Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

SISTEM SARAF, UROGENITAL DAN MUSKULOSKELETAL


Gagal Ginjal Kronis
SEMESTER GANJIL

DISUSUN OLEH KELOMPOK B3


ANGGOTA:

Ade Putri Delina (145070507111006)


Almira Naafi Rosyada (145070500111014)
Dwi Fathiriyah Zikrina A (145070507111008)
H. M. Annwary Siregar (145070501111032)
I Wayan Arya Y. (145070500111004)
Masyta Miftakhul Ummah (145070501111016)
Nur’ Ainie Putri (145070501111018)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2016/2017
1. Pengertian
Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Glomerulonefritis dalam beberapa bentuknya merupakan penyebab paling banyak yang
mengawali gagal ginjal kronik. Kemungkinan disebabkan oleh terapi glomerulonefritis
yang agresif dan disebabkan oleh perubahan praktek program penyakit ginjal tahap akhir
yang diterima pasien, diabetes melitus dan hipertensi sekarang adalah penyebab utama
gagal ginjal kronik. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada
semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan
hebatnya tanda dan gejala uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien yang lain,
tergantung paling tidak sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal yang masih
berfungsi dan kecepatan hilangnya fungsi ginjal.
Penyakit ginjal kronis atau yang lebih dikenal di masyarakat dengan istilah gagal
ginjal kronis (GGK) adalah kondisi saat fungsi ginjal mulai menurun secara
bertahap. Indonesia Renal Registry mendefinisikan gagal ginjal kronis sebagai kerusakan
ginjal, dapat berupa kelainan jaringan, komposisi darah dan urine atau tes pencitraan
ginjal, yang dialami lebih dari tiga bulan.
2. Epidemologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan terdapat
1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden
ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.

3. Etiologi

Gagal ginjal akut Penyebab ARF umumnya dapat dipertimbangkan dalam tiga
kategori diagnostic : Azotemia prarenal Azotemia pascarenal ( Kotak 49-1 ) Dan ARF
instrintik KOTAK 49-1 Penyebab lazim gagal ginjal akut AZOTEMIA PRARENAL
(PENURUNAN PERFUSI GINJAL)

1. 1.Deplesi volume cairan ekstrasel (ECF) absolute a.Perdarahan :operasi besar,


trauma, pascapartum b.Dieresis berlebihan c.Kehilangan cairan dari gastrointestinal
yang berat : muntah, diare d.Kehilangan cairan dari ruang ketiga : lika bakar
,peritonitis, prankretitis
2. 2.Penurunan volume sirkulasi arteri yang efektif a.Penurunan curah jantung: infrak
miokardium , distritmia, gagal jantung b.Vasodilitasi perifer :sepsis anafilaksis obat
anestesi, nitrat. c.Hipoalbuminemia : sindrom nefrotik, gagal hati.
3. 3.Perubahan hemodinamik ginjal primer a.Penghambat sintesis prostaglandin :
aspirin dan obat NSAID lain. b.Vasodilatasi perifer: sepsis,nitrat c.Obat
vasokonstriktor : obat alpa-adrenegrik (missal , norepinetrin, angiotensin II
d.Sindrom hepatorenal.
4. 4.Obstruksi vaskuler ginjal bilateral a.Stenosis arteri ginjal , emboli, thrombosis
b.Thrombosis vena renalis bilateral Azotemia pascarenal (obstruksi saluran kemih)
1.Obstruksi utera 2.Obstruksi 3.aliran keluar kandung kemih 4.Obstruksi ureter
bilateral
5. 5.Kandung kemih neurogenik Gagal ginjal akut intrinstik 1.Nektrosis tubular akut
a.Pascaiskemik Syok, sepsis, bedah jantungterbuka b.Nefrotoksik Neprotoksin
eksogen Antibiotic Media kontras teriodenasi Logam berat Siklosporin Pelarut
Neprotoksin endogen Pigmen indra tubular Protein intratubular Krista tubular
Klafikasi inimenekankan bahwa pada kategori-kateg0 ri ketiga renal terjadi
kerusakan parenkim ginjal yang cukup berat untuk menyebabkan kegagalan fungsi
ginjal. Azotemia prarenal merupakan satu-satunya penyebab tersering azotemia
akut > 50% kasus. Yang dapat menyebabkan terjadinya ARF tipe ATN. Petunjuk
lazim penyebab pararenal ARF adalah iskemia ginjal yang lama akibat penurunan
perfusi ginjal.

Penyebab pascarenal azotemia yang dapat menyebabkan ARF lebih jarang terjadi
5%daripada penyebab pararenel dan mengarah pada obstruksi aliran urin disetiap tempat
pada saluran kemih. Pembesaran prostat merupakan penyebab tersering obstruksi aliran
keluar kandung kemih.Nekrosis tubular akut ATN merupakan lesi ginjal yang paling
sering menyebabkan ARF 75%.ATN terjadi akibat iskemia ginjal yang terjadi dalam
waktu lama atau akibat pemajanan terhadap neprotokin. Disebabkan penyakit vaskuler
atau glomerular gijal primer atau hipertensi maligna secara berurutan dan juga
disebabkan oleh stress seperti infeksi atau kehilangan cairan akibat muntah atau diare
pada pasien gagal ginjal kronik atau gagal ginjal yang sedikit.
Penyebab netrotoksik pada ATN adalah netrotoksin eksogen maupun endogen
yangmenyebabkan ARF tipe non-oligurik’ netrotoksin endogen mencakup hemoglobin,
mioglobin, dan protein bence jones. Hemolisis eritrosit dengan lepasnya hemoglobin
kedalam serum darah biasanya disebabkan oleh ketidakcocokan transfuse darah.

