Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

PENCEMARAN LINGKUNGAN
TINGKAT KEBISINGAN di KOTA PONTIANAK TENGGARA

KASIANUS KRISYE FIRSTANTHA


H 1041 151 080

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebisingan merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan di kota-
kota besar. Bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu
atau membahayakan kesehatan. Laporan WHO tahun 1988 yang disampaikan oleh
Ditjen PPM & PLP, Depkes RI (1995), menyatakan 8 – 12% penduduk dunia
menderita dampak kebisingan dalam berbagai bentuk dan diperkirakan angka
tersebut akan meningkat, dan tahun 2001 diperkirakan 120 juta penduduk dunia
mengalami gangguan pendengaran 1. Menteri Negara Lingkungan Hidup No:
Kep. Men-48/MEN.LH/11/96 menyatakan tingkat baku mutu kebisingan khusus
untuk pemukiman adalah sebesar 55 dB (A).
Lalu lintas jalan merupakan sumber utama kebisingan yang mengganggu
sebagian besar masyarakat perkotaan. Salah satu sumber bising lalulintas jalan
antara lain berasal dari kendaraan bermotor, baik roda dua, tiga maupun roda
empat, dengan sumber penyebab bising antara lain dari bunyi klakson. Gesekan
mekanis antara ban dan badan jalan saat pengereman mendadak dan kecepatan
tinggi; suara knalpot akibat penekanan pedal gas secara berlebihan atau knalpot
imitasi; tabrakan antara sesama kendaraan; pengecekan perapian di bengkel
pemeliharaan; dan frekuensi mobilitas kendaraan, baik dalam jumlah maupun
kecepatan (Depkes, 1994).
Kota Pontianak merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Barat yang
memiliki jumlah penduduk sebanyak 598.097 jiwa (BPS Provinsi Kalimantan
Barat, 2015). Padatnya aktivitas penduduk Kota Pontianak saat ini menyebabkan
meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di jalan raya sehingga aktivitas lalu
lintas semakin padat. Tingkat pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor
untuk Kota Pontianak mencapai 729.979 unit dibandingkan dengan tahun 2010
yang hanya mencapai 574.322 unit (Dispenda, 2011). Hal ini menunjukan
terjadinya pertumbuhan kendaraan yang tidak sebanding dengan pertambahan
prasarana seperti angkutan umum sehingga masyarakat lebih memilih
menggunakan kendaraan pribadi guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
menyebabkan volume kendaraan bermotor di jalan lebih banyak dari sebelumnya
dan menimbulkan kebisingan akibat bunyi kendaraan bermotor tersebut.
Pemukiman di Kota Pontianak berpotensi mengalami polusi suara karena
berada tepat disamping jalan raya. Salah satunya yang berpotensi mengalami
polusi suara akibat padatnya arus lalu lintas adalah pemukiman di Jl.Tanjungpura,
Kecamatan Pontianak Barat. Jalan tersebut merupakan jalan yang akses menuju
Pontianak Timu sedangkan jarak pemukiman berdekatan dengan jalan raya hanya
berjarak sekitar 1-10 m dari badan jalan raya sehingga menyebabkan pemukiman
sudah termasuk dalam zona bising (Pedoman Teknik, 1999).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari praktikum lapangan pencemaran lingkungan
tentang pencemaran suara adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kebisingan di Jalan Bundaran Digulis, Gajah Mada dan
Tanjungpura?
2. Bagaimana perbandingan tingkat kebisingan di Jalan Bundaran Digulis,
Gajah Mada dan Tanjungpura?

1.3 Tujuan Praktikum


Tujuan dari praktikum pencemaran lingkungan tentang pencemaran suara
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tingkat kebisingan di Jalan B|undaran Digulis, Gajah |Mada
dan Tanjungpura.
2. Mengetahui perbandingan tingkat kebisingan di Jalan B|undaran Digulis,
Gajah |Mada dan Tanjungpura.
3. Mengetahui akibat terkena paparan kebisingan suara dalam jangka waktu
lama maupun sementara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kebisingan adalah bentuk suara yang tidak diinginkan atau bentuk suara
yang tidak sesuai dengan tempat dan waktunya (Suroto, 2010). Suara tersebut
tidak diinginkan karena mengganggu pembicaraan dan telinga manusia, yang
dapat merusak pendengaran atau kenyamanan manusia, kebisingan adalah bunyi
yang tidak dikehendaki karena tidak sesuai dengan konsep ruang dan waktu
sehingga menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia
(Metawati dkk, 2013).
Jenis kebisingan yang bersumber dari lalu lintas jalan raya umumnya
termasuk fluctuating noise, kecuali pada saat kepadatan lalu lintas yang rendah
dan pada waktu tertentu dilewati oleh kendaraan berat, dimana jenis kebisingan 7
seperti ini termasuk intermitten noise seperti kebisingan yang ditimbulkan oleh
kereta api.

