PENDAHULUAN
2.2. ANAMNESA
Pasien masuk lewat poliklinik kebidanan dengan keluhan nyeri perut bagian
bawah kiri sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit
Status ginekologi
Muka : pucat (-)
Mamae: Hiperpigmentasi aerola (-), nyeri (-), bengkak (-)
Axilla : Tidak ada kelainan
Abdomen :
- Inspeksi : Perut datar, tidak tampak benjolan, striae (-)
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Palpasi : teraba masa di kuadran kiri bawah sebesar kepala bayi
dengan konsistensi kistik, permukaan licin, batas tegas,
mobilitas (+), teraba nyeri pada saat digoyangkan (+), nyeri
lepas (-), defance muscular (-)
- Perkusi : Timpani pada seluruh lapangan perut
Genitalia :
- Inspeksi : Vulva/muara uretra tenang, perdarahan aktif (-)
- Inspekulo :vulva dan vagina tenang,
portio kenyal, permukaan licin, OUE tertutup,fluksus (-), erosi(-), laserasi (-),
polip (-), massa (-)fluor albus (-)
- Pemeriksaan Dalam/Bimanual :vagina tenang, portio kenyal, permukaan licin,
OUE tertutup, korpus uteri tidak teraba, teraba masa kistik di adneksa sinistra,
kavum douglas menonjol.
- RT : Tidak dilakukan
1. USG Abdomen
2.7. USULANTERAPI
Laparaskopi diagnostik, laparatomi SOS dan kuretase PA
2.8. PROGNOSA
Dubia
Pada tanggal 27 Mei 2019 pukul 12.25 WIB dilakukan laparoskopi diagnostik dan
laparotomi SOS pada pasien ini, berikut laporan operasinya:
Diagnosis pre operasi : Kista dermoid dan kista ovarium kanan dan
Hiperplasia endometrium
Diagnosis post operasi : post laparoskopi diagnostik dan laparotomi SOS a/i
kista coklat ovarium kiri torsi dan kistektomi diagnosis a/i kista lutei
ovarium kanan + post kuretase PA a/i hiperplasia endometrium +
omektektomi + HT + infertil sekunder
Inspekulo = erosi, grade 7-8. Kuretase hiperplasia endometrium
Dilakukan laparoskopi tampak masa kistik dengan permukaan adhesi
ke ovarium dari ovarium kiri. Kesan masa kistik torsi dengan adhesi
ukuran masa > 15 cm tepi ireguler, licin diputuskan laparotomi masa
mediana
Eksplorasi asal masa ovarium kiri yang torsi dengan 6x putaran pada
tangkai, tuba edema, dan pada saat akan di salfingooforektomi keluar pus
dari tuba kiri
Dilakukan SOS PA
Dilanjutkan kistektomi dextra kista lutei punksi kista-kista folikel
Tuba dextra dalam batas normal test tuba dexra (+)
Uterus dalam batas normal < dilakukan omentektomi jahit, ligasi,
pastikan tidak ada perdarahan baru cuci ronggan abdomen, lepas alat
Dilakukan penjahitan dinding abdomen l/d/e
2.9. FOLLOW UP
3.1 Endometriosis
3.1.1 Definisi
Endometriosis merupakan kelainan ginekologik jinak yang sering diderita
oleh perempuan usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula dan stoma
endometrium di luar letaknya yang normal. Endometriosis merupakan penyakit yang
pertumbuhannya tergantung pada hormon esterogen.8
3.1.2 Klasifikasi
Secara umum endometriosis dapat terbagi atas 2, yaitu:8
1. Endometriosis uteri dan adenomiosis
Endometriosis uteri adalah suatu keadaan di mana jaringan
endometrium ang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri.
Jaringan ini yang terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma terdapat di
dalam miometrium ataupun di luar uterus, bila jaringan endrometrium
terdapat di dalam miometrium disebur adenomiosis.
2. Endometriosis eksterna
Endometriosis eksterna adalah suatu kelainan di mana dijumpai adanya
kelenjar dan stroma endometrium di luar rongga uterus, terutama
tumbuh di rongga pelvik, ovarium, kavum Douglasi, dan jarang sekali
ke rectum dan kandung kemih. Faktor risiko terutama yang terjadi
pada perempuan yang haidnya banyak dan lama, perempuan yang
menarkenya pada usia dini, perempuan dengan kelainan saluran
Mulleri.
