Anda di halaman 1dari 15

Hello, Zenius fellows.

Tibalah saatnya bagi gue untuk melanjutkan cerita gue tentang energi
setelah sebelumnya gue sempat menulis tentang Kisah Manusia Mengendalikan Energi. Kalo
di artikel sebelumnya, gue bercerita tentang sejarah manusia dalam mengendalikan sumber energi
di sekitarnya hingga akhirnya peradaban manusia modern saat ini jadi sangat bergantung pada
bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Nah, pada artikel ini gue akan melanjutkan
bercerita secara khusus tentang ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil (minyak
bumi, gas alam, batu bara) sekaligus dan juga berbagai isu tentang potensi bahaya yang bisa jadi
perlu kita hadapi kalo kita terus menerus bergantung pada sumber energi terbatas ini.
Di zaman modern seperti sekarang ini, kita bisa menikmati banyak banget bentuk kepraktisan
yang luar biasa. Dari mulai ketersediaan listrik sampai teknologi transportasi yang
memungkinkan kita bepergian jauh dalam waktu singkat. Zaman memang terus berkembang,
teknologi makin lama makin canggih, peradaban manusia makin maju seiring berjalannya waktu.
Kayaknya nanti ke depannya juga manusia makin pinter memanfaatkan energi supaya hidupnya
lebih praktis, iya gak sih? Sayangnya, jawabannya: BELUM TENTU.

Lho kok belum tentu? Bukannya peradaban manusia sekarang ini berjalan terus
makin maju?
Peradaban manusia (terutama dari sisi teknologi) memang berjalan terus maju sekarang ini. Tapi
kalo kita melihat dari perspektif yang lebih luas, peradaban manusia yang menawarkan segala
bentuk kepraktisan ini sebetulnya bertumpu pada sumber energi yang sangat 'ringkih'! Wah kok
bisa gitu, maksudnya gimana tuh?

Listrik yang milyaran orang nikmati sekarang ini tentunya gak muncul secara ajaib begitu saja,
tapi terbentuk dari mekanisme transformasi energi fisika. Begitu juga dengan cara kerja teknologi
transportasi, diperlukan sumber energi untuk membuat mesin kendaraan bisa nyala, dari mobil,
kapal laut, hingga pesawat terbang. Masalahnya sekarang adalah : tanpa kita sadari hampir semua
sumber energi yang membuat peradaban manusia maju ini ternyata bergantung pada pada bahan
bakar fosil yang bisa habis dalam waktu yang gak akan lama lagi. Sementara manusia terus
menghabiskan sumber energi ini tanpa mikir panjang ke depannya harus gimana.
Nah, dalam artikel ZeniusBlog kali ini, gua akan membahas secara detail tentang tantangan
peradaban manusia modern terkait ketergantungan kita terhadap sumber energi tidak-
terbaharukan serta beragam konsekuensinya termasuk kaitannya masalah lingkungan yang juga
gak kalah penting, yaitu isu global warming atau pemanasan global (selanjutnya disebut dengan
istilah PD). Okay, langsung aja yuk kita mulai pembahasannya, dimulai dengan pengertian bahan
bakar fosil!

Apa itu Bahan Bakar Fosil?


Sebelum masuk ke isu terkait bahan bakar fosil, terlebih dahulu, kita perlu tau sebenarnya bahan
bakar fosil itu apa sih. Bahan bakar fosil merupakan sisa-sisa makhluk hidup mati dari zaman
dahulu. Zaman dahulunya itu kapan? Banyak yang mikir kalo bahan bakar fosil itu terbentuk dari
fosil dinosaurus. Ini pemahaman yang keliru yah, haha...