2.2. Sumber dan Jenis


Menurut Suma’mur (1995) sumber bising utama dapat diklasifikasikan
dalam 2 kelompok, yaitu :
a. Bising interior, berasal dari manusia, alat rumah tangga, atau mesin-
mesin gedung, misalnya radio, televisi, bantingan pintu, kipas angin,
komputer, pembuka kaleng, pengkilap lantai, dan pengkondisi udara.
b. Bising eksterior, berasal dari kendaraan, mesin-mesin diesel,
transportasi.Dari kedua sumber bising tersebut di atas, tingkat bising
yang sangat tinggi diproduksi dalam beberapa bangunan industri oleh
proses pabrik atau produksi. Tingkat bunyi sumber-sumber bising
tertentu, yang diukur dengan meter tingkat bunyi.
Kebisingan menurut Suma’mur (1995) dapat dibagi menjadi empat jenis,
yaitu:
a. Kebisingan yang kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady
state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar,
dan lain-lain.
b. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state,
narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas, dan lain-lain.
c. Kebisingan terputus-putus (intermitten), misalnya lalu lintas, suara kapal
terbang di lapangan udara.
d. Kebisingan impulsive (impact or impulsive noise), seperti pukulan,
tembakan atau meriam, ledakan, dan lain-lain.

2.3. Dampak
Menurut Buchari (2007), Pengaruh kebisingan terhadap manusia tergantung
pada karakteristik fisik, waktu berlangsung dan waktu kejadian, ada beberapa
gangguan yang diakibatkan oleh kebisingan diantaranya :
a. Gangguan Pendengaran
Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang berhubungan
dengan komunikasi audio/suara. Alat pendengaran yang berbentuk
telinga berfungsi sebagai fonoreseptor yang mampu merespon tanpa
menimbulkan rasa sakit.Sensitifitas pendengaran pada manusia yang
dikaitkan dengan suara paling lemah yang masih dapat didengar disebut
ambang pendengaran, sedangkan suara yang paling tinggi yang masih
dapat didengar tanpa menimbulkan rasa sakit disebut ambang rasa sakit.
Kerusakan pendengaran (dalam bentuk ketulian) merupakan penurunan
sensitifitas yang berlangsung secara terus-menerus.
b. Gangguan Kesehatan
Kebisingan berpotensi untuk mengganggu kesehatan manusia apabila
manusia terpapar aras suara dalam suatu perioda yang lama dan
terusmenerus. Aras suara 75 dB untuk 8 jam kerja per hari jika hanya
terpapar satu hari saja pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesehatan,
tetapi apabila berlangsung setiap hari, maka suatu saat akan melewati
suatu batas dimana paparan kebisingan tersebut akan menyebabkan
hilangnya pendengaran seseorang (tuli).

2.4. Baku Mutu


Dalam Pengukuran Tingkat Kebisingan Lalu Lintas menggunakan Sound
Level Meter, baku mutu yang digunakan adalah Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No. 48 Tahun 1996 Tentang Baku Tingkat Kebisingan.

2.5. Upaya Pengendalian


a. Pengurangan kebisingan pada sumbernya
Hal ini bisa dilakukan dengan menempelkan alat peredam suara pada
alat yang bersangkutan. Pada waktu sekarang penelitian dan perencanaan
yang disertai teknologi modern, mesin-mesin baru yang mutakhir tidak
lagi banyak menimbulkan kebisingan. Suara yang ditimbulkan juga suda
tidak lagi mengganggu dan membahayakan lingkungan.
b. Penembatan penghalang pada jalan transmisi
Usaha ini dilakukan dengan jalan mengadakan isolasi ruangan atau
alat-alat penyebab kebisingan dengan jalan menempatkan bahan-bahan
yang mampu menyerap suara sehingga suaara-suara yang keluar tidak
lagi merupakan gangguan bagi ligkungan.
c. Pemakaian sumbat atau tutup telinga
Cara ini terutama dianjurkan kepaa orang yang berada di sekitar
sumber kebisingan yang tidak dapat dikendalikan, seperti ledakan. Alat
penyumbat telinga ini bisa mengurangi intensitas kebisingan kurang lebih
24 dB.
Selain itu, bagi orang yang bekerja di ruangan dengan kebisingan di atas 100
dB diharuskan memakai tutup telinga.
BAB III
METODE KERJA