4. Patofisiologi

Teori obstruksi tubulus menyatakan bahwa ATN mengakibatkan deskuamasi sel


tubulus nektronik dan bahan protein lainnya,yang kemudian membentuk silinder silinder
dan menyumbat lumen tubulus. Obstruksi tubulus dapat merupakan factor penting pada
ARF yang disebabkan oleh logam berat , etilen glikol,atau iskemia berkepanjangan.
Meskipun demikian terdapat bukti bermakna pada distribusi aliran darah intrarenal dari
kortek ke medulla selama hipotensi akut dan memanjang.hal ini dapat dilihat kembali
pada ginjal normal, kira-kira 90%darah didistribusi ke korteks dan 10 % menuju
kemedula.dengan demikian ginjal dapat memekatkan urine dan menjalankan fungsinya.

Kontruksi ateriol aferen merupakan dasar vaskuler dari penurunan nyata GPR.
Iskimia ginjal dapat mengaktivasi system rennin angiotensin dan memperberat iskemia
kortek setelah hilangnya rangsangan awal. Kadar rennin tertinggi ditemukan pada kortek
luar ginjal, tempat terjadinya iskemia paling berat selama berlangsungnya ARF pada
hewan maupun manusia. Iskemia akut yang berat atau berkepanjangan dapat menghabat
sintesis prostaglandin ginjal tersebut. Penghambat prostaglandin seperti aspirin diketahui
dapat menurunkan RBF pada orang normal dan dapat menyebabkan ATN.
Unpan balik tubuloglomeruulus merupakan suatu phenomena saat aliran kenepron distal
diregulasi oleh reseptor dalam macula densa tubulus distal, yang terletak berdekatan
dengan ujung glomerulus apabila peningkatan aliran fitrat tubulus ke arah distal tidak
mencukupi,kapasitas reabsorbsi tubulus distal dan duktus koligentes dapat melimpah dan
menyebabkan terjadinya deplesi volume cairan ekstra sel.

5. Terapi Farmakologi

Terapi Farmakologi Eklampsia


Terapi anti kejang secara umum dimulai selama kehamilan atau pada saat
memberikan terapi kortikosteroid antenatal atau obat untuk mematangkan serviks
sebelum perencanaan persalinan pada wanita dengan preeklampsia berat. Terapi harus
dilanjutkan hingga 24 sampai 48 jam pascapersalinan dan risiko terjadinya kejang adalah
rendah. Regimen magnesium sulfat yang paling sering digunakan adalah dosis awal 4
sampai 6 g diberikan intravena lebih dari 20 menit, diikuti dengan 2 sampai 3 g / jam
sebagai infus kontinyu. Tidak jelas apakah semua wanita dengan preeklampsia
memerlukan profilaksis untuk mencegah terjadinya kejang pada sejumlah kecil pasien
(0,6 – 3,2%). Selanjutnya pada wanita hipertensi tanpa proteinuria , insidensi terjadinya
kejang adalah sangat rendah (< 0,1%) yang akan aman bila tidak diberikan profilaksis
kejang pada wanita tersebut (Pangemanan, 2002).
Kedaruratan hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu tantangan klinis yang
sangat bermakna. Langkah pertama yang terpenting dalam penatalaksanan hipertensi
krisis adalah untuk menurunkan tekanan darah, namun menurunkan tekanan darah secara
tiba-tiba harus dihindari. Idealnya penurunan tekanan darah yang pertama kali adalah 20
%, dengan target untuk sistolik 140-150 mmHg dan diastolic 90-100 mmHg, sehingga
hasilnya akan sangat membantu dalam memperbaiki keadaan pasien. Hipertensi yang
refrakter dalam terapi klinis merupakan indikasi penting untuk melakukan terminasi
kehamilan, dan untuk kasus-kasus yang ekstrim, seksio sesarea perimortem perlu
dilakukan. Pada hipertensi akut dengan komplikasi hipertensi ensefalopati
penatalaksanaanya harus dilakukan dengan menggunakan fasilitas ICU. Pemberian
sodium nitropruside merupakan obat pilihan utama antihipertensi pada keadaan ini. Pada
dosis yang melebihi dari 8 μg/kg/menit, hati-hati terjadinya akumulasi sianida dan
tiosianat pada janin . Dianjurkan dilakukan pengawasan ketat dari kadar sianida pada
pasien-pasien yang mendapat sodium nitropruside dosis tinggi. Obat-obat lainnya yang
dapat digunakan pada keadaan ini untuk menurunkan tekanan darah secara akut telah
dirangkum dalam tabel 3 (Pangemanan, 2002)
a. Diuretik untuk pengobatan edema pada gagal ginjal akut
Pada pasien edema, umumnya digunakan furosemid secara intravena karena
potensi dan efek vasodilatasi pulmonal. Terapi furosemide oral sebaiknya dihindari
karena edema perut dapat mengurangi bioavaibilitas obat tersebut. Torsemide merupakan
golongan loop diuretik yang memiliki bioavaibilitas oral yang baik dan tidak berefek oleh
edema perut. Penyeseuaian dosis pada penggunaan diuretik sangat diperlukan apabila
pasien mengalami proteinuria, glomerulonefritis, ataupun dengan sindrom nefrotik.
Kombinasi diuretik loop dan thiazide dibutuhkan pada pasien gagal ginjal kronis jika
apabila menjadi resisten diuretik. Kombinasi tersebut sinergis untuk menghalangi
reabsorpsi sodium dan air pada lengkung henle dan tubulus distal. Alternative lain, yaitu
melanjutkan infuse diuretik loop, seperti furosemid 1 mg/kg/jam. Laju infus tidak boleh
melebihi 4 mg/menit karena akan menyebabkan ototoksisitas, khususnya ketika diberikan
kombinasi dengan antibiotic glikosida. Apabila diberikan diuretik loop dosis tinggi
sebaiknya dimonitoring potassium, magnesium, dan kalsium.