Sebagian besar bahan bakar fosil kita terbentuk dari jasad renik tumbuhan, binatang, dan alga
yang hidup pada Periode Karbon (Carboniferous Period), sekitar 300 juta tahun tahun yang lalu
(100 juta tahun lebih tua dari periode Dinosaurus). 300 juta tahun yang lalu itu adalah masa
ketika terdapat banyak rawa besar dan dangkal di permukaan bumi. Keberadaan rawa amatlah
penting karena memperbesar kemungkinan untuk mempertahankan kondisi utuh organisme yang
telah mati. Jasad renik tidak akan bisa jadi bahan bakar fosil jika mati di atas tanah kering karena
akan mudah terurai/membusuk. Tapi jika mati di dalam rawa dan tenggelam hingga ke dasarnya,
organisme Periode Karbon akan dengan cepat tertutup pasir dan tanah liat yang membuatnya
semakin terkubur ke dalam dengan potensi energi mereka yang masih utuh.
Setelah ratusan juta tahun, semua organisme itu tergencet di bawah panas dan tekanan yang hebat
dan terkonversi menjadi sumber energi yang berwujud padat, cair, atau gas, masing-masing
adalah batu bara (padat), minyak bumi (cair), dan gas alam (gas). Nah, ketiga bentuk sumber
energi inilah yang digunakan manusia UNTUK DIBAKAR. Lho kok dibakar? Iya, perlu dibakar
untuk bisa dikonversi ke bentuk energi yang lain, misalnya listrik dan tenaga penggerak piston,
dinamo, dll. Untuk lebih jelas terkait transformasi sumber energi bahan bakar, kamu bisa baca di
artikel :
 Kisah Manusia Mengendalikan Energi
 Menelusuri Konsep Energi Fisika
Setelah mengetahui pengertiannya, sekarang kita bisa masuk ke 2 isu yang meliputi penggunaan
bahan bakar fosil, yaitu:

1. Pemanasan Global dan


2. Keterbatasan Sumber Energi Fosil.

ISU #1: PEMANASAN GLOBAL


Kalo ngomong soal perubahan iklim, pemanasan global, atau global warming, mungkin kesannya
rada basi ya. Isu ini rasanya udah sering kita denger bertahun-tahun, dari mulai kampanye aktivis
lingkungan, himbauan dari pemerintah, bahkan mungkin sempat jadi program kegiatan di
sekolah-sekolah. Dari kegiatan earth hour untuk matiin lampu, kampanye untuk hemat listrik,
penanaman bibit pohon, kampanye menggunakan transportasi umum, bersepeda dll. Sebetulnya
ini semua ngaruh gak sih?? Sebetulnya ada apa sih dengan global warming sampai-sampai isu ini
terus-terusan diangkat? Apakah global warming ini ancaman yang bener-bener nyata? Kalo
emang beneran bahaya, emang sejauh mana sih ancaman nyata buat kehidupan manusia saat ini?
Okay, untuk menjawab semua pertanyaan itu, untuk sementara kita coba abaikan saja dulu
sejenak berbagai celotehan para politisi, LSM lingkungan, dan pembuat film tentang perubahan
iklim. Kita fokus aja fakta-fakta yang bisa kita gali berdasarkan sumber data yang jelas. Baru
berdasarkan fakta-fakta tersebut, kita bisa mendapatkan kesimpulan yang lebih konkrit terkait isu
lingkungan ini.

Fakta 1. Pembakaran Bahan Bakar Fosil Membuat Kadar CO2 di


Atmosfer Meningkat
Mungkin lo bingung kenapa tiba-tiba gua langsung loncat ngomongin CO2 di atmosfer. Nanti gua
akan jelasin kenapa kadar CO2 di atmosfer ini ngaruh banget sama isu pemanasan global. Tapi
sekarang ini, kita fokus aja dulu sama fakta hubungan sebab-akibat pembakaran bahan bakar fosil
dengan peningkatan kadar CO2.
Kenapa sih pembakaran bahan bakar fosil mengemisikan CO2?
*mengemisikan = memancarkan, melepaskan, menghasilkan
Jawabannya simpel banget: pembakaran adalah proses kebalikan dari fotosintesis. Sejak SD atau
SMP kemungkinan besar lo udah belajar tentang reaksi fotosintesis.

