Tibalah saatnya bagi gue untuk melanjutkan cerita gue tentang energi
setelah sebelumnya gue sempat menulis tentang Kisah Manusia Mengendalikan Energi. Kalo
di artikel sebelumnya, gue bercerita tentang sejarah manusia dalam mengendalikan sumber energi
di sekitarnya hingga akhirnya peradaban manusia modern saat ini jadi sangat bergantung pada
bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Nah, pada artikel ini gue akan melanjutkan
bercerita secara khusus tentang ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil (minyak
bumi, gas alam, batu bara) sekaligus dan juga berbagai isu tentang potensi bahaya yang bisa jadi
perlu kita hadapi kalo kita terus menerus bergantung pada sumber energi terbatas ini.
Di zaman modern seperti sekarang ini, kita bisa menikmati banyak banget bentuk kepraktisan
yang luar biasa. Dari mulai ketersediaan listrik sampai teknologi transportasi yang
memungkinkan kita bepergian jauh dalam waktu singkat. Zaman memang terus berkembang,
teknologi makin lama makin canggih, peradaban manusia makin maju seiring berjalannya waktu.
Kayaknya nanti ke depannya juga manusia makin pinter memanfaatkan energi supaya hidupnya
lebih praktis, iya gak sih? Sayangnya, jawabannya: BELUM TENTU.
Lho kok belum tentu? Bukannya peradaban manusia sekarang ini berjalan terus
makin maju?
Peradaban manusia (terutama dari sisi teknologi) memang berjalan terus maju sekarang ini. Tapi
kalo kita melihat dari perspektif yang lebih luas, peradaban manusia yang menawarkan segala
bentuk kepraktisan ini sebetulnya bertumpu pada sumber energi yang sangat 'ringkih'! Wah kok
bisa gitu, maksudnya gimana tuh?
Listrik yang milyaran orang nikmati sekarang ini tentunya gak muncul secara ajaib begitu saja,
tapi terbentuk dari mekanisme transformasi energi fisika. Begitu juga dengan cara kerja teknologi
transportasi, diperlukan sumber energi untuk membuat mesin kendaraan bisa nyala, dari mobil,
kapal laut, hingga pesawat terbang. Masalahnya sekarang adalah : tanpa kita sadari hampir semua
sumber energi yang membuat peradaban manusia maju ini ternyata bergantung pada pada bahan
bakar fosil yang bisa habis dalam waktu yang gak akan lama lagi. Sementara manusia terus
menghabiskan sumber energi ini tanpa mikir panjang ke depannya harus gimana.
Nah, dalam artikel ZeniusBlog kali ini, gua akan membahas secara detail tentang tantangan
peradaban manusia modern terkait ketergantungan kita terhadap sumber energi tidak-
terbaharukan serta beragam konsekuensinya termasuk kaitannya masalah lingkungan yang juga
gak kalah penting, yaitu isu global warming atau pemanasan global (selanjutnya disebut dengan
istilah PD). Okay, langsung aja yuk kita mulai pembahasannya, dimulai dengan pengertian bahan
bakar fosil!
Sebagian besar bahan bakar fosil kita terbentuk dari jasad renik tumbuhan, binatang, dan alga
yang hidup pada Periode Karbon (Carboniferous Period), sekitar 300 juta tahun tahun yang lalu
(100 juta tahun lebih tua dari periode Dinosaurus). 300 juta tahun yang lalu itu adalah masa
ketika terdapat banyak rawa besar dan dangkal di permukaan bumi. Keberadaan rawa amatlah
penting karena memperbesar kemungkinan untuk mempertahankan kondisi utuh organisme yang
telah mati. Jasad renik tidak akan bisa jadi bahan bakar fosil jika mati di atas tanah kering karena
akan mudah terurai/membusuk. Tapi jika mati di dalam rawa dan tenggelam hingga ke dasarnya,
organisme Periode Karbon akan dengan cepat tertutup pasir dan tanah liat yang membuatnya
semakin terkubur ke dalam dengan potensi energi mereka yang masih utuh.