Berdasarkan The American Society of Reproductive Medicine
(ASRM), endometriosis dapat diklasifikasikan berdasarkan stadiumnya,
dapat dilihat pada Tabel. 3.1.
Tabel 3.1 Klasifikasi Endometriosis berdasarkan ASRM9
Stadium Keterangan
Stadium I (skor 1 – 5) Minimal
Implantasi sedikit di superfisial
Stadium II (skor 6 – 15) Ringan
Implantasi lebih banyak dan lebih dalam
Stadium III (skor 16 – 40) Sedang
Implantasi banyak
Terdapat kista kecil pada satu atau kedua
ovarium
Mulai terjadi adhesi
Stadium (skor >40) Berat
Impalnatasi banyak
Terdapat kista besar pada satu atau kedua
ovarium
Adanya adhesi yang banyak
N80.1
Endometriosis of ovary
3.1.2.1.2 Patogenesis
Patogenesis kista endometriosis masih kontroversial, tetapi ada tiga teori
utama:6,9
a. Invaginasi korteks ovarium sekunder akibat perdarahan implan superfisial
Teori pertama dijelaskan oleh Hughesdon pada tahun 1957, di mana ia
menukan bahwa implan endometrium yang terletak di permukaan ovarium,
adalah penyebab kista endometriosis. Menurut teori Hughesdon, pelepasan
darah menstruasi dan pendarahan implan endometrium terperangkap dan
menyebabkan invaginasi bertahap pada korteks ovarium, yang
menghasilkan psuedocyst. Brosens et al., dalam perjanjian dengan
Hughesdon, melaporkan pelepasan menstruasi dan akumulasi darah di
lokasi implan melalui ovariskopi. Teori ini penting dalam pengobatan kista
endometriosis karena korteks ovarium adalah permukaan internal dinding
psuedocyst, dengan demikian korteks ovarium akan hilang selama eksisi .
b. Invaginasi korteks ovarium sekunder akibat metaplasia epitel coelom pada
kista inklusi kortikal
Teori kedua dalam patogenesis kista endometriosis dijelaskan oleh
Donnez et al. pada tahun 1996 dan menunjukkan bahwa invaginasi kista
endometriosis bukan karena pendarahan implan, melainkan disebabkan
oleh metaplasia dari epitel coelom yang diinvaginasi ke dalam korteks
ovarium. Donnez et al. menunjukkan bahwa potensi penyebab kekambuhan
setelah eksisi kista endometriosis atau penguapan disebabkan oleh
invaginasi jaringan endometriotik ke dalam ovarium.
c. Transformasi endometriotik dari kista fungsional.
Teori terakhir menyatakan bahwa kista endometriosis dibentuk oleh
transformasi endometriotik dari kista fungsional dan pertama kali dijelaskan
oleh Nezhat et al. pada tahun 1992.
