TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar DHF
2.1.1 Definisi
Dengue Hemoragic Fever (DHF) merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti dan dapat menyerang semua orang terutama anak-anak dan dapat
menyebabkan kematian (Departemen Kesehatan RI, 2000).
Sedangkan menurut Smeltzer 2001, mendefinisikan bahwa Dengue
Hemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh vektor virus
yang dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti.
Demam Berdarah Dengue (dengue haemorhagie fever) ialah penyakit yang
terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan
sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Demamberdarah
dengue disebabkan oleh beberapa virus dengue yang dibawa arthropoda.
Demam berdarah dengue ini dapat menimbulkan manifestasi perdarahan dan
cenderung terjadi syok yang dapat menimbulkan kematian (Hendarwanto,
2000).
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti.(Suriadi,Rita Yuliani,2006 : 57 ). Demam berdarah dengue adalah
penyakit demam akut yang disebabkan oleh 4 tipe serotipe virus dengue dan
ditandai dengan 4 gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi, manifestasi
perdarahan, hepatomegali, dan tanda tanda kegagalan sirkulasi sampai
timbulnya renjatan ( sindrom renjatan dengue) sebagai akibat dari kebocoran
plasma yang dapat menyebabkan kematian.(Abdul Rohim,dkk,2002 : 45)
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Dengue
Hemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui
nyamuk Aedes Aegypti yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri otot dan
sendi, syok serta dapat menimbulkan kematian.
2.1.2 Anatomi Fisiologi
1. Sel-sel darah ada 3 macam, yaitu :
a. Eritrosit ( Sel Darah Merah)
Eritrosit merupakan sel darah yang telah berdeferensiasi jauh dan
mempunyai fungsi khusus untuk transport oksigen. Pada pria
jumlah eritrosit 5-5,5 juta/mmk dan wanita 4,5-5 juta/mm3.
b. Leukosit (Sel Darah Putih)
Sel darah putih yang mengandung inti, normalnya 5000-
9000/mm3. Lekosit ikut serta dalam pertahanan seluler dan
hormonal (zat setengah cair) organism asing dan melakukan
fungsinya di dalam jaringan ikat, melakukan gerakan amuboid,
membantu untuk menerobos dinding pembuluh dahrah ke dalam
jaringan ikat.
c. Trombosit (Sel Pembeku Darah)
Keping darah berwujud cakram. Protoplasmanya kecil yang
dalam peredaran darah tidak berwarna, jumlahnya bervariasi antara
200.000- 300.000/mm3 darah. Fungsi trombosit penting dalam
pembekuan darah. Jika pembuluh darah terpotong, trombosit
dengan cepat menggumpal melekat satu sama lain dan menjadi
fibrin. Masa trombosit menggumpal dan fibrin adalah dasar untuk
pembekuan.
2. Struktur Sel
a. Membran Sel (Selaput Sel)
Membran sel merupakan struktur elastis yang sangat tipis,
tebalnya hanya 7,5-10nm (nano meter). Hampir seluruhnya terdiri
dari keping0keping halus gabungan protein lemak yang merupakan
tempat lewatnya berbagai zat yang keluar masuk sel. Membran ini
bertugas untuk mengatur hidup sel dan menerima segala bentuk
rangsangan yang datang.
b. Plasma (Sitoplasma)
Bahan-bahan yang terdapat dalam plasma adalah bahan
anorganik (garam, mineral, air, oksigen, karbon dioksida dan
amoniak), bahan organis (karbohidrat, lemak, protein, hormon,
vitamin dan asam nukleat) dan peralatan sel yang disebut organes
sel yang terdiri dari ribosom, retikulum endoplasma, mitokondria,
sentrosom, alat golgi, lisosom dan nukleus.
