Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Endometriosis merupakan kondisi medis pada wanita yang ditandai dengan
tumbuhnya sel-sel endometrium di luar kavum uteri.1 Sel-sel endometrium yang
melapisi kavum uteri sangat dipengaruhi hormone wanita. Dalam keadaan normal,
sel-sel endometrium kavum uteri akan menebal selama siklus menstruasi berlangsung
agar nantinya siap menerima hasil pembuahan sel telur oleh sperma. Bila sel telur
tidak mengalami pembuahan, maka sel-sel endometrium yang menebal akan meluruh
dan keluar sebagai darah menstruasi.2 Endometriosis terjadi ketika suatu jaringan
normal dari lapisan uterus yaitu endometrium menyerang organ-organ di rongga
pelvis dan tumbuh disana. Jaringan endometrium yang salah tempat ini akan
menyebabkan iritasi di rongga pelvis dan menimbulkan gejala nyeri serta infertilitas.3
Pada endometriosis, sel endometrium yang semula berada dalam kavum uteri
migrasi/regurgitasi dan tumbuh di luar kavum uteri. Sel-sel dapat tumbuh dan migrasi
ke ovarium, tuba Falopii, belakang kavum uteri, ligamentum uterus, bahkan dapat
sampai ke usus dan vesika urinaria.4
Endometriosis muncul pada usia reproduktif. Angka kejadian endometriosis
mencapai 5-10 % pada wanita umumnya, dan lebih dari 50 % terjadi pada wanita
perimenopause. Selain itu juga 10% endometriosis ini dapat muncul pada wanita
yang memiliki riwayat endometriosis di keluarganya. Saudara perempuan dan anak
perempuan dari wanita yang menderita endometriosis berisiko 6-9 kali lebih besar
untuk berkembang menjadi endometriosis. Endometriosis menyebabkan nyeri
panggul kronis berkisar 70%. Resiko untuk menjadi kista endometriosis adalah 15-20
%, angka kejadian infertilitas berkisar 30-40 % dan resiko berubah menjadi ganas
0,7-1 %. Endometriosis yang sudah mendapatkan pengobatan yang optimum juga
memiliki angka kekambuhan sesudah pengobatan berkisar 30%.1
Jenis-jenis endometriosis menurut WHO berdasarkan ICD 10 yaitu,
Endometriosis Uterus, Endometriosis Ovarium, Endometriosis Tuba Falopi,
Endometriosis Pelvic Peritoneum, Endometriosis Rectivagina Septum dan Vagina,
Endometriosis Ususdan Endometriosis lainnya.
Kista ovarium terpuntir merupakan suatu kegawat daruratan ginekologi yang
di akibatkan oleh kista terpuntir pada tangkai vaskularnya sehingga menganggu
suplai darah dan dapat menimbulkan nyeri abdomen bagian bawah.5 Kista ovarium
yang besarnya lebih dari 4 cm risiko terjadinya terpuntir sekitar 15%. Torsi ovarium
mengakibatkan rotasi pada pedikel pembuluh darah ovarium yang menyebabkan
obstruksi vena yang pada akhirnya dapat menjadi infark.6 Pada kasus torsio,
umumnya ovarium dan tuba falopii berputar mengelilingi ligament latum sebagai
sebuah unit tunggal. Namun terkadang, hanya ovarium yang berputar mengeliling
mesovarium ataupun tuba falopii mengeliling mesosalfing. Torsi bias terjadi pada
jaringan adneksa normal, namun dalam 50-80% kasus ditemukan massa ovarium
unilateral.7
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1. INDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny. DYS Nama suami : Tn. N
Umur : 33 Tahun Umur : 36 Tahun
Pendidikan : SLTA Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Dumai Alamat : Dumai
No. MR : 01015493

Masuk RS : 26-05-2019 Jam 17.00 WIB


No.MR : 01015493

2.2. ANAMNESA
Pasien masuk lewat poliklinik kebidanan dengan keluhan nyeri perut bagian
bawah kiri sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit

2.2.1 Keluhan Utama :


Nyeri perut bagian bawah kiri sejak 1 bulan SMRS

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang :


Nyeri perut bagian bawah kiri dirasakan pasien sejak 1 bulan SMRS. Nyeri
hilang timbul dan menjalar ke pinggang kiri. Selain nyeri, perut pasien juga terasa
keras ketika diraba. Pasien juga mengeluhkan adanya benjolan sebesar telur bebek
dan semakin membesar hingga sebesar kepala bayi di perut bagian bawah kirinya.
Keluar darah dari kemaluan tidak ada, keputihan tidak ada. Pasien mengaku senang
mengonsumsi makanan cepat saji. Riwayat diurut-urut ada. Pasien pernah berobat ke
RSUD Dumai dan dikatakan terkena kista ovarium. Pasien dirawat di RSUD Dumai
selama tiga hari, sebulan kemudian pasien kembali dirawat di RSUD Dumai dan
dikatakan ukuran ovarium pasien membesar. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD AA
untuk dioperasi.

2.2.3 Riwayat Haid :


Menarche usia 12 tahun, teratur setiap bulan, selama 7-8 hari, 2-3 kali ganti
pembalut perhari, nyeri haid (+), setelah sakit, pasien mengeluhkan haid tidak teratur
dan nyeri haid dirasa sangat mengganggu terlebih saat diakhir haid, pasien juga
mengaku haid yang banyak, dan pasien juga meminum Bodrex saat haid.

2.2.4 Riwayat Perkawinan :


Pasien menikah 1x pada tahun 2003. Usia saat menikah 17 tahun.

2.2.5 Riwayat Persalinan


1. Tahun 2003, laki-laki, cukup bulan, pervaginam, 2500gr, bidan, hidup.

2.2.6 Riwayat Pemakaian Kontrasepsi:


Pasien menggunakan kontrasepsi injeksi setiap 3 bulan namun tidak teratur,
kemudian dilanjutkan dengan meminum pil tapi tidak teratur selama 6 tahun.

2.2.7 Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat Hipertensi (+), DM (-), Penyakit jantung (-), Asma(-), Alergi(-).

2.2.8 Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat Hipertensi (+), DM (-), Penyakit jantung (-), Asma(-), Alergi(-)
keganasan(-), kista ovarium (-), gangguan menstruasi (-)

2.2.9 Riwayat Operasi Sebelumnya:


Tidak ada.
2.2.10 Riwayat Sosial :
Pasien seorang ibu rumah tangga dan suami bekerja sebagai wiraswasta.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
TB : 157cm
BB : 71,15kg
IMT : 29,64 (obesitas 1)
Tekanan darah : 170/100 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,50C
Status generalis
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-), retraksi palpebra
(-), mata cekung (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Jantung : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler kedua lapang paru, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Status ginekologi
Genitalia : Status ginekologi
Ekstremitas : akralhangat, CRT < 2 detik, edema (-).

Status ginekologi
Muka : pucat (-)
Mamae: Hiperpigmentasi aerola (-), nyeri (-), bengkak (-)
Axilla : Tidak ada kelainan
Abdomen :
- Inspeksi : Perut datar, tidak tampak benjolan, striae (-)
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Palpasi : teraba masa di kuadran kiri bawah sebesar kepala bayi
dengan konsistensi kistik, permukaan licin, batas tegas,
mobilitas (+), teraba nyeri pada saat digoyangkan (+), nyeri
lepas (-), defance muscular (-)
- Perkusi : Timpani pada seluruh lapangan perut

Genitalia :
- Inspeksi : Vulva/muara uretra tenang, perdarahan aktif (-)
- Inspekulo :vulva dan vagina tenang,
portio kenyal, permukaan licin, OUE tertutup,fluksus (-), erosi(-), laserasi (-),
polip (-), massa (-)fluor albus (-)
- Pemeriksaan Dalam/Bimanual :vagina tenang, portio kenyal, permukaan licin,
OUE tertutup, korpus uteri tidak teraba, teraba masa kistik di adneksa sinistra,
kavum douglas menonjol.
- RT : Tidak dilakukan

2.4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN BILA SUDAH ADA


1. Darah rutin ( 03 Mei 2019 jam 14.39 WIB)
HB : 11,4 gr/dl
HT : 36,5,9 %
Leukosit : 9.970 /µL
Trombosit : 541.000 /µL
PT : 13,6 detik
APTT : 33.1 detik
Albumin : 4,2 g/dL
AST : 13 U/L
ALT : 13 U/L
GDS : 115 g/dL
Ureum : 19,0 mg/dL
Kreatinin : 0,80 mg/dL
Ca 125 : 57,34 U/mL
Hasil USG
 Uterus ante fleksi
 Endometrium ketebalan 9,9 mm
 Adnexa dalam batas normal
 Ovarium kiri ukuran 9 x 9,67 mm dengan tepi irreguler
 Kesan : suspek kista dermoid dengan echoes internal inhomogen
dengan bagian endometriosis