Hiperkalemia umum terjadi pada pasien gagal ginjal akut karena regulasi
homoestasis potassium pada ginjal terganggu. Apabila pengobatan farmakologi
konvensional tidak memberikan efek maka hemodialisis sebaiknya dilakukan. Asidosis
metabolic juga umum terjadi pada pasien gagal ginjal akut karena ginjal bertanggung
jawab pada pengeluaran asam organic. Jika GFR mengalami penurunan hingga < 30
mL/menit maka terjadi akumulasi asam organic dan gejala pun muncul. Asidosis
metabolic yang parah harus di dialysis tetapi inisiasi awal sodium bikarbonat oral dapat
mengurangi kebutuhan dialysis (Dipiro et al, 2008).
b. Fenoldopam
Fenoldopam mesylate merupakan agonis selektif dopamine reseptor A-1 yang
akan meningkatkan aliran darah pada korteks renal yang akan mencegah perkembangan
gagal dinjal akut termasuk CIN (contrast dye induced neuropathy). Fenoldopam telah
dibuktikan sebagai agen antihipertensi yang digunakan secara intravena. Beberapa
penelitian juga menunjukkan bahwa fenoldopam dapat mencegah terjadinya nefrotoksik
akibat obat (Dipiro., et al, 2008)

c. Acetylcysteine
N-acetylcysteine merupakan antioksidan mengandung thiol yang mengurangi
risiko CIN pada pasien pre-gangguan ginjal. Kelebihan dari N-asetilsistein adalah
harganya relative murah dan dapat bermanfaat bagi pasien dengan risiko CIN.
Rekomendasi regimen dosisi untuk pencegahan CIN adalah 600 mg per oral setiap 12
jam dibagi dalam 4 dosis. Beberapa obat lain telah diinvestasi untuk pencegahan gagal
ginjal akut (Dipiro., et al, 2008)

d. Kontrol glikemik

Van den Berghe et al. melakukan perawatan intensif pasien yang menerima
control standar (<200 mg/dL) atau intensif control glukosa (glukosa darah yang diingikan
sebesar 80-110 mg/dL). Glukosa darah menunjukkan perbaikan signifikan mortalitas dan
penurunan perkembangan gagal ginjal akut sebesar 41%. Control glukosa darah
merupakan faktor kunci terkait mortalitas. Penurungan gagal ginjal akut merupakan
konsekuensi dosis total insulin yang digunakan pada pasien yang mensugesti efek
proteksi langsung insulin. Terapi intensif insulin dapat menjadi standar perawatan
penyakit paisen untuk mencegah gagal ginjal akut dan menurunkan angka mortalitas
(Dipiro., et al, 2008)

6. Terapi Non Farmakologi

Pencegahan GGA dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan agen


nefrotoksik. Terapi non farmakologi tertentu dapat diberikan apabila penggunaan agen
nefrotoksik tidak bisa dihindari. Misalnya pada penggunaan media radiokontras, perlu
diberikan hidrasi yang adekuat dan pemberian natrium. Infus NaCl 0,9% atau dextrosa
5% dengan NaCl 0,45% diberikan dengan kecepatan 1 ml/kg/jam di mulai pada pagi hari.
Regimen ini hendaknya diberikan pada pasien yang bisa mentoleransi natrium.
Terapi hidrasi yang cukup dapat meningkatkan perfusi renal dan menurunkan kerja dari
sel tubulus. Harus diperhatikan agar pasien tidak mengalami over hidrasi khususnya
pasien yang mengalami disfungsi ventrikular kiri atau preexisting liver. Hindari juga
penggunaan obat-obat yang bersifat nefrotoksik (racun bagi ginjal) yaitu penisilin,
ciprofloksasin, amfoterisin B, golongan aminoglikosida dan sulfonamid (Dipiro, 2008).
DOKUMEN FARMASI PASIEN

INSTALASI FARMASI RSUD SEHAT MALANG


IRNA/Ruangan : Bersalin

No. RM : 1212-95-91 Ruangan Diagnosa : P4-4 post SC + MOW/Metode Operasi Tgl. MRS/KRS : 27-11-2014/13-
Asal : ROI Wanita (a.i 12-2014
Nama / Umur : Ny. H (23 th) L/P Eklamsia) + HELLP syndrome + Fetal Keterangan KRS : -
2
BB/TB/LPT : 70 kg/145 cm/1,69 m distress + AKI Pindah ruangan/tgl : Bersalin / 4-12-
Alamat : Bangkalan 2014
Riwayat Alergi : - Alasan MRS : Rujukan RSUD Bangkalan GIV P3-3 + Nama Dokter : dr. QS
Status Pasien : BPJS Eklamsia Nama Apoteker :