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum dilaksanakan pada bulan Mei 2019 yang dilakukan selama 3
minggu. Praktukum dilakukan 3 tempat berbeda yaitu Jalan Gajah Mada, jalan
Tanjungpura dan Bundaran Digulis.
3.2 Alat
Alat alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu sound level meter dan
alat tulis
3.3 Penentuan Waktu
Pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (L SM) yang dibagi menjadi 2
bagian yaitu Siang hari tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS)
pada selang waktu 06.00 – 22.00 dan malam hari aktifitas selama 8 jam (LM) pada
selang waktu 22.00 – 06.00. Setiap pengukuran harus dapat mewakili waktu
tertentu dengan menetapkan minimal 4 (empat) waktu pengukuran pada siang hari
dan 3 (tiga) waktu pengukuran pada malam hari. Periode pengambilan sampel
kebisingan 24 jam sebagai berikut:
- L1 diambil pada jam 07.00 mewakili jam 06.00 – 09.00
- L2 diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 – 14.00
- L3 diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 – 17.00
- L4 diambil pada jam 20.00 mewakili jam 17.00 – 22.00
- L5 diambil pada jam 23.00 mewakili jam 22.00 – 24.00
- L6 diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00 – 03.00
- L7 diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00 – 06.00

3.4 Cara Kerja


3.4.1 Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan menyiapkan sebuah Sound Level
biasa, kemudian diukur tingkat tekanan bunyi (dBA) selama 10 menit. Untuk tiap
pengukuran pembacaan dilakukan setiap 5 (lima) detik LTM5. Data digital yang
ditampilkan dicatat. Jumlah data yang dikumpulkan selama 10 menit adalah 120
buah.
3.5 Analisis Data
Pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) meliputi siang hari
tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang waktu pagi
jam 06.00 WIB sampai malam jam 22.00 WIB, malam hari aktifitas selama 8 jam
(LM) pada selang waktu malam jam 22.00 WIB sampai waktu pagi jam 06.00
WIB. Data dianalisis dengan perhitungan menggunakan rumus:

Hitung LTM5 = 10 log 1 Tn.100,1Ln/n

Keterangan:
LTM5: pengukuran tiap 5 detik
Selanjutnya hasil perhitungan tingkat kebisingan yang diambil dalam 7
periode pengukuran selama 24 jam tersebut dibandingkan dengan baku mutu
menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.48/KEP/ XI/1996 tentang
Baku Tingkat Kebisingan.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil yang diperoleh dari praktikum Pencemaran Lingkungan “Pengukuran
Kebisingan di beberapa lokasi di Kota Pontianak, Kalimantan Barat” ini sebagai
berikut.
Tabel 4.1.1 Hasil Pengukuran Kebisingan pada Siang Hari (LS)
No. Lokasi Nilai Kebisingan (dBA)

1. Jalan Gajah Mada 73,24

2. Jalan Tanjungpura 78.08

3. Bundaran Digulis 77.47

Tabel 4.1.2 Hasil Pengukuran Kebisingan pada Malam Hari (LM)

No. Lokasi Nilai Kebisingan (dBA)

1. Jalan Gajah Mada 62,94

2. Jalan Tanjungpura 78.98

3. Bundaran Digulis 68.74

Tabel 4.1.3 Hasil Pengukuran Kebisingan Selama Aktivitas 24 Jam (LSM)

No. Lokasi Nilai Kebisingan (dBA)