2.5. DIAGNOSIS KERJA


Kista dermoid dan kista ovarium kanan
Hiperplasia endometrium

2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK YANG DIUSULKAN:

1. USG Abdomen

2.7. USULANTERAPI
 Laparaskopi diagnostik, laparatomi SOS dan kuretase PA

2.8. PROGNOSA
Dubia

Pada tanggal 27 Mei 2019 pukul 12.25 WIB dilakukan laparoskopi diagnostik dan
laparotomi SOS pada pasien ini, berikut laporan operasinya:
Diagnosis pre operasi : Kista dermoid dan kista ovarium kanan dan
Hiperplasia endometrium
Diagnosis post operasi : post laparoskopi diagnostik dan laparotomi SOS a/i
kista coklat ovarium kiri torsi dan kistektomi diagnosis a/i kista lutei
ovarium kanan + post kuretase PA a/i hiperplasia endometrium +
omektektomi + HT + infertil sekunder
 Inspekulo = erosi, grade 7-8. Kuretase  hiperplasia endometrium
 Dilakukan laparoskopi  tampak masa kistik dengan permukaan adhesi
ke ovarium dari ovarium kiri. Kesan masa kistik torsi dengan adhesi
ukuran masa > 15 cm tepi ireguler, licin diputuskan laparotomi  masa
mediana
 Eksplorasi asal masa ovarium kiri yang torsi dengan 6x putaran pada
tangkai, tuba edema, dan pada saat akan di salfingooforektomi keluar pus
dari tuba kiri
 Dilakukan SOS  PA
 Dilanjutkan kistektomi dextra  kista lutei punksi kista-kista folikel
 Tuba dextra dalam batas normal  test tuba dexra (+)
 Uterus dalam batas normal < dilakukan omentektomi  jahit, ligasi,
pastikan tidak ada perdarahan baru  cuci ronggan abdomen, lepas alat
 Dilakukan penjahitan dinding abdomen l/d/e
2.9. FOLLOW UP

Tanggal 26 Mei 2019 (Jam 17:00 WIB)


S = nyeri pada perutbagian kiri bawah (+) perdarahan dari kemaluan (-)
O = TD : 130/100 mmHg HR : 96 x/i, RR : 22 x/i, T : 36,8⁰C
Pemeriksaan fisik :
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Cor : S1 dan S2 reguler, mur-mur (-) s3 gallop (-)
- Abdomen : perut datar, BU (+) , teraba masa di kuadran kiri bawah sebesar
telur bebek dengan konsistensi kistik, permukaan licin, batas tegas, terfiksir,
nyeri tekan (+), nyeri lepas (-), defance muscular (-) timpani seluruh lapangan
abdomen
A= kista dermoid dan kista coklat ovarium kanan + hiperplasia endometrium
P= Observasi KU/TTV
Rencana laparoskopi diagnostik dan laparotomi SOS 27/5/2019
Anti biotik preop inj. Cefazoline 2 gr i.v
Dulcolax tab no II
Dulcolax supp
klisma

Tanggal 27 Mei 2019 (Jam 15:00 WIB)


S = nyeri pada bekas operasi (+)
O = TD : 128/83 mmHg HR : 94 x/i, RR : 24 x/i, T : 36,8⁰C
Pemeriksaan fisik :
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Cor : S1 dan S2 reguler, mur-mur (-) s3 gallop (-)
Abdomen : perut datar, BU (-) tampak luka operasi tertutup perban, bersih
tidak ada rembesan darah, nyeri (+)
A= post laparoskopi diagnostik dan laparotomi SOS a/i kista coklat ovarium kiri
torsi dan kistektomi diagnosis a/i kista lutei ovarium kanan + post kuretase
PA a/i hiperplasia endometrium + omektektomi + HT + infertil sekunder
P= Observasi KU/TTV
Pronalges supp 3 x 1
Inj. Furamin 2 x 1 amp
Kalnex 3 x 1 amp
Cek DPL postop

Tanggal 28 Mei 2019 (Jam 06:00 WIB)


S = nyeri pada bekas operasi (+)
O = TD : 120/80 mmHg HR : 88 x/i, RR : 22 x/i, T : 36,5⁰C
Pemeriksaan fisik :
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Cor : S1 dan S2 reguler, mur-mur (-) s3 gallop (-)
Abdomen : perut datar, BU (+) , 8 x/menit, abdomen supel, tampak bekas
operasi tertutup perban, bersih dan tidak ada rembesan darah.
Laboratorium post op:
Hb : 12, 3 gr/dL
Leukosit : 17.440 /µL
HT : 38,9 %
PLT : 331.000 /µL
A= Post laparoskopi diagnostik dan laparotomi SOS a/i kista coklat ovarium kiri
torsi dan kistektomi diagnosis a/i kista lutei ovarium kanan + post kuretase
PA a/i hiperplasia endometrium + omektektomi + HT + infertil sekunder
P= Observasi KU/TTV
Diet ML
Aff infus dan DC
Na. Diclofenac 3 x 50 mg
As. Traneksamat 3 x 500 mg
Mobilisasi
Tanggal 28Mei 2019 (Jam 15:00)
S = nyeri pada bekas operasi (+)
O = TD : 130/80 mmHg HR : 88 x/i, RR : 20 x/i, T : 36,8⁰C
Pemeriksaan fisik :
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Cor : S1 dan S2 reguler, mur-mur (-) s3 gallop (-)
Abdomen : perut datar, BU (+) , 10 x/menit, abdomen supel, tampak bekas
operasi tertutup perban, bersih dan tidak ada rembesan darah.
A= post laparoskopi diagnostik dan laparotomi SOS a/i kista coklat ovarium kiri
torsi dan kistektomi diagnosis a/i kista lutei ovarium kanan + post kuretase PA
a/i hiperplasia endometrium + omektektomi + HT + infertil sekunder
P= Observasi KU/TTV
Diet ML
Na. Diclofenac 3 x 50 mg
As. Traneksamat 3 x 500 mg
Mobilisasi

Tanggal 29 Mei 2019 (Jam 06.00)


S = nyeri pada bekas operasi (-)
O = TD : 140/80 mmHg HR : 96 x/i, RR : 20 x/i, T : 36,5⁰C
Pemeriksaan fisik :
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Cor : S1 dan S2 reguler, mur-mur (-) s3 gallop (-)
Abdomen : perut datar, BU (+) , 8 x/menit, abdomen supel, tampak bekas
operasi tertutup perban, bersih dan tidak ada rembesan darah, nyeri (-)
A= post laparoskopi diagnostik dan laparotomi SOS a/i kista coklat ovarium kiri
torsi dan kistektomi diagnosis a/i kista lutei ovarium kanan + post kuretase
PA a/i hiperplasia endometrium + omektektomi + HT + infertil sekunder
P= Diet ML
Na. Diclofenac 3 x 50 mg
As. Traneksamat 3 x 500 mg
Mobilisasi
Pasien boleh pulang  kontrol tanggal 12 juni 2019 ke kepoliklinik fer, ambil
hasil PA tanggal 21 Juni 2019
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Endometriosis
3.1.1 Definisi
Endometriosis merupakan kelainan ginekologik jinak yang sering diderita
oleh perempuan usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula dan stoma
endometrium di luar letaknya yang normal. Endometriosis merupakan penyakit yang
pertumbuhannya tergantung pada hormon esterogen.8
3.1.2 Klasifikasi
Secara umum endometriosis dapat terbagi atas 2, yaitu:8
1. Endometriosis uteri dan adenomiosis
Endometriosis uteri adalah suatu keadaan di mana jaringan
endometrium ang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri.
Jaringan ini yang terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma terdapat di
dalam miometrium ataupun di luar uterus, bila jaringan endrometrium
terdapat di dalam miometrium disebur adenomiosis.
2. Endometriosis eksterna
Endometriosis eksterna adalah suatu kelainan di mana dijumpai adanya
kelenjar dan stroma endometrium di luar rongga uterus, terutama
tumbuh di rongga pelvik, ovarium, kavum Douglasi, dan jarang sekali
ke rectum dan kandung kemih. Faktor risiko terutama yang terjadi
pada perempuan yang haidnya banyak dan lama, perempuan yang
menarkenya pada usia dini, perempuan dengan kelainan saluran
Mulleri.
Berdasarkan The American Society of Reproductive Medicine
(ASRM), endometriosis dapat diklasifikasikan berdasarkan stadiumnya,
dapat dilihat pada Tabel. 3.1.
Tabel 3.1 Klasifikasi Endometriosis berdasarkan ASRM9
Stadium Keterangan
Stadium I (skor 1 – 5)  Minimal
 Implantasi sedikit di superfisial
Stadium II (skor 6 – 15)  Ringan
 Implantasi lebih banyak dan lebih dalam
Stadium III (skor 16 – 40)  Sedang
 Implantasi banyak
 Terdapat kista kecil pada satu atau kedua
ovarium
 Mulai terjadi adhesi
Stadium (skor >40)  Berat
 Impalnatasi banyak
 Terdapat kista besar pada satu atau kedua
ovarium
 Adanya adhesi yang banyak

