Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar DHF
2.1.1 Definisi
Dengue Hemoragic Fever (DHF) merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti dan dapat menyerang semua orang terutama anak-anak dan dapat
menyebabkan kematian (Departemen Kesehatan RI, 2000).
Sedangkan menurut Smeltzer 2001, mendefinisikan bahwa Dengue
Hemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh vektor virus
yang dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti.
Demam Berdarah Dengue (dengue haemorhagie fever) ialah penyakit yang
terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan
sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Demamberdarah
dengue disebabkan oleh beberapa virus dengue yang dibawa arthropoda.
Demam berdarah dengue ini dapat menimbulkan manifestasi perdarahan dan
cenderung terjadi syok yang dapat menimbulkan kematian (Hendarwanto,
2000).
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti.(Suriadi,Rita Yuliani,2006 : 57 ). Demam berdarah dengue adalah
penyakit demam akut yang disebabkan oleh 4 tipe serotipe virus dengue dan
ditandai dengan 4 gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi, manifestasi
perdarahan, hepatomegali, dan tanda tanda kegagalan sirkulasi sampai
timbulnya renjatan ( sindrom renjatan dengue) sebagai akibat dari kebocoran
plasma yang dapat menyebabkan kematian.(Abdul Rohim,dkk,2002 : 45)
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Dengue
Hemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui
nyamuk Aedes Aegypti yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri otot dan
sendi, syok serta dapat menimbulkan kematian.
2.1.2 Anatomi Fisiologi
1. Sel-sel darah ada 3 macam, yaitu :
a. Eritrosit ( Sel Darah Merah)
Eritrosit merupakan sel darah yang telah berdeferensiasi jauh dan
mempunyai fungsi khusus untuk transport oksigen. Pada pria
jumlah eritrosit 5-5,5 juta/mmk dan wanita 4,5-5 juta/mm3.
b. Leukosit (Sel Darah Putih)
Sel darah putih yang mengandung inti, normalnya 5000-
9000/mm3. Lekosit ikut serta dalam pertahanan seluler dan
hormonal (zat setengah cair) organism asing dan melakukan
fungsinya di dalam jaringan ikat, melakukan gerakan amuboid,
membantu untuk menerobos dinding pembuluh dahrah ke dalam
jaringan ikat.
c. Trombosit (Sel Pembeku Darah)
Keping darah berwujud cakram. Protoplasmanya kecil yang
dalam peredaran darah tidak berwarna, jumlahnya bervariasi antara
200.000- 300.000/mm3 darah. Fungsi trombosit penting dalam
pembekuan darah. Jika pembuluh darah terpotong, trombosit
dengan cepat menggumpal melekat satu sama lain dan menjadi
fibrin. Masa trombosit menggumpal dan fibrin adalah dasar untuk
pembekuan.
2. Struktur Sel
a. Membran Sel (Selaput Sel)
Membran sel merupakan struktur elastis yang sangat tipis,
tebalnya hanya 7,5-10nm (nano meter). Hampir seluruhnya terdiri
dari keping0keping halus gabungan protein lemak yang merupakan
tempat lewatnya berbagai zat yang keluar masuk sel. Membran ini
bertugas untuk mengatur hidup sel dan menerima segala bentuk
rangsangan yang datang.
b. Plasma (Sitoplasma)
Bahan-bahan yang terdapat dalam plasma adalah bahan
anorganik (garam, mineral, air, oksigen, karbon dioksida dan
amoniak), bahan organis (karbohidrat, lemak, protein, hormon,
vitamin dan asam nukleat) dan peralatan sel yang disebut organes
sel yang terdiri dari ribosom, retikulum endoplasma, mitokondria,
sentrosom, alat golgi, lisosom dan nukleus.
2.1.3 ETIOLOGI

Pada umumnya masyarakat kita mengetahui penyebab dari Dengue


Hemoragic Fever adalah melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Virus
dengue mempunyai 4serotive, yaitu: 1, 2, 3 dan 4 yang ditularkan melalui
nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk ini biasanya hidup di kawasan tropis dan
berkembang biak pada sumber air yang tergenang (Smeltzer, 2001). Virus
dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap inaktivitas
oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70ºC. Keempat
serotive tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotive ke 3
sebagai serotive yang paling banyak (Hendarwanto, 2000).
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga flaviviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 mm terdiri dari asam
ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106. Terdapat 4
serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat
serotipe ditemukan di indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe
terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan
flavivirus lain seperti yellow fever, japaneseencehphalitis dan west
nille virus. Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan
mamalia seperti tikus, kelinci,anjing, kelelawar, dan primate. Survei
epidemiologi pada hewan ternak di dapatkan antibodi terhadap virus
dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada artropoda
menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus aedes (
stegomyia ) dan toxorhynchites. (Suhendro,2007:1709)

2.1.3 Patofisiologi
Virus Dengue bisa masuk edalam tubuh melalui gigitan nyamuk
aedes gepty lalu kemudian bereaksi dengan antibody di dalam tubuh dan
terbentulah adanya kompleks virus-antibody, dalam sirkulasi akan dapat
mengaktivasi system komplemen (suriadi & yuliani,2001). Akibat adanya
aktivasi C3 & C5 akan dilepasnya C3a & C5a, dua peptida yang berdaya
buat melepaskan sebuah histamine & suatu merupakan mediator yang kuat
sebagai faktor yang menyebabkan meningkatnya permiabillitas dari
dinding pembuluh darah & menghilangkan plasma melalui endotel dinding
tersebut. Reaksi tubuh merupakan sebuah reaksi yang biasa trlihat pada
infeksi oleh virus. Reaksi yang amat sangat berbeda akan terlihat. Apabila
seseorang mendapatkan infeksi berulang dengan type virus dengue yang
lainnya. Dan DHF cepat terjai apabila sesorang yang telah terinfeksi
pertama kali,mendapat infeksi berulang dari virus dengue lainnya. Re-
infeksi ini biasa menyebabkan adanya suatu reasi anamnestik antibody,
sehingga menimbulkan adana konsentrasi yang kompleks antigen-antibody
(kompleks virus-antibody) yng tinggi.
Hal pertama yang akan terjadi jika virus masuk ke dalam tubuh ialah
virema yang menyebabkan penderita mengalami demam, adanya sakit
kepala,merasa mual,nyeri otot, dan merasa pegal-pegal diseluruh tubuh.
Ruam atau terdapat bintik-bintik merah pada kulit (petekie), adanya
hyperemia tenggorokan dan kelainan yang mungkin saja muncul pada
system retikuloendotelial seperti adanya pembesaran pada kelenjar-
kelenjar getah bening hati & limpa. Ruam pada DHF disebabkan lantaran
adanya kongesti pembuluh darah dibawah kulit bisa pembesaran hati
(Hepatomegali) dan juga pembesaran limpa (splenomegali) . peningkatan
permeabilitas dinding kapiler membuat berkurangnya volume plasma,
sehingga terjadi hipertensi dan hipoproteinema, dan hemokonsentrasi,serta
efusi juga adanya renjatan (syok).