No. Jenis Obat Tanggal Pemberian Obat


Regime 27/11 28/11 29/1 1/12 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/1 10/ 11/ 12/ 13/
Nama Dagang/ n Dosis (SC) 1 (HD (HD 2 12 12 12 12
Generik
) )
IV 4g √
1. Injeksi SM
Drip 6 g √ √
500
2. Infus RD5 cc/24 √ √ √ √ √
jam
150
3. Infus Kaen Mg3
0 cc
4. Infus PZ 100 √ √ √
0 cc
5. Sonde Nefrisol 6 x 50 cc √ √ √ √ √ √
10 bag
6. TC √
(500 cc)
1 bag /
7. PRC √ √
hari
8. Albumin 20 % 100 cc √ √
Jika TD
9. Inj Herbesser (KP) √ √ √
≥ 140/90
10
10. Lasix pump (KP) √ √ √ √ √
mg/jam
2 x 50
11. Inj Ranitidin √ √ √ √ √ √
mg
12. Inj Ceftriakson 2x1g √ √ √ √ √ √
3 x 30
13. Inj Ketorolak √
mg
3 x 100
14. Drip Tramadol √ √ √
mg

No. Jenis Obat Tanggal Pemberian Obat


Regime
Nama Dagang/ n Dosis 27/11 28/11 29/1 1/12 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/1 10/ 11/ 12/ 13/
Generik 1 2 12 12 12 12
3x1
15. Inj Alinamin F √ √ √ √ √ √
amp
3x1
16. Inj Vitamin C √ √
amp
17. Inj Dexametason 4x2 √ √ √ 3x √ √ √ 2x1 1x1 //
amp 1 amp amp
amp
2x
18. Asam folat 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
1
Adalat Oros 30 1-0-
19. 1–0-1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
mg 0
20. Metildopa 250 mg 2x1 √ √ √ √ √ √
21. Bisoprolol 2,5 mg 1–0–0 √ √ //
½-
22. Furosemid 40 mg 1–0–0 √ √ √ √ √
0-0
23. Kalitake @5 g/sct 3 x 1 sct √ √ √ √ √ √
50
24. Na-Bic mEq
/jam
19.0
0√
Infus D40 + 19.3
25.
Actrapid 2 IU 0√
20.0
0√
1 ampul
26. Ca-Gluconat 10% √
(10 ml)

SOAP
SUBYEKTIF
Nama : Ny H
Jenis kelamin : P
Usia : 23 tahun
BB : 70 kg
Tinggi badan :145 cm
Keluhan : -
Diagnosa : P4-4 post SC + MOW/Metode Operasi Wanita (a.i Eklamsia) + HELLP syndrome + Fetal distress + AKI

Objektive

DATA KLINIK Tanggal


No.
(yang penting) 27/11 28/11 29/11 1/12 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/12 11/12 12/12 13/12
1. Suhu 36 37 36,9 37 37,1 37 37 36,6 36,7 36,7 36,8 37,6 37 37 37
2. Nadi (n: 60-100) 124 83 99 85 89 84 87 88 84 85 80 88 90 88 84
3. Tekanan Darah 250/ 210/ 174/ 154/ 181/ 170/ 190/ 170/ 160/ 150/ 150/ 170/ 140/ 160/ 150/ 150/
130 130 102 71 102 80 100 120 100 100 100 100 100 100 80 100
4. RR (n= 12-
24 20 18 20 20 20 20 20 20 20 18 20 20 20
16x/menit)
5. -l- -l- +l + -l- -l- -l- +l + -l-
Edema +l + +l + +l + +l + +l + -l- tungkai -l-
6. Cairan masuk 2000 700 1175 500 1400 600 1200 1200 1200 2300 2400 1000 1500
cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24
jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam
7. Cairan Keluar 800 840 1140 700 850 850 2200 1400 2500 1800 2600 2150 2550
cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24 cc/24
jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam
8. Kejang + 2x
9. Flatus +
KOMENTAR MAHASISWA:
- Suhu tubuh pasien, nadi, dan RR relatif normal sehingga dapat diindikasikan tidak terjadi SIRS, meski pada tgl 27 nadi diatas
normal yaitu 124. Dan memang biasanya pada wanita hamil RR cenderung tinggi dibandingkan biasanya
- Tekanan darah pasien sangat tinggi diatas normal, hal tersebut merupakan salah satu faktor resiko penyebab terjadinya
eklamsia. Dimana tekanan darah akan meningkat setelah kehamilan minggu ke 20.
- Edema terjadi kerena tekanan pada pembuluh darah yang tinggi menyebabkan jaringan endotel rusak sehingga cairan dalam pe
buluh darah mengalir ke jaringan sekitarnya hal ini dapat menyebabkan edema. Dimana edema salah satu tanda dari
preeklamsia.
- Adanya kejang menunjukkan terjadinya eklamsia
- Flatus(kentut) tgl 4 pasca oprasi sesar pada tanggal 28 menandakan bahwa GIT sudah kembali bekrja normal.