CO2 + H2O --> C6H12O6 + O2


Tumbuhan mengambil CO2 dari udara dan menyerap energi cahaya matahari untuk memecah
CO2 menjadi karbon C dan oksigen (O2). Oksigen diemisikan sebagai produk sisa yang ternyata
dimanfaatkan hampir seluruh makhluk hidup bumi buat bernapas. Karbon dan energi cahaya
matahari menetap dalam tubuh tumbuhan sebagai energi kimia (C6H12O6) yang dapat
dimanfaatkan oleh tumbuhan itu sendiri. Dengan kata lain, kayu pada dasarnya adalah blok
karbon yang menyimpan energi kimia.
Ketika lo membakar sebatang kayu, apa yang lo lakukan adalah sedang membalikkan (reverse)
proses fotosintesis. Ingat, pembakaran sesuatu itu perlu oksigen kan. Jadi, kalo ngebakar kayu,
glukosa (C6H12O6) tadi tinggal ditambah oksigen aja. Reaksinya begini:
C6H12O6 + O2 --> CO2 + H2O
Ketika molekul oksigen di sekitar kayu bergerak cukup cepat dan menabrak molekul karbon di
kayu, mereka akan menyatu kembali sebagai CO2. Penyatuan kembali ini melepaskan energi
kimia, yang memicu molekul-molekul oksigen di sekitarnya untuk bergerak makin cepat.
Semakin cepat, semakin banyak molekul oksigen yang menyatu kembali dengan molekul karbon
di dalam kayu. Reaksi ini begitu berantai sehingga terbakarlah kayu tersebut. Jadi, pembakaran
sebatang kayu adalah proses karbon di dalam kayu bergabung kembali dengan oksigen di udara
dan terlepas sebagai CO2.
Dalam konteks bahan bakar fosil, perlu diingat bahwa minyak bumi, batu bara, dan gas alam itu
semua berasal dari hewan dan tumbuhan yang hidup jutaan tahun yang lalu. Makhluk hidup itu
tersusun dari C, H, dan O... persis seperti reaksi kimia di atas. Jadi bisa dibilang membakar bahan
bakar fosil itu sama artinya dengan membalik reaksi fotosintesis sehingga
menghasilkan CO2 lebih banyak.
Data CO2 di Atmosfer Selama 200 Tahun Terakhir
Nah, begitu kira-kira konsep dasarnya. Tapi gimana dengan data di lapangan? Seperti yang gue
sebut di atas dan di artikel gue sebelumnya, penggunaan bahan bakar fosil itu meningkat sejak
Revolusi Industri. Berikut grafik emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil dan industri
semen (sektor industri yang paling banyak mengemisikan CO2) dari tahun ke tahun.

Sumber:
http://blog.ucsusa.org/peter-frumhoff/global-warming-fact-co2-emissions-since-1988-764
Grafik di atas menunjukkan bahwa emisi karbon dari masa Revolusi Industri (1751 – 1905)
hanya memakan seporsi kecil dibandingkan emisi karbon manusia modern sekarang. Sangat
terlihat jelas, kalo setelah Revolusi Industri, emisi CO2 dari pembakaran fosil meningkat jauh. Ini
artinya semakin banyak karbon yang kita lepaskan/pancarkan ke atmosfer dalam 200 tahun
terakhir.
"Eh, tapi bukannya ada siklus karbon ya? Melalui siklus karbon,
karbon tadi seharusnya terserap kembali kan ke tumbuhan, tanah,
dan air?"
Memang ada karbon yang diserap kembali oleh tumbuhan, tanah, dan air (land sink dan ocean
sink). Tapi jumlah karbon yang terserap kembali masih lebih kecil daripada karbon yang kita
emisikan ke atmosfer. Datanya tersaji pada gambar berikut, di mana bisa kita lihat ada kelebihan
CO2 sekitar 4 gigaton di atmosfer yang tidak keserap balik oleh siklus karbon.
sumber:
https://www.carboncyclescience.us/sites/default/files/logos/GlobalCarbonCycleBudget2002-
2011-GCP-LeQuere-2012.png