2.1.3 ETIOLOGI
2.1.3 Patofisiologi
Virus Dengue bisa masuk edalam tubuh melalui gigitan nyamuk
aedes gepty lalu kemudian bereaksi dengan antibody di dalam tubuh dan
terbentulah adanya kompleks virus-antibody, dalam sirkulasi akan dapat
mengaktivasi system komplemen (suriadi & yuliani,2001). Akibat adanya
aktivasi C3 & C5 akan dilepasnya C3a & C5a, dua peptida yang berdaya
buat melepaskan sebuah histamine & suatu merupakan mediator yang kuat
sebagai faktor yang menyebabkan meningkatnya permiabillitas dari
dinding pembuluh darah & menghilangkan plasma melalui endotel dinding
tersebut. Reaksi tubuh merupakan sebuah reaksi yang biasa trlihat pada
infeksi oleh virus. Reaksi yang amat sangat berbeda akan terlihat. Apabila
seseorang mendapatkan infeksi berulang dengan type virus dengue yang
lainnya. Dan DHF cepat terjai apabila sesorang yang telah terinfeksi
pertama kali,mendapat infeksi berulang dari virus dengue lainnya. Re-
infeksi ini biasa menyebabkan adanya suatu reasi anamnestik antibody,
sehingga menimbulkan adana konsentrasi yang kompleks antigen-antibody
(kompleks virus-antibody) yng tinggi.
Hal pertama yang akan terjadi jika virus masuk ke dalam tubuh ialah
virema yang menyebabkan penderita mengalami demam, adanya sakit
kepala,merasa mual,nyeri otot, dan merasa pegal-pegal diseluruh tubuh.
Ruam atau terdapat bintik-bintik merah pada kulit (petekie), adanya
hyperemia tenggorokan dan kelainan yang mungkin saja muncul pada
system retikuloendotelial seperti adanya pembesaran pada kelenjar-
kelenjar getah bening hati & limpa. Ruam pada DHF disebabkan lantaran
adanya kongesti pembuluh darah dibawah kulit bisa pembesaran hati
(Hepatomegali) dan juga pembesaran limpa (splenomegali) . peningkatan
permeabilitas dinding kapiler membuat berkurangnya volume plasma,
sehingga terjadi hipertensi dan hipoproteinema, dan hemokonsentrasi,serta
efusi juga adanya renjatan (syok).
c. Nyeri punggung
d. Nyeri perut
c. Epitaksis
f. Melena
5. Manifestasi lain
a. Nyeri epigastrium
b. Nyeri menelan
Keadaan DSS yang tidak seagera ditangani maka dalam waktu 12-24 jam
penderita akan meninggal. Gejala klinis DHF menurut patokan WHO, 1985:
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari tanpa
sebab yang jelas.
4. Dengan atau tanpa renjatan. Renjatan yang terjadi pada saat demam
biasanya mempunyai progrmosis yang buruk.
5. Kenaikan nilai Ht atau hemakonsentrasi yaitu sekitar 20%.
c. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi darah dengan adanya nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (kurang dari 20 mmHg) atau
hipotensi disertai kulit yang dingin dan lembab, gelisah (tanda –
tanda awal renjatan).
d. Derajat IV
Renjatan berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah
yang tidak dapat diukur. (Ngastiyah, 2005).
Tanda dan Gejala Lainnya dari Dengue Hemoragic Fever (DHF) :
1. Masa Inkubasi
5. Renjatan (Syok)
2.1.5 Pentalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
g. Bila tidak terjadi sesuatu setelah dirawat 2-3 hari, danpasien dalam
keadaan membaik dengan ditandai dengan nafsu makan yang baik,
pasien di pulangkan.
4. Perawatan pasien DHF derajat II
2.1.6 Pencegahan
Menurut Prasetyono, D.S (2013) pencegahan yang dilakukan dengan
cara menghindari gigitan nyamuk di waktu pagi sampe sore, karena nyamuk
aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Hindari pula lokasi yang
banyak nyamuknya di siang hari, terutama di daerah yang ada penderita
DBD-nya. Berikut beberapa cara paling efektif dalam mencegah penyakit DBD:
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui pengelolaan sampah padat,
modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan
manusia, dan perbaikan desain rumah.
2. Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) di tempat air
kolam
3. Pengasapan (fogging) dengan menggunakan malathion dan fenthion.
2.2.1 Definisi
2.2.3 Etiologi
1. Faktor genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai
kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian
SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara
kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2
dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal
reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta
gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar,
2003) . Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE.
Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembarn non-identik (2-9%).
2. Faktor lingkungan
a. Infeksi
Risiko timbulnya SLE meningkat pada mereka yang lain pernah sakit
herpes zoster (shingles). Herpes zoster adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus varisela, virus yang juga menjadi penyebab dari
penyakit cacar air (variscela atau chiken pox).
b. Antibiotik
Hormon Kurang lebih dari 90% dari penderita SLE adalah wanita.
Perbedaan hormonal antara pria dan wanita mungkin menjadi latar
belakang timbulnya lupus.
c. Faktor sinar matahari
Adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala Lupus.
Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak
ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi autoimmun.
Tetapi bukan berarti bahwa penderita hanya bisa keluar pada malam
hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau
sesudah pukul 16.00 WIB dan disarankan agar memakai krim
pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di negara
tropis seperti Indonesia, merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi
para pasien yang peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan
bercak-bercak kemerahan di bagian muka.kepekaan terhadap sinar
matahari (photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak normal
terhadap sinar matahari.
d. Stres yang berlebihan
e. Obat-obatan yang tertentu.
2.2.4 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atauobat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut
berulang kembali.
2.2.5 Pathway
2.2.6 Pemeriksaan penunjang
1. Patologi Anatomi
Hasil yang didapat pada penderita lupus berupa:
Epidermis atrofi
Degenerasi pada junction dermal-epidermal
Dermis edema
Infiltrat limfositosis dermal
Degeneratif fibrinoid dari jaringan konektif dan dinding
pembuluh darah.
2. Imunofluoresensi Kulit
Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibodi intraseluler tipe
IgG dan C3. Pada tes imunofluoresensi secara langsung didapatkan
antibodi pemphigus tipe IgG. Tes pertama lebih terpercaya daripada
tes kedua, karena telah positif pada penuaan penyakit. Kadar titernya
pada umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun
dan menghilang dengan pengobatan kortikosteroid.
3. Serologi
Pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan yang menggunakan serum.
Pemeriksaan serologi mempunyai hasil yang sangat bervariasi
tergantung pada respon imun saat pemeriksaan laboratorium dilakukan
dan lamanya kelainan yang dialami penderita. Pada pemeriksaan ini,
penderita SLE sering menunjukkan hasil berupa:
ANA positif
Anti double strand DNA antibodies
Anti-Sm antibodies dan rRNP antibodies specific
Anti-kardiolipin auto anti-bodi
4. Hematologi
Penderita SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan hematologi sebagai
berikut:
Anemia
Limpopenia
Trombositopenia
Elevasi ESR
5. Urinalisa
Akan menunjukkan hasil berupa:
Proteinuria.
b. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Steroid
dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki
efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada
meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi
meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada
pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID.
Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan
tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis
tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak
efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang
berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu,
pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik
(Djoerban, 2002).
c. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih
rendah. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar
kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko
cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan
(Djoerban, 2002).
d. Immunosupresan
Azathioprine Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit
imunosupresan: mengurangi biosintesis purin yang diperlukan
untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan
tubuh.
Mycophenolate mofetil Mycophenolate mofetil (MMF)
berfungsi menghambat sintesis purin, proliferasi limfosit dan
respon sel T antibodi.
Methotrexate Methotrexate merupakan asam folat antagonis
yang diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit,
tetapi memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan
tubuh termasuk modulasi produksi sitokin
Cyclosporin Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin
sehingga menyebabkan penurunan fungsi efektor limfosit T.