Endometriosis Foundation of America (EndoFound) mengklasifikasikan


endometriosis berdasarkan lokasi anatomisnya di pelvik dan rongga
abdomen, sebagai berikut:10
1. Kategori 1: Peritoneal endometriosis
Bentuk endometriosis yang paling minimal di mana peritoneum,
membran yang melapisi perut, diinfiltrasi oleh jaringan endometriosis.
2. Kategori 2: Ovarian Kista endometriosiss (chocolate cyst)
Endometriosis yang sudah terbentuk di dalam ovarium. Dikenal
sebagai kista coklat.
3. Kategori 3: Deep Infiltrating Endometriosis I (DIE I)
Bentuk pertama dari endometriosis infiltrasi dalam melibatkan organ-
organ di dalam rongga panggul. Ini dapat mencakup ovarium, rektum,
rahim, dan bahkan dapat menyebabkan kasus drastis seperti "frozen
pelvis."
4. Kategori 4: Deep Infiltrating Endometriosis II (DIE II)
Bentuk DIE lain yang lebih ekstrem melibatkan organ-organ di dalam
maupun di luar rongga panggul. Ini bisa termasuk usus, usus buntu,
diafragma, jantung, paru-paru, dan bahkan otak.
Berdasarkan International Statiscial Classification of Diseases and
Related Health Problems revisi ke 10 atau disingkat dengan ICD-10,
endometriosis dapat diklasifikasikan sebagai berikut, dapat dilihat pada Tabel.
3.2.
Tabel 3.2 Klasifikasi Endometriosis berdasarkan ICD-1011
N80 Endometriosis
N80.0 Endometriosis of uterus
Adenomyosis

N80.1
Endometriosis of ovary

N80.2 Endometriosis of fallopian tube

N80.3 Endometriosis of pelvic peritoneum

N80.4 Endometriosis of rectovaginal septum and


vagina

N80.5 Endometriosis of intestine

N80.6 Endometriosis in cutaneous scar

N.80.8 Other endometriosis


Endometriosis of thorax

N80.9 Endometriosis, unspecified


3.1.2.1 Kista endometriosis
3.1.2.1.1 Definisi
Kista endometriosis adalah kista ovarium yang terbentuk dari
endometriosis, yang merupakan kista jinak yang terjadi akibat dependen esterogen
pada wanita usia produktif.1 Kista endometriosis mengandung darah tua kental yang
muncul sebagai cairan coklat, sehingga sering disebut dengan kista coklat. Kista
endometriosis terjadi pada 17 – 40% wanita dengan endometriosis.5,6

Gambar 3.1 Kista endometriosis7

Gambar 3.2 Kista coklat setelah dieksisi5

3.1.2.1.2 Patogenesis
Patogenesis kista endometriosis masih kontroversial, tetapi ada tiga teori
utama:6,9
a. Invaginasi korteks ovarium sekunder akibat perdarahan implan superfisial
Teori pertama dijelaskan oleh Hughesdon pada tahun 1957, di mana ia
menukan bahwa implan endometrium yang terletak di permukaan ovarium,
adalah penyebab kista endometriosis. Menurut teori Hughesdon, pelepasan
darah menstruasi dan pendarahan implan endometrium terperangkap dan
menyebabkan invaginasi bertahap pada korteks ovarium, yang
menghasilkan psuedocyst. Brosens et al., dalam perjanjian dengan
Hughesdon, melaporkan pelepasan menstruasi dan akumulasi darah di
lokasi implan melalui ovariskopi. Teori ini penting dalam pengobatan kista
endometriosis karena korteks ovarium adalah permukaan internal dinding
psuedocyst, dengan demikian korteks ovarium akan hilang selama eksisi .
b. Invaginasi korteks ovarium sekunder akibat metaplasia epitel coelom pada
kista inklusi kortikal
Teori kedua dalam patogenesis kista endometriosis dijelaskan oleh
Donnez et al. pada tahun 1996 dan menunjukkan bahwa invaginasi kista
endometriosis bukan karena pendarahan implan, melainkan disebabkan
oleh metaplasia dari epitel coelom yang diinvaginasi ke dalam korteks
ovarium. Donnez et al. menunjukkan bahwa potensi penyebab kekambuhan
setelah eksisi kista endometriosis atau penguapan disebabkan oleh
invaginasi jaringan endometriotik ke dalam ovarium.
c. Transformasi endometriotik dari kista fungsional.
Teori terakhir menyatakan bahwa kista endometriosis dibentuk oleh
transformasi endometriotik dari kista fungsional dan pertama kali dijelaskan
oleh Nezhat et al. pada tahun 1992.

3.1.2.1.3 Gejala Klinis


Kista endometriosis dapat terjadi secara unilateral dan bilateral, dan sekitar
28% pasien kista endometriosis memiliki kista endometriosis bilateral. Wanita
dengan kista endometriosis memiliki banyak gejala yang sama dengan wanita dengan
endometriosis, termasuk dispareunia dan / atau subfertilitas. Salah satu masalah
potensial dengan perawatan kista endometriosis adalah adanya lesi endometriotik
pelvis lainnya. Satu studi melaporkan bahwa hanya 19 dari 1785 pasien (1,06%) yang
memiliki kista endometriosis tanpa endometriosis panggul lainnya. Fauconnier et al.
menemukan bahwa kista endometriosis tidak berkontribusi terhadap nyeri panggul
kronis, tetapi sangat terkait dengan endometriosis infiltrasi dalam, yang diketahui
menyebabkan nyeri panggul kronis. Kista endometriosis dapat menjadi lebih berat
dengan pembentukan adhesi yang dapat memperbaiki organ panggul. Fiksasi organ
pelvis dapat merusak lokasi anatomi dan mengurangi kesuburan alami.6
Gejala klinis kista endometriosis:1,2
a. Disminorea
Nyeri haid yang disebabkan oleh reaksi peradangan akibat sekresi sitokin
dalam rongga peritoneum, akibat perdarahan lokal pada sarang
endometriosis dan oleh adanya infiltrasi endometriosis ke dalam saraf pada
rongga panggul.
b. Nyeri pelvik
Akibat perlengketan, lama-lama dapat mengakibatkan nyeri pelvic yang
kronis. Rasa nyeri bisa menyebar jauh ke dalam panggul, punggung, dan
paha bahkan menjaar sampai ke rektum, serta diare.
c. Dispareunia
Gejala yang sering timbul terutama bila endometriosis sudah tumbuh di
sekitar kavum douglasi dan ligamentum sakrouterina, dan terjadi
perlengketan sehingga uterus dalam posisi retrofleksi.
d. Diskezia
Keluhan sakit buang air besar bila endometriosis sudah tumbuh dalam
dinding rektosigmoid dan terjadi hematoskezia pada saat siklus haid.
e. Subfertilitas
Endometriosis meningkatkan volume cairan peritoneal, peningkatan
konsentrasi makrofag yang teraktivasi, prostaglandin, interleukin-1, tumor
nekrosis factor dan protease. Cairan peritoneum mengandung inhibitor
penangkap ovum yang menghambat interaksi normal fimbrial cumulus.
Perubahan ini dapat memberikan efek buruk bagi oosit, sperma, embrio,
dan fungsi tuba. Kadar tinggi nitric oxidase akan memperburuk motilitas
sperma, implantasi, dan fungsi tuba.