Data di atas bisa kita perkuat lagi dengan melihat konsentrasi CO2 di atmosfer. Sejak
1958, ilmuwan Charles Keeling mulai mengukur konsentrasi CO2 di atmosfer dari sebuah
observatorium di Mauna Loa di Hawaii. Ini hasilnya:
Garis zig-zag
merah menunjukkan konsentrasi CO2 yang naik turun dalam setahun. Pada musim panas,
tumbuhan banyak menghisap CO2 untuk aktif-aktifnya berfotosintesis karena dapat banyak
paparan sinar matahari. Lalu, konsentrasi CO2 di atmosfer naik lagi pada musim dingin ketika
banyak daun tumbuhan yang mati, menyebabkan banyak karbon terurai lagi ke atmosfer. Tapi
jelas grafik di atas menunjukkan tren bahwa dari tahun ke tahun, konsentrasi CO2 terus
meningkat.
Selain itu, teknologi pengeboran es memungkinkan ilmuwan untuk mengumpukan data akurat
mengenai konsentrasi CO2selama 400.000 tahun terakhir. Kok bisa tau akurat dengan rentang
waktu selama itu? Iya, soalnya lapisan es di kutub itu adalah salah satu specimen paling murni
yang tidak terkontaminasi oleh perubahan kadar karbon. Jadi bisa dibilang sampel-sampel es di
kutub itu "merekam" kandungan karbon di atmosfir selama ratusan ribu tahun. Ini data yang
mereka temukan:
Selama ratusan
ribu tahun, rupanya konsentrasi CO2 di atmosfer naik turun antara 180-300 ppm (part per million)
selama 400.000 tahun terakhir, ga pernah melampaui 300. Tiba-tiba pada satu abad terakhir,
kadarnya melonjak hingga 403 ppm!Ini artinya, untuk setiap satu juta molekul di atmosfer, 403 di
antaranya sekarang adalah karbon dioksida. Konsentrasi CO2tertinggi dalam 400.000 tahun
terakhir.
Fakta 2. Ketika Kadar CO2 di Atmosfer Naik, Suhu Juga Ikut Naik
CO2 Sebagai Gas Rumah Kaca
Inti es yang digali ilmuwan tidak hanya menyingkap kadar CO2 dari ratusan ribu tahun lalu, tapi
juga mengungkap tren suhu bumi.

Garis warna biru adalah suhu planet Bumi, sementara garis hijau adalah kadar CO2 di atmosfer.
Rasanya sih ga sulit ya melihat korelasinya. Ketika kadar CO2 (garis hijau) meningkat, grafik
suhu juga ikut meningkat (warna biru). Begitu pula sebaliknya. Alasannya sih simpel. CO2 adalah
gas yang sifatnya mirip dengan rumah kaca. Makanya CO2 sering disebut dengan gas rumah kaca
(greenhouse gas). Kenapa sih disebut gas rumah kaca? Gue perlu ceritain dulu nih tentang rumah
kaca yang asli.
Rumah kaca beneran banyak digunakan untuk
bercocok tanam. Normalnya, ketika sinar matahari mengenai suatu benda, sinarnya akan
memantul kembali. Tapi kaca memungkinkan sinar matahari yang seharusnya mantul keluar,
malah terjebak dalam rumah kaca. Ini membuat suhu dalam rumah kaca tetap hangat dan
kondusif untuk pertumbuhan tanaman.

sumber: http://www.jc-
solarhomes.com/greenhouse_effect.htm

Ada beberapa bahan kimia di atmosfer kita yang bekerja persis banget seperti efek rumah kaca,
salah satunya adalah gas CO2. Ketika sinar matahari jatuh ke bumi, ketika mau memantul balik,
eh diblok oleh lapisan gas CO2 hingga menyebarkan sinarnya ke seluruh atmosfer, kejebak deh
energi mataharinya. Bumi pun menghangat.
sumber:
http://astrocampschool.org/greenhouse-effect/