1. Jalan Gajah Mada 68,20

2. Jalan Tanjungpura 81.01

3. Bundaran Digulis 76.54

4.2 Pembahasan
Tingginya tingkat kebisingan yang disebabkan oleh aktivitas transportasi
di sebagian ruas Jalan Gajah Mada, Jalan Tanjungpura, dan Jalan Bundaran
Digulis, karena tingginya volume lalu lintas yang relatif sama, terutama pada pagi
dan siang hari, maka pada ketiga ruas jalan ini akan berdampak negatif terhadap
aktivitas warga seperti gangguan pendengaran, komunikasi, kualitas tidur,
psikologis, konsentrasi dan produktivitas kerja di sepanjang ruas jalan yang
ditinjau, sehingga perlu dilakukan mitigasi dampak kebisingan yang berada diatas
baku mutu pada sebagian ruas-ruas tersebut. Tingkat kebisingan yang terukur di
pengukuran kebisingan selama 24 jam (Lsm) di jalan Gajah Mada sebesar 68,20
dB, di jalan Tanjungpura 81,01 dB dan di jalan digulis 76,54 dB. Berdasarkan
hasil pengamatan tingkat kebisingan di jalan tersebut diketahui bahwa
Tanjungpura lebih besar dibandingkan jalan yang lain. Hal ini terjadi akibat jalan
Tanjungpura merupakan jalur akses menuju Pontianak sehingga menyebabkan
volume kendaran sangat banyak dan besar.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1996 menyatakan
bahwa ambang batas baku mutu untuk kebisingan di pemukiman tidak boleh
melewati 55 dB(A). Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan bahwa tingkat
kebisingan pada jalan Tanjungpura melebihi ambang baku mutu untuk semua titik.
Hal ini dikarenakan kondisi bahu jalan tidak sebanding dengan jumlah kendaraan
yang melintas mengakibat bunyi gesekan ban dan jalan serta suara klakson
terdengar sangat kuat. Terlihat dari banyaknya kendaraan besar pelabuhan yang
melintas dan juga motor dan mobil pribadi yang melewati jalan tersebut.
Sedangkan daerah yang memiliki tingkat kebisingan paling kecil terjadi pada jalan
Gajah mada yang dikarenakan kendaraan yang melintas hanya terjadi pada jam
kerja yaitu saat pergi dan pulang.
Polusi suara berakibat buruk bagi kesehatan terutama untuk pendengaran.
Kebisingan >70 dB dapat menyebabkan hipertensi sedangkan >90 dB dapat
membuat otot menjadi tegang dan stress (Regnault, 1990). Normalnya manusia
dapat mendengar suara dengan intensitas bunyi 0-25 dB. apabila terjadi
peningkatan pendengaran 26-40 dB maka dipastikan seseorang tersebut menderita
tuli ringan, jika peningkatan pendengaran mencapai 41-60 dB disebut tuli sedang,
peningkatan pendengaran pada 61-90 dB disebut tuli berat, dan >90 dB disebut
tuli sangat berat. Pemanfaatan alat-alat yang menggunakan mesin yang berbunyi
bising maupun penggunaan gadget yang menunjang penggunaan earphone yang
langsung mengenai gendang telinga meningkatkan resiko terhadap pencemaran
suara. Tingkat kebisingan di daerah perkotaan yang dipadati bangunan
perumahan, kantor, pusat perbelanjaan, serta pabrik-pabrik jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah perkampungan yang tingkat pembangunannya masih
belum berkembang. Selain itu kebisingan di jalan lalu lintas yang padat
kendaraan, belum lagi suara tv, suara hewan peliharaan maupun pembangunan
proyek yang berada didekat daerah pemukiman juga tinggi terlebih jika kawasan
hijau dan perhutanan kota minim sehingga tidak ada yang menjadi peredam
kebisingan. Secara garis besar strategi pengendalian bising dibagi menjadi tiga
elemen yaitu pengendalian terhadap sumber bising, pengendalian terhadap jalur
bising dan pengendalian terhadap penerima bising (Djalante, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat, 2015, Kalimantan Barat Dalam Angka,
Pontianak

Buchari, 2007, Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program, USU


Repository, Medan
Departemen Kesehatan RI, 1994, Materi Job Trining Petugas Pengawas Faktor
Risiko Lingkungan Kebisingan di Kawasan Bandara Internasional
Yogyakarta, Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Departemen Kesehatan RI, 1995, Pelunjuk Pelaksanaan Pengawasan


Kebisingan.Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Dinas Pendapatan Kalimantan Barat, 2011, Pertumbuhan Kendaraan Bermotor di


Kalimantan Barat, Pontianak

Djalante S, 2010, Analisis Tingkat Kebisingan di Jalan Raya Yang Menggunakan


Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APIL), Jurnal SMARTek, Volume 8 No.
4: 280-300

Keputusan Direktur Jendral Bina Marga, 1999, Pedoman Perencanaan Teknik


Bangunan Peredam Bising

Metawati N, Busono T, Siswoyo S, 2013, Evaluasi Pemenuhan Standar Tingkat


Kebisingan Kelas di SMPN 23 Bandung. Invotex. IX (2): 145-156

Regnault, MA, 1990, The Decibel Inferno, WHO


Suma’mur PK,1995, Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan Kerja,
Jakarta: PT Toko Gunung Agung

Suroto W, 2010, Dampak Kebisingan Lalu Lintas Terhadap Permukiman Kota


(Kasus Kota Surakarta), Journal of Rural and Development: 1(1)

Anda mungkin juga menyukai