Setelah ratusan juta tahun, semua organisme itu tergencet di bawah panas dan tekanan yang hebat
dan terkonversi menjadi sumber energi yang berwujud padat, cair, atau gas, masing-masing
adalah batu bara (padat), minyak bumi (cair), dan gas alam (gas). Nah, ketiga bentuk sumber
energi inilah yang digunakan manusia UNTUK DIBAKAR. Lho kok dibakar? Iya, perlu dibakar
untuk bisa dikonversi ke bentuk energi yang lain, misalnya listrik dan tenaga penggerak piston,
dinamo, dll. Untuk lebih jelas terkait transformasi sumber energi bahan bakar, kamu bisa baca di
artikel :
Kisah Manusia Mengendalikan Energi
Menelusuri Konsep Energi Fisika
Setelah mengetahui pengertiannya, sekarang kita bisa masuk ke 2 isu yang meliputi penggunaan
bahan bakar fosil, yaitu:
Sumber:
http://blog.ucsusa.org/peter-frumhoff/global-warming-fact-co2-emissions-since-1988-764
Grafik di atas menunjukkan bahwa emisi karbon dari masa Revolusi Industri (1751 – 1905)
hanya memakan seporsi kecil dibandingkan emisi karbon manusia modern sekarang. Sangat
terlihat jelas, kalo setelah Revolusi Industri, emisi CO2 dari pembakaran fosil meningkat jauh. Ini
artinya semakin banyak karbon yang kita lepaskan/pancarkan ke atmosfer dalam 200 tahun
terakhir.
"Eh, tapi bukannya ada siklus karbon ya? Melalui siklus karbon,
karbon tadi seharusnya terserap kembali kan ke tumbuhan, tanah,
dan air?"
Memang ada karbon yang diserap kembali oleh tumbuhan, tanah, dan air (land sink dan ocean
sink). Tapi jumlah karbon yang terserap kembali masih lebih kecil daripada karbon yang kita
emisikan ke atmosfer. Datanya tersaji pada gambar berikut, di mana bisa kita lihat ada kelebihan
CO2 sekitar 4 gigaton di atmosfer yang tidak keserap balik oleh siklus karbon.
sumber:
https://www.carboncyclescience.us/sites/default/files/logos/GlobalCarbonCycleBudget2002-
2011-GCP-LeQuere-2012.png
Data di atas bisa kita perkuat lagi dengan melihat konsentrasi CO2 di atmosfer. Sejak
1958, ilmuwan Charles Keeling mulai mengukur konsentrasi CO2 di atmosfer dari sebuah
observatorium di Mauna Loa di Hawaii. Ini hasilnya:
Garis zig-zag
merah menunjukkan konsentrasi CO2 yang naik turun dalam setahun. Pada musim panas,
tumbuhan banyak menghisap CO2 untuk aktif-aktifnya berfotosintesis karena dapat banyak
paparan sinar matahari. Lalu, konsentrasi CO2 di atmosfer naik lagi pada musim dingin ketika
banyak daun tumbuhan yang mati, menyebabkan banyak karbon terurai lagi ke atmosfer. Tapi
jelas grafik di atas menunjukkan tren bahwa dari tahun ke tahun, konsentrasi CO2 terus
meningkat.
Selain itu, teknologi pengeboran es memungkinkan ilmuwan untuk mengumpukan data akurat
mengenai konsentrasi CO2selama 400.000 tahun terakhir. Kok bisa tau akurat dengan rentang
waktu selama itu? Iya, soalnya lapisan es di kutub itu adalah salah satu specimen paling murni
yang tidak terkontaminasi oleh perubahan kadar karbon. Jadi bisa dibilang sampel-sampel es di
kutub itu "merekam" kandungan karbon di atmosfir selama ratusan ribu tahun. Ini data yang
mereka temukan:
Selama ratusan
ribu tahun, rupanya konsentrasi CO2 di atmosfer naik turun antara 180-300 ppm (part per million)
selama 400.000 tahun terakhir, ga pernah melampaui 300. Tiba-tiba pada satu abad terakhir,
kadarnya melonjak hingga 403 ppm!Ini artinya, untuk setiap satu juta molekul di atmosfer, 403 di
antaranya sekarang adalah karbon dioksida. Konsentrasi CO2tertinggi dalam 400.000 tahun
terakhir.
Fakta 2. Ketika Kadar CO2 di Atmosfer Naik, Suhu Juga Ikut Naik
CO2 Sebagai Gas Rumah Kaca
Inti es yang digali ilmuwan tidak hanya menyingkap kadar CO2 dari ratusan ribu tahun lalu, tapi
juga mengungkap tren suhu bumi.
Garis warna biru adalah suhu planet Bumi, sementara garis hijau adalah kadar CO2 di atmosfer.
Rasanya sih ga sulit ya melihat korelasinya. Ketika kadar CO2 (garis hijau) meningkat, grafik
suhu juga ikut meningkat (warna biru). Begitu pula sebaliknya. Alasannya sih simpel. CO2 adalah
gas yang sifatnya mirip dengan rumah kaca. Makanya CO2 sering disebut dengan gas rumah kaca
(greenhouse gas). Kenapa sih disebut gas rumah kaca? Gue perlu ceritain dulu nih tentang rumah
kaca yang asli.