3.1.2.1.4 Diagnosis
Gold standar untuk menegakan diagnosis kista endometriosis adalah
laparoskopi.6 Namun, USG transvaginal dapat membantu dalam diagnosis awal dan
membantu membedakan kista endometriosis dari tumor ovarium jinak lainnya,
dimana pada kista endometriosis tampak gambaran homeogenous low-level internal
echoes dan dinding yang tebal.6,9 Van Holsbeke et al. melaporkan bahwa variabel
USG terbaik untuk membedakan antara kista endometriosis dan massa adneksa
lainnya pada wanita premenopause adalah echogenicity kaca bundar dari cairan kista,
dengan sensitivitas 73% dan spesifisitas 94%. Guerriero et al. menemukan bahwa
USG transvaginal mampu mendeteksi keberadaan adhesi panggul pada pasien dengan
kista endometriosis, dan identifikasi adhesi panggul dapat membantu menentukan
pengobatan yang tepat. Color Doppler mengidentifikasi vaskularisasi massa, dan
kista endometriosis biasanya memiliki aliran darah perifer. Ultrasonografi 3D
menjadi semakin populer dalam praktik klinis, Alcazar et al. melaporkan bahwa pada
wanita premenopause, USG B-mode dengan penggunaan nilai rata-rata abu-abu
memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 91% dalam membedakan kista
endometriosis dari kista unilokular lainnya. MRI selanjutnya dapat membantu
diferensiasi kista endometriosis dan kista ovarium lainnya.6
Gambar 3.3 Gambaran USG kista endometriosis5

3.1.2.1.5 Tatalaksana
Ada beberapa modalitas untuk terapi kista endometriosis, yaitu terapi
medis dan terapi pembedahan.8,9
1) Terapi medis
Terapi medis yang dapat diberikan seperti hormon androgen,
progesteron, kontrasepsi oral, agonis GnRH (gonadotropin-releasing
hormone).1,8 Kista endometriosis ukurannya ≥ 3 cm diketahui tidak
merespon dengan baik terhadap terapi medis. Sangat sedikit penelitian
yang menunjukkan efek terapi medis murni pada kista endometriosis.9
Crikel et al, Dmowski et al, dan Rana et al membandingkan efek
danazol dan GnRH-a pada kista endometriosis, ditemukan penurunan
ukuran sekitar 40% hingga 57% pada kista endometriotik dan tidak
menemukan perbedaan antara 2 obat ini dalam mengurangi ukuran kista
endometriosis. Namun, Donnez et al menunjukkan penurunan 25%
diameter kista setelah pemberian GnRH-a bila dibandingkan dengan
plasebo. 1,9
Terapi medis dapat meningkatkan gejala nyeri panggul dan
dispareunia, dan mengganggu terapi infertilitas. Di sisi lain, ada risiko kecil
kanker pada kista endometriosis yang tertinggal. Meskipun ada penurunan
57% ukuran kista endometriosis setelah pemberian terapi medis, namun
cara paling efektif untuk mengobati pasien ini adalah metode bedah.9
2) Terapi pembedahan
Terapi pembedahan yang dapat dilakukan diantaranya:6,8,9
a. Aspirasi USG
b. Aspirasi + skleroterapi
c. Terapi dengan laparoskopi, yaitu:
(a) Terapi konservatif: aspirasi laparoskopi kistektomi (stripping
method), drainase dan penghancuran lapisan dalam, atau fenestrasi
dan koagulasi.
(b) Terapi radikal: ovariektomi atau salpingooforektomi.
d. Terapi dengan laparotomi.

3.1.3 Patogenesis endometriosis


Teori tentang terjadinya endometriosis adalah sebagai berikut:
a. Teori retrograde menstruasi
Teori pertama yaitu teori retrograde menstruasi, juga dikenal sebagai
teori implantasi jaringan endometrium yang viable (hidup) dari Sampson.
Teori ini didasari atas 3 asumsi:4,10
a. Terdapat darah haid berbalik melewati tuba falopii
b. Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut hidup dalam
rongga peritoneum
c. Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut dapat menempel
ke peritoneum dengan melakukan invasi, implantasi dan proliferasi.

Teori diatas berdasarkan penemuan:4,10


a. Penelitian terkini dengan memakai laparoskopi saat pasien sedang
haid, ditemukan darah haid berbalik dalam cairan peritoneum pada 75-
90% wanita dengan tuba falopii paten.
b. Sel-sel endometrium dari darah haid berbalik tersebut diambil dari
cairan peritoneum dan dilakukan kultur sel ternyata ditemukan hidup
dan dapat melekat serta menembus permukaan mesotelial dari
peritoneum.
c. Endometriosis lebih sering timbul pada wanita dengan sumbatan
kelainan mulerian daripada perempuan dengan malformasi yang tidak
menyumbat saluran keluar dari darah haid.
d. Insiden endometriosis meningkat pada wanita dengan permulaan
menars, siklus haid yang pendek atau menoragia.
b. Teori metaplasia soelomik
Teori ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Meyer.
Teori ini menyatakan bahwa endometriosis berasal dari perubahan metaplasia spontan
dalam sel-sel mesotelial yang berasal dari epitel soelom (terletak dalam peritoneum
dan pleura). Perubahan metaplasia ini dirangsang sebelumnya oleh beberapa faktor
seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksi lainnya. Teori ini dapat
menerangkan endometriosis yang ditemukan pada laki-laki, sebelum pubertas dan
gadis remaja, pada wanita yang tidak pernah menstruasi, serta yang terdapat di tempat
yang tidak biasanya seperti di pelvik, rongga toraks, saluran kencing dan saluran
pencernaan, kanalis inguinalis, umbilikus, dimana faktor lain juga berperan seperti
transpor vaskular dan limfatik dari sel endometrium.4,10

c. Teori transplantasi langsung


Transplantasi langsung jaringan endometrium pada saat tindakan yang
kurang hati-hati seperti saat seksio sesaria, operasi bedah lain, atau perbaikan
episiotomi, dapat mengakibatkan timbulnya jaringan endometriosis pada bekas parut
operasi dan pada perineum bekas perbaikan episiotomi tersebut.10
d. Teori genetik dan imun
Semua teori diatas tidak dapat menjawab kenapa tidak semua wanita yang
mengalami haid menderita endometriosis, kenapa pada wanita tertentu penyakitnya
berat, wanita lain tidak, dan juga tidak dapat menerangkan beberapa tampilan dari
lesi. Penelitian tentang genetik dan fungsi imun wanita dengan endometriosis dan
lingkungannya dapat menjawab pertanyaan diatas.4,10
Endometriosis 6-7 kali lebih sering ditemukan pada hubungan keluarga ibu
dan anak dibandingkan populasi umum, karena endometriosis mempunyai suatu dasar
genetik. Matriks metaloproteinase (MMP) merupakan enzim yang menghancurkan
matriks ekstraseluler dan membantu lepasnya endometrium normal dan pertumbuhan
endometrium baru yang dirangsang oleh estrogen. Tampilan MMP meningkat pada
awal siklus haid dan biasanya ditekan oleh progesteron selama fase sekresi. Tampilan
abnormal dari MMP dikaitkan dengan penyakit-penyakit invasif dan destruktif. Pada
wanita yang menderita endometriosis, MMP yang disekresi oleh endometri-um luar
biasa resisten (kebal) terhadap penekanan progesteron. Tampilan MMP yang menetap
didalam sel-sel endometrium yang terkelupas dapat mengakibatkan suatu potensi
invasif terhadap endometrium yang berbalik arah sehingga menyebabkan invasi dari
permukaan peritoneum dan selanjutnya terjadi proliferasi sel.4,10
Pada penderita endometriosis terdapat gangguan respon imun yang
menyebabkan pembuangan debris pada darah haid yang membalik tidak efektif.
Makrofag merupakan bahan kunci untuk respon imun alami, bagian sistem imun yang
tidak antigen-spesifik dan tidak mencakup memori imunologik. Makrofag
mempertahankan tuan rumah melalui pengenalan, fagositosis, dan penghancuran
mikroorganisme yang jahat dan juga bertindak sebagai pemakan, membantu untuk
membersihkan sel apoptosis dan sel-sel debris. Makrofag mensekresi berbagai
macam sitokin, faktor pertumbuhan, enzim dan prostaglandin dan membantu fungsi-
fungsi faktor diatas disamping merangsang pertumbuhan dan proliferasi tipe sel yang
lain. Makrofag terdapat dalam cairan peritoneum normal dan jumlah serta aktifitasnya
meningkat pada wanita dengan endometriosis. Pada penderita endometriosis,
makrofag yang terdapat di peritoneum dan monosit yang beredar teraktivasi sehingga
penyakitnya berkembang melalui sekresi faktor pertumbuhan dan sitokin yang
merangsang proliferasi dari endometrium ektopik dan menghambat fungsi
pemakannya. Natural killer juga merupakan komponen lain yang penting dalam
proses terjadinya endometriosis, aktifitas sitotoksik menurun dan lebih jelas terlihat
pada wanita dengan stadium endometriosis yang lanjut.4,10

3.1.4 Tatalaksana endometriosis


Semua tipe terapi medikamentosa kecuali analgetik, efektif dalam
menurunkan nyeri yang disebabkan oleh endometriosis. Terapi medikomentosa tidak
memperbaiki fertilitas. Jika fertilitas merupakan prioritas, maka pembedahan
konservatif efektif dalam menurunkan nyeri pelvik akibat endometriosis dan baik
dalam meningkatkan kesempatan untuk hamil.11 Terapi medikamentosa sering
menjadi lini pertama dalam mengobati nyeri pelvik.12