1.1.4 Tanda dan gejala


Masa tunas 3-5 hari tetapi rata-rata 5-8 hari. Gejala klinis timbul secara
mendadak. Adapun tanda dan gejala DHF adalah sebagai berikut:
1. Demam mendadak disertai gejala klinik yang tidak spesifik:
b. Anoreksia

c. Nyeri punggung

d. Nyeri perut

e. Nyeri sendi dan otot

f. Nyeri kepala hebat

g. Nyeri di belakang kepala

h. Demam terjadi 2-7 hari (demam ringan atau tinggi


dengan suhu > 39oC)
2. Hepatomegali

3. Manifestasi perdarahan muncul hari ke 2 dan 3.

a. Uji turniguet (+)

b. Petechie (seluruh anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi)

c. Epitaksis

d. Perdarahan (gusi, hidung, perdarahan saluran


cerna dan perdarahan dalam urine)
e. Hemotemesis

f. Melena

4. Hasil pemeriksaan darah (ditemukan pada hari ke 3


sampai 7) Kenaikan nilai hematokrit (konsentrasi sel
darah) 20%

5. Manifestasi lain

a. Nyeri epigastrium

b. Nyeri menelan

c. Nyeri di tulang rusuk kanan atau di seluruh tubuh

d. Kadang demam mencapai 40-41oC

e. Pada bayi terjadi kejang demam

f. Mual-mual dan muntah

g. Bintik-bintik perdarahan di tenggorokan dan selaput benang


mata.

6. Renjatan menjadi berat dan terjadi DSS (Dengue Syok Syndrome)

a. Nadi lemah dan cepat dan kecil sampai tak teraba

b. Sianosis disekitar mulut, yang jari tangan dan kaki

c. Kulit teraba dingin dan lembag terutama darah


akral seperti ujung hidung, jari dan kaki
d. Tekanan darah turun menjadi 20 mmHg atau kurang

e. Capillary revil lebih dari dua detik

f. Leucopenia kurang dari 500 mm3


g. Gelisah bahkan kesadaran menurun

h. Oliguria sampai anuria

Keadaan DSS yang tidak seagera ditangani maka dalam waktu 12-24 jam
penderita akan meninggal. Gejala klinis DHF menurut patokan WHO, 1985:

1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari tanpa
sebab yang jelas.

2. Manifestasi perdarahan, paling tidak terdapat uji turniguet positif


dan adanya salah satu bentuk perdarahan lain seperti petekia,
ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
3. Pembesaran hati dan nyeri tanpa ikterus.

4. Dengan atau tanpa renjatan. Renjatan yang terjadi pada saat demam
biasanya mempunyai progrmosis yang buruk.
5. Kenaikan nilai Ht atau hemakonsentrasi yaitu sekitar 20%.

Berdasarkan WHO, Demam Berdarah Dengue dibagi menjadi empat


derajat sebagai berikut :
a. Derajat I

Adanya demam tanpa perdarahan spontan, manifestasi


perdarahan hanya berupa torniket tes yang positif.
b. Derajat II

Seperti derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan


perdarahan lain.

c. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi darah dengan adanya nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (kurang dari 20 mmHg) atau
hipotensi disertai kulit yang dingin dan lembab, gelisah (tanda –
tanda awal renjatan).
d. Derajat IV
Renjatan berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah
yang tidak dapat diukur. (Ngastiyah, 2005).
Tanda dan Gejala Lainnya dari Dengue Hemoragic Fever (DHF) :

1. Masa Inkubasi

Sesudah nyamuk menggigit penderita dan memasukkan


virus dengue ke dalam kulit, terdapat masa laten yang berlangsung
4-5 hari diikuti oleh demam, sakit kepala dan malaise.
2. Demam

Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2-7


hari kemudian turun menuju suhu normal atau lebih rendah.
Bersamaan dengan berlangsung demam, gejala-gejala klinik yang
tidak spesifik misalnya anoreksia. Nyeri punggung, nyeri tulang
dan persediaan, nyeri kepala dan rasa lemah dapat menyetainya
3. Perdarahan

Perdarahan biasanya terjadi pada hari ke 2 dari demam dan


umumnya terjadi pada kulit dan dapat berupa uji tocniquet yang
positif mudah terjadi perdarahan pada tempat fungsi vena, petekia
dan purpura. Perdarahan ringan hingga sedang dapat terlihat pada
saluran cerna bagian atas hingga menyebabkan haematemesis.
Perdarahan gastrointestinal biasanya di dahului dengan nyeri perut
yang hebat.
4. Hepatomegali

Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba, meskipun


pada anak yang kurang gizi hati juga sudah. Bila terjadi peningkatan
dari hepatomegali dan hati teraba kenyal harus di perhatikan
kemungkinan akan tejadi renjatan pada penderita

5. Renjatan (Syok)

Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya


penderita, dimulai dengan tanda – tanda kegagalan sirkulasi yaitu
kulit lembab, dingin pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki serta
sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam maka
biasanya menunjukan prognosis yang buruk
6. Gejala klinik lain

Nyeri epigastrum, muntah-muntah, diare maupun obstipasi dan


kejang- kejang. Keluhan nyeri perut yang hebat seringkali
menunjukkan akan terjadinya perdarahan gastrointestinal dan syok.
( Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. 2002 ).

2.1.5 Pentalaksanaan

Penatalaksanaan Medis

Pada dasarnya pengobatan pasien DHF bersifat simptomatis dan suportif.


Pengobatan terhadap virus ini bersifat menunjang agar pasien dapat
bertahan hidup.
1. DHF Tanpa Renjatan

Pada pasien ini diberikan banyak minum, yaitu 1 ½ liter, 2 liter


dalam 24 jam. Dapat diberikan teh manis, sirop, susu dan bila mau lebih
baik oralit. Jika anak tidak mau minum sesuai yang dianjurkan tidak
dibenarkan pemasangan sonde karena resiko merangsang terjadinya
perdarahan. Keadaan hiperpireksia di atasi luminal atau anti konvulsan
lainnya. Luminal diberikan dengan dosis: anak kurang 1 tahun 50 mg IM,
anak lebih 1 tahun 75 mg jika 15 menit kejang belum berhenti luminal
diberikan lagi dengan dosis 3 mg/BB. Anak di atas 1 tahun diberi 50 mg di
bawah 1 tahun 30 mg, dengan memperhatikan adanya depresi fungsi vital.

a. Infuse diberikan pada pasien DHF tanpa renjatan dilaksanakan


apabila Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum
sehingga mengencam terjadinya dehidrasi atau hematokrit yang
cenderung meningkat.
b. Nilai hematokrit menentukan apakah pasien perlu diberikan infuse
atau tidak.
2. DHF Disertai Renjatan

Pasien yang mengalami syok harus segera dipasang infuse sebagai


pengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma cairan yang
diberikan ringer laktat. Jika pemberian cairan tidak ada respon, diberikan
plasma atau plasma ekspaner banyaknya 20 – 30 ml/kg BB. Pada pasien
dengan renjatan berat pembesaran infus harus diguyur. Apabila renjatan
telah diatasi nadi sudah teraba, tekanan sistolik 80 mmHg atau lebih,
kecepatan tetesan dikurangi menjadi 10 ml kg BB. Kebocoran plasma
biasanya terjadi 24 – 48 jam, maka pemberian infuse dipertahankan
sampai 1 – 2 hari lagi waktupun tanda-tanda vitalnya baik. Pemeriksaan
hematokrit perlu dilakukan secara periodik. Kecepatan tetesan diberikan
sesuai dengan keadaan gejala klinis dan nilai hemotokrit. Terapi oksigen 2
liter per menit harus diberikan pada semua pasien syok. Pada pasien
dengan renjatan berat atau renjatan berulang perlu dipasang CVP (Centra
Venous Pressure Pengaturan Tekanan Vena Central) untuk mengukur
tekanan vena sentral melalui safena magna atau vena jugularis dan
biasanya pasien dirawat di ICU. Indikasi pemberian transfuse darah adlah
pada penderita dengan perdarahan gastrointestinal berat dapat diduga
apabila nilai Hb dan Ht menurun. Sedangkan perdarahannya sendiri telah
kelihatan. Dapat memperhatikan keadaan inipun dianjurkan pemberian
darah.
3. Perawatan pasien DHF derajat I
a. Observasi TTV setiap 3 jam terutama tekanan darah dan nadi

b. Pasien perlu istirahat mutlak

c. Perilaku Hb, Ht dan trombosit secara periodic (4 jam sekali)

d. Berikan minum 1 ½ - 2 liter dalam 24 jam jika mau pasiediberi


oralit.
e. Cara memberikan minum sedikit demi sedikit, bila perlu setiap 5
menit 1 sendok makan atau setiap ¼ jam 1/3 gelas.
f. Kompres dingin jika pasien demam

g. Bila tidak terjadi sesuatu setelah dirawat 2-3 hari, danpasien dalam
keadaan membaik dengan ditandai dengan nafsu makan yang baik,
pasien di pulangkan.
4. Perawatan pasien DHF derajat II

a. a. Pemberian cara intravena

Bila keadaan pasien sangat lemah infuse sebaiknya dipasang


pada dua tempat karena dalam keadaan renjatan walaupun klem
dibuka tetesan tetap tidak lancar, maka jika dua tempat akan
membantu memperlancar.
b. Observasi TTV

c. Periksa gejala-gejala renjatan seperti nadi menjadi kecil dan cepat,


tekanan darah menurun, nauria atau anak mengeluh sakit perut
sekali.

d. Periksa Hb, Ht dan trombosit secara periodic.