Pengaruh Kadar CO2 di Atmosfer dengan Suhu Rata-rata Sebuah


Planet
Untuk makin memperjelas bagaimana CO2 mempengaruhi suhu sebuah planet, mari kita lakukan
perbandingan dengan planet-planet tetangga kita. Mars mempunyai suhu rata-rata -55OC. Dingin
buanget! Sementara Venus malah sebaliknya, suhu rata-ratanya mencapai 462OC! Apa yang
membuat perbedaan suhu antara kedua planet ini? Kuncinya ada di CO2.
Mars punya atmosfer yang lebih tipis dari Bumi sehingga energi matahari yang udah masuk
dengan gampangnya lepas lagi. Di sisi lain, atmosfer Venus jauh lebih tebal dengan kadar CO2-
nya 300x lipat kadar CO2 bumi! Makanya atmosfer Venus bisa menjebak banyak panas.
Kita lihat contoh lain pada Planet Merkurius yang lebih dekat dengan matahari dibanding Venus.
Merkurius ini tidak punya atmosfer, tapi lebih dingin dari Venus. Lho kok bisa? Selama siang,
Merkurius sama panasnya dengan Venus karena langsung keekspos sama paparan sinar matahari.
Tapi pada malam hari, suhunya jauh di bawah titik beku air. Kenapa? Karena Merkurius ga punya
atmosfer, jadi ga bisa "menjebak" energi panas dari matahari. Di sisi lain, Venus pada malam hari
sama panasnya dengan siang hari karena energi panas dari matahari kejebak permanen oleh
atmosfer tebalnya yang banyak mengandung CO2.
So, berdasarkan grafik dan perbandingan fakta suhu di tiga planet tetangga kita, rasanya
udah jelas banget ya kenapa peningkatan CO2 di atmosfer bumi juga akan meningkatkan
suhu Planet Bumi.
Berapa sih kenaikan suhu rata-rata bumi selama 200 tahun belakangan?
Dengan dilepaskannya jutaan karbon kuno melalui pembakaran fosil dalam 100-200 tahun
terakhir, suhu bumi sekarang udah meningkat sejauh mana sih? Kalo dibandingin dengan
sebelum Revolusi Industri, suhu rata-rata bumi kita sekarang telah naik hampir 1OC. Tapi kalo
kadar CO2 terus meningkat, suhu juga akan terus meningkat. Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC), sebuah badan yang disokong PBB berisi 1.300 ilmuwan ahli independen dari
berbagai negara, merilis laporan yang memprojeksikan kenaikan temperatur tersebut dari analisis
beberapa lab independen. Hasil analisis dari berbagai lab tersebut konsisten menunjukkan tren
yang sama. Berikut adalah prediksi dari berbagai lab tersebut jika diasumsikan umat
manusia tetap terus bergantung pada industri bahan bakar fosil.
IPCC juga melaporkan bahwa 90% perubahan di kadar CO2 dan suhu bumi sekarang disebabkan
oleh aktivitas manusia.
“Ah tapi kan suhu rata-rata bumi baru naik 1OC dibandingkan 200
tahun yang lalu. Kecil lah itu. Udah heboh sama bahan bakar fosil,
tapi nyatanya baru naik 1OC. Pfft..”
Nah, kalo gitu kita masuk pertanyaan selanjutnya: butuh perubahan suhu berapa derajat sih untuk
membuat kehidupan di bumi terancam?

Fakta 3. Tidak Perlu Perubahan Suhu Begitu Banyak untuk


Menciptakan Malapetaka bagi Kemanusiaan
18.000 tahun lalu, suhu rata-rata bumi 5OC lebih rendah dari suhu rata-rata bumi sekarang.
Dengan suhu 5OC lebih rendah dari sekarang, 18.000 tahun lalu, negara-negara di belahan utara
bumi, seperti Kanada, negara-negara Skandinavia, dan Inggris, ditutupi oleh es. Indonesia, masih
bersatu dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam satu daratan (Paparan Sunda). Inilah
keadaan bumi pada Ice Age terakhir tersebut.

sumber:
https://documentaryworldhistory.wikispaces.com/1.+Early+Human+History+to+the+Agricult
ural+Revolution

Kebalikannya, 100 juta tahun lalu, suhu rata-rata bumi 6-10OC lebih tinggi dari sekarang. Suhu
yang lebih tinggi 6-10OC dari sekarang, sudah cukup membuat semua es di bumi mencair. Saat
itu, seluruh kawasan di bumi bersifat tropis, tidak ada es di mana-mana, dan permukaan laut 200
meter lebih tinggi dari sekarang. Kebayang kan kekacauan yang akan terjadi jika perubahan
lingkungan sedrastis itu terjadi dalam periode waktu yang singkat?
Dengan keadaan suhu rata-rata bumi saat ini, manusia abad ke-21 berada di jendela waktu yang
cukup kecil, diilustrasikan lewat timeline (garis waktu) berikut.
Sejarah bumi dan ilustrasi timeline suhu di atas menunjukkan bahwa kenaikan/penurunan 1oC
saja itu sangat berarti. Perbedaan 1oC mungkin tidak terlalu berasa oleh kulit manusia, tapi yang
kita bicarakan di sini adalah alam dan keseimbangan planet kita secara keseluruhan.
Berikut adalah secuil ilustrasi dari dampak kenaikan suhu rata-rata Bumi yang sebenarnya udah
mulai kita rasakan juga sekarang.