3.1.2.1.4 Diagnosis
Gold standar untuk menegakan diagnosis kista endometriosis adalah
laparoskopi.6 Namun, USG transvaginal dapat membantu dalam diagnosis awal dan
membantu membedakan kista endometriosis dari tumor ovarium jinak lainnya,
dimana pada kista endometriosis tampak gambaran homeogenous low-level internal
echoes dan dinding yang tebal.6,9 Van Holsbeke et al. melaporkan bahwa variabel
USG terbaik untuk membedakan antara kista endometriosis dan massa adneksa
lainnya pada wanita premenopause adalah echogenicity kaca bundar dari cairan kista,
dengan sensitivitas 73% dan spesifisitas 94%. Guerriero et al. menemukan bahwa
USG transvaginal mampu mendeteksi keberadaan adhesi panggul pada pasien dengan
kista endometriosis, dan identifikasi adhesi panggul dapat membantu menentukan
pengobatan yang tepat. Color Doppler mengidentifikasi vaskularisasi massa, dan
kista endometriosis biasanya memiliki aliran darah perifer. Ultrasonografi 3D
menjadi semakin populer dalam praktik klinis, Alcazar et al. melaporkan bahwa pada
wanita premenopause, USG B-mode dengan penggunaan nilai rata-rata abu-abu
memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 91% dalam membedakan kista
endometriosis dari kista unilokular lainnya. MRI selanjutnya dapat membantu
diferensiasi kista endometriosis dan kista ovarium lainnya.6
Gambar 3.3 Gambaran USG kista endometriosis5
3.1.2.1.5 Tatalaksana
Ada beberapa modalitas untuk terapi kista endometriosis, yaitu terapi
medis dan terapi pembedahan.8,9
1) Terapi medis
Terapi medis yang dapat diberikan seperti hormon androgen,
progesteron, kontrasepsi oral, agonis GnRH (gonadotropin-releasing
hormone).1,8 Kista endometriosis ukurannya ≥ 3 cm diketahui tidak
merespon dengan baik terhadap terapi medis. Sangat sedikit penelitian
yang menunjukkan efek terapi medis murni pada kista endometriosis.9
Crikel et al, Dmowski et al, dan Rana et al membandingkan efek
danazol dan GnRH-a pada kista endometriosis, ditemukan penurunan
ukuran sekitar 40% hingga 57% pada kista endometriotik dan tidak
menemukan perbedaan antara 2 obat ini dalam mengurangi ukuran kista
endometriosis. Namun, Donnez et al menunjukkan penurunan 25%
diameter kista setelah pemberian GnRH-a bila dibandingkan dengan
plasebo. 1,9
Terapi medis dapat meningkatkan gejala nyeri panggul dan
dispareunia, dan mengganggu terapi infertilitas. Di sisi lain, ada risiko kecil
kanker pada kista endometriosis yang tertinggal. Meskipun ada penurunan
57% ukuran kista endometriosis setelah pemberian terapi medis, namun
cara paling efektif untuk mengobati pasien ini adalah metode bedah.9
2) Terapi pembedahan
Terapi pembedahan yang dapat dilakukan diantaranya:6,8,9
a. Aspirasi USG
b. Aspirasi + skleroterapi
c. Terapi dengan laparoskopi, yaitu:
(a) Terapi konservatif: aspirasi laparoskopi kistektomi (stripping
method), drainase dan penghancuran lapisan dalam, atau fenestrasi
dan koagulasi.
(b) Terapi radikal: ovariektomi atau salpingooforektomi.
d. Terapi dengan laparotomi.
2. Hiperplasia atipik
Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
4.1 Kista Ovarium
4.1.1 Diagnosis
4.1.1.1 Anamnesis
Pada anamnesis ditemukan penderita datang ke rumah sakit dengan keluhan utama
nyeri perut bagian bawah. Nyeri perut dirasakan hilang timbul 1 bulan SMRS, dan menjalar
ke pinggang kiri, terdapat gangguan haid dan penggunaan kontrasepsi hormonal.
Sebagian besar kepustakaan menyebutkan bahwa nyeri akut abdomen bagian bawah
yang hilang timbul merupakan gejala yang paling sering timbul pada kista ovarium dan
terpuntirnya kista ovarium menyebabkan rasa nyeri pada perut bagian bawah. Pasien juga
mengatakan perutnya sering dipijat yang diduga menjadi salah satu penyebab terpuntirnya
kista ovarium. Sesuai dengan kepustakaan juga dikatakan bahwa sebagian besar kista
ovarium tidak menimbulkan gejala. Tetapi adapula kista yang berkembang menjadi besar dan
menimbulkan nyeri yang tajam. 1,2,3,4
Gejala kista secara umum:5
1. Rasa nyeri di rongga panggul disertai rasa gatal.
2. Rasa nyeri sewaktu bersetubuh atau nyeri rongga panggul kalau tubuh bergerak.
3. Rasa nyeri saat siklus menstruasi selesai, pendarahan menstruasi tidak seperti biasa.
Mungkin perdarahan lebih lama, lebih pendek atau tidak keluar darah menstruasi pada
siklus biasa, atau siklus menstruasi tidak teratur
4. Perut membesar .
Gejala-gejala berikut mungkin muncul jika terdapat kista ovarium:6
- Perut terasa penuh, berat, kembung
- Nyeri panggul yang menetap atau kambuhan yang dapat menyebar ke punggung
bawah dan paha
- Mual, ingin muntah
- Pembesaran, tumor yang kecil mungkin diketahui saat melakukan pemeriksaan rutin.
