuskan konsep masyarakat majemuk yang berasal dari temuan hasil
penelitiannya di Indonesia. Menurutnya masyarakat Indonesia terbagi atas tiga lapisan:
1. Bangsa-bangsa Eropa menempati urutan teratas dalam stratifikasi masyarakat.
2. Bangsa-bangsa Asia (Cina, Arab, dan India) berada diurutan berikutnya; dan lapisan
terbawah diduduki oleh
3. Kaum pribumi
Konsep masyarakat majemuk yang dirumuskan oleh Furnivall tersebut merujuk pada
pengertian sebuah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri
sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain dalam kesatuan politik. Perlu dipahami bahwa
penelusuran konsep masyarakat majemuk Furnivall berlangsung saat masa penjajahan yang
melanda Indonesia.
Wajar apabila elemen-elemen di atas tidak menunjukkan adanya pembauran satu sama
lain dan pula wajar bila pribumi berada di lapisan paling bawah karena kaum pribumi adalah
kaum terjajah. Kaum terjajah dapat dikatakan tidak memiliki hak-hak lebih ketimbang
sebagai pelayan kaum penjajah. Dugaan bahwa penempatan kaum pribumi sebagai lapisan
terbawah bisa jadi sebagai justifikasi pihak kolonial untuk melanjutkan penjajahan.
Dugaan ini juga boleh jadi dikarenakan Furnivall adalah seorang berkewarganegaraan
Belanda yang ditugaskan untuk menyusun data mengenai masyarakat Indonesia. Masyarakat
majemuk menurut Furnivall yaitu suatu masyarakat dimana sistem nilai yang dianut oleh
berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga
para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan,
kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk
saling memahami satu sama lain.
Pendapat dari beberapa ahli tentang pengertian masyarakat multikultural yaitu:
1. Clifford Geertz
menyatakan bawah masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi ke
dalam subsistem-subsistem yang lebih kurang berdiri dan masing-masing subsistem
terikat oleh ikatan-ikatan primordial.
2. J.Nasikun
menyatakan bahwa suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut
secara struktural memiliki subkebudayaan-subkebudayaan yang bersifat deverse yang
di tandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh
anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial, serta sering
munculnya konflik-konflik sosial.
B. Jenis Masyarakat Majemuk
Menurut konfigurasi dari komunitas etnisnya, masyarakat majemuk dapat dibedakan
menjadi empat katagori sebagai berikut :
1. Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, yaitu masyarakat majemuk
yang terdiri atas sejumlah komunitas atau kelompok etnis yang memiliki kekuatan
kompetitif seimbang.
2. Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, yaitu masyarakat majemuk
yang terdiri atas sejumlah komunitas atau kelompok etnis yang kekuatan kompetitip
tidak seimbang.
3. Masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, yaitu masyarakat yang antara
komunitas atau kelompok etnisnya terdapat kelompok minoritas, tetapi mempunyai
kekuatan kompetitip di atas yang lain, sehingga mendominasi politik dan ekonomi.
4. Masyarakat majemuk dengan fragmentasi, yaitu masyarakat yang terdiri atas
sejumlah besar komunitas atau kelompok etnis, dan tidak ada satu kelompok pun yang
mempunyai posisi politik atau ekonomi yang dominan.
C. Struktur Masyarakat Sebagai Masyarakat Majemuk

Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik.
1. Horizontal
Ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan social berdasarkan perbedaan suku-
bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
2. Vertical
Strktur masyarakat Indonesia ditandai adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup dalam.
Perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut
sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula
dikenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia
Belanda. Konsep masyarakat majemuk sebagaimana yang digunakan oleh ahli-ahli ilmu
kemasyarakatan dewasa ini memang merupakan perluasan dari konsep Furnivall tersebut.
Masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda, demikianlah menurut Furnivall,
merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri
atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di
dalam kesatuan politik (JS Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy,
Cambridge at The University Press, 1967, halaman 446-469).
D. Karakteristik Masyarakat Majemuk

Pierre van de Berghe, mengemukakan beberapa karakteristik masyarakat majemuk


sebagai berikut :

1. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang mempunyai kebudayaan,


tepatnya subkebudayaan yang berbeda satu dengan lainnya
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-
komplementer.
3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai
nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
4. Secara relatif, sering terjadi konflik antarkelompok.
5. Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan ketergantungan
ekonomi.
6. Adanya dominasi oleh suatu kelompok terhadap kelompok-kelompok lain.
E. Kemajemukan Masyarakat di Indonesia

Istilah Masyarakat Indonesia Majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam
bukunya Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967), untuk menggambarkan
kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman ras dan etnis sehingga
sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia
ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai
hal.

Faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:

a) Keadaan geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari lima
pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan
penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi
kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku
jenis tersendiri.
b) Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara
Benua Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas
perdagangan. Hal ini mempengaruhi terciptanya pluralitas/kemajemujkan agama.
c) Iklim yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini
merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional. Seperti yang telah
dijelaskan bahwa kemajemukan Indonesia tampak pada perbedaan warga maryarakat
secara horizontal yang terdiri atas berbagai ras, suku bangsa, agama, adat dan
perbedaan-berbedaan kedaerahan.

Menurut Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri


warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara turun temurun.Untuk itu ras yang
hidup di Indonesia antara lain Ras Melayu Mongoloid, Weddoid dan sebagainya. Sedangkan
untuk suku bangsa / etnis yang tersebar di Indonesia sangatlah beraneragam dan menurut
Hildred Geertz di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana masing-masing
memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda.

Dalam kemajemukan agama di Indonesia secara umum agama yang berkembang di


Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha. Selain itu terdapat
agama-agama lain seperti Kong Hu Chu, Kaharingan di Kalimantan, Sunda Kawitan (suku
Baduy) serta aliran kepercayaan.

Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan,


dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa
menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang
diwujudkan melalui integrasi.

F. Pengaruh Kemajemukan di Indonesia

Pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan suku bangsa,ras dan agama


dapat dibagi atas pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat
keanekaragaman budaya yang terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud integrasi
bangsa. Pengaruh negatifnya antara lain :

a. Primordial
Karena adanya sikap primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di masa
lalu tetap bertahan sampai kini. Sikap primordial yang berlebihan disebut etnosentris.
Jika sikap ini mewarnai interaksi di masyarakat maka akan timbul konflik, karena
setiap anggota masyarakat akan mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan
norma kelompoknya. Sikap ini menghambat tejadinya integrasi sosial atau integrasi
bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi.
b. Stereotip Etnik
Interaksi sosial dalam masyarakat majemuk sering diwarnai dengan stereotip etnik
yaitu pandangan (image) umum suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain
(Horton & Hunt). Cara pandang stereotip diterapkan tanpa pandang bulu terhadap
semua anggota kelompok etnis yang distereotipkan, tanpa memperhatikan adanya
perbedaan yang bersifat individual. Stereotip etnis disalah tafsirkan dengan
menguniversalkan beberapa ciri khusus dari beberapa anggota kelompok etnis kepada
ciri khusus seluruh anggota etnis. Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A
yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku
lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang
dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan
tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari
sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar
sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip
negatip, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota
kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial
tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada
faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman,
pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
c. Potensi Konflik
Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnifall (1940) adalah
kehidupan masyarakatnya berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik,
tetapi mereka (secara essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial
yang melekat pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya mereka
dalam satu unit politik tertentu.

Mungkin pendekatan yang relevan untuk melihat persoalan masyarakat majemuk ini
adalah bahwa perbedaan kebudayaan atau agama memang potensial untuk mendestabilkan
negara-bangsa. Karena memang terdapat perbedaan dalam orientasi dan cara memandang
kehidupan ini, sistem nilai yang tidak sama, dan agama yang dianut masing-masing juga
berlainan. Perbedaan di dalam dirinya melekat (inherent) potensi pertentangan, suatu konflik
yang tersembunyi (covert conflict).