5. Perawatan DHF derajat III (DSS)


a. Pertolongan yang utama adalah mengganti plasma yang keluar
dengan memberikan cairan dan elektrolit biasanya RL dan cara
memberikan diguyur ialah dengan ketepatan 20 ml/kg BB. Karena
darah kehilangan plasma maka alirannya menjadi sangat lambat
maka dapat dimasukkan cairan secara paksa dengan menggunakan
spuit 20-30 cc. Sebanyak 100-200 ml melalui slang infuse.
b. Bila pasien dipsneu, pasien dapat dibaringkan semi-fowler dan
diberikan oksigen.
c. Observasi TTV dilakukan setipap 15 menit.

d. Periksa gejala-gejala renjatan, renjatan biasanya sering diawali


dengan gejala anemia, untuk memantau output urine dapat
dipasang kateter.
e. Periksa Hb, Ht dan trombosit secara periodik.

2.1.6 Pencegahan
Menurut Prasetyono, D.S (2013) pencegahan yang dilakukan dengan
cara menghindari gigitan nyamuk di waktu pagi sampe sore, karena nyamuk
aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Hindari pula lokasi yang
banyak nyamuknya di siang hari, terutama di daerah yang ada penderita
DBD-nya. Berikut beberapa cara paling efektif dalam mencegah penyakit DBD:
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui pengelolaan sampah padat,
modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan
manusia, dan perbaikan desain rumah.
2. Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) di tempat air
kolam
3. Pengasapan (fogging) dengan menggunakan malathion dan fenthion.

4. Memberikan bubuk abate (themophos) pada tempat-tempat penampungan


air, seperti gentong air, vas bunga, kolam dan lain-lain.
Path way

2.2 Konsep Dasar SLE

2.2.1 Definisi

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit reumatik


autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi auto anti bodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.( Lamont, David E, DO ;2006 )
SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah suatu penyakit komplek
yang bersifat genetis dan di duga lebih dari satu gen menentukan
seseorang akan terkena atau tidak (Moore Sharoon, 2008).

2.2.2 Manifeatasi klinis

Manifestasi klinis SLE sangat luas.awalnya di tandai dengan gejala


klinis yang tidak spesifik antara lain: lemah, lesu, panas mual nafsu makan
turun dan berat badan menurun.
1. Manifestasi sistem muskulo skeletal
Dapat berupa artalgia yang hampir di jumpai sekitar 70% atau atritis
yang di tandai dengan sendi yang bengkok, kemerahan yang kadang -
kadang disertai efusi, sendi yang sering tekena antara lain sendi jari –
jari tangan, siku, bahu, dan lutut. Artritis pada SLE kadang
menyerupai artritis reumatoid, bedanya adalah artritis pada SLE
sifatnya nonerosif
2. Sistem mukokutaneus

a. Kutaneus lupus akut: malar rash (butterfly rash) merupakan tanda


spesifik pada SLE, yaitu bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak
melebihi lipatan nasolabial dan di tandai dengan adanya ruam pada
hidung yang menyambung dengan ruam yang ada di pipi. Bentuk akut
kutaneus lain yaitu bentuk morbili, ruam makular, fotosensitif,
papulodermatitis, bulosa, toksik epidermal nekrolitik. Pada umumnya
ruam akut kutaneus ini bersifat fotosensitif.
b. Kutaneus lupus subakut simetrikal eritema sentrifugum, anular
eritema , psoriatik LE, pitiriasis dan makulo papulo fotosensitif.
Manifestasi subakut lupus ini sangat erat hubungannya dengan
antibody Ro lesi subakut umumnya sembuh tanpa meninggalkan scar.
c. Kutaneus lupus kronis. Bentuk yang klasik adalah lupus dikoid yang
berupa bercak kemerahan denga kerak keratotik pada permukaannya.
Bersifat kronik dan rekuren pada lesi yang kronik ditan dai dengan
parut dan atropi pada daerah sentral dan hiperpigmentasi pada daerah
tepinya. Lesi ini sering dijumpai pada kulit kepala yang sering
menimbulkan kebotakan yang irreversible. Daun telinga leher , lengan
dan wajah juga sering terkena panikulitis lupus atau lupus profundus
di tandai dengan inflamasi pada lapisan bawah dari dermis dan
jaringan subkutan. Gambaran klinisnyaberupa nodul yang sangat
dalam dan sangat keras, dengan ukuran 1-3cm. Hanya di temukan
sekitar 2 % pada penderita SLE.
d. Nonspesifik kutaneus lupus ; vaskulitis cutaneus. Ditemuka hampir
pada 70% pasien . manifestasi kutaneus nonspesifik lupus tergantung
pada pembuluh darah yang terkena . bentuknya bermacam macam
antara lain :
1. Urtikaria
2. Ulkus
3. Purpura
4. Bulosa, bentuk ini akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan
epidermal junction
5. Splinter hemorrhage
6. Eritema periungual
7. Nailfold infar bentuk vaskulitis dari arteriol atau venul pada tangan
8. Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai pada
umumnya biopsi pada tempat ini menunjukkan leukosistoklasik
vaskulitis
9. Raynould phenomenon
Gambaran khas dari raynouls phenomenon ini adanya vasospasme,
yang di tandai dengan sianosis yang berubah menjadi bentuk
kemerahan bila terkena panas. Kadanga disertai dengan nyeri.
Raynould phenomenon ini sangat terkait dengan antibodi U1 RNP
10. Alopesia
Akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkai dengan
aktifitas penyakitbiasnya bersifat difus tanpa adanya jaringan parut.
Kerontokan rambut biasanya di mulai pada garis rambut depan.
Pada keadaan tertentu bisa menimbulkan alopecia yang menetap di
sebabkan oleh diskoid lupus yang meninggalkan jaringan parut
11. Sklerodaktili
Di tandai dengan adanya sklerotik dan bengkak berwarna
kepucatan pada tangan akibat dari perubahan tipe skleroderma.
Hanya terjadi pada 7% pasien
12. Nodul rheumatoid
Ini dikaitkan dengan antibodi Ro yang positif dan adanya
reumatoid like artritis
13. Perubahan pigmentasi
Bisa berupa hipo atau hiperpigmentasi pada daerah yang terpapar
sinar matahari
14. Kuku
Manifestasinya bisa berupa nail bed atrofy atau telangektasi pada
kutikula kuku
15.Luka mulut (oral ulcer) luka pada mulut yang terdapat pada
palatum molle atau durum mukosa pipi, gusi dan biasanya tidak
nyeri
3. Manifestasi pada paru
Dapat berupa pnemonitis, pleuritis, atau pun pulmonary haemorrhage,
emboli paru, hipertensi pulmonal, pleuritis ditandai dengan nyeri dada
atau efusi pleura, atau friction rub pada pemeriksaan fisik. Efusi
pleura yang di jumpai biasanya jernih dengan kadar protein <10.000
kadar glukosa normal
4. Manifestasi pada jantung
Dapat berupa perikarditis, efusi perkardium, miokarditis, endokarditis,
kelainan katup penyakit koroner, hipertensi , gagal jantung , dan
kelainan konduksi. Manifestasi jantung tersering adalah kelainan
perikardium berupa perikarditis dan efusi perikardium 66%, yang
jarang menimbulkan komplikasi tamponade jantung, menyusul
kelainan miokardium berupa miokarditis yang di tandai dengan
pembesaran jantung dan endokardium berupa endokarditis yang di
kenal dengan nama Libmn Sachs endokarditis, sering sekali
asimptomatis tanpa di sertai dengan bising katup. Yang sering terkena
adalah katup mitral dan aorta
5. Manifestasi hematologi
Manifestasi kelainan hematologi yang terbanyak adalah bentuk
anemia karena penyakit kronis, anemia hemolitik autoimun hanya di
dapatkan pada 10 % penderita. Selain anemia juga dapat di jumpai
leukopenia, limphopenia, nitropenia, trombopenia
6. Manifestasi pada ginjal
Dikenal dengan lupus nefritis. Angka kejadiannya mencapai hampir
50 % dan melibatkan kelainan glomerulus. Gambaran klinisnya
bervariasi dengan tergantung derajat kerusakan pada glomerulus dapat
berupa hematuri, protein uria, seluler cast,. Berdasarkan kriteria WHO
secara histopatologi di bedakan menjadi 5 klas. Sebanyak 0,5% akan
berkembang menjadi gagal ginjal kronis. Lupus nefritis ini merupakan
petanda prognosis jelek
7. Manifestasi sistem gastrointestinal
Dapat berupa hepatosplenomegali non spesifik, hepatitis lupoid,
keradangan sistem saluran makanan (lupus gut), kolitis
8. Manifestasi klinis pada sistem saraf pusat Juga sangat bervariasi, mulai
dari depresi sampai psikosis, kejang, stroke, dan lain2. Untuk
memudahkan diagnosis American College Rheumatology
mengelompokkan menjadi 19 sindrom. Gambaran klinis lupus
serebral di kelompokkan dalam 3 bagian yaitu fokla, difus, dan
neuropsikiatrik

