Anda di halaman 1dari 5

PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP

PERSEBARAN ENDAPAN BATUBARA DI INDONESIA


Resha Hayyu Tiffani, 12015043

Abstrak

Batubara adalah suatu jenis batuan sedimen yang terbentuk dari bahan organik yang dapat
berfungsi sebagai bahan bakar. Kelas dan kualitas batubara sangat ditentukan oleh material
atau tumbuhan pembentuknya. Populasi tumbuhan yang melimpah dipengaruhi oleh iklim
yang ada, yang mana iklim yang tepat untuk pembentukkan endapan batubara adalah iklim
tropis. Rata-rata endapan batubara di Indonesia berumur Miosen.

Kata kunci: iklim, batubara, miosen, tropis, tumbuhan.

I. Pendahuluan
Batubara adalah suatu jenis batuan sedimen yang terbentuk dari bahan organik
melalui proses pembatubaraan. Jenis batubara yang dominan di Indonesia untuk di
produksi yaitu jenis Bituminus. Bituminus merupakan batubara dengan nilai kalori antara
4440-8330 kkal/gram.batubara jenis ini mengandung karbon sebesar 60-80% dan sisanya
berupa material volatil dan pengotor lainnya.
Persebaran batubara Indonesia banyak ditemukan di cekungan-cekungan yang
berumur tersier yang mana pada zaman itu banyak tektonik aktif terjadi. Tektonik aktif
tersebut menghasilkan cekungan untuk pengendapan batubara dan juga menyebabkan
perubahan iklim yang menjadi penyuplai endapan batubara.

Gambar 1. Persebaran batubara di Indonesia


II. Batubara di Indonesia

Di Indonesia, endapan batu bara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier,
yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan),
pada umumnya endapan batu bara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batu
bara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan
Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut skala waktu
geologi. Umumnya, endapan batubara yang ditemui untuk produksi merupakan batubara
yang berumur Miosen.

Batu bara ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar khatulistiwa
yang mirip dengan kondisi kini. Beberapa di antaranya tegolong kubah gambut yang
terbentuk di atas muka air tanah rata-rata pada iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata
lain, kubah gambut ini terbentuk pada kondisi di mana mineral-mineral anorganik yang
terbawa air dapat masuk ke dalam sistem dan membentuk lapisan batu bara yang
berkadar abu dan sulfur rendah dan menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai
pada batu bara Miosen. Sebaliknya, endapan batu bara Eosen umumnya lebih tipis,
berkadar abu dan sulfur tinggi. Kedua umur endapan batu bara ini terbentuk pada
lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta, mirip dengan daerah pembentukan
gambut yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan sebagian besar Kalimantan.

III. Perubahan Iklim Kala Miosen


Pada kala Miosen terjadi pergerakan lempeng aktif yang salah satunya yaitu
bergeraknya daratan India dari selatan bumi ke arah utara dan menabrak lempeng
Eurasia. Akibat proses obduksi antar lempeng ini, terbentuklah Pegunungan Himalaya
yang mana mempengaruhi iklim dan pola musiman di sekitar Asia yang terkait dengan
glasial yang berada di belahan bumi utara.
Sebelum kala Miosen, kira-kira 50 juta tahun yang lalu selama kala Eosen,
pendinginan global dan penyebar luasan es pada kutub mulai terjadi. Hal tersebut
berlangsung hingga pertengahan Miosen ketika terjadinya sebuah periode pemanasan
global yang dikenal sebagai Mid-Miocene Climate Optimum (MMCO) yang terjadi
antara 17 hingga 15 juta tahun yang lalu. Perioda MMCO menghasilkan temperatur iklim
hampir di berbagai wilayah di dunia, sebanyak 4° sampai 5º Celcius diatas temperatur
rata-rata pada saat sekarang ini. Perioda MMCO ini muncul pada saat pembentukkan
pegunungan-pegunungan di dunia akibat tumbukan lempeng.
Adanya perubahan rentang gunung yang besar dan perubahan sirkulasi udara
menyebabkan kondisi yang lebih kering di wilayah sekitar pegunungan akibat tumbukan
lempeng tersebut sehingga daerah hutan berubah menjadi gurun dan tundra. Namun, di
beberapa bagian bumi lainnya mengakibatkan terjadinya iklim tropis. Tenggelamnya
beberapa lautan dangkal seperti Laut Tethys yang kemudian ditutupi jembatan darat
antara Afrika, Eurasia dan laut Mediterania, merupakan sebagian pengaruh lebih jauh
dari perubahan iklim global dunia pada periode ini .
Menghangatnya kondisi iklim menyebabkan terbentuknya ekosistem tropis yang
berada di wilayah ekuator (Indonesia) secara besar-besaran. Ekosistem tropis yang
sangat berkembang pada kala ini ditunjukkan dengan perluasan hutan konifer yang ada di
Indonesia pada kala itu.