Tabel 3.2 Terapi medikamentosa endometriosis12

Tujuan pembedahan adalah untuk menghilangkan atau menghancurkan


endometriosis yang terlihat dan / atau teraba dengan tujuan khusus untuk
memperbaiki nyeri panggul dan meningkatkan kesuburan. Tingkat operasi tergantung
pada gejala pra operasi, keparahan penyakit, keinginan pasien dan kebutuhan untuk
persetujuan. Sebagian besar dokter menggunakan sistem penilaian American Fertility
Society (AFS) untuk endometriosis, yang terdiri dari empat kelompok: minimal
(stadium I), ringan (stadium II), sedang (stadium III) dan parah (stadium IV),
tergantung temuan saat operasi.5
Hasil penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa 30 – 40% wanita
tidak akan mengalami perbaikan atau akan kambuh meskipun telah dioperasi. Tingkat
perbaikan dalam literatur bervariasi dari 44 hingga 81%. Dalam sebuah studi oleh
Keye dkk, ada perbaikan awal 92%, tetapi 32% mengalami kekambuhan pada 9
bulan.5
3.3 Hiperplasia Endometrium
3.3.1 Definisi
Hiperplasia endometrium adalah proliferasi onfisiologis, non invasif
endometrium dengan gambaran kelenjar yang tidak beraturan dengan ukuran yang
berbeda-beda.Kelainan ini bersifat stimulasi estrogen secara terus menerus yang
ditandai secara klinis dengan perdarahan uterus abnormal.Secara tidak sengaja dapat
ditemukan saat melakukan biopsy, misalnya pada kasus infertilitas atau pada wanita
yang mendapat terapi hormone pengganti. Bentuk hiperplasia sangat bervariasi mulai
dari hiperplasia non-atipik simpleks sampai hiperplasia atipik.16
Hiperplasia sering terjadi pada wanita premenopause yang sering mengalami
siklus anovulatorik dan juga wanita postmenopause dengan kadar estrogen endogen
yang tinggi atau akibat pemberian estrogen eksogen. 17
3.3.2 Klasifikasi

Terdapat dua bentuk hiperplasia endometrium yaitu:17


a. Atipik, yang berhubungan erat dengan adenokarsinoma atau sering disebut
lesi prekursor keganasan.
b. Non-atipik yang dapat sembuh sendiri dan kecil kemungkinan untuk
menjadi ganas.

Jenis hiperplasia bermacam-macam, hal ini mempengaruhi pengelolaannya.


Untuk menyamakan istilah mengenai hiperplasia, WHO dan International Society og
Gynecologic Pathologist memperkenalkan klasifikasi yang mencakup keseluruhan.17

Tabel 1. Klasifikasi Hiperplasia Endometrium17


Hiperplasia non-atipik - Simpleks
- Kompleks
Hiperplasia atipik - Simpleks
- Kompleks

3.3.3 Gambaran Histopatologis Hiperplasia Endometrium


Gambaran yang dapat dilihat adalah terjadinya peningkatan rasiokelenjer
terhadap stroma, tepi kelenjar menjadi tidak teratur dengan ukuran kelenjar yang
bervariasi.Aktivitas mitosis kelenjer tampak jelasdengan derajat yang berbeda.Sering
terjadi peningkatan vaskularisasi stroma dibawah epitel.
1. Hiperplasia non atipik
a. Hiperplasia simpleks
Gambaran yang tampak adalah banyaknya kelenjar yang mengalami
proliferasi dan dilatasi dengan tepi yang tidak teratur serta mulai tempak
hilangnya stroma.Perubahan karakteristik kelenjer dalam hal susunan,
bentuknya, derajat ketidakteraturan dan percabangannya.Dapat terlihat
metaplasia skuamosa walau ini jarang terjadi.Stroma yang banyak serupa
dengan yang terlihat pada fase proliferasi dari siklus haid normal, terdiri atas
sel yang kecil, oval dengan sitoplasma sedikit atau tidak terlihat aktivitas
mitosis seperti pada kelenjar. Gambaran khas pada hiperplasia simpleks ini
adalah adanya venula berdilatasi pada stroma.18

Gambar 1. Hiperplasia simpleks18


b. Hiperplasia kompleks

Gambaran yang terlihat adalah kelenjar-kelenjar yang padat, terdapat


penonjolan dan perlukukan dan kadang kelenjar saling berdekatan dan
menempel karena padatnya.Walaupun hanya sedikit stroma yang terlihat,
derajat kepadatan kelenjar inilah yang membedakan hiperplasia simpleks dan
kompleks.Sering terjadi adanya bentuk campuran antara hiperplasia simpleks
dan kompleks. Secara sitologi, kelenjer pada hiperplasia kompleks akan
tampak sel-sel pseudogratifikasi dengan inti oval kecil dan anak inti tidak
jelas serta terdapat aktivitas mitosis.18

Gambar 2. Hiperplasia kompleks9

2. Hiperplasia atipik

Hiperplasia atipik dapat berbentuk simpleks atau kompleks.Secara umum


hiperplasia atipik berbentuk kompleks dengan kelenjar yang padat sekali.Bentuk dan
ukuran kelenjar sangat tidak beraturan, bentuk papiler atau bertumpuk, dengan sedikit
inti fibrovaskular dalam lumen.Walaupun kompleks dan sangat padat, kelenjar pada
hiperplasia endometrium atipik dikelilingi stroma dengan adanya gambaran kelenjar
yang saling menempel.Tiap kelenjar mempunyai membrane basalis dengan tepi yang
tipis. Hiperplasia atipik simpleks memperlihatkan gambaran kelenjar yang kurang
padat dibandingkan dengan jenis kompleks.18

Gambar 3. Hiperplasia atipik (kiri kompleks dan kanan simpleks)18


Diagnosis hiperplasia atipik didasarkan pada gambaran inti yang spesifik,
yaitu inti besar dan bulat dan memiliki membran inti yang ireguler.Pada hiperplasia
atipik dapat pula terjadi metaplasia skuamosa. Metaplasia skuamosa ini terjadi secara
luas pada kelenjar sehingga hanya beberapa kelenjar saja yang berbentuk kolumner.18

3.4 Infertilitas Sekunder


3.4.1 Definisi infertilitas
Infertilitas adalah ketidakmampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya
satu tahun berhubungan seksual sedikitnya empat kali seminggu tanpa kontrasepsi.13
Infertilitas adalah bila pasangan suami istri, setelah bersanggama secara teratur 2-3
kali seminggu, tanpa memakai metode pencegahan belum mengalami kehamilan
selama satu tahun.14

3.4.2 Jenis infertilitas


Jenis infertilitas ada dua yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder.
Infertilitas primer adalah kalau istri belum pernah hamil walaupun bersanggama
tanpa usaha kontrasepsi dan dihadapkan pada kepada kemungkinan kehamilan selama
dua belas bulan. Infertilitas sekunder adalah kalau isrti pernah hamil, namun
kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersanggama tanpa usaha
kontrasepsi dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama dua belas
bulan.14