 Kekeringan akan lebih banyak melanda berbagai wilayah yang nantinya ngaruh sama
persediaan air bersih, listrik, dan ketersediaan makanan.
 Pola hujan dan salju berubah sehingga cuaca makin susah ditebak. Ini adalah kabar
mengerikan bagi keberlangsungan sektor pertanian dan perikanan sebagai sumber pangan
kita.
 Lapisan es di darat dan laut mencair sehingga permukaan air laut naik. Ini akan mengancam
keberadaan beberapa kota di dunia dan mengurangi daerah pemukiman.
 Keasaman laut meningkat yang mengancam habitat laut. Jika eksistensi spesies laut
terancam karena laut menjadi lebih asam, sumber makanan manusia dari sektor kelautan
juga menjadi terbatas.
Ujung-ujungnya manusia juga deh yang pusing akibat dampak kenaikan suhu rata-rata
Bumi. Kalo bisa gua sederhanakan dalam silogisme logika berdasarkan tiga fakta yang gua
jabarkan di atas, kira-kira inilah runutan logikanya:

Diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Membakar bahan bakar fosil menciptakan malapetaka


OKay, kira-kira itulah ulasan gua terkait isu pemanasan global serta alasan kenapa penggunaan
bahan bakar fosil berpotensi mengancam peradaban manusia. Nah, sekarang kita masuk ke 1 isu
lagi yang memperkuat alasan kenapa kita harus segera meninggalkan ketergantungan pada bahan
bakar fosil.

ISU #2: KETERSEDIAAN BAHAN BAKAR FOSIL


TERBATAS
Ketika ditemukan pertama kali pada abad ke-19, bahan bakar fosil terlihat seperti harta karun
energi bawah tanah yang tiada habisnya. Kenyataannya, meskipun beberapa kali ditemukan
sumber baru, persediaan bahan bakar fosil bumi ini terbatas. Kapan sih kita bakal kehabisan
persediaan bahan bakar fosil?

Ga semudah itu jawabnya. Ada situs yang membuat laporan bahwa waktu kita terbatas seperti
terlihat pada grafik berikut.

CIA World Factbook mengingatkan kita bahwa ketika persediaan minyak dan gas alam udah
habis, penggunaan batu bara akan meningkat, semakin menipislah waktu kita untuk segera
berpikir untuk memakai sumber energi baru.
Sumber
gambar: https://www.ecotricity.co.uk/our-green-energy/energy-independence/the-end-of-
fossil-fuels

Tapi ada juga nih yang bilang kalo data-data di atas cuma merepresentasikan cadangan yang udah
ditemukan aja. Nyatanya, tiap tahun, kita menemukan cadangan bahan bakar fosil yang baru,
seperti minyak yang terkunci di pasir taratau cadangan hidrat metana yang melimpah di bawah
dasar laut. Memang sih, di satu sisi manusia juga mengembangkan teknologi baru untuk bisa
menjangkau cadangan-cadangan baru ini, seperti fracking atau pengeboran horizontal. Di satu sisi
mungkin emang bisa jadi kita ga bakal kehabisan bahan bakar fosil selama berabad-abad
mendatang.
Tapi masalahnya, kalo pun benar kita ga habis dalam waktu dekat, tapi suatu hari nanti mau gak
mau bahan bakar fosil pasti akan habis. Kenapa? Ya karena bahan bakar ini bukan seperti
tanaman yang bisa kita kendalikan siklus energinya untuk terus kita panen lagi, bukan juga
seperti hewan ternak yang terus bisa kita kembangkan. Bahan bakar fosil adalah sumber daya
yang terbatas yang ketersediaannya tidak bisa kita ciptakan ataupun kendalikan.