Rumah kaca beneran banyak digunakan untuk
bercocok tanam. Normalnya, ketika sinar matahari mengenai suatu benda, sinarnya akan
memantul kembali. Tapi kaca memungkinkan sinar matahari yang seharusnya mantul keluar,
malah terjebak dalam rumah kaca. Ini membuat suhu dalam rumah kaca tetap hangat dan
kondusif untuk pertumbuhan tanaman.
sumber: http://www.jc-
solarhomes.com/greenhouse_effect.htm
Ada beberapa bahan kimia di atmosfer kita yang bekerja persis banget seperti efek rumah kaca,
salah satunya adalah gas CO2. Ketika sinar matahari jatuh ke bumi, ketika mau memantul balik,
eh diblok oleh lapisan gas CO2 hingga menyebarkan sinarnya ke seluruh atmosfer, kejebak deh
energi mataharinya. Bumi pun menghangat.
sumber:
http://astrocampschool.org/greenhouse-effect/
sumber:
https://documentaryworldhistory.wikispaces.com/1.+Early+Human+History+to+the+Agricult
ural+Revolution
Kebalikannya, 100 juta tahun lalu, suhu rata-rata bumi 6-10OC lebih tinggi dari sekarang. Suhu
yang lebih tinggi 6-10OC dari sekarang, sudah cukup membuat semua es di bumi mencair. Saat
itu, seluruh kawasan di bumi bersifat tropis, tidak ada es di mana-mana, dan permukaan laut 200
meter lebih tinggi dari sekarang. Kebayang kan kekacauan yang akan terjadi jika perubahan
lingkungan sedrastis itu terjadi dalam periode waktu yang singkat?
Dengan keadaan suhu rata-rata bumi saat ini, manusia abad ke-21 berada di jendela waktu yang
cukup kecil, diilustrasikan lewat timeline (garis waktu) berikut.
Sejarah bumi dan ilustrasi timeline suhu di atas menunjukkan bahwa kenaikan/penurunan 1oC
saja itu sangat berarti. Perbedaan 1oC mungkin tidak terlalu berasa oleh kulit manusia, tapi yang
kita bicarakan di sini adalah alam dan keseimbangan planet kita secara keseluruhan.
Berikut adalah secuil ilustrasi dari dampak kenaikan suhu rata-rata Bumi yang sebenarnya udah
mulai kita rasakan juga sekarang.
Kekeringan akan lebih banyak melanda berbagai wilayah yang nantinya ngaruh sama
persediaan air bersih, listrik, dan ketersediaan makanan.
Pola hujan dan salju berubah sehingga cuaca makin susah ditebak. Ini adalah kabar
mengerikan bagi keberlangsungan sektor pertanian dan perikanan sebagai sumber pangan
kita.
Lapisan es di darat dan laut mencair sehingga permukaan air laut naik. Ini akan mengancam
keberadaan beberapa kota di dunia dan mengurangi daerah pemukiman.
Keasaman laut meningkat yang mengancam habitat laut. Jika eksistensi spesies laut
terancam karena laut menjadi lebih asam, sumber makanan manusia dari sektor kelautan
juga menjadi terbatas.
Ujung-ujungnya manusia juga deh yang pusing akibat dampak kenaikan suhu rata-rata
Bumi. Kalo bisa gua sederhanakan dalam silogisme logika berdasarkan tiga fakta yang gua
jabarkan di atas, kira-kira inilah runutan logikanya:
Ga semudah itu jawabnya. Ada situs yang membuat laporan bahwa waktu kita terbatas seperti
terlihat pada grafik berikut.
CIA World Factbook mengingatkan kita bahwa ketika persediaan minyak dan gas alam udah
habis, penggunaan batu bara akan meningkat, semakin menipislah waktu kita untuk segera
berpikir untuk memakai sumber energi baru.
Sumber
gambar: https://www.ecotricity.co.uk/our-green-energy/energy-independence/the-end-of-
fossil-fuels
Tapi ada juga nih yang bilang kalo data-data di atas cuma merepresentasikan cadangan yang udah
ditemukan aja. Nyatanya, tiap tahun, kita menemukan cadangan bahan bakar fosil yang baru,
seperti minyak yang terkunci di pasir taratau cadangan hidrat metana yang melimpah di bawah
dasar laut. Memang sih, di satu sisi manusia juga mengembangkan teknologi baru untuk bisa
menjangkau cadangan-cadangan baru ini, seperti fracking atau pengeboran horizontal. Di satu sisi
mungkin emang bisa jadi kita ga bakal kehabisan bahan bakar fosil selama berabad-abad
mendatang.
