Anda di halaman 1dari 228

Panduan Pengenalan

MANGROVE
di Indonesia

Oleh:

Yus Rusila Noor


M. Khazali
I N.N. Suryadiputra

Cetakan ulang ketiga


Bogor, Desember 2012

Ditjen. PHKA Indonesia Programme

i3
This publication has been made possible with funding from the CY 98
Environment Component of the World Bank/Netherlands Partnership
Programme, through the IUCN Regional Biodiversity Programme for South and
Southeast Asia.

Publikasi ini dibuat atas dukungan biaya dari Komponen Lingkungan Bank
Dunia/Program Kemitraan Belanda tahun fiskal 1998, lewat Program
Keanekaragaman Hayati Regional IUCN untuk Asia Selatan dan Asia Tenggara.

THE WORLD BANK

This publication is adapted from:


Publikasi ini merupakan saduran dari:

Giesen, W., Stephan Wulffraat, Max Zieren & Liesbeth Schoelten. A Field
Guide of Indonesian Mangrove. WI-IP (in prep.).

Cetakan pertama tahun 1999


Cetakan kedua tahun 2006

Pencetakan ulang (ketiga) tahun 2012, didukung oleh:

Pustaka:

Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan


Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.

4ii
© Wetlands International – Indonesia Programme, 1999

Hak cipta dilindungi Undang-undang

ISBN: 979-95899-0-8

Desain dan tata letak: Triana


Ilustrasi: Wahyu Gumelar, Triana dan Tilla Visser
Foto: Hidayat S., I N.N. Suryadiputra, Jennifer Dudley,
Kitamura, Marcel J. Silvius, Wendy Suryadiputra,
Wim Giesen

Pendapat dan saran yang dikemukakan dalam buku ini


adalah semata-mata pendapat dan saran dari penulis/
penyadur dan tidak selalu mencerminkan kebijakan resmi
dari Wetlands International dan Ditjen PHKA.

iii3
KATA PENGANTAR

Indonesia dikarunia memiliki mangrove yang terluas di dunia dan


juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya paling
bervariasi. Warisan alam yang sangat luar biasa ini memberikan
tanggung jawab yang besar bagi Indonesia untuk melestarikannya,
sekaligus memberikan kesempatan yang berharga bagi mereka yang
bermaksud mempelajari dan menikmati habitat ini.

Hingga saat ini, sangat sedikit pustaka yang berhubungan dengan


mangrove di Indonesia, sehingga bagi yang ingin mempelajari
mangrove Indonesia terpaksa harus mengacu kepada pustaka
mengenai negara-negara tetangga, seperti untuk Malaysia (Watson,
1928), PNG (Percival & Womersley, 1975), dan Australia
(Wightman, 1989). Meskipun dalam beberapa hal pustaka tersebut
bermanfaat, akan tetapi banyak mengandung kelemahan, baik
karena beberapa jenis tidak terdapat di Indonesia atau karena titik
berat pustaka tersebut hanya pada pohon dan belukar. Untuk
melengkapi pustaka tersebut, bagi yang ingin secara serius
mempelajari mangrove haruslah mengacu kepada berbagai
publikasi lainnya, termasuk Flora Malesiana. Namun, hal ini
dirasakan cukup menyulitkan dan kurang praktis, baik karena
beratnya buku-buku tersebut maupun harganya yang mahal.

Untuk mengisi kekosongan tersebut, WI-IP telah menyelesaikan suatu


manuskrip pengenalan mangrove Indonesia dalam Bahasa Inggris,
yang sayangnya belum bisa segera diterbitkan karena kendala biaya.
Namun atas dukungan biaya oleh pihak sponsor (Komponen
Lingkungan Bank Dunia/Program Kemitraan Belanda tahun fiskal
1998) manuskrip tersebut kini telah berhasil disadur kedalam
Bahasa Indonesia dengan beberapa tambahan dan perbaikan data.

Tujuan ditulisnya buku ini adalah untuk memberikan suatu panduan


sederhana pengenalan tumbuhan mangrove bagi mereka yang tertarik
pada konservasi dan pengelolaan mangrove di Indonesia. Buku ini
dibagi menjadi dua bagian: bagian pertama berisikan tentang
gambaran umum mangrove (di dalamnnya tercakup habitat, manfaat,
sebaran serta kebijakan/peraturan tentang mangrove di Indonesia),
dan bagian kedua secara spesifik menjelaskan jenis-jenis mangrove
di Indonesia (di dalamnya meliputi cara mengidentifikasi, ekologi,
kelimpahan serta manfaatnya bagi umat manusia).

Buku ini tidak ditujukan sebagai edisi akhir yang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan dalam identifikasi mangrove di Indonesia. Oleh
karena itu, saran dan kritik pemakai buku ini sangat diharapkan.

Penyadur
4iv
3 iv
UCAPAN TERIMA KASIH
(Edisi B. Indonesia)

Penyelesaian publikasi ini dilakukan oleh suatu tim dari Wetlands International
- Indonesia Programme dibawah koordinator Laksmi A. Savitri. Penerjemahan
dan penyaduran dari manuskrip Bahasa Inggris dilakukan oleh penyadur pertama.
Penyadur kedua dan ketiga memperbaiki dan menambah informasi dan data
terbaru yang lebih sesuai untuk edisi ini. Ilustrasi hitam putih digambar oleh
tangan terampil Wahyu Gumelar, Triana dan Tilla Visser. Foto-foto berwarna
diambil oleh para penyadur juga oleh Hidayat Sunarsyah, Wahyu Gumelar,
Jennifer Dudley dan Wendy Suryadiputra, sedangkan pendisainan dan tata letak
dilakukan oleh Triana.

Beberapa foto berwarna juga diambil dari Handbook of Mangroves in Indonesia


(oleh Kitamura et.al.) yang diproduksi oleh JICA-ISME (1997) melalui ijin yang
diberikan oleh pimpinan proyek mangrove JICA di Bali, Dr. Atsuo Ida.

Publikasi ini dapat diselesaikan berkat dukungan dana dari Komponen Lingkungan
Bank Dunia/Program Kemitraan Belanda tahun fiskal 1998, lewat Program
Keanekaragaman Hayati Regional IUCN untuk Asia Selatan dan Asia Tenggara,
untuk itu Dr. Scott Perkin sebagai Ketua Program telah sangat berperan dalam
memungkinkan penyaluran dana.

Marcel J. Silvius sangat berperanan dalam persiapan awal penerbitan buku ini
serta menyediakan beberapa slide-nya untuk digunakan. Dr. Cecep Kusmana
memberikan masukan yang sangat berharga dalam persiapan awal publikasi.

Penghargaan dan ucapan terima kasih akhirnya disampaikan kepada Wim Giesen,
Stephan Wulffraat, Max Zieren, Liesbeth Schoelten dan tim produksi manuskrip
Bahasa Inggris yang menjadi sumber utama publikasi ini, serta kepada semua
pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

v3
UCAPAN TERIMA KASIH (Edisi B. Inggris)

Banyak pihak yang terlibat dalam penyelesaian secara bertahap buku ini. Kami
sangat berterima kasih kepada para sponsor yang memberikan dukungan,
meskipun penyelesaian buku ini sangat terlambat. Produksi buku ini pada awalnya
didukung oleh Stichting FONA, Arnhem, The Netherlands, Stichting Pro Natura,
Ellecom, The Netherlands dan Stichting Ludovica, Ellecom, The Netherlands,
selama kurun waktu 1991 – 1993. Pada akhir 1993, Koordinator proyek yang
pertama, Max Zieren, sayangnya harus meninggalkan Indonesia, sehingga
pengerjaan buku ini agak terbengkalai, terutama juga karena kurangnya dana
pendukung. Terlepas dari masalah dana tersebut, pengerjaan kemudian dilakukan
sedikit demi sedikit sampai kemudian Koordinator proyek lanjutan inipun, Wim
Giesen, harus meninggalkan Indonesia pada awal 1995. Penyelesaian akhir buku
ini kemudian dilanjutkan oleh Koordinator berikutnya, Yus Rusila Noor.

Syukurlah, the International Society for Mangrove Ecosystems (ISME, berpusat


di Okinawa, Jepang), berkenan untuk memberikan sumbangan dana yang
memungkinkan dilanjutkannya proses penyelesaian akhir dan editing buku ini
oleh penulis dan editor utamanya, Wim Giesen.

PHPA (sekarang PHKA) dan AWB (sekarang Wetlands International) sangat


berterima kasih kepada sejumlah sukarelawan yang telah memberikan
sumbangannya kepada penyelesaian buku ini, khususnya Stephan Wulffraat (yang
membuat daftar jenis dan memulai seluruh proses), Tilla Visser untuk gambar-
gambarnya yang luar biasa, Liesbeth Schoelten untuk ketekunan dan
kemampuannya dalam memberikan pertelaan jenis, Cecillia Luttrell yang telah
mencoba kunci identifikasi di lapangan dan memeriksa spesimen di lapangan,
dan Bea Tolboom yang telah mengumpulkan pustaka.

Lebih dari itu, kami juga menghaturkan terima kasih kepada pihak luar yang
teah memberikan komentar dan masukan yang sangat berharga, termasuk
Almarhum “Doc” Kostermans (Herbarium Bogor), Dra. J.J Afriastini yang telah
membantu identifikasi tumbuhan herbarium, Dr. Max van Balgooij (Rijkherbarium
Leiden) dan Dr. E. Hennipman (Institute of Systematic Botany, University of
Utrecht, The Netherlands). Terima kasih juga disampaikan kepada staf
perpustakaan Herbarium Bogor atas bantuan dan kesabarannya dalam
memberikan pustaka yang diperlukan. Terakhir, terima kasih tak terhingga untuk
Herbarium Bogor dan Rijkherbarium Leiden yang telkah memberikan kemudahan
untuk menggunakan koleksi herbariumnya, sehingga dapat digunakan dalam
pembuatan gambar buku ini.

4vi
3 vi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar iv

Ucapan Terima Kasih (Edisi B. Indonesia) v


(Edisi B. Inggris) vi

Daftar Isi vii

I. Pendahuluan 1
Bagian I

1.1 Apakah mangrove itu? 1


1.2 Gambaran umum mangrove Indonesia 1
1.3 Cakupan buku panduan 3

II. Habitat Mangrove 5


2.1 Kondisi fisik 5
2.2 Tipe vegetasi mangrove 8
2.3 Fauna mangrove 12

III. Manfaat Mangrove 17


3.1 Pemanfaatan mangrove 17
3.2 Fungsi mangrove 21

IV. Status Mangrove Indonesia 23


4.1 Luas areal mangrove dulu dan saat ini 23
4.2 Penyebab penurunan luas mangrove 27

V. Kebijakan dan Peraturan Menyangkut Mangrove 30


5.1 Pemetaan sumberdaya 30
5.2 Peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan
mangrove 31
5.3 Kebijakan jalur hijau dan rencana tata ruang 33
5.4 Peraturan yang berkaitan dengan konservasi
mangrove 34
5.5 Perkembangan terakhir 35

vii3
VI. Areal Mangrove yang Dilindungi 37
6.1 Mangrove dan sistem kawasan lindung 37
6.2 Deskripsi kawasan lindung mangrove per pulau 39
6.3 Pemeliharaan keanekaragaman hayati mangrove 41

VII. Beberapa Petunjuk Studi Mangrove bagi Pemula 43


7.1 Pustaka penting 43
7.2 Petunjuk untuk pengamatan lapangan 43
7.3 Spesimen tumbuhan mangrove 44
7.4 Studi vegetasi 45
7.5 Studi fauna 45
7.6 Alamat-alamat penting terkait dengan kegiatan
di lingkungan mangrove 46

Lampiran
Lampiran 1. Jenis mangrove, nama lain/sinonim, sumber
gambar & foto 190
Lampiran 2. Daftar pustaka yang dapat dipakai sebagai
acuan 198

Daftar Pustaka 201

Glosari 212

Indeks 219

JENIS-JENIS MANGROVE SEJATI 47


Bagian II

JENIS-JENIS MANGROVE IKUTAN 143

4viii
3
I. PENDAHULUAN

1.1 Apakah mangrove itu ?

Asal kata “mangrove” tidak diketahui secara jelas dan terdapat berbagai pendapat mengenai
asal-usul katanya. Macnae (1968) menyebutkan kata mangrove merupakan perpaduan
antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Sementara itu, menurut Mastaller
(1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi yang digunakan
untuk menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia
bagian timur.

Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun pada


dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989)
mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut
maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan
daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger,
dkk, 1983). Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai
hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara
sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia,
Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus,
Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.

Pada dasarnya, menurut Wightman (1989) yang lebih penting untuk diketahui pada saat
bekerja dengan komunitas mangrove adalah menentukan mana yang termasuk dan mana
yang tidak termasuk mangrove. Dia menyarankan seluruh tumbuhan vaskular yang
terdapat di daerah yang dipengaruhi pasang surut termasuk mangrove.

Dalam buku panduan ini, isitilah “mangrove” secara umum digunakan mengacu pada
habitat. Dalam beberapa hal, istilah “mangrove” digunakan untuk jenis tumbuhannya,
termasuk jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di pinggiran mangrove seperti formasi
Barringtonia dan formasi Pes-caprae.

1.2 Gambaran umum mangrove Indonesia

Perkiraan luas mangrove di seluruh dunia sangat beragam. Beberapa peneliti seperti Lanly
(dalam Ogino & Chihara, 1988) menyebutkan bahwa luas mangrove di seluruh dunia adalah
sekitar 15 juta hektar, sedangkan Spalding, dkk (1997) menyebutkan 18,1 juta hektar,
bahkan Groombridge (1992) menyebutkan 19,9 juta hektar. Untuk kawasan Asia, luas
mangrove diperkirakan antara 32 % (Thurairaja, 1994) sampai 41.5% (Spalding, dkk, 1997)
mangrove dunia.

13
Di Indonesia perkiraan luas mangrove juga sangat beragam. Giesen (1993) menyebutkan
luas mangrove Indonesia 2,5 juta hektar, Dit. Bina Program INTAG (1996) menyebutkan
3.5 juta hektar dan Spalding, dkk (1997) menyebutkan seluas 4,5 juta hektar. Dengan
areal seluas 3,5 juta hektar (dalam buku panduan ini), Indonesia merupakan tempat
mangrove terluas di dunia (18 - 23%) melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha)
dan Australia (0,97 juta ha) (Spalding, dkk, 1997).

Umumnya mangrove dapat ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia (Gambar 1).


Mangrove terluas terdapat di Irian Jaya sekitar 1.350.600 ha (38%), Kalimantan 978.200
ha (28 %) dan Sumatera 673.300 ha (19%) (Dit. Bina Program INTAG, 1996). Di daerah-
daerah ini dan juga daerah lainnya, mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik
pada pantai yang memiliki sungai yang besar dan terlindung. Walaupun mangrove dapat
tumbuh di sistem lingkungan lain di daerah pesisir, perkembangan yang paling pesat
tercatat di daerah tersebut.

Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi


lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang
tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti itu,
beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara
aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lainnya mengembangkan sistem
akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya. Dalam
hal lain, beberapa jenis mangrove berkembang dengan buah yang sudah berkecambah
sewaktu masih di pohon induknya (vivipar), seperti Kandelia, Bruguiera, Ceriops dan
Rhizophora.

Dalam hal struktur, mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila dibandingkan dengan
daerah lainnya. Dapat ditemukan mulai dari tegakan Avicennia marina dengan ketinggian
1 - 2 meter pada pantai yang tergenang air laut, hingga tegakan campuran Bruguiera-
Rhizophora-Ceriops dengan ketinggian lebih dari 30 meter (misalnya, di Sulawesi Selatan).
Di daerah pantai yang terbuka, dapat ditemukan Sonneratia alba dan Avicennia alba,
sementara itu di sepanjang sungai yang memiliki kadar salinitas yang lebih rendah
umumnya ditemukan Nypa fruticans dan Sonneratia caseolaris. Umumnya tegakan
mangrove jarang ditemukan yang rendah kecuali mangrove anakan dan beberapa jenis
semak seperti Acanthus ilicifolius dan Acrostichum aureum.

Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89
jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan
1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa
jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain
ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (asociate
asociate). Di seluruh dunia, Saenger, dkk (1983) mencatat sebanyak 60 jenis tumbuhan
mangrove sejati. Dengan demikian terlihat bahwa Indonesia memiliki keragaman jenis
yang tinggi.

42
Seluruh jenis mangrove tersebut telah dideskripsikan dalam manuskrip Bahasa Inggris
dari panduan ini. Dalam panduan edisi Bahasa Indonesia ini, jenis mangrove yang
dideskripsikan hanya mencakup 60 jenis, meliputi 43 jenis mangrove sejati dan 17 jenis
mangrove ikutan.

1.3 Cakupan buku panduan

Buku panduan ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa pendahuluan dan
pengenalan terhadap mangrove secara umum, termasuk definisi mengenai mangrove,
status dan kondisi mangrove di Indonesia dibandingkan dengan bagian dunia lainnya,
serta uraian mengenai habitat mangrove, termasuk beberapa uraian singkat mengenai
tanah, tipe vegetasi serta faunanya. Dalam bagian pertama ini juga disajikan informasi
mengenai manfaat yang dapat digali dari mangrove. Selain itu, juga diuraikan informasi
mengenai peraturan serta perundang-undangan mengenai mangrove di Indonesia. Untuk
mereka yang bermaksud melakukan penelitian mengenai mangrove, disajikan panduan
ringkas mengenai tekhnik dasar penelitian mangrove serta daftar nama dan alamat
organisasi penting yang bergerak dibidang penelitian dan pengelolaan mangrove di
Indonesia.

Inti dari buku panduan ini terdapat pada bagian dua. Dibagian ini ditampilkan panduan
identifikasi jenis-jenis tumbuhan mangrove disertai ilustrasi dan/atau foto. Selain itu,
dilampirkan beberapa peta yang berkaitan dengan penyebaran mangrove dan kawasan
lindung mangrove yang penting di Indonesia dan panduan ringkas bergambar identifikasi
mangrove.

Meskipun pada bagian dua tercantum juga aspek manfaat dari mangrove sebagai obat-
obatan, namun pembaca diharapkan untuk berhati-hati dalam pemanfaatannya,
khususnya berkenaan dengan dosis yang akan dipakai. Untuk hal demikian, para
pembaca sangat dianjurkan untuk mengacu buku-buku lain yang khusus membahas
jenis-jenis tanaman obat (misalnya Wijayakusuma, M.H. dkk., 1992).

33
44
Gambar 1. Peta penyebaran mangrove di Indonesia
II. HABITAT MANGROVE

2.1 Kondisi fisik

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi (misalnya terlihat
dalam Gambar 2). Beberapa ahli (seperti Chapman, 1977 & Bunt & Williams, 1981)
menyatakan bahwa hal tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau
gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang
surut.

Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur,
terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1977). Di
Indonesia, substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata and
Avicennia marina (Kint, 1934). Jenis-jenis lain seperti Rhizopora stylosa tumbuh dengan
baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau karang yang memiliki substrat berupa
pecahan karang, kerang dan bagian-bagian dari Halimeda (Ding Hou, 1958). Kint (1934)
melaporkan bahwa di Indonesia, R. stylosa dan Sonneratia alba tumbuh pada pantai
yang berpasir, atau bahkan pada pantai berbatu. Pada kondisi tertentu, mangrove dapat
juga tumbuh pada daerah pantai bergambut, misalnya di Florida, Amerika Serikat
(Chapman, 1976a). Di Indonesia, kondisi ini ditemukan di utara Teluk Bone dan di
sepanjang Larian – Lumu, Sulawesi Selatan, dimana mangrove tumbuh pada gambut
dalam (>3m) yang bercampur dengan lapisan pasir dangkal (0,5 m) (Giesen, dkk, 1991).
Substrat mangrove berupa tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi (62%)
juga dilaporkan ditemukan di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta (Hardjowigeno, 1989).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove


mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara
selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara
beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada
daunnya.

Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran


salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina mampu tumbuh
dengan baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90 o/oo (MacNae,
1966;1968). Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan kemampuan
menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui hidup di daerah
dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut, kecuali S. caseolaris yang tumbuh
pada salinitas kurang dari 10 o/oo. Beberapa jenis lain juga dapat tumbuh pada salinitas
tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 – 40 o/oo, Rhizopora mucronata
dan R. Stylosa pada salinitas 55 o/oo, Ceriops tagal pada salinitas 60 o/oo dan pada
kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan Lumnitzera racemosa dapat tumbuh sampai
salinitas 90 o/oo (Chapman, 1976a). Jenis-jenis Bruguiera umumnya tumbuh pada

53
daerah dengan salinitas di bawah 25 o/oo. MacNae (1968) menyebutkan bahwa kadar
salinitas optimum untuk B. parviflora adalah 20 o/oo, sementara B. gymnorrhiza adalah
10 – 25 o/oo.

Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut. Beberapa
penulis melaporkan adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya
pasang surut dan frekuensi banjir (van Steenis, 1958 & Chapman, 1978a). Di Indonesia,
areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah umumnya didominasi
oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedang
didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat
pasang tinggi, yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenis-
jenis Bruguiera dan Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada
saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh
Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea.

Pada umumnya, lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada beberapa
estuari serta teluk yang dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini lebar zona mangrove
dapat mencapai 18 kilometer seperti di Sungai Sembilang, Sumatera Selatan (Danielsen
& Verheugt, 1990) atau bahkan lebih dari 30 kilometer seperti di Teluk Bintuni, Irian
Jaya (Erftemeijer, dkk, 1989). Adapun pada daerah pantai yang tererosi dan curam,
lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter. Untuk daerah di sepanjang sungai yang
dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang mencapai
puluhan kilometer seperti di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Panjang hamparan ini
bergantung pada intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang
surut, pemasukan dan pengeluaran material kedalam dan dari sungai, serta
kecuramannya.

46
Gambar 2. Contoh zonasi mangrove di Cilacap, Jawa Tengah (diadaptasi dari White, dkk, 1989).

Aa - Avicennia alba Dh - Derris heterophylla


Ac - Aegiceras corniculatum Ra - Rhizophora apiculata
Bc - Bruguiera cylindrica R m- R. mucronata
Bg - B. gymnorrhiza Sb - Sarcolobus banksii
Bp - B. parviflora Xg - Xylocarpus granatum
Ct - Ceriops tagal

73
2.2 Tipe vegetasi mangrove

Struktur

Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka,
daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta
daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar.

a) Mangrove terbuka

Mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Samingan (1980)
menemukan bahwa di Karang Agung, Sumatera Selatan, di zona ini didominasi
oleh Sonneratia alba yang tumbuh pada areal yang betul-betul dipengaruhi oleh
air laut. Van Steenis (1958) melaporkan bahwa S. alba dan A. alba merupakan
jenis-jenis ko-dominan pada areal pantai yang sangat tergenang ini. Komiyama, dkk
(1988) menemukan bahwa di Halmahera, Maluku, di zona ini didominasi oleh S.
alba. Komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka sangat bergantung pada
substratnya. S. alba cenderung untuk mendominasi daerah berpasir, sementara
Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi
daerah yang lebih berlumpur (Van Steenis, 1958). Meskipun demikian, Sonneratia
akan berasosiasi dengan Avicennia jika tanah lumpurnya kaya akan bahan organik
(Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993).

b) Mangrove tengah

Mangrove di zona ini terletak dibelakang mangrove zona terbuka. Di zona ini
biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Namun, Samingan (1980) menemukan
di Karang Agung didominasi oleh Bruguiera cylindrica. Jenis-jenis penting lainnya
yang ditemukan di Karang Agung adalah B. eriopetala, B. gymnorrhiza, Excoecaria
agallocha, R. mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.

c) Mangrove payau

Mangrove berada disepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di


zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di Karang
Agung, komunitas N. fruticans terdapat pada jalur yang sempit di sepanjang
sebagian besar sungai. Di jalur-jalur tersebut sering sekali ditemukan tegakan
N.fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri dari Cerbera sp, Gluta
renghas, Stenochlaena palustris dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai,
campuran komunitas Sonneratia - Nypa lebih sering ditemukan. Di sebagian
besar daerah lainnya, seperti di Pulau Kaget dan Pulau Kembang di mulut Sungai
Barito di Kalimantan Selatan atau di mulut Sungai Singkil di Aceh, Sonneratia
caseolaris lebih dominan terutama di bagian estuari yang berair hampir tawar
(Giesen & van Balen, 1991).

48
d) Mangrove daratan

Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur
hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona
ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera
racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis (Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup, 1993). Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan zona lainnya.

Meskipun kelihatannya terdapat zonasi dalam vegetasi mangrove, namun kenyataan di


lapangan tidaklah sesederhana itu. Banyak formasi serta zona vegetasi yang tumpang
tindih dan bercampur serta seringkali struktur dan korelasi yang nampak di suatu daerah
tidak selalu dapat diaplikasikan di daerah yang lain.

Flora & keragamannya

Kawasan Samudera India bagian utara dan Pasifik barat daya (memanjang dari Laut Merah
sampai Jepang dan Indonesia) merupakan tempat keanekaragaman jenis mangrove tertinggi
di dunia. Saenger, dkk (1983) mencatat dua kawasan tersebut mewakili masing-masing 44
dan 38 jenis dari 60 jenis mangrove sejati yang tercatat di dunia. Sementara di kawasan
Amerika Barat/Pasifik Timur, Amerika Timur/Karibea dan Afrika Barat hanya memiliki 7 jenis
serta Afrika Timur 9 jenis (Saenger, dkk, 1983).

Tabel 1 memberikan gambaran mengenai penyebaran seluruh jenis mangrove sejati di


6 negara di kawasan Samudera Hindia bagian utara/Pasifik barat laut. Dari 50 jenis
mangrove sejati yang ada, setidaknya tercatat 40 jenis berada di Indonesia. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman jenis mangrove
yang paling tinggi di dunia. Kekayaan tersebut tidak hanya dalam hal kelompok
tumbuhan Angiospermae, akan tetapi juga untuk taxa yang lainnya. Tanaka dan Chihara
(1988) dalam penelitiannya mengenai makroalga di Indonesia Timur menyimpulkan
bahwa Indonesia merupakan pusat penyebaran makroalga di dunia yang berasosiasi
dengan tumbuhan mangrove.

Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan dalam hal keragaman jenis mangrove antara
satu pulau dengan pulau lainnya. Dari 202 jenis mangrove yang telah diketahui, 166
jenis terdapat di Jawa, 157 jenis di Sumatera, 150 jenis di Kalimantan, 142 jenis di Irian
Jaya, 135 jenis di Sulawesi, 133 jenis di Maluku dan 120 jenis di Kepulauan Sunda
Kecil. Meskipun daftar ini mungkin tidak terlalu komprehensif, akan tetapi dapat
memberikan gambaran urutan penyebaran jenis mangrove di pulau-pulau Indonesia.
Pengecualian untuk Pulau Jawa, meskipun memiliki keragaman jenis yang paling tinggi,
akan tetapi sebagian besar dari jenis-jenis yang tercatat berupa jenis-jenis gulma (seperti
Chenopodiaceae, Cyperaceae, Poaceae). Selain itu; penelitian mangrove lebih intensif
dilakukan di pulau ini dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Satu hal yang harus

93
diperhatikan adalah bahwa pembangunan yang mengakibatkan kerusakan dan peralihan
peruntukan lahan mangrove telah terjadi di mana-mana. Hal ini berarti jenis-jenis yang
tercatat dalam daftar diatas kemungkinan sebenarnya sudah tidak ditemukan di pulau
tertentu.

Tabel 1. Penyebaran jenis-jenis mangrove sejati di kawasan Indo-Australia


(Saenger, dkk., 1983)

Jenis India Bangladesh Vietnam Indonesia P.N.G. Australia

Acanthus ebracteatus + + + +
A. ilicifolius + + + + + +
A. volubilis
Aegilitis annulata + + +
A. retundifolia + +
Aegiceras corniculatum + + + + + +
A. floridum + +
Avicennia alba + + + + +
A. eucalyptifolia + +
A. integra +
A. intermedia
A. lanata +
A. marina + ?+ + + + +
A. officinalis + + + + +
A. rumphiana
Bruguiera cylindrica + + + +
B. exaristata + + +
B. gymnorrhiza + + + + + +
B. hainesii + +
B. parviflora + + + + +
B. sexangula + + + +
Campnosperma philippinensis +
C. schultzii + + +
Ceriops decandra + + + + + +
C. tagal + + + + +
Cynometra ramiflora + + + +
Excoecaria agallocha + + + + + +
Heritiera fomes + +
H. litoralis + + +

410
Jenis India Bangladesh Vietnam Indonesia P.N.G. Australia

Kandelia candel + + + +
Lumnitzera littorea + + + + +
L. recemosa + + + + + +
Nypa fruticans + + + + +
Osbornia octodonta + + +
Phoenix paludosa + + + +
Rhizophora apiculata + + + + +
R. lamarckii + +
R. mucronata + + + + + +
R. stylosa + + + +
Scyphiphora hydrophyllacea + + + +
Sonneratia alba + + + + +
S. apetala + +
S. caseolaris + + + + + +
S. griffithii
S. ovata + + +
Xylocarpus australasicus +
X. granatum + + + + + +
X. mekongensis + + +
X. moluccensis + + +
X. parvifolius

J UM L A H 27 19 30 39 33 28

Referensi:

India : Chaudhuri & Choudhury (1994)


Bangladesh : Das & Siddiqi (1985)
Vietnam : Hong & Sen (1993)
Indonesia : Publikasi ini
Papua New Guinea : Percival & Womersley (1975), Tomlinson & Womersley (1976)
Australia : Tomlinson & Womersley (1976), Wightman (1989)

113
Jenis tumbuhan langka dan endemik

Untuk kepentingan konservasi serta pengelolaan sumberdaya alam, jenis-jenis yang


bersifat langka dan endemik haruslah diberi perhatian lebih. Hanya sedikit jenis mangrove
yang bersifat endemik di Indonesia. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena buah
mangrove mudah terbawa oleh gelombang dan tumbuh di tempat lain. Selain Amyema
anisomeres (mangrove sejati), masih terdapat 2 jenis endemik lainnya (mangrove ikutan),
yaitu Ixora timorensis (Rubiaceae) yang merupakan jenis tumbuhan kecil yang diketahui
berada di Pulau Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil, serta Rhododendron brookeanum
(Ericaceae) yang merupakan epifit berkayu yang diketahui berada di Sumatera dan
Kalimantan.

Dalam hal kelangkaan, di Indonesia terdapat 14 jenis mangrove yang langka, yaitu:

™ Lima jenis umum setempat tetapi langka secara global, sehingga berstatus rentan
dan memerlukan perhatian khusus untuk pengelolaannya. Jenis-jenisnya adalah
Ceriops decandra, Scyphiphora hydrophyllacea, Quassia indica, Sonneratia ovata,
Rhododendron brookeanum (dari 2 sub-jenis, hanya satu terkoleksi).

™ Lima jenis yang langka di Indonesia tetapi umum di tempat lainnya, sehingga
secara global tidak memerlukan pengelolaan khusus. Jenis-jenis tersebut adalah
Eleocharis parvula, Fimbristylis sieberiana, Sporobolus virginicus, Eleocharis spiralis
dan Scirpus litoralis.

™ Empat jenis sisanya berstatus langka secara global, sehingga memerlukan


pengelolaan khusus untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Jenis-jenis tersebut
adalah Amyema anisomeres, Oberonia rhizophoreti, Kandelia candel dan
Nephrolepis acutifolia. Dua diantaranya, A. anisomeres dan N.acutifolia hanya
terkoleksi satu kali, sehingga hanya diketahui tipe setempat saja.

2.3 Fauna mangrove

Mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar seperti primata, reptilia dan
burung. Selain sebagai tempat berlindung dan mencari makan, mangrove juga merupakan
tempat berkembang biak bagi burung air. Bagi berbagai jenis ikan dan udang, perairan
mangrove merupakan tempat ideal sebagai daerah asuhan, tempat mencari makan dan
tempat pembesaran anak.

Moluska sangat banyak ditemukan pada areal mangrove di Indonesia. Budiman (1985)
mencatat sebanyak 91 jenis moluska hanya dari satu tempat saja di Seram, Maluku. Jumlah
tersebut termasuk 33 jenis yang biasanya terdapat pada karang, akan tetapi juga sering
mengunjungi daerah mangrove. Beberapa dari 91 jenis kelompok moluska tersebut
diketahui hidup di dalam tanah, sementara yang lainnya ada yang hidup di permukaan

412
dan ada pula yang hidup menempel pada tumbuh-tumbuhan. Di lokasi lain, keragaman
jenis moluska tidak sebanyak di Seram, sebagai contoh Giesen, dkk (1991) mencatat 74
jenis moluska pada mangrove di Sulawesi Selatan, sementara Budiman (1988) menemukan
40 jenis di Halmahera. Sebanyak 24 jenis dari 40 jenis yang ditemukan Budiman (1988)
merupakan jenis-jenis yang hidup di daerah mangrove, sehingga dapat dikatakan sebagian
besar dari jenis-jenis moluska tersebut hidup di daerah mangrove.

Kepiting juga umum ditemukan di daerah mangrove. Dari setiap meter persegi dapat
ditemukan 10 - 70 ekor kepiting (Macintosh, 1984), khususnya jenis-jenis penggali dari
genus Cleistocoeloma, Macrophthalmus, Metaplax, Ilyoplax, Sesarma dan Uca (Wada &
Wowor, 1989 & Sasekumar, dkk, 1989). Kepiting Mangrove Scylla serrata merupakan
kepiting yang hidup di daerah mangrove yang bernilai ekonomi tinggi (Delsman, 1972).
Lebih dari 100 jenis kepiting mangrove diketahui hidup di Malaysia dan 76 jenis di
Singapura. Sayangnya, pengetahuan mengenai kepiting mangrove di Indonesia sangat
sedikit sekali dipelajari. Giesen, dkk (1991) mencatat sebanyak 28 jenis kepiting di mangrove
Sulawesi Selatan didominasi oleh genus Sesarma dan Uca.

Mangrove juga merupakan habitat penting bagi berbagai jenis krustasea lainnya, termasuk
berbagai jenis udang-udangan yang memiliki nilai komersial penting. Sasekumar, dkk
(1992) mencatat sebanyak 9 jenis udang di sungai-sungai kecil di mangrove Selangor,
Malaysia, yang sebagian besar diantaranya merupakan anakan. Giesen, dkk (1991)
mencatat sebanyak 14 jenis udang termasuk Macrobrachium (8 jenis), Metapeneus (2
jenis) dan Palaemonetes (2 jenis) pada mangrove di Sulawesi Selatan. Toro (dalam
Manuputty, 1984) mencatat sebanyak 28 jenis krustasea, termasuk 8 jenis udang pada
habitat mangrove di Pulau Pari, Teluk Jakarta. Dua jenis yang paling umum ditemukan
adalah Thalassina anomala dan Uca dussumieri.

Ikan menjadikan areal mangrove sebagai tempat untuk pemijahan, habitat permanen
atau tempat berbiak (Aksornkoae, 1993). Sebagai tempat pemijahan, areal mangrove
berperan penting karena menyediakan tempat naungan serta mengurangi tekanan
predator, khususnya ikan predator. Dalam kaitannya dengan makanan, hutan mangrove
menyediakan makanan bagi ikan dalam bentuk material organik yang terbentuk dari
jatuhan daun serta berbagai jenis hewan invertebrata, seperti kepiting dan serangga.
Selain itu, mangrove juga merupakan tempat pembesaran anak-anak ikan. Sasekumar,
dkk (1992) mencatat sebanyak 119 jenis ikan hidup pada sungai-sungai kecil di daerah
mangrove di Selangor, Malaysia, dimana sebagian besar diantaranya masih berupa
anakan. Hal yang sama dapat dilihat di Segara Anakan, tercatat lebih dari 60 % ikan
yang tertangkap merupakan ikan muda (Wahyuni, dkk, 1984).

Beberapa jenis ikan yang ditemukan di areal mangrove antara lain Tetraodon
erythrotaenia, Pilonobutis microns, Butis butis, Liza subvirldis, dan Ambasis buruensis
(Erftemeijer, dkk, 1989). Di Indonesia, Burhanuddin (1993) mencatat sebanyak 62 jenis
ikan hidup di daerah mangrove di Pulau Panaitan, Taman Nasional Ujung Kulon. Ikan
yang dominan ditemukan adalah Mugil cephalus yang bersifat herbivora, sedangkan

133
jenis-jenis lain yang juga umum ditemukan adalah Caranx kalla, Holocentrum rubrum,
Lutjanus fulviflamma dan Plotosus canius yang bersifat karnivora, serta Toxotes jaculator
yang bersifat insektivora. Ikan gelodok (Periopthalmus spp., Scartelaos spp.; MacNae,
1968) merupakan ikan yang sering sekali terlihat “berenang” pada genangan air berlumpur
atau menempel pada akar mangrove.

Untuk kelompok Arthropoda terbang yang hidup di mangrove, termasuk serangga,


dijelaskan oleh Abe (1988) dalam penelitiannya di Halmahera, Maluku bahwa sebagian
besar serangga yang ditemukan berasal dari ordo Hymenoptera, Diptera and Psocoptera.

Sangat sedikit sekali Amphibia dapat ditemukan bertahan hidup pada lingkungan yang
berair asin seperti lingkungan mangrove. Meskipun demikian, 2 jenis amphibia telah
diketahui dapat bertahan hidup pada lingkungan demikian, yaitu Rana cancrivora and
R. limnocharis (MacNae, 1968).

Jenis-jenis Reptilia yang umum ditemukan di daerah mangrove di Indonesia diantaranya


adalah buaya muara (Crocodylus porosus), biawak (Varanus salvator), ular air (Enhydris
enhydris), ular mangrove (Boiga dendrophila), Ular tambak (Cerberus rhynchops),
Trimeresurus wagler dan T. purpureomaculatus (MacNae, 1968; Keng & Tat-Mong,
1989; Giesen, 1993). Seluruh jenis reptilia tersebut dapat juga ditemukan pada lingkungan
air tawar atau di daratan.

Jenis-jenis burung yang hidup di daerah mangrove tampaknya tidak terlalu berbeda
dengan jenis-jenis yang hidup di daerah hutan sekitarnya. Mereka menggunakan
mangrove sebagai habitat untuk mencari makan, berbiak atau sekedar beristirahat. Bagi
beberapa jenis burung air, seperti Kuntul (Egretta spp), Bangau (Ciconiidae) atau Pecuk
(Phalacrocoracidae), daerah mangrove menyediakan ruang yang memadai untuk
membuat sarang, terutama karena minimnya gangguan yang ditimbulkan oleh predator.
Bagi jenis-jenis pemakan ikan, seperti kelompok burung Raja Udang (Alcedinidae),
mangrove menyediakan tenggeran serta sumber makanan yang berlimpah.

Bagi berbagai jenis burung air migran (khususnya Charadriidae dan Scolopacidae),
mangrove memainkan peranan yang sangat penting dalam migrasi mereka. Mangrove
tidak hanya sebagai tempat perhentian, akan tetapi juga sebagai tempat perlindungan
dan mencari makan. Beberapa lokasi yang sangat penting bagi burung bermigrasi
diantaranya adalah Pantai Timur Sumatera (Danielsen & Verheugt, 1989; Rusila 1991;
Giesen, 1991;), Pantai Utara Jawa (Erftemeijer & Djuharsa, 1988 dan Rusila 1987) dan
Pantai Barat Sulawesi Selatan (Baltzer, 1990 dan Giesen, dkk, 1991). Sementara itu,
beberapa daerah lain di Kalimantan, Sulawesi dan Irian kemungkinan juga merupakan
lokasi-lokasi yang penting, akan tetapi masih diperlukan survey yang lebih mendalam
untuk membuktikan hal tersebut.

Balen (1988) mencatat sebanyak 167 jenis burung terestrial di hutan mangrove Pulau
Jawa, merupakan 34 % dari seluruh jenis burung yang telah tercatat di Pulau Jawa
(Andrew, 1992). Verheught, dkk (1993) menemukan sebanyak 120 jenis burung (atau

414
150 jenis jika termasuk daerah lumpur disekitar hutan mangrove) di daerah limpasan
banjir dan pasang surut di Sumatera Selatan (56% dari total burung yang ditemukan di
daerah tersebut atau 25% dari seluruh jenis burung di Sumatera). Di Sulawesi Selatan,
Baltzer (1990) melaporkan dari 141 jenis burung yang ditemukan di lahan basah propinsi
tersebut, sebanyak 81 jenis ditemukan di hutan mangrove (58 % atau 21 % dari seluruh
burung di Sulawesi). Sementara itu, di Irian Jaya, Erftmeijer, dkk (1991) menemukan 64
jenis burung hidup di hutan mangrove diantara 90 jenis yang ditemukan di teluk Bintuni
(71% atau 10% dari seluruh burung di Irian Jaya). Disamping itu, dari 17% total jumlah
burung yang tercatat di Pulau Sumba, 27 jenis ditemukan di daerah Mangrove Pulau
Sumba (Zieren, dkk, 1990).

Pangkalan Data Lahan Basah (Wetland Data Base) mencatat setidaknya 200 jenis burung
hidup bergantung pada habitat mangrove. Jumlah ini mewakili 13% dari seluruh jenis
burung yang ada di Indonesia (Andrew, 1992).