No. DATA LABORATORIUM Tanggal


(yang penting) 28/11 29/11 1/12 2/12 5/12 7/12 8/12 9/12 10/12 12/12
1. Ca (8,5 – 10,1) 8,5 9,1 6,6
2. Na (136 – 145) 138 137 135- 131- 131- 133- 138
3. K (3,5 – 5,1) 5,6+ 5,6+ 4,9 5,8+ 6,9+ 4,7 4,1
4. Cl (98 – 107) 112+ 110+ 108+ 97- 95- 101 106
5. Mg n=0.7–1 mmol/L (1.5–2
mEq/L; 1.7–2.4 mg/dL) 5,8
6. LDH (240-480) 5181+
7. BUN (7 – 18) 13,7 151+ 203+ 130+ 87+
8. Scr (0,6 – 1,3) 1,16 4,92+ 9,4+ 12,2+ 8,4+ 5,4+
9. Alb (3,4 – 5,0) 2,89- 2,85- 2,9- 2,3- 3,1-
10. SGOT / SGPT 735/ 69/ 50/
(15-37) / (0 – 45) 341+ 126+ 99+
11. GD ( < 100) 104+ 105+ 78 68
12. WBC (4,5 – 10,5) 12,2+ 19,7+ 15,8+ 17,9+ 19,8+ 18,2+
13. RBC (4 – 6) 4,50 3,34- 3,43- 3,82- 4,39 3,84-
14. Hb (11-18) 13,4 9,8- 9,5- 10,8- 12,0 11,0
15. Hct (35-60) 39,7 29,5- 29,2- 32,5- 38,4 32,9-
16. Plt (150-450) 49- 121- 80- 136- 286 212
17. MCV (80,0 – 99,9) 88,3 88,2 85,1 85,2 87,5 85,6

18. MCH (27,0-31,0) 29,7 29,4 27,7 28,3 27,4 28,5


19. APTT 32,4 31,2 30,8
20. APTT control 26,9 28,1 27,9
21. PPT 16,4 11,6 12,2
22. Control PPT 12,7 12,6 12,1
23. pH darah (7,35-7,45) 7,30- 7,16- 7,41 7,26- 7,39 7,45
24. pCO2 (35-45) 35 45 33,5- 38 31- 26-
25. pO2 (80-107) 389+ 73 195,8+ 107 86 108+
26. HCO3 (21-25) 17,2- 16,0- 21,6 17,1- 18,8- 18,1-
27. BE ecf (-3,5 - +2,0) -9,2- -12,7- -3,2 -10,0- -6,2- -5,9-
28. Proteinuria 3+ 2+
- Kalsium
Rendah pada tgl 5 akibat pemberian Adalat (nifedipine) mrp CCB, shg Ca dalam sel tidak bisa keluar melewati kanal kalsium (Ca tdk bs
keluar, Na tdk bs masuk )
- Natrium
Rendah pada tgl 2,5 (akibat pemberian lasix yg brp furosemid) tgl 8,10 (akibat pemberian furosemide)
- Kalium
- Klorida
- LDH
Merupakan enzim, letaknya disemua jaringan apabila kadarnya tinggi maka dapat diindikasikan terjadinya kerusakan pada jaringan yang
mengakibatkan keluarnya LDH shg terukur dalam darah, salah satunya dapat diindikasikan terjadi kerusakan pada ginjal
- BUN
Meningkat pada tgl 5,8,10,dan 12 hal tersebut dapat dicurigai adanya kegagalan ginjal dalam filtrasi.
- Serum Creatinin
Tinggi pada tgl 2,5,8, 10,12 menunjukkan klirens kreatinin yang rendah, dimana bila SCr tinggi dalam kurun waktu 48jam dapat
diindikasikan gagal ginjal akut.
- Albumin
Merupakan protein dg BM yg besar yg terfiltrasi pd proses filtrasi, bila dalam darah kadarnya rendah kemungkinan alb lolos pd saat
filtrasi indikasi kegagalan filtrasi
- SGOT/SGPT
Kadarnya tinggi dapat diakibatkan karena adanya urea dan kalium dalam darah yang tinggi, serta pasien yg mengknsumsi obat dalam
jumlah banyak.
- GD
Gula darah pasien agak tinggi stelah pemberian infus RD5 yang mengandung dekstrosa
- WBC
Jumlah yg tinggi menunjukkan sitm imun tersier yg rendah, shg dapat diketahui bahwa pasien mengaami inflamasi
- RBC
Nilai yg rendah menunjukkan pembentukan eritrosit yg terhambat, yang mana hal tsb terjadi pd pasien gagal ginjal
- Hb Hct
Menunjukkan anemia karen proses pembentuka eritrosit terhambat
- Platelet
Rendah menunjukkan trompositopenia, yg dapat menyebabkan resiko pedarahan terus menerus krn darah tdk dapat membeku
- APTT dan PT
Melihat resiko pendarahan dan pembekuan darah karena akan dilakukan HD
- Ph darah
Cenderung rendah pd tgl 28,29,2 menunjukkan pasien asidosis
- HCO3
Merupakan suatu basa, apabila kadarnya rendah maka menunjukkan keadan darah yg asam  asidosis
- Proteinuria
Seharusnya terfiltrasi pd glomerulur, apabila ditemukan pd urin  terjadi kegagalan pd glomerulus dlm memfiltrasi
- Eritrosit urinalisis
Eritrosit dlm protein menunjukkan gagal ginjal dlm memfiltrasi
CATATAN PENDUKUNG LAINNYA

MRS  28-11-2014 datang di IRD pukul 23.15 WIB  Rujukan dari RSUD Bangkalan G
IV P3-3 + eklamsia  dilakukan SC dan MOW (tubektomi)  pasien rawat inap di ROI
(28-11-2014 sampai 4-12-2014)

28-11-2014  pasien mendapat tindakan sectio caesar (SC) pukul 03.10 WIB
Lama operasi : 03.10 – 04.30
Macam operasi : bersih
Urgensi : Darurat
DPO : GIV P3-3 + Eklamsia + Fetal disterss + TBJ 2500 g
DDO : G IV P3-3 + Eklamsia + Fetal distress + TBJ 2500 g
Pada hari ke-4 bayi meninggal

1-12-2014  dilakukan hemodialisa-1 dengan Ultra Filtrasi (2 L)

4-12-2014 (pk.12.00)  pasien dipindahkan dari ROI ke Ruang UPI Bersalin

Hasil Kultur (6 – 12 – 2014)