Menghangatnya iklim di Indonesia ini dibuktikan dengan penelitian terhadap


foraminifera planktonik dan bentonik serta pada sampel batuan karbonat dari Jawa
Tengah. Penelitian tersebut didasari oleh kandungan isotop δ18O yang nilainya lebih
rendah pada foraminifera planktonik yang menandakan kondisi air laut yang hangat pada
kala Miosen. Selanjutnya, penurunan nilai isotop δ18O yang sangat drastis pada sampel
Orbulina universa, Globoquadrina dehiscens dan Globigerinoides sacculifer yang
tercatat berumur ±14 juta tahun yang lalu menjadi bukti adanya peristiwa MMCO.
Peristiwa ini diprediksi berkaitan dengan pengembangan Kolam Hangat Pasifik Barat
(Western Pasific Warm Pool) di mana air hangat dari Samudra Pasifik tetap melalui laut
Indonesia selama Miosen.

IV. Pembentukan Batubara


Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia
(penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Tahap penggambutan
(peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan
dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu
tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini
melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi
humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach et
al,1982).

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan


fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya,
temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut. Pada tahap ini
persentase karbon akan meningkat, sedangkan presentase hidrogen dan oksigen akan
berkurang. Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan
material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit,
hingga meta antrasit. Meningkatnya peringkat batubara dari lignit hingga berubah
menjadi subbitumin dan antrasit disebabkan oleh kombinasi antara proses fisika dan
kimia serta aktifitas biologi (Stach et al., 1982).
V. Jenis-jenis Batubara

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, suhu dan
waktu, batubara umumnya dibagi 5 (lima) jenis yaitu :
1. Antrasit : Biasa disebut batubara keras. Sifat dari antarsit ini ditentukan oleh susunan
keteraturan molekul dan derajat kilap. Antrasit memiliki nilai kalori tinggi antara 7200-
7780 kal/gram dengan nyala biru pucat dan bebas asap.
2. Bituminous : Batubara jenis ini memiliki nilai kalori antara 4440-8330 kal/gram.
Batubara jenis ini digolongkan dalam beberapa sub-kelas berdasarkan peran dan
keragamannya yaitu : bituminus dengan kandungan zat terbang tinggi, menengah, dan
rendah.
3. Sub-bituminous : Batubara jenis ini biasanya berwarna hitam mengkilap seperti
kilapan logam, tetapi karakternya sering berubah. Pada waktu di tambang, nilai
kalorinya sekitar 4440-6110 kal/gram dengan kandungan air mencapai 40 %.
4. Lignit : biasanya mengandung sedikit material kayu dan mempunyai struktur yang
lebih
kompak jika dibandingkan dengan gambut. Lignit yang baru di tambang mempunyai ka
ndungan air antara 20-24 % dengan nilai kalori 3056-4611 kal/gram, sedangkan untuk
lignit bebas air dan abu berkisar antara 10000-11100 kal/gram.
5. Gambut : Gambut merupakan tumbuhan yang telah mati dan mengalami
dekomposisi sebagian serta terakumulasi dalam payau. Pada waktu pengambilannya,
kandungan airnya antara 80%-90% tetapi setelah dikeringkan di udara terbuka
kandungan airnya hanya 5%-6%. Gambut cocok untuk dijadikan bahan bakar, hanya
saja nilai kalorinya kecil.gambut kering dapat dibuat menjadi briket dengan proses
tekan ataupun dengan menggunakan zat pengikat seperti tar.
Semakin tinggi peringkat batubara maka kadar karbon akan meningkat sedangkan
hidrogen dan oksigen akan berkurang. Hal ini disebabkan karena tingkat pembatubaraan
secara umum dapat diasosiasikan dengan jenis batubara, maka batubara dengan tingkat
pembatubaraan (coalification) rendah disebut pula batubara jenis lignite dan sub-
bittuminous biasanya lebih lembut dengan material yang rapuh dan berwarna suram
seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon
yang rendah, sehingga kandungan energinya pun rendah. semakin tinggi jenis batubara
maka akan semakin keras dan kompak serta warnanya akan semakin hitam mengkilat
selain itu kelembababnya pun berkurang sedangkan kadar karbonya akan meningkat
sehingga kandungan energinya pun meningkat. Jenis batubara yang umum ditemukan di
Indonesia berupa Sub-bituminus hingga Bituminus.

VI. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut di dapatkan kesimpulan yaitu rata-rata batubara di


Indonesia berumur Miosen yang dikarenakan pada pertengahan Miosen terdapat perioda
MMCO dimana iklim menghangat sehingga mendukung pertumbuhan ekosistem tropis.
Tumbuhan-tumbuhan tropis tersebut akan terakumulasi dan melewati proses
penggambutan dan pembatubaraan untuk membentuk endapan batubara di Indonesia
seperti saat sekarang ini. Sehingga perubahan iklim kala Miosen sangat memegang
peranan penting terhadap endapan batubara yang ada di Indonesia.

Daftar Pustaka

Rene, Dommain, Couwenberg, J, dkk. 2014. Carbon Storage and Release in Indonesian
Peatland since The Last Deglaciation. Elsevier Journal.
Akmaluddin, dkk. 2010. Miocene Warm Tropical Climate: Evidence Based on Oxygen
Isotope in Central Java, Indonesia . International Journal of Environtmental and Earth
Science.
http://geonaturalresource.blogspot.com/2015/10/jenis-batubara-indonesia-berdasarkan.html
(Diakses 24 November 2018)
https://www.skepticalscience.com/translation.php?a=22&l=24 (Diakses 24 November 2018)
https://sciencing.com/climate-miocene-period-4139.html (Diakses 24 November 2018)

Anda mungkin juga menyukai