Tumor dengan diameter sekitar 5 cm , dianggap belum berbahaya kecuali bila
dijumpai pada ibu yang menopause atau setelah menopause. Besarnya tumor dapat
menimbulkan gangguan berkemih dan buang air besar terasa berat di bagian bawah
perut, dan teraba tumor di perut.
- Gejala gangguan hormonal , indung telur merupakan sumber hormon wanita yang
paling utama sehingga bila terjadi pertumbuhan tumor dapat mengganggu
pengeluaran hormon. Gangguan hormon selalu berhubungan dengan pola menstruasi
yang menyebabkan gejala klinis berupa gangguan pola menstruasi dan gejala karena
tumor mengeluarkan hormon.
- Gejala klinis karena komplikasi tumor. Gejala komplikasi tumor dapat berbentuk
infeksi kista ovarium dengan gejala demam, perut sakit, tegang dan nyeri, penderita
tampak sakit. Mengalami torsi pada tangkai dengan gejala perut mendadak sakit hebat
dan keadaan umum penderita cukup baik
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada penderita dengan kista ovarium dalam kasus
ini berupa perut yang semakin membesar,nyeri pada daerah perut dan menjalar kepinggang
kiri. Pasien juga mengeluhkan adanya gangguan dalam pola menstruasi, Beberapa gejala
tersebut sesuai dengan kepustakaan yang ada.
Riwayat reproduksi terdahulu serta durasi dan jarak reproduksi memiliki dampak
terbesar pada penyakit kista ovarium, paritas (ketidaksuburan) yang rendah dan infertilitas,
serta menarche dini dan menopause terlambat meningkatkan resiko untuk berkembang
menjadi kista ovarium.6
Kista ovarium sering terjadi pada wanita dimasa reproduksi, menstruasi di usia dini
(menarche dini) yaitu usia 11 tahun atau lebih muda (< 12 tahun) merupakan faktor risiko
berkembangnya kista ovarium, karena faktor asupan gizi yang jauh lebih baik , rata-rata anak
perempuan mulai memperoleh haid pada usia 10-11 tahun. Siklus haid yang tidak teratur juga
merupakan faktor risiko terjadinya kista ovarium.6
Pada wanita usia subur dan sudah menikah serta memiliki anak, biasanya mereka
menggunakan alat kontrasepsi hormonal merupakan faktor resiko kista ovarium, yaitu pada
wanita yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal implant, akan tetapi pada wanita yang
menggunakan alat kontrasepsi hormonal berupa pil cenderung mengurangi resiko untuk
terkena kista ovarium.7
Berdasarkan penelitian Pratama (2012), Kista Ovarium di RSUD Arifin Achmad
Provinsi Riau tahun 2008 - 2012, penderita kista ovarium banyak terjadi pada wanita dengan
paritas < 2 ada sebanyak 36 orang (50,1 %). Penderita kista ovarium berdasarkan riwayat
menarche paling banyak terjadi pada wanita menarche dini sebesar 42 orang (58,3%).8
Pola struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak memberikan andil
terhadap perubahan pola fertilitas, gaya hidup, dan sosial ekonomi. Perubahan gaya hidup
juga mempengaruhi pola makan yaitu konsumsi tinggi lemak dan rendah serat, merokok,
konsumsi alkohol, zat tambahan pada makanan, terpapar polusi asap rokok atau zat
berbahaya lainya, stress dan kurang aktivitas atau olahraga bisa memicu terjadinya suatu
penyakit.9
Tindakan operasi pada tumor ovarium jinak berupa reseksi pada bagian ovarium yang
mengandung tumor. Tetapi bila tumornya besar atau ada komplikasi kemungkinan besar kista
bersifat neoplastik dan dipertimbangkan penanganan operatif salah satunya ialah salpingo-
ooforektomi.