Sampel : darah
 Kesimpulan : Tidak ada pertumbuhan kuman aerob dan anaerob

08-12-2014  dilakukan hemodialisa-2 tanpa Ultra Filtrasi

Hasil Echocardiography (9-12-2014):


Diagnosa Klinik : Diastolic Dysfunction
Kesimpulan :
1. Katup-Katup
MR trivial
2. Dimensi Ruang-ruang Jantug
LA Normal (LA Mayor 4,5 cm; LA minor 3.3 cm)
LV Normal (LVIDd 4,9 cm)
RA Normal (RA mayor 4,1 cm ; RA minor 2,7 cm)
RV Normal (RVDB 2,3 cm)
Tidak tampak trombus/vegetasi intrakardiak
3. Fungsi sistolik LV Normal (EF by TEICH 67% : By BIPLANE 65%)
Fungsi diastolik LV Abnormal relaksasi (EJA 0,92 ; DT 260 ms)
Fungsi sistolik RV Normal (Tapse 2,2 cm)
4. Analisa Segmental LV Normokinetik
5. Tidak Terdapat LVH (LVMI 99,17 g/m2 ; RWT 0,374)

13-12-2014  pasien KRS

OBAT URAIAN MASALAH REKOMENDASI/SARAN

Dosis iv yg diberikan awalnya 4 gram,


kemudian dilakukan drip 6 gram sementara Pasien sebaiknya diberikan
Injeksi SM dosis yg sebaiknya digunakan yaitu dosis awal sesuai dengan dosis yang
2 gram intravena diberikan dalam 10 menit, sewajarnya ketika timbul
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan eklamsia kembali.
sebanyak 2 gram per jam drip infus
Pasien diberikan RD5 seharusnya dengan
tujuan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia Sebaiknya RD5 diberikan
bila diberikan insulin untuk meningkatkan ketika pemberian insulin,
Infus RD5 masuknya kalsium ke dalam sel sehingga untuk mencegah terjadinya
mengobati hiperkalsemia pasien, namun pasien hipoglikemi, bukandiberikan
baru diberikan insulin padatanggal 8/12 di awal perawatan ketika GD
sementara pasien diberikan RD5 tanggal 28/11 pasien di atas normal.
padahal GD pasien diatas normal.
Dapat memberikan ESO berupa edema perifer,
asidosis dan hyperkalemia dimana pasien sudah Sebaiknya dosis diturunkan
mengalami gejala tsb, di ttakutkan muncul ESO menjadi 500-1000ml untuk
Infus Kaen Mg3 tsb yg memberatkan gejala pasien, selain itu mencegah timbulnya ESO tsb
Dosis yg diberikan pasien cukup besar 1500ml yang malah membahayakan
dimana dosis yang umum digunakan adalah kondisi pasien.
500-1000mL.
Infus PZ

Sonde Nefrisol

TC WBC rendah Penggunaan TC diteruskan


hingga WBC normal
RBC rendah Tidak dilakukan penjedaan
PRC penggunaan obat pada tgl
2/12 dan diteruskan hingga
kadar RBC normal
Albumin masih rendah Penggunaan diteruskan tanpa
Albumin 20 % ada jeda penggunaan pada
2/12 hingga kadar albumin
normal
Inj Herbesser (KP)

Lasix pump (KP) Interaksi: bisoprolol

Inj Ranitidin Tidak ada keluhan maag Dihentikan

Inj Ceftriakson tepat Penggunaan diteruskan


selama 4-14 hari
Pasien diberikan injeksi ketorolac untuk Sebaiknya pasien
mengobati nyeri pasien pasca operasi, namun menghentikan penggunaan
obat ini KI pada pasien yg mengalami atau ketorolac dan dapat
Inj Ketorolak beresiko gagal ginjal karena obat ini merupakan digantikan dengan obat lain
golongan NSAID dapat menyebabkan selain golongan NSAID.
vasokonstriksi di afreren ginjal, dan
memperparah kondisi pasien Penggunaan tidak lebih dari 5
hari
Drip Tramadol

Inj Alinamin F Indikasi vit B1 dan B2? Dihentikan


Inj Vitamin C

Interaksi:
Insulin, hipoglikemik oral : menurunkan Penggunaan dexametason
efek hipoglikemik. dapat diganti dengan
Inj Dexametason Antikoagulan oral : meningkatkan atau antiinflamasi lain seperti
menurunkan waktu protrombin. Prednisolone yang tidak ada
Diuretik yang mendepresi kalium : interaksi dengan Furosemid.
meningkatkan risiko hipokalemia.
RBC masih rendah Penggunaan diteruskan dan
Asam folat jika perlu ditambah
sumpelem Fe hingga RBC
normal
Adalat Oros 30 mg

Metildopa 250 mg

Bisoprolol 2,5 mg

Furosemid 40 mg

Kalitake @5 g/sct Efektif menurunkan K Dihentikan pada 10/12 untuk


Tidak digunakan pada 5/12 pdhl K tinggi menghindari hipokalemia
Na-Bic
Infus D40 + Indikasi?
Actrapid 2 IU Dihentikan

Ca-Gluconat 10% Kadar K pada 5/12 masih tinggi Diberikan Ca-glukonat pada
5/12 hingga kadar K normal