Cyclophosphamide Obat ini telah digunakan secara luas untuk
pengobatan lupus yang mengenai organ internal dalam empat
dekade terakhir. Obat ini juga banyak digunakan untuk
pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit paru
berat.
Rituximab Rituximab bekerja pada sel B yang diduga
merupakan sel esensial dalam perkembangan lupus. Sekarang
ini Rituximab sering diberikan kombinasi dengan methotrexate
2. Penatalaksanaan keperawatan
2. ETIOLOGI
Sindrom immunodefisiensi didapat pediatrik (AIDS) disebabkan
oleh virus immunodefisiensi manusia / Human Immunodeficiency virus
(HIV) tipe 1 (HIV-1) yang melekat dan memasuki limfosit T helper CD4+
, yang juga ditemukan dalam jumlah yang lebih rendah pada monosit dan
makrofag.
HIV-I merupakan retrovirus yang termasuk pada subfamili
Lentivirus. Juga sangat dekat dengan HIV-II, yang menyebabkan penyakit
yang sama.
HIV adalah virus RNA dan merupakan parasit obligat intra sel
.Dalam bentuknya yang asli ia merupakan partikel yang inert, tidak dapat
berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel host ( sel target ).
4. PATOFISIOLOGI
Pada neonatal HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui penularan
transplasental atau perinatal. Setelah virus HIV masuk ke dalam target (
terutama sel limfosit T ) yang mempunyai reseptor untuk virus HIV yang
disebut CD4. Ia melepas bungkusnya kemudian mengeluarkan enzim R-
tase yang dibawanya untuk mengubah bentuk RNA-nya menjadi DNA
agar dapat bergabung menyatukan diri dengan DNA sel target (sel limfosit
T helper CD4 dan sel-sel imunologik lain ) . Dari DNA sel target ini
berlangsung seumur hidup. Sel limfosit T ini dalam tubuh mempunyai
mempunyai fungsi yang penting sebagai daya tahan tubuh. Akibat infeksi
ini fungsi sistem imun (daya tahan tubuh) berkurang atau rusak, maka
fungsi imonologik lain juga mulai terganggu.
Empat populasi utama pada kelopok usia pediatrik yang terkena HIV :
Remaja
1) Demam
2) Malaise
3) Keletihan
4) Keringat malam
5) Penurunan berat badan yang tidak nyata
6) Diare kronik atau kambuhan
7) Limfadenopati umum
8) Kandidiasis aral
9) Atralgia dan mialgia. ( Cecily L. Betz, 2002 : 211 )
Kategori Klinis HIV
Limfadenopati
Hepatomegali
Splenomegali
Dermatitis
Parotitis
Infeksi saluran pernapasan atas yang kambuhan/ persisten,
sinusitis, atau otitis media
3) Kategori B : Gejala sedang
Anak-anak dengan kondisi simtomatik karena infeksi HIV atau
menunjukkan kekurangan kekebalan karena infeksi HIV . Contoh dari
kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
6. PENDEKATAN DIAGNOSA
Pendekatan diagnosa HIV pada anak terutama bayi relatif lebih sukar dari
pada orang dewasa. Hal ini di samping karena tanda klinisnya yang tidak /
kurang meyakinkan akibat banyaknya penyakit lain yang harus dipikirkan
sebagai diagnosa bandingnya, juga karena pemeriksaan serologisnya yang
sering membingungkan. Adanya antibodi terhadap HIV (IgG) pada darah
bayi dapat merupakan antibodi yang berasal dari ibunya, karena antibodi
ini dapat menembus plasenta, yang dapat menetap berada dalam darah si
anak sampai berumur 18 bulan. Kalau hal ini terjadi , maka memerlukan
pemeriksaan serial dan untuk mengevaluasi kebenaran terjadinya infeksi
bagi si bayi. Pada umumnya dikatakan, masih terdapatnya antibodi sampai
lebih dari 15 bulan menunjukkan adanya infeksi HIV pada bayi.