2.2.3 Etiologi
1. Faktor genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai
kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian
SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara
kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2
dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal
reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta
gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar,
2003) . Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE.
Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembarn non-identik (2-9%).
2. Faktor lingkungan
a. Infeksi
Risiko timbulnya SLE meningkat pada mereka yang lain pernah sakit
herpes zoster (shingles). Herpes zoster adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus varisela, virus yang juga menjadi penyebab dari
penyakit cacar air (variscela atau chiken pox).
b. Antibiotik
Hormon Kurang lebih dari 90% dari penderita SLE adalah wanita.
Perbedaan hormonal antara pria dan wanita mungkin menjadi latar
belakang timbulnya lupus.
c. Faktor sinar matahari
Adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala Lupus.
Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak
ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi autoimmun.
Tetapi bukan berarti bahwa penderita hanya bisa keluar pada malam
hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau
sesudah pukul 16.00 WIB dan disarankan agar memakai krim
pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di negara
tropis seperti Indonesia, merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi
para pasien yang peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan
bercak-bercak kemerahan di bagian muka.kepekaan terhadap sinar
matahari (photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak normal
terhadap sinar matahari.
d. Stres yang berlebihan
e. Obat-obatan yang tertentu.

2.2.4 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atauobat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut
berulang kembali.
2.2.5 Pathway
2.2.6 Pemeriksaan penunjang

1. Patologi Anatomi
Hasil yang didapat pada penderita lupus berupa:
 Epidermis atrofi
 Degenerasi pada junction dermal-epidermal
 Dermis edema
 Infiltrat limfositosis dermal
 Degeneratif fibrinoid dari jaringan konektif dan dinding
pembuluh darah.
2. Imunofluoresensi Kulit
Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibodi intraseluler tipe
IgG dan C3. Pada tes imunofluoresensi secara langsung didapatkan
antibodi pemphigus tipe IgG. Tes pertama lebih terpercaya daripada
tes kedua, karena telah positif pada penuaan penyakit. Kadar titernya
pada umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun
dan menghilang dengan pengobatan kortikosteroid.
3. Serologi
Pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan yang menggunakan serum.
Pemeriksaan serologi mempunyai hasil yang sangat bervariasi
tergantung pada respon imun saat pemeriksaan laboratorium dilakukan
dan lamanya kelainan yang dialami penderita. Pada pemeriksaan ini,
penderita SLE sering menunjukkan hasil berupa:
 ANA positif
 Anti double strand DNA antibodies
 Anti-Sm antibodies dan rRNP antibodies specific
 Anti-kardiolipin auto anti-bodi
4. Hematologi
Penderita SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan hematologi sebagai
berikut:
 Anemia
 Limpopenia
 Trombositopenia
 Elevasi ESR
5. Urinalisa
Akan menunjukkan hasil berupa:
 Proteinuria.

1. 2.2.7 Penatalaksanaan Medis


a. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan
yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi
harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan efek
samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal.
Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan
jantung dan stroke. (Djoerban, 2002).

b. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Steroid
dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki
efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada
meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi
meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada
pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID.
Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan
tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis
tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak
efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang
berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu,
pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik
(Djoerban, 2002).
c. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih
rendah. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar
kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko
cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan
(Djoerban, 2002).
d. Immunosupresan
 Azathioprine Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit
imunosupresan: mengurangi biosintesis purin yang diperlukan
untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan
tubuh.
 Mycophenolate mofetil Mycophenolate mofetil (MMF)
berfungsi menghambat sintesis purin, proliferasi limfosit dan
respon sel T antibodi.
 Methotrexate Methotrexate merupakan asam folat antagonis
yang diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit,
tetapi memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan
tubuh termasuk modulasi produksi sitokin
 Cyclosporin Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin
sehingga menyebabkan penurunan fungsi efektor limfosit T.
 Cyclophosphamide Obat ini telah digunakan secara luas untuk
pengobatan lupus yang mengenai organ internal dalam empat
dekade terakhir. Obat ini juga banyak digunakan untuk
pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit paru
berat.
 Rituximab Rituximab bekerja pada sel B yang diduga
merupakan sel esensial dalam perkembangan lupus. Sekarang
ini Rituximab sering diberikan kombinasi dengan methotrexate
2. Penatalaksanaan keperawatan

Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena


sifat penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan
reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi.
Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan
keperawatan yang utama.

a. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan


instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi
(Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan
(Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang berguna mengenai
pemburukan atau kekambuhan gejala.
b. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien
yang menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas
penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka.
Advice tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat,
pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan,
seperti peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau
pusing, penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi
koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
c. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE.
Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah
pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli.
Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan
kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik terhadap gaya hidup
dan penatalaksanaan regimen bagi mereka (Anisa Tri U., 2012).
3. Penatalaksanaan diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar
pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan
adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah
garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat
tradisional.

Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga


diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan
normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering
dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari
sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan
krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu
fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien
SLE.

2.3. Konsep Dasar HIV


1. PENGERTIAN
1) AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang
menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya
penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya
defisiensi tersebut sepertii keganasan, obat-obat supresi imun,
penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya ( Rampengan &
Laurentz ,1997 : 171).
2) AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak
sistem kekebalan tubuh manusia (H. JH. Wartono, 1999 : 09).
3) AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh (dr. JH. Syahlan, SKM. dkk, 1997 : 17).
Jadi, HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia
yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka
waktu yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS
sendiri adalah suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks
dalam waktu relatif lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh infeksi HIV.