Mangrove juga merupakan habitat yang baik bagi beberapa jenis burung yang telah
langka atau terancam kepunahan, seperti:

™ Wilwo (Mycteria cinerea - Milky Stork - Ciconiidae). Jenis ini telah dianggap
sebagai salah satu jenis bangau yang paling terancam di seluruh dunia (Verheught,
1987). Populasinya diperkirakan hanya tinggal berjumlah 5000 - 6000 ekor saja
(Verheught, 1987 dan Rose & Scott, 1994), dimana lebih dari 90% diantaranya
ditemukan di daerah hutan bakau di Indonesia, terutama di Sumatera dan Jawa.
Mereka hanya diketahui berbiak di hutan mangrove di Hutan Bakau Pantai Timur
(Danielsen dan Skov, 1987), Tanjung Koyan, hutan bakau Tanjung Selokan dan
hutan bakau Semenanjung Banyuasin, seluruhnya di Sumatera Selatan (Danielsen,
dkk, 1991). Di Jawa jenis ini hanya diketahui berbiak di hutan bakau Pulau
Rambut (Allport & Wilson, 1986 dan Rusila, dkk, 1994).

™ Bubut hitam (Centropus nigrorufus - Sunda Coucal - Cuculidae). Jenis ini telah
tercantum dalam Red Data Book dalam kategori Vulnerable. Merupakan jenis
endemik Pulau Jawa. Pada saat ini, jenis ini diperkirakan hanya bertahan hidup
di kawasan hutan mangrove dan rawa sekitar Tanjung Karawang, Indramayu dan
Segara Anakan (Andrew, 1990).

™ Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus - Lesser Adjutant - Ciconiidae). Bagi


jenis yang tergolong vulnerable ini, hutan mangrove merupakan habitat penting
untuk bersarang atau mencari makan (Silvius & Verheught, 1989). Populasi
mereka sebagian besar terdapat di pantai timur Sumatera (Sumatera Selatan, Jambi
dan Riau) dan beberapa kawasan hutan bakau di Delta Sungai Brantas dan
Bengawan Solo, pantai utara Jawa (Erftmeijer & Djuharsa, 1988) serta hutan
mangrove di Segara Anakan yang merupakan hutan mangrove terbesar yang saat
ini tersisa di Pulau Jawa (Erftmeijer, dkk, 1988).

153
Mamalia yang umum ditemukan pada habitat mangrove diantaranya adalah babi liar
(Sus scrofa), kancil (Tragulus spp.), kelelawar (Pteropus spp.) berang-berang (Lutra
perspicillata dan Amblyonyx cinerea), lutung (Trachypithecus aurata), Bekantan (Nasalis
larvatus; endemik Kalimantan) dan kucing bakau (Felis viverrina) (MacNae, 1968; Payne,
Francis & Phillipps, 1985; Melisch, dkk, 1993). Tidak satupun dari mamalia diatas
hidup secara eksklusif di mangrove. Bekantan tadinya dianggap hanya hidup pada
habitat mangrove, kemudian diketahui bahwa mereka juga menggunakan hutan rawa
gambut (Payne, dkk, 1985). Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) umum ditemukan
di daerah mangrove dan sering terlihat mencari makan pada hamparan lumpur di sekitar
mangrove. Macaca ochreata ochreata (endemik Sulawesi) pada masa lalu umum terlihat
di daerah mangrove dekat Malili, Teluk Bone, Sulawesi Selatan (Giesen, dkk, 1991).
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatranus) masih ditemukan di wilayah Sungai
Sembilang, Sumatera Selatan (Danielsen & Verheugt, 1989), dimana jika areal ini
digabungkan dengan areal Taman Nasional Berbak di Jambi, dapat dianggap sebagai
tempat hidup harimau Sumatera yang terbaik (Frazier, 1992). Dari empat jenis berang-
berang yaitu Aonyx cinerea, Lutra lutra, Lutra sumatrana dan Lutra perspicillata yang
diketahui hidup di Indonesia juga ditemukan di hutan mangrove. Dari kelompok mamalia
air, dua jenis lumba-lumba yaitu Orcella brevirostris dan Sousa chinensis juga ditemukan
di daerah muara sekitar hutan bakau, sedangkan mamalia udara yang sering ditemukan
adalah Pteropus vampirus.

416
III. MANFAAT MANGROVE

Mangrove memiliki berbagai macam manfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungan
sekitarnya. Bagi masyarakat pesisir, pemanfaatan mangrove untuk berbagai tujuan telah
dilakukan sejak lama. Akhir-akhir ini, peranan mangrove bagi lingkungan sekitarnya
dirasakan sangat besar setelah berbagai dampak merugikan dirasakan diberbagai tempat
akibat hilangnya mangrove.

3.1 Pemanfaatan mangrove

Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif. Berbagai produk dari mangrove
dapat dihasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya: kayu bakar,
bahan bangunan, keperluan rumah tangga, kertas, kulit, obat-obatan dan perikanan
(Tabel 2). Melihat beragamnya manfaat mangrove, maka tingkat dan laju perekonomian
pedesaan yang berada di kawasan pesisir seringkali sangat bergantung pada habitat
mangrove yang ada di sekitarnya. Contohnya, perikanan pantai yang sangat dipengaruhi
oleh keberadaan mangrove, merupakan produk yang secara tidak langsung
mempengaruhi taraf hidup dan perekonomian desa-desa nelayan.

Sejarah pemanfaatan mangrove secara tradisional oleh masyarakat untuk kayu bakar
dan bangunan telah berlangsung sejak lama. Bahkan pemanfaatan mangrove untuk
tujuan komersial seperti ekspor kayu, kulit (untuk tanin) dan arang juga memiliki sejarah
yang panjang. Pembuatan arang mangrove telah berlangsung sejak abad yang lalu di
Riau dan masih berlangsung hingga kini. Eksplotasi mangrove dalam skala besar di
Indonesia nampaknya dimulai awal abad ini, terutama di Jawa dan Sumatera (van
Bodegom, 1929; Boon, 1936), meskipun eksplotasi sesungguhnya dengan menggunakan
mesin-mesin berat nampaknya baru dimulai pada tahun 1972 (Dephut & FAO, 1990).
Pada tahun 1985, sejumlah 14 perusahaan telah diberikan ijin pengusahaan hutan yang
mencakup sejumlah 877.200 hektar areal mangrove, atau sekitar 35% dari areal mangrove
yang tersisa (Dephut & FAO, 1990).

Nampaknya produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem mangrove
adalah perikanan pesisir. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan
sebagian siklus hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumar, dkk, 1992 dan
Burhanuddin, 1993). Kakap (Lates calcacifer), kepiting mangrove (Scylla serrata) serta
ikan salmon (Polynemus sheridani) merupakan jenis ikan yang secara langsung
bergantung kepada habitat mangrove (Griffin, 1985). Menurut Unar (dalam Djamali,
1991) beberapa jenis udang penaeid di Indonesia sangat tergantung pada ekosistem
mangrove. Martosubroto & Naamin (dalam Djamali, 1991) mengemukakan adanya
hubungan linier positif antara luas hutan mangrove dengan produksi udang, dimana
makin luas hutan mangrove makin tinggi produksi udangnya dan sebaliknya. Hal ini
didukung oleh berbagai penelitian di negara-negara lain (Tabel 3).

173
Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Di Indonesia hal
ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial seperti di perairan sebelah timur
Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya
yang kesemuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan
masih perawan (Soewito, 1984). Sebaliknya, menurunnya produksi perikanan di Bagansiapi-
api, dimana sebelum perang dunia II merupakan penghasil ikan utama di Indonesia bahkan
sebagai salah satu penghasil ikan utama di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya
mangrove di daerah sekitarnya (Kasry, 1984).

Sebagian besar kegiatan penangkapan ikan di Indonesia berlangsung di dekat pantai.


Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh komunitas nelayan setempat dengan pola yang
tradisional atau oleh nelayan modern yang datang dari kota pelabuhan besar. Pada
tahun 1998 total produksi perikanan laut Indonesia adalah sekitar 3,6 juta ton yang
melibatkan tidak kurang dari 478.250 keluarga (BPS, 1998).

Tabel 2. Produk yang dihasilkan mangrove

A. PRODUK VEGETASI

Kategori Tipe pemanfaatan Contoh jenis yang dimanfaatkan

Bahan bakar: - kayu bakar sebagian besar jenis pohon


- arang kayu sebagian besar jenis pohon
- alkohol Nypa fruticans

Bahan bangunan: - kayu, kayu tiang Bruguiera, Rhizophora spp.


- konstruksi berat (jembatan) Bruguiera, Rhizophora spp.
- bantalan rel KA Rhizophora, Ceriops spp.
- pertambangan Bruguiera, Rhizophora spp.
- pembuatan perahu Livistona saribus, Lumnitzera
- alas dok Lumnitzera spp.
- tiang bangunan Rhizophora, Bruguiera spp.
- lantai Oncosperma tigillaria
- atap Nypa fruticans, Acrostichum
speciosum
- alas lantai Cyperus malaccensis, Eleocharis
dulcis
- pagar, pipa Scolopia macrophylla
- papan terutama Rhizophoraceae
- lem Cycas rumphii

418
Perikanan: - tiang pancing Ceriops spp.
- pelampung Dolichandrone spathacea, S. alba
- racun ikan Derris trifoliata, Cerbera floribunda
- perekat jala Rhizophoraceae
- tali Stenochlaena palustris, H. tiliaceus
- jangkar Pemphis acidula, Rhizophora apiculata
- penahan perahu Atuna racemosa, Osbornia octodonta

Tekstil, kulit - fiber sintetis (mis. rayon) terutama Rhizophoraceae


- pewarna kain E. indica, Peltophorum pterocarpum
- pengawetan kulit terutama Rhizophora, Lumnitzera spp.
- pembuatan kain Eleocharis dulcis

Pertanian: - pupuk Paspalum vaginatum, Colocasia


esculenta

Produk kertas: - berbagai jenis kertas Avicennia marina, Camptostemon


schultzii
- berbagai jenis kertas Avicennia marina, Camptostemon
schultzii

Keperluan rumah - mebel banyak jenis tumbuhan berkayu


tangga - hiasan X. granatum, Scaevola taccada,
Nypa fruticans
- lem Cycas rumphii
- minyak rambut Xylocarpus mekongensis
- parfum Phymatodes scolopendria
- peralatan Dolichandrone spathacea, X. granatum
- isi bantal Typha angustifolia
- keranjang Cyperus malaccensis, Scirpus grossus
- mainan Dolichandrone spathacea (topeng),
Excoecaria indica (bijinya)
- racun Cerbera manghas (insektisida)
- tanaman hias Cryptocoryne ciliata, Crinum asiaticum
Tristellateia australasiae
- lilin Horsfieldia irya
- obat-obatan Drymoglossum piloselloides,
Drynaria rigidula
- anti nyamuk Osbornia octodonta, Quassia indica
- kancing Nypa fruticans

193
Makanan, minuman - gula Nypa fruticans
dan obat : - alkohol Nypa fruticans
- minyak goreng biji Terminalia catappa
- minuman fermentasi Rhizophora stylosa
- daging manis (dari propagula) Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza
- sayuran (dari propagula, buah daun Stenochlaena palustris,
atau daun) Avicennia, buah Inocarpus fagifer
- kertas rokok epidermis daun Nypa
- pengganti tembakau Loxogramma involuta

B. PRODUK HEWANI

Kategori Tipe pemanfaatan Contoh jenis yang dimanfaatkan

Lain-lain: - ikan Lates calcarifer, Chanos chanos


- Krustasea Penaeus spp., Scylla serrata
- kerang kerang-kerangan
- madu dan lilin Apis dorsata
- burung terutama burung air
- mammalia terutama Sus scrofa
- reptilia Varanus salvator, Crocodylus porosus
- lainnya Rana spp.

Diadaptasi dari Saenger, dkk (1983) serta tambahan informasi dari Knox and Miyabara (1984) dan
Fong (1984).

Tabel 3. Hubungan antara luas hutan mangrove dengan jumlah tangkapan udang (per
tahun) (dalam Nirarita, 1993)

Lokasi Hasil Tangkapan Luas Mangrove Koefisien Sumber


(ton) (ha) Korelasi (n)

Australia 0,2 – 15 0,1 – 0,8 0,76 (6) Staples et al, 1985


Malaysia 0 – 25 0 – 50 0,74 (7) Jothy, 1984
Teluk Meksiko 10 – 1.000 1 – 1.000 0,975 (15) Boesch & Turner, 1984
Filipina 0,2 – 5 1 - 42 0,62 (6) Pauly & Ingles, 1986

420
3.2 Fungsi Mangrove

Mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin
dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian
dari angin kencang atau intrusi air laut. Mangrove juga terbukti memainkan peran penting
dalam melindungi pesisir dari gempuran badai. Dusun Tongke-tongke dan Pangasa,
Sinjai, Sulawesi Selatan yang memiliki barisan mangrove yang tebal di pantai terlindung
dari gelombang pasang (Tsunami) di pulau Flores pada akhir tahun 1993. Sedangkan
beberapa dusun yang berbatasan dengan kedua dusun ini yang tidak mempunyai
mangrove yang cukup tebal mengalami kerusakan yang cukup parah. Di Bangladesh,
pada bulan Juni 1985 sebanyak 40.000 penduduk yang tinggal di pesisir dihantam
badai. Mengetahui manfaat mangrove dalam menahan gempuran badai, pemerintah
Bangladesh kemudian melakukan penanaman seluas 25.000 hektar areal pantai dengan
vegetasi mangrove (Maltby, 1986).

Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salah


satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu
mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang
dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap
sedimen (Davies and Claridge, 1993 dan Othman, 1994). Pada awalnya, proses
pengikatan sedimen oleh mangrove dianggap sebagai suatu proses yang aktif, dimana
jika terdapat mangrove otomatis akan terdapat tanah timbul (Steup, 1941). Berbagai
penelitian (van Steenis, 1958 dan Chapman, 1977) kemudian menyebutkan bahwa proses
pengikatan dan penstabilan tersebut ternyata hanya terjadi pada pantai yang telah
berkembang. Satu hal yang penting adalah vegetasi mangrove mempunyai peranan
yang besar dalam mempertahankan lahan yang telah dikolonisasinya, terutama dari
ombak dan arus laut. Pada pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi
mangrove, peranan mangrove sangat besar untuk mempertahankan pulau tersebut.
Sebaliknya, pada pulau yang hilang mangrovenya, pulau tersebut mudah disapu ombak
dan arus musiman (Chambers, 1980).

Peranan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat disarikan dalam
dua hal. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan,
udang dan moluska (Davies & Claridge, 1993), karena lingkungan mangrove menyediakan
perlindungan dan makanan berupa bahan-bahan organik yang masuk kedalam rantai
makanan. Kedua, mangrove merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat
menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya (Mann,
1982). Produksi serasah mangrove berperan penting dalam kesuburan perairan pesisir
dan hutan mangrove dianggap yang paling produktif diantara ekosistem pesisir (Odum,
dkk, 1974). Di Indonesia, produksi serasah mangrove berkisar antara 7 – 8 ton/ha/
tahun (Nontji, 1987).

213
Gambar 3. Jaring-jaring makanan dan pemanfaatan mangrove di Indonesia (diadaptasi dari AWB-Indonesia, 1992)

422
IV. STATUS MANGROVE INDONESIA

4.1 Luas areal mangrove dulu dan saat ini

Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan hilangnya sumberdaya mangrove yang
disebabkan adanya pemanfaatan yang tidak berkelanjutan serta pengalihan peruntukan
(Aksornkoae, 1993). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Data perkiraan luas areal
mangrove di Indonesia sangat beragam sehingga sulit untuk mengetahui secara pasti
seberapa besar penurunan luas areal mangrove tersebut. Meskipun mangrove tidak terlalu
sulit untuk dikenali dari foto penginderaan jarak jauh dan dipetakan, kenyataannya
memperoleh data yang memadai mengenai luas mangrove pada masa yang lalu dan
saat ini tidak terlalu mudah (di Indonesia data dimulai sejak 1930-an; lihat Kint, 1934).
Departemen Kehutanan (1997) menyebutkan luas yang diambil dari berbagai sumber
berkisar antara 2,49 -4,25 juta hektar. Namun, terdapat jumlah luasan mangrove yang
lain yaitu 4,54 juta hektar yang berasal dari ISME (Spalding, dkk, 1997) dan 3,53 juta
hekar yang berasal dari Proyek Inventarisasi Hutan Nasional (Dit. Bina Program INT AG,
1996).

Perbedaan perkiraan luas tersebut setidaknya dipengaruhi oleh tiga halo. Pertama, sangat
sedikit sekali dilakukannya penghitungan areal mangrove berdasarkan kondisi yang
sebenarnya di alam, sehingga data yang sebenarnya telah kadaluwarsa diacu berulang-
ulang (misalnya: Burbridge & Koesoebiono, 1980 dan Dit. Bina Program Dephut bersama
FAO/UNDP, 1982). Kedua, perkiraan luas untuk Irian jaya yang merupakan komponen
luasan terbesar sangat berbeda antara satu penulis dengan penulis lainnya, mulai dari
1,38 -2,94 juta hektar. Hal ini kembali disebabkan kurang tersedianya data serta peta
yang memadai. Ketiga, adanya perbedaan metoda yang digunakan dalam menduga luasan
mangrove.

Giesen (1993) mencoba menghitung luas areal asal mangrove berdasarkan seri RePPProT
(1985-1989) dari peta Status Hutan, Tata Guna Lahan dan Sistem Lahan (skala 1 : 250.000)
yang diproduksi oleh Departemen Transmigrasi. Dari tiga kategori yang dibuat oleh
RePPProT, yaitu hutan bakau (Hv), hutan primer yang dieksploitasi kayunya (Ht) dan
hutan pasang surut yang tidak dibedakan, termasuk bakau, nipah dan nibung (Hx)
disatukan menjadi “habitat mangrove”, kemudian luas total mangrove untuk masing-
masing propinsi dihitung. Untuk menghitung luas asal mangrove yang telah mengalami
perubahan digunakan ektrapolasi dari data yang tersedia pada peta. jika sistem lahan
khas habitat mangrove (KAJAPAH; RePPProT, 1987) di peta ternyata ditemukan secara
faktual berada di luar atau berdekatan dengan kawasan mangrove yang ada saat ini,
maka areal tersebut dianggap dulunya adalah hutan mangrove. Dengan menggunakan
metoda seperti diatas, diketahui bahwa luas asal mangrove Indonesia seluas 4,13 juta
hektar.

233
Selanjutnya dihitung luas areal mangrove yang tersisa berdasarkan perubahan-perubahan
yang terjadi. Untuk Propinsi Aceh dan Bengkulu, luas areal mangrove yang peruntukannya
telah dialihkan menjadi tambak dihitung dari luas total areal mangrove yang terdapat
pada peta RePPProT. Luas areal mangrove yang ada di Propinsi Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung dihitung berdasarkan data yang
diperoleh selama kegiatan pengkajian lapangan yang dilaksanakan oleh AWB/PHPA
pada tahun 1990 -1992. Penghitungan tersebut didasarkan pada citra satelit SPOT dah
SLAR. Untuk Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku digunakan data yang berasal
dari Ditjen Perikanan (.1991). Data luas mangrove di Jawa Tengan diadopsi dari White,
dkk (1989), sementara data untuk Sulawesi Selatan diambil dari hasil penelitian Giesen,
dkk (1991). Data untuk 10 Propinsi lainnya diambil dari RePPProT (1985-1989).
Gambaran lebih rinci mengenai data asal dan sisa mangrove dapat dilihat di Tabel 4.

Dari penghitungan diketahui luas mangrove yang tersisa pada tahun 1990 hanya sekitar
2,49 juta hektar (60%). Dari luasan areal mangrove yang tersisa tersebut, 58% diantaranya
terdapat di Papua, dan hanya 11% tersisa di Jawa. Sejalan dengan hal tersebut, laju
hilangnya mangrove hingga tahun 1990 juga sangat beragam, antara hampir 10% di
Papua hingga hampir 100% di Jawa Timur. Berdasarkan penghitungan diatas, jika
perkiraan luas areal mangrove yang tersisa di Indonesia sekitar 2,49 juta hektar (1987-
1990) dapat diterima, maka hal tersebut berarti bahwa pada akhir tahun 1980.-an,
Indonesia telah kehilangan sekitar 40% areal mangrovenya.

Hal yang perlu dicatat dari uraian diatas adalah mungkin luas areal mangrove yang
dihitung merupakan jumlah yang optimistis. Dengan melihat kondisi lapangan saat ini,
kemungkinan luasan mangrove tersebut sudah berkurang, yang berarti jumlah areal
mangrove yang hilang semakin bertambah. Seperti yang telah disebutkan, data yang
digunakan untuk penghitungan hingga tahun 1990 tersebut, saat itu telah berusia 3 -
7 tahun serta areal yang dipetakan dan dianggap sebagai mangrove hanya sebagian
yang tercakup oleh tipe ini. Sebagai contoh, Giesen, dkk (1991) melaporkan meskipun
34.000 hektar hutan mangrove masih terdapat di Sulawesi Selatan, tetapi sebagian dari
areal tersebut sebenarnya merupakan areal hutan mangrove yang telah mengalami
gangguan dan dalam proses untuk dijadikan tambak. Mereka memperkirakan jumlah
areal hutan mangrove yang belum terganggu di Sulawesi Selatan hanya sekitar 23.000
hektar.

Pada saat cetak-ulang ini dibuat, telah tersedia data yang diambil dari Peta Penutupan
Lahan yang dibuat oleh BAPLAN – DEPHUT dengan menggunakan Citra Satelit untuk
Tahun 2002 – 2003. Meskipun data tersebut telah disajikan dalam edisi cetak-ulang ini,
namun belum dilakukan analisa laju perubahan luas mangrove, termasuk dinamika data
untuk Propinsi yang telah mengalami pemekaran.

424
Tabel 4. Luas mangrove per Propinsi di Indonesia (ha)

Mangrove Tambak

Propinsi Bina Silvius INTAG BAPLAN Jumlah Ditjen BAPLAN


Program dkk. (1993) 2005 (data Areal Perikanan 2005 (data
(1982) (1987) 2002/3) (1) Asal (2) (1991) 2002/3) (1)

NAD 54.335 55.000 102,970 18.000 60.000 39.476 73.000


Sumatera Utara 60.000 60.000 98.340 25.000 95.000 1.826 34.000
Sumatera Barat 0 0 4.850 17.000 11.000 0 0
Riau 276.000 470.000 221.050 235.000 259.500 (3) 192 3
Jambi 65.000 50.000 13.450 5.000 18.500 40 2.000
Sumatera Selatan 195.000 110.000 363.430 128.000 (5) 354.500 325 58.000 (5)
Bangka Belitung 0 (4) 0 (4) 0 (4) 63.000 0 (4) 0 (4) 1.000
Bengkulu 0 20.000 520 2.000 2.000 94 0
Lampung 17.000 3.000 49.440 0 56.500 2.939 34.000
Jawa Barat & DKI 28.608 5.700 8.200 2.000 66.500 50.330 4.000
Banten 0 (4) 0 (4) 0 (4) 3.000 0 (4) 0 (4) 15.000
Jawa Tengah & DIY 13.577 1.000 18.700 9.000 46.500 30.497 53.000
Jawa Timur 7.750 500 6.900 26.000 57.500 47.913 91.000
Bali 1.950 500 800 3.000 1.000 626 0
Nusa Tenggara Barat 3.678 0 0 13.000 9.500 4.996 13.000
Nusa Tenggara Timur 1.830 21.500 10.780 19.000 29.000 550 1.000
Kalimantan Barat 40.000 60.000 194.300 137.000 213.000 32 5.000
Kalimantan Tengah 10.000 20.000 48.740 38.000 84.000 0 2.000
Kalimantan Selatan 66.650 90.000 120.780 99.000 115.000 1.405 19.000
Kalimantan Timur 266.800 750.000 775.640 367.000 680.000 6.107 208.000
Sulawesi Tengah 0 0 37.640 44.000 43.000 861 8.000
Sulawesi Tenggara 29.000 25.000 70.840 64.000 89.000 6.636 16.000
Sulawesi Utara 4.833 10.000 38.150 12.000 (5) 27,3 590 0 (5)
Gorontalo 0 (4) 0 (4) 0 (4) 15.000 0 (4) 0 (4) 3.000
Sulawesi Selatan 66.000 55.000 104.030 27.000 110.000 73.088 109.000
Maluku 100.000 46.500 148.710 128.000 (5) 197.500 65 1.000 (5)
Maluku Utara 0 (4) 0 (4) 0 (4) 42.000 0 (4) 0 (4) 0 (4)
Papua 2.943.000 1.382.000 1.326.990 1.622.000 1.500.000 95 0

T o t a l 4.251.000 3.235.700 3.765.250 3.163.000 4.098.500 268.683 750.003

Keterangan:
(1)
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/INTAG/Peta%20Tematik/PL&Veg/VEG_2003.HTM. Data
Mangrove diambil dari kategori “Hutan Mangrove Primer” dan “Hutan Mangrove Sekunder”. Data
Tambak diambil dari kategori “Tambak”
(2)
Berdasarkan klasifikasi sistem lahan RePPProT (1985 – 89), dan luas areal untuk masing-masing
sistem lahan per propinsi berdasarkan Giesen, Baltzer dan Baruadi (1991), kecuali Sulawesi selatan.
(3)
Van Bodegom (1929) melaporkan bahwa seluruh areal mangrove di Riau telah dipetakan dan
diukur secara planimetris seluas 182.017 hektar pada tahun 1929
(4)
Masih merupakan bagian dari Propinsi lain, sebelum pemekaran
(5)
Data setelah pemekaran Propinsi

253
426
Gambar 4. Perbandingan luas mangrove asal dan yang tersisa di Indonesia (1986-1990)
4.2 Penyebab penurunan luas mangrove

Pembangunan di areal mangrove

Konversi dan hilangnya mangrove tampaknya bukan merupakan sesuatu yang baru
terjadi pada dekade terakhir ini saja. Jauh sebelumnya, lebih dari 75 tahun yang lalu,
Meindersma (1923) melaporkan sangat sulit untuk menemukan mangrove yang alami
dan tidak terganggu di Pulau Jawa, kecuali di Segara Anakan dan Teluk Pangong (dekat
selat Bali).

Kegiatan pembangunan utama yang memberikan sumbangan terbesar terhadap


menurunnya luas areal mangrove di Indonesia adalah pengambilan kayu untuk keperluan
komersial serta peralihan peruntukan untuk tambak dan areal pertanian (khususnya
padi dan kelapa). Pada tahun 1990, luas areal tambak yang terpantau sekitar 269.000
hektar (Ditjen Perikanan, 1991), yang kemudian meningkat menjadi 750.000 hektar
pada tahun 2002/2003 (Baplan, 2005). Sementara itu, data tahun 1985 menunjukkan
seluas 877.200 hektar areal mangrove berada dalam konsesi pengusahaan hutan untuk
diambil kayunya (Dep. Kehutanan & FAG, 1990).

Sejarah pembangunan tambak diawali di Jawa dan Sulawesi selatan, kemudian


berkembang ke Aceh, Sumatera Utara dan Lampung (Giesen, 1991 a,b,c). Pada tahun
1982, perkiraan luas tambak di Indonesia seluas 193.700 hektar (Bailey, 1988), kemudian
bertambah menjadi 269.000 hektar pada tahun 1990 (Ditjen Peri kanan, 1991), 390.182
ha pada tahun 1997 (Ditjen Perikanan, 1997) dan menjadi 750.000 hektar pada tahun
2002/2003 (Baplan, 2005). Berarti terjadi penambahan areal tambak lebih dari 350%
dalam kurun waktu 20 tahun.

Areal tambak yang tercatat pada tahun 2002/03 seluas hampir 750.000 hektar tersebut
sama dengan 23 % dari luas asal areal mangrove pada tahun yang sama. Perlu dicatat,
ini tidak termasuk tambak-tambak yang telah ditinggalkan dan tidak diusahakan lagi
yang di beberapa lokasi cukup luas. Di SM Karang Gading Langkat Timur Laut, misalnya,
terdapat sekitar 2.500 hektar tambak yang tidak diusahakan dan kemudian ditumbuhi
oleh Acrostichum aureum (Giesen & Sukotjo, 1991).

Pembangunan tambak di areal mangrove sebenarnya bukan tanpa masalah. Ada


beberapa permasalahan yang dihadapi para pembuka lahan, seperti pengasaman tanah
(Hassan & Ti, 1986), tidak bercampurnya tanah (Giesen, dkk, 1991) serta berkurangnya
anakan untuk keperluan perkembangan ikan (Wardoyo & Rasyid, 1985). Dalam banyak
kasus, pestisida dan antibiotika juga kerap kali digunakan, bahkan untuk tambak
tradisional. Statistik perikanan untuk Sulawesi Selatan menunjukkan sekitar 16.559 ton
pestisida digunakan untuk tambak selama tahun 1990 (BPS, 1990), yang berarti lebih
dari 18 kg. pestisida per hektar per bulan (asumsi seluruhnya digunakan di Sulawesi
Selatan). Dampak yang ditimbulkan oleh pestisida terhadap lingkungan dijelaskan oleh
Primarvera (1991) dan Baird (1994). Meskipun demikian, kehadiran tambak tidak selalu

273
berarti hilangnya mangrove. Hal ini dapat dilihat pada pola tambak yang masih
menyisakan pohon mangrove, yang dipraktekkan di beberapa tempat di Jawa. Pada pola
ini, mangrove ditanam di bagian tengah tambak. Sistem ini sangat baik untuk diterapkan
karena selain melindungi dan mempertahankan mangrove, juga dapat dimanfaatkan
oleh burung air.

Kegiatan pengambilan kayu sering terlihat di Riau, Kalimantan dan Papua. Luas areal
konsesi pengusahaan hutan meningkat dari 455.000 hektar pada tahun 1978 (Burbridge
& Koesoebiomo, 1980) menjadi 877.200 hektar pada tahun 1985 (Oepartemen
Kehutanan dan FAO, 1990), atau sekitar 35% dari luas areal mangrove yang tersisa
pada awal tahun 1990-an (data Giesen, 1993). Sayangnya, dampak yang ditimbulkan
oleh pengambilan kayu terhadap hilangnya luasan areal mangrove sangat sulit untuk
dirinci. Pada beberapa kasus, dampak lain dari pengambilan kayu mangrove adalah
penurunan kualitas tegakannya. Nurkin (1979) menjelaskan bagaimana areal mangrove
yang telah ditebangi di Sulawesi Selatan kemudian ditumbuhi oleh Acrostichum aureum,
selanjutnya menghambat terjadinya regenerasi tumbuhan mangrove. Di daerah lain,
mangrove ternyata juga dapat tumbuh sendiri setelah tumbuhannya ditebang, misalnya
di Riau Tenggara (Giesen, 1991 b), serta di areal mangrove di Sei Kecil, Kalimantan Barat
(Abdulhadi & Suhardjono, 1994). Meskipun dalam beberapa kasus mangrove dapat
tumbuh kembali, akan tetapi tidak berarti bahwa tumbuhan yang baru tersebut akan
selalu sarna dengan jenis seberumnya, bahkan seringkali justru jenis tumbuhan yang
kurang diminati yang kemudian menjadi dominan, seperti Xylocarpus granatum di Pulau
Bakung, Riau (Giesen, 1991 b), Excoecaria agallocha dan Bruguiera parviflora di Karang
Gading Langkat Timur Laut, Sumatera Utara (Giesen & Sukotjo, 1991).

Penduduk juga memberikan sumbangan terhadap penurunan luas manrove di Indonesia.


Seperti diketahui, penduduk setempat telah memanfaatkan mangrove dalam kurun waktu
yang lama, namun diyakini bahwa kegiatan mereka tidak sampai menimbulkan kerusakan
yang berarti pada ekosistem ini. Akan tetapi, hal tersebut telah berubah dalam dekade
terakhir ini seiring dengan adanya pertambahan populasi penduduk, baik karena
pertambahan alami maupun perpindahan dari luar. Kegiatan masyarakat yang
menyebabkan hilangnya mangrove ini terutama adalah pemanfaatan areal mangrove
untuk pembangunan tambak. Fiselier, dkk (1990) bahkan menyatakan: “Reklamasi untuk
keperluan budidaya perikanan dan pertanian tampaknya saat ini dianggap sebagai suatu
kegiatan pembangunan utama yang berlangsung di areal mangrove. Kegiatan reklamasi
tersebut sebenarnya berbiaya tinggi dan acapkali tidak berkelanjutan, serta sering
menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap lingkungan. Keuntungan yang
dihasilkan sebagian besar diraup oleh mereka yang datang dari luar, dan hanya sebagian
kecil saja yang dinikmati oleh penduduk setempat, berupa hasil penangkapan ikan dan
pengumpulan hasil hutan yang dilaksanakan secara tradisional”. Pernyataan ini didukung
oleh Ong (1982) yang membahas mengenai konversi mangrove di Malaysia dan
menyimpulkan bahwa pembangunan budidaya perikanan berkaitan, baik secara
ekonomis maupun secara ekologis.

428
Telah disebutkan didepan bahwa pembangunan tambak memberikan sumbangan
terhadap hilangnya mangrove. Selain itu, data juga menunjukan bahwa mangrove yang
tersisa juga mengalami ancaman berupa: a) konversi menjadi lahan pertanian, b) suksesi
menjadi vegetasi sekunder non-hutan setelah terjadinya eksploitasi berlebih oleh
masyarakat setempat, c) kurangnya regenerasi setelah dibabat untuk kepentingan
komersial, dan d) erosi pantai. Meskipun data sangat kurang, namun nampaknya faktor
yang memberi sumbangan penting terhadap hilangnya mangrove, selain konversi menjadi
tambak, adalah konversi menjadi lahan pertanian dan penebangan kayu secara komersial
dan dalam skala yang lebih kecil, serta eksploatasi berlebihan oleh masyarakat setempat.

Kematian mangrove secara alami merupakan kejadian yang umum ditemukan dan
merupakan kondisi alami, karena Iingkungan mangrove bersifat dinamik dan periodik,
serta asosiasi mangrove teradaptasi dengan lingkungan tertentu melalui pertumbuhan
dan kematian secara cepat (Uimenez & Lugo, 1985). Perubahan yang terjadi di alam
biasanya bersifat fisik (Choy & Booth, 1994, berdasarkan contoh yang diambil di Brunei),
sementara penyakit dan faktor biotis lainnya nampaknya berupa agen sekunder. Secara
umum dapat dikatakan bahwa kematian mangrove secara alami tidak memberikan
sumbangan yang signifikan terhadap hilangnya areal mangrove di Indonesia.

293
V. KEBIJAKAN DAN PERATURAN MENYANGKUT
MANGROVE

Disadari bahwa mangrove memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dengan demikian,
mempertahankan areal-areal mangrove yang strategis, termasuk tumbuhan dan hewannya,
sangat penting untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Pada masa lalu, disaat tekanan
penduduk masih rendah, hal tersebut tidak menjadi masalah karena pada tingkat lokal
manfaat mangrove biasanya langsung disadari oleh masyarakat dan seringkali kawasan
mangrove dilindungi oleh hukum adat. Namun selama 2 - 3 dekade lalu, tekanan
penduduk semakin meningkat dengan tajam sehingga mengakibatkan permintaan akan
sumberdaya pertanian meningkat pula. Pada saat yang bersamaan, kegiatan perikanan
dan kehutanan juga meningkat dengan pesat dan menjadi faktor utama dalam perubahan
lingkungan mangrove. Dalam kondisi demikian, aturan setempat yang berupa hukum
adat seringkali terkesampingkan oleh insentif ekonomi jangka pendek. Untuk merespon
hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK) serta beberapa peraturan dalam berbagai tingkat yang berkaitan dengan
pengelolaan mangrove. Peraturan yang paling relevan diantaranya terkait dengan aturan
mengenai kebijakan jalur hijau serta sistem areal perlindungan.

5.1 Pemetaan sumberdaya

Pada tahun 1982, rencana tata guna lahan hutan untuk pertama kalinya dipersiapkan
oleh Departemen Pertanian (saat itu kehutanan masih direktorat di Departemen Pertanian).
Tata guna lahan yang berupa Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tersebut dipersiapkan
untuk setiap propinsi dengan skala peta 1 : 500.000. Sejak 1983, setelah pembentukan
Departemen Kehutanan, tugas ini kemudian diambil alih oleh Ditjen Inventarisasi dan
Tata Guna Hutan (INTAG).

Peta TGHK membagi lahan menjadi kategori berikut :


™ Areal Konservasi dan Perlindungan Alam
™ Hutan Lindung
™ Hutan Produksi (terbatas dan biasa)
™ Hutan Konversi
™ Tak Terklasifikasi (Hak Milik, Hak Milik Adat, Hak Pengelolaan).

Berdasarkan pembagian diatas, mangrove dapat masuk kedalam seluruh kategori. Di


beberapa instansi, ditambahkan pembagian lahan kategori keenam yaitu Hutan Bakau

430
(mangrove) dalam beberapa peta. Sayangnya, hal ini kemudian membingungkan karena
tidak memberikan indikasi mengenai status yang sebenarnya dari sumberdaya yang
penting ini.

Peta TGHK tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, akan tetapi dijadikan sebagai
panduan bagi pemerintah daerah dalam membuat perencanaan tata guna lahan. Status
yang ada dapat saja disesuaikan dalam setiap peta. Sebagai contoh, suatu areal yang
dipetakan sebagai hutan lindung pada peta dengan skala 1 : 500.000, dapat saja
kemudian terbagi menjadi beberapa kategori lainnya jika dipetakan dalam peta dengan
skala yang lebih rinci (misalnya 1 : 50.000). Contoh lain adalah dapat saja suatu areal
dipetakan sebagai cagar alam atau areal konservasi, padahal sebenarnya belum
dikukuhkan atau hanya sebagian saja yang telah dikukuhkan. Walaupun demikian, secara
umum peta TGHK sangat bermanfaat. Dalam perkembangan berikutnya pada skala lokal,
peta TGHK kemudian digantikan oleh peta tata ruang yang disiapkan oleh masing-masing
pemerintah daerah. Pembuatan peta tersebut sebagai tindak lanjut dari Undang-undang
No. 24 Tahun 1992 mengenai Tata Ruang. UU ini memerintahkan adanya perencanaan
ruang yang luas pada tingkat Nasional, Propinsi sampai Kabupaten, dan mengharuskan
pemerintah untuk mengembangkan program perencanaan tata ruang yang menunjukkan
sumberdaya apa yang harus dilindungi, direhabilitasi ataupun harus dialokasikan untuk
kepentingan pembangunan ekonomi.

5.2 Peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove

Seperti di tempat lain di dunia ini, lahan di Indonesia diberi status tertentu yang
memungkinkan penggunaan tertentu. Bila suatu areal lahan telah digunakan secara
tradisional oleh suatu komunitas tertentu dalam masyarakat, maka biasanya pengelolaan
lahan tersebut akan dialihkan kepada komunitas masyarakat tersebut dengan status Hak
Milik, Hak Milik Adat atau Hak Pengelolaan. Areal lahan yang bukan merupakan areal
pertanian (termasuk sebagian besar lahan hutan) pada umumnya diberi status sebagai
Tanah Negara.

Meskipun telah terdapat pembagian status lahan, kenyataannya masih muncul berbagai
konflik menyangkut kepemilikan atau hak pengusahaan lahan. Misalnya, meskipun
suatu areal mangrove telah dikelola oleh hukum adat atau merupakan tanah negara
(tanah timbul), akan tetapi apabila telah dikonversi menjadi tambak, seringkali lahan
tersebut berubah menjadi milik pribadi. Akibat perubahan ini, konflik lain seringkali
muncul apabila pemerintah kemudian ingin mengambil kembali lahan tersebut untuk
kepentingan yang lain, misalnya untuk jalur hijau.

Sampai saat manuskrip ini dibuat, setidaknya telah dibuat 22 buah peraturan yang
berkaitan dengan pengelolaan mangrove di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut
umumnya menyoroti hubungan antara sektor kehutanan dan sektor perikanan serta

313
mengenai jalur hijau. Berkaitan dengan konservasi, peraturan yang paling relevan
nampaknya adalah Kepres No. 32 Tahun 1990 mengenai areal lindung, Undang-undang
No. 5 Tahun 1990 mengenai perlindungan sumber daya hayati dan ekosistemnya dan
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah. UU yang terakhir
ini memberikan wewenang yang besar kepada daerah untuk melakukan pengelolaan
dan pelestarian mangrove.

Beberapa peraturan yang berkait dengan pengelolaan mangrove di Indonesia

1. Undang-undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3.


2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Agraria.
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan.
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di
Daerah.
5. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Perairan.
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
7. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
8. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
9. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
10. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
11. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
12. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1967 tentang Penyerahan Sebagian
Urusan Bidang Perkebunan, Perikanan dan Kehutanan kepada Daerah Swatantra
Tingkat I.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.
15. Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan.
16. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan.
17. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran
Air.
18. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1991 tentang Rawa.
19. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai.

432
20. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II.
21. Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1989 tentang Tim koordinasi Pengelolaan
Tata Ruang Nasional.
22. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung.