3.4.3 Penyebab infertilitas sekunder


Masalah pada infertilitas sekunder sangat berhubungan dengan masalah pada
pasangan dengan infertilitas primer. Sebagian besar pasangan dengan infertilitas
sekunder menemukan penyebab masalah kemandulan sekunder tersebut, dari
kombinasi berbagai faktor meliputi :15
1. Usia
Faktor usia sangat berpengaruh pada kesuburan seorang wanita. Selama
wanita tersebut masih dalam masa reproduksi yang berarti mengalami haid
yang teratur, kemungkinan masih bisa hamil. Akan tetapi seiring dengan
bertambahnya usia maka kemampuan indung telur untuk menghasilkan sel
telur akan mengalami penurunan. Penelitian menunjukkan bahwa potensi
wanita untuk hamil akan menurun setelah usia 25 tahun dan menurun drastis
setelah usia diatas 38 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
National Center for Health Statistics menunjukkan bahwa wanita subur
berusia dibawah 25 tahun memiliki kemungkinan hamil 96% dalam setahun,
usia 25 – 34 tahun menurun menjadi 86% dan 78% pada usia 35 – 44 tahun.
Pada pria dengan bertambahnya usia juga menyebabkan penurunan
kesuburan. Meskipun pria terus menerus memproduksi sperma sepanjang
hidupnya, akan tetapi morfologi sperma mereka mulai menurun. Penelitian
mengungkapkan hanya sepertiga pria yang berusia diatas 40 tahun mampu
menghamili isterinya dalam waktu 6 bulan dibanding pria yang berusia
dibawah 25 tahun. Selain itu usia yang semakin tua juga mempengaruhi
kualitas sperma.
2. Masalah reproduksi
Masalah pada sistem reproduksi dapat berkembang setelah kehamilan awal
bahkan, kehamilan sebelumnya kadang-kadang menyebabkan masalah
reproduksi yang benar-benar mengarah pada infertilitas sekunder, misalnya
perempuan yang melahirkan dengan operasi caesar, dapat menyebabkan
jaringan parut yang mengarah pada penyumbatan tuba. Masalah lain yang
juga berperan dalam reproduksi yaitu ovulasi tidak teratur, gangguan pada
kelenjar pituitary dan penyumbatan saluran sperma.
3. Faktor gaya hidup
Perubahan pada faktor gaya hidup juga dapat berdampak pada kemampuan
setiap pasangan untuk dapat menghamili atau hamil lagi. Wanita dengan berat
badan yang berlebihan sering mengalami gangguan ovulasi, karena kelebihan
berat badan dapat mempengaruhi estrogen dalam tubuh dan mengurangi
kemampuan untuk hamil. Pria yang berolah raga secara berlebihan juga dapat
meningkatkan suhu tubuh mereka,yang mempengaruhi perkembangan sperma
dan penggunaan celana dalam yang ketat juga mempengaruhi motilitas
sperma.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
4.1 Kista Ovarium
4.1.1 Diagnosis
4.1.1.1 Anamnesis
Pada anamnesis ditemukan penderita datang ke rumah sakit dengan keluhan utama
nyeri perut bagian bawah. Nyeri perut dirasakan hilang timbul 1 bulan SMRS, dan menjalar
ke pinggang kiri, terdapat gangguan haid dan penggunaan kontrasepsi hormonal.
Sebagian besar kepustakaan menyebutkan bahwa nyeri akut abdomen bagian bawah
yang hilang timbul merupakan gejala yang paling sering timbul pada kista ovarium dan
terpuntirnya kista ovarium menyebabkan rasa nyeri pada perut bagian bawah. Pasien juga
mengatakan perutnya sering dipijat yang diduga menjadi salah satu penyebab terpuntirnya
kista ovarium. Sesuai dengan kepustakaan juga dikatakan bahwa sebagian besar kista
ovarium tidak menimbulkan gejala. Tetapi adapula kista yang berkembang menjadi besar dan
menimbulkan nyeri yang tajam. 1,2,3,4
Gejala kista secara umum:5
1. Rasa nyeri di rongga panggul disertai rasa gatal.
2. Rasa nyeri sewaktu bersetubuh atau nyeri rongga panggul kalau tubuh bergerak.
3. Rasa nyeri saat siklus menstruasi selesai, pendarahan menstruasi tidak seperti biasa.
Mungkin perdarahan lebih lama, lebih pendek atau tidak keluar darah menstruasi pada
siklus biasa, atau siklus menstruasi tidak teratur
4. Perut membesar .
Gejala-gejala berikut mungkin muncul jika terdapat kista ovarium:6
- Perut terasa penuh, berat, kembung
- Nyeri panggul yang menetap atau kambuhan yang dapat menyebar ke punggung
bawah dan paha
- Mual, ingin muntah
- Pembesaran, tumor yang kecil mungkin diketahui saat melakukan pemeriksaan rutin.
Tumor dengan diameter sekitar 5 cm , dianggap belum berbahaya kecuali bila
dijumpai pada ibu yang menopause atau setelah menopause. Besarnya tumor dapat
menimbulkan gangguan berkemih dan buang air besar terasa berat di bagian bawah
perut, dan teraba tumor di perut.
- Gejala gangguan hormonal , indung telur merupakan sumber hormon wanita yang
paling utama sehingga bila terjadi pertumbuhan tumor dapat mengganggu
pengeluaran hormon. Gangguan hormon selalu berhubungan dengan pola menstruasi
yang menyebabkan gejala klinis berupa gangguan pola menstruasi dan gejala karena
tumor mengeluarkan hormon.
- Gejala klinis karena komplikasi tumor. Gejala komplikasi tumor dapat berbentuk
infeksi kista ovarium dengan gejala demam, perut sakit, tegang dan nyeri, penderita
tampak sakit. Mengalami torsi pada tangkai dengan gejala perut mendadak sakit hebat
dan keadaan umum penderita cukup baik
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada penderita dengan kista ovarium dalam kasus
ini berupa perut yang semakin membesar,nyeri pada daerah perut dan menjalar kepinggang
kiri. Pasien juga mengeluhkan adanya gangguan dalam pola menstruasi, Beberapa gejala
tersebut sesuai dengan kepustakaan yang ada.
Riwayat reproduksi terdahulu serta durasi dan jarak reproduksi memiliki dampak
terbesar pada penyakit kista ovarium, paritas (ketidaksuburan) yang rendah dan infertilitas,
serta menarche dini dan menopause terlambat meningkatkan resiko untuk berkembang
menjadi kista ovarium.6
Kista ovarium sering terjadi pada wanita dimasa reproduksi, menstruasi di usia dini
(menarche dini) yaitu usia 11 tahun atau lebih muda (< 12 tahun) merupakan faktor risiko
berkembangnya kista ovarium, karena faktor asupan gizi yang jauh lebih baik , rata-rata anak
perempuan mulai memperoleh haid pada usia 10-11 tahun. Siklus haid yang tidak teratur juga
merupakan faktor risiko terjadinya kista ovarium.6
Pada wanita usia subur dan sudah menikah serta memiliki anak, biasanya mereka
menggunakan alat kontrasepsi hormonal merupakan faktor resiko kista ovarium, yaitu pada
wanita yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal implant, akan tetapi pada wanita yang
menggunakan alat kontrasepsi hormonal berupa pil cenderung mengurangi resiko untuk
terkena kista ovarium.7
Berdasarkan penelitian Pratama (2012), Kista Ovarium di RSUD Arifin Achmad
Provinsi Riau tahun 2008 - 2012, penderita kista ovarium banyak terjadi pada wanita dengan
paritas < 2 ada sebanyak 36 orang (50,1 %). Penderita kista ovarium berdasarkan riwayat
menarche paling banyak terjadi pada wanita menarche dini sebesar 42 orang (58,3%).8
Pola struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak memberikan andil
terhadap perubahan pola fertilitas, gaya hidup, dan sosial ekonomi. Perubahan gaya hidup
juga mempengaruhi pola makan yaitu konsumsi tinggi lemak dan rendah serat, merokok,
konsumsi alkohol, zat tambahan pada makanan, terpapar polusi asap rokok atau zat
berbahaya lainya, stress dan kurang aktivitas atau olahraga bisa memicu terjadinya suatu
penyakit.9

4.1.1.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik terlihat benjolan di perut bagian bawah, teraba masa di
kuadran kiri bawah sebesar telur bebek dengan konsistensi kistik, permukaan licin, batas
tegas, terfiksir, dan terdapat nyeri tekan. Pada pemeriksaan genitalia didapatkan vulva/muara
uretra tenang, perdarahan aktif tidak ada. Pada inspekulo ditemukan portio kenyal,
permukaan licin, OUE tertutup, fluksus tidak ada, erosi tidak ada, laserasi tidak ada, polip
tidak ada, massa tidak ada. fluor albus tidak ada. Pada pemeriksaan dalam/bimanual
didapatkan vagina tenang, portio kenyal, permukaan licin, OUE tertutup, korpus uteri tidak
teraba, teraba masa kistik di parametrium sinistra, kavum douglas menonjol dan Rectal
Touche tidak dilakukan. Pemeriksaan rektal seharusnya dilakukan untuk memberikan
konfirmasi jelas tentang keberadaan tumor.6