2. ETIOLOGI
Sindrom immunodefisiensi didapat pediatrik (AIDS) disebabkan
oleh virus immunodefisiensi manusia / Human Immunodeficiency virus
(HIV) tipe 1 (HIV-1) yang melekat dan memasuki limfosit T helper CD4+
, yang juga ditemukan dalam jumlah yang lebih rendah pada monosit dan
makrofag.
HIV-I merupakan retrovirus yang termasuk pada subfamili
Lentivirus. Juga sangat dekat dengan HIV-II, yang menyebabkan penyakit
yang sama.

HIV adalah virus RNA dan merupakan parasit obligat intra sel
.Dalam bentuknya yang asli ia merupakan partikel yang inert, tidak dapat
berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel host ( sel target ).

 Retrovirus mengandung kapsid sebelah dalam yang disusun dari


protein struktur yang dirujuk pada ukurannya.
 Protein struktural utama adalah p24, terdeteksi dalam serum penderita
yang terinfeksi dengan beban virus tinggi.
 Kapsid virion mengandung dua kopi RNA helai tunggal dan beberapa
molekul transkriptase balik. Transkriptase balik adalah polimerase
DNA virus yang menggabung nukleosid menjadi DNA dengan
menggunakan RNA virus sebagai model. ( Behrman, dkk , 1999 : 1128
)
 HIV merupakan retrovirus sitopatik tidak bertransformasi mendorong
terjadinya immunodefisiensi dengan merusak sel T sasaran ( target )
 Selubung ( envelope ) lipid HIV-I berasal dari membran sel pejamu
yang terinfeksi saat budding, yang mengandung dua glikoprotein virus,
gp120 dan gp41. gp120 penting pada pengikatan pada molekul CD4
pejamu untuk memulai infeksi virus.
 Ditemukan beberapa gen yang tidak ditemukan pada retrovirus lain,
yaitu tat, vpu, vip, nef, dan rev.tat dan rev, mengatur transkripsi HIV
dan karenanya dapat dipakai sebagai target terapi.
 Virus diisolasi dari sel limfosit, serum cairan serebrospinal, dan
semua sekresi dari penderita yang terinfeksi. ( Robbins,dkk, 1998 :
140 ).

3. MACAM INFEKSI HIV


Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi
menjadi tiga Tahap :
1) Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam
jaringan limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti
serokonversi dan pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+
sel T antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh
sendiri dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan meningitis
aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T menjadi normal
terjadi dalam waktu 6-12 minggu.
2) Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan
replikasi. virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan
CD4+ secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran
kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat
mencapai beberapa tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam,
kemerahan kulit, kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir
antara 7-10 tahun.
3) Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh
penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat
badan, diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini
umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat
menganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+
kurang dari 200 sel/µl sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum
terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143 )

4. PATOFISIOLOGI
Pada neonatal HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui penularan
transplasental atau perinatal. Setelah virus HIV masuk ke dalam target (
terutama sel limfosit T ) yang mempunyai reseptor untuk virus HIV yang
disebut CD4. Ia melepas bungkusnya kemudian mengeluarkan enzim R-
tase yang dibawanya untuk mengubah bentuk RNA-nya menjadi DNA
agar dapat bergabung menyatukan diri dengan DNA sel target (sel limfosit
T helper CD4 dan sel-sel imunologik lain ) . Dari DNA sel target ini
berlangsung seumur hidup. Sel limfosit T ini dalam tubuh mempunyai
mempunyai fungsi yang penting sebagai daya tahan tubuh. Akibat infeksi
ini fungsi sistem imun (daya tahan tubuh) berkurang atau rusak, maka
fungsi imonologik lain juga mulai terganggu.

HIV dapat pula menginfeksi makrofag, sel-sel yang dipakai virus


untuk melewati sawar darah otak masuk ke dalam otak. Fungsi linfosit B
juga terpengaruh, dengan peningkatan produksi imunoglobulin total
sehubungan dengan penurunan produksi antibodi spesifik. Dengan
memburuknya sistem imun secara progresif, tubuh menjadi semakin
rentan terhadap infeksi oportunis dan juga berkurang kemampuannya
dalam memperlambat replikasi HIV. Infeksi HIV dimanifestasikan
sebagai penyakit multi-sistem yang dapat bersifat dorman selama
bertahun-tahun sambil menyebabkan imunodefisiensi secara bertahap.
Kecepatan perkembangan dan manifestasi klinis dari penyakit ini
bervariasi dari orang ke orang. Virus ini ditularkan hanya melalui kontak
langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh, melalui obat-
obatan intravena, kontak seksual, transmisi perinatal dari ibu ke bayi, dan
menyusui. Tidak ada bukti yang menunjukkan infeksi HIV didapat
melalui kontak biasa.

Empat populasi utama pada kelopok usia pediatrik yang terkena HIV :

1) Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang


terinfeksi (disebut juga trasmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih
dari 85% kasus AIDS pada anak-anak yang berusia kurang dari 13
tahun.
2) Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan
hemofili)
3) Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku resiko tinggi.
4) Bayi yang mendapat ASI ( terutama di negara-negara berkembang ).
( Cecily L. Betz , 2002 : 210)
2. Hypergammaglobulinemia
3. Penurunan limf. T sel CD4 + absolut (limfosit  200 / mm3)
4. Keganasan sekunder  sarkoma kaposi
 kanker, tumor
5. Penurunan BB
5. MANIFESTASI KLINIS
Bayi dan Anak

Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai


terjadi penyakit berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal
tumbuh, atau kandidiasis oral memberi kesan imunodefisiensi yang
mendasari. Kebanyakan anak dengan infeksi HIV-1 terdiagnosis antara
umur 2 bulan dan 3 tahun.
Tanda-tanda klinis akut yang disebabkan oleh organisme virulen
pada penderita limfopeni CD4+ yang terinfeksi HIV-1 disebut infeksi
oportunistik "penentu-AIDS". Infeksi oportunistik yang paling sering dan
sangat mematikan adalah pneumonia P. carinii (PPC). Tanda klinis PPC
pada bayi terinfeksi HIV-1 merupakan distress pernapasan berat dengan
batuk, takipnea, dispnea dan hipoksemia dengan gas darah menunjuk ke
arah blokade kapiler alveolar (mis ; proses radang interstisial).
Roentgenogram dada menunjukkan pneumonitis difus bilateral dengan
diafragma datar. Diagnosis biasanya diperkuat oleh bronkoskopi fleksibel
dan cuci bronkoalveolar dengan pewarnaan yang tepat untuk kista maupun
tropozoit. Kadar laktat dehidroginase biasanya juga naik. Diagnosa
banding pada bayi termasuk herpes virus ( sitomegalovirus, virus Epstein-
Barr, virus herpes simpleks ), virus sinsitial respiratori, dan infeksi
pernafasan terkait mengi. Pengobatan infeksi PPC harus dimulai seawal
mungkin, tetapi prognosis jelek dan tidak secara langsung dikorelasikan
dengan jumlah limfosit CD4+.. Reaktivasi PPC tampak semakin
bertambah pada anak yang lebih tua yang mempunyai perjalanan klinis
infeksi HIV-1 yang lebih kronis. Profilaksis PPC (trimetropim-
sulfametoksasol tiga kali seminggu ) dianjurkan pada penderita pediatri
dengan angka limfosit-T CD4+ rendah (<25% angka absolut ).

Infeksi oportunistik penentu AIDS yang relatif sering kedua adalah


esofagitis akibat Candida albicans. Esofagitis Candida nampak sebagai
anoreksia atau disfagia, dikomplikasi oleh kehilangan berat badan, dan
diobati dengan amfoterisin B dan ketokonazol.