Monitoring and Plan

Obat Uraian Masalah Rekomendasi/Saran


Injeksi SM Kejang masih muncul di Diberikan dalam bentuk drip agar
tanggal 29/11/14 memaintanace kejang pasien
RD5 GD tinggi pada tanggal Dibiarkan normal dahulu dan
29/11/14 dimonitoring
KaEn Tidak ada perubahan Diganti dengan pemberian PZ
elektrolit
Albumin Albumin tetap rendah Penambahan albumin, tapi perlu
dipertimbangkan kondisi asidosis pasien
PRC Hb tetap rendah Penambahan asam folat agar kondisi
normal kembali
Herbesser Tekanan darah tetap tinggi Digantikan dengan adalat
oros+furosemide dan bisoprolol
Ranitidin Tidak ada gangguan GI Dapat dihentikan
Infus D40+ Actrapid Penurunan kalium Koreksi kadar kalium dan waspada
2IU hipokalemi
Ca-Glukonas Penurunan kalium Koreksi kadar kalium dan waspadahi
pokalemi

Informasi Pada Perawat

No. Obat Informasi


1. Injeksi SM (Sulfat Segera diinjeksikan melalui rute iv untuk mengatasi kejang
Magnesium) eklamsia pasien.

2. Infus RD Monitoring kadar elektrolit pasien.

3. Infus Kaen Mg3 Monitoring kadar kalium pasien

4. Infus PZ Monitoring kadar elektrolit pasien


5. Sonde Nefrisol Monitoring BUN dan kadar protein. Diberikan sampai pasien
flatus dan bias intake makanan.
6. TC Disimpan pada suhu 22oC bertahan 24 jam, jika pada suhu 4 –
10oC bertahan 6 jam. Trombosit diberikan cukup sampai
perdarahan berhenti atau masa perdarahan mendekatai nilai
normal, bukan sampai jumlah trombosit normal.
7. PRC Monitoring RBC

8. Albumin 20 % Monitoring kadar albumin dan kadar elektrolit. Monitoring


tekanan darah dan edema pasien.
9. Injeksi Herbesser Monitoring kadar SGOT dan SGPT

10. Lasix Pump Monitoring kondisi edema

11. Injeksi Ranitidine Diberikan sampai pasien flatus dan bias intake makanan.

12 Injeksi Ceftriaxone Monitoring kadar WBC.

13. Injeksi Ketorolac Monitoring nyeri yang dirasakan pasien.

14. Drip Tramadol Monitoring nyeri yang dirasakan pasien.

15. Injeksi Alinamin F Disuntikkan secara lambat melalui IV. Monitoring kondisi luka
bekas operasi pasien.
16. Injeksi Vitamin C Monitoring kondisi luka bekas operasi pasien.

17. Injeksi Dexametason Monitoring kondisi bayi. Monitoring kondisi hemolysis pasien.

18. Asam folat Monitoring kadar asam folat, RBC dan Hb.

19 Adalat Oros Monitoring tekanan darah pasien.

20. Metildopa 250 mg Monitoring tekanan darah pasien.

21. Bisoprolol Monitoring tekanan darah pasien. Simpan pada suhu <30oC
dan terlindung dari cahaya.
22. Furosemide 40mg Hati-hati pada pasien gangguan fungsi ginjal, gangguan hepar,
kekurangan elektrolit, dan kekurangan cairan.
23. Kalitake Awasi elektrolit dalam serum secara berkala.