Kista ovarium torsio dapat terjadi pada berbagai usia, umunya torsio kista ovarium
lebih disisi kanan karena kolon sigmoid membatasi mobilitas ovarium kiri. Torsio kista
ovarium merupakan komplikasi yang paling sering terjadi, terutama pada kista dengan ukuran
sedang. Salah satu penyebab terpenting terjadinya torsi adalah gerakan dari kista yang
dipengaruhi oleh gerakan peristaltik usus, sehingga pada pasien dilakukan Shalphingo-
ooforektomi Sinistra dan jaringan yang diambil dari massa yang dikeluarkan dikirim ke
laboratorium Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan.2,3,4
Pada pasien selanjutnya dilakukan Kistektomi dextra dan didapatkan Kista Lutein.
Tatalaksana pada pasien ini sesuai dengan teori dimana indikasi dari Kistektomi adalah : 2,3,4
- Massa ovarium > 6cm
- Massa adnexa > 10 cm
- Semua massa yang muncul setelah menopause
- Sulit mengetahui asal masa dengan radiologi atau USG.
4.1.3 Prognosis
Prognosis dari kista ovarium tergantung dari beberapa hal: stadium, jenis, histologis,
derajat diferensiasi kista, residu kista, umur penderita, ukuran kista. Kista yang timbul pada
wanita usia reproduktif umumnya baik dan tidak menimbulkan dampak. Kista yang timbul
pada wanita menopause tidak boleh diabaikan karena merupakan gejala dari adanya tumor
patologis maupun ganas.14
Prognosis dari pasien ini adalah dubia ad malam karena meskipun penatalaksanaan
kista ovarium telah dilakukan sesuai prosedur yang benar, banyak faktor resiko yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Pada ovarium kanan yang masih ada dapat tumbuh kista. Luka
operasi juga dapat menimbulkan infeksi jika pasien tidak merawatnya dengan baik dan pasien
jarang kontrol ke dokter. Asupan nutrisi yang kurang baik juga akan menghambat
penyembuhan luka operasi.
Faktor risiko hiperplasia endometrium menurut Sanderson, dkk (2016), yaitu :15
1.1 Tidak bisa dimodifikasi :
Usia > 35 tahun
Etnis kaukasia
Riwayat keluarga
Menstruasi
Menopause
Early menarche/ late menopause
Perimenopause yang lama
Belum pernah melahirkan
2.1 Komorbid:
Obesitas
Diabetes mellitus
Sindroma polikistik ovarium
Tumor fungsional
Lynch syndrome/hereditary non-polyposiscolorectal cancer
3.1 Iatrogenik:
Terapi tamoxifen jangka panjang
Only estrogen Hormon Replacemen Therapy (HRT)
Paparan estrogen eksogen
4.1 Lainnya:
Merokok
Genetik
Tatalaksana Kistektomi destra pada pasien ini didapatkan Kist Lutein. Hal ini tidak
sesuai dengan teori dimana Kista teka lutein biasanya bilateral, kecil dan jarang terjadi
dibandingkan kista folikel atau kista korpus luteum. Kista teka lutein berisi cairan berwarna
kekuning-kuningan. Berhubungan dengan penyakit trofofoblastik kehamilan (misalnya mola
hidatidosa, koriokarsioma), penyakit ovarium polikistik dan pemberian zat perangsang
ovulasi. Gejala yang timbul biasanya rasa penuh atau menekan pada pelvis. Tumbuhnya kista
ini ialah akibat pengaruh hormon koriogononadotropin yang berlebihan, dan hilangnya mola
atau koriokarsinoma, ovarium yang mengecil secara spontan. Pada pasien ini juga tidak
dilakukan pemeriksaan hormon koriogonadotropin dan tidak terdapat adanya riwayat mola
atau koriokarsinoma.1,2,4
Pertumbuhan kista lutein terjadi pada 31,8% pasien dengan kenaikan beta-hCG dan
4,5% dengan titer yang menurun. Kista ini biasanya sebesar (2-3 cm) dan ovarium sering
memiliki penampilan kistik multilokular khas di semua pemeriksaan pencitraan, Indung telur
multicystic yang membesar bilateral. Pada pemeriksaan USG tampak kista berdinding tipis
klasik dan memiliki kandungan yang jelas. Ada sejumlah besar komponen padat yang
mungkin merupakan stroma ovarium residual.18
Kista lutein memiliki prognosis yang dapat sembuh 2-4 bulan, jika terjadi torsi, torsi
dapat terjadi intermiten atau berkelanjutan dan menghasilkan stasis vena, arteri, dan limfatik.