Infeksi oportunistik penting lain melibatkan ssstem saraf sentral,


sepertii Toxoplasma gondii. Infeksi Mycobacterium avium complex
biasanya menimbulkan gejala saluran cerna, dan herpes virus
menimbulkan komplikasi retina, paru, hati, dan neurologist. M.
tuberculosis dan malaria yang tersebar di seluruh dunia adalah patogen
oportunistik pada penderita AIDS. Neoplasma relatif tidak sering pada
penderita terinfeksi HIV-1 pediatri. (Behrman,dkk,2002: 1129 )
Manifestasi klinisnya antara lain :

1) Berat badan lahir rendah


2) Gagal tumbuh
3) Limfadenopati umum
4) Hepatosplenomegali
5) Sinusitis
6) Infeksi saluran pernafasan atas berulang
7) Parotitis
8) Diare kronik atau kambuhan
9) Infeksi bakteri dan virus kambuhan
10) Infeksi virus Epstein-Barr persisten
11) Sariawan Orofaring
12) Trombositopenia
13) Infeksi bakteri seperti meningitis
14) Pneumonia Interstisial kronik
Lima puluh persen anak-anak dengan infeksi HIV terkena sarafnya
yang memanifestasikan dirinya sebagai ensefalopati progresif,
perkembangan yang terhambat, atau hilangnya perkembangan motoris.

Remaja

Kebanyakan remaja yang terinfeksi mengalami periode penyakit


yang asimtomatik yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Hal ini
diikuti tanda dan gejala yang dimulai beberapa minggu sampai beberapa
bulan sebelum tinbulnya infeksi oportunistik dan keganasan.Tanda dan
gejala tersebut antara lain:

1) Demam
2) Malaise
3) Keletihan
4) Keringat malam
5) Penurunan berat badan yang tidak nyata
6) Diare kronik atau kambuhan
7) Limfadenopati umum
8) Kandidiasis aral
9) Atralgia dan mialgia. ( Cecily L. Betz, 2002 : 211 )
Kategori Klinis HIV

1) Kategori N : Tidak bergejala


Anak-anak tanpa tanda atau gejala infeksi HIV

2) Kategori A : Gejala ringan


Anak-anak mengalami dua atau lebih gejala berikut ini :

 Limfadenopati
 Hepatomegali
 Splenomegali
 Dermatitis
 Parotitis
 Infeksi saluran pernapasan atas yang kambuhan/ persisten,
sinusitis, atau otitis media
3) Kategori B : Gejala sedang
Anak-anak dengan kondisi simtomatik karena infeksi HIV atau
menunjukkan kekurangan kekebalan karena infeksi HIV . Contoh dari
kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut :

 Anemia, neutropenia, trombositopenia selama > 30 hari


 Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis
 Sariawan persisten selama lebih dari 2 bulan pada anak di atas 6
bulan
 Kardiomiopati
 Infeksi sitomegalovirus dengan awitan sebelum berusia 1 bulan
 Diare, kambuhan atau kronik
 Hepatitis
 Stomatitis herpes, kambuhan
 Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan awitan
sebelum berusia 1 bulan
 Herpes zoster, dua atau lebih episode
 Leimiosarkoma
 Pneomonia interstisial limfoid atau kompleks hiperplasia limfoid
pulmoner (LIP/PLH)
 Nefropati
 Nokardiosis
 Varisela zoster persisten
 Demam persisten >1 bulan
 Toksoplasmosis, awitan sebelum berusia 1 bulam
 Varisela, diseminata ( cacar air berkomplikasi )
4) Kategori C : Gejala Hebat
Anak dengan kondisi berikut :

 Infeksi balterial multipel atau kambuhan


 Kandidiasis pada trakea, bronki, paru, atau esofagus
 Koksidioidomikosis, intestinal kronik
 Penyakit sitomegalovirus ( selain hati, limpa, nodus ) dimulai
pada umur > 1 bulan.
 Retinitis sitomegalovirus (dengan kehilangan penglihatan).
 Ensefalopati HIV.
 Ulkus herpes simpleks kronik ( durasi > 1 bulan ) atau
pneumonitis atau esofagitis, awitan saat berusia > 1 bulan.
 Histoplasmosis, diseminata atau ekstrapulmoner.
 Isosporiasis interstinal kronik (durasi > 1 bulan).
 Sarkoma kaposi.
 Limfoma, primer di otak.
 Limfoma ( sarkoma burkitt atau sarkoa imunoblastik ).
 Kompleks Mycobacterium avium atau Mycobacterium kansasii,
diseminata atau ekstrapulmoner.
 Pneumonia Pneumocystis carinii.
 Leukoensefalopati multifokal progresif.
 Septikemia salmonella kambuhan.
 Toksoplasmosis pada otak, awitan saat berumur > 1 bulan.
 Wasting Syndrome karena HIV. ( Cecily L. Betz, 2002 : 213 )

6. PENDEKATAN DIAGNOSA
Pendekatan diagnosa HIV pada anak terutama bayi relatif lebih sukar dari
pada orang dewasa. Hal ini di samping karena tanda klinisnya yang tidak /
kurang meyakinkan akibat banyaknya penyakit lain yang harus dipikirkan
sebagai diagnosa bandingnya, juga karena pemeriksaan serologisnya yang
sering membingungkan. Adanya antibodi terhadap HIV (IgG) pada darah
bayi dapat merupakan antibodi yang berasal dari ibunya, karena antibodi
ini dapat menembus plasenta, yang dapat menetap berada dalam darah si
anak sampai berumur 18 bulan. Kalau hal ini terjadi , maka memerlukan
pemeriksaan serial dan untuk mengevaluasi kebenaran terjadinya infeksi
bagi si bayi. Pada umumnya dikatakan, masih terdapatnya antibodi sampai
lebih dari 15 bulan menunjukkan adanya infeksi HIV pada bayi.
Terdapatnya antibodi kelas IgM atau IgA, mempunyai arti diagnostik yang
lebih tinggi, dengan sensitifitas dan spesifitas sampai 98%.

Pada umumnya diagnosa infeksi HIV pada anak ditegakkan atas dasar :

1. Tergolong dalam kelompok resiko tinggi.


2. Adanya infeksi oportunistik dengan atau tanpa keganasan
3. Adanya tanda-tanda defisiensi imun, seperti menurunnya T4 (ratio
T4:T8)
4. Tidak didapatkan adanya penyebab lain dari defisiensi imun.
Terbukti adanya HIV baik secara serologi maupun kultur.

Pembuktian adanya HIV dapat dengan mencari antibodinya (IgG, IgM


maupun IgA) yang dapat dikerjakan dengan metoda Elisa maupun Weste
Blot. Dapat pula dengan menentukan Antigen p-24 dengan metoda Elisa,
ataupun DNA –virus dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Pemeriksaan ini tentunya mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi.
Metoda lain yang sedang dikembangkan adalah IVAP (In vitro Antibody
Production), dengan mencari sel-sel penghasil antibodi dari darah bayi.

WHO telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak sebagai berikut
:

Seorang anak (<12 tahun) dianggap menderita AIDS bila :

1. Lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV positif, dan sekurang-


kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dengan 2 gejala minor. Gejala-
gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak
berkaitan dengan infeksi HIV.
2. Kurang dari 18 bulan, ditemukan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor
dengan ibu yang HIV positif. Gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh
keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Tabel 1 : Definisi Klinis HIV pada anak di bawah 12 tahun (menurut
WHO).