Tapi masalahnya, kalo pun benar kita ga habis dalam waktu dekat, tapi suatu hari nanti mau gak
mau bahan bakar fosil pasti akan habis. Kenapa? Ya karena bahan bakar ini bukan seperti
tanaman yang bisa kita kendalikan siklus energinya untuk terus kita panen lagi, bukan juga
seperti hewan ternak yang terus bisa kita kembangkan. Bahan bakar fosil adalah sumber daya
yang terbatas yang ketersediaannya tidak bisa kita ciptakan ataupun kendalikan.
Di sisi lain, dengan semakin ditemukannya sumber energi bahan bakar fosil baru, kita juga
akan dihadapkan pada masalah serius lain, yaitu dari sisi ekonomi global. Lho kok bisa begitu?
Kalo lo update dengan dunia industri tambang baru-baru ini, mungkin lo sempat dengar ada
kebijakan layoff (PHK) oleh banyak perusahaan tambang karena ditemukan sumber cadangan
baru di US. Hal itu membuat, harga minyak di Arab menjadi turun agar tetap bisa bersaing
dengan industri baru di Amerika. Dengan semakin turunnya harga minyak dunia, industri ini pun
harus mengambil sikap tegas untuk bisa tetap bertahan.
Tapi apakah dengan terus ditemukan cadangan baru, harga minyak dunia akan terus turun? Ya
nggak juga. Awalnya aja turun, tapi lama-kelamaan harga akan merangkak naik lagi seiring
berkurangnya cadangan tersebut. Lalu, mau sampai kapan pula kita terus-terusan mengandalkan
cara tersebut? Apakah kita akan terus mencari dan mencari hingga akhirnya kita benar-benar
kehabisan? Kalo kita kehabisan persediaan bahan bakar fosil (kapanpun itu terjadi) dan dunia
masih sangat bergantung dengan bahan bakar fosil seperti sekarang, masalahnya akan terjadi
krisis ekonomi besar-besaran.
Ketika bahan bakar fosil menjadi semakin langka, harganya akan meroket. Kemudian, banyak
pihak yang akhirnya terdesak untuk buru-buru mengembangkan teknologi energi terbarukan. Tapi
semuanya sudah terlalu terlambat untuk mencegah krisis ekonomi global.
Intinya, at some point in the future, kita ga punya pilihan selain berhenti menggunakan
bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama karena 2 alternatif alasan: antara sumber
energinya sudah habis atau jadi sangat terlalu mahal.
Sekarang coba kita lihat diagram waktu di bawah ini:
Dulu sebelum revolusi industri di tahun 1800, kita nggak kenal tuh yang namanya bahan bakar
fosil. Energi yang kita gunakan masih terbatas. Semua yang kita pakai adalah energi yang
terbaharukan dan bersih. Ini digambarkan dengan warna hijau pada diagram di atas. Berikutnya
ketika kita mulai menemukan mesin uap, mobil, dan sebagainya, mulailah kita bergantung
dengan bahan bakar fosil. Ini digambarkan dengan warna hitam di diagram di atas. Sekarang
pertanyaannya adalah, kapan kita bisa mulai masuk ke zona warna kuning? Dan bagaimana
caranya? Nah, penjelasan tentang bagaimana kita bisa beralih dari era bahan bakar fosil ke era
energi yang berkelanjutan akan kita sambung di artikel ZeniusBlog selanjutnya.
Pada artikel ini, gue hanya ingin berbagi pengetahuan, terutama pada generasi muda, bahwa
pemanasan global dan perubahan iklim adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan peradaban
manusia. Sumber masalah terbesarnya terletak pada penggunaan bahan bakar fosil dengan 2 isu
mendasar yang meliputinya:
1. Membakar bahan bakar fosil membuat kadar CO2 di atmosfer naik. Dengan
peningkatan CO2 di atmosfer, maka suhu planet Bumi akan meningkat karena energi panas
matahari tertahan di atmosfer. Sementara itu, perubahan suhu sedikit saja ini cukup
mendatangkan musibah bagi peradaban manusia.
2. Bahan bakar fosil akan menjadi terlalu langka atau terlalu mahal untuk didapatkan jika kita
terus bergantung pada mereka sebagai sumber energi. Hal ini bisa menjadi potensi bahaya
yang baru, terutama dari sisi ekonomi global.
Pilihan yang kita buat sekarang dan pada beberapa dekade mendatang akan menentukan
peradaban manusia. Terus gimana solusi konkrit bagi kita semua agar bisa terlepas dari
malapetaka ini? Tunggu ceritanya di artikel berikutnya yak