Ini merupakan keadaan darurat ginekologis maka dapat dilkukan pembedahan dan mencegah
nekrosis ovarium.yang mana pada pasien ini terdapat torsi dan telah dilakukan pembedahan.
Sebagian besar pasien datang dengan sakit perut bagian bawah dan pelvis yang tidak spesifik,
baik yang intermiten atau berkelanjutan, mual, dan muntah serta adanya nyeri adneksa dan
peningkatan jumlah sel darah putih.19
4.4 Tatalaksana Endometriosis pada Pasien Fertil dan Infertil
Endometriosis dapat menyebabkan infertilitas, pengobatan endometriosis pada pasien
dengan infertilitas harus mendapatkan perhatian. Pilihan pengobatan endometriosis pada
kasus infertilitas belum seragam dan bergantung pada beberapa faktor, yaitu usia, luasnya
endometriosis, luas dan lokasi perlekatan pelvik dan faktor-faktor infertilitas secara
bersamaan. Endometriosis sedang dan berat, khususnya bila telah terdapat pelekatan pada
ovarium dan tuba falopi, akan menurunkan angka kejadian fertilisasi. Hal ini terjadi karena
adanya obstrusi mekanik dari ovarium dan tuba falopi yang menyebabkan gagalnya transpor
gamet ke pars ampularis tuba falopi. Walaupun belum ada penelitian yang memperlihatkan
perbedaan kejadian fertilitas antara yang telah dilakukan tindakan dan tanpa tindakan, banyak
publikasi yang menunjukkan angka kejadian fertilitas nol untuk yang mengalami
endometriosis berat. Ternyata tindakan pembedahan dapat meningkatkan kejadian kehamilan
pada pasien endometriosis sedang dan berat.20
Pada kasus endometriosis minimal dan ringan ternyata tetap terdapat hubungan antara
kejadian endometriosis dengan gangguan reproduksi, walaupun hubungan ini belum terlalu
jelas. Teori mengenai patofisiologi gangguan tersebut mencakup gangguan ovulasi, gangguan
pematangan oosit, gangguan terhadap sperma di rahim, toksisitas embrio, abnormalitas
sistem imun, dan gangguan penerimaan endometrium terhadap implantasi embrio. Induksi
ovulasi pada kasus endometriosis ternyata memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Penelitian randomized clinical trials (RCT) memperlihatkan pemberian agonis GnRH dengan
hormon FSH dan LH, klomifen sitrat, serta inseminasi intrauterine atau FSH dengan
inseminasi intrauterin memperlihatkan peningkatan angka kehamilan dibandingkan pada
yang tanpa terapi. Tindakan assited reproductive technology (ART) masih dapat dilakukan
pada kasus endometriosis berat.20
Terapi medikamentosa untuk mengatasi nyeri pada endometriosis cukup efektif,
namun belum ada bukti ilmiah bahwa terapi ini bisa meningkatkan fekunditas. Beberapa
pilihan obat yang bisa digunakan adalah danazol, GnRH agonis, GnRH antagonis, progestin
dan kombinasi estrogen -progesteron. Beberapa penelitian RCT membuktikan bahwa
danazol, GnRH analog maupun progestin tidak efektif sebagai terapi infertilitas
endometriosis ringan sampai sedang. Pada 2 penelitian RCT yang mengikutsertakan 105
wanita infertil yang menderita endometriosis ringan sampai sedang, menunjukkan bahwa
dengan terapi danazol, angka kehamilan tidak meningkat dibandingkan dengan menejemen
ekspektatif. Selanjutnya dalam penelelitian RCT yang diikuti 71 wanita infertil dengan
endometriosis ringan sampai sedang, angka kehamilan selama pengamatan 1 dan 2 tahun
tidak menunjukkan perbedaan antara terapi GnRH agonis selama 6 bulan dibandingkan
dengan terapi ekspektatif. Penelitian RCT serupa dengan menggunakan terapi progestin
menunjukkan hasil yang sama. Pada penelitian RCT yang hanya diikuti 31 wanita infertil
endometriosis, angka kehamilan dengan terapi progestin dibandingkan dengan ekspectatif
menejemen adalah 41% dan 43%. Dalam sebuah metanalisis dari 7 penelitian yang
membandingkan terapi medikal dan tanpa terapi atau plasebo menunjukkan bahwa odds ratio
kehamilan adalah 0,85 (95%CI 0,95-1,22). Jadi terapi hormonal tidak memperbaiki
fekunditas wanita infertil yang menderita endometriosis grade I-II.21
Prinsip pembedahan yang dilakukan pada endometriosis adalah ablasi sebanyak
mungkin sarang-sarang endometriosis dan meninggalkan jaringan yang sehat. Disamping itu
juga melakukan perbaikan dengan melepaskan perlengketan yang terjadi dan pencucian
rongga peritoneum7,10. Pada endometriosis stadium I dan II, ablasi laparoskopik sarang
endometrium sedikit meningkatkan angka kelahiran hidup secara bermakna. 2 penelitian
RCT melaporkan efektivitas laparoskopi sebagai managemen infertilitas endometriosis.