Namun demikian, potensi itu tidak akan manifes untuk menjadi konflik terbuka bila
faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan dalam konteks persoalan itu nampaknya faktor
ekonomi dan politik sangat signifikan dalam mendorong termanifestasinya konflik yang
tadinya tersembunyi menjadi terbuka. Furnivall sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik
pada masyarakat majemuk Indonesia menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di
samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal,
menunjukkan adanya polarisasi.

Artinya bahwa disamping terdiferensiasi secara kelompok etnik agama dan ras juga
ada ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Ada ras,
etnik, atau penganut agama tertentu yang akses dan kontrolnya pada sumber-sumber daya
ekonomi lebih besar, sementara kelompok yang lainnya sangat kurang. Kemudian juga, akses
dan kontrol pada sektor politik yang bisa dijadikan instrumen untuk pemilikan dan
penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak menunjukkan adanya kesamaan bagi
semua kelompok. Di Kalimantan Barat dan Tengah para perantau Madura yang beragama
Islam setahap demi setahap bisa menguasai jaringan produksi dan distribusi ekonomi.

Demikian pula dengan orang-orang Bugis-Makassar dan Buton yang umumnya


beragama Islam di kawasan Timur Indonesia telah membuat jaringan yang cukup luas dalam
sektor ekonomi ini. Termasuk dalam kasus ini adalah orang-orang Cina yang sebagian besar
beragama non-Islam yang menguasai sebagian besar sarana dan aset produksi serta jaringan
distribusi di kota-kota besar dan menengah Indonesia. Ketika Orde Baru memegang tampuk
pemerintahan tampaknya ketimpangan ekonomi dan politik antar kelompok etnik dan ras ini
tidak secara sungguh-sungguh dicoba untuk dihapuskan. Malah pemihakan pada kelompok
tertentu sangat kentara, sementara kelompok yang lain mengalami proses marjinalisasi. Di
sinilah polarisasi antar kelompok masyarakat yang berbeda secara kultural dan agama itu
menjadi semakin tajam. Di samping itu, pemerintah dan masyarakat di daerah secara politik
betul-betul lemah, tidak memiliki saluran institusional yang memungkinkan kepentingan dan
kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Di sini sentralisme adalah ciri utama sistem politik
negara Orde Baru.
Memang selama rezim Orde Baru berkuasa konflik itu tidak banyak muncul, kalaupun
terjadi ledakannya tidak besar dan akan segera diredam secara represif. Namun pendekatan
keamanan itu tidak menghilangkan potensi konflik tersebut, karena akar persoalannya tidak
dipecahkan. Hubungan antar kelompok tetap dalam situasi ketegangan, menunggu momen
untuk meledak. Karena itu, ketika rezim Orde Baru mulai kehilangan legitimasi dan
kemudian jatuh, konflik yang tadinya laten menjadi terbuka.

Hal ini dikarenakan, bahwa pengkotakan masyarakat hanya mampu menekan eskalasi
konflik dan disharmoni sosial dalam masyarakat, namun ia tidak mampu menghilangkan
poensi-potensi konflik yang telah lama dan masih terpendam dalam masyarakat. Konflik dan
disharmoni sosial dapat muncul karena mereka, kelompok-kelompok sosial tersebut tetap
hidup berdampingan secara fisik dalam suatu komunitas masyarakat. Pembenaran atas
ketidaksamaan, pada hakekatnya adalah juga sebentuk pembenaran terhadap adanya potensi
potensi konflik dalam masyarakat yang pluralis.
DAFTAR PUSTAKA

http://bambang-rustanto.blogspot.com/2013/08/masyarakat-majemuk-di-indonesia.html

http://ilmiinfo.wordpress.com/sosiologi-kemajemukan-dalam-masyarakat/

http://krizi.wordpress.com/2011/09/12/makalah-sosial-kemajemukan-masyarakat-indonesia/

http://rodlial.blogspot.com/2014/02/makalah-masyarakat-majemuk-di-indonesia.html

http://thekopasid.blogspot.com/2012/07/tugas-kuliah-masyarakat-majemuk.html

Anda mungkin juga menyukai