Gejala Mayor :

a) Penurunan berat badan atau kegagalan pertumbuhan.


b) Diare kronik (lebih dari 1 bulan)
c) Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)
d) Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah dan menetap

Gejala Minor :

b) Limfadenopati yang menyeluruh atau hepatosplenomegali


c) Kandidiasis mulut dan faring
d) Infeksi ringan yang berulang (otitis media, faringitis
e) Batuk kronik (lebih dari 1 bulan)
f) Dermatitis yang menyelurh
g) Ensefalitis
Metoda ini mempunyai spesifisitas yang tinggi, tetapi sensitivitas
“positive predictive value”nya yang rendah. Pada umumnya digunakan
hanya untuk melakukan surveillance epidemiologi.

Untuk keperluan pencatatan dalam melaksanakan surveillance


epidemiologi, CDC telah membuat klasifikasi penderita AIDS pada anak
sebagai berikut :

(lihat tabel 2)

Tabel 2. Klasifikasi infeksi HIV pada anak di bawah umur 18 tahun menurut
Center for Disease Control (CDC)

Klas Subklas / kategori

P-0 Infeksi yang tak dapat dipastikan (indeterminate infection)

P1 Infeksi yang asimtomatik

Subklas A : Fungsi immun normal

Subklas B : Fungsi immun tak normal

Subklas C : Fungsi immun tidak diperiksa

P-2 Infeksi yang simtomatik

Subklas A : Hasil pemeriksaan tidak spesifik (2/lebih gejala menetap lebih


2 bulan)

Subklas B : Gejala neurologis yang progressip

Subklas C : Lymphoid interstitial pneumonitis

Subklas D : Penyakit infeksi sekunder

Kategori D-1 Infeksi sekunder yang spesifik, sebagaimana tercantum


dalam daftar definisi surveillance CDC untuk AIDS

Kategori D-2 Infeksi bakteri serius berulang

Kategori D-3 Penyakit infeksi sekunder yang lain


Subklas E : Kanker sekunder

Kategori E-1 Kanker sekunder sebagaimana tercantum dalam daftar


definisi surveillance CDC untuk AIDS

Kategori E-2 Kanker lain yang mungkin juga disebabkan karena infeksi
AIDS

Subklas F : Penyakit-penyakit lain yang mungkin juga disebabkan oleh


infeksi H HIV

Anak-anak yang menderita penyakit dengan gejala klinis yang tidak


sesuai dengan kriteria diagnosa infeksi HIV disebut “AIDS Related
Complex (ARC)”. Pada umumnya gejalanya berupa : limfadenopati,
peumonitis interstitialis, diare menahun, infeksi berulang, kandidiasis
mulutyang menetap, serta pembesaran hepar, namun belum ada infeksi
oportunistik atau keganasan.

Untuk memudahan dalam membuat diagnosa ARC, oleh CDC telah pula
diberikan kriterianya seperti tercantum pada tabel 3

Tabel 3. Kriteria AIDS Related Complex (ARC) pada anak (CDC)

Kriteria Mayor :

- Pneumonitis interstitialis
- “Oral Thrush” yang menetap / berulang
- Pembesaran kelenjar parotis

Kriteria Minor :

- Limfadenopati pada 2 tempat atau lebih (bilateral dihitung 1)


- Pembesaran hepar dan lien
- Diare menahun / berulang
- Kegagalan pertumbuhan (“failure to thrive”)
- Ensefalopati idiopatik progresip

Kriteria Laboratorium :

- Peningkatan IgA / IgM dalam serum


- Perbandingan T4/T8 terbalik
- IVAP rendah

Diagnosa ARC ditegakkan apabila ada 1 kriteria mayor, 1 kriteria minor.


Serta 2 kriteria laboratorium selama lebih dari 3 bulan.

7. UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK


1) Elisa : Enzyme-linked imunosorbent assay (uji awal yang umum) –
mendeteksi
antibodi terhadap antigen HIV (umumnya dipakai untuk skrining HIV
pada

individu yang berusia lebih dari 2 tahun).

2) Western blot (uji konfirmasi yang umum) – mendeteksi adanya


antibodi terhadap beberapa protein spesifik HIV.
3) Kultur HIV – standar emas untuk memastikan diagnosis pada bayi.
4) Reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction [PCR]) –
mendeteksi asam deoksiribonukleat (DNA) HIV (uji langsung ini
bermanfaat untuk mendiagnosis HIV pada bayi dan anak.
5) Uji antigen HIV – mendeteksi antigen HIV.
6) HIV, IgA, IgM – mendeteksi antibodi HIV yang diproduksi bayi
(secara eksperimental dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi).
Mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dari ibu yang terinfeksi HIV
tidak mudah. Dengan menggunakan gabungan dari tes-tes di atas,
diagnosis dapat ditetapkan pada kebanyakan anak yang terinfeksi sebelum
berusia 6 bulan.

1) Temuan laboratorium ini umumnya terdapat pada bayi dan anak-anak


yang terinfeksi HIV : Penurunan rasio CD4 terhadap CD8.
2) Limfopenia.
3) Anemia, trombositopenia.
4) Hipergammaglobulinemia (IgG, IgA, IgM).
5) Penurunan respon terhadap tes kulit (candida albican, tetanus).
6) Respon buruk terhadap vaksin yang didapat (dipteria, tetanus, morbili
)
7) Haemophilus influenzae tipe B
8) Penurunan jumlah limfosit CD4+ absolut.
9) Penurunan persentase CD4+.
Bayi yang lahir dari ibu HIV positif yang berusia kurang dari 18
bulan dan yang menunjukkan uji positif untuk sekurang-kurangnya 2
determinasi terpisah dari kultur HIV, reaksi rantai polimerase – HIV, atau
antigen HIV, maka dia dapat dikatakan “terinfeksi HIV”. Bayi yang lahir
dari ibu HIV-positif, berusia kurang dari 18 bulan, dan tidak positif
terhadap ketiga uji tersebut dikatakan “terpajan pada masa perinatal”.
Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV yang ternyata antibodi HIV negatif
dan tidak ada bukti laboratorium lain yang menunjukkan bahwa ia
terinfeksi HIV, maka ia dikatakan “Seroreverter”.

( Cecily L. B, 2002, 212 )

8. PENATALAKSANAAN MEDIS
I. Penalaksanaan perinatal terhadap bayi yang dilahirkan dari ibu yang
terbukti terinfeksi HIV.
Pembersihan bayi segera setelah lahir terhadap segala cairan yang
berasal dari ibu baik darah maupun cairan-cairan lain, sebaiknya
segala tindakan terhadap si bayi dikerjakan secara steril. Pertimbangan
untuk tetap memberikan ASI harus dipikirkan masak-masak, bahkan
ada yang menganjurkan untuk penunjukan orang tua asuh. Penting
untuk senantiasa memonitor anti HIV, sejak si ibu hamil sampai
melahirkan, demikian juga sang bayi sampai berumur lebih dari 2
tahun. Ada pula yang menganjurkan untuk melakukan terminasi
kehamilan, bagi ibu yang jelas terkena infeksi HIV, karena
kemungkinan penularan pada bayinya sampai 50%.

II. Penatalaksanaan bayi/anak yang telah tertular


1. Terhadap Etiologi
Diberikan obat-obata antiretroviral

Tabel 4. Macam-macam antiretroviral

Golongan obat Nama generik Singkatan

Nucleoside-reserve Azidotimidin/zidovudin AZT


Transcriptase
Didanosin DDI

Stavudin D4T

Zalbitabin DDC

Lamivudin 3TC

Protease Inhibitor (PI) Indinavir IDV

Ritonavir

Saquinavir

Non-Nucleoside-Reserve
Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Nevirapin

Pada pemberian pengobatan dengan antiretroviral sebagai


indikator pemakaian/ kemajuan sering dipakai perhitungan jumlah
CD4 serta menghitung beban viral (viral load).