4.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang


Pada pasien telah dilakukan Ultrasonografi dan Laparoskopi, yakni:
1. Ultrasonografi: dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor,
apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing, apakah tumor
kistik atau solid, dan dapat dibedakan pula antara cairan dalam rongga perut yang
bebas dan yang tidak. Pada pasien juga dilakukan USG dengan hasil Uterus ante
fleksi,Endometrium ketebalan 9,9 mm, Adnexa dalam batas normal, Ovarium kiri
ukuran 9 x 9,67 mm dengan tepi irregular. Kesan pada pasien suspek kista dermoid
dengan echoes internal inhomogen dengan bangian endometriosis. Sehingga
dilakukan laparoskopi diagnosis pada pasien ini.
2. Laparoskopi: pemeriksaan ini Sangat berguna untuk mengetahui apakah tumor
berasal dari ovarium atau tidak, dan untuk menentukan sifat-sifat tumor itu. Pada
pasien ini juga dilakukan laparoskopi diagnostic untuk mengetahui jenis kista pada
pasien ini.
3. CA-125: memeriksa kadar protein di dalam darah yang disebut CA-125. Kadar CA-
125 juga meningkat pada perempuan subur, meskipun tidak ada proses keganasan.
Tahap pemeriksaan CA-125 biasanya dilakukan pada perempuan yang berisiko terjadi
proses keganasan, kadar normal CA-125 (0-35 u/ml). Pada pasien ini tidak dilakukan
pemeriksaan CA-125 karena telah dilakukan pemeriksaan laparoskopi diagnostik
sebelumnya untuk konfirmasi diagnosis. Namun, pemeriksaan ini perlu dilakukan
untuk mendeteksi proses keganasan.10 Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tryanda yaitu tumor ovarium jinak memiliki potensi 2,55 kali memiliki kadar
CA-125 normal.11 CA-125 hanya dapat mengklasifikasikan jinak dan ganas secara
benar sebesar 41%.12 Peningkatan kadar CA-125 dapat terjadi karena proses
radang atau trauma pada sel epitel ovarium, hal ini dapat terjadi pada beberapa
keadaan normal seperti menstruasi, kehamilan, dan beberapa keadaan jinak seperti
kista coklat, kista folikel, dan kista lutein yang secara tidak langsung berinteraksi
dengan sel epitel ovarium.13
4.1.2 Penatalaksanaan
Penanganan kista ovarium dibedakan menjadi penanganan konservatif dan operatif.
Pada kista dengan diameter kurang dari 5 cm dan tidak bergejala, diambil sikap menunggu
selama 2-3 bulan dan dilakukan pemeriksaan ginekologik berulang. Kriteria untuk tindakan
konservatif pada pasien tanpa gejala3,6,8:
- Tumor unilateral
- Kista unilokuler tanpa elemen padat. wanita premenopause dengan diameter 3-10 cm
- Wanita postmenopause dengan diameter 2-6 cm
- Ca-125: normal
- Asites (-)

Kista folikuler membesar sampai 3 cm tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.


Kista unilokuler yang jelas ukuran 3-10 cm yang diidentifikasi melalui USG harus diulangi
pemeriksaan USG 3 bulan mendatang. Jika kista menetap, maka pasien harus dievaluasi
dengan USG 6 bulan lagi dan diukur Ca-125.3,6,
Pada pasien ini dilakukan Laparoskopi dan didapatkan kesan tampak massa kistik
torsi dengan adhesi dengan ukuran massa >15 cm, bentuk irreguler, dan licin sehingga
diputuskan untuk dilakukan Laparotomi. Hal ini sesuai dengan teori dimana jika kista
membesar merupakan indikasi untuk laparoskopi atau laparatomi.3,7,9
Tumor ovarium neoplastik membutuhkan tindakan operasi, sedang tumor non
neoplastik tidak. Indikasi operasi suatu tumor adneksa adalah8,9,10:
- Kista ovarium >5 cm, setelah diobservasi 6-8 minggu tidak mengecil.-Adanya lesi
pada ovarium.
- Adanya lesi ovarium dengan pertumbuhan papil pada dinding kista.-Adanya tumor
adneksa >10 cm.
- Adanya massa di adneksa pada premenars atau postmenopause.
- Torsi atau rupture kista.

Tindakan operasi pada tumor ovarium jinak berupa reseksi pada bagian ovarium yang
mengandung tumor. Tetapi bila tumornya besar atau ada komplikasi kemungkinan besar kista
bersifat neoplastik dan dipertimbangkan penanganan operatif salah satunya ialah salpingo-
ooforektomi.
Kista ovarium torsio dapat terjadi pada berbagai usia, umunya torsio kista ovarium
lebih disisi kanan karena kolon sigmoid membatasi mobilitas ovarium kiri. Torsio kista
ovarium merupakan komplikasi yang paling sering terjadi, terutama pada kista dengan ukuran
sedang. Salah satu penyebab terpenting terjadinya torsi adalah gerakan dari kista yang
dipengaruhi oleh gerakan peristaltik usus, sehingga pada pasien dilakukan Shalphingo-
ooforektomi Sinistra dan jaringan yang diambil dari massa yang dikeluarkan dikirim ke
laboratorium Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan.2,3,4
Pada pasien selanjutnya dilakukan Kistektomi dextra dan didapatkan Kista Lutein.
Tatalaksana pada pasien ini sesuai dengan teori dimana indikasi dari Kistektomi adalah : 2,3,4
- Massa ovarium > 6cm
- Massa adnexa > 10 cm
- Semua massa yang muncul setelah menopause
- Sulit mengetahui asal masa dengan radiologi atau USG.

4.1.3 Prognosis
Prognosis dari kista ovarium tergantung dari beberapa hal: stadium, jenis, histologis,
derajat diferensiasi kista, residu kista, umur penderita, ukuran kista. Kista yang timbul pada
wanita usia reproduktif umumnya baik dan tidak menimbulkan dampak. Kista yang timbul
pada wanita menopause tidak boleh diabaikan karena merupakan gejala dari adanya tumor
patologis maupun ganas.14
Prognosis dari pasien ini adalah dubia ad malam karena meskipun penatalaksanaan
kista ovarium telah dilakukan sesuai prosedur yang benar, banyak faktor resiko yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Pada ovarium kanan yang masih ada dapat tumbuh kista. Luka
operasi juga dapat menimbulkan infeksi jika pasien tidak merawatnya dengan baik dan pasien
jarang kontrol ke dokter. Asupan nutrisi yang kurang baik juga akan menghambat
penyembuhan luka operasi.

4.2 Hiperplasia endometrium

Faktor risiko hiperplasia endometrium menurut Sanderson, dkk (2016), yaitu :15
1.1 Tidak bisa dimodifikasi :
 Usia > 35 tahun
 Etnis kaukasia
 Riwayat keluarga
 Menstruasi
 Menopause
 Early menarche/ late menopause
 Perimenopause yang lama
 Belum pernah melahirkan
2.1 Komorbid:
 Obesitas
 Diabetes mellitus
 Sindroma polikistik ovarium
 Tumor fungsional
 Lynch syndrome/hereditary non-polyposiscolorectal cancer
3.1 Iatrogenik:
 Terapi tamoxifen jangka panjang
 Only estrogen Hormon Replacemen Therapy (HRT)
 Paparan estrogen eksogen
4.1 Lainnya:
 Merokok
 Genetik

Faktor risiko yang mungkin berperan dalam berkembangnya hiperplasia endometrium


pada pasien ini adalah status gizi obesitas, yaitu dengan IMT 28,8 (Obesitas derajat 1). Pasien
juga diketahui menggunakan kontrasepsi hormonal, namun belum jelas jenis yang digunakan
pasien, apakah mengandung estrogen atau tidak. Faktor risiko obesitas dikaitkan dengan
perubahan kompleks dalam faktor hormonal dan metabolisme, ada kemungkinan bahwa
produksi estrogen yang berkepanjangan dan konstan dari jaringan adipose, terutama pada
pasien obesitas menjadi penyebab peningkatan risiko pada pasien obesitas.16
Jokubkiene dkk (2017) dalam penelitiannya pada 495 pasien dengan perdarahan
pervaginam dan ketebalan endometrium ≥ 5 mm menunjukkan 19 pasien termasuk dalam
hiperplasia endometrium. Usia tebanyak berada pada rentang 43-61 tahun, 10 (53%) pasien
juga menderita hipertensi, dan median ketebalan endometriumnya adalah 10,5 cm.17