24. Na-Bic Monitoring blood gas dan kadar elektrolit pasien.

25. Infus D40-Actrapid Monitoring kadar kalium pasien.


21 IU

26. Ca-Gluconat 10% Monitoring kadar kalium pasien.


Informasi Pada Pasien

No. Obat Informasi


1. Injeksi SM (Sulfat Pasien diberikan injeksi SM untuk mengatasi kejang eklamsia
Magnesium) yang terjadi dengan cepat. Diharapkan setelah diberikan injeksi
pasien segera tenang dan siap menjalani operasi SC.
2. Infus RD Pasien diberikan infus RD untuk mengatasi ketidakseimbangan
elektrolit dalam tubuh serta sebagai sumber kalori bagi pasien
pasca operasi karena pasien belum diperkenankan makan
makanan sampai flatus (kentut). Apabila infuse habis, pasien
diharapkan segera menghubungi perawat untuk diperbarui atau
diganti.
3. Infus Kaen Mg3 Pasien diberikan infus Kaen Mg3 sebagai suplai kalium untuk
mencegah hipokalemi karena pasien menerima injeksi
furosemide. Apabila infuse habis, pasien diharapkan segera
menghubungi perawat untuk diperbarui atau diganti.
4. Infus PZ Pemberian infus PZ dimaksudkan untuk mensuplai NaCl
karena kadar natrium dan klorida pasien di bawah normal.
Apabila infuse habis, pasien diharapkan segera menghubungi
perawat untuk diperbarui atau diganti.
5. Sonde Nefrisol Sonde nefrisol adalah nutrisi khusus untuk pasien gangguan
ginjal yang mengandung rendah protein dan menjaga kadar
nitrogen darah. Nutrisi ini diberikan sampai pasien flatus
(flatus) dan bias intake makanan.
6. TC TC adalah konsentrat trombosit. Pasien diberikan TC untuk
mencegah penurunan trombosit secara drastis akibat
perdarahan yang terjadi selama operasi SC.
7. PRC Pasien diberikan PRC untuk meningkatkan jumlah sel darah
merah, karena berdasarkan data lab pasien mengalami
penurunan sel darah merah dan hemoglobin.
8. Albumin 20 % Berdasarkan data lab, kadar albumin pasien berada di bawah
normal yang menyebabkan terjadinya pembengkakan kaki.
Sehingga pasien membutuhkan asupan albumin dari luar.
Disampaikan pula bahwa harga albumin cukup mahal.
9. Injeksi Herbesser Injeksi herbesser berisi obat diltiazem yang digunakan untuk
menurunkan TD pasien pada keadaan gawat. Tekanan darah
pasien perlu diturunkan dengan segera karena hendak
melakukan operasi SC.
10. Lasix Pump Pemberian Lasix pump (furosemide) ini dimaksudkan untuk
mengatasi kelebihan cairan yang menyebabkan pembengkakan
pada kaki pasien akibat penurunan albumin.
11. Injeksi Ranitidine Injeksi ranitidine diberikan untuk menurunkan asam lambung
pasien. Setelah operasi pasien tidak boleh mengkonsumsi
makanan sampai flatus (kentut), agar asam lambung tidak
meningkat, pasien memerlukan injeksi obat ranitidin.
12 Injeksi Ceftriaxone Pasien diberikan injeksi ceftriaxone sebagai antibiotik untuk
mencegah terjadinya infeksi karena pasien telah melakukan
tindakan pembedahan.
13. Injeksi Ketorolac Injeksi ketorolac diberikan untuk mengatasi nyeri yang
dirasakan pasien akibat pembedahan.
14. Drip Tramadol Drip tramadol juga diberikan untuk mengatasi nyeri pasca
operasi pasien.
15. Injeksi Alinamin F Injeksi alinamin F dimaksudkan untuk membantu mempercepat
penyembuhan luka bekas operasi pada pasien.
16. Injeksi Vitamin C Injeksi vitamin C juga dimaksudkan untuk membantu
mempercepat penyembuhan luka bekas operasi pada pasien.
17. Injeksi Dexametason Injeksi dexamethasone dimaksudkan untuk pematangan fungsi
paru pada janin dalam kandungan pasien yang mengalami
eklamsia dimana janin harus segera dikeluarkan. Selain itu obat
ini juga untuk mengatasi sindroma HELLP yang dialami
pasien.
18. Asam folat Pasien diberikan asupan asam folat karena ia mengalami
penurunan sel darah merah yang dapat disebabkan karena
penurunan asam folat dalam darah.
19 Adalat Oros Pasien diberikan obat adalat oros untuk mengontrol kondisi
hipertensi agar tidak semakin memperburuk kondisi gangguan
ginjal pasien. Untuk mencegah interaksi yang menyebabkan
penurunan aktivitas obat, pasien dianjurkan untuk tidak
meminum jus jeruk.
20. Metildopa 250 mg Pasien diberikan obat metildopa untuk mengontrol kondisi
hipertensi agar tidak semakin memperburuk kondisi gangguan
ginjal pasien. Salah satu efek samping obat ini adalah mulut
kering. Jika ini terjadi, pasien dapat mengatasinya dengan
minum air putih.
21. Bisoprolol Pasien diberikan obat bisopolol untuk mengontrolkon
hipertensi agar tidak semakin memperburuk kondisi gangguan
ginjal pasien. Untuk mencegah interaksi sebaiknya pasien
menghindari dulu makanan yang mengandung gingseng dan
bawang putih.

22. Furosemide 40mg Pasien diberikan furosemide untuk mengatasi kelebihan cairan
pada kaki yang menimbulkan pembengkakan.
23. Kalitake Pasien diberikan kalitake untuk mengatasi kelebihan kalium di
dalam tubuh. Obat ini dikonsumsi pada perut kosong yaitu 1 –
2 jam sebelum/sesudah makan.
24. Na-Bic Pasien diberikan obat natrium bikarbonat untuk mengatasi
kondisi asidosis (darah terlalu asam) akibat adanya
ketidakseimbangan elektrolit.
25. Infus D40-Actrapid Pasien diberikan infus D40 – actrapid untuk mengatasi
21 IU kelebihan kalium di dalam tubuh.

26. Ca-Gluconat 10% Pasien diberikan Ca – Gluconat untuk mengatasi kelebihan


kalium di dalam tubuh.
Daftar pustaka

Anderton,J.L,dkk.1992.Nefrologi.Jakarta:Hipokrates.

Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13. Jakarta:
EGC, 2000.1435-1443

Cordemans, C., Inneke, D.L., Niels, V.R., Karen, S., Hilde, D., Greg, M., Wolfgang, H., and
Manu, L.M., 2012, Aiming for A Negative Fluid Balance in Patients with Acute Lung
Injury and Increased Intra-Abdominal Pressure: A Pilot Study Looking at the Effects of
PAL-Treatment, Annals of Intensive Care a Springer Open Journal, 2(Suppl 1): S15

Dipiro, J.T., Robert L.T., Gary C.Y., Gary R.M., Barbara G.W., L.M Posey., 2008,
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach8th Edition, McGraw-Hill Company, Inc.,
New York.

Lynda Juall carpernito, Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, Diagnosis
KeperawatandanMasalahKolaboratif,ed.2,EGC,Jakarta,1999.

Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI, 2002.

Price,SA.1995.Patofisiologi.Jakarta:EGC

Parrish CR. 2004. Nutrition in Renal Failure: Myths and Management. Practical

Gastroenterology :September 2004

Prodjosudjadi W, Suhardjono, Suwitra K, et al.2009. Detection and prevention of chronic kidney


disease in Indonesia: initial community screening. Nephrology

Ramzi,Sophie,Roland. 2007. Effect of candesartan cilexetil on diabetic and non-diabetic


hypertensive patients: meta-analysis of five randomized double-blind clinical trials. Dove
Medical Press Limited

Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-434

Anda mungkin juga menyukai