5.3 Kebijakan jalur hijau dan rencana tata ruang

Jalur hijau adalah zona perlindungan mangrove yang dipertahankan di sepanjang pantai
dan tidak diperbolehkan untuk ditebang, dikonversikan atau dirusak. Fungsi jalur hijau
pada prinsipnya adalah untuk mempertahankan pantai dari ancaman erosi serta untuk
mempertahankan fungsi mangrove sebagai tempat berkembangbiak dan berpijah berbagai
jenis ikan.

Kebijakan pemerintah untuk merumuskan suatu jalur hijau dimulai pada tahun 1975
ketika dikeluarkan SK Dirjen Perikanan (No H.I/4/2/18/ 1975) yang mengatur perlunya
dipertahankan areal di sepanjang pantai selebar 400 meter dari rata-rata pasang rendah.
Selanjutnya Dirjen Kehutanan mengeluarkan SK No. 60/KPTS/DJ/I/ 1978 mengenai
panduan silvikultur di areal air payau. Menurut SK tersebut, jalur hijau ditetapkan selebar
10 meter di sepanjang sungai dan 50 meter di sepanjang pantai pada pasang terendah.

Pada tahun 1984, menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama No. KB 550/246/ KPTS/1984 dan No. 082/KPTS-II/1984, yang
menghimbau pelestarian jalur hijau selebar 200 meter sepanjang pantai, melarang
penebangan mangrove di Jawa, serta melestarikan seluruh mangrove yang tumbuh pada
pulau-pulau kecil (kurang dari 1.000 ha.)

Dikeluarkannya SK Presiden No. 32 Tahun 1990 mengenai Pengelolaan Kawasan Lindung


menggantikan seluruh peraturan terdahulu mengenai jalur hijau. Peraturan ini
memberikan perlindungan yang lebih memadai terhadap zona jalur hijau. Menurut SK
tersebut, jalur mangrove pantai minimal 130 kali rata-rata pasang yang diukur ke darat
dari titik terendah pada saat surut. Dalam pelaksanaannya dilapangan, SK ini ternyata
memiliki beberapa kelemahan. Beberapa kritik yang dapat disampaikan mengenai SK
ini antara lain adalah:

™ SK ini tidak dapat diterapkan pada areal yang saat ini tidak memiliki tumbuhan
mangrove lagi karena adanya eksploatasi pada masa lalu atau konversi. Untuk
itu, hendaknya diadakan penyesuaian yaitu pada areal yang awalnya hanya
memiliki vegetasi mangrove.

333
™ Penentuan jalur hijau dengan menggunakan SK ini di pantai-pantai yang datar
atau dataran lumpur yang luas tidak dapat digunakan secara efektif. Di beberapa
daerah seperti diatas, lebar jalur hijau yang dihitung dari titik terendah saat air
surut hanya berupa dataran lumpur saja dan tidak sampai ke hutan mangrovenya.
Permasalahan ini dapat diatasi dengan mendefenisikan pengukuran dari hutan
mangrove terluar dekat laut.

™ SK ini tidak memacu adanya perlindungan terhadap mangrove secara menyeluruh


maupun fungsi ekologisnya. SK mengesampingkan adanya keterkaitan ekologis,
misalnya dengan mangrove daratan, sumber air tawar atau dengan rawa air tawar.
Tanpa adanya perlindungan terhadap ekosistem pendukung secara terpadu,
kelangsungan hidup jalur hijau tersebut tidak akan terjamin sepenuhnya.

™ SK ini hanya memberikan pilihan untuk konservasi. Pilihan tersebut umumnya


tidak memadai pada daerah yang telah memiliki pemanfaatan tradisional yang
intensif, sehingga akan menyulitkan tercapainya suatu konsesus pengelolaan
mangrove di beberapa daerah. Misalnya di Jawa, hampir seluruh areal mangrove
yang ada telah dimanfaatkan oleh penduduk, baik untuk tambak maupun berbagai
bentuk pemanfaatan lainnya yang sebenarnya tidak mendukung konservasi
mangrove.

Peraturan terakhir mengenai jalur hijau adalah Inmendagri No. 26 Tahun 1997 tentang
Penetapan Jalur Hijau Hutan Mangrove. Peraturan ini menginstruksikan kepada seluruh
gubernur dan bupati/walikotamadya di seluruh Indonesia untuk melakukan penetapan
jalur hijau hutan mangrove di daerahnya masing-masing.

Secara ekologis, lebar jalur hijau mangrove seyogyanya ditentukan secara spesifik untuk
setiap lokasi karena setiap tempat mempunyai karakteristik lingkungan yang spesifik.
Misalnya, Hilmi, dkk (1997) melakukan studi penetuan lebar jalur hijau mangrove di
Angke Kapuk Jakarta menggunakan pendekatan analisis sistem yang menghasilkan
rekomendasi perkiraan lebar mangrove di daerah tersebut sekitar 1.000 meter.

5.4 Peraturan yang berkait dengan konservasi mangrove

Perlindungan satwa, tumbuhan dan ekosistem di Indonesia pada dasarnya telah tercakup
dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mengenai konservasi sumber daya hayati
dan ekosistemnya. Informasi lebih lanjut mengenai areal mangrove yang dilindungi,
termasuk total areanya, serta areal lindung yang penting disajikan pada Bab 6.

434
Pada tahun 1993, Departemen Kehutanan mengeluarkan gagasan perlunya
pengembangan luasan areal kawasan lindung dari 15 juta hektar menjadi 30 juta hektar.
Gagasan ini juga menyangkut sejumlah besar luasan kawasan mangrove. Menyambut
gagasan ini, beberapa usulan pemasukan areal baru maupun penambahan luas areal
yang telah ada diajukan oleh berbagai organisasi yang bergerak dibidang pelestarian
alam. Usulan penambahan areal konservasi mangrove baru seluas 630.000 hektar
disampaikan oleh Asian Wetland Bureau/Wetlands International - Indonesia Programme
(1994).

5.5 Perkembangan terakhir

Berbagai inisiatif dan gagasan telah dikembangkan berkaitan dengan kebijakan nasional
dibidang pengelolaan mangrove di Indonesia. Yang terpenting diantaranya adalah:

™ Kebijakan nasional dibidang pengelolaan keanekaragaman hayati lautan


™ Strategi nasional dibidang pengelolaan mangrove
™ Kebijakan nasional dibidang pembangunan pedesaan
™ Strategi nasional dibidang pengelolaan jalur hijau pesisir

Kebijakan-kebijakan diatas sangat bermanfaat untuk memberikan kejelasan dalam


pengelolaan sumber daya mangrove. Akan tetapi disadari bahwa pengelolaan mangrove
yang baik tidak akan tercapai hanya dengan mengembangkan kebijakan-kebijakan,
mengukuhkannya menjadi suatu kawasan lindung atau dalam bentuk jalur hijau saja.
Pengelolaan juga akan sangat tergantung pada bagaimana mengakomodasikan serta
mengontrol kebutuhan masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar mangrove.

Diketahui bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat mempengaruhi upaya


pengelolaan mangrove, mulai dari langkah-langkah yang diambil dilapangan sampai
perencanaan tingkat pusat. Sebagai contoh yang baik dapat dilihat di Jawa, dimana
kondisi di pulau ini dapat menjadi model pengelolaan mangrove yang penduduknya
padat.

Sejarah gangguan terhadap mangrove oleh penduduk setempat di pulau Jawa seringkali
dilakukan oleh nelayan, dimana hal ini berkaitan dengan pendapatan mereka yang rendah
serta alternatif mata pencaharian yang terbatas. Kegiatan budi daya air payau di Jawa
merupakan fenomena kegiatan tradisional yang telah berlangsung sejak dahulu, sekitar
tahun 1400-an. Tipe kolam yang paling sederhana, seperti perangkap ikan dan kepiting
dengan membangun pematang di daerah pasang surut, malah mungkin telah dilakukan
lebih awal (Naamin, 1987). Memasuki abad ke-20, pola ini beralih ke sistem produksi
yang intensif, termasuk penebangan mangrove untuk keperluan pembangunan tambak.
Populasi penduduk yang semakin bertambah menyebabkan meningkatnya konversi lahan

353
mangrove untuk pembangunan tambak serta meningkatkan permintaan terhadap kayu
bakar. Hal ini menyebabkan hampir 90 % hutan mangrove hilang. Ironisnya, hutan-
hutan tersebut merupakan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani untuk hutan
produksi. Dalam beberapa tahun kemudian hutan-hutan tersebut telah berubah menjadi
tambak. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk mengembalikan mangrove sebagai
hutan produksi dari penduduk setempat, tapi sayangnya sebagian besar usaha-usaha
penghutanan kembali ini tidak berhasil. Masalah yang dihadapi kebanyakan disebabkan
oleh kurang tersedianya peta-peta yang akurat dan statusnya yang tidak jelas.

Untuk mengatasi tingginya laju konversi, pada tahun 1986 Perum Perhutani mulai
melaksanakan program Kehutanan Sosial di areal mangrove, yaitu memadukan kegiatan
pengelolaan mangrove dengan produksi perikanan (silvofishery). Program ini pada
dasarnya adalah merehabilitasi lahan-lahan mangrove yang telah terdegradasi dengan
penanaman pohon, dan membangun saluran untuk budi daya ikan dan udang. Polanya
adalah lahan pasang surut seluas 80% sebagai hutan mangrove dan yang 20% digunakan
sebagai kolam untuk budidaya ikan. Dengan sistem ini, hasil ikan yang diperoleh
memang sangat rendah bila dibandingkan dengan sistem pengelolaan yang intensif,
akan tetapi sistem intensif membutuhkan investasi yang jauh lebih besar. Selain ikan,
dengan sistem silvofishery ini pemanenan kayu mangrove secara berkelanjutan berpotensi
tinggi. Sayangnya, upaya produksi kayu seringkali mengalami kegagalan karena pohon-
pohonnya jarang sekali mencapai ukuran komersial dan jumlahnya yang terbatas.

Secara hukum, hutan mangrove tersebut menjadi milik Perum Perhutani, sehingga akan
membatasi insentif yang dapat diperoleh dan pengembangan pengelolaan oleh
masyarakat setempat. Sebenarnya, jika masyarakat memperoleh hasil yang cukup dari
sistem tersebut (terutama hasil ikan atau udang), maka akan dapat meminimalisasi usaha
gangguan terhadap hutan mangrove. Upaya mengubah perbandingan ukuran luas
hutan dan tambak, dimana secara ekologis mangrove masih berfungsi secara optimal
dan hasil pendapatan dari budidaya ikan layak untuk memenuhi kebutuhan hidup,
diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Jika ini terlaksana,
kemungkinan sistem tersebut dapat ditularkan ke daerah lain.

Di lain hal, dalam mencegah semakin hilangnya areal mangrove, pada beberapa tahun
terakhir ini, banyak usaha-usaha penanaman kembali mangrove dilaksanakan pada tingkat
lokal. Berbagai LSM, instansi pemerintah pusat dan daerah, serta penduduk setempat
melaksanakan berbagai program dan kegiatan penanaman mangrove. Upaya ini baik
sebagai respon terhadap terjadinya erosi di pantai maupun semakin berkurangnya
cadangan anakan ikan di pantai. Dengan berkembangnya upaya-upaya penanaman
mangrove, diharapkan dalam jangka panjang manfaat dan fungsi mangrove dapat berjalan
dan dirasakan kembali.

436
VI. AREAL MANGROVE YANG DILINDUNGI

6.1 Mangrove dan sistem kawasan lindung

Meskipun beberapa areal mangrove di Indonesia telah dimasukan kedalam suatu kawasan
lindung, namun pada kenyataan di lapangan menunjukkan banyak diantaranya yang
masih mendapat tekanan yang cukup berarti.

Menurut data Dit. Bina Program INTAG (1996), areal mangrove seluas 1.099.400 atau
31 % dari luas areal mangrove Indonesia telah masuk dalam kawasan lindung. Dari
tabulasi data fungsi hutan/lahan menurut Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Lahan
(RPPH/TGHK) tercatat seluas 424.800 hektar masuk dalam kategori hutan lindung dan
674.600 hektar sebagai hutan suaka alam dan wisata (tidak termasuk Jawa). Adapun
data areal mangrove yang telah dilindungi yang tercatat dari setiap lokasi adalah seluas
551.363 hektar, dimana 86% diantaranya terdapat di Irian Jaya. Tabel 5 berikut
merupakan daftar 41 lokasi kawasan lindung yang telah dikukuhkan di Indonesia, dimana
pada lokasi-lokasi tersebut di dalamnya memiliki habitat mangrove.

Tabel 5. Kawasan lindung di Indonesia yang memiliki habitat mangrove

Lokasi Kode Propinsi Pulau Posisi Luas areal Total Status


WDB (a) Mangrove Area
(ha) (ha)

Karang Gading- SUM-08 Sumut Sumatera 11,500 15,765 SM


Langkat Timur
Laut (1)

Pulau Berkeh SUM-14 Riau Sumatera 500* 500 SM

Pulau Burung SUM-25 Riau Sumatera 200* 200 CA

Hutan Bakau SUM-36 Jambi Sumatera 01°05’S/104°00’T 2,700* 6,500 CA


Pantai Timur (2)

Berbak SUM-38 Jambi Sumatera 01°10’S/104°20’T 500* 165,000 TN

Sumatera Selatan I SUM-48 Lampung/ Sumatera 05°30’S/104°15’T <2,000* 356,800 TN


Bengkulu

Way Kambas SUM-51 Lampung Sumatera 04°50’S/105°40’T <500* 123,000 TN

Pulau Penaitan JAV-01 Jabar Jawa 06°36’S/105°09’T 1,700 17,500 TN

373
Ujung Kulon JAV-36 Jabar Jawa 1,000 35,000 TN

Pulau Dua JAV-03 Jabar Jawa 06°01’S/106°12’T 10 30 CA

Pulau Pari JAV-04 Jabar Jawa 3 7 LIPI

Pulau Rambut JAV-05 Jabar Jawa 05°58’S/106°42’T 18 56 CA

Muara Angke (3) JAV-07 Jabar Jawa <2 15.4 CA

Cikepuh JAV-14 Jabar Jawa 07°15’S/106°27’T <200* 8,127 SM

Leuweng Sancang JAV-16 Jabar Jawa 07°45’S/107°55’T <50* 2,15 CA

Kepulauan Karimun JAV-21 Jateng Jawa 05°48’S/110°40’T <1,000* 7,026 CA


Jawa

Baluran JAV-27 Jatim Jawa 07°50’S/114°25’T 750 25,000 TN

Meru Betiri JAV-31 Jatim Jawa 08°21’S/113°49’T <500 50,000 TN

Nusa Barung JAV-32 Jatim Jawa 08°27’S/113°22’T <200* 6,100 CA

Bali Barat JAV-33 Bali Bali 08°10’S/114°30’T 300 19,600 TN

Gunung Palung KAL-06 Kalbar Kalimantan 7,000* 130,000 TN

Muara Kendawangan KAL-07 Kalbar Kalimantan 10,000* 150,000 CA

Tanjung Puting KAL-11 Kalteng Kalimantan 02°55’S/112°00’T <500 296,000 TN

Pulau Kaget (4) KAL-18 Kalsel Kalimantan <20 85 CA

Pulau Kembang (4) KAL-19 Kalsel Kalimantan 03°12’S/112°32’T <10 60 TW

Pleihari Tanah Laut KAL-21 Kalsel Kalimantan 04°20’S/114°31’T 4,000* 35,000 SM

Kutai KAL-36 Kaltim Kalimantan 00°18’N/117°20’T 7,000* 320,000 TN

Marisa SUL-03 Sulut Sulawesi <500 94,000 CA

Morowali SUL-11 Sulteng Sulawesi 300 200,000 CA

Lampuko-Mampie (5) SUL-28 Sulsel Sulawesi 03°25’S/119°30’T 20 2,000 SM

Watumohae (6) SUL-30 Sultra Sulawesi 04°30’S/122°00’T <200 50,000 TB

Lambale SUL-33 Sultra Sulawesi 04°45’S/123°05’T 3,000* 82,000 SM

Tanjung Peropa SUL-36 Sultra Sulawesi <3,000* 38,000 SM

Komodo NUT-06 NTB Komodo 08°35’S/119°30’T <2,000 55,579 TN

Pulau Menipo NUT-12 NTB Timor <1,000* 2,499 SM

438
Manusela MAL-09 Maluku Seram 03°00’S/130°00’T <3,000 180,000 TN

Pulau Baun MAL-16 Maluku Aru 06°35’S/134°05’T 1,000 13,000 SM

Yamdena MAL-17 Maluku Tanimbar 3,000* 11,500 CA

Lorentz IRI-14 Irian Jaya Irian 301,500 1,560,250 T N

Pulau Kimaam (7) IRI-17 Irian Jaya Irian 165,000 500,000 SM

Wasur & Rawa Biru IRI-20 Irian Jaya Irian 6,180 304,000 TN

TOTAL AREAL KAWASAN MANGROVE YANG DILINDUNGI: 551.363 hektar (86% di Irian Jaya)

Catatan:
Kecuali disebutkan, seluruh data diambil dari Silvius, dkk (1987).
(a) Kode yang tercantum pada Wetland Data Base yang dikembangkan oleh
Wetlands International dan PHPA (1990 – sampai saat ini)
* Kondisi saat ini dari mangrove tersebut tidak jelas, mungkin sebagian telah
rusak
1) Giesen (1991) (KGLTL)
2) Giesen (1991) (HBPT)
3) Jakarta Post melaporkan konversi areal, serta pengamatan penulis
4) Pengamatan penulis, Desember 1988.
5) Giesen, Baltzer & Baruadi (1991).
6) Pengamatan penulis, Desember 1988.
7) Silvius & Taufik (1989)

6.2 Deskripsi kawasan lindung mangrove per pulau

Mangrove tidak terwakili dengan baik pada kawasan lindung yang telah dikukuhkan di
Sumatera. Areal mangrove di SM Karang Gading Langkat Timur Laut (Sumut) hampir
seluruhnya telah berubah menjadi habitat sekunder, sementara SM hutan Bakau Pantai
Timur (Jambi) kondisinya cukup mengkhawatirkan. Kedua lokasi tersebut telah
diidentifikasi sebagai habitat penting bagi burung air pengembara serta berbagai jenis
burung bangau dan pelatuk besi (Giesen, 1994 dan Rusila, 1991). Beberapa areal lindung
mangrove yang lebih kecil juga telah dikukuhkan dan penting bagi burung air (mis.
Pulau Berkeh dan Pulau Burung), akan tetapi tetap belum mewakili suatu habitat
mangrove yang baik.

393
Areal mangrove di Sumatera yang kondisinya masih baik adalah komplek mulut sungai
antara Delta Sungai Musi dan Banyuasin, yaitu di Sungai Sembilang, Sumatera Selatan,
yang berbatasan dengan Propinsi Jambi (Danielsen & Verheugt, 1989). Areal ini diusulkan
untuk dilindungi sejak tahun 1989 dan sebenarnya telah disetujui oleh pemerintah
setempat (Danielsen & Verheugt, 1989 dan Verheugt, dkk, 1991). Meskipun usulan ini
telah beberapa kali diajukan termasuk usulan untuk penggabungannya dengan Taman
Nasional Berbak, sayangnya sampai saat ini belum dapat diwujudkan. Frazier (1992)
menyatakan bahwa apabila usulan terakhir dapat diwujudkan, maka kawasan lindung
Sembilang - Berbak akan merupakan kawasan terbaik untuk perlindungan Harimau
Sumatera.

Di Kalimantan, lebih dari 15.000 hektar mangrove terdapat di Taman Nasional Gunung
Palung dan SM Muara Kendawangan (keduanya di Kalimantan Barat) dan TN. Tanjung
Puting (Kalimantan Tengah). Areal lain umumnya hanya memiliki luas yang kecil atau
telah rusak. DI TN Kutai (Kalimantan Timur), sebagian mangrove didaerah ini telah
dikonversi menjadi tambak oleh masyarakat.

Pulau Jawa telah kehilangan sekitar 90% mangrovenya dan hanya sedikit dari areal
mangrove yang tersisa masuk kedalam kawasan lindung. Kawasan lindung mangrove
yang terluas di Jawa mungkin di Pulau Panaitan, Jawa Barat (1.700 ha). Sekitar 1.000
hektar mangrove terdapat di bagian utara pantai Taman Nasional Ujung Kulon (Hommel,
1987). Beberapa kawasan lindung mangrove seperti CA. Pulau Dua di ujung barat Jawa
Barat serta CA. Pulau Rambut di Teluk Jakarta penting sebagai tempat berkembangbiaknya
berbagai jenis burung air (Silvius dkk. 1987; Rusila dkk. 1996). Areal mangrove terluas
yang ada di Jawa saat ini adalah di Segara Anakan, Cilacap yaitu 8.957 hektar (BAPPEDA
Tk. II Cilacap, 1997 dalam PKSPL IPB, 1998). Areal ini telah diusulkan untuk dilindungi
sejak tahun 1980-an, namun mengkombinasikannya sebagai kawasan konservasi dan
kawasan pemanfaatan secara berkelanjutan mungkin merupakan pilihan yang terbaik
(White, dkk, 1989).

Sekitar 7.000 hektar mangrove di Sulawesi telah dikukuhkan sebagai areal lindung.
Luas ini mewakili 8% dari luas mangrove yang ada pada tahun 1990. Jumlah seluas
ini sebenarnya mengandung ketidakjelasan karena survey di lapangan menunjukkan
kondisi yang berbeda. Survey di Sulawesi Selatan (Giesen, dkk, 1991) dan di Sulawesi
Tenggara pada tahun 1989 - 1990 menunjukkan bahwa 2.000 hektar areal mangrove
di kawasan Lampuko - Mampie (Sulsel) dan hampir 3.000 hektar di Taman Buru
Watumohai (Sultra) sebenarnya telah dikonversikan menjadi tambak. Areal Mangrove di
utara Teluk Bone (23.000 ha) dan Lariang - Lumu (7.800 ha.) disarankan untuk dijadikan
kawasan lindung. Mangrove di Lariang - Lumu meskipun arealnya kecil, tetapi telah
berkembang dengan baik dan memiliki tegakan yang telah matang. Sebuah usulan telah
diajukan untuk menetapkan kawasan lindung yang di dalamnya termasuk 5.400 hektar
mangrove di utara Sungai Lariang (Giesen, dkk, 1991).

440
Areal mangrove di Nusa Tenggara telah masuk ke dalam kawasan lindung dengan adanya
3.000 hektar mangrove di TN. Komodo dan SM Pulau Menipo.

Sekitar 14.000 hektar mangrove telah dikukuhkan di Maluku yaitu di TN Manusela,


Seram (3.000 hektar), CA. Yamdena, Tanimbar (10.000 hektar), dan SM. Pulau Baun,
Kepulauan Aru (1.000 hektar). Luas tersebut nampaknya sudah cukup mewakili,
meskipun sebenarnya untuk kepentingan konservasi keanekaragaman hayati akan lebih
baik jika areal mangrove di Kei dan Kepulauan Aru juga dilindungi.

Areal mangrove seluas lebih dari 472.000 hektar telah dikukuhkan di Irian Jaya yaitu
di TN. Lorentz (301.500 ha), CA. Pulau Kimaam (165.000 ha.) dan di TN. Wasur (6.180
ha.). Areal mangrove yang paling berkembang dengan baik sebenarnya terdapat di
Teluk Bintuni, dimana jalur mangrove selebar lebih dari 30 kilometer dan tegakan yang
matang tumbuh dengan baik. Usulan untuk menjadikan areal seluas 450.000 hektar
sebagai kawasan lindung, termasuk 250.000 hektar areal mangrove telah diusulkan oleh
Petocz (1983) dan kemudian diajukan pula oleh Erftemeijer, Allen & Zuwendra (1989).

6.3 Pemeliharaan keanekaragaman hayati mangrove

Dari uraian diatas nampak jelas bahwa secara umum mangrove belum terwakili dalam
sistem areal lindung di Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
Rusaknya mangrove di Indonesia Barat dan Sulawesi akan mengakibatkan hilangnya
jenis-jenis tumbuhan mangrove. Sejumlah 38 jenis tumbuhan mangrove sejati maupun
mangrove ikutan terdapat hanya di Indonesia Barat. Dari jumlah tersebut, terdapat 6
jenis yang hanya tumbuh pada habitat mangrove dan kemungkinan akan sangat
dipengaruhi oleh hilangnya areal mangrove yaitu Amyema gravis, Camptostemon
philippinensis, C. schultzii, Heritiera globosa, Oberonia rhizophoreti dan Phoenix
paludosa. Dari jenis-jenis tersebut, yang paling rentan adalah Phoenix paludosa yang
diketahui hidup di Sumatera bagian utara. Jenis lain yaitu Amyema anisomeres diketahui
hanya ada di bagian utara Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Sayangnya di Kedua lokasi
tersebut, kegiatan pembangunan dilaksanakan dengan pesat dan areal mangrove
merupakan salah satu subjek konversi.

Sebanyak 32 jenis dari 39 jenis tersebut (yaitu yang terdapat di Indonesia Barat, tetapi
tidak hanya ditemukan di habitat mangrove), paling tidak setengahnya tumbuh di hutan
rawa yang berdekatan dengan habitat mangrove. Dari pengamatan di lapangan, ternyata
habitat rawapun tidak kurang rentannya, sebagai akibat dari tekanan pembangunan
(Giesen, 1994).

413
Terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati, hendaknya perhatian diberikan
terhadap kerentanan jenis-jenis yang bersifat endemik. Tiga jenis tumbuhan mangrove
diketahui endemik untuk Indonesia, yaitu Amyema anisomeres, Rhododendron
brookeanum dan Ixora timorensis. I. timorensis hanya ditemukan di luar areal kawasan
lindung dan hanya di lokasi yang terbatas. R. brookeanum juga relatif langka, dan hanya
ditemukan di beberapa lokasi di Sumatera dan Kalimantan, sementara A. anisomeres
bahkan lebih rentan dibandingkan 2 jenis lainnya.

Untuk melindungi keanekaragaman hayati tumbuhan mangrove, maka diusulkan agar


lokasi-lokasi dibawah ini segera dapat dilindungi :
1. Sungai Sembilang, Sumatera Selatan
2. Segara-Anakan, Jawa Tengah
3. Bagian utara Sungai Lariang, Sulawesi Selatan
4. Beberapa lokasi lain di Kalimantan (kemungkinan di Kalimantan Timur) sesuai
dengan pengkajian lapangan yang lebih rinci.

Dalam jangka panjang, upaya pro-aktif nampaknya harus juga dilakukan untuk
perlindungan habitat mangrove di Indonesia Timur, termasuk:
1. Pengukuhan kawasan lindung mangrove Teluk Bintuni
2. Perbaikan pengelolaan di TN. Lorentz dan SM. Pulau Kimaam Wildlife
3. Identifikasi dan penambahan areal lindung mangrove di Kepulauan Kei dan Aru.

442
VII. BEBERAPA PETUNJUK STUDI MANGROVE
BAGI PEMULA

7.1 Pustaka penting

Bagi mereka yang ingin mempelajari mangrove lebih rinci dan mendalam, disarankan
untuk mempelajari beberapa buku klasik yang menjelaskan informasi mengenai mangrove
secara lebih luas, seperti Watson (1928), MacNae (1968), Chapman (1976a), Saenger,
dkk (1983), Tomlinson (1986), Duke, dkk (1984) dan Duke (1992). Untuk mempelajari
mangrove di Asia Tenggara, pustaka yang bisa ditelusuri antara lain adalah Watson
(1928) dan MacNae (1968).

Studi yang komprehensif mengenai mangrove di Indonesia belum begitu banyak.


Beberapa karya tulis klasik yang layak untuk dibaca antara lain van Steenis (1958) yang
memberikan informasi umum mengenai mangrove dalam pengantarnya terhadap makalah
dari Ding Hou (1958) mengenai Rhizophoraceae, serta bab mengenai mangrove yang
ditulis oleh Whitten dkk. (1984, 1987). Beberapa tulisan lain yang ditulis oleh penulis
luar maupun ilmuwan Indonesia (misalnya Kusmana, dkk, 1997), pada umumnya
menyentuh masalah lokasi, kelompok jenis atau jenis tertentu, eksploitasi serta
pengelolaan mangrove di Indonesia. Sejak awal tahun 80-an sampai saat ini, LIPI bersama
Program MAB Indonesia telah menyelenggarakan seminar ekosistem hutan mangrove
yang dapat digunakan sebagai sumber informasi yang cukup memadai. Untuk mengetahui
informasi mengenai cara budidaya mangrove dapat dibaca Pedoman Pembuatan
Persemaian dan Penanaman Mangrove oleh Kusmana (1998) atau Panduan Teknis
Penanaman Mangrove bersama Masyarakat oleh Khazali (1999).

7.2 Petunjuk untuk pengamatan lapangan

Melakukan pengamatan di habitat mangrove memerlukan lebih dari sekedar buku


panduan, teropong dan alat tulis saja, melainkan juga memerlukan waktu yang cukup
panjang, stamina yang baik serta ketahanan terhadap udara panas, keringat, lumpur, air
asin dan terutama nyamuk. Sebelum melakukan pengamatan, persiapan yang baik adalah
salah satu syarat untuk tercapainya tujuan pengamatan. Diantaranya adalah menyiapkan
baju lengan panjang dari bahan katun atau bahan lain yang menyerap keringat, cairan
anti nyamuk dan alat-alat tulis yang tahan kondisi basah.

Pengamatan di lingkungan mangrove seringkali harus menggunakan perahu atau sampan.


Disarankan untuk tidak membawa barang yang tidak terlalu penting, sehingga
memudahkan pergerakan, termasuk jika sewaktu-waktu harus memanjat pohon mangrove
untuk mendapatkan sampel herbarium atau keperluan lainnya. Untuk menghindari panas,

433
sebaiknya gunakan topi yang dapat menyerap keringat. Payung kecil kadang-kadang
juga sangat bermanfaat untuk melindungi diri dari panas atau hujan, atau melindungi
saat kita mengambil photo pada saat hujan. Air laut sangat “jahat” terhadap kamera
serta peralatan optis lainnya. Untuk itu perlu disediakan kantung plastik serta kotak
plastik tahan air untuk menyimpan peralatan tersebut.

Berperahu di lingkungan mangrove akan sangat dipengaruhi oleh pasang-surut air laut,
karenanya perlu perencanaan matang. Lihatlah daftar pasang-surut. Air tinggi biasanya
akan lebih memudahkan kita untuk mencapai tujuan tertentu, walaupun untuk keperluan
lainnya (misalnya pengamatan tanah, fauna permukaan dan dalam tanah serta tipe
perakaran) kondisi ini kurang mendukung.

Melakukan pengamatan di habitat mangrove cukup menyita waktu, melelahkan dan


menguras keringat, karena itu air minum dan makanan kecil secukupnya perlu
dipersiapkan.

7.3 Spesimen tumbuhan mangrove

Dibandingkan dengan pengamatan di hutan tropis, pengamatan vegetasi di habitat mangrove


relatif lebih mudah, karena terbatasnya jenis tumbuhan serta sifat perbungaannya yang
tidak terlalu musiman. Hal ini berarti bahwa hampir setiap saat dapat ditemukan pohon
yang memiliki bunga atau buah yang akan memudahkan identifikasi jenis pohon. Lebih
dari itu, tumbuhan pada habitat mangrove tidaklah setinggi pohon-pohon di hutan hujan
tropis. Meskipun demikian, pengamatan pada habitat mangrove juga memiliki kesulitan
tersendiri. Sebagian besar bentuk pohonnya memiliki kesamaan, sehingga pengamat harus
memfokuskan perhatiannya pada perbedaan kulit kayu, tipe akar serta bunga/buahnya.
Jika waktu pengamatan tidak memungkinkan, perlu dibuat koleksi tumbuhan, yakni dengan
mengambil daun, bunga, dan buah dari pohon yang akan diidentifikasi. Identifikasi dapat
dilakukan kemudian di laboratorium dengan membuat catatan mengenai lokasi, tanggal,
tipe perakaran, dan habitat.

Spesimen sebaiknya disimpan diantara kertas koran yang dijepit oleh bambu atau tripleks.
Biasanya dengan cara ini spesimen masih bisa diidentifikasi selama 2 - 3 hari kemudian.
Untuk perjalanan yang lebih lama, spesimen dapat disimpan dalam kantung pelastik
yang tahan air dan sama sekali tidak terbuka terhadap udara luar, dan kemudian ditaburi
methylate spirit. Kelemahannya, bahan ini cukup mahal, mudah terbakar dan mudah
menguap. Untuk 25 - 35 spesimen dibutuhkan 1 liter methylate spirit.

444
7.4 Studi vegetasi

Untuk pengamatan vegetasi, sangat membantu jika memiliki peta topografi serta peta
tematik. Peta topografi dapat diperoleh di BAKOSURTANAL, Cibinong, Jawa Barat,
sementara peta tematik yang paling memadai saat ini adalah yang diproduksi oleh
RePPProT (the Regional Physcial Planning Programme for Transmigration) dengan skala
1 : 250.000 yang melingkupi hampir seluruh wilayah Indonesia, antara tahun 1985 -
1992. Peta tersebut mencakup Sistem Lahan serta tipe tata guna lahan dan hutan yang
akan sangat bermanfaat dalam studi vegetasi.

Selain peta, citra inderaja juga sangat membantu perencanaan studi, dan biasanya bisa
diperoleh di LAPAN, Jakarta. Pada citra inderaja yang memadai dapat membedakan
zona vegetasi yang berbeda, termasuk sabuk mangrove yang umumnya memiliki
kharakteristik lokasi yang berbeda.

Pengamatan di lapangan kemudian akan memberikan informasi yang lebih baik, terutama
karena peta serta citra saja tidak akan memberikan keterangan yang memadai mengenai
kondisi yang sebenarnya di lapangan. Bagaimanapun, gabungan kedua metoda tersebut
akan memberi hasil yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Cara termudah melakukan pengamatan di lapangan adalah dengan melakukan transek.


Pada dasarnya terdapat dua metoda transek yang dapat dipakai, yaitu transek garis (strip
sampling) dan transek plot garis (line plot sampling). Pada metoda yang pertama, yaitu
membuat garis transek dengan panjang tertentu (misalnya 100 meter atau 500 meter)
dengan lebar 10 sampai 20 meter, kemudian dicatat tumbuhan (jenis dan jumlah
individu) yang di dalam dan disinggung garis tersebut. Metoda kedua juga pada prinsipnya
sama, kecuali dalam metoda ini dibuat plot-plot (misalnya luas 100 m2/radius 5 m)
dengan jarak antar plot pada garis (misalnya 20 m), kemudian dicatat seluruh tumbuhan
(jenis dan jumlah individu) yang tumbuh dalam lebar tersebut. Transek kemudian dapat
dibandingkan satu dengan yang lainnya, baik secara visual maupun dengan menggunakan
perangkat lunak komputer tertentu. Metoda-metoda diatas antara lain dijelaskan dengan
lebih rinci oleh Chapman (1984) dan English, dkk (1994), serta beberapa lainnya. Untuk
mengetahui informasi mengenai analisis vegetasi hutan (termasuk mangrove) dapat dibaca
buku Metoda Survey Vegetasi yang disusun oleh Kusmana (1997).

7.5 Studi Fauna

Untuk keperluan studi fauna vertebrata, metoda yang dilakukan tidak banyak berbeda
dengan metoda yang biasa digunakan di daratan. Khusus untuk burung air (bermigrasi)
disarankan untuk menggunakan Howes (1989) dan Rusila (1999). Sementara untuk fauna
vertebrata diantaranya disajikan dalam Sasekumar (1984) dan English et al. (1994).

453
Pengamatan fauna invertebrata pada habitat mangrove umumnya berkaitan dengan
zonasi, densitas, produktivitas, pola distribusi vertikal (khususnya berkaitan dengan pasang
surut air laut) dan fauna bawah tanah. Teknik yang digunakan biasanya dilakukan dengan
menggunakan pengambilan sampel lumpur, pengayakan, pemilahan dan identifikasi jenis.

7.6 Alamat-alamat penting terkait dengan kegiatan di lingkungan


mangrove

Organisasi/institusi nasional

1. Subdit Perairan, Ditjen Perlindungan dan Konservasi Alam (PKA), Departemen


Kehutanan
Gedung Manggala Wanabhakti, Blok VII, Lt. 7. Jl. Gatot Subroto, Jakarta.
Tel. 021-5720227
2. Yayasan Mangrove
Jl. Pancoran Indah, A III/4, Liga Mas Indah, Jakarta. Tel. 021-7940403
3. SEAMEO-BIOTROP Southeast Asia Regional Center for Tropical Biology.
Jl. Raya Tajur, km 6/P.O. Box 17, Bogor. tel. 0251-323848.
4. P3O - LIPI
Jl. Pasir Putih No. 1, Ancol Timur, Jakarta Utara. Tel.: 021.682287/683850/
681948(fax).
5. Yayasan Indonesia untuk kemajuan desa (YASIKA)
Jln. Erlangga No. 16-B, Medan 20112, North Sumatra. Tel. 061-516338/535016.
Fax 061-516338.
6. Laboratorium Ekologi Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Kampus IPB Darmaga. PO. Box 168 Bogor, Indonesia. Tel/fax. 0251-621244.
7. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB
Gedung Marine Center Lt. 4, Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan IPB. PO. Box 286
Tel. 0251-621086/624815. Fax. 0251-621086

Organisasi Internasional

1. Wetlands International - Indonesia Programme


Jl. Arzimar III No. 17, Bogor 16152; P.O. Box 254/BOO, Bogor 16002
Tel.: 0251-312189; Tel./Fax. 0251-325755
2. International Society for Mangrove Ecosystems (ISME).
ISME Secretariat, c/o College of Agriculture, University of the Ryukyus, Nishihara,
Okinawa 903-01, Japan. Tel. xx.81.98.895.6601/6602 (fax)

446
473
Acanthus ebracteatus Vahl ACANTHACEAE

Nama setempat : Jeruju putih.

Deskripsi umum : A. ebracteatus hampir sama dengan A. ilicifolius (lihat halaman berikutnya),
tetapi seluruh bagiannya lebih kecil.

Daun : Pinggiran daun umumya rata kadang bergerigi seperti A. ilicifolius. Unit &
Letak: Sederhana, berlawanan. Bentuk: lanset. Ujung: meruncing. Ukuran:
7-20 x 4-10 cm.

Bunga : Mahkota bunga berwarna biru muda hingga ungu lembayung cerah, kadang
agak putih di bagian ujungnya. Panjang tandan bunga lebih pendek dari A.
ilicifolius, sedangkan bunganya sendiri 2-2,5 cm. Bunga hanya mempunyai satu
pinak daun utama, karena yang sekunder biasanya cepat rontok. Letak: di ujung.
Formasi: bulir.

Buah : Warna buah saat masih muda hijau cerah dan permukaannya licin mengkilat.
Bentuk buah bulat lonjong seperti buah melinjo. Ukuran: Buah panjang 2,5-
3 cm, biji 5-7 mm.

Ekologi : Ketika tumbuh bersamaan dengan A. ilicifolius keduanya memperlihatkan adanya


karakter yang berbeda sebagaimana diuraikan dalam deskripsi, akan tetapi sering
sekali membingungkan. Berbunga pada bulan Juni.

Distribusi : Dari India sampai Australia Tropis, Filipina, dan Kepulauan Pasifik Barat. Terdapat
di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Buah digunakan sebagai “pembersih” darah serta untuk mengatasi kulit terbakar.
Daun mengobati reumatik. Perasan buah atau akar kadang-kadang digunakan
untuk mengatasi racun gigitan ular atau terkena panah beracun. Biji konon
bisa mengatasi serangan cacing dalam pencernaan.

Catatan : Terdapat kecenderungan untuk memperlakukan A.ebracteatus, A.ilicifolius dan


A.volubilis sebagai satu jenis.

448
Acanthus ebracteatus

daun bunga buah

a. bunga; b. buah; c. daun

493
Acanthus ilicifolius L. ACANTHACEAE

Nama setempat : Jeruju hitam, daruyu, darulu.

Deskripsi umum : Herba rendah, terjurai di permukaan tanah, kuat, agak berkayu, ketinggian
hingga 2m. Cabang umumnya tegak tapi cenderung kurus sesuai dengan
umurnya. Percabangan tidak banyak dan umumnya muncul dari bagian-bagian
yang lebih tua. Akar udara muncul dari permukaan bawah batang horizontal.

Daun : Dua sayap gagang daun yang berduri terletak pada tangkai. Permukaan daun
halus, tepi daun bervariasi: zigzag/bergerigi besar-besar seperti gergaji atau agak
rata dan secara gradual menyempit menuju pangkal. Unit & letak: sederhana,
berlawanan. Bentuk: lanset lebar. Ujung: meruncing dan berduri tajam. Ukuran:
9-30 x 4-12 cm.

Bunga : Mahkota bunga berwarna biru muda hingga ungu lembayung, kadang agak putih.
Panjang tandan bunga 10-20 cm, sedangkan bunganya sendiri 5-4 cm. Bunga
memiliki satu pinak daun penutup utama dan dua sekunder. Pinak daun tersebut
tetap menempel seumur hidup pohon. Letak: di ujung. Formasi: bulir.

Buah : Warna buah saat masih muda hijau cerah dan permukaannya licin mengkilat.
Bentuk buah bulat lonjong seperti buah melinjo. Ukuran: buah panjang 2,5-
3 cm, biji 10 mm.