Tabel 5. Terapi antiretroviral menurut tahapan klinis infeksi-HIV

Keadaan klinis penyakit Pedoman terapi

Sindroma Retroviral Akut (2-4 minggu PI + (1 atau 2 NRTI)

setelah terpajan)

Asimtomatik dengan beban virus Didanosin

< 10.000/ml Kombinasi 2 NRTI

Simtomatik / asimtomatik PI + (1 atau 2 NRTI)

Dengan beban virus > 10.000/ml

Berlanjutnya penyakit setelah terapi Pindah ke terapi PI – NRTI

dengan 2 NRTI
Pada wanita hamil dengan infeksi HIV dapat diberi AZT 2 kali
sehari peroral sejak minggu ke 36 kehamilan sampai persalinan
tanpa memandang jumlah CD4, serta dianjurkan untuk tidak
menyusui bayinya. Pada bayi yang baru lahir bila ibunya HIV
positif, dapat diobati dengan AZT sampai 6 minggu. Sebenarya
pada bayi / anak pengukuran viral-load penting karena rentang
jumlah CD4 yang sangat bervariasi selama masa pertumbuhannya.

Sebagai profilaksis pasca pajanan dapat diberikan AZT sampai 4


minggu. Zidovudin (Azidothymidine), mempunyai efek
mempengaruhi proses replikasi virus.

Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak 80, 120, 160 mg/m2,


diberikan secara intravena setiap 6 jam, selama 1-2 bulan, diikuti
peroral selama 1-2 bulan dengan dosis satu sampai satu
setengah kali dosis intravena.

Efek samping obat berupa neutropenia dan anemia, biasanya


segera membaik dengan pengurangan dosis, atau penghentian
pemberian obat. Dengan pemberian obat ini penderita PCP 73%
dapat bertahan sampai 44 minggu.

Pada umumnya adanya perbaikan ditandai dengan :

- Adanya peningkatan berat badan


- Pengecilan hepar dan lien
- Penurunan immunoglobulin (IgG, IgM)
- Peningkatan T4
- Perbaikan klinis / radiologis
- Peningkatan jumlah trombosit

2. Terhadap Infeksi Sekunder


2.1 Infeksi Protozoa
Yang terpenting terhadap : Penumocystis carinii, Toxoplasma dan
Cryptosporidium.

2.1.1 Terhadap Pneucystis Carinii, penyebab pneumonia


(Pneumocystis Carinii Pneumonia/PCP)

a. Pentamidin (IV/IM) 4 mg/kg/hr, selama 2 minggu, dosis


tunggal.
b. Efek samping berupa : neuse, diare, hipotensi,
hipoglikemia dan gangguan fungsi ginjal
c. Cotrimoxazole (IV/oral), 20 mg/kg/hr, dibagi dalam 4
dosis. Hati-hati bagi bayi kurang dari 3 bulan. Pada
infeksi yang berat dapat diberikan kortikosteroid.
2.1.2 Terhadap Toxoplasma
Dapat menyebabkan CNS syndrome akibat lesi serebral /
space occupying lesions

a. Pyrimethamine (oral), 12,5-25 mg/hari


b. Sulfadiazin (oral) 2-4 gr/hari
2.1.3 Terhadap Cryptosporidium
Dapat menyebabkan diare kronik. Obat kausal spiramycine,
yang penting pengobatan suportif dan simtomatik terutama
rehidrasi.

2.2 Infeksi Jamur


Manifestasi klinik berupa kandidiasis, pada umumnya
memberikan respon yang baik dengan nystatin topikal amfoterisin
B. 0,3 – 0,5 mg/kg/hari, ketoconazole 5 mg/kg/hr.

2.3 Infeksi Virus


Yang penting : Virus herpes, cytomegalovirus (CMV),
papovavirus (penyebab progressive multifocal leucoencephalopaty
/ PML)
a. Acyclovir 7,5 – 15 mg/kg/hr (IV) dibagi dalam 3 dosis
diberikan selama 7 hari.
b. Gancyclovir 7,5 – 15 mg/kg/hr (IV) dibagi dalam 2 dosis baik
untuk CM
Di samping obat-obat di atas, perlu dipertimbangkan pemberian :

1. Vaksinasi dengan vaksin influenza A dan influenza B, setiap


tahun.
2. Pemberian amantidin untuk pencegahan infeksi virus influenza
A.
3. Immunoglobulin Varicella-Zoster 125 u/kg (maksimum 625
u). Diberikan dalam waktu 96 jam setelah kontak dengan
penderita.
4. Immunoglobulin campak : 0,5 ml/kg (maksimum 15 ml)
dalam waktu 6 hari setelah kontak dengan penderita
2.4 Infeksi Bakteria
Yang penting adalah : Mycobacterium TBC, Mycobacterium
avium intra cellulare, streptococcus, staphylococcus, dll. Diatasi
dengan pemberian antibiotika yang spesifik. Kadang-kadang
dipertimbangkan pemberian immunoglobulin.

3. Mengatasi Status Defisiensi Immun


Pada umumnya pemberian obat-obatan pada keadaan ini tidak
banyak memberikan keuntungan. Obat yang pernah dicoba :

a. Biological respons modifier, misalnya alpha / gamma


interferron, interleukin 2, thymic hormon, tranplantasi sumsum
tulang, transplantasi timus.
b. Immunomodulator misalnya isoprinosine.
4. Mengatasi Neoplasma
Neoplamsa yang terpenting adalah sarkoma kaposi. Kalau masih
bersifat lokal, diatasi dengan eksisi dan radio terapi, kalau sudah
lanjut, hanya radioterapi, dikombinasi dengan kemoterapi /
interferron.

5. Pemberian Vaksinasi
Pada penelitian ternyata, bahwa anak yang terkena infeksi HIV,
masih mempunyai kemampuan immunitas terhadap vaksinasi yang
baik sampai berumur 1-2 tahun. Kemampuan ini menurun setelah
berusia di atas 2 tahun, bahkan ada yang mengatakan
menghilang pada umur 4 tahun. Karenanya vaksinasi rutin sesuai
dengan “Program Pengembangan Immunisasi yang ada di
Indonesia dapat tetap diberikan, dengan pertimbangan yang lebih
terhadap pemberian vaksin hidup, terutama BCG dan Polio.

Tabel 2 Penetapan kategori imun berdasarkan usia dan jumlah CD4

Kelompok Usia :

Kategori Imun Jumlah CD4 dan Persentase

0 – 11 bulan 1 – 5 tahun 6 – 12 tahun

1) Tidak ada tanda- >1500 >1000 >500


tanda supresi
>25% >25% >25%
2) Tanda-tanda
supresi sedang 750-1499 500-999 200-499
3) Tanda supresi
15-25% 15-25% 15-25%
hebat
<750 <500 <200

<15% <15% <15%

9. PENCEGAHAN
Pemberian zidovudin selama kehamilan efektif dalam menurunkan
resiko infeksi janin dari wanita hamil yang terinfeksi HIV-1 pada minggu
ke 14-34 kehamilan yang belum mendapat obat ini karena memiliki
limfosit CD4 yang jumlahnya lebih dari 200 sel/mm³tanpa gejala klinis
AIDS. Ibu mendapat terapi zidovudin oral ( 100 mg lima kali sehari )
selama sisa masa kehamilan.

Saat persalinan obat diberikan secara intravena ; dosis awal 2


mg/kg diberikan selama 1 jam dan disertai dengan infus sebanyak 1
mg/kg/jam hingga bersalin.

Bayi baru lahir mendapat terapi antivirus selama 6 minggu ( sirup


zidovudin dosis 2 mg/kg setiap 6 jam ) mulai pada 8-12 jam pascalahir.
Hal ini mengakibatkan penurunan resiko relatif sebesar 67,5% .

( Behrman, dkk, 1999 : 653 )

Anda mungkin juga menyukai