Di sisi lain, dengan semakin ditemukannya sumber energi bahan bakar fosil baru, kita juga
akan dihadapkan pada masalah serius lain, yaitu dari sisi ekonomi global. Lho kok bisa begitu?
Kalo lo update dengan dunia industri tambang baru-baru ini, mungkin lo sempat dengar ada
kebijakan layoff (PHK) oleh banyak perusahaan tambang karena ditemukan sumber cadangan
baru di US. Hal itu membuat, harga minyak di Arab menjadi turun agar tetap bisa bersaing
dengan industri baru di Amerika. Dengan semakin turunnya harga minyak dunia, industri ini pun
harus mengambil sikap tegas untuk bisa tetap bertahan.
Tapi apakah dengan terus ditemukan cadangan baru, harga minyak dunia akan terus turun? Ya
nggak juga. Awalnya aja turun, tapi lama-kelamaan harga akan merangkak naik lagi seiring
berkurangnya cadangan tersebut. Lalu, mau sampai kapan pula kita terus-terusan mengandalkan
cara tersebut? Apakah kita akan terus mencari dan mencari hingga akhirnya kita benar-benar
kehabisan? Kalo kita kehabisan persediaan bahan bakar fosil (kapanpun itu terjadi) dan dunia
masih sangat bergantung dengan bahan bakar fosil seperti sekarang, masalahnya akan terjadi
krisis ekonomi besar-besaran.
Ketika bahan bakar fosil menjadi semakin langka, harganya akan meroket. Kemudian, banyak
pihak yang akhirnya terdesak untuk buru-buru mengembangkan teknologi energi terbarukan. Tapi
semuanya sudah terlalu terlambat untuk mencegah krisis ekonomi global.

Intinya, at some point in the future, kita ga punya pilihan selain berhenti menggunakan
bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama karena 2 alternatif alasan: antara sumber
energinya sudah habis atau jadi sangat terlalu mahal.
Sekarang coba kita lihat diagram waktu di bawah ini:

Dulu sebelum revolusi industri di tahun 1800, kita nggak kenal tuh yang namanya bahan bakar
fosil. Energi yang kita gunakan masih terbatas. Semua yang kita pakai adalah energi yang
terbaharukan dan bersih. Ini digambarkan dengan warna hijau pada diagram di atas. Berikutnya
ketika kita mulai menemukan mesin uap, mobil, dan sebagainya, mulailah kita bergantung
dengan bahan bakar fosil. Ini digambarkan dengan warna hitam di diagram di atas. Sekarang
pertanyaannya adalah, kapan kita bisa mulai masuk ke zona warna kuning? Dan bagaimana
caranya? Nah, penjelasan tentang bagaimana kita bisa beralih dari era bahan bakar fosil ke era
energi yang berkelanjutan akan kita sambung di artikel ZeniusBlog selanjutnya.

Pada artikel ini, gue hanya ingin berbagi pengetahuan, terutama pada generasi muda, bahwa
pemanasan global dan perubahan iklim adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan peradaban
manusia. Sumber masalah terbesarnya terletak pada penggunaan bahan bakar fosil dengan 2 isu
mendasar yang meliputinya:
1. Membakar bahan bakar fosil membuat kadar CO2 di atmosfer naik. Dengan
peningkatan CO2 di atmosfer, maka suhu planet Bumi akan meningkat karena energi panas
matahari tertahan di atmosfer. Sementara itu, perubahan suhu sedikit saja ini cukup
mendatangkan musibah bagi peradaban manusia.
2. Bahan bakar fosil akan menjadi terlalu langka atau terlalu mahal untuk didapatkan jika kita
terus bergantung pada mereka sebagai sumber energi. Hal ini bisa menjadi potensi bahaya
yang baru, terutama dari sisi ekonomi global.
Pilihan yang kita buat sekarang dan pada beberapa dekade mendatang akan menentukan
peradaban manusia. Terus gimana solusi konkrit bagi kita semua agar bisa terlepas dari
malapetaka ini? Tunggu ceritanya di artikel berikutnya yak

Anda mungkin juga menyukai