Ekologi : Biasanya pada atau dekat mangrove, sangat jarang di daratan. Memiliki kekhasan
sebagai herba yang tumbuh rendah dan kuat, yang memiliki kemampuan untuk
menyebar secara vegetatif karena perakarannya yang berasal dari batang
horizontal, sehingga membentuk bagian yang besar dan kukuh. Bunga
kemungkinan diserbuki oleh burung dan serangga. Biji tertiup angin, sampai
sejauh 2 m. Di Bali berbuah sekitar Agustus.

Distribusi : Dari India hingga Australia tropis, Filipina dan Kepulauan Pasifik barat. Terdapat
di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Buah ditumbuk dan digunakan untuk “pembersih” darah serta mengatasi kulit
terbakar. Daun mengobati reumatik. Perasan buah atau akar kadang-kadang
digunakan untuk mengatasi racun gigitan ular atau terkena panah beracun. Biji
konon bisa mengatasi serangan cacing dalam pencernaan. Pohon juga dapat
digunakan sebagai makanan ternak.

Catatan : Terdapat kecenderungan untuk memperlakukan A. ebracteatus, A. ilicifolius dan


A. volubilis sebagai satu jenis.

450
Acanthus ilicifolius

daun bunga buah

b
c

a. bunga; b. buah; c. daun

513
Acrostichum aureum Linn. PTERIDACEAE

Nama setempat : Piai raya, mangrove varen, hata diuk, paku cai, kala keok, wikakas, krakas,
wrekas, paku laut.

Deskripsi umum : Ferna berbentuk tandan di tanah, besar, tinggi hingga 4 m. Batang timbul
dan lurus, ditutupi oleh urat besar. Menebal di bagian pangkal, coklat tua dengan
peruratan yang luas, pucat, tipis ujungnya,bercampur dengan urat yang sempit
dan tipis.

Daun: Panjang 1-3 m, memiliki tidak lebih dari 30 pinak daun. Pinak daun letaknya
berjauhan dan tidak teratur. Pinak daun terbawah selalu terletak jauh dari yang
lain dan memiliki gagang yang panjangnya 3 cm. Ujung daun fertil berwarna
coklat seperti karat. Bagian bawah dari pinak daun tertutup secara seragam
oleh sporangia yang besar. Ujung pinak daun yang steril dan lebih panjang
membulat atau tumpul dengan ujung yang pendek. Duri banyak, berwarna hitam.
Peruratan daun menyerupai jaring. Sisik yang luas, panjang hingga 1 cm, hanya
terdapat di bagian pangkal dari gagang, menebal di bagian tengah. Spora besar
dan berbentuk tetrahedral.

Ekologi : Ferna tahunan yang tumbuh di mangrove dan pematang tambak, sepanjang kali
dan sungai payau serta saluran. Tingkat toleransi terhadap genangan air laut
tidak setinggi A.speciosum. Ditemukan di bagian daratan dari mangrove. Biasa
terdapat pada habitat yang sudah rusak, seperti areal mangrove yang telah
ditebangi yang kemudian akan menghambat tumbuhan mangrove untuk
beregenerasi. Tidak seperti A.speciosum, jenis ini menyukai areal yang terbuka
terang dan disinari matahari.

Penyebaran : Pan-tropis. Terdapat di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Sangat melimpah setempat.

Manfaat : Akar rimpang dan daun tua digunakan sebagai obat. Daun digunakan sebagai
dan alas ternak. Daun mudanya dilaporkan dimakan di Timor dan Sulawesi
Utara.

Catatan : Seringkali keliru dengan A.speciosum. Secara umum, A.aureum lebih tinggi,
dan individu mudanya lebih kemerahan dibandingkan dengan A.speciosum yang
kecoklatan. Pengenalan yang paling mudah adalah dengan melihat ujung daunnya.
A.aureum pada umumnya agak tumpul, tetapi dengan titik yang kecil, sementara
pada A.speciosum runcing-memanjang.

452
Acrostichum aureum

pohon

c
d

a. daun; b. ujung pinak daun; c. spora; d. pohon

533
Acrostichum speciosum Willd. PTERIDACEAE

Nama setempat : Piai lasa.

Deskripsi umum : Ferna tanah, membentuk tandan yang kasar dengan ketinggian hingga 1,5
m. Sisik pada akar rimpang panjangnya hingga 8 mm.

Daun : Sangat mencolok, pada umumnya panjangnya kurang dari 1 m dan memiliki
pinak daun fertil berwarna karat pada bagian ujungnya, tertutup secara seragam
oleh sporangia besar. Pinak daun berukuran kira-kira 28 x 10 cm. Pinak daun
yang steril memiliki ujung lebih kecil dan menyempit. Jenis ini berbeda dengan
A.aureum dalam hal ukuran pinak daunnya yang lebih kecil dan ujungnya
meruncing, permukaan bagian bawah pinak daun yang fertil berwarna coklat
tua dan ditutupi oleh sporangia, serta daun mudanya berwarna hijau-kecoklatan.
Peruratan daun berbentuk jaring. Sisik luas, panjang hingga 1 cm, hanya terdapat
di bagian pangkal daun. Sisik menebal di bagian tengah. Spora besar dan
berbentuk tetrahedral .

Ekologi : Ferna tahunan. Tumbuh pada areal mangrove yang lebih sering tergenang oleh
pasang surut. Khususnya tumbuh pada gundukan lumpur yang “dibangun” oleh
udang dan kepiting. Biasanya menyukai areal yang terlindung. Daun yang fertil
dihasilkan pada bulan Agustus hingga April. “Kecambah” (sebenarnya “bibit
spora”) berlimpah pada bulan Januari hingga April (di Jawa).

Penyebaran : Asia dan Australia tropis. Di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Melimpah setempat.

Manfaat : Daun digunakan sebagai alas kandang ternak.

454
Acrostichum speciosum

pohon

c d

a. daun; b. ujung pinak daun; c. spora; d. pohon

553
Aegialitis annulata R.Br. PLUMBAGINACEAE

Nama setempat : Tidak tahu.

Deskripsi umum : Semak kecil, umumnya memiliki ketinggian 1,5-3 meter, kadang-kadang
dijumpai sebagai pohon sampai 7 meter tingginya. Biasanya memiliki akar yang
menjalar pada permukaan tanah, dan ranting dengan goresan berbentuk cincin.
Kadang-kadang memiliki akar tunjang. Kulit kayu bagian luar berwarna hitam,
halus dan kemudian bercelah sejalan dengan bertambahnya umur. Diameter batang
sampai 20 cm, bengkak pada bagian pangkal dan memiliki tekstur seperti busa.

Daun : Terdapat lobang longitudinal dan kelenjar garam. Gagang daun panjangnya 8
cm. Unit & Letak: sederhana & bersilangan. Bentuk: lanset seperti pedang.
Ujung: meruncing. Ukuran: 6-9 x 2-5 cm.

Bunga : Tandan bunga yang asimetris memiliki banyak bunga. Letak: di ujung tandan/
tangkai bunga. Formasi: payung (ada banyak bunga). Daun Mahkota: 5; putih
kadang abu-abu pucat, tumpang tindih; 5-8 mm. Kelopak Bunga: 5; bentuk
tabung; 7-8 mm.

Buah : Buah berbentuk kapsul melengkung, memiliki 5 sudut, berwarna kemerahan


ketika telah matang. Ukuran: 3-4 x 4-5 cm.

Ekologi : Tumbuh pada daerah mangrove terbuka sebagai individu yang terpisah atau
dalam kelompok kecil. Juga tumbuh pada daerah yang lebih berpasir dan
berkarang serta tergenang oleh air dengan salinitas yang sama dengan air laut
(pada akhir musim kering). Penyerbukan dilaporkan dibantu oleh semut. Di
Australia, perbungaan terjadi pada bulan September - November, sedangkan
buah yang matang tumbuh pada bulan Januari - Maret.

Penyebaran : Kepulauan Sunda kecil, Maluku, PNG dan Australia Utara.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Memiliki kandungan tanin yang sangat tinggi, akan tetapi penggunaannya belum
pernah dilaporkan.

Catatan : A. annulata dan A. rotundifolia memiliki daerah penyebaran yang tidak


bersambung. A. rotundifolia terdapat di Bangladesh, Burma, Thailand dan
Kepulauan Andaman, pada mangrove yang rendah dengan substrat lumpur. Bunga
dari kedua jenis tumbuhan ini memiliki perbedaan karakteristik yang tidak
terlalu penting.

456
Aegialitis annulata

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

573
Aegiceras corniculatum (L.) Blanco MYRSINACEAE

Nama setempat : Teruntun, gigi gajah, perepat tudung, perpat kecil, tudung laut, duduk
agung, teruntung, kayu sila, kacangan, klungkum, gedangan, kacang-kacangan.

Deskripsi umum : Semak atau pohon kecil yang selalu hijau dan tumbuh lurus dengan
ketinggian pohon mencapai 6 m. Akar menjalar di permukaan tanah. Kulit
kayu bagian luar abu-abu hingga coklat kemerahan, bercelah, serta memiliki
sejumlah lentisel.

Daun : Daun berkulit, terang, berwarna hijau mengkilat pada bagian atas dan hijau
pucat di bagian bawah, seringkali bercampur warna agak kemerahan. Kelenjar
pembuangan garam terletak pada permukaan daun dan gagangnya. Unit &
Letak: sederhana & bersilangan. Bentuk: bulat telur terbalik hingga elips. Ujung:
membundar. Ukuran: 11 x 7,5 cm.

Bunga : Dalam satu tandan terdapat banyak bunga yang bergantungan seperti lampion,
dengan masing-masing tangkai/gagang bunga panjangnya 8-12 mm. Letak: di
ujung tandan/tangkai bunga. Formasi: payung. Daun Mahkota: 5; putih, ditutupi
rambut pendek halus; 5-6 mm. Kelopak Bunga: 5; putih - hijau.
Buah : Buah berwarna hijau hingga merah jambon (jika sudah matang), permukaan
halus, membengkok seperti sabit,. Dalam buah terdapat satu biji yang membesar
dan cepat rontok. Ukuran: panjang 5-7,5 cm dan diameter 0,7 cm.

Ekologi : Memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas, tanah dan cahaya yang beragam.
Mereka umum tumbuh di tepi daratan daerah mangrove yang tergenang oleh
pasang naik yang normal, serta di bagian tepi dari jalur air yang bersifat payau
secara musiman. Perbungaan terjadi sepanjang tahun, dan kemungkinan diserbuki
oleh serangga. Biji tumbuh secara semi-vivipar, dimana embrio muncul melalui
kulit buah ketika buah yang membesar rontok. Biasanya segera tumbuh
sekelompok anakan di bawah pohon dewasa. Buah dan biji telah teradaptasi
dengan baik terhadap penyebaran melalui air.

Penyebaran : Sri Lanka, Malaysia, seluruh Indonesia, Papua New Guinea, Cina selatan, Australia
dan Kepulauan Solomon.

Kelimpahan : Umum, di beberapa daerah agak melimpah, seringkali tumbuh dalam kelompok besar.

Manfaat : Kulit kayu yang berisi saponin digunakan untuk racun ikan. Bunga digunakan
sebagai hiasan karena wanginya. Kayu untuk arang. Daun muda dapat dimakan.

458
Aegiceras corniculatum

daun bunga buah

c
b

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

593
Aegiceras floridum R.& S. MYRSINACEAE

Nama setempat : Mange-kasihan

Deskripsi umum : Semak atau pohon kecil yang selalu hijau dan tumbuh lurus dengan
ketinggian mencapai 4 m. Akar menjalar di permukaan tanah. Kulit kayu bagian
luar berwarna abu-abu hingga coklat, bercelah dan memiliki sejumlah lentisel.

Daun : Berkulit, bagian atas terang dan hijau mengkilat; bagian bawah hijau pucat
kadang kemerahan. Kelenjar pembuangan garam terletak pada permukaan daun
dan gagangnya. Unit & Letak: sederhana & bersilangan. Bentuk: bulat telur
terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 3-6 cm

Bunga : Dalam satu tandan terdapat banyak bunga yang bergantungan seperti
lampion masing-masing tangkai/gagang bunga panjangnya 4-6 mm. Letak:
di ujung tandan/tangkai bunga. Formasi: payung. Daun Mahkota: 5; putih,
ditutupi rambut pendek halus; 4 mm. Kelopak bunga: 5; putih- hijau.

Buah : Buah berwarna hijau hingga merah, bentuk agak lurus. Buah berisi satu biji
memanjang dan cepat rontok. Ukuran: panjang 3 cm dan diameter 0,7 cm.

Ekologi : Tumbuh di daerah mangrove, pada tepi pantai berpasir hingga tepi sungai,
tercatat pula tumbuh pada substrat berkarang. Toleran terhadap salinitas yang
tinggi. Pengetahuan tentang jenis ini sangat terbatas. Perbungaan terjadi sepanjang
tahun.

Penyebaran : Kalimantan Utara, Jawa Timur, Bali, Maluku, Sulawesi, seluruh Filipina hingga
Indo Cina.

Kelimpahan : Jarang dan tersebar.

Manfaat : Tidak tahu.

460
Aegiceras floridum

daun & buah bunga

a. bunga; b. buah; c. daun

613
Amyema anisomeres Dans. LORANTHACEAE

Nama setempat : Tidak tahu.

Deskripsi umum : Epifit parasit, halus, memiliki percabangan bulat.

Daun : Daun tersebar, pangkal daun menyempit pada gagang yang panjangnya 8 - 10
mm. Unit & Letak: sederhana & bersilangan. Bentuk: bulat memanjang hingga
lanset. Ujung: meruncing. Ukuran: 5,5-8,5 x 1,5-3 cm.

Bunga : Tandan bunga terdapat secara tunggal atau berpasangan. Gagang bunga bulat,
panjang 4-7 mm. Letak: di ketiak daun. Formasi: payung (3 bunga). Daun
Mahkota: merah muda, hampir silindris, panjang 19-20 mm, dengan 4 atau 5
daun mahkota tumpul berukuran 3,5 mm. Kelopak Bunga: berbentuk corong,
panjang 2,5 mm. Benang sari: panjangnya 1,5 mm; kepala sari bulat panjang.

Buah : Tidak diketahui

Ekologi : Hanya terkoleksi satu kali pada pohon Rhizophora.

Distribusi : Mungkin sangat terbatas, karena hanya terkolesi satu kali di Kampung Lato-u
dekat Malili, Sulawesi Selatan. Mungkin endemik di Sulawesi.

Kelimpahan : Mungkin sangat langka.

Manfaat : Tidak tahu.

Catatan : Satu dari sedikit tumbuhan mangorve endemik di Indonesia.

462
Amyena anisomeres

a. bunga; b. buah; c. daun

633
Amyema gravis Dans. LORANTHACEAE

Nama setempat : Tidak tahu.

Deskripsi umum : Hemi-parasit, biasanya menggantung, panjangnya 0,5-1 m.

Daun : Memiliki daun yang tebal. Unit & Letak: sederhana dan berlawanan. Bentuk:
bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: panjang hingga 5 cm.

Bunga : Tandan bunga tumbuh soliter pada ketiak daun. Setiap tandan memiliki 2-3
gagang yang berisi bunga. Daun mahkota bunga berwarna merah serta pangkal
berwarna kuning-kehijauan.

Buah : Tidak diketahui.

Ekologi : Hemi-parasit pada Avicennia, Rhizophora dan Sonneratia. Perbungaan sepanjang


tahun.

Distribusi : Malaysia, Kalimantan, Kepulauan Kangean dan Jawa Timur.

Kelimpahan : Melimpah setempat.

Manfaat : Tidak tahu.

464
Amyena gravis

a b

a. bunga; b. buah; c. daun

653
Amyema mackayense (Blake.) Dans. LORANTHACEAE

Nama setempat : Tidak tahu.

Deskripsi umum : Parasit epifit dengan batang halus yang membesar pada bagian buku serta
memiliki banyak cabang.

Daun : Daun berbentuk seperti sendok lebar dengan gagang daun sepanjang 6-15 cm.
Unit & Letak: sederhana & bersilangan. Bentuk: bulat telur. Ujung: membundar.
Ukuran: 2,5-4 x 1,5-2,5 cm.

Bunga : Kepala sari panjangnya 1,5 mm. Tangkai benang sari yang menopang kepala
sari berukuran 3-5 mm.

Buah : Buah elips, dikelilingi oleh daun kelopak bunga yang berurutan.

Ekologi : Parasit eksklusif pada mangrove.

Distribusi : Australia Utara, Papua New Guinea dan dekat Merauke (Irian Jaya).

Kelimpahan : Melimpah setempat.

Manfaat : Tidak tahu.

Catatan : Warna daun mahkota bunga tidak diuraikan dalam pustaka.

466
Amyena mackayense

a b

a. bunga; b. buah; c. daun

673
Avicennia alba Bl. AVICENNIACEAE

Nama setempat : Api-api, mangi-mangi putih, boak, koak, sia-sia

Deskripsi umum : Belukar atau pohon yang tumbuh menyebar dengan ketinggian mencapai
25 m. Kumpulan pohon membentuk sistem perakaran horizontal dan akar nafas
yang rumit. Akar nafas biasanya tipis, berbentuk jari (atau seperti asparagus)
yang ditutupi oleh lentisel. Kulit kayu luar berwarna keabu-abuan atau gelap
kecoklatan, beberapa ditumbuhi tonjolan kecil, sementara yang lain kadang-
kadang memiliki permukaan yang halus. Pada bagian batang yang tua, kadang-
kadang ditemukan serbuk tipis.

Daun : Permukaan halus, bagian atas hijau mengkilat, bawahnya pucat. Unit & Letak:
sederhana & berlawanan. Bentuk: lanset (seperti daun akasia) kadang elips.
Ujung: meruncing. Ukuran: 16 x 5 cm.

Bunga : Seperti trisula dengan gerombolan bunga (kuning) hampir di sepanjang ruas
tandan. Letak: di ujung/pada tangkai bunga. Formasi: bulir (ada 10-30 bunga
per tandan). Daun Mahkota: 4, kuning cerah, 3-4 mm. Kelopak Bunga: 5.
Benang sari: 4.

Buah : Seperti kerucut/cabe/mente. Hijau muda kekuningan. Ukuran: 4 x 2 cm.

Ekologi : Merupakan jenis pionir pada habitat rawa mangrove di lokasi pantai yang
terlindung, juga di bagian yang lebih asin di sepanjang pinggiran sungai yang
dipengaruhi pasang surut, serta di sepanjang garis pantai. Mereka umumnya
menyukai bagian muka teluk. Akarnya dilaporkan dapat membantu pengikatan
sedimen dan mempercepat proses pembentukan daratan. Perbungaan terjadi
sepanjang tahun. Genus ini kadang-kadang bersifat vivipar, dimana sebagian
buah berbiak ketika masih menempel di pohon.

Penyebaran : Ditemukan di seluruh Indonesia. Dari India sampai Indo Cina, melalui Malaysia
dan Indonesia hingga ke Filipina, PNG dan Australia tropis.

Kelimpahan : Melimpah.

Manfaat : Kayu bakar dan bahan bangunan bermutu rendah. Getah dapat digunakan untuk
mencegah kehamilan. Buah dapat dimakan.

468
Avicennia alba

daun bunga buah

d b

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

693
Avicennia eucalyptifolia (Zipp. ex Miq.) Moldenke AVICENNIACEAE

Nama setempat : Tidak diketahui.

Deskripsi umum : Semak atau pohon dengan ketinggian mencapai 17 meter. Kulit kayu luar
halus bercoreng-coreng, berwarna coklat kekuningan atau hijau, mengelupas
pada bagian-bagiannya yang tipis. Kulit kayu bagian dalam berwarna seperti
jerami padi sampai coklat pucat. Kayu berwarna putih sampai seperti jerami.

Daun : Permukaan bagian atas hijau muda sampai hijau tua atau hijau kecoklatan dan
kuning kehijauan pada bagian bawah. Unit & Letak: sederhana, berlawanan.
Bentuk: bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 4-16 cm x 1-4 cm.

Bunga : Tandan bunga membesar di ujung dengan panjang sampai 2,5 cm. Bunga
berdiameter 3-4 mm. Letak: di ujung. Formasi: bulir. Daun Mahkota: warna
putih, kuning atau merah muda. Kelopak Bunga: hijau pucat, panjang 2-5
mm, bagian luar berambut pendek. Benang sari: berwarna ungu tua hingga
coklat.

Buah : Setengah bagian atas dari bakal buah memiliki bulu. Buah berwarna kuning
kehijauan, tidak memiliki mulut buah yang nyata. Ukuran: Panjang kurang dari
3 cm.

Ekologi : Tumbuh di pulau-pulau lepas pantai yang berkarang, dan juga pada bagian pinggir
atau tengah daratan dari rawa mangrove. Seperti jenis lain pada genus ini,
mereka seringkali bersifat vivipar.

Penyebaran : Tercatat di Irian Jaya dan PNG.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Digunakan sebagai kayu bangunan dan kayu bakar.

Catatan : Bunganya mirip bunga Avicennia marina.

470
Avicennia eucalyptifolia

pohon

a. daun; b. pohon

713
Avicennia lanata (Ridley). AVICENNIACEAE

Nama setempat : Api-api, sia-sia

Deskripsi umum : Belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, dapat mencapai
ketinggian hingga 8 meter. Memiliki akar nafas dan berbentuk pensil. Kulit kayu
seperti kulit ikan hiu berwarna gelap, coklat hingga hitam.

Daun : Memiliki kelenjar garam, bagian bawah daun putih kekuningan dan ada rambut
halus. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips. Ujung: membundar
– agak meruncing. Ukuran: 9 x 5 cm.

Bunga : Bergerombol muncul di ujung tandan, bau menyengat. Letak: di ujung atau
ketiak tangkai/ tandan bunga. Formasi: bulir (8-14 bunga). Daun Mahkota:
4, kuning pucat-jingga tua, 4-5 mm. Kelopak Bunga: 5. Benang sari: 4

Buah : Buah seperti hati, ujungnya berparuh pendek dan jelas, warna hijau-agak
kekuningan. Permukaan buah berambut halus (seperti ada tepungnya). Ukuran:
sekitar 1,5 x 2,5 cm.

Ekologi : Tumbuh pada dataran lumpur, tepi sungai, daerah yang kering dan toleran
terhadap kadar garam yang tinggi. Diketahui (di Bali dan Lombok) berbunga
pada bulan Juli - Februari dan berbuah antara bulan November hingga Maret.

Penyebaran : Kalimantan, Bali, Lombok, Semenanjung Malaysia, Singapura.

Kelimpahan : Tidak diketahui.

Manfaat : Kayu bakar dan bahan bangunan.

472
Avicennia lanata

daun buah

pohon

a. bunga; b. buah; c. daun

733
Avicennia marina (Forsk.) Vierh. AVICENNIACEAE

Nama setempat : Api-api putih, api-api abang, sia-sia putih, sie-sie, pejapi, nyapi, hajusia, pai.

Deskripsi umum : Belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, ketinggian pohon
mencapai 30 meter. Memiliki sistem perakaran horizontal yang rumit dan
berbentuk pensil (atau berbentuk asparagus), akar nafas tegak dengan sejumlah
lentisel. Kulit kayu halus dengan burik-burik hijau-abu dan terkelupas dalam
bagian-bagian kecil. Ranting muda dan tangkai daun berwarna kuning, tidak
berbulu.

Daun : Bagian atas permukaan daun ditutupi bintik-bintik kelenjar berbentuk cekung.
Bagian bawah daun putih- abu-abu muda. Unit & Letak: sederhana &
berlawanan. Bentuk: elips, bulat memanjang, bulat telur terbalik. Ujung:
meruncing hingga membundar. Ukuran: 9 x 4,5 cm.

Bunga : Seperti trisula dengan bunga bergerombol muncul di ujung tandan, bau
menyengat, nektar banyak. Letak: di ujung atau ketiak tangkai/tandan bunga.
Formasi: bulir (2-12 bunga per tandan). Daun Mahkota: 4, kuning pucat-jingga
tua, 5-8 mm. Kelopak Bunga: 5. Benang sari: 4.

Buah : Buah agak membulat, berwarna hijau agak keabu-abuan. Permukaan buah
berambut halus (seperti ada tepungnya) dan ujung buah agak tajam seperti paruh.
Ukuran: sekitar 1,5x2,5 cm.

Ekologi : Merupakan tumbuhan pionir pada lahan pantai yang terlindung, memiliki
kemampuan menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasang-surut, bahkan
di tempat asin sekalipun. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang
paling umum ditemukan di habitat pasang-surut. Akarnya sering dilaporkan
membantu pengikatan sedimen dan mempercepat proses pembentukan tanah
timbul. Jenis ini dapat juga bergerombol membentuk suatu kelompok pada habitat
tertentu. Berbuah sepanjang tahun, kadang-kadang bersifat vivipar. Buah membuka
pada saat telah matang, melalui lapisan dorsal. Buah dapat juga terbuka karena
dimakan semut atau setelah terjadi penyerapan air.

Penyebaran : Tumbuh di Afrika, Asia, Amerika Selatan, Australia, Polynesia dan Selandia Baru.
Ditemukan di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Melimpah.

Manfaat : Daun digunakan untuk mengatasi kulit yang terbakar. Resin yang keluar dari kulit
kayu digunakan sebagai alat kontrasepsi. Buah dapat dimakan. Kayu menghasilkan
bahan kertas berkualitas tinggi. Daun digunakan sebagai makanan ternak.

Catatan : Sedang dilakukan revisi taksonomi. Backer & Bakhuizen van den Brink (1963-
8) hanya menyebutkan varietas A. intermedia (Griff.) Bakh.

474
Avicennia marina

daun bunga buah

d
b

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

753
Avicennia officinalis L. AVICENNIACEAE

Nama setempat : Api-api, api-api daun lebar, api-api ludat, sia-sia putih, papi, api-api kacang,
merahu, marahuf.

Deskripsi umum : Pohon, biasanya memiliki ketinggian sampai 12 m, bahkan kadang-kadang


sampai 20 m. Pada umumnya memiliki akar tunjang dan akar nafas yang tipis,
berbentuk jari dan ditutupi oleh sejumlah lentisel. Kulit kayu bagian luar memiliki
permukaan yang halus berwarna hijau-keabu-abuan sampai abu-abu-kecoklatan
serta memiliki lentisel.

Daun : Berwarna hijau tua pada permukaan atas dan hijau-kekuningan atau abu-abu-
kehijauan di bagian bawah. Permukaan atas daun ditutupi oleh sejumlah bintik-
bintik kelenjar berbentuk cekung. Unit & Letak: sederhana & berlawanan.
Bentuk: bulat telur terbalik, bulat memanjang-bulat telur terbalik atau elips-
bulat memanjang. Ujung: membundar, menyempit ke arah gagang. Ukuran:
12,5 x 6 cm.

Bunga : Susunan seperti trisula dengan bunga bergerombol muncul di ujung tandan,
bau menyengat. Daun mahkota bunga terbuka tidak beraturan, semakin tua
warnanya semakin hitam, seringkali tertutup oleh rambut halus dan pendek
pada kedua permukaannya. Letak: di ujung atau ketiak tangkai/tandan bunga.
Formasi: bulir (2-10 bunga per tandan). Daun Mahkota: 4; kuning-jingga, 10-
15 mm. Kelopak Bunga: 5. Benang sari: 4; lebih panjang dari daun mahkota
bunga.

Buah : Bentuk seperti hati, ujungnya berparuh pendek, warna kuning kehijauan.
Permukaan buah agak keriput dan ditutupi rapat oleh rambut-rambaut halus
yang pendek. Ukuran: Sekitar 2x3 cm.

Ekologi : Tumbuh di bagian pinggir daratan rawa mangrove, khususnya di sepanjang sungai
yang dipengaruhi pasang surut dan mulut sungai. Berbunga sepanjang tahun.

Penyebaran : Tersebar di seluruh Indonesia. Juga tersebar dari India selatan sampai Malaysia
dan Indonesia hingga PNG dan Australia timur.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Buah dapat dimakan. Kayunya dapat digunakan sebagai kayu bakar. Getah kayu
dapat digunakan sebagai bahan alat kontrasepsi.

476
Avicennia officinalis

buah

daun & bunga

b d

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

773
Bruguiera cylindrica (L.) Bl. RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Burus, tanjang, tanjang putih, tanjang sukim, tanjang sukun, lengadai, bius,
lindur.

Deskripsi umum : Pohon selalu hijau, berakar lutut dan akar papan yang melebar ke samping
di bagian pangkal pohon, ketinggian pohon kadang-kadang mencapai 23 meter.
Kulit kayu abu-abu, relatif halus dan memiliki sejumlah lentisel kecil.

Daun : Permukaan atas daun hijau cerah bagian bawahnya hijau agak kekuningan. Unit
& Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips. Ujung: agak meruncing.
Ukuran: 7-17 x 2-8 cm.

Bunga : Bunga mengelompok, muncul di ujung tandan (panjang tandan: 1-2 cm). Sisi
luar bunga bagian bawah biasanya memiliki rambut putih. Letak: di ujung
atau ketiak tangkai/tandan bunga. Formasi: di ujung atau ketiak tangkai/tandan
bunga. Daun Mahkota: putih, lalu menjadi coklat ketika umur bertambah, 3-
4 mm. Kelopak Bunga: 8; hijau kekuningan, bawahnya seperti tabung.

Buah : Hipokotil (seringkali disalah artikan sebagai “buah”) berbentuk silindris


memanjang, sering juga berbentuk kurva. Warna hijau didekat pangkal buah
dan hijau keunguan di bagian ujung. Pangkal buah menempel pada kelopak
bunga. Ukuran: Hipokotil: panjang 8-15 cm dan diameter 5-10 mm.

Ekologi : Tumbuh mengelompok dalam jumlah besar, biasanya pada tanah liat di belakang
zona Avicennia, atau di bagian tengah vegetasi mangrove kearah laut. Jenis
ini juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada tanah/substrat yang baru
terbentuk dan tidak cocok untuk jenis lainnya. Kemampuan tumbuhnya pada
tanah liat membuat pohon jenis ini sangat bergantung kepada akar nafas untuk
memperoleh pasokan oksigen yang cukup, dan oleh karena itu sangat responsif
terhadap penggenangan yang berkepanjangan. Memiliki buah yang ringan dan
mengapung sehinggga penyebarannya dapat dibantu oleh arus air, tapi
pertumbuhannya lambat. Perbungaan terjadi sepanjang tahun.

Penyebaran : Asia Tenggara dan Australia, seluruh Indonesia, termasuk Irian Jaya.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Untuk kayu bakar. Di beberapa daerah, akar muda dari embrionya dimakan
dengan gula dan kelapa. Para nelayan tidak menggunakan kayunya untuk
kepentingan penangkapan ikan karena kayu tersebut mengeluarkan bau yang
menyebabkan ikan tidak mau mendekat.

478
Bruguiera cylindrica

bunga buah

pohon

a. bunga; b. buah; c. daun

793
Bruguiera exaristata Ding Hou RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Tidak tahu.

Deskripsi umum : Semak atau pohon yang selalu hijau dengan ketinggian mencapai 10 m.
Kulit kayu berwarna abu-abu tua, pangkal batang menonjol, dan memiliki
sejumlah besar akar nafas berbentuk lutut.

Daun : Permukaan atas daun berwarna hitam, bagian bawah memiliki bercak-bercak,
tepi daun sering tergulung ke dalam. Unit & letak: sederhana & berlawanan.
Bentuk: bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 5,5-11,5 x 2,5 x4,5 cm.

Bunga : Bunga hijau-kekuningan, tepi daun mahkota memiliki rambut berwarna putih
dan kemudian akan rontok. Letak: di ketiak daun, menggantung. Formasi:
soliter. Daun mahkota: 8-10; panjang 10-13 mm. Kelopak bunga: 8-10; panjang
10-15 mm.

Buah : Hipokotil berbentuk tumpul, silindris agak menggelembung. Ukuran: Hipokotil:


panjang 5-7 cm dan diameter 6-8 mm

Ekologi : Tumbuh di sepanjang jalur air atau menuju bagian belakang lokasi mangrove.
Kadang-kadang ditemukan suatu kelompok yang hanya terdiri dari jenis tersebut.
Substrat yang cocok adalah tanah liat dan pasir. Toleran terhadap salinitas yang
tinggi. Hipokotil relatif kecil dan mudah tersebar oleh pasang surut atau banjir.
Anakan tumbuh tidak baik di bawah lindungan. Bunga dan buah terdapat
sepanjang tahun.

Penyebaran : Penyebaran terbatas. Diketahui dari Timor, Irian Jaya Selatan dan Australia Utara.

Kelimpahan : Cukup umum.

Manfaat : Tidak tahu.

Catatan : Pada masa lalu B. sexangula sering dikelirukan dengan jenis ini.

480
Bruguiera exaristata

a. bunga; b. buah; c. daun

813
Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Pertut, taheup, tenggel, putut, tumu, tomo, kandeka, tanjang merah, tanjang,
lindur, sala-sala, dau, tongke, totongkek, mutut besar, wako, bako, bangko, mangi-
mangi, sarau.

Deskripsi umum : Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian kadang-kadang mencapai 30 m.
Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar, berwarna abu-abu
tua sampai coklat (warna berubah-ubah). Akarnya seperti papan melebar ke samping
di bagian pangkal pohon, juga memiliki sejumlah akar lutut.

Daun : Daun berkulit, berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada
bagian bawahnya dengan bercak-bercak hitam (ada juga yang tidak). Unit &
Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips sampai elips-lanset. Ujung:
meruncing Ukuran: 4,5-7 x 8,5-22 cm.

Bunga : Bunga bergelantungan dengan panjang tangkai bunga antara 9-25 mm. Letak:
di ketiak daun, menggantung. Formasi: soliter. Daun Mahkota: 10-14; putih
dan coklat jika tua, panjang 13-16 mm. Kelopak Bunga: 10-14; warna merah
muda hingga merah; panjang 30-50.

Buah : Buah melingkar spiral, bundar melintang, panjang 2-2,5 cm. Hipokotil lurus,
tumpul dan berwarna hijau tua keunguan. Ukuran: Hipokotil: panjang 12-30
cm dan diameter 1,5-2 cm.

Ekologi : Merupakan jenis yang dominan pada hutan mangrove yang tinggi dan merupakan
ciri dari perkembangan tahap akhir dari hutan pantai, serta tahap awal dalam transisi
menjadi tipe vegetasi daratan. Tumbuh di areal dengan salinitas rendah dan kering,
serta tanah yang memiliki aerasi yang baik. Jenis ini toleran terhadap daerah
terlindung maupun yang mendapat sinar matahari langsung. Mereka juga tumbuh
pada tepi daratan dari mangrove, sepanjang tambak serta sungai pasang surut dan
payau. Ditemukan di tepi pantai hanya jika terjadi erosi pada lahan di hadapannya.
Substrat-nya terdiri dari lumpur, pasir dan kadang-kadang tanah gambut hitam.
Kadang-kadang juga ditemukan di pinggir sungai yang kurang terpengaruh air laut,
hal tersebut dimungkinkan karena buahnya terbawa arus air atau gelombang pasang.
Regenerasinya seringkali hanya dalam jumlah terbatas. Bunga dan buah terdapat
sepanjang tahun. Bunga relatif besar, memiliki kelopak bunga berwarna kemerahan,
tergantung, dan mengundang burung untuk melakukan penyerbukan.

Penyebaran : Dari Afrika Timur dan Madagaskar hingga Sri Lanka, Malaysia dan Indonesia
menuju wilayah Pasifik Barat dan Australia Tropis.

Kelimpahan : Umum dan tersebar luas.

Manfaat : Bagian dalam hipokotil dimakan (manisan kandeka), dicampur dengan gula. Kayunya
yang berwarna merah digunakan sebagai kayu bakar dan untuk membuat arang.

482
Bruguiera gymnorrhiza

daun & bunga

hipokotil

a. bunga; b. hipokotil; c. daun

833
Bruguiera hainessii C.G.Rogers RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Berus mata buaya.

Deskripsi umum : Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian mencapai 30 meter dan
batang berdiameter sekitar 70 cm. Kulit kayu berwarna coklat hingga abu-abu,
dengan lentisel besar berwarna coklat-kekuningan dari pangkal hingga puncak.

Daun : Daun berkulit, berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan di
bawahnya. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips sampai
bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 9-16 x 4-7 cm.

Bunga : Letak: Di ujung atau ketiak tangkai/tandan bunga (panjang tandan: 18-22 cm).
Formasi: kelompok (2-3 bunga per tandan. Daun Mahkota: putih, panjang
7-9 mm. Berambut pada tepi bawah dan agak berambut pada bagian atas
cuping. Kelopak Bunga: 10; hijau pucat; bagian bawah berbentuk tabung,
panjangnya 5 mm.

Buah : Hipokotil berbentuk cerutu atau agak melengkung dan menebal menuju bagian
ujung. Ukuran: Hipokotil: panjang 9 cm dan diameter 1 cm.

Ekologi : Tumbuh di tepi daratan hutan mangrove pada areal yang relatif kering dan hanya
tergenang selama beberapa jam sehari pada saat terjadi pasang tinggi.

Penyebaran : Dari India hingga Burma, Thailand, Malaysia, seluruh Indonesia dan Papua New
Guinea.

Kelimpahan : Agak kurang umum.

Manfaat : Tidak tahu.

484
Bruguiera hainessii

d
b a

a. bunga; b. buah/hipokotil; c. daun; d. pohon

853
Bruguiera parviflora (Roxb.) W.& A. ex Griff. RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Langgade, mengelangan, lenggadai, tanjang, bius, mou, paproti, sia-sia,
tongi.

Deskripsi umum : Berupa semak atau pohon kecil yang selalu hijau, tinggi (meskipun jarang)
dapat mencapai 20 m. Kulit kayu burik, berwarna abu-abu hingga coklat tua,
bercelah dan agak membengkak di bagian pangkal pohon. Akar lutut dapat
mencapai 30 cm tingginya.

Daun : Terdapat bercak hitam di bagian bawah daun dan berubah menjadi hijau-
kekuningan ketika usianya bertambah. Unit & Letak: sederhana & berlawanan.
Bentuk: elips. Ujung: meruncing. Ukuran: 5,5-13 x 2-4,5 cm.

Bunga : Bunga mengelompok di ujung tandan (panjang tandan: 2 cm). Letak: di ketiak
daun. Formasi: kelompok (3-10 bunga per tandan). Daun mahkota: 8; putih-
hijau kekuningan, panjang 1,5-2mm. Berambut pada tepinya. Kelopak Bunga:
8; menggelembung, warna hijau kekuningan; bagian bawah berbentuk tabung,
panjangnya 7-9 mm.

Buah : Buah melingkar spiral, panjang 2 cm. Hipokotil silindris, agak melengkung,
permukaannya halus, warna hijau kekuningan. Ukuran: Hipokotil: panjang 8-
15 cm dan diameter 0,5-1 cm.

Ekologi : Jenis ini membentuk tegakan monospesifik pada areal yang tidak sering tergenang.
Individu yang terisolasi juga ditemukan tumbuh di sepanjang alur air dan tambak
tepi pantai. Substrat yang cocok termasuk lumpur, pasir, tanah payau dan
bersalinitas tinggi. Di Australia, perbungaan tercatat dari bulan Juni hingga
September, dan berbuah dari bulan September hingga Desember. Hipokotilnya
yang ringan mudah untuk disebarkan melalui air, dan nampaknya tumbuh dengan
baik pada areal yang menerima cahaya matahari yang sedang hingga cukup.
Bunga dibuahi oleh serangga yang terbang pada siang hari, seperti kupu-kupu.
Daunnya berlekuk-lekuk, yang merupakan ciri khasnya, disebabkan oleh gangguan
serangga. Dapat menjadi sangat dominan di areal yang telah diambil kayunya
(misalnya Karang Gading-Langkat Timur Laut di Sumatera Utara; Giesen & Sukotjo,
1991).

Penyebaran : Dari Bangladesh hingga Samoa. Seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Tersebar, tetapi melimpah setempat.

Manfaat : Karena ukuran kayunya yang kecil, jenis ini jarang digunakan untuk keperluan
lain, kecuali untuk kayu bakar.

486
Bruguiera parviflora

bunga buah

pohon

a. bunga; b. buah/hipokotil; c. daun

873
Bruguiera sexangula (Lour.) Poir. RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Busing, busung, mata buaya, tumu, bakau tampusing, tanjang, lindur, ting,
tongke perampuan, ai bon, tancang sukun, mutut kecil, sarau.

Deskripsi umum : Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian kadang-kadang mencapai 30 m.
Kulit kayu coklat muda-abu-abu, halus hingga kasar, memiliki sejumlah lentisel
berukuran besar, dan pangkal batang yang membengkak. Akar lutut, dan kadang-
kadang akar papan.

Daun : Daun agak tebal, berkulit, dan memiliki bercak hitam di bagian bawah. Unit
& Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips. Ujung: meruncing. Ukuran:
8-16 x 3-6 cm.

Bunga : Letak: Di ketiak daun. Formasi: soliter (1 bunga per tandan). Daun makhota:
10-11; putih dan kecoklatan jika tua, panjang 15mm. Kadang berambut halus
pada tepinya. Kelopak bunga: 10-12; warna kuning kehijauan atau kemerahan
atau kecoklatan; panjang tabung 10-15 mm.

Buah : Hipokotil menyempit di kedua ujung. Ukuran: Hipokotil: panjang 6-12 cm


dan diameter 1,5 cm.

Ekologi : Tumbuh di sepanjang jalur air dan tambak pantai, pada berbagai tipe substrat
yang tidak sering tergenang. Biasanya tumbuh pada kondisi yang lebih basah
dibanding B. gymnorrhiza. Kadang-kadang terdapat pada pantai berpasir. Toleran
terhadap kondisi air asin, payau dan tawar. Perbungaan terjadi sepanjang tahun.
Bunganya yang besar diserbuki oleh burung. Hipokotil disebarkan melalui air.

Penyebaran : Dari India, Seluruh Asia Tenggara (termasuk Indonesia) hingga Australia utara.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Untuk kayu bakar, tiang dan arang. Buahnya dilaporkan digunakan untuk
mengobati penyakit herpes, akar serta daunnya digunakan untuk mengatasi kulit
terbakar. Di Sulawesi buahnya dimakan setelah direndam dan dididihkan.

Catatan : Sama dengan B. exaristata dan B. gymnorrhiza, dan di masa lalu seringkali
dikelirukan dengan kedua jenis tersebut. Identifikasi yang terbaik adalah melalui
daun mahkota.

488
Bruguiera sexangula

daun bunga buah

a. bunga; b. buah/hipokotil; c. daun

893
Camptostemon philippinense (Vidal) Becc. BOMBACACEAE

Nama setempat : Tidak diketahui.

Deskripsi umum : Tumbuhan berkayu lunak, berupa semak atau pohon yang selalu hijau,
kadang-kadang memiliki ketinggian hingga 30 m. Kulit kayu berwarna abu-abu
dan memiliki celah/retakan longitudinal serta pangkal batang yang bergalur.
Akar tersebar di sepanjang permukaan tanah, dan memiliki akar nafas yang
menonjol.

Daun : Permukaan daun bersisik. Unit & Letak: sederhana dan bersilangan. Bentuk:
lanset-elips. Ujung: membundar, pangkalnya sempit. Ukuran: 6-9 x 2-4 cm.

Bunga : Daun mahkota bunga berwarna putih, bersisik dan ditutupi oleh rambut pendek.
Letak: di ketiak daun dan batang. Formasi: bulir. Daun mahkota: putih.
Benang sari: 5.

Buah : Buah bundar berbentuk kapsul, bersisik, dan memiliki daun kelopak bunga dan
kelopak tambahan yang berurutan. Buah terdiri dari dua biji berbulu padat.
Ukuran: panjang buah 1 cm, panjang biji 9mm.

Ekologi : -

Penyebaran : Filipina, Kalimantan dan Sulawesi.

Kelimpahan : Tidak terlalu umum.

Manfaat : Tidak diketahui.

Catatan : Menurut Tomlinson (1986), kulit kayu dari jenis ini bersisik dan tanpa celah/
retakan.

490
Camptostemon philippinense

a. bunga; b. buah; c. daun

913
Camptostemon schultzii Masters BOMBACACEAE

Nama setempat : Tidak diketahui.

Deskripsi umum : Tumbuhan berkayu lunak, berupa semak atau pohon yang selalu hijau,
kadang-kadang memiliki ketinggian hingga 30 m dengan kulit kayu berwarna
kuning pucat, coklat atau coklat-keabu-abuan dan memiliki celah/retakan
longitudinal dan lentisel serta pangkal batang yang bergalur. Akar tersebar di
sepanjang permukaan tanah, dan memiliki akar nafas yang menonjol.

Daun : Daun berumbai-rumbai terletak pada akhir cabang, bagian bawah bersisik,
bagian atas halus. Unit & Letak: sederhana dan bersilangan. Bentuk: lanset-
elips. Ujung: membundar, pangkalnya sempit. Ukuran: 6-16 x 2-5 cm.

Bunga : Daun mahkota bersisik dan ditutupi oleh rambut pendek berwarna putih. Letak:
Di ketiak daun dan cabang. Formasi: bulir. Daun Makhota: putih. Kelopak
bunga: seperti cangkir, cuping panjangnya 6 mm. Benang sari: 20.

Buah : Buah bundar berbentuk kapsul, bersisik, dan memiliki daun kelopak bunga yang
bagian luarnya berurutan dan bersisik. Buah terdiri dari dua biji berbulu padat.
Ukuran: panjang buah 1 cm, panjang biji 9mm.

Ekologi : Tumbuh lebih baik di pantai berbatu dan terbuka dibandingkan dengan mangrove
di mulut sungai. Umumnya tumbuh pada pantai berpasir yang berada pada
kisaran areal pasang surut. Mungkin diserbuki oleh serangga dan angin. Berbunga
pada bulan Juni sampai Oktober, buah matang pada bulan Oktober sampai
Februari (di Australia). Buah dapat disebarkan melalui air (dengan kisaran
gelombang sedang), sementara bijinya yang berbulu disebarkan oleh air maupun
angin.

Penyebaran : Tercatat dari Kalimantan, Maluku, PNG dan Australia Utara.

Kelimpahan : Relatif umum.

Manfaat : Kayu dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas yang cukup kuat.

Catatan : Menurut Tomlinson (1986), kulit kayu dari jenis ini bersisik dan tanpa celah/
retakan.

492
Camptostemon schultzii

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

933
Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Tengal, tengar, tingi, tinci, palun, parun, bido-bido, kenyonyong, luru.

Deskripsi umum : Pohon atau semak kecil dengan ketinggian hingga 15 m. Kulit kayu berwarna
coklat, jarang berwarna abu-abu atau putih kotor, permukaan halus, rapuh dan
menggelembung di bagian pangkal.

Daun : Daun hijau mengkilap. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips-
bulat memanjang. Ujung: membundar. Ukuran: 3-10 x 1-4,5 cm.

Bunga : Bunga mengelompok, menempel dengan gagang yang pendek, tebal dan bertakik.
Letak: di ketiak daun. Formasi: kelompok (2-4 bunga per kelompok). Daun
mahkota: 5; putih dan kecoklatan jika tua, panjang 2,5-4mm. Kadang berambut
halus pada tepinya. Kelopak bunga: 5; warna hijau, ada lentisel dan berbintil.
Benang sari: tangkai benang sari pendek, sama atau lebih pendek dari kepala
sari.

Buah : Hipokotil berbentuk silinder, ujungnya menggelembung tajam dan berbintil,


warna hijau hingga coklat. Leher kotilodon jadi merah tua jika sudah matang/
dewasa. Ukuran: Hipokotil: panjang 15 cm dan diameter 8-12 mm.

Ekologi : Tumbuh tersebar di sepanjang hutan pasang surut, akan tetapi lebih umum pada
bagian daratan dari perairan pasang surut dan berbatasan dengan tambak pantai.
Menyukai substrat pasir atau lumpur. Perbungaan terjadi sepanjang tahun.

Penyebaran : Dari India hingga Indocina, Malaysia, Bangka, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Irian Jaya, Papua New Guinea, Filipina dan Australia.

Kelimpahan : Relatif jarang.

Manfaat : Jenis Ceriops memiliki kayu yang paling tahan/kuat diantara jenis-jenis mangrove
lainnya dan digunakan sebagai bahan bangunan, bantalan rel kereta api, serta
pegangan berbagai perkakas bangunan. Kulit kayu merupakan sumber yang bagus
untuk tanin serta bahan pewarna.

Catatan : Bentuk dan ukuran daun sangat beragam bergantung kepada kadar cahaya dan
air dimana suatu individu tumbuh.

494
Ceriops decandra

daun bunga buah & hipokotil

b
d

a. bunga; b. buah/hipokotil; c. daun; d. pohon

953
Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob. RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Tengar, tengah, tangar, tingih, tingi, palun, parun, bido-bido, lonro, mentigi,
tengar, tinci, mange darat, wanggo.

Deskripsi umum : Pohon kecil atau semak dengan ketinggian mencapai 25 m. Kulit kayu
berwarna abu-abu, kadang-kadang coklat, halus dan pangkalnya menggelembung.
Pohon seringkali memiliki akar tunjang yang kecil.

Daun : Daun hijau mengkilap dan sering memiliki pinggiran yang melingkar ke dalam.
Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat telur terbalik-elips. Ujung:
membundar. Ukuran: 1-10 x 2-3,5 cm.

Bunga : Bunga mengelompok di ujung tandan. Gagang bunga panjang dan tipis, berresin
pada ujung cabang baru atau pada ketiak cabang yang lebih tua. Letak: di
ketiak daun. Formasi: kelompok (5-10 bunga per kelompok). Daun mahkota:
5; putih dan kemudian jadi coklat. Kelopak bunga: 5; warna hijau, panjang 4-
5mm, tabung 2mm. Benang sari: tangkai benang sari lebih panjang dari kepala
sarinya yang tumpul.

Buah : Buah panjangnya 1,5-2 cm, dengan tabung kelopak yang melengkung. Hipokotil
berbintil, berkulit halus, agak menggelembung dan seringkali agak pendek. Leher
kotilodon menjadi kuning jika sudah matang/dewasa. Ukuran: Hipokotil: panjang
4-25 cm dan diameter 8-12 mm.

Ekologi : Membentuk belukar yang rapat pada pinggir daratan dari hutan pasang surut
dan/atau pada areal yang tergenang oleh pasang tinggi dengan tanah memiliki
sistem pengeringan baik. Juga terdapat di sepanjang tambak. Menyukai substrat
tanah liat, dan kemungkinan berdampingan dengan C.decandra. Perbungaan
terjadi sepanjang tahun.

Penyebaran : Dari Mozambik hingga Pasifik Barat, termasuk Australia Utara, Malaysia dan
Indonesia.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Ekstrak kulit kayu bermanfaat untuk persalinan. Tanin dihasilkan dari kulit kayu.
Pewarna dihasilkan dari kulit kayu dan kayu. Kayu bermanfaat untuk bahan
bangunan, bantalan rel kereta api, dan pegangan perkakas, karena ketahanannya
jika direndam dalam air garam. Bahan kayu bakar yang baik serta merupakan
salah satu kayu terkuat diantara jenis-jenis mangrove.

Catatan : Dilaporkan bahwa anakan jenis ini dapat membelah menjadi dua, dan regenerasi
mereka dapat terjadi melalui salah satu anakan tersebut.

496
Ceriops tagal

bunga

buah & hipokotil

a
c

a. bunga; b. buah/hipokotil; c. daun

973
Excoecaria agallocha L. EUPHORBIACEAE

Nama setempat : Buta-buta, menengan, madengan, kayu wuta, sambuta, kalapinrang, mata
huli, makasuta, goro-goro raci, kalibuda, betuh, warejit, bebutah.
Deskripsi umum : Pohon merangas kecil dengan ketinggian mencapai 15 m. Kulit kayu berwarna
abu-abu, halus, tetapi memiliki bintil. Akar menjalar di sepanjang permukaan tanah,
seringkali berbentuk kusut dan ditutupi oleh lentisel. Batang, dahan dan daun
memiliki getah (warna putih dan lengket) yang dapat mengganggu kulit dan mata.
Daun : Hijau tua dan akan berubah menjadi merah bata sebelum rontok, pinggiran
bergerigi halus, ada 2 kelenjar pada pangkal daun. Unit & Letak: sederhana,
bersilangan. Bentuk: elips. Ujung: meruncing. Ukuran: 6,5-10,5 x 3,5-5 cm.
Bunga : Memiliki bunga jantan atau betina saja, tidak pernah keduanya. Bunga jantan
(tanpa gagang) lebih kecil dari betina, dan menyebar di sepanjang tandan. Tandan
bunga jantan berbau, tersebar, berwarna hijau dan panjangnya mencapai 11
cm. Letak: di ketiak daun. Formasi: bulir. Daun mahkota: hijau & putih.
Kelopak bunga: hijau kekuningan. Benang sari: 3; kuning.
Buah : Bentuk seperti bola dengan 3 tonjolan, warna hijau, permukaan seperti kulit,
berisi biji berwarna coklat tua. Ukuran: diameter 5-7mm.
Ekologi : Tumbuhan ini sepanjang tahun memerlukan masukan air tawar dalam jumlah
besar. Umumnya ditemukan pada bagian pinggir mangrove di bagian daratan,
atau kadang-kadang di atas batas air pasang. Jenis ini juga ditemukan tumbuh
di sepanjang pinggiran danau asin (90% air laut) di pulau vulkanis Satonda,
sebelah utara Sumbawa. Mereka umum ditemukan sebagai jenis yang tumbuh
kemudian pada beberapa hutan yang telah ditebang, misalnya di Suaka
Margasatwa. Karang-Gading Langkat Timur Laut, dekat Medan, Sumatera Utara.
Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Penyerbukan dilakukan oleh serangga,
khususnya lebah. Hal ini terutama diperkirakan terjadi karena adanya serbuk
sari yang tebal serta kehadiran nektar yang memproduksi kelenjar pada ujung
pinak daun di bawah bunga.
Penyebaran : Tumbuh di sebagian besar wilayah Asia Tropis, termasuk di Indonesia, dan di Australia.
Kelimpahan : Melimpah setempat.
Manfaat : Akar dapat digunakan untuk mengobati sakit gigi dan pembengkakan. Kayu
digunakan untuk bahan ukiran. Kayu tidak bisa digunakan sebagai kayu bakar
karena bau wanginya tidak sedap bagi masakan. Kayu dapat digunakan sebagai
bahan pembuat kertas yang bermutu baik. Getah digunakan untuk membunuh
ikan. Kayunya kadang-kadang dijual karena wanginya, akan tetapi wanginya akan
hilang beberapa tahun kemudian.
Catatan : Getah putihnya beracun dan dapat menyebabkan kebutaan sementara, sesuai
dengan namanya, yaitu buta-buta.

498
Excoearia agallocha

bunga buah

daun

a. bunga; b. buah/hipokotil; c. daun; d. pohon

993
Gymnanthera paludosa (Bl.) K.Schum. ASCLEPIADACEAE

Nama setempat : Tidak tahu.

Deskripsi umum : Semak pemanjat, hingga 4 m. Batang ditutupi oleh tonjolan. Pada umumnya
tidak berambut, tetapi memiliki rambut pendek, halus di bagian atas.

Daun : Daun halus, tipis. Unit & Letak: sederhana, bersilangan. Bentuk: elips-bulat
memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 3-5,5 x 1-2 cm.

Bunga : Di antara pasangan tangkai daun, panjang tangkai bunga kurang dari 2 cm.
Formasi: kelompok. Daun mahkota: halus, hijau kekuningan, memiliki tabung
memanjang 7-8 mm, diameter 16-18 mm.

Buah : Buah tipis, berpasangan dan berpengait di ujungnya. Biji berlunas dan halus tetapi
memiliki rambut panjangnya 2-2,5 cm. Ukuran: panjang biji 5mm, panjang buah
10,5-12 cm.

Ekologi : Tumbuh di mangrove. Bunga dari Oktober - Maret.

Distribusi : Tercatat dari Jawa dan Madura, tetapi kemungkinan ditemukan di seluruh
Indonesia.

Kelimpahan : Tidak tahu.

Manfaat : Tidak tahu.

4100
Gymnanthera paludosa

daun & buah

a. bunga; b. buah; c. daun

1013
Heritiera globosa Kostermans STERCULIACEAE

Nama setempat : Dungun.

Deskripsi umum : Sangat menyerupai Heritiera littoralis (lihat deskripsi berikut), perbedaannya
terletak pada buah yang bundar dan tangkai daun yang lebih panjang. Memiliki
ujung daun ventral yang dangkal, memanjang pada ujung jauh menuju mulut
atau sayapnya, dimana sayap selalu agak melengkung yang merupakan
kekhasannya. Gagang daun lebih panjang dari 2 cm dan mungkin lebih dari
4 cm. Akar papan berkembang baik dan menyerupai ular, memanjang 2-4 m
dari pangkal batang.

Ekologi : Tumbuh di belakang zona jalur mangrove, tetapi juga telah dikoleksi di tempat
sejauh 70 km dari laut, pada sistem sungai air tawar yang dipengaruhi oleh
pasang surut.

Penyebaran : Sarawak, Sabah dan Kalimantan, akan tetapi kemungkinan memiliki penyebaran
yang lebih luas.

Kelimpahan : Relatif umum setempat.

Manfaat : Memiliki kayu yang kuat dan berat.

4102
Heritiera globosa

a. bunga; b. buah; c. daun

1033
Heritiera littoralis Dryand. ex W.Ait. STERCULIACEAE

Nama setempat : Dungu, dungun, atung laut, lawanan kete, rumung, balang pasisir, lawang,
cerlang laut, lulun, rurun, belohila, blakangabu, bayur laut.

Deskripsi umum : Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian mencapai 25 m. Akar papan
berkembang sangat jelas. Kulit kayu gelap atau abu-abu, bersisik dan bercelah.
Individu pohon memiliki salah satu bunga betina atau jantan.

Daun : Kukuh, berkulit, berkelompok pada ujung cabang, Gagang daun panjangnya
0,5-2 cm. Warna daun hijau gelap bagian atas dan putih-keabu-abuan di bagian
bawah karena adanya lapisan yang bertumpang-tindih. Unit & letak: sederhana,
bersilangan. Bentuk: bulat telur-elips. Ujung: meruncing. Ukuran: 10-20 x
5-10 cm, kadang sampai 30 x 15-18 cm.

Bunga : Bunga jantan lebih banyak, tetapi lebih kecil dibanding bunga betina (pada
pohon yang berbeda !). Tandan bunga berambut (terutama pada bagian ketiak
daun dan ujung cabang). Letak: di ujung atau di ketiak. Formasi: bergerombol
bebas. Daun mahkota: ungu dan coklat; panjang 4-5 mm. Kelopak bunga:
4-5; seperti mangkok, kemerahan dan berambut.

Buah : Buah berwarna hijau hingga coklat mengkilat, berkayu. Memiliki 1 biji dan
masak pada tandan yang tergantung. Ukuran: panjang 6-8 cm; lebar 5-6 cm.

Ekologi : Sangat umum tumbuh di tepi daratan hutan mangrove, dan mungkin juga
menempati bagian tepi atau berdekatan dengan hutan dataran rendah, atau pantai
berkarang. Nampaknya tidak toleran terhadap salinitas yang tinggi dan tidak
tumbuh pada lokasi yang sangat terbuka atau kurang adanya pengeringan.
Perbungaan terjadi sepanjang tahun.

Penyebaran : Seluruh Indonesia. Dari Afrika timur dan Madagaskar hingga Australia dan Pasifik
sejauh Kaledonia baru.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Kayu bakar yang baik. Kayu tahan lama dan digunakan untuk bahan perahu,
rumah, tiang telepon. Buah digunakan untuk mengobati diare dan disentri. Biji
digunakan untuk pengolahan ikan.

4104
Heritiera littoralis

buah muda

bunga
buah tua
pohon

a. bunga; b. buah; c. daun

1053
Kandelia candel (L.) Druce RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Berus-berus, beras-beras, beus, pulut-pulut, pisang-pisang Laut.

Deskripsi umum : Semak atau pohon kecil, tinggi hingga 7 meter dengan pangkal batang
lebih tebal. Umumnya tanpa akar nafas. Kulit kayu berwarna keabu-abuan hingga
coklat-kemerahan, permukaan halus dan memiliki lentisel.

Daun : Tepi daun mengkerut kedalam. Unit & Letak: sederhana dan bersilangan.
Bentuk: elips-bulat memanjang. Ujung: membundar hingga sedikit runcing.

Bunga : Tandan bunga bercabang dua, memiliki 4 dan kadang-kadang 9 bunga berwarna
putih, panjangnya 1,5-2 cm. Kelopak bunga: tabung daun kelopak bunga melebihi
bakal buah dan memiliki cuping sejajar yang melengkung ketika bunga mekar
penuh. Daun mahkota: panjangnya 14 mm. Benang sari: banyak dan berbentuk
filamen.

Buah : Berwarna hijau berbentuk oval, panjang 1,5-2,5 cm. Hipokotil silindris panjangnya
15-40 cm.

Ekologi : Tumbuh secara sporadis pada pematang sungai pasang surut. Menempati relung
yang sempit.

Penyebaran : Timur Laut Sumatera, Kalimantan Barat dan Utara. India, Burma, Thailand,
Indo Cina, Cina, Taiwan, Jepang Selatan dan Malaysia.

Kelimpahan : Sangat terbatas dan jarang.

Manfaat : Utamanya untuk kayu bakar.

4106
Kandelia candel

daun & bunga


buah/hipokotil

a. bunga; b. buah/hipokotil; c. daun

1073
Lumnitzera littorea (Jack) Voigt COMBRETACEAE

Nama setempat : Teruntum (merah), api-api uding, sesop, sesak, geriting, randai, riang laut,
taruntung, duduk agung, duduk gedeh, welompelong, posi-posi, ma gorago,
kedukduk.

Deskripsi umum : Pohon selalu hijau dan tumbuh tersebar, ketinggian pohon dapat mencapai
25 m, meskipun pada umumnya lebih rendah. Akar nafas berbentuk lutut,
berwarna coklat tua dan kulit kayu memiliki celah/retakan membujur
(longitudinal).

Daun : Daun agak tebal berdaging, keras/kaku, dan berumpun pada ujung dahan. Panjang
tangkai daun mencapai 5 mm. Unit & Letak: sederhana, bersilangan. Bentuk:
bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 2-8 x 1-2,5 cm.

Bunga : Bunga biseksual, berwarna merah cerah, harum, dan dipenuhi oleh nektar.
Panjang tangkai bunga mencapai 3 mm, tandan 2-3 cm. Memiliki dua buah
pinak daun berbentuk bulat telur dan berukuran 1 mm pada bagian pangkalnya.
Letak: di ujung. Formasi: bulir. Daun mahkota: 5; merah, 4-6 x 1,5-2 mm.
Kelopak bunga: 5; hijau 1 x-12 mm. Benang sari: <10; Panjang benang sari
dua kali ukuran daun mahkota.
Buah : Buah berbentuk seperti pot/jambangan tempat bunga/elips, berwarna hijau keunguan,
agak keras dan bertulang. Ukuran: panjang 9-20mm; Diameter 4-5 mm.

Ekologi : Menyukai substrat halus dan berlumpur pada bagian pinggir daratan di daerah
mangrove, dimana penggenangan jarang terjadi. Mereka juga terdapat pada jalur
air yang memiliki pasokan air tawar yang kuat dan tetap. Perbungaan terjadi
sepanjang tahun. Produksi nektar, warna bunga serta morfologi dan lokasinya
menunjukkan bahwa penyerbukannya dibantu oleh burung. Buah yang ringan
dan dapat mengapung sangat menunjang penyebaran mereka melalui air.

Penyebaran : Daerah tropis Asia, Indonesia, Australia Utara dan Polinesia. Tidak terdapat,
atau kalaupun ada, sangat jarang dijumpai di pantai-pantai di Jawa.

Kelimpahan : Melimpah setempat dan kadang-kadang tumbuh dalam bentuk kelompok.

Manfaat : Kayunya kuat dan sangat tahan terhadap air. Dengan penampilannya yang
menarik dan memiliki wangi seperti mawar, maka kayunya sangat cocok untuk
dijadikan sebagai bahan pembuatan lemari dan furnitur lainnya. Sayangnya, kayu
berukuran besar sangat jarang ditemukan.

Catatan : Meskipun ditemukan di seluruh Malaysia dan Indonesia, L. littorea dan L.


racemosa tidak pernah ditemukan pada habitat dan lokasi yang sama. Penyebab
persis dari perbedaan karakter ekologis tersebut sampai saat ini belum diketahui.

4108
Lumnitzera littorea

daun bunga buah

a
b
d

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

1093
Lumnitzera racemosa Willd. var. racemosa COMBRETACEAE

Nama setempat : Api-api balah, susup, lasi, duduk laki-laki, api-api jambu, teruntum, adu-
adu, duduk, knias, saman-sigi, kedukduk, truntun.

Deskripsi umum : Belukar atau pohon kecil, selalu hijau dengan ketinggian mencapai 8 m.
Kulit kayu berwarna coklat-kemerahan, memiliki celah/retakan longitudinal
(khususnya pada batang yang sudah tua), dan tidak memiliki akar nafas.

Daun : Daun agak tebal berdaging, keras/kaku, dan berumpun pada ujung dahan. Panjang
tangkai daun mencapai 10 mm. Unit & Letak: sederhana, bersilangan. Bentuk:
bulat telur menyempit. Ujung: membundar. Ukuran: 2-10 x 1-2,5 cm.

Bunga : Bunga biseksual, tanpa gagang, berwarna putih cerah, dipenuhi oleh nektar.
Panjang tandan 1-2 cm. Memiliki dua pinak daun berbentuk bulat telur,
panjangnya 1,5 mm pada bagian pangkalnya. Letak: di ujung atau di ketiak.
Formasi: bulir. Daun mahkota: 5; putih, 2-4 x 7-8 mm. Kelopak bunga: 5;
hijau (6-8 mm). Benang sari: <10; Panjang benang sari sama atau sedikit
lebih panjang dari daun mahkota.

Buah : Buah berbentuk kembung/elips, berwarna hijau kekuningan, berserat, berkayu


dan padat. Ukuran: panjang 7-12 mm; Diameter 3-5 mm.

Ekologi : Tumbuh di sepanjang tepi vegetasi mangrove. Menyukai substrat berlumpur padat.
Mereka juga terdapat di sepanjang jalur air yang dipengaruhi oleh air tawar.
Bunga putih, agak harum dan kaya akan nektar, diserbuki oleh serangga. Buah
berserat teradaptasi untuk penyebaran melalui air.

Penyebaran : Dari bagian timur Afrika tropis dan Madagaskar sampai Malaysia, di seluruh
Indonesia, PNG, Australia utara dan Polinesia. Hampir tidak ditemukan di
sepanjang pantai yang menghadap Samudera India.

Kelimpahan : Agak umum.

Manfaat : Kayunya keras dan tahan lama, cocok untuk berbagai keperluan bahan bangunan,
seperti jembatan, kapal, furnitur dan sebagainya. Ukurannya lebih kecil dari L.
littorea, sehingga sangat jarang ditemukan kayu yang berukuran besar. Kulit
kayu kadang-kadang digunakan sebagai bahan pelapis.

Catatan : Meskipun ditemukan di seluruh Malaysia dan Indonesia, L. littorea dan L.


racemosa tidak pernah ditemukan pada habitat dan lokasi yang sama. Penyebab
persis dari perbedaan karakter ekologis tersebut sampai saat ini belum diketahui.
Cuping daun kelopak bunga dengan ujung berkelenjar ditemukan di Irian Jaya,
PNG dan Filipina. Bahan bakar yang baik.

4110
Lumnitzera racemosa

daun bunga buah

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

1113
Nypa fruticans Wurmb. ARECACEAE

Nama setempat : Nipah, tangkal daon, buyuk, lipa.

Deskripsi umum : Palma tanpa batang di permukaan, membentuk rumpun. Batang terdapat
di bawah tanah, kuat dan menggarpu. Tinggi dapat mencapai 4-9 m.

Daun : Seperti susunan daun kelapa. Panjang tandan/gagang daun 4 - 9 m. Terdapat


100 - 120 pinak daun pada setiap tandan daun, berwarna hijau mengkilat di
permukaan atas dan berserbuk di bagian bawah. Bentuk: lanset. Ujung:
meruncing. Ukuran: 60-130 x 5-8 cm.

Bunga : Tandan bunga biseksual tumbuh dari dekat puncak batang pada gagang sepanjang
1-2 m. Bunga betina membentuk kepala melingkar berdiameter 25-30 cm. Bunga
jantan kuning cerah, terletak di bawah kepala bunganya.

Buah : Buah berbentuk bulat, warna coklat, kaku dan berserat. Pada setiap buah terdapat
satu biji berbentuk telur. Ukuran: diameter kepala buah: sampai 45 cm.
Diameter biji: 4-5 cm.

Ekologi : Tumbuh pada substrat yang halus, pada bagian tepi atas dari jalan air.
Memerlukan masukan air tawar tahunan yang tinggi. Jarang terdapat di luar
zona pantai. Biasanya tumbuh pada tegakan yang berkelompok. Memiliki sistem
perakaran yang rapat dan kuat yang tersesuaikan lebih baik terhadap perubahan
masukan air, dibandingkan dengan sebagian besar jenis tumbuhan mangrove
lainnya. Serbuk sari lengket dan penyerbukan nampaknya dibantu oleh lalat
Drosophila. Buah yang berserat serta adanya rongga udara pada biji membantu
penyebaran mereka melalui air. Kadang-kadang bersifat vivipar.

Distribusi : Asia Tenggara, Malaysia, seluruh Indonesia, Papua New Guinea, Filipina, Australia
dan Pasifik Barat.

Kelimpahan : Umum, sangat umum setempat.

Manfaat : Sirup manis dalam jumlah yang cukup banyak dapat dibuat dari batangnya, jika
bunga diambil pada saat yang tepat. Digunakan untuk memproduksi alkohol
dan gula. Jika dikelola dengan baik, produksi gula yang dihasilkan lebih baik
dibandingkan dengan gula tebu, serta memiliki kandungan sukrosa yang lebih
tinggi. Daun digunakan untuk bahan pembuatan payung, topi, tikar, keranjang
dan kertas rokok. Biji dapat dimakan. Setelah diolah, serat gagang daun juga
dapat dibuat tali dan bulu sikat.

Catatan : Serbuk sari dari jenis ini telah ditemukan sejak jaman Cretaceous atas, 65-70
juta tahun yang lalu. Nypa telah dikenal di Australia sejak awal jaman Tertiary.

4112
Nypa fruticans

buah

bunga

pohon

1133
Osbornia octodonta F.v.M. MYRTACEAE

Nama setempat : Baru-baru.

Deskripsi umum : Berupa pohon atau belukar dengan ketinggian dapat mencapai 7 meter,
selalu hijau, tangkai/dahannya tunggal atau berjumlah banyak. Kadang-kadang
memiliki akar nafas. Kulit kayu berwarna coklat atau abu-abu, berserat dan
berserabut. Ranting halus berwarna abu-abu pucat dan berbentuk segi empat pada
saat muda. Individu yang lebih besar memiliki batang yang berlubang di tengahnya.

Daun : Berkulit tipis, menimbulkan aroma pada saat disentuh, ada kelenjar minyak yang
tembus cahaya dan berukuran kecil serta ada pembengkakan pada gagang daun
sepanjang 2 mm yang berwarna merah. Unit & Letak: sederhana, bersilangan.
Bentuk: bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 2,5-5 x 1-3 cm.

Bunga : Biseksual. Dalam satu tandan terdapat 1-3 bunga yang bergerombol, bunga tidak
bertangkai tapi langsung menempel pada tandan. Terdapat 2 pinak daun
berbentuk elips, panjang 6 mm, terletak pada pangkal gagang bunga. Pinak
daun tersebut kemudian rontok. Letak: di ketiak daun. Formasi: kelompok.
Daun mahkota: Tidak ada. Kelopak bunga: 8; hijau (3-6 mm). Benang sari:
berwarna putih hingga kuning, jumlahnya sampai 48 helai, ukurannya lebih
panjang dibanding cuping kelopak bunga.

Buah : Buah ditutupi oleh cuping kelopak bunga dan kelopak tidak membuka pada
saat telah matang. Biji berjumlah 1-2, berbentuk datar dan bulat telur terbalik.
Ukuran: panjang 5-10 mm; diameter 5 mm.

Ekologi : Tumbuh di tempat yang lebih terbuka pada tepi daratan di daerah mangrove
atau pada pinggiran alur air yang dipengaruhi oleh pasang surut. Tidak memiliki
ketergantungan khusus terhadap substrat tumbuh, dan dapat ditemukan pada
lumpur halus, batuan, dan pasir. Meskipun demikian, jenis tumbuhan ini tidak
ditemukan tumbuh pada daerah yang kerap tergenang oleh air tawar. Di Australia
jenis ini ditemukan berbunga dari bulan Juni sampai Desember dengan puncaknya
pada bulan November dan berbuah pada bulan Februari. Bunga diserbuki oleh
serangga. Buah disebarkan lewat air dan terapung di air karena adanya rambut-
rambut yang dapat memerangkap udara.

Penyebaran : Di Indonesia (Irian Jaya, Sulawesi, Jawa Timur, Kepulauan Sunda Kecil),
Kalimantan Utara, Filipina, Papua New Guinea, Australia Tropis.

Kelimpahan : Tidak tahu.

Manfaat : Para nelayan menggunakan daunnya untuk mengusir serangga. Kulit kayu kadang-
kadang digunakan untuk menambal perahu dan kayunya tahan lama.

4114
Osbornia octodonta

bunga buah

d
c

a. bunga; b. buah; c. daun; d, pohon

1153
Phemphis acidula LYTHRACEAE

Nama setempat : Sentigi, centigi, mentigi, cantinggi.

Deskripsi umum : Pohon/belukar, menyebar rimbun/melebar di permukaan tanah, dengan


ketinggian hingga 3 m. Kulit kayu berwarna abu-abu hingga coklat. Akar nafas
tidak terlalu berkembang.

Daun : Tebal (hingga 3 mm) berdaging, kaku, berkulit dan agak melengkung/tertekuk
ke dalam. Unit & Letak: sederhana dan berlawanan. Bentuk: elip hingga bulat
telur terbalik. Ujung: membundar hingga menajam tumpul. Ukuran: panjang
1-3 cm.

Bunga : Berbentuk lonceng. Letak: di ketiak daun. Formasi: berkelompok (ada 1 hingga
beberapa bunga per kelompok). Daun mahkota: 6, putih bersih, bagian
tengahnya agak keunguan-kekuningan. Kelopak bunga: 12, berwarna hijau.
Benang sari: jumlahnya 12 - 18.

Buah : Berbentuk seperti mangkuk es krim, warna coklat, permukaannya berambut, di


dalamnya terdapat 20-30 biji yang sangat kecil. Ukuran: diameter buah 3-5
mm, panjang 10 mm.

Ekologi : Sering dijumpai tumbuh pada pantai berpasir, pada tepi/lereng pematang tambak
atau tepi saluran air yang masih terkena jangkauan pasang surut.

Penyebaran : Kemungkinan di seluruh Indonesia. Setidaknya tercatat di Bali dan Lombok.

Kelimpahan : Tidak diketahui.

Manfaat : Tidak diketahui.

4116
Phemphis acidula

daun, buah & bunga

pohon

a
d

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

1173
Rhizophora apiculata Bl. RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Bakau minyak, bakau tandok, bakau akik, bakau puteh, bakau kacang,
bakau leutik, akik, bangka minyak, donggo akit, jankar, abat, parai, mangi-mangi,
slengkreng, tinjang, wako.

Deskripsi umum : Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai
50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter,
dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu
berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah.

Daun : Berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan kemerahan
di bagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm dan warnanya kemerahan.
Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips menyempit. Ujung:
meruncing. Ukuran: 7-19 x 3,5-8 cm.

Bunga : Biseksual, kepala bunga kekuningan yang terletak pada gagang berukuran <14
mm. Letak: Di ketiak daun. Formasi: kelompok (2 bunga per kelompok).
Daun mahkota: 4; kuning-putih, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm. Kelopak
bunga: 4; kuning kecoklatan, melengkung. Benang sari: 11-12; tak bertangkai.

Buah : Buah kasar berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir, warna coklat,
panjang 2-3,5 cm, berisi satu biji fertil. Hipokotil silindris, berbintil, berwarna
hijau jingga. Leher kotilodon berwarna merah jika sudah matang. Ukuran:
Hipokotil panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm.

Ekologi : Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang
normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan
pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di
suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan
air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan akarnya dapat tumbuh secara
abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting dapat
juga menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu kulit akar anakan.
Tumbuh lambat, tetapi perbungaan terdapat sepanjang tahun.

Penyebaran : Sri Lanka, seluruh Malaysia dan Indonesia hingga Australia Tropis dan Kepulauan
Pasifik.

Kelimpahan : Melimpah di Indonesia, tersebar jarang di Australia.

Manfaat : Kayu dimanfaatkan untuk bahan bangunan, kayu bakar dan arang. Kulit kayu
berisi hingga 30% tanin (per sen berat kering). Cabang akar dapat digunakan
sebagai jangkar dengan diberati batu. Di Jawa acapkali ditanam di pinggiran
tambak untuk melindungi pematang. Sering digunakan sebagai tanaman
penghijauan.

4118
Rhizophora apiculata

daun bunga buah & hipokotil

b
c

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

1193
Rhizophora mucronata Lmk. RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Bangka itam, dongoh korap, bakau hitam, bakau korap, bakau merah,
jankar, lenggayong, belukap, lolaro.

Deskripsi umum : Pohon dengan ketinggian mencapai 27 m, jarang melebihi 30 m. Batang


memiliki diameter hingga 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap hingga hitam
dan terdapat celah horizontal. Akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari
percabangan bagian bawah.

Daun : Daun berkulit. Gagang daun berwarna hijau, panjang 2,5-5,5 cm. Pinak daun
terletak pada pangkal gagang daun berukuran 5,5-8,5 cm. Unit & Letak:
sederhana & berlawanan. Bentuk: elips melebar hingga bulat memanjang.
Ujung: meruncing. Ukuran: 11-23 x 5-13 cm.

Bunga : Gagang kepala bunga seperti cagak, bersifat biseksual, masing-masing menempel
pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Letak: di ketiak daun. Formasi:
Kelompok (4-8 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4;putih, ada rambut.
9 mm. Kelopak bunga: 4; kuning pucat, panjangnya 13-19 mm. Benang sari:
8; tak bertangkai.

Buah : Buah lonjong/panjang hingga berbentuk telur berukuran 5-7 cm, berwarna hijau-
kecoklatan, seringkali kasar di bagian pangkal, berbiji tunggal. Hipokotil silindris,
kasar dan berbintil. Leher kotilodon kuning ketika matang. Ukuran: Hipokotil:
panjang 36-70 cm dan diameter 2-3 cm.

Ekologi : Di areal yang sama dengan R.apiculata tetapi lebih toleran terhadap substrat
yang lebih keras dan pasir. Pada umumnya tumbuh dalam kelompok, dekat
atau pada pematang sungai pasang surut dan di muara sungai, jarang sekali
tumbuh pada daerah yang jauh dari air pasang surut. Pertumbuhan optimal
terjadi pada areal yang tergenang dalam, serta pada tanah yang kaya akan humus.
Merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang paling penting dan paling
tersebar luas. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Anakan seringkali dimakan
oleh kepiting, sehingga menghambat pertumbuhan mereka. Anakan yang telah
dikeringkan dibawah naungan untuk beberapa hari akan lebih tahan terhadap
gangguan kepiting. Hal tersebut mungkin dikarenakan adanya akumulasi tanin
dalam jaringan yang kemudian melindungi mereka.

Penyebaran : Afrika Timur, Madagaskar, Mauritania, Asia tenggara, seluruh Malaysia dan
Indonesia, Melanesia dan Mikronesia. Dibawa dan ditanam di Hawaii.

Manfaat : Kayu digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Tanin dari kulit kayu digunakan
untuk pewarnaan, dan kadang-kadang digunakan sebagai obat dalam kasus
hematuria (perdarahan pada air seni). Kadang-kadang ditanam di sepanjang
tambak untuk melindungi pematang.

4120
Rhizophora mucronata

daun bunga

a
buah & hipokotil
b

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

1213
Rhizophora stylosa Griff. RHIZOPHORACEAE

Nama setempat : Bakau, bako-kurap, slindur, tongke besar, wako, bangko.

Deskripsi umum : Pohon dengan satu atau banyak batang, tinggi hingga 10 m. Kulit kayu
halus, bercelah, berwarna abu-abu hingga hitam. Memiliki akar tunjang dengan
panjang hingga 3 m, dan akar udara yang tumbuh dari cabang bawah.

Daun : Daun berkulit, berbintik teratur di lapisan bawah. Gagang daun berwarna hijau,
panjang gagang 1-3,5 cm, dengan pinak daun panjang 4-6 cm. Unit & Letak:
sederhana & berlawanan. Bentuk: elips melebar. Ujung: meruncing. Ukuran:
meruncing.

Bunga : Gagang kepala bunga seperti cagak, biseksual, masing-masing menempel pada
gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Letak: di ketiak daun. Formasi:
kelompok (8-16 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4; putih, ada rambut.
8 mm. Kelopak bunga: 4; kuning hijau, panjangnya 13-19 mm. Benang sari:
8; dan sebuah tangkai putik, panjang 4-6 mm.

Buah : Panjangnya 2,5-4 cm, berbentuk buah pir, berwarna coklat, berisi 1 biji fertil.
Hipokotil silindris, berbintil agak halus. Leher kotilodon kuning kehijauan ketika
matang. Ukuran: Hipokotil: panjang 20-35 cm (kadang sampai 50 cm) dan
diameter 1,5-2,0 cm.

Ekologi : Tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut: lumpur, pasir dan
batu. Menyukai pematang sungai pasang surut, tetapi juga sebagai jenis pionir
di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove. Satu jenis relung
khas yang bisa ditempatinya adalah tepian mangrove pada pulau/substrat karang.
Menghasilkan bunga dan buah sepanjang tahun. Kemungkinan diserbuki oleh
angin.

Penyebaran : Di Taiwan, Malaysia, Filipina, sepanjang Indonesia, Papua New Guinea dan
Australia Tropis. Tercatat dari Jawa, Bali, Lombok, Sumatera, Sulawesi, Sumba,
Sumbawa, Maluku dan Irian Jaya.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan arang. Masyarakat Aborigin di Australia
menggunakan kayu jenis ini untuk pembuatan bumerang, tombak serta berbagai
obyek upacara. Anggur ringan serta minuman untuk mengobati hematuria
(pendarahan pada air seni) dapat dibuat dari buahnya.

Catatan : Jumlah bunga per kelompok dari jenis R. stylosa lebih banyak daripada R.
mucronata.

4122
Rhizophora stylosa

daun & bunga


buah

a
d

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

1233
Sarcolobus globosa R. & S. ASCLEPIADACEAE

Nama setempat : Tidak tahu.

Deskripsi umum : Semak pemanjat dengan ketinggian hingga 4 m, dan memiliki batang yang
halus.

Daun : Permukaan atas daun ditutupi oleh rambut, khususnya di bagian urat daun.
Daun agak tebal, panjang gagang 2-30 mm. Unit & Letak: sederhana &
berlawanan. Bentuk: bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 4-9 x
3-5,5 cm.

Bunga : Berwarna kuning dengan garis-garis memanjang berwarna jingga. Bagian dalam
bunga ditutupi rambut-rambut pendek. Bunga terdapat pada tandan yang padat,
panjang gagang bunga 0,5-2 cm. Letak: di ketiak daun. Formasi: kelompok
(5-10 bunga per kelompok). Daun mahkota: 5; diameter 12-14 mm, terletak
diatas tabung yang panjangnya 2,5 mm. Kelopak bunga: 5 terdapat kelenjar
di dalamnya. Kepala sari: Ujungnya tumpul, berwarna coklat.

Buah : Berwarna coklat, berbintil, sebagian besar soliter, elips melebar dengan pangkal
yang tidak merata. Buah memiliki gagang yang tebal, kaya akan cairan yang
menyerupai susu. Biji berjumlah banyak, permukaannya rata dan bentuknya bulat
telur terbalik, dikelilingi oleh tepian yang menyerupai sayap, berukuran 13-15
x 8-9 mm. Ukuran: buah: 8-9 x 7-8 cm, biji: 20-25 x 16-18 mm.

Ekologi : Tumbuh pada mangrove berlumpur. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Biji
yang memiliki tepian seperti sayap dapat terapung di permukaan air. Apabila
sayapnya dicopot, maka biji tersebut akan tenggelam.

Distribusi : Tercatat di Jawa, tetapi kemungkinan terdapat di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Tidak tahu.

Manfaat : Tidak tahu.

4124
Sarcolobus globosa

b c

a. bunga; b. buah; c. daun

1253
Scyphiphora hydrophyllacea Gaertn. RUBIACEAE

Nama setempat : Perepat lanang, cingam, duduk perempuan, duduk rayap, duduk rambat,
dandulit.

Deskripsi umum : Semak tegak, selalu hijau, seringkali memiliki banyak cabang, ketinggian
mencapai 3 m. Kulit kayu kasar berwarna coklat, cabang muda memiliki resin,
kadang-kadang terdapat akar tunjang pada individu yang besar.

Daun : Daun berkulit dan mengkilap. Pinak daun berkelenjar, terletak pada pangkal
gagang daun membentuk tutup berambut. Gagang daun lurus panjangnya hingga
13 mm. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat telur terbalik.
Ujung: membundar. Ukuran: 4-9 x 2-5 cm.

Bunga : Warna putih, hampir tak bertangkai, biseksual, terdapat pada tandan yang
panjangnya hingga 15 mm. Letak: di ketiak daun. Formasi: kelompok (3-7
bunga per kelompok). Daun mahkota: 4-5; putih-agak merah, elips, 2-4 x 2-
2,5 mm, mulut berambut kasar. Kelopak bunga: 4-5; berbentuk mangkok,
bawahnya seperti tabung (panjang 5mm). Benang sari: 4-5.

Buah : Silindris, berwarna hijau hingga coklat, berurat memanjang dan memiliki sisa
daun kelopak bunga. Tidak membuka ketika matang. Terdapat 4 biji silindris.
Ukuran: buah: panjang 8 mm, biji: 1 x 2 mm.

Ekologi : Tumbuh pada substrat lumpur, pasir dan karang pada tepi daratan mangrove
atau pada pematang dan dekat jalur air. Nampaknya tidak toleran terhadap
penggenangan air tawar dalam waktu yang lama dan biasanya menempati lokasi
yang kerap tergenang oleh pasang surut. Dilaporkan tumbuh pada lokasi yang
tidak cocok untuk dikolonisasi oleh jenis tumbuhan mangrove lainnya.
Perbungaan terdapat sepanjang tahun, kemungkinan diserbuki sendiri atau oleh
serangga. Nektar diproduksi oleh cakram kelenjar pada pangkal mahkota bunga.
Banyak buah yang dihasilkan, akan tetapi pembiakan biji relatif rendah. Buah
teradaptasi dengan baik untuk penyebaran oleh air karena kulit buahnya yang
ringan dan mengapung.

Penyebaran : India, Sri Lanka, Malaysia, seluruh Indonesia, Papua New Guinea, Filipina,
Kepulauan Solomon dan Australia Tropis.

Kelimpahan : Tersebar, dan secara keseluruhan relatif jarang.

Manfaat : Kayu kemungkinan dapat digunakan untuk peralatan makan, seperti sendok.
Daun dapat digunakan untuk mengatasi sakit perut.

Catatan : Sangat menyerupai Lumnitzera, tetapi daun Lumnitzera letaknya bersilangan.

4126
Scyphiphora hydrophyllaceae

daun bunga

buah

a. bunga; b. buah; c. daun

1273
Sonneratia alba J.E. Smith SONNERATIACEAE

Nama setempat : Pedada, perepat, pidada, bogem, bidada, posi-posi, wahat, putih, beropak,
bangka, susup, kedada, muntu, sopo, barapak, pupat, mange-mange.

Deskripsi umum : Pohon selalu hijau, tumbuh tersebar, ketinggian kadang-kadang hingga 15
m. Kulit kayu berwarna putih tua hingga coklat, dengan celah longitudinal yang
halus. Akar berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul kepermukaan sebagai
akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul dan tingginya mencapai 25 cm.
Daun : Daun berkulit, memiliki kelenjar yang tidak berkembang pada bagian pangkal gagang
daun. Gagang daun panjangnya 6-15 mm. Unit & Letak: sederhana & berlawanan.
Bentuk: bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 5-12,5 x 3-9 cm.

Bunga : Biseksual; gagang bunga tumpul panjangnya 1 cm. Letak: di ujung atau pada
cabang kecil. Formasi: soliter-kelompok (1-3 bunga per kelompok). Daun
mahkota: putih, mudah rontok. Kelopak bunga: 6-8; berkulit, bagian luar
hijau, di dalam kemerahan. Seperti lonceng, panjangnya 2-2,5 cm. Benang
sari: banyak, ujungnya putih dan pangkalnya kuning, mudah rontok.

Buah : Seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga.
Buah mengandung banyak biji (150-200 biji) dan tidak akan membuka pada
saat telah matang. Ukuran: buah: diameter 3,5-4,5 cm.

Ekologi : Jenis pionir, tidak toleran terhadap air tawar dalam periode yang lama. Menyukai
tanah yang bercampur lumpur dan pasir, kadang-kadang pada batuan dan karang.
Sering ditemukan di lokasi pesisir yang terlindung dari hempasan gelombang,
juga di muara dan sekitar pulau-pulau lepas pantai. Di lokasi dimana jenis
tumbuhan lain telah ditebang, maka jenis ini dapat membentuk tegakan yang
padat. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Bunga hidup tidak terlalu lama dan
mengembang penuh di malam hari, mungkin diserbuki oleh ngengat, burung
dan kelelawar pemakan buah. Di jalur pesisir yang berkarang mereka tersebar
secara vegetatif. Kunang-kunang sering menempel pada pohon ini dikala malam.
Buah mengapung karena adanya jaringan yang mengandung air pada bijinya.
Akar nafas tidak terdapat pada pohon yang tumbuh pada substrat yang keras.

Penyebaran : Dari Afrika Utara dan Madagaskar hingga Asia Tenggara, seluruh Indonesia, Malaysia,
Filipina, Australia Tropis, Kepulauan Pasifik barat dan Oceania Barat Daya.

Kelimpahan : Umum. Melimpah setempat.

Manfaat : Buahnya asam dapat dimakan. Di Sulawesi, kayu dibuat untuk perahu dan bahan
bangunan, atau sebagai bahan bakar ketika tidak ada bahan bakar lain. Akar
nafas digunakan oleh orang Irian untuk gabus dan pelampung.

4128
Sonneratia alba

daun bunga buah

b a

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

1293
Sonneratia caseolaris (L.) Engl. SONNERATIACEAE

Nama setempat : Pedada, perepat, pidada, bogem, bidada, rambai, wahat merah, posi-posi
merah.

Deskripsi umum : Pohon, ketinggian mencapai 15 m, jarang mencapai 20 m. Memiliki akar


nafas vertikal seperti kerucut (tinggi hingga 1 m) yang banyak dan sangat kuat.
Ujung cabang/ranting terkulai, dan berbentuk segi empat pada saat muda.

Daun : Gagang/tangkai daun kemerahan, lebar dan sangat pendek. Unit & Letak:
sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat memanjang. Ujung: membundar.
Ukuran: bervariasi, 5-13 x 2-5 cm.

Bunga : Pucuk bunga bulat telur. Ketika mekar penuh, tabung kelopak bunga berbentuk
mangkok, biasanya tanpa urat. Letak: di ujung. Formasi: soliter-kelompok
(1-3 bunga per kelompok). Daun mahkota: merah, ukuran 17-35 x 1,5-3,5
mm, mudah rontok. Kelopak bunga: 6-8; berkulit, bagian luar hijau, di dalam
putih kekuningan hingga kehijauan. Benang sari: banyak, ujungnya putih
dan pangkalnya merah, mudah rontok.

Buah : Seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga.
Ukuran lebih besar dari S.alba, bijinya lebih banyak (800-1200). Ukuran: buah:
diameter 6-8 cm.

Ekologi : Tumbuh di bagian yang kurang asin di hutan mangrove, pada tanah lumpur
yang dalam, seringkali sepanjang sungai kecil dengan air yang mengalir pelan
dan terpengaruh oleh pasang surut. Tidak pernah tumbuh pada pematang/
daerah berkarang. Juga tumbuh di sepanjang sungai, mulai dari bagian hulu
dimana pengaruh pasang surut masih terasa, serta di areal yang masih didominasi
oleh air tawar. Tidak toleran terhadap naungan. Ketika bunga berkembang penuh
(setelah jam 20.00 malam), bunga berisi banyak nektar. Perbungaan terjadi
sepanjang tahun. Biji mengapung. Selama hujan lebat, kecenderungan
pertumbuhan daun akan berubah dari horizontal menjadi vertikal.

Penyebaran : Dari Sri Lanka, seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina,
hingga Australia tropis, dan Kepulauan Solomon.

Kelimpahan : Umum, dan melimpah setempat.

Manfaat : Buah asam dapat dimakan (dirujak). Kayu dapat digunakan sebagai kayu bakar
jika kayu bakar yang lebih baik tidak diperoleh. Setelah direndam dalam air
mendidih, akar nafas dapat digunakan untuk mengganti gabus.

4130
Sonneratia caseolaris

bunga kuncup

daun buah

bunga mekar

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

1313
Sonneratia ovata Back. SONNERATIACEAE

Nama setempat : Bogem, kedabu.

Deskripsi umum : Pohon berukuran kecil atau sedang, biasanya hingga 5 m, kadang-kadang
mencapai 20 m, dengan cabang muda berbentuk segi empat serta akar nafas
vertikal.

Daun : Gagang/tangkai daun panjangnya 2-15 mm. Unit & Letak: sederhana &
berlawanan. Bentuk: bulat telur. Ujung: membundar. Ukuran: 4-10 x 3-9 cm.

Bunga : Gagang/tangkai bunga lurus, panjang 1-2 cm, atau kadang-kadang tidak ada.
Pucuk bunga berbentuk bulat telur lebar dan ditutupi oleh tonjolan kecil. Letak:
di ujung. Formasi: soliter-kelompok (ada 1-3 bunga per kelompok). Daun
mahkota: tidak ada. Kelopak bunga: bagian dalam merah. Panjangnya 2,5 -
4,5 cm. Tabung seperti mangkok, muncul dari gagang yang pendek. Benang
sari: banyak, warnanya putih dan mudah rontok.

Buah : Seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga.
Ukuran hampir sama dengan S.alba. Ukuran: buah: diameter 3-5 cm.

Ekologi : Tumbuh di tepi daratan hutan mangrove yang airnya kurang asin, tanah berlumpur
dan di sepanjang sungai kecil yang terkena pasang surut. Tidak pernah tumbuh
pada substrat karang. Perbungaan terjadi sepanjang tahun.

Penyebaran : Di Thailand, Malaysia, Kepulauan Riau, Sumatra, Jawa, Sulawesi, Maluku, Sungai
Sebangau/Kalimantan Tengah, dan Papua New Guinea.

Kelimpahan : Umum setempat, tetapi secara keseluruhan agak jarang.

Manfaat : Kayu bakar. Buah muda dapat dimakan sebagai rujakan.

4132
Sonneratia ovata

bunga

buah

b
d

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

1333
Xylocarpus granatum Koen MELIACEAE

Nama setempat : Niri, nilih, nyireh, nyiri, nyuru, jombok gading, buli, bulu putih, buli hitam,
inggili, siri, nyireh bunga, nyiri udang, nyiri hutan, pohon kira-kira, jomba,
banang-banang, nipa, niumiri-kara, kabau, mokmof.

Deskripsi umum : Pohon dapat mencapai ketinggian 10-20 m. Memiliki akar papan yang
melebar ke samping, meliuk-liuk dan membentuk celahan-celahan. Batang
seringkali berlubang, khususnya pada pohon yang lebih tua. Kulit kayu berwarna
coklat muda-kekuningan, tipis dan mengelupas, sementara pada cabang yang
muda, kulit kayu berkeriput.

Daun : Agak tebal, susunan daun berpasangan (umumnya 2 pasang pertangkai) dan ada
pula yang menyendiri. Unit & Letak: majemuk & berlawanan. Bentuk: elips -
bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 4,5 - 17 cm x 2,5 - 9 cm.

Bunga : Bunga terdiri dari dua jenis kelamin atau betina saja. Tandan bunga (panjang
2-7 cm) muncul dari dasar (ketiak) tangkai daun dan tangkai bunga panjangnya
4-8 mm. Letak: di ketiak. Formasi: gerombol acak (8-20 bunga per gerombol).
Daun mahkota: 4; lonjong, tepinya bundar, putih kehijauan, panjang 5-7 mm.
Kelopak bunga: 4 cuping; kuning muda, panjang 3 mm. Benang sari: berwarna
putih krem dan menyatu di dalam tabung.

Buah : Seperti bola (kelapa), berat bisa 1-2 kg, berkulit, warna hijau kecoklatan. Buahnya
bergelantungan pada dahan yang dekat permukaan tanah dan agak tersembunyi.
Di dalam buah terdapat 6-16 biji besar-besar, berkayu dan berbentuk tetrahedral.
Susunan biji di dalam buah membingungkan seperti teka-teki (dalam bahasa
Inggris disebut sebagai ‘puzzle fruit’). Buah akan pecah pada saat kering.
Ukuran: buah: diameter 10-20 cm.

Ekologi : Tumbuh di sepanjang pinggiran sungai pasang surut, pinggir daratan dari
mangrove, dan lingkungan payau lainnya yang tidak terlalu asin. Seringkali tumbuh
mengelompok dalam jumlah besar. Individu yang telah tua seringkali ditumbuhi
oleh epifit.

Penyebaran : Di Indonesia tumbuh di Jawa, Madura, Bali, Kepulauan Karimun Jawa, Sumatera,
Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Sumba, Irian Jaya.

Kelimpahan : Melimpah setempat, khususnya pada area bekas tebangan hutan dan gangguan
lainnya.

Manfaat : Kayunya hanya tersedia dalam ukuran kecil, kadang-kadang digunakan sebagai
bahan pembuatan perahu. Kulit kayu dikumpulkan karena kandungan taninnya
yang tinggi (>24% berat kering).

4134
Xylocarpus granatum

bunga buah

a. bunga; b. buah; c. daun; d. kulit kayu

1353
Xylocarpus mekongensis Pierre MELIACEAE

Nama setempat : Tidak tahu.

Deskripsi umum : Pohon yang kuat, berbentuk tiang dengan mahkota berbentuk kerucut,
ketinggian sampai 15 m. Kulit kayu berwarna coklat muda, mengelupas secara
longitudinal, dan memiliki garis-garis sempit.

Daun : Pinak daun berbentuk lonjong, dengan ukuran 4,5-12 x 2-7,5 cm, dengan ujung
tajam atau tumpul dengan panjang 2-4 mm. Unit & Letak: majemuk &
berlawanan. Bentuk: elips - bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran:
panjang bisa mencapai 20 cm.

Bunga : Tandan bunga (panjang 4-6,5 cm) muncul dari ketiak tangkai daun dan tangkai
bunga panjangnya 6-10 mm. Letak: di ketiak. Formasi: gerombol acak (9-35
bunga per gerombol). Daun mahkota: berbentuk lonjong lebar, berwarna putih-
kekuningan dan panjang 5 x 2 mm. Kelopak bunga: berwarna hijau, panjang
2 mm. Benang sari: tabung benang sari berbentuk seperti kendi, panjang 5 mm.
Kepala sari panjangnya 1 mm.

Buah : Seperti bola dan terbagi atas beberapa bagian kepingan. Ukuran: buah: diameter
5-10 cm, biji: diameter 6,5 cm.

Ekologi : Pohon jenis ini ditemukan di tepi hutan yang berbatasan dengan perairan pasang
surut dan pada bagian tepi daratan di daerah mangrove. Substrat tumbuhnya
terdiri dari pasir dan lumpur. Mereka menyukai daerah yang memperoleh
masukan air tawar selama beberapa kali dalam setahun.

Penyebaran : Tercatat di PNG, Afrika Timur, Asia Tenggara, Australia Barat, dan mungkin saja
tumbuh di Irian Jaya

Kelimpahan : Ditemukan secara berkala tetapi tidak pernah dalam kelimpahan yang tinggi.

Manfaat : Bahan bangunan, kayu bakar, minyak untuk penerangan dan minyak rambut
serta untuk pewarnaan (di PNG). Jamu dari pohon ini digunakan untuk
mengobati kolera.

4136
Xylocarpus mekongensis

a b

a. bunga; b. buah; c. daun; d. kulit kayu; e. akar

1373
Xylocarpus moluccensis (Lamk) Roem. MELIACEAE

Nama setempat : Niri/nyirih batu, nyirih, siri, jombok, miumeri-mee, parasar, kabau, raru,
nyiri gundik, nyuru, mojong tihulu, pamuli, loleso, banang-banang.

Deskripsi umum : Pohon tingginya antara 5-20 m. Memiliki akar nafas mengerucut berbentuk
cawan. Kulit kayu halus, sementara pada batang utama memiliki guratan-guratan
permukaan yang tergores dalam.

Daun : Lebih tipis dari X.granatum, susunan daun berpasangan (umumnya 2-3 ps
pertangkai) dan ada pula yang menyendiri. Unit & letak: majemuk & berlawanan.
Bentuk: elips - bulat telur terbalik. Ujung: meruncing. Ukuran: 4-12 cm
x 2-6,5cm.

Bunga : Terdiri dari dua jenis kelamin atau betina saja. Tandan bunga (panjang 6-18,5
cm) muncul dari ketiak tangkai daun dan tangkai bunga panjangnya 2-10 mm.
Letak: di ketiak. Formasi: gerombol acak (10-35 bunga per gerombol). Daun
mahkota: 4; putih kekuningan, lonjong, tepinya bundar, panjang nya 6-7 mm.
Kelopak bunga: 4 cuping; hijau kekuningan, panjang sekitar 1,5 mm. Benang
sari: 8, menyatu; putih krem dan tingginya sekitar 2 mm.

Buah : Warna hijau, bulat seperti jambu bangkok, permukaan berkulit dan di dalamnya
terdapat 4-10 kepingan biji berbentuk tetrahedral. Ukuran: buah: diameter
8-15 cm.

Ekologi : Jenis mangrove sejati di hutan pasang surut, pematang sungai pasang surut,
serta tampak sepanjang pantai.

Penyebaran : Di Indonesia terdapat di Jawa, Bali, Maluku, NTT, Sulawesi, Kalimantan, Irian
Jaya.

Kelimpahan : Umum setempat.

Manfaat : Kayu dipakai untuk kayu bakar, membuat rumah, perahu dan kadang-kadang
untuk gagang keris. Biji digunakan sebagai obat sakit perut. Jamu yang berasal
dari buah dipakai untuk obat habis bersalin dan meningkatkan nafsu makan.
Tanin kulit kayu digunakan untuk membuat jala serta sebagai obat pencernaan.

4138
Xylocarpus moluccensis

buah bunga

a. bunga; b. daun; c. kulit kayu; d. akar

1393
Xylocarpus rumphii (Kostel.) Mabb. MELIACEAE

Nama setempat : Nyirih, banang-banang, siri, nyirih batu, jombok, niri.

Deskripsi umum : Pohon tingginya dapat mencapai 6 m. Memiliki akar udara tapi tidak
jelas. Kulit kayu kasar berwarna coklat dan mengelupas seperti guratan-guratan
kecil dan sempit.

Daun : Susunan daun berpasangan (umumnya 3-4 pasang pertangkai) dan ada pula yang
menyendiri. Warna hijau tua. Unit & Letak: majemuk & berlawanan. Bentuk:
bulat telur-bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 7 x 12 cm.

Bunga : Terdiri dari dua jenis kelamin atau betina saja. Letak: di ketiak. Formasi:
Gerombol acak. Daun mahkota: 4; krem-putih kehijauan. Kelopak bunga:
4 cuping; hijau kekuningan. Benang sari: menyatu membentuk tabung; putih
krem.

Buah : Warna hijau, bulat seperti jambu bangkok, permukaan licin berkilauan dan di
dalamnya terdapat 4-10 kepingan biji berbentuk tetrahedral. Ukuran: buah:
diameter 8 cm (lebih kecil dari X. granatum).

Ekologi : Jenis mangrove sejati. Terdapat di pantai berpasir atau berbatu, di belakang
atau sedikit di atas garis pasang tinggi.

Penyebaran : Di Indonesia terdapat di Jawa dan Bali.

Kelimpahan : Tidak diketahui.

Manfaat : Kayu dipakai untuk kayu bakar, membuat rumah dan perahu.

4140
Xylocarpus rumphii

daun buah

pohon

a. bunga; b. buah; c. daun

1413
ix3
1433
Barringtonia asiatica (L.) Kurz LECYTHIDACEAE

Nama setempat : Sea putat, bogem, butong, butun, pertun, putat laut, bitung, talise, hutun.

Deskripsi umum : Pohon berukuran kecil hingga sedang dengan ketinggian 7-20 (-30) m dan
diameter 25-100 cm. Mahkota pohon berdaun besar dan rimbun. Kulit kayu
abu-abu agak merah muda dan halus. Ranting tebal.

Daun : Berwarna hijau tua, agak tebal, berkulit dan urat daun nampak jelas. Ketika masih
muda daun berwarna agak merah muda, ketika tua berwarna kuning atau merah
muda pucat. Unit & Letak: sederhana dan bersilangan. Bentuk: bulat telur terbalik.
Ujung: agak membundar, tumpul. Ukuran: 15-45 x 9-20 cm.

Bunga : Menggantung, berukuran sangat besar, diameternya sampai 10 cm dan harum.


Formasi: bergerombol, menggantung seperti payung. Daun mahkota: 4, putih
dan kuning. Kelopak bunga: berwarna putih kehijauan. Benangsari: banyak
dan panjang, warnanya merah di bagian ujung dan putih di dekat pangkal.

Buah : Besar, permukaan halus dan berbentuk tetrahedral/piramid seperti buah delima.
Buah berwarna hijau (kadang tersamar oleh warna daunnya) lalu berubah
menjadi cokelat. Berisi satu biji berukuran besar. Ukuran: diameter buah 10-
15 cm.

Ekologi : Tumbuh di hutan pantai, pantai dan pantai berkarang, kadang-kadang di


mangrove. Tumbuh sama baiknya di daratan. Buah sering terlihat mengapung
sepanjang pantai. Mereka mengapung dan dapat tumbuh setelah menempuh
perjalanan yang jauh. Bunga terbuka setelah matahari tenggelam dan rontok
menjelang pagi, sehingga hanya terbuka satu malam saja. Penyerbukan
kemungkinan dilakukan oleh ngengat besar.

Penyebaran : Tumbuh dari Madagaskar hingga Pasifik Barat. Tercatat di seluruh Indonesia,
termasuk Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Sunda Kecil dan Maluku.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Kadang-kadang ditanam sebagai tanaman hias. Pohon dan bijinya mengandung
saponin yang dapat digunakan sebagai racun ikan. Biji yang digunakan sebagai
racun ikan seringkali dicampur dengan tuba (Derris – rotenon). Minyak yang
berwarna kemerahan dapat diperoleh dengan memanaskan dan memeras bijinya.
Di Jawa, cairan yang diperoleh dari bijinya dapat digunakan sebagai perekat
dalam pembuatan payung , serta untuk membunuh ekto-parasit, seperti lintah.

Catatan : Jenis ini seringkali dikelirukan dengan Terminalia catappa atau Fagraea crenulata.
Meskipun demikian, B.asiatica memiliki daun yang lebih berdaging, lebih
mengkilat dan ujung yang lebih runcing dibandingkan dengan T.catappa. F.
crenulata memiliki daun yang tumbuh berpasangan serta memiliki duri di
sepanjang batangnya.

4144
Barringtonia asiatica

buah pohon

a
a

a. bunga; b. buah; c. daun

1453
Calophyllum inophyllum L. GUTTIFERAE

Nama setempat : Camplung, nyamplung, bintanguru, benaga, bintangur laut, menaga, naga.

Deskripsi umum : Pohon berwarna gelap, berdaun rimbun, ketinggian 10-30 m, biasanya
tumbuh agak bengkok, condong atau bahkan sejajar dengan tanah. Memiliki
getah lekat berwarna putih atau kuning.

Daun : Memiliki banyak urat dengan posisi lateral paralel dan halus. Bagian atas daun
berwarna hijau tua dan mengkilap, bagian bawahnya hijau agak kekuningan.
Unit & Letak: sederhana dan berlawanan. Bentuk: elips hingga bulat memanjang,
agak mirip dengan daun Rhizopora mucronata (jenis bakau). Ujung: membundar.
Ukuran: 10-21,5 x 6-11 cm.

Bunga : Biseksual, tandan bunga panjangnya hingga 15 cm serta memiliki 5-15 bunga
per tandan. Letak: di ketiak. Formasi: bergerombol, menggantung seperti payung.
Daun mahkota: 4, putih dan kuning, harum, ukuran diameter 2-3 cm. Kelopak
bunga: 4, dua dari kelopak bunga berwarna putih. Benangsari: banyak.

Buah : Berbentuk bulat seperti bola pingpong kecil, memiliki tempurung kuat dan di
dalamnya terdapat 1 biji. Ukuran: diameter buah 2,5-4 cm.

Ekologi : Tumbuh pada habitat bukan rawa dan pantai berpasir, hingga ketinggian 200
m. Kadang-kadang tumbuh pada lokasi mangrove, biasanya pada habitat transisi.
Tercatat di Sumatera di sepanjang Danau Singkarak pada ketinggian 386 m.
Perbungaan nampaknya terjadi terus menerus sepanjang tahun, dengan satu atau
lebih saat puncaknya. Penyerbukan hampir pasti dilakukan oleh serangga. Buah
disebarkan melalui arus laut, atau oleh kelelawar yang memakan bagian luar
buah yang berdaging.

Penyebaran : Dari Afrika Timur hingga Polinesia, dan dimasukan ke Pasifik. Kemungkinan
terdapat di seluruh Indonesia, tercatat di Sumatera, Bali, Jawa, Kalimantan dan
Irian Jaya.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Buah mudanya digarami untuk makanan. Dapat digunakan sebagai bahan
pewarna, minyak, kayu dan obat-obatan. Di Bali, buahnya yang sudah tua
dipakai bermain oleh anak-anak sebagai kelereng atau bola pingpong kecil. Di
Australia, Malaysia dan Indonesia (Bali) sering ditanam sebagai pohon peneduh.

4146
Calophyllum inophyllum

bunga & buah pohon

d
b

a. bunga; b. buah; c. daun; d. bentuk urat daun

1473
Calotropis gigantea L. Dryander ASCLEPIADACEAE

Nama setempat : Biduri, modori, menori, widuri, mendori.

Deskripsi umum : Herba rendah/semak, ketinggian mencapai 3 m. Memiliki banyak getah.

Daun : Posisi daun horizontal, permukaan daun (atas maupun bawah) dilapisi oleh
rambut-rambut halus yang berwarna agak putih seperti tepung. Unit & Letak:
sederhana dan berlawanan. Bentuk: bulat telur melebar. Ujung: membundar.
Ukuran: 10-20 x 3,5-5,5 cm.

Bunga : Memiliki tandan dan tangkai/gagang bunga yang panjang. Letak: pada ketiak
daun. Formasi: seperti payung yang sedang dibuka. Daun mahkota: putih
agak ungu, ukuran diameter 6-10 mm. Kelopak bunga: 5, seperti piramid,
kekar dan kaku, berwarna ungu agak putih, diameter 3-4 cm.

Buah : Berbentuk bulat seperti kapsul dan di dalamnya terdapat banyak biji-biji yang
permukaannya berambut halus. Ukuran: diameter buah 10-15 mm.

Ekologi : Tumbuh pada habitat yang tidak tergenang air, pantai berpasir dan lahan berbatu,
hingga ketinggian sekitar 300 m. Di Bali dijumpai mulai pada daerah pantai
yang gersang dan udaranya panas hingga ke lereng gunung Agung yang suhu
udaranya sejuk. Umumnya dijumpai di lahan-lahan pantai yang terbengkalai
dan terbuka (mendapat sinar matahari penuh).

Penyebaran : Kemungkinan terdapat di seluruh Indonesia, tercatat di Bali dan Jawa.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Di Bali, daun dan bunganya sering digunakan sebagai makanan jangkrik.

4148
Calotropis gigantea

bunga

pohon
b

a. bunga; b. buah; c. daun

1493
Cerbera manghas L. APOCYNACEAE

Nama setempat : Bintan, badak, goro-goro, kayu susu, kayu kurita, bintaro, kenyeri putih,
kadong, koyandan, mangga brabu, waba, jabal, kenyen putih, bilu tasi.

Deskripsi umum : Pohon atau belukar dengan ketinggian mencapai 20 m. Kulit kayu bercelah,
berwarna abu-abu hingga cokelat, memiliki lentisel dan cairan putih susu. Akar
menjalar di permukaan tanah, tetapi kurang memiliki akar udara dan akar nafas.

Daun : Agak gelap, hijau mengkilap di bagian atas dan hijau pucat di bagian bawah.
Unit & Letak: sederhana dan bersilangan. Bentuk: bulat memanjang atau lanset,
seperti daun mangga. Ujung: meruncing. Ukuran: 10-28 x 2-8 cm.

Bunga : Biasanya terdapat 20 –30 bunga pada setiap tandan. Letak: di ujung cabang.
Formasi: berkelompok secara tidak beraturan. Daun mahkota: 5, putih bersih
dengan bagian pusat berwarna jingga hingga merah muda-merah. Kelopak bunga:
5, putih kehijauan, jaraknya agak jauh dari daun mahkota. Benang sari: tidak
bergagang, menempel pada mulut tabung. Perpanjangan dari masing-masing
benang sari yang berambut dan berbentuk seperti taji menutupi kerongkongan
tabung mahkota bunga.

Buah : Berbentuk bulat, hijau hingga hijau kemerahan, mengkilat dan berdaging. Selintas
bentuknya menyerupai buah mangga. Ukuran: diameter buah 6-8 cm.

Ekologi : Tumbuh di hutan rawa pesisir atau di pantai hingga jauh ke darat (400 m
d.p.l), menyukai tanah pasir yang memiliki sistem pengeringan yang baik, terbuka
terhadap udara dari laut serta tempat yang tidak teratur tergenang oleh pasang
surut. Biasanya tumbuh di bagian tepi daratan dari mangrove.

Penyebaran : Kemungkinan di seluruh Indonesia. Tercatat di Bali, Jawa, Sumatera Barat,


Sulawesi Utara, Maluku, Timor dan Irian Jaya. Tersebar di PNG, Kepulauan
Bismarck dan seluruh Kepulauan Solomon.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Minyak yang diperas dari biji dan buah mudanya dapat digunakan untuk
mengatasi gatal-gatal, reumatik, serta pilek. Minyak biji dapat digunakan untuk
meracuni ikan (di Burma juga digunakan sebagai insektisida). Kulit kayu dan
daun digunakan sebagai obat pencahar. Kayu digunakan sebagai kayu bakar
dan bahan arang. Belakangan ini banyak dipakai sebagai tanaman hias/peneduh
di dalam kompleks perumahan.

Catatan : Berpotensi sebagai obat farmakologi karena pengaruh kardiovaskular-nya.

4150
Cerbera manghas

bunga buah pohon

a. bunga; b. buah; c. daun

1513
Clerodendrum inerme Gaertn VERBENACEAE

Nama setempat : Kayu tulang, kwanji, keranji, dadap-laut.

Deskripsi umum : Belukar, menjalar melebar di permukaan tanah, dengan ketinggian kurang
dari 2 m.

Daun : Hijau tua mengkilap di bagian atas, kaku dan tertekuk ke dalam. Unit & Letak:
sederhana dan berlawanan. Bentuk: elip, bulat memanjang. Ujung: meruncing.
Ukuran: panjang 3-4 cm.

Bunga : Berbentuk lonceng. Letak: di ketiak daun. Formasi: berkelompok (3 bunga


per kelompok). Daun mahkota: 5, putih bersih, bagian bawahnya bertangkai
panjang. Kelopak bunga: hijau dan jaraknya agak jauh dari daun mahkota.
Benang sari: terjurai sangat panjang jika dibandingkan dengan mahkota bunganya,
warnanya merah keunguan.

Buah : Berbentuk bulat telur, warna hijau hingga kecoklatan, permukaannya seperti
kulit, mengkilat dan berdaging. Ukuran: diameter buah 7-10 mm.

Ekologi : Tumbuh subur pada daerah lumpur kering atau lumpur berpasir di belakang
kawasan hutan mangrove.

Penyebaran : Kemungkinan di seluruh Indonesia. Setidaknya tercatat di Jawa dan Bali.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Tidak diketahui.

4152
Clerodendrum inerme

daun, bunga & buah

a
b

a. bunga; b. buah; c. daun

1533
Derris trifoliata Lour. LEGUMINOSAE

Nama setempat : Ambung, kambingan, tuba laut, areuy ki tonggeret, tuwa areuy, gadel,
toweran, kamulut, tuba abal.

Deskripsi Umum : Tumbuhan pemanjat/perambat berkayu, panjang 15 m atau lebih. Kulit


kayu coklat tua, halus dengan lentisel merah muda. Batang yang lebih muda
berwarna merah tua, memiliki banyak lentisel.

Daun : Memiliki 3-7 pinak daun, permukaan atas berwarna hijau mengkilat dan bagian
bawah abu-abu-hijau. Unit & Letak: majemuk dan bersilangan. Bentuk: bulat
telur atau elips. Ujung: meruncing. Ukuran: 6-13 x 2-6 cm.

Bunga : Biseksual, tandan bunga panjangnya 7-20 cm dan gagang bunga panjangnya 2
mm. Letak: di ketiak batang yang tumbuh horizontal sepanjang permukaan tanah.
Formasi: bulir. Daun mahkota: ungu agak putih-merah muda pucat, panjangnya
sekitar 1 cm. Benangsari: bagian atas tumbuh sendiri, sementara 9 lainnya bersatu.

Buah : Polong berkulit, bulat memanjang atau hampir bundar, tipis/pipih, bergerombol.
Satu atau dua biji berkeriput, hampir bundar, hijau-perunggu ketika kering.
Ukuran: buah 2-4,5 x 2,5-3,5 cm; biji 12 x 11 mm.

Ekologi : Tumbuh pada substrat berpasir dan berlumpur pada bagian tepi daratan dari
habitat mangrove. Menyukai areal yang mendapat pasokan air tawar, tergenang
secara tidak teratur oleh air pasang surut. Bunga muncul pada bulan September
– November, sementara buah pada bulan November sampai Desember (di
Australia). Biji dan polong teradaptasi dengan penyebaran melalui air. Mereka
mungkin juga disebarkan melalui angin.

Penyebaran : Melalui Asia Tenggara, Indonesia, Australia, Cina hingga India dan Afrika.

Kelimpahan : Tidak umum tetapi tersebar luas.

Manfaat : Penggunaan jenis ini untuk meracuni ikan sudah banyak diketahui. Racun ikan
yang dijual secara komersial (rotenone) dihasilkan dari akar jenis lain, yaitu Derris
elliptica. Batangnya sangat tahan lama dan dapat digunakan sebagai tali.

Catatan : Masyarakat di Indonesia Timur menanam varietas sendiri yang kemudian


dicampur dengan bahan kimia untuk meracuni (membius) ikan.

4154
Derris trifolia

buah

bunga

a
c
b

a. bunga; b. buah; c. daun

1553
Finlaysonia maritima Backer ex Heyne. ASCLEPIADACEAE

Nama setempat : Basang siap.

Deskripsi umum : Tumbuhan pemanjat/perambat berkayu, mengandung getah berwarna putih.

Daun : Tebal berdaging, warna hijau cerah. Unit & Letak: sederhana dan berlawanan.
Bentuk: elips hingga bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 8-13 x
3,5-5 cm.

Bunga : Putih dan merah muda, panjangnya sekitar 0,7 – 1,0 cm.

Buah : Bentuk seperti kapsul atau seperti kantung perut ayam. Buah berpasangan,
waktu masih muda berwarna hijau tapi jika sudah matang warnanya kemerahan.
Ukuran: buah 7-8 x 2,5-3,5 cm.

Ekologi : Dijumpai pada kawasan mangrove yang terbuka, kadang-kadang dijumpai lebih
ke arah pantai.

Penyebaran : Diduga terdapat di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Tidak umum tetapi tersebar luas.

Manfaat : Tidak diketahui.

4156
Finlaysonia maritima

daun & buah

a. buah; b. daun

1573
Hibiscus tiliaceus L. MALVACEAE

Nama setempat : Waru laut, waru langit, waru langkong, siron, waru lot, waru lenga, waru
lengis, baru, kabaru, bahu, molowahu, fau, kasjanaf, iwal, wakati.

Deskripsi umum : Pohon yang tumbuh tersebar dengan ketinggian hingga mencapai 15 m.
Kulit kayu halus, burik-burik, berwarna cokelat keabu-abuan.

Daun : Agak tipis (jika dibanding Thespesia populnea), berkulit dan permukaan bawah
berambut halus dan berwarna agak putih. Unit & Letak: sederhana dan
bersilangan. Bentuk: seperti hati. Ujung: meruncing. Ukuran: 7,5-15 x 7,5-
14,5 cm.

Bunga : Berbentuk lonceng. Saat mekar (sore hari) berwarna kuning muda dengan
warna jingga/gelap di bagian tengah dasar, lalu keesokan harinya keseluruhan
bunga jadi jingga dan rontok. Dasar dari gagang tandan bunga yang memanjang
ditutupi oleh pinak daun yang kemudian akan jatuh dan menyisakan tonjolan
berbentung cincin. Letak: di ketiak daun. Formasi: soliter atau berkelompok
(2-5). Daun mahkota: kuning, diameter 5-7 cm. Kelopak bunga: 5, bergerigi.
Tangkai putik: ada 5 (tidak menyatu), dengan kepala putik berwarna ungu
kecoklatan

Buah : Membuka menjadi 5 bagian, dan memiliki biji khas yang berambut. Ukuran:
diameter buah sekitar 2 cm.

Ekologi : Merupakan tumbuhan khas di sepanjang pantai tropis dan seringkali berasosiasi
dengan mangrove. Juga umum di sepanjang pinggiran sungai di kawasan dataran
rendah. Perbungaan sepanjang tahun. Biji mengapung dan dapat tumbuh
meskipun dimasuki air laut. Pada daun tua, kelenjar pengeluar gula seringkali
berwarna hitam karena diserang jamur.

Penyebaran : Di seluruh Indonesia. Pan-tropis, setidaknya di penyemaian. Penyebaran geografis


serta sifat ekologi alami belum diketahui secara pasti.

Kelimpahan : Tersebar luas dan umum.

Manfaat : Ditanam sebagai pohon peneduh di taman. Akarnya digunakan sebagai obat
demam. Serat kayu digunakan sebagai tali. Daun kadang-kadang digunakan
sebagai makanan ternak. Kayu digunakan sebagai bahan pembuatan bagian dalam
perahu (Lombok).

Catatan : Perbedaannya dengan Thespesia populnea dirinci pada halaman berikutnya.

4158
Hibiscus tiliaceus

daun & bunga

pohon

a. bunga; b. buah; c. daun; d. pohon

1593
Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet. CONVOLVULACEAE

Nama setempat : Batata pantai, daun katang, tapak kuda, katang-katang, dalere, watata ruruan,
alere, leleri, andali arana, daredei, dolodoi, tilalade, mari-mari, wedor, tati raui,
wedule, bulalingo, loloro, balim-balim, kabai-kabai, ketepeng, daun kacang, daun
barah.

Deskripsi umum : Herba tahunan dengan akar yang tebal. Batang panjangnya 5-30 m dan
menjalar, akar tumbuh pada ruas batang. Batang berbentuk bulat, basah dan
berwarna hijau kecoklatan.

Daun : Tunggal, tebal, licin dan mengkilat. Unit & Letak: sederhana dan bersilangan.
Bentuk: bulat telur seperti tapak kuda. Ujung: membundar membelah (bertakik).
Ukuran: 3-10 x 3-10,5 cm.

Bunga : Berwarna merah muda - ungu dan agak gelap di bagian pangkal bunga. Bunga
membuka penuh sebelum tengah hari, lalu menguncup setelah lewat tengah
hari. Letak bunga: di ketiak daun pada gagang yang panjangnya 3-16 cm.
Formasi: soliter. Daun mahkota: berbentuk seperti terompet/corong, panjang
3-5 cm, diameter pada saat membuka penuh sekitar 10 cm.

Buah : Berbentuk kapsul bundar hingga agak datar dengan empat biji berwarna hitam
dan berambut rapat. Ukuran: buah 12-17 mm, biji 6-10 mm.

Ekologi : Tumbuh liar mulai permukaan laut hingga 600 m, biasanya di pantai berpasir,
tetapi juga tepat pada garis pantai, serta kadang-kadang pada saluran air.

Penyebaran : Pan-tropis.

Kelimpahan : Sangat umum.

Manfaat : Bijinya dilaporkan sebagai obat yang baik untuk sakit perut dan kram. Daunnya
untuk obat reumatik/nyeri persendian/pegal-pegal, wasir dan korengan, sedangkan
akarnya sebagai obat sakit gigi dan eksim. Cairan dari batangnya digunakan
untuk mengobati gigitan dan sengatan binatang. Wanita hamil dilarang memakai
tanaman obat ini.

Catatan : Dua anak jenis dikenali oleh beberapa penulis, yaitu I. pes-caprae ssp. pes-
caprae yang memiliki cuping daun yang dalam, dan I. pes-caprae ssp. brasiliensis
yang memiliki takik pada ujung daun. Keduanya terdapat di Indonesia, meskipun
anak jenis yang terakhir hanya diketahui dari Sumatera Barat dan Pulau Krakatau.

4160
Ipomoea pes-caprae

daun & bunga

a. bunga; b. buah; c. daun

1613
Melastoma candidum D. Don MELASTOMATACEAE

Nama setempat : Senduduk, kluruk, senggani, harendong, kemanden

Deskripsi umum : Perdu, tinggi sekitar 0,5 – 4 m, cabangnya banyak.

Daun : Tebal, kaku, warnyanya hijau hingga hijau kekuningan. Urat daun menyirip
rapat secara lateral, pada permukaan daun terdapat tiga tulang daun yang jelas
dan memanjang lurus seperti garis (longitudinal) kearah ujung daun. Unit &
Letak: sederhana dan bersilangan. Bentuk: bulat memanjang hingga lanset.
Ujung: meruncing lancip. Ukuran: 2-20 x 0,75-8,5 cm.

Bunga : Warna ungu kemerahan, tandan dan gagang bunga berwarna hijau kecoklatan.
Letak: di ujung cabang. Formasi: berkelompok, setiap kelompok ada 2-3 bunga.
Daun mahkota: jumlahnya 4-18, membuka penuh secara horizontal, diameter
saat membuka penuh 4,5-6,5 cm. Kelopak bunga: berbentuk tabung dengan
bentuk cuping bergerigi 5. Tangkai putik: warnanya kuning keputihan, panjangnya
8-17 mm.

Buah : Berbentuk kapsul bulat, jika sudah matang akan merekah dan terbagi-bagi ke
dalam beberapa segmen (bagian), warna ungu tua kemerahan. Biji kecil sekali
berupa bintik-bintik berwarna coklat. Ukuran: diameter buah 8-10 mm.

Ekologi : Tumbuh liar mulai permukaan laut hingga 1650 m, yaitu pada tempat-tempat
yang memperoleh sinar matahari cukup, mulai dari pantai yang berlumpur,
lapangan terbuka, lahan terlantar, pinggir jalan hingga lereng gunung. Biasanya
muncul bersama tanaman semak lainnya.

Penyebaran : Di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Sangat umum.

Manfaat : Buahnya enak dimakan, daunnya yang masih muda sebagai sayur/lalab. Akar,
daun dan seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan sebagai obat gangguan
pencernaan, diare, disentri basiler, hepatitis, sariawan, keputihan, mimisan, wasir
berdarah, pembekuan dalam pembuluh darah, keracunan oleh singkong, bisul
dan memperlancar air susu ibu.

4162
Melastoma candidum

bunga & buah

a. bunga; b. buah; c. daun

1633
Morinda citrifolia L. RUBIACEAE

Nama setempat : Mengkudu, eodu, eoru, keumudee, lengkudu,bangkudu, pamarai,


mangkudu, neteu, kudu, cangkudu, kemudu, pace, tibah, ai kombo, bakulu,
wungkudu, labanau.

Deskripsi umum : Perdu atau pohon kecil yang tumbuh membengkok, tinggi 3-8 m, banyak
cabang dengan ranting segi empat.

Daun : Tebal, bertangkai pendek, warnyanya hijau tua mengkilap, tepi daun rata. Urat
daun menyirip kearah pinggiran daun dan tampak sangat jelas. Unit & Letak:
sederhana dan berlawanan. Bentuk: bulat telur hingga elips. Ujung: meruncing.
Ukuran: 10-40 x 5-17 cm.

Bunga : Warna putih, harum dan mudah rontok. Letak: di ketiak daun. Formasi: payung
dengan 5-8 bunga. Daun mahkota: jumlahnya 5, warna putih.

Buah : Lonjong bulat telur seperti kapsul dan penuh dengan benjolan. Ketika
masih mentah berwarna hijau muda, ketika matang agak kekuningan, lembek
dan berair. Biji kecil-kecil, coklat kehitaman dan banyak. Ukuran: panjang
5-10 cm.

Ekologi : Tumbuh liar di pantai hingga 500 m d.p.l, yaitu pada tempat-tempat yang
memperoleh sinar matahari cukup hingga sedikit ternaungi, mulai dari pantai
berpasir hingga berlumpur, lapangan terbuka, lahan terlantar, pinggir jalan hingga
jauh ke darat.

Penyebaran : Mulai dari Asia Tropis hingga Polynesia. Di Indonesia banyak ditemukan dari
dataran rendah (dekat pesisir pantai), hutan, ladang atau ditanam di pekarangan
sebagai tanaman sayur atau tanaman obat.

Kelimpahan : Sangat umum.

Manfaat : Akarnya untuk mewarnai batik dan anyaman pandan, daun muda biasa dikukus
dan direbus sebagai sayuran atau untuk membungkus ikan. Buah muda direbus
untuk lalab; buah setengan matang untuk rujak, dan yang matang untuk
membersihkan karat pada logam atau untuk keramas. Selain itu, akar, daun,
buah, bunga atau kulit batang tanaman ini dapat juga digunakan sebagai obat
batuk, sariawan, tekanan darah tinggi, radang empedu, melancarkan kencing,
disentri, sakit lever, cacingan, cacar air, sakit pinggang, sakit perut , dll.

4164
Morinda citrifolia

buah & bunga

b
a

a. bunga; b. buah; c. daun

1653
Pandanus odoratissima. PANDANACEAE

Nama setempat : pandan.

Deskripsi umum : Pohon dapat mencapai ketinggian hingga 6 m.

Daun : Berduri pada sisi daun dan ujungnya tajam. Panjang antara 0,5 – 2,0 meter.

Bunga : Letak: di ujung. Benangsari: banyak. Formasi: payung.

Buah : Seperti buah nenas dan ketika matang warnanya merah.

Ekologi : Tumbuh pada habitat dengan substrat berpasir di depan garis pantai, terkena
pasang surut hingga agak ke belakang garis pantai.

Penyebaran : Diduga terdapat di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Sangat umum.

Manfaat : Sebagai tanaman hias dan tanaman pagar.

4166
Pandanus odoratissima

buah

pohon

a. buah; b. daun

1673
Pandanus tectorius. Parkinson ex Z. PANDANACEAE

Nama setempat : Pandan.

Deskripsi umum : Pohon dapat mencapai ketinggian hingga 6 m.

Daun : Berduri pada sisi daun dan ujungnya tajam. Panjang antara 0,5 – 2,0 meter

Bunga : Warna merah-ungu. Letak: di ujung. Benangsari: banyak. Formasi: payung.

Buah : Seperti buah nenas dan ketika matang warnanya kuning jeruk.

Ekologi : Tumbuh pada habitat dengan substrat berpasir di depan garis pantai, terkena
pasang surut hingga agak ke belakang garis pantai.

Penyebaran : Diduga terdapat di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Sangat umum.

Manfaat : Dapat sebagai tanaman pagar. Bunganya dimanfaatkan untuk wangi-wangian


dan hiasan pada acara pernikahan.

4168
Pandanus tectorius

buah
pohon

a. buah; b. pohon

1693
Passiflora foetida (L.) PASSIFLORACEAE

Nama setempat : Gegambo, lemanas, remugak, kaceprek, kileuleur, permot, pacean, rajutan,
ceplukan blungsun, bungan pulir, moteti, buah pitri, kaap.

Deskripsi umum : Terna merambat, panjang 1,5-5 m. Memiliki alat pembelit yang beruntaian
seperti spiral.

Daun : Berwarna hijau kekuningan hingga hijau muda mengkilat seperti ada lapisan
lilin, berambut halus, bertangkai 2-10 cm. Unit & Letak: sederhana dan
bersilangan. Bentuk: seperti jantung, lebar menjari dengan tiga lekukan. Ujung:
meruncing. Ukuran: 5-13 x 4-12 cm.

Bunga : Warna agak putih hingga ungu muda/pucat, pada bagian tengahnya jauh lebih
ungu. Letak: di ketiak tangkai daun. Formasi: soliter. Daun mahkota: berbentuk
bulat telur terbalik, diameter hingga 5 cm. Benang sari: banyak, putih dan
panjangnya dapat melampaui ukuran panjang mahkota bunga.

Buah : Bulat seperti kelereng, kadang agak lonjong. Kulit buah hijau jika mentah dan
menjadi getas dan kuning ketika matang. Buah dibungkus oleh serabut yang
berambut banyak. Di dalam buah banyak dijumpai biji. Ukuran: diameter buah
1,5-3,0 cm.

Ekologi : Tumbuh liar di dekat pantai berpasir yang bukan rawa, tanah lapang terlantar,
merambat di pagar dan menyenangi lokasi yang mendapat cahaya matahari yang
kuat.

Penyebaran : Berasal dari Amerika Tropis dan di Indonesia tumbuh secara liar.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Daun muda dapat digunakan sebagai sayur, buahnya enak dimakan (manis seperti
markisa, tapi agak sedikit pahit). Seluruh bagian tanaman juga dapat digunakan
sebagai obat batuk, koreng, borok, kencing berlemak dan pembesaran kelenjar
limfa di leher.

4170
Passiflora foetida

buah

pohon

b a

a. buah; b. daun

1713
Pongamia pinnata (L.) Pierre LEGUMINOSAE

Nama setempat : Kacang kayu laut, ki pahang laut, bangkong, kranji, asawali, awakal,
marauwen, tangi, klengkeng.

Deskripsi umum : Pohon dengan ketinggian hingga 15 m. Cabang pada umumnya tidak
memiliki rambut atau urat, dan memiliki goresan yang menyerupai bintil
berdekatan dengan pinak daun pada pangkal gagang daun.

Daun : Tersusun dalam dua deret, dengan 3-7 pinak daun yang terletak secara
bersilangan, mengkilat dan warnanya hijau tua. Unit & Letak: majemuk dan
bersilangan. Bentuk: bulat telur hingga elips. Ujung: meruncing. Ukuran:
5-22,5 x 2,5-15 cm.

Bunga : Seperti kacang, warna ungu pucat. Bunga terletak berpasangan di sepanjang
tandan bunga yang panjangnya 6-27 cm. Gagang bunga berukuran 7-15 mm
ditutupi oleh pinak daun yang halus dan berambut pendek. Letak: di ketiak
daun. Formasi: bergerombol secara acak. Daun mahkota: berbentuk bulat telur
terbalik , panjang 11-18 mm. Kelopak bunga: berbentuk cangkir, panjangnya
4-5 mm, ditutupi oleh rambut yang pendek dan halus serta memiliki gigi tumpul
yang sangat pendek.

Buah : Polong berkulit tebal dan berparuh, memiliki gagang pendek di atas goresan
daun mahkota bunga, padat dan memiliki sebuah biji. Polong tidak membuka
ketika masak. Warna buah hijau kecoklatan. Ukuran: 5-7 x 2-3 cm.

Ekologi : Tumbuh di pantai berpasir yang bukan rawa, dan kadang-kadang di bagian tepi
daratan dari mangrove. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Bunga seringkali
berubah bentuk menjadi kantung bundar yang bisa dikelirukan dengan buahnya.

Penyebaran : Terdapat di seluruh Indonesia. Tersebar luas di Asia Tropis.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Daun digunakan sebagai makanan ternak. Biji beracun untuk manusia. Umum
ditanam di areal pesisir kawasan tropis karena sifatnya yang tahan terhadap
salinitas dan udara yang terbuka. Kadang-kadang ditanam sebagai pohon peneduh
di sepanjang jalan.

4172
Pongamia pinnata

daun & buah pohon

b
c

a. bunga; b. buah; c. daun

1733
Ricinus communis Linn. EUPHORBIACEAE

Nama setempat : Gloah, lulang, dulang, jarak, kalikih alang, jarag, dulang jai, lana-lana,
lafandru, jarak jawa, jarak jitun, kaliki, kaleke, kalalei, alale, malasai, kolonyan,
kohongiang, kilale, tetanga, luluk, paku penuai, paku ton, ketowang, balacai,
lutur bal.

Deskripsi umum : Perdu tegak dapat mencapai ketinggian hingga 3 m.

Daun : Seperti daun singkong, tapi tepinya bergerigi, urat daunnya rapat dan jelas. Warna
daun hijau tua di permukaan atas dan hijau muda di permukaan bawah. Tangkai
daun panjang berwarna hijau hingga merah bata. Unit & Letak: sederhana
tunggal dan bersilangan. Bentuk: menjari dengan jumlah jari 7 – 9. Ujung:
meruncing. Ukuran: diameter 10-40 cm.

Bunga : Majemuk, berwarna kuning oranye dan berkelamin satu.

Buah : Bentuknya bulat bersegmen (ada 3 segmen) dan berambut (seperti buah
rambutan). Warna buah hijau dan bergerombol pada tandan yang panjang. Satu
tandan dapat berisikan sekitar 30 – 40 buah.

Ekologi : Tumbuh liar di hutan, tanah kosong, sepanjang pantai atau ditanam sebagai
komoditi perkebunan pada ketinggian antara 0 – 800 m dari permukaan laut.
Dapat tumbuh di areal yang kurang subur asal pH tanahnya sekitar 6-7 dan
drainase airnya baik. Akar jarak tidak tahan terhadap adanya genangan air.

Penyebaran : Terdapat di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Bijinya terasa manis, pedas, netral dan digunakan untuk mengobati kanker mulut
rahim dan kulit, kelumpuhan otot muka, TBC kelenjar, bisul, koreng dan infeksi
jamur. Daunnya untuk obat koreng, eksim, gatal, batuk dan hernia. Akar
dipakai sebagai obat rematik, tetanus, epilepsi, bronchitis, luka terpukul, gangguan
jiwa (schizophrenia).

4174
Ricinus communis

pohon bunga & buah

a. buah; b. daun

1753
Scaevola taccada (Gaertn.) Roxb. GOODENIACEAE

Nama setempat : Bakung-bakung, bako-bakoan, babakoan, gegabusan.

Deskripsi umum : Herba rendah/semak/pohon, dapat mencapai ketinggian hingga 3 m.

Daun : Melebar kearah atas, berwarna hijau kekuningan dan mengkilat, tepinya
melengkung dan permukaan daun seperti berlapis lilin. Unit & Letak: sederhana
dan bersilangan. Bentuk: bulat telur terbalik hingga elips. Ujung: membundar.
Ukuran: 16,5-30 x 7,5-9,5 cm.

Bunga : Letak bunga: di ketiak daun. Formasi: mengelompok. Daun mahkota: putih
bersih, sering pada bagian dalamnya terdapat strip/garis berwarna jingga. Tangkai
Putik: membengkok.

Buah : Berbentuk kapsul, bulat. Ketika muda berwarna hijau muda, lalu menjadi putih
ketika sudah matang. Ukuran: diameter buah 8-12 mm.

Ekologi : Dijumpai secara soliter di bagian tepi daratan dari mangrove, pada tepi pematang
yang tidak terkena pengaruh pasang surut atau di daerah yang sistem drainasenya
baik dan lokasinya terbuka terhadap cahaya.

Penyebaran : Mungkin ditemukan di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Tidak diketahui.

Manfaat : Tidak tahu.

4176
Scaevola taccada

buah & bunga

daun, bunga & buah


c

a. bunga; b. buah; c. daun

1773
Sesuvium portulacastrum (L.) L. MOLLUGINACEAE / AIZOACEAE

Nama setempat : Gelang (-laut), saruni air, krokot, gelan-pasir, sesepi.

Deskripsi umum : Herba tahunan, menjalar, seringkali memiliki banyak cabang. Panjangnya
hingga 1 m dengan batang berwarna merah cerah, halus dan ditumbuhi akar
pada ruasnya.

Daun : Tebal berdaging. Unit & Letak: sederhana dan berlawanan. Bentuk: bulat
memanjang hingga lanset. Ujung: membundar. Ukuran: 2,5-7 x 0,5-1,5 cm.

Bunga : Kecil, warna ungu, memiliki tangkai panjangnya 3-15 mm dan tabung
panjangnya 3 mm. Letak bunga: di ketiak daun. Formasi: soliter. Daun mahkota:
5 cuping, panjang 6-9 mm. Benangsari: banyak dan 3-4 tangkai putik.

Buah : Berbentuk kapsul, bundar dan halus, panjang melintang kira-kira 8 mm. Terdapat
beberapa biji hitam berbentuk kacang, halus dan panjangnya 1,5 mm.

Ekologi : Seringkali ditemukan di sepanjang bagian tepi daratan dari mangrove, pada
hamparan lumpur dan gundukan pasir, pada areal yang secara tidak teratur
digenangi oleh pasang surut. Substrat tumbuh berupa pasir, lumpur dan tanah
liat. Juga ditemukan di pantai berkarang, sepanjang pematang tambak dan kali
pasang surut. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Bunga diserbuki kumbang
kecil pengumpul madu serta ngengat yang terbang siang. Biji tidak mengapung.

Penyebaran : Jenis Pan-tropis; ditemukan di sepanjang pesisir Jawa, Madura, Sulawesi dan
Sumatera.

Kelimpahan : Tidak diketahui.

Manfaat : Daun dapat dimakan setelah berulangkali dicuci dan dimasak. Juga digunakan
sebagai makanan kambing.

4178
Sesuvium portulacastrum

pohon

a. bunga; b. buah; c. daun

1793
Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl. VERBENACEAE

Nama setempat : Pecut kuda, jarongan, jarong lalaki, ngadi rengga, rumjarum, remek getih,
jarong, biron, sekar laru, laler mengeng, ki meurit beureum.

Deskripsi umum : Terna tahunan, tumbuh tegak terburai ke samping membentuk semak,
tinggi mencapai 1 meter.

Daun : Permukaan daun kasar dan guratan – guratan / lekukan di permukaannya


tampak jelas. Unit & Letak: sederhana dan berlawanan. Bentuk: bulat telur,
tepi bergerigi, tidak berambut. Ujung: meruncing. Ukuran: 2,5-6 x 1,0-3,5 cm.

Bunga : Terdapat pada tandan yang panjangnya mencapai 4-20 cm seperti pecut, bunga
duduk tanpa tangkai. Bunga mekar tidak serentak, ukurannya kecil berwarna
ungu kebiruan dan putih. Letak: di ketiak daun. Formasi: bulir pada tandan
yang panjang.

Ekologi : Dijumpai pada pematang tambak, hamparan lahan yang terbengkalai, pada lokasi
terbuka dan kering serta mendapat pencahayaan matahari yang kuat.

Penyebaran : Seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Tidak diketahui.

Manfaat : Sering dipelihara sebagai tanaman pagar hidup karena memiliki manfaat sebagai
bahan obat-obatan, misalnya untuk mengobati infeksi dan adanya batu pada
saluran kencing, reumatik, sakit tenggorokan, pembersih darah, datang haid
tidak teratur, keputihan dan hepatitis A.

4180
Stachytarpheta jamaicensis

pohon

a. bunga; b. daun

1813
Terminalia catappa L. COMBRETACEAE

Nama setempat : Ketapang, beowa, kilaula, ketapas, klihi, lisa, wewa, sabrise, sarisei, talisei,
dumpajang, luumpoyang, sadina, sarisa, sirisal, lisa, tasi, klis, tiliho, indian or
singapore almond.

Deskripsi umum : Pohon meluruh dengan ketinggian 10-35 m. Cabang muda tebal dan ditutupi
dengan rapat oleh rambut yang kemudian akan rontok. Mahkota pohon berlapis
secara horizontal, suatu kondisi yang terutama terlihat jelas pada pohon yang masih
muda.

Daun : Sangat lebar, umumnya memiliki 6-9 pasang urat yang jaraknya berjauhan, dengan
sebuah kelenjar terletak pada salah satu bagian dasar dari urat tengah. Daun
berubah menjadi merah muda atau merah beberapa saat sebelum rontok,
sehingga kanopi pohon tampak berwarna merah. Unit & Letak: s e d e r h a n a
dan bersilangan. Bentuk: bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 8-
25 x 5-14 cm (kadang panjangnya sampai 30 cm).
Bunga : Tandan bunga (panjangnya 8-16 cm) ditutupi oleh rambut yang halus. Bunga
berwarna putih atau hijau pucat dan tidak bergagang. Sebagian besar dari bunga
merupakan bunga jantan, dengan atau tanpa tangkai putik yang pendek. Letak:
di ketiak daun. Formasi: bulir. Kelopak bunga: halus di bagian dalam.

Buah : Penampilan seperti buah almond. Bersabut dan cangkangnya sangat keras. Ukuran
5-7 cm x 4x5,5 cm. Kulit buah berwarna hijau hingga hijau kekuningan
(mengkilat) di bagian tengahnya, kemudian berubah menjadi merah tua.

Ekologi : Sebarannya sangat luas. Tumbuh di pantai berpasir atau berkarang dan bagian
tepi daratan dari mangrove hingga jauh ke darat. Penyebaran buah dilakukan
melalui air atau oleh kelelawar pemakan buah. Pohon menggugurkan daunnya
(ketika warnanya berubah merah) sekali waktu, biasanya dua kali setahun (di
Jawa pada bulan Januari atau Februari dan Juli atau Agustus).

Penyebaran : Di seluruh Indonesia, tetapi agak jarang di Sumatera dan Kalimantan. Tumbuh
di bagian tropis Asia, Australia Utara dan Polinesia.

Kelimpahan : Umum, seringkali mendominasi vegetasi pantai.

Manfaat : Sering ditanam sebagai pohon peneduh jalanan. Kayu berwarna merah dan
memiliki kualitas yang baik, digunakan sebagai bahan bangunan dan pembuatan
perahu. Biji buahnya dapat dimakan dan mengandung minyak yang berlemak
dan bening. Tanin digunakan untuk mengatasi disentri serta untuk penyamakan
kulit. Daun kerap digunakan untuk mengobati reumatik.

4182
Terminalia catappa

daun, bunga & buah

pohon

a. bunga; b. buah; c. daun

1833
Thespesia populnea (L.) Soland. ex Correa MALVACEAE

Nama setempat : Waru laut, waru pantai, waru lot, salimuli.

Deskripsi umum : Pohon dengan ketinggian 2-10 m.

Daun : Tebal, berkulit dan permukaannya halus. Unit & Letak: sederhana dan
bersilangan. Bentuk: seperti hati. Ujung: meruncing. Ukuran: 7-24 x 5-16 cm.

Bunga : Berbentuk lonceng, kuning muda dengan warna jingga/gelap di bagian tengah
dasar. Tangkai putik menyatu, berwarna kuning dan ujungnya tumpul. Bunga
berisi cairan seperti susu berwarna kuning yang kemudian akan berubah menjadi
merah. Terdapat 3-8 pinak daun di bagian luar kelopak bunga.

Buah : Bakal buah juga memiliki cairan berwarna kuning. Buah seperti bola dan
bersegmen, diameter 2,5-4,5 cm. Terdapat 3-4 biji pada setiap ruang/segmen
buah yang padat ditutupi oleh rambut pendek .

Ekologi : Tumbuh di pantai, di pematang-pematang tambak dan bagian tepi daratan dari
mangrove.

Penyebaran : Pan-tropis; di seluruh Indonesia.

Kelimpahan : Umum.

Manfaat : Kayunya ringan. Pada masa lalu kulit kayu digunakan sebagai bahan serat. Daun
dan buah digunakan sebagai obat.

Catatan : Perbedaan antara Hibiscus tiliaceus dengan Thespesia populnea adalah sbb:

Bagian tanaman Hibiscus tiliaceus Thespesia populnea

Daun kelopak bunga bercuping 5 tidak bercuping


Daun muda biasanya terdapat tidak terdapat
Urat utama pada daun 9-11 7
Urat coklat pada daun muda tidak terdapat terdapat
Buah siap membuka di pohon ya tidak

4184
Thespesia populnea

daun & bunga

a. bunga; b. buah; c. daun

1853
Wedelia biflora (L.) DC. ASTERACEAE

Nama setempat : Sernai, pokok serunai, serunai laut, seremai, seruni, bunga batang.

Deskripsi umum : Ferna tahunan, panjang 1,5-5 m dengan batang yang kurus. Beberapa
rambut tumbuh pada kedua sisi permukaan daun dan pada batang.

Daun : Tepi daun bergerigi, dengan gagang daun panjangnya 0,5-4 cm. Bentuk:
bulat telur. Letak: bersilangan. Ukuran: 3-17 x 1-12 cm.

Bunga : Kepala bunga biasanya soliter, berwarna kuning cerah, terletak pada bagian
atas ketiak bunga atau kadang-kadang dalam pasangan, diameter 1,5-2,5 cm.
Gagang bunga panjangnya 1-7 cm, ditutupi oleh rambut. Memiliki kekhasan
berupa bunga komposit dengan delapan “daun mahkota” (sesungguhnya adalah
bunga terpisah berbentuk seperti bendera) dan cakram bunga (betina),
berjumlah 20-30.

Ekologi : Tumbuh terutama sepanjang atau dekat pantai, pada pantai berpasir dan pinggiran
mangrove. Dapat juga tumbuh di perkebunan kelapa, sawah kering, pinggir
sungai dan hutan sekunder.

Penyebaran : Kemungkinan terdapat di seluruh Indonesia. Dari Afrika Timur hingga Kepulauan
Pasifik.

Kelimpahan : Umum di mangrove.

Manfaat : Daunnya memiliki kepentingan untuk obat, terutama untuk penggunaan luar.
Mengobati luka terpotong atau terkena gigitan. Cairan yang diambil dari daunnya
dapat digunakan untuk mengobati sakit perut atau digunakan untuk ibu yang
baru bersalin. Akar digunakan untuk obat penyakit kelamin. Kadang-kadang
ditanam. Digunakan sebagai tumbuhan penutup tanah di perkebunan dengan
tujuan untuk menghindari erosi serta mencegah kehilangan air.

4186
Wedelia biflora

daun & bunga

a. bunga; b. daun

1873
ix3
1893
Lampiran 1. Jenis mangrove, nama lain/sinonim, sumber gambar dan foto,
yang tercantum atau dipakai dalam buku panduan ini.

JENIS MANGROVE S I N O N I M

MANGROVE SEJATI:

Acanthus ebracteatus

Acanthus ilicifolius A. neo-guineensis

Acrostichum aureum Chrysodium aureum, C. inaequale, C. vulgare, Acrostichum


spectabile, A. inaequale, A. obliquum

Acrostichum speciosum Chrysodium speciosum

Aegialitis annulata Aegialites annulata

Aegiceras corniculatum A. majus, A. fragrans

Aegiceras floridum A. nigricans

Amyema anisomeres

Amyema gravis Loranthus obovatus

Amyema mackayense Loranthus mackayensis, Amyema cycnei-sinus, L. cycneisinus,


A. mackayense ssp. cycnei-sinus

Avicennia alba A. marina var. alba

Avicennia eucalyptifolia A. officinalis var eucalyptifolia

Avicennia lanata

Avicennia marina A. intermedia, A. mindanaense

Avicennia officinalis A. tomentosa

Bruguiera cylindrica B. caryophylloides, B. malabarica, Mangium minus, M.


caryophylloies, Rhizophora cylindrica, R. caryophylloides, R.
ceratophylloides, Kanilia caryophylloides

Bruguiera exaristata

Bruguiera gymnorrhiza B. capensis, B. conjugata, B. cylindrica, B. gymnorrhiza,


B. rheedii, B. rhumpii,B. wightii, B. zippelii, Mangiumcelsum,
M. minus, Rhizophora gymnorrhiza, R. palun, R. rheedii, R.
tinctoria

Bruguiera hainessii Rhizophora caryophylloides

4190
SUMBER GAMBAR SUMBER FOTO

Tomlinson (1986), Wightman (1989) Hidayat (1999)

Tomlinson (1986), Wightman (1989) Jennifer Dudley (1999)

Piggott (1988), Holttum (1954), dan material hidup I Nyoman Suryadiputra (1999)

Wightman (1988) Hidayat (1999)

Tomlinson (1986), Wightman (1989)

Tomlinson (1986), Wightman (1989) I Nyoman Suryadiputra (1999)

Specimen herbarium Jennifer Dudley & Nyoman Suryadiputra (1999)

Herbarium Bogor

Danser (1931)

Barlow dalam Henty (1981)

Wahyu Gumelar I Nyoman Suryadiputra (1999)

Percival & Womersley Silvius, M.

Kitamura et. al. (1997)

Percival & Womersley (1975), Tomlinson (1986), Jennifer Dudley (1999)


Wightman (1989)

Wahyu Gumelar Hidayat (1999)

Ding Hou (1958), Tomlinson (1986) Kitamura et. al. (1997)

Ding Hou (1958), Wightman (1989)

Ding Hou (1958), Tomlinson (1986), Wightman I Nyoman Suryadiputra


(1989)

Ding Hou (1958), Tomlinson (1986)

1913
JENIS MANGROVE S I N O N I M

Bruguiera parviflora B. ritchiei, Rhizophora parviflora, R. cylinrica, Kanilia


parviflora

Bruguiera sexangula B. eriopetala, B. sexangularis, B. australis, B. parietosa, B.


angulata, B. oxyphylla, B. malabarica, B. cylindrica, Mangium
digitatum, Rhizophora sexangula, R. polyandra, R. plicata,
R. australis, R. eriopetala

Camptostemon philippinense Neesia altissima, Cumingia philippinensis

Camptostemon schultzii C. aruense

Ceriops decandra C. roxbhurgiana, C. zippeliana, Bruguiera decandra,


Rhizophora gromerulata, R. decandra

Ceriops tagal C. candolleana, C. pauciflora, C. forsteniana, C. boviniana, C.


lucida, C. timoriensis, C. somalensis, Rhizophora tagal, R.
timoriensis, R. candel

Excoecaria agallocha Stillingia agallocha

Gymnanthera paludosa Dicerolepis paludosa

Heritiera globosa

Heritiera littoralis H. minor, Balanopteris minor, B. tothila

Kandelia candel Rhizophora candel, K. rheedei

Lumnitzera littorea L. coccinea, Problastes cuneifolia, Pyrrhantus littoreus,


Laguncularia purpurea

Lumnitzera racemosa L. racemosa, Languncularia rosea, Lumnitzera rosea, Petaloma


alba, L. racemosa var. pubescens

Nypa fruticans N. fructicans

Osbornia octodonta

Phemphis acidula

Rhizophora apiculata Mangium candelarium, R. mangle, R. candelaria, R. conjugata

Rhizophora mucronata R. mangle, R. macrorrhiza, R. longissima,R. latifolia, R.


mucronata var. typica

Rhizophora stylosa R. mucronata var. stylosa

Sarcolobus globosa S. banksii

4192
SUMBER GAMBAR SUMBER FOTO

Ding Hou (1958), Tomlinson (1986), Wightman Kitamura et. al. (1997)
(1989)

Ding Hou (1958), Tomlinson (1986), Wightman Kitamura et. al. (1997)
(1989)

Bakhuizen van den Brink (1924)

Percival & Womersley (1975), Tomlinson (1986)

Ding Hou (1958), Tomlinson (1986), Wightman (1989) Hidayat (1999)

Ding Hou (1958), Tomlinson (1986), Wightman (1989) I Nyoman Suryadiputra

Wightman (1989) I Nyoman Suryadiputra (1999), Kitamura et.


al. (1997)

Specimen Herbarium Bogor Hidayat (1999)

Kostermans (1959)

Kostermans (1959), Percival & Womersley (1975), Hidayat (1999), Kitamura et. al. (1997)
Tomlinson (1986)

Ding Hou (1958) Silvius, M.

Percival & Womersley (1975) Hidayat (1999), Kitamura (1997)

Exell (1954), Wightman (1989) Kitamura et.al (1997), Jennifer Dudley

Polunin (1988) Hidayat (1999)

Tomlinson (1986), Wightman (1989) Kitamura et. al. (1997)

Jennifer Dudley (1999), Kitamura et. al. (1997)

Ding Hou (1958), Tomlinson (1986), Wightman (1989) Wendy Suryadiputra (1999), Hidayat (1999)

Ding Hou (1958), Tomlinson (1986), Wightman (1989) Jennifer Dudley (1999), Hidayat (1999)

Ding Hou (1958), Tomlinson (1986), Wightman (1989) Hidayat (1999), Kitamura et. al. (1997)

Specimen Herbarium Bogor

1933
JENIS MANGROVE S I N O N I M

Scyphiphora hydrophyllacea H. minor, Balanopteris minor, B. tothila, Ixora manila, S.


hydrophylacea

Sonneratia alba S. griffithii, S. mossambicensis, S. caseolaris, S. iriomotensis,


Mangium caseolare album,Rhizophora caseolaris Chiratia
leucantha.

Sonneratia caseolaris S. acida, S. pagatpat, S. rubra, S. ovalis, S. neglecta, S.


evenia, S. lanceolata, S. obovata, Mangium caseolare rubrum,
Rhizophora caseolaris, Aubletia caseolaris, Blatti caseolaris, B.
pagatpat

Sonneratia ovata S. alba

Xylocarpus granatum Carapa abovate, C. granatum

Xylocarpus mekongensis Xylocarpus australasicus

Xylocarpus moluccensis Carapa moluccensis

Xylocarpus rumphii

MANGROVE IKUTAN:

Barringtonia asiatica B. speciosa

Callophyllum inophyllum

Calotropis gigantea

Cerbera manghas C. lactaria

Clerodendrum inerme

Derris trifoliata D. heterophylla, D. uliginosa, Dalbergia heterophylla

Finlaysonia maritima

Hibiscus tiliaceus Novella repens, N. rubra

Ipomoea pes-caprae I. maritima, I. brasiliensis, I. biloba, Convolvulus bilobatus, C.


brasiliensis, C. maritima, C. maritimus, C. pes-caprae,
Soldanella marina indica.

Melastoma candidum M. affine, M. malabathricum, M. palyanthum

Morinda citrifolia

Pandanus odoratissima

4194
SUMBER GAMBAR SUMBER FOTO

Tomlinson (1986), Wightman (1989) Hidayat (1999)

Backer & van Steenis (1951), Tomlinson (1986), Wendy Suryadiputra (1999)
Wightman (1989)

Backer & van Steenis (1951), Tomlinson (1986), Wendy Suryadiputra (1999), Kitamura et.
Wightman (1989) al. (1997)

Backer & van Steenis (1951) Wim Giesen

Tomlinson (1986), Wightman (1989) I Nyoman Suryadiputra

Wightman (1989)

Walker (1976) Hidayat (1999)

Walker (1976) Kitamura (1997)

Keng (1987), Corner (1988), Polunin (1988) I Nyoman Suryadiputra (1999)

Tomlinson (1986) I Nyoman Suryadiputra (1999)

Wendy Suryadiputra (1999)

The Common Littoral Plants of Taiwan I Nyoman Suryadiputra (1999)

Jennifer Dudley (1999)

Icones Rijksherbarium Leiden I Nyoman Suryadiputra & Hidayat (1999)

Hidayat (1999)

Tomlinson (1986), Wightman (1989) I Nyoman Suryadiputra (1999)

Backer (1918), van Ooststroom (1953) I Nyoman Suryadiputra (1999)

Wahyu Gumelar I Nyoman Suryadiputra (1999)

Wahyu Gumelar I Nyoman Suryadiputra (1999)

Wahyu Gumelar Hidayat (1999)

1953
JENIS MANGROVE S I N O N I M

Pandanus tectorius

Passiflora foetida

Pongamia pinnata P. glabra

Ricinus communis R. inermis, R. speciosus, R. viridis, Croton spinosa L.

Scaevola taccada

Sesuvium portulacastrum Crithmus indicus, Portulaca portulacastrum, S. repens,


Trianthema polyandrum, Pyxipoma polyandrum, S. polyandrum.

Stachytarpheta jamaicensis S. marginata, S. pilosiuscula, S. villosa, S. urticifolia, Verbena


indica, V. jamaicensis

Terminalia catappa T. moluccana, T. latifoilia, T. catappa var. macrocarpa,


rhodocarpa, dan chlorocarpa, T. mauritiana, Myrobalanus
catappa

Thespesia populnea T. macrophylla, Bupariti populnea

Wedelia biflora W. glabrata

4196
SUMBER GAMBAR SUMBER FOTO

Wahyu Gumelar Kitamura et. al. (1997)

Wahyu Gumelar I Nyoman Suryadiputra (1999)

Tomlinson (1986) I Nyoman Suryadiputra (1999)

Wahyu Gumelar I Nyoman Suryadiputra (1999)

Wahyu Gumelar I Nyoman Suryadiputra (1999)

Wightman (1989) I Nyoman Suryadiputra (1999)

I Nyoman Suryadiputra (1999)

I Nyoman Suryadiputra (1999)

Tomlinson (1986), Wightman (1989) I Nyoman Suryadiputra (1999)

Material hidup I Nyoman Suryadiputra (1999)

1973
Lampiran 2. Daftar pustaka yang dapat dipakai sebagai acuan untuk
mendapatkan informasi lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA JENIS MANGROVE

Airy Shaw (1975) Excoecaria agallocha

Backer & Bakhuizen van Avicennia alba, A. marina, A. officinalis, Lumnitzera


den Brink (1963-8) littorea, L. racemosa, Terminalia catappa, Excoearia
agallocha, Xylocarpus granatum, X. moluccensis, Aegiceras
corniculatum, A. floridum, Osbornia octodonta, Bruguiera
cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula,
Ceriops decandra,C. tagal, Rhizophora apiculata, R.
mucronata, R.stylosa, Scyphiphora hydrophyllacea,
Sonneratia alba, S. caseolaris, S. ovata, Heritiera littoralis,
Calophyllum inophyllum, Cerbera manghas, Derris
trifoliata, Hibiscus tiliaceus, Pongamia pinnata, Sesuvium
portulacastrum, Thespesia populnea, Wedelia biflora,
Acanthus ebracteatus, A. ilicifolius, Gymnanthera
paludosa, Nypa fruticans, Sarcolobus globosa, Xylocarpus
rumphii

Backer (1918) Ipomoea pes-caprae

Backer & van Steenis (1951) Sonneratia alba, S. caseolaris, S. ovata

Bakhuizen van den Brink Camptostemon philippinense, C. schultzii

Baltzer & Baruadi (1991) Xylocarpus granatum

Burkill (1935) Wedelia biflora, Avicennia eucalyptifolia, A. marina, A.


officinalis, Xylocarpus granatum, Aegiceras corniculatum,
Aegialitis annulata, Kandelia candel, Acanthus ilicifolius

Corner (1988) Barringtonia asiatica

Danser (1931) Amyema gravis, A. anisomeres

Ding Hou (1958) Bruguiera cylindrica, B. exaristata, B. gymnorrhiza, B.


hainessii, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops decandra, C.
tagal, Kandelia candel, Rhizophora apiculata, R.
mucronata, R. stylosa

Excell (1954) Terminalia catappa, Lumnitzera littorea, L. racemosa

Giesen (1991) Sonneratia ovata

Giesen & Rudyanto (1994) Excoecaria agallocha

4198
DAFTAR PUSTAKA JENIS MANGROVE

Giesen & Sukotjo ( 1991) Excoecaria agallocha

Henty (1981) Amyema mackayense

Heyne (1950) Barringtonia asiatica, Calophyllum inophyllum, Cerbera


manghas, Derris trifoliata, Hibiscus tiliaceus, Ipomoea pes-
caprae, Sesuvium portulacastrum, Thespesia populnea,
Avicennia alba, A. marina, A. officinalis, Excoearia
agallocha, Xylocarpus granatum, X. moluccensis, Bruguiera
cylindrica, Sonneratia alba, S. caseolaris, Heritiera
littoralis, Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum,
Scyphiphora hydrophyllacea, Xylocarpus rumphii

Holttum (1966) Acrostichum aureum, A. speciosum

Johnstone & Frodin (1982) Avicennia eucalyptifolia

Kitamura et. al (1997) Calotropis gigantea, Finlaysonia maritima, Pandanus


tectorius, Scaevola taccada

Kostermans (1959) Heritiera globosa, H. littoralis

Percival & Womersley (1975) Avicennia alba, A. eucalyptifolia, A. marina, A. officinalis,


Camptostemon schultzii, Cerbera manghas, Excoearia
agallocha, Aegiceras corniculatum, Osbornia octodonta,
Aegialitis annulata, Ceriops decandra, C, tagal,
Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa,Sonneratia
alba, S. caseolaris, S. ovata, Heritiera littoralis, Nypa
fruticans

Perray & Metzger (1980) Wedelia biflora

Piggott (1988) Acrostichum aureum

Polunin (1988) Barringtonia asiatica

Prakash & Lim (1995) Aegialitis annulata

Said (1990) Avicennia officinalis, Excoecaria agallocha, Aegiceras


corniculatum, Kandelia candel, Scyphiphora
hydrophyllacea, Cerbera manghas, Thespesia populnea

1993
DAFTAR PUSTAKA JENIS MANGROVE

Tomlinson (1986) Avicennia alba, A. eucalyptifolia, A. marina, A.


officinalis, Camptostostemon philippinense, C, schultzii,
Xylocarpus granatum, X. mekongensis, X. moluccensis,
Aegiceras corniculatum, A. floridum, Osbornia octodonta,
Aegialitis annulata, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza,
B. hainessii, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops
decandra, C. tagal, Rhizophora apiculata, R. mucronata,
R. stylosa, Scyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba,
S. caseolaris, S. ovata, Heritiera Globosa, H. littoralis,
Calophyllum inophyllum, Cerbera manghas, Derris
trifoliata, Hibiscus tiliaceus, Pongamia pinnata, Thespesia
pupulnea, Acanthus ebracteatus, A. ilicifolius,
Acrostichum aureum, A. speciosum, Xylocarpus rumphii

Van Osststroom (1953) Ipomoea pes-caprae

Van Steenis (1936) Osbornia octodonta, Aegialitis annulata

Watson (1928) Acanthus ebracteatus, A. ilicifolius, Acrostichum aureum,


A. speciosum

Whitemore, Tantra & Sutisna Barringtonia asiatica


(1990)

Whitmore (1972) Calophyllum inophyllum

Wightman (1989) Avicennia marina, A. officinalis, Camptostemon schultzii,


Lumnitzera littorea, L. racemosa, Excoearia agallocha,
Xylocarpus granatum, X. mekongensis, Aegiceras
corniculatum, Osbornia octodonta, Aegialitis annulata,
Bruguiera exaristata, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B.
sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Rhizophora
apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Scyphiphora
hydrophyllacea, Sonneratia alba, Derris trifoliata, Hibiscus
tiliaceus, Sesuvium portulacastrum, Thespesia populnea,
Acrostichum speciosum, Nypa fruticans

Wijayakusuma, H. et.al. Ipomoea pes-capre, Melastoma candidum, Ricinus


(1992) communis, Stachytarpheta jamaicensis

4200
DAFTAR PUSTAKA

Abdulhadi, R. & Suhardjono. 1994. The Remnant Mangroves of Sei Kecil, Simpang
Hilir, West Kalimantan, Indonesia. Hydrobiologia, 285: 249-255.

Abe, K. 1988. Arboreal Arthropod Community of Mangrove Forest in Halmahera,


Indonesia. Dalam Biological System of Mangroves. Laporan Ekspedisi Mangrove
Indonesia Timur tahun 1986, Ehime University, Japan. Hal. 141-151.

Adiwiryono, S., Sukristiyono & V. Toro. 1984. The Occurrence of Crustaceans in the
Tanjung Bungin Mangrove Forest, South Sumatra, Indonesia. Dalam Prosiding
Simposium Mangrove Environment: Restoration & Management. Hal. 241-257.

Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. IUCN Wetlands


Programme. IUCN, Bangkok, Thailand. 176 hal.

Andrew, P. 1990. The Birds of Indonesia. A checklist (Peters’ Sequence). Indonesian


Ornithological Society, Jakarta. 83 hal.

Andrew, P. 1992. Ecology & Management of Mangrove. IUCN. Bangkok, Thailand.

AWB-Indonesia. 1994. Proposed Wetland Conservation Areas: New & Extensions of


Existing Reserves. AWB-Indonesia/PHPA, Bogor.

Backer, C.A. & C.G.G.J. van Steenis. 1951. Sonneratiaceae. Flora Malesiana, Ser.
I, 4: 286-289.

Backer, C.A. & R.C. Bakhuizen van den Brink. 1963-1968. Flora of Java. 3 Volumes,
N.V.P. Noordhoff, Leiden, The Netherlands.

Biro Pusat Statistik. 1990. Statistik Indonesia. Jakarta.

Biro Pusat Statistik. 1998. Statistik Indonesia. Jakarta.

Bailey, C. 1988. The Social Consequences of Tropical Shrimp Mariculture Development.


Ocean & Shoreline Management, 11: 31-44.

Bakhuizen van den Brink, R.C. 1921. Revisio Generis Avicenniae. Dalam Bulletin
du Jardin Botanique Buitenzorg, seri III vol.III.

Ballen, S. V. 1988. The Terrestrial Mangroves Birds of Java. Dalam Simposium on


Mangrove Management: Its Ecological and Economic Consideration. Bogor.

Baltzer, M. 1990. A Report on The Wetland Avifauna of South Sulawesi. Kukila,


5: 27-55.

2013
Becking J.H., L.G. den Berger & H.W. Meindersma. 1922. Vloed- of mangrovebosschen
in Ned.-Indië. Dalam Tectona XV.

Boon, D.A. 1936. De inrichting van de voor exploitatie in aanmerking komende


bosschen in de afdeeling Bengkalis, benevens eenige opmerkingen omtrent de
samenstelling der terplaatse voorkomende moerasbosschen. Tectona, 29:
344-373.

Budiman, A. 1985. The Molluscan Fauna in Reef Associated Mangrove Forests in


Elpaputih and Wallale, Ceram, Indonesia. Austr. Nat. Univ., Mangrove
Monograph No. 1, Darwin. Hal. 251-258.

Budiman, A. 1988. Ecology and Behaviour of Benthic Fauna, Crabs and Molluscs #2:
Ecological Distribution of Molluscs. Dalam Biological System of Mangroves.
Laporan Ekspedisi Mangrove Indonesia Timur tahun 1986, Ehime University,
Japan. Hal. 49-57.

Bunt, J.S. & W.T. Williams. 1981. Vegetational Relationships in The Mangroves of
Tropical Australia. Marine Ecology - Progress Series, 4: 349-359.

Burbridge, P.R. & Koesoebiono. 1980. Management of Mangrove Exploitation in


Indonesia. Dalam Prosiding Simposium Mangrove Environment. Hal. 740-760.

Burhanuddin. 1993. A Study on Mangrove Fish at Handeuleum Group and Panaitan


Island of Ujung Kulon National Park. Dalam Prosiding Lokakarya Mangrove
Fisheries and Connections, Ipoh, Malaysia, August 26-30, 1991. Hal. 173-
182.

Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of The Economic Products of the Malay Peninsula.
Crown Agents for the Colonies, London. 2 volume. 2402 hal.

Chambers, M. J. 1980. The Environment and Geomorphology of Deltaic


Sedimentation (some examples from Indonesia) Trop. Ecol. Dev. Hal 1091-
1095.

Chapman, V.J. 1976a. Mangrove Vegetation. J. Cramer, Valduz, 447 hal.

Chapman, V.J. 1976b. Coastal Vegetation. Pergamon Press, 292 hal.

Chapman, V.J. editor. 1977. Wet Coastal Ecosystems. Ecosystems of the World: 1.
Elsevier Scientific Publishing Company, 428 hal.

Chapman, V.J. 1984. Botanical Surveys in Mangrove Communities. Dalam The


mangrove Ecosystem: Research Methods. UNESCO, Monograph on
Oceanological Methodology 8, Paris. hal. 53-80.

4202
Choy, S.C. & W.E. Booth. 1994. Prolongued Inundation and Ecological Changes
in An Avicennia Mangrove: Implications for Conservation and Management.
Hydrobiologia, 285: 237-247.

Danielsen, F. & H. Skov. 1987. Waterbird Study Results From South East Sumatra.
OEC. Bull. 3: 8-11.

Danielsen, F. & W. Verheugt. 1990. Integrating Conservation With Land-use Planning


in The Coastal Region of South Sumatra. PHPA, AWB, PPLH-UNSRI and the
Danish Ornithological Society, Bogor, Indonesia, 210 hal.

Danielsen, F., A. Purwoko, M. J. Silvius, H. Skov & W. J. M. Verheugt. 1991.


Breeding habitat of Milky Stork Mycteria cinerea in South Sumatera Indonesia.
Bogor.

Danser, B.H. 1931. The Loranthaceae of the Netherlands Indies. Bull. Jard. Bot. de
Buiten zorg, Ser. III vol. XI: 233-519.

Davies, J. & G. Claridge. 1993. Wetland Benefits. The Potential for Wetlands to
Support and Maintain Development. Asian Wetland Bureau, International
Waterfowl & Wetlands Research Bureau, Wetlands for the America’s, 45 hal.

de Haan, J. H. 1931. Het een en ander over de Tjilatjap’sche vloedbosschen. Tectona


24: 39-76.

Delsman, H.C. 1972. Radjoengans. De Tropische Natuur, 16: 155-160.

Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia.


Jakarta

Ding Hou. 1958. Rhizophoraceae. Flora Malesiana, Ser.I, 5: 429-493.

Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. 1991. Statistik Perikanan


Indonesia. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. 1997. Statistik Perikanan


Indonesia. Jakarta.

Djamali, A. 1991. Telaah Ekologis Kelimpahan Juwana Udang Jerbung (Penaeus


merquiensis de Haan) di Perairan Sekitar Mangrove Sungai Donan, Cilacap,
Jawa Tengah. Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Jakarta.
Hal 175.

Duke, N.C., J.S. Bunt & W.T. Williams. 1984. Observations on The Floral and
Vegetative Phenologies of North-eastern Australian Mangroves. Aust. J. Bot.,
32: 87-99.

2033
Duke, N.C. 1992. Mangrove Floristics and Biogeography. Dalam Tropical Mangrove
Ecosystems (Volume 41). Bab 4, hal. 63-100.

English, S., C. Wilkinson & V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Australian Institute of Marince Science, Townsville, Australia, 368
hal.

Erftemeijer, P. & E. Djuharsa. 1988. Survey of Coastal Wetlands and Waterbirds


in the Brantas and Solo Deltas, East Java (Indonesia). PHPA, AWB/INTERWADER
& Catholic University of Nijmegen, Bogor, Indonesia, 92 hal.

Erftemeijer, P., B. van Balen & E. Djuharsa. 1988. The Importance of Segara Anakan
for Nature Conservation. With Special Reference to Its Avifauna. PHPA-AWB/
INTERWADER, Laporan No. 6, Bogor, Indonesia, 59 hal.

Erftemeijer, P., G. Allen & Zuwendra. 1989. Preliminary Resource Inventory of


Bintuni Bay and Recommendations for Conservation and Management. PHPA/
AWB, Bogor, Indonesia, 151 hal.

Exell, A.W. 1954. Combretaceae. Flora Malesiana, Ser.I, 4: 533-589.

F.A.O. 1982. Management and Utilization of Mangroves in Asia and the Pacific.
FAO Environment Paper 3, Rome.

Fernandes, D.A. 1934. Over mangrove Culturen. Dalam Tectona XXVII. Hal. 299-
303.

Fiselier, J.L., W. Altenburg, A. Spaans, F. Baal, G.M. van den Top, W.J.M. Verheugt,
A. Purwoko, F. Danielsen, H. Skov & R. Kadarisman. 1990. Living off the
Tides. Environmental Database on Wetland Interventions (EDWIN), Centre for
Environmental Studies, Leiden, the Netherlands, 119 hal.

Fong, F.W. 1984. Nipa Swamp - A Neglected Mangrove Resource. Dalam Prosiding
Simposium Mangrove Environment - Restoration & Management, 1984: 663-671.

Foo, H.T. & J.T.S. Wong. 1980. Mangrove Swamp and Fisheries in Sabah. Dalam
Tropical Ecology & Development, Int. Soc. Trop. Ecol., Kuala Lumpur. Hal.
1157-1161.

Frazier, S. 1992. Tiger Data in Wetland Data Base and a Recommendation to


Enhance the Chances of Tiger Survival. Lokakarya Harimau Sumatera, Padang,
West Sumatra, Indonesia, 22-26 November 1992.

Giesen, W. 1991a. Bakung Island, Riau (Pulau Bakung, Pulau Basu). Laporan proyek
PHPA/AWB Sumatra Wetland No. 11, Bogor. 45 hal.

4204
Giesen, W. 1991. Hutan Bakau Pantai Timur Nature Reserve, Jambi, Sumatra. Laporan
proyek PHPA/AWB Sumatra Wetland No. 17, Bogor. 34 hal.

Giesen, W. 1993. Indonesia’s Mangroves: An Update on Remaining Area and Main


Management Issues. Dalam Seminar “Coastal Zone Management of Small Island
Ecosystems”, Ambon, 7-10 April 1993. 10 hal.

Giesen, W. 1993. Mass Feeding of Dog-faced Water Snakes (Cerberus rhynchops)


on Sumatran Mudflats. Malayan Nature Journal, 46: 265-266.

Giesen, W. 1994. Perubahan Habitat Lahan Basah di Kepulauan Sunda Besar dan
Implikasinya terhadap Keragaman Hayati [Habitat Changes in Wetlands of the
Greater Sunda’s and Implications for Biodiversity]. Dalam Prosiding Simposium
Pertama mengenai Berang-berang di Indonesia. Peranan Berang-berang Bagi
Manusia. Bogor, 7 April 1994, PHPA/AWB-Indonesia, Bogor. Hal. 45-55.

Giesen, W., M. Baltzer & R. Baruadi. 1991. Integrating Conservation with Land-use
Development in Wetlands of South Sulawesi. Publikasi PHPA/AWB, Bogor,
240 hal.

Giesen, W. & B. van Balen. 1991. Several Short Surveys of Sumatran Wetlands.
Notes and Observations. Laporan Proyek PHPA/AWB Sumatra Wetlands No.
26, 98 hal.

Giesen, W. & Sukotjo. 1991. Karang Gading-Langkat Timur Laut Wildlife Reserve
(North Sumatra). Laporan Proyek PHPA/AWB Sumatra Wetland No. 10, 48
hal.

Giesen, W. & Rudyanto. 1994. Satonda Island, Sumbawa, and Its Unique
Stromatolites. PHPA / AWB, Bogor, 17 hal.

Groombridge, B. editor. 1992. Global Biodiversity. Status of the Earth’s Living


Resources. Chapman & Hall, 585 hal.

Hardjowigeno, S. 1989. Mangrove Soils of Indonesia. Dalam prosiding simposium


Mangrove Management: its Ecological and Economic Considerations, Bogor,
Indonesia, August 9-11, 1988. Hal. 257-265.

Hassan, R.B. & T.L. Ti. 1986. Observations on Acid Runoff and Iron in Brackishwater
Fishponds. Problems and Implications. Department of Fisheries, Min. of
Agriculture, 14 hal.

Henty, E.E. editor. 1981. Handbooks of the Flora of Papua New Guinea, Volume
II. Government of Papua New Guinea, Lae.

2053
Hilmi, C. Kusmana & Suhendra. 1997. Studi lebar jalur hijau mangrove di Angke
Kapuk Jakarta. Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan)

Hommel, P.W.F.M. 1987. Landscape-ecology of Ujung Kulon (West Java, Indonesia).


PhD thesis, Agricultural University of Wageningen, the Netherlands, 206 hal.

Jiménez, J.A. & A.E. Lugo. 1985. Tree Mortality in Mangrove Forests. Biotropica,
17: 177- 185.

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1993. Pengelolaan Ekosistem Hutan


Mangrove. Prosiding Lokakarya Pemantapan Strategi Pengelolaan Lingkungan
Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua.
Kapal Kerinci, 11-13 September 1993, 47 hal.

Kasry, A. 1984. Pengelolaan Hutan DAS Rokan - Hutan Mangrove Kabupaten


Bengkalis dan Kemunduran Perikanan di Bagan Siapi-api dan Sekitarnya. Dalam
Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Jakarta. Hal 41.

Keng, F.L.L. & M.L. Tat-Mong. 1989. Fascinating Snakes of Southeast Asia - An
Introduction. Tropical Press, Kuala Lumpur, 124 hal.

Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat.


Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.

Kint, A. 1934. De luchtfoto en de topografische terreingesteldheid in de mangrove.


De Tropische Natuur, 23: 173-189.

Kitamura, S., C. Anwar., A. Chaniago & S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves


in Indonesia, Bali & Lombok. JICA & ISME.

Knox, G.A. & T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and
Conservation in Southeast Asia, with Special Reference to Indonesia. UNESCO
Regional Office for Science & Technology for Southeast Asia, Jakarta, 182 hal.

Komiyama, A., H. Moriya, S. Prawiroatmodjo, T. Tomi & K. Ogino. 1988. Forest


as an Ecosystem, Its Structure and Function; #1: Floristic Composition and
Stand Structure. Dalam Biological System of Mangroves. Laporan Ekspedisi
Mangrove Indonesia Timur tahun 1986, Ehime University, Japan. Hal. 85-96.

Kostermans, A.J.G.J. 1959. Monograph of the Genus Heritiera Aitn. (Sterculiaceae).


Reinwardtia, 4: 256-62.

Kusmana, C. 1997. Metoda Survey Vegetasi. IPB Press. Bogor.

Kusmana, C & Onrizal. 1997. Pengenalan Jenis Pohon Mangrove di Teluk Bintuni,
Irian Jaya. IPB Press. Bogor.

4206
Kusmana, C. 1999. Pedoman Pembuatan Persemaian Jenis-Jenis Pohon Mangrove.
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan)

Macintosh, D.J. 1984. Ecology and Productivity of Malaysian Mangrove Crab


Populations (Decapoda: Brachyura). Dalam Prosiding Simposium Mangrove
Environment - Restoration & Management, 1984: 354-377.

MacNae, W. 1968. A General Account of the Fauna and Flora of Mangrove Swamps
and Forests in the Indo-West-Pacific Region. Adv. mar. Biol., 6: 73-270.

Mann, K.H. 1982. Ecology of Coastal Waters. A Systems Approach. Studies in


Ecology, Vol. 8, Blackwell Scientific Publications, 322 hal.

Manuputty, A.E.W. 1984. Some Notes on The Crustacean Fauna Around Mangrove
Area of Pancer Balok, Cimanuk River Estuary, West Java. Dalam Prosiding
Simposium Mangrove Environment - Restoration & Management, 1984: 231-240.

Mastaller, M. 1997. Mangrove: The Forgotten Forest Between Land and Sea. Kuala
Lumpur, Malaysia. Hal 5.

Mepham, R.H. & J.S. Mepham. 1985. The Flora of Tidal Forests- a Rationalization
of The Use of The Term Mangrove. S.Afr.J. Bot. 1985: 77- 99

Meindersma, H.W. 1923. Eenige bijzonderheden over mangrove- bosschen. De


Tropische Natuur, 12: 25-31, 39-46, 70-77.

Melisch, R., Y.R. Noor, W. Giesen, E.W. Hanafia & Rudyanto. 1993. An Assessment
of the Importance of Rawa Danau for Nature Conservation and An Evaluation
of Resource Use. PHPA/AWB, Bogor, 97 hal.

Departemen Kehutanan & FAO. 1990. Situation and Outlook of the Forestry Sector
in Indonesia. Volume 2: Forest Resource Base. UTF/INS/065/INS: Forestry
Studies, Technical Report No. 1, Jakarta.

Nirarita, Ch. E. 1994. Hutan Mangrove: Antara Nilai Ekonomi dan Fungsi Ekologi.
Warta Konservasi Lahan Basah. Vol. 2 No. 1.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara (Marine Nusantara). Djambatan. Jakarta, Indonesia.

Nurkin, B. 1979. Beberapa Catatan Tentang Aspek Pengusahaan Hutan Mangrove


di Sulawesi Selatan. Dalam Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove,
Jakarta.

Odum, W. E. & E. J. Heald. 1974. The Detritus Based Food Web of An Estuarine
Mangrove Community. Estua. Res. 1: 265-268.

2073
Ogino, K. & M. Chihara. 1988. Biological System of Mangroves. Laporan Ekspedisi
Mangrove Indonesia Timur tahun 1986. Ehime University, Japan, 181 hal.

Ong, J.E. 1982. Mangroves and Aquaculture. Ambio, 11: 252- 257.

Othman, M.A. 1994. Value of Mangroves in Coastal Protection. Hydrobiologia,


285: 277-282.

Payne, J., C.M. Francis & K. Phillipps. 1985. A Field Guide to the Mammals of
Borneo. The Sabah Society with World Wildlife Fund Malaysia, Kuala Lumpur,
332 hal.

Percival, M. & J.S. Womersley. 1975. Floristics and Ecology of The Mangrove
Vegetation of Papua New Guinea. Botany Bulletin No. 8, Papua New Guines
National Herbarium, Department of Forests, Lae, 96 hal.

Prakash, N. & A.L. Lim. 1995. The Systematic Position of Aegialitis, the Enigmatic
Mangrove. Wallaceana, 74: 11-15.

Primavera, J.H. 1991. Intensive Prawn Farming in the Philippines: Ecological, Social,
and Economic Implications. Ambio, 20 (1): 28-33.

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir & Laut IPB. 1998. Rancangan Rencana Pengelolaan
Kawasan Segara Anakan. Buku I Kondisi & Potensi Biofisik Kawasan. Bogor.
Hal 1.

Ridley, H.N. 1924, editor. The Flora of the Malay Peninsula. Vol. IV
Monocotyledones. Reeve & Co., Ltd., London, 383 hal.

Rusila Noor, Y. 1987. Studi Populasi Burung Air Kaitannya dengan Usaha Konservasi
di Daerah Pantai Indramayu dan Cirebon. Skripsi, Jurusan Biologi - UNPAD,
Bandung.

Rusila Noor, Y. 1991. Laporan Penyigian Burung Air di Sumatera Selatan dan
Jambi. PHPA/Asian Wetland Bureau, Bogor.

Rusila Noor, Y., Th. Sibuea & Rudyanto. 1993. Milky Stork Banding at Pulau Rambut,
West Java, Indonesia. SIS Newsletter Vol. 6 No. 12.

Saenger, P., E.J. Hegerl & J.D.S. Davie. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems.
IUCN Commission on Ecology Papers No. 3, 88 hal.

Said, I.M. 1990. A List of Wetland Plant Species of Peninsular Malaysia, with
particular reference to those having socio-economic value. AWB publikasi no.
67a.

4208
Samingan, M.T. 1980. Notes on The Vegetation of The Tidal Areas of South Sumatra,
Indonesia, with Special Reference to Karang Agung. Dalam International Social
Tropical Ecologi, Kuala Lumpur. Hal. 1107-1112.

Sasekumar, A., M.U. Leh, V.C. Chong, R. D’Cruz & M.L. Audrey. 1989. The Sungai
Pulai (Johor): A Unique Mangrove Estuary. Prosiding Seminar Tahunan ke-
12 the Malaysian Society of Marine Sciences. Hal. 191-211.

Sasekumar, A., V.C. Chong, M.U. Leh & R. D’Cruz. 1992. Mangroves as a Habitat
For Fish and Prawns. Hydrobiologia, 247: 195-207.

Savitri. L. A & M. Khazali. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan


Wilayah Pesisir: Pengalaman Pengembangan Tambak Ramah Lingkungan dan
Rehabilitasi Mangrove di Karangsong Indramayu. Wetlands International –
Indonesia Programme. Bogor.

Silvius, M.J. 1986. Survey of Coastal Wetlands in Sumatra Selatan and Jambi,
Indonesia. Laporan PHPA - INTERWADER No. 1, Bogor, Indonesia, 101 hal.

Silvius, M.J., W.J.M. Verheugt & J. Iskandar. 1986. Coastal Wetlands Inventory of
South East Sumatra. Laporan Survey Sumatran Waterbird Laporan Studi ICBP
No. 9, Cambridge.

Silvius, M.J., A.P.J.M. Steeman, E.T. Berczy, E. Djuharsa & A, Taufik. 1987. The
Indonesian Wetland Inventory. A Preliminary Compilation of Existing Information
on Wetlands of Indonesia. PHPA, AWB/INTERWADER, EDWIN, Bogor,
Indonesia. 2 volume. Hal. 121 & 268.

Silvius, M.J. & A.W. Taufik. 1989. Conservation and Land-use of Kimaam Island.
A Survey Report and Compilation of Existing Information. PHPA-Asian Wetland
Bureau, Bogor.

Silvius, M.J & W. J. M. Verheught. 1989. The Status of Storks, Ibises & Spoonbills
in Indonesia. Kukila No. 4: 163-164.

Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove.
Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta. Hal 39.

Soewito. 1984. Status Ekosistem Hutan Mangrove dalam Kaitannya dengan


Kepentingan Perikanan di Indonesia dan Kemungkinan Pengembangannya.
Dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Jakarta. hal 124-125.

Spalding, M.D., F. Blasco & C.D. Field editor. 1996. World Mangrove Atlas.
International Society for Mangrove Ecosystems, Okinawa, Japan.

2093
Steup, F.K.M. 1941. Kustaanwas en Mangrove. Natuurwetenschappelijk Tijdschrift
voor Ned. Indië, 12: 353-355.

Tanaka, J. & M. Chihara. 1988. Macroalgae in Indonesian Mangrove Forests. Bull.


Natn. Sci. Mus., Tokyo, Ser. B, 14: 93-106.

Thurairaja, V. 1994. Coastal Resources Development Options in the Southeast Asia


and Pacific Regions: Economic Valuation Methodologies and Applications in
Mangrove Development. Maritime Studies, 79: 1-13.

Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press,


Cambridge, U.K., 419 hal.

Tweedie, M.W.F. & J.L. Harrison. 1954. Malayan Animal Life. Longman Malaysia,
237 hal.

van Balen, S. 1989. The Terrestrial Mangrove Birds of Java. Dalam Prosiding
Simposium Mangrove Management: Its Ecological and Economic Considerations’,
BIOTROP Special Publication No. 37, hal. 193-205.

van Bodegom, A.H. 1929. De vloedbosschen in het gewest Riouw en


onderhoorigheden. Tectona, 22: 1302-1332.

van Steenis, C.G.G.J. 1936. Osbornia octodonta, een weinig bekende


mangrove-boom. De Tropische Natuur, 26: 194-6.

van Steenis, C.G.G.J. 1949. Plumbaginaceae. Flora Malesiana, Ser.I, 4: 107-112.

van Steenis, C.G.G.J. 1957. Outline of Vegetation Types in Indonesia and Some
Adjacent Regions. Prosiding the 8th Pacific Science Congress, Vol. IV: 61-97.

van Steenis, C.G.G.J. 1958. Ecology of Mangroves. Introduction to Account of the


Rhizophoraceae by Ding Hou, Flora Malesiana, Ser. I, 5: 431- 441.

Verheught, W. J. M. 1987. Conservation Status and Action Program for the milky
stork (Mycteria cinerea). Colonial Waterbirds. Hal 211-220.

Verheugt, W., A. Purwoko, F. Danielsen, H. Skov & R. Kadarisman. 1991. Integrating


Mangrove and Swamp Forests Conservation with Coastal Lowland Development;
the Banyuasin Sembilang Swamps Case Study, South Sumatra Province,
Indonesia. Landscape and Urban Planning, 20: 85-94.

Wada, K. & D. Wowor. 1989. Foraging on Mangrove Pneumatophores by Ocypodid


Crabs. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 134: 89-100.

4210
Wahyuni, I. S. & S. Nuraini. 1984. Beberapa Jenis Hasil Perairan Segara Anakan
Cilacap yang telah Dimanfaatkan Penduduk Sekitarnya. Dalam Prosiding
Seminar II Ekosistem Mangrove. Jakarta. Hal 358.

Walker, E.H. 1976. Flora of Okinawa and the Southern Ryukyu Islands.

Wardoyo, S.E. & F. Rasyid. 1985. Sumber Benih Baru di Indonesia Timur untuk
Menanggulangi Masalah Perkembangan Tambak. Jawul Penelitian Budidaya
Pantai, Maros, Sulawesi Selatan, 1: 1-8.

Watson, J.G. 1928. Mangrove Forests of the Malay Peninsula. Malayan Forest
Records No. 6, Federated Malay States Government, Singapore, 275 hal.

White, A.T., P. Martosubroto & M.S.M. Sadorra. Editor. 1989. The Coastal
Environmental Profile of Segara Anakan-Cilacap, South Java, Indonesia. ICLARM
Technical Reports 25, 82 hal. International Center for Living Aquatic Resources
Management, Manila, Philippines.

Whitmore, T.C. 1973. Palms of Malaya. Oxford University Press, Kuala Lumpur,
132 hal.

Whitten, A.J., S.J. Damanik, J. Anwar & N. Hisyam. 1984. The Ecology of Sumatra.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 583 hal.

Whitten, A.J., M. Mustafa & G.S. Henderson. 1988. The Ecology of Sulawesi.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 777 hal.

Wightman, G.M. 1989. Mangroves of the Northern Territory. Northern Territory


Botanical Bulletin No. 7. Conservation Commission of the Northern Territory,
Palmerston, N.T., Australia.

Wijayakusuma, M. H., T. Yaputra & B. Wibowo. 1992. Tanaman Berkhasiat Obat


di Indonesia Jilid I. Pustaka Kartini. Jakarta.

Wijayakusuma, M. H., T. Yaputra & B. Wibowo. 1993. Tanaman Berkhasiat Obat


di Indonesia Jilid ke-2. Pustaka Kartini. Jakarta.

Wijayakusuma, M. H., S. Dalimartha & A. S. Wirian. 1995. Tanaman Berkhasiat


Obat di Indonesia Jilid ke-3. Pustaka Kartini. Jakarta.

Wijayakusuma, M. H., S. Dalimartha & A. S. Wirian. 1996. Tanaman Berkhasiat


Obat di Indonesia Jilid ke-4. Pustaka Kartini. Jakarta.

Zieren, M, Y. Rusila Noor, M. Baltzer and N. Saleh. 1990. Wetlands of Sumba,


East Nusa Tenggara. PHPA/AWB Bogor.

2113
GLOSSARY

GEOGRAFIS
Dunia lama (Old World) Eurasia dan Afrika
Pan-tropis (Pan-tropical) Terdapat di seluruh daerah tropis di seluruh dunia

KEBIASAAN HIDUP
Hemi-parasit (Hemi-parasite) Tumbuhan yang sebagian hidupnya bergantung kepada
inangnya, tetapi mampu untuk melakukan fotosintesa
sendiri. Dapat hidup tanpa inang.
Parasit (Parasite) Tumbuhan yang hidupnya bergantung kepada inangnya.

KELOMPOK TUMBUHAN
Belukar (Shrub) Tumbuhan yang memiliki kayu yang cukup besar, dan
memiliki tangkai yang terbagi menjadi banyak sub-
tangkai.
Epifit (Epiphyte) Tumbuhan yang hidup dipermukaan tumbuhan lain
(biasanya pohon dan palma). Epifit mungkin hidup
sebagai parasit atau hemi-parasit.
Paku-pakuan (Fern) Tumbuhan tanpa bunga atau tangkai, biasanya
memiliki rhizoma seperti akar dan berkayu, dimana
pada rhizoma tersebut keluar tangkai daun.
Palma (Palm) Tumbuhan yang tangkainya menyerupai kayu, lurus
dan biasanya tinggi; tidak bercabang sampai daun
pertama. Daun lebih panjang dari 1 meter dan
biasanya terbagi dalam banyak anak daun.
Pemanjat (Climber) Tumbuhan seperti kayu atau berumput yang tidak
berdiri sendiri namun merambat atau memanjat untuk
penyokongnya seperti kayu atau belukar.
Pohon (Tree) Tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi dan
memiliki satu batang atau tangkai utama.
Terna (Herb) Tumbuhan yang merambat ditanah, namun tidak
menyerupai rumput. Daunnya tidak panjang dan
lurus, biasanya memiliki bunga yang menyolok,
tingginya tidak lebih dari 2 meter dan memiliki tangkai
lembut yang kadang-kadang keras.

4212
BATANG/KULIT KAYU
Bercelah (Fissured) Goresan yang dalam pada batang pohon atau kulit kayu.
Getah (Latex) Cairan yang pekat seperti susu.
Hipokotil (Hypocotyl) Bagian dari kecambah yang akan tumbuh menjadi
pangkal batang yang akan berhubungan dengan
pangkal akar.
Lentisel (Lenticel) Tonjolan pada kulit yang memungkinkan udara luar
memasuki jaringan di dalamnya.
Sisik (Scales) Bentukan pada pohon yang berbentuk datar, berupa
struktur eksternal yang menyerupai piring, terbentuk
dari epidermis, berukuran kecil dan hanya bisa terlihat
baik dengan menggunakan kaca pembesar.

AKAR
Akar udara (Aerial root) Struktur yang menyerupai akar, keluar dari batang,
menggantung di udara dan bila sampai ke tanah dapat
tumbuh seperti akar biasa. Beberapa kadang-kadang
menyerupai struktur akar yang dimiliki oleh famili
Rhizophoraceae.
Akar banir/papan (Buttress) Akar berbentuk seperti papan miring yang tumbuh
pada bagian bawah batang dan berfungsi sebagai
penunjang pohon.
Akar lutut (Knee root) Akar yang muncul dari tanah kemudian melengkung
ke bawah sehingga bentuknya menyerupai lutut.
Akar nafas (Pneumatophore) Akar yang tumbuhnya tegak, muncul dari dalam tanah,
pada kulitnya terdapat celah-celah kecil yang berguna
untuk pernafasan.
Akar Tunjang (Stilt-root) Akar yang tumbuh dari batang diatas permukaan dan
kemudian memasuki tanah, biasanya berfungsi untuk
penunjang mekanis.

akar udara akar banir/papan akar lutut akar nafas akar tunjang

Gambar bentuk-bentuk akar

2133
DAUN
Kelenjar (Gland) Struktur pada tumbuhan yang mengeluarkan cairan
lekat atau berminyak.
Ketiak (Axil) Titik sudut antara sisi atas dan batang tempat daun;
posisi normal untuk tunas lateral.
Meranggas (Deciduous) Kelompok tumbuhan yang daunnya berguguran/rontok
secara periodik (misalnya pada musim kering).
Anak/pinak daun (Leaflet) Bagian yang mirip daun pada daun majemuk.
Selalu hijau (Evergreen) Tumbuhan yang berdaun sepanjang tahun.
Tepi/sisi (Margin) Bagian sisi dari daun.
Urat (Vein) Tonjolan vaskular yang biasanya terlihat dari luar,
misalnya pada permukaan daun.
Urat tengah (Midrib) Urat bagian tengah pada daun.

Unit
Sederhana/tunggal (Simple) Pada tangkai daun hanya terdapat satu helaian daun saja.
Majemuk (Compound) Pada tangkai daun yang bercabang-cabang terdapat
lebih dari satu helaian daun.
Susunan
Berlawanan/berhadapan Pada tiap buku-buku batang terdapat 2 daun yang
(Opposite) berseberangan pada ranting.
Bersilangan Pada tiap buku-buku batang hanya terdapat 1 daun.
(Spiral/Alternate)
Bentuk
Bulat memanjang (Oblong) Panjang daun 2 – 3 kali lebarnya, bagian pangkal
lebar dan bagian ujung runcing.
Bulat telur (Ovate) Bentuk daun melebar dibagian tengah, kebanyakan
berbentuk elips.
Bulat telur terbalik Bentuk daun seperti telur terbalik.
(Obovate)
Elips (Elliptic) Panjang daun 2 kali lebarnya, melebar dibagian tengah
dan kedua ujungnya berukuran hampir sama.
Lanset (Lanceolate) Panjang daun 3 – 5 kali lebarnya, bagian pangkal
dan ujung daun runcing.

4214
elliptic oblong lanceolate ovate obovate spathulate

Gambar bentuk-bentuk daun

Ujung
Membundar (Rounded) Ujung daun membulat atau hampir tidak terbentuk
sudut sama sekali.
Meruncing (Pointed/Acute/ Ujung daun membentuk suatu sudut lancip atau ujung
Acuminate) daun sempit memanjang dan runcing.
Tumpul (Blunt) Ujung daun membentuk sudut yang tumpul.

BUNGA
Daun kelopak (Sepal) Struktur berwarna hijau menyerupai daun atau hijau-
kekuningan, terletak pada bagian luar perhiasan bunga.
Kelopak bunga (Calyx) Bagian terluar suatu bunga yang biasanya terdiri atas
struktur seperti daun yang dalam tahap kuncup
membungkus dan melindungi bagian-bagian bunga
lainnya. Merupakan terminologi yang digunakan untuk
semua daun kelopak (sepal) pada bunga.
Kelopak tambahan (Epicalyx) Pinak daun yang terletak pada dasar bunga, diluar
kelopak bunga.
Mahkota bunga (Corolla) Istilah untuk seluruh daun mahkota pada bunga,
berfungsi untuk menarik perhatian serangga penyerbuk.
Daun mahkota (Petal) Suatu struktur menyerupai daun yang terletak pada
bagian dalam perhiasan bunga, biasanya berwarna-
warni untuk menarik perhatian serangga penyerbuk.

2153
Benangsari (Stamen) Alat kelamin jantan.
Kepala sari (Anther) Struktur yang terdapat pada ujung filamen dan terdiri
atas dua bagian, dimana masing-masing bagian
mengandung kantung tepung sari.
Tangkai benang sari Bagian yang menunjang benang sari.
(Filament)
Tepung sari (Pollen) Gametofit jantan dari tumbuhan berbiji.
Kepala putik (Stigma) Bagian organ betina pada bunga yang biasanya bersifat
lengket. Butir tepung sari melengket disini dan
kemudian berkecambah.
Tangkai putik (Style) Tiang jaringan langsing yang timbul dari jaringan bakal
buah tempat tumbuh tabung tepung sari.

putik

benang sari

daun mahkota

daun kelopak/
kelopak bunga

dasar bunga

tangkai bunga

Gambar bunga dengan bagian-bagiannya

Nektar/madu (Nectar) Cairan manis, lekat yang dikeluarkan oleh tumbuhan.


Berkelamin dua (Bisexual) Pada bunga terdapat benang sari maupun putik.
Berkelamin tunggal (Unisexual) Pada bunga terdapat hanya salah satu dari dua macam
alat kelaminnya.

4216
Letak
Di ketiak (Axillary) Bunga terletak atau muncul dari ketiak daun.
Di ujung (Terminal) Bunga terletak atau muncul diujung cabang, tangkai,
tandan atau batang.
Formasi
Soliter (Solitary/Single) Bunga muncul secara tunggal, tidak dalam kelompok.
Payung (Umbrella) Bunga majemuk tidak terbatas, dari ujung ibu
tangkalnya mengeluarkan cabang-cabang yang sama
panjangnya dan masing-masing cabang tersebut
mempunyai 1 daun pelindung pada tangkalnya.
Bulir (Spike) Bentuk perbungaan dimana tangkai bunga utamanya
panjang dan tangkai anak bunga sangat pendek,
sehingga anak bunganya duduk.
Berbatas/kelompok (cyme) Bunga majemuk yang ujung ibu tangkainya ditutupi
dengan suatu bunga, demikian pula cabang-cabang
yang terdapat di ibu tangkainya ditutupi suatu bunga
diujungnya.
Malai/bergerombol acak Bunga majemuk yang ibu tangkainya bercabang-cabang
(Panicle) dan cabang-cabangnya dapat bercabang lagi, sehingga
bungan tidak terdapat pada ibu tangkainya.

BUAH
Spora (Spore) Sel reproduksi dari tumbuhan ferna.
Vivipar (Viviparous) Biji yang berkecambah dalam buah (misalnya pada
banyak jenis Rhizophoraceae).
Keping benih (Cotyledon) Bakal daun didalam biji/biji benih yang kemudian
berkembang menjadi daun pertama dari kecambah/
benih.
Hipokotil (Hypocotyl) Bagian dari kecambah/benih yang terletak diantara
bakal cabang dan bakal akar, yang pada beberapa
tanaman berperan penting sebagai bahan makanan.

2173
Bentuk
Silinder (Cylindrical) Buah berbentuk seperti tongkat atau galah, terdapat
dalam famili Rhizophoraceae (Bruguiera, Ceriops dan
Rhizophora).
Bola/bulat (Ball) Buah berbentuk seperti bola atau bulat, terutama
ditemukan pada