Terdapatnya antibodi kelas IgM atau IgA, mempunyai arti diagnostik yang
lebih tinggi, dengan sensitifitas dan spesifitas sampai 98%.
Pada umumnya diagnosa infeksi HIV pada anak ditegakkan atas dasar :
WHO telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak sebagai berikut
:
Gejala Mayor :
Gejala Minor :
(lihat tabel 2)
Tabel 2. Klasifikasi infeksi HIV pada anak di bawah umur 18 tahun menurut
Center for Disease Control (CDC)
Kategori E-2 Kanker lain yang mungkin juga disebabkan karena infeksi
AIDS
Untuk memudahan dalam membuat diagnosa ARC, oleh CDC telah pula
diberikan kriterianya seperti tercantum pada tabel 3
Kriteria Mayor :
- Pneumonitis interstitialis
- “Oral Thrush” yang menetap / berulang
- Pembesaran kelenjar parotis
Kriteria Minor :
Kriteria Laboratorium :
8. PENATALAKSANAAN MEDIS
I. Penalaksanaan perinatal terhadap bayi yang dilahirkan dari ibu yang
terbukti terinfeksi HIV.
Pembersihan bayi segera setelah lahir terhadap segala cairan yang
berasal dari ibu baik darah maupun cairan-cairan lain, sebaiknya
segala tindakan terhadap si bayi dikerjakan secara steril. Pertimbangan
untuk tetap memberikan ASI harus dipikirkan masak-masak, bahkan
ada yang menganjurkan untuk penunjukan orang tua asuh. Penting
untuk senantiasa memonitor anti HIV, sejak si ibu hamil sampai
melahirkan, demikian juga sang bayi sampai berumur lebih dari 2
tahun. Ada pula yang menganjurkan untuk melakukan terminasi
kehamilan, bagi ibu yang jelas terkena infeksi HIV, karena
kemungkinan penularan pada bayinya sampai 50%.
Stavudin D4T
Zalbitabin DDC
Lamivudin 3TC
Ritonavir
Saquinavir
Non-Nucleoside-Reserve
Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Nevirapin
setelah terpajan)
dengan 2 NRTI
Pada wanita hamil dengan infeksi HIV dapat diberi AZT 2 kali
sehari peroral sejak minggu ke 36 kehamilan sampai persalinan
tanpa memandang jumlah CD4, serta dianjurkan untuk tidak
menyusui bayinya. Pada bayi yang baru lahir bila ibunya HIV
positif, dapat diobati dengan AZT sampai 6 minggu. Sebenarya
pada bayi / anak pengukuran viral-load penting karena rentang
jumlah CD4 yang sangat bervariasi selama masa pertumbuhannya.
5. Pemberian Vaksinasi
Pada penelitian ternyata, bahwa anak yang terkena infeksi HIV,
masih mempunyai kemampuan immunitas terhadap vaksinasi yang
baik sampai berumur 1-2 tahun. Kemampuan ini menurun setelah
berusia di atas 2 tahun, bahkan ada yang mengatakan
menghilang pada umur 4 tahun. Karenanya vaksinasi rutin sesuai
dengan “Program Pengembangan Immunisasi yang ada di
Indonesia dapat tetap diberikan, dengan pertimbangan yang lebih
terhadap pemberian vaksin hidup, terutama BCG dan Polio.
Kelompok Usia :
9. PENCEGAHAN
Pemberian zidovudin selama kehamilan efektif dalam menurunkan
resiko infeksi janin dari wanita hamil yang terinfeksi HIV-1 pada minggu
ke 14-34 kehamilan yang belum mendapat obat ini karena memiliki
limfosit CD4 yang jumlahnya lebih dari 200 sel/mm³tanpa gejala klinis
AIDS. Ibu mendapat terapi zidovudin oral ( 100 mg lima kali sehari )
selama sisa masa kehamilan.