Penelitian lain melaporkan bahwa, dari 216 pasien infertil dengan endometriosis berat yang
dilakukan laparoskopi atau laparotomi kemungkinan terjadi kehamilan 45%, selanjutnya
meningkat 63% setelah 2 tahun. Scenken (1998) dalam studi pustakanya mengatakan bahwa
wanita endometriosis grade III/IV tanpa memperhatikan faktor infertilitas yang lain, terapi
bedah dengan laparoskopi dan laparotomi meningkatkan fertilitas.21
Berdasarakan Konsesus Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia
tahun (Hiferi) tahun 2013, terapi medisinalis endometriosis terbukti dapat mengurangi rasa
nyeri namun belum ada data yang menyebutkan bahwa pengobatan dapat meningkatkan
fertilitas. Beberapa penelitian acak melaporkan bahwa penggunaan progestin dan agonis
GnRH tidak dapat meningkatkan fertilitas pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang.
Penelitian acak yang dilakukan pada 71 pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang
melaporkan laju kehamilan dalam 1-2 tahun sama dengan laju kehamilan bila diberikan
agonis GnRH selama 6 bulan. Review sistematik dan meta analisis 16 penelitian acak yang
dilakukan pada kelompok yang menggunakan obat-obatan penekan ovulasi dibandingkan
dengan kelompok tanpa pengobatan atau danazol, melaporkan bahwa pengobatan obat-obatan
penekan ovulasi (medroksi-progesteron, gestrinone, pil kombinasi oral, dan agonis GnRH)
pada perempuan infertilitas yang mengalami endometriosis tidak meningkatkan kehamilan
dibandingkan kelompok tanpa pengobatan (OR 0.74; 95% CI 0.48 to 1.15) atau dengan
danazol (OR 1.3; 95% CI 0.97 to 1.76).22
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan :
1. Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
2. Gejalaklinis yang dapat ditemukan pada penderita berupa perut yang semakin
membesar, nyeri pada daerah perut dan menjalar kepinggang kiri. Pasien juga
mengeluhkan adanya gangguan pada pola menstruasi.
3. Pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan pada pasien sudah benar dengan
dilakukan ultrasonografi dan laparaskopi.
4. Penatalaksanaan pada kasus ini sudah adekuat.
5.2 Saran
1. Kecepatan pengambilan keputusan serta keterampilan sangat dibutuhkan dalam
penanggulangan kasus Ginekologi.
2. Diperlukan deteksi dini terhadap semua penyakit kandungan terutama kista
endometriosis karena dapat menyebabkan infertilitas, oleh karena itu tenaga kesehatan
hendaknya meningkatkan kemampuannya dalam mendiagnosis penyakit kista
endometriosis terutama bila dijumpai berupa gangguan haid.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. Luthan D, Adenin I, Halim B. Endometriosis. In: Anwar M, Baziad A, Prabowo RP,
editors. Ilmu kandungan, 3rd ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Praeirohardjo; 2014 .p.
239 – 50.