4.3 Kista Lutein

Tatalaksana Kistektomi destra pada pasien ini didapatkan Kist Lutein. Hal ini tidak
sesuai dengan teori dimana Kista teka lutein biasanya bilateral, kecil dan jarang terjadi
dibandingkan kista folikel atau kista korpus luteum. Kista teka lutein berisi cairan berwarna
kekuning-kuningan. Berhubungan dengan penyakit trofofoblastik kehamilan (misalnya mola
hidatidosa, koriokarsioma), penyakit ovarium polikistik dan pemberian zat perangsang
ovulasi. Gejala yang timbul biasanya rasa penuh atau menekan pada pelvis. Tumbuhnya kista
ini ialah akibat pengaruh hormon koriogononadotropin yang berlebihan, dan hilangnya mola
atau koriokarsinoma, ovarium yang mengecil secara spontan. Pada pasien ini juga tidak
dilakukan pemeriksaan hormon koriogonadotropin dan tidak terdapat adanya riwayat mola
atau koriokarsinoma.1,2,4
Pertumbuhan kista lutein terjadi pada 31,8% pasien dengan kenaikan beta-hCG dan
4,5% dengan titer yang menurun. Kista ini biasanya sebesar (2-3 cm) dan ovarium sering
memiliki penampilan kistik multilokular khas di semua pemeriksaan pencitraan, Indung telur
multicystic yang membesar bilateral. Pada pemeriksaan USG tampak kista berdinding tipis
klasik dan memiliki kandungan yang jelas. Ada sejumlah besar komponen padat yang
mungkin merupakan stroma ovarium residual.18
Kista lutein memiliki prognosis yang dapat sembuh 2-4 bulan, jika terjadi torsi, torsi
dapat terjadi intermiten atau berkelanjutan dan menghasilkan stasis vena, arteri, dan limfatik.
Ini merupakan keadaan darurat ginekologis maka dapat dilkukan pembedahan dan mencegah
nekrosis ovarium.yang mana pada pasien ini terdapat torsi dan telah dilakukan pembedahan.
Sebagian besar pasien datang dengan sakit perut bagian bawah dan pelvis yang tidak spesifik,
baik yang intermiten atau berkelanjutan, mual, dan muntah serta adanya nyeri adneksa dan
peningkatan jumlah sel darah putih.19
4.4 Tatalaksana Endometriosis pada Pasien Fertil dan Infertil
Endometriosis dapat menyebabkan infertilitas, pengobatan endometriosis pada pasien
dengan infertilitas harus mendapatkan perhatian. Pilihan pengobatan endometriosis pada
kasus infertilitas belum seragam dan bergantung pada beberapa faktor, yaitu usia, luasnya
endometriosis, luas dan lokasi perlekatan pelvik dan faktor-faktor infertilitas secara
bersamaan. Endometriosis sedang dan berat, khususnya bila telah terdapat pelekatan pada
ovarium dan tuba falopi, akan menurunkan angka kejadian fertilisasi. Hal ini terjadi karena
adanya obstrusi mekanik dari ovarium dan tuba falopi yang menyebabkan gagalnya transpor
gamet ke pars ampularis tuba falopi. Walaupun belum ada penelitian yang memperlihatkan
perbedaan kejadian fertilitas antara yang telah dilakukan tindakan dan tanpa tindakan, banyak
publikasi yang menunjukkan angka kejadian fertilitas nol untuk yang mengalami
endometriosis berat. Ternyata tindakan pembedahan dapat meningkatkan kejadian kehamilan
pada pasien endometriosis sedang dan berat.20
Pada kasus endometriosis minimal dan ringan ternyata tetap terdapat hubungan antara
kejadian endometriosis dengan gangguan reproduksi, walaupun hubungan ini belum terlalu
jelas. Teori mengenai patofisiologi gangguan tersebut mencakup gangguan ovulasi, gangguan
pematangan oosit, gangguan terhadap sperma di rahim, toksisitas embrio, abnormalitas
sistem imun, dan gangguan penerimaan endometrium terhadap implantasi embrio. Induksi
ovulasi pada kasus endometriosis ternyata memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Penelitian randomized clinical trials (RCT) memperlihatkan pemberian agonis GnRH dengan
hormon FSH dan LH, klomifen sitrat, serta inseminasi intrauterine atau FSH dengan
inseminasi intrauterin memperlihatkan peningkatan angka kehamilan dibandingkan pada
yang tanpa terapi. Tindakan assited reproductive technology (ART) masih dapat dilakukan
pada kasus endometriosis berat.20
Terapi medikamentosa untuk mengatasi nyeri pada endometriosis cukup efektif,
namun belum ada bukti ilmiah bahwa terapi ini bisa meningkatkan fekunditas. Beberapa
pilihan obat yang bisa digunakan adalah danazol, GnRH agonis, GnRH antagonis, progestin
dan kombinasi estrogen -progesteron. Beberapa penelitian RCT membuktikan bahwa
danazol, GnRH analog maupun progestin tidak efektif sebagai terapi infertilitas
endometriosis ringan sampai sedang. Pada 2 penelitian RCT yang mengikutsertakan 105
wanita infertil yang menderita endometriosis ringan sampai sedang, menunjukkan bahwa
dengan terapi danazol, angka kehamilan tidak meningkat dibandingkan dengan menejemen
ekspektatif. Selanjutnya dalam penelelitian RCT yang diikuti 71 wanita infertil dengan
endometriosis ringan sampai sedang, angka kehamilan selama pengamatan 1 dan 2 tahun
tidak menunjukkan perbedaan antara terapi GnRH agonis selama 6 bulan dibandingkan
dengan terapi ekspektatif. Penelitian RCT serupa dengan menggunakan terapi progestin
menunjukkan hasil yang sama. Pada penelitian RCT yang hanya diikuti 31 wanita infertil
endometriosis, angka kehamilan dengan terapi progestin dibandingkan dengan ekspectatif
menejemen adalah 41% dan 43%. Dalam sebuah metanalisis dari 7 penelitian yang
membandingkan terapi medikal dan tanpa terapi atau plasebo menunjukkan bahwa odds ratio
kehamilan adalah 0,85 (95%CI 0,95-1,22). Jadi terapi hormonal tidak memperbaiki
fekunditas wanita infertil yang menderita endometriosis grade I-II.21
Prinsip pembedahan yang dilakukan pada endometriosis adalah ablasi sebanyak
mungkin sarang-sarang endometriosis dan meninggalkan jaringan yang sehat. Disamping itu
juga melakukan perbaikan dengan melepaskan perlengketan yang terjadi dan pencucian
rongga peritoneum7,10. Pada endometriosis stadium I dan II, ablasi laparoskopik sarang
endometrium sedikit meningkatkan angka kelahiran hidup secara bermakna. 2 penelitian
RCT melaporkan efektivitas laparoskopi sebagai managemen infertilitas endometriosis.
Penelitian lain melaporkan bahwa, dari 216 pasien infertil dengan endometriosis berat yang
dilakukan laparoskopi atau laparotomi kemungkinan terjadi kehamilan 45%, selanjutnya
meningkat 63% setelah 2 tahun. Scenken (1998) dalam studi pustakanya mengatakan bahwa
wanita endometriosis grade III/IV tanpa memperhatikan faktor infertilitas yang lain, terapi
bedah dengan laparoskopi dan laparotomi meningkatkan fertilitas.21
Berdasarakan Konsesus Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia
tahun (Hiferi) tahun 2013, terapi medisinalis endometriosis terbukti dapat mengurangi rasa
nyeri namun belum ada data yang menyebutkan bahwa pengobatan dapat meningkatkan
fertilitas. Beberapa penelitian acak melaporkan bahwa penggunaan progestin dan agonis
GnRH tidak dapat meningkatkan fertilitas pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang.
Penelitian acak yang dilakukan pada 71 pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang
melaporkan laju kehamilan dalam 1-2 tahun sama dengan laju kehamilan bila diberikan
agonis GnRH selama 6 bulan. Review sistematik dan meta analisis 16 penelitian acak yang
dilakukan pada kelompok yang menggunakan obat-obatan penekan ovulasi dibandingkan
dengan kelompok tanpa pengobatan atau danazol, melaporkan bahwa pengobatan obat-obatan
penekan ovulasi (medroksi-progesteron, gestrinone, pil kombinasi oral, dan agonis GnRH)
pada perempuan infertilitas yang mengalami endometriosis tidak meningkatkan kehamilan
dibandingkan kelompok tanpa pengobatan (OR 0.74; 95% CI 0.48 to 1.15) atau dengan
danazol (OR 1.3; 95% CI 0.97 to 1.76).22
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan :
1. Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
2. Gejalaklinis yang dapat ditemukan pada penderita berupa perut yang semakin
membesar, nyeri pada daerah perut dan menjalar kepinggang kiri. Pasien juga
mengeluhkan adanya gangguan pada pola menstruasi.
3. Pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan pada pasien sudah benar dengan
dilakukan ultrasonografi dan laparaskopi.
4. Penatalaksanaan pada kasus ini sudah adekuat.

5.2 Saran
1. Kecepatan pengambilan keputusan serta keterampilan sangat dibutuhkan dalam
penanggulangan kasus Ginekologi.
2. Diperlukan deteksi dini terhadap semua penyakit kandungan terutama kista
endometriosis karena dapat menyebabkan infertilitas, oleh karena itu tenaga kesehatan
hendaknya meningkatkan kemampuannya dalam mendiagnosis penyakit kista
endometriosis terutama bila dijumpai berupa gangguan haid.
DAFTAR PUSTAKA

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. Luthan D, Adenin I, Halim B. Endometriosis. In: Anwar M, Baziad A, Prabowo RP,
editors. Ilmu kandungan, 3rd ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Praeirohardjo; 2014 .p.
239 – 50.

9. Birmingham, Alabama. Revised American Society for Reproductive Medicine


classification of endometriosis: 1996. American Society for Reproductive Medicine.
1997; 67(5): 817 – 21.

10. Endometriosis Foundation of America. Endometriosis stages: understanding the different


stages of endometriosis [internet]. 2019. [Diakses tanggal 30 Mei 2019]
https://www.endofound.org/endometriosis-stages

11. World Health Organization. International Statistical Classification of Diseases and


Related Health Problems [internet]. 2016. [Diakses tanggal 4 Juni 2019]
https://icd.who.int/browse10/2016/en#/N80

Anda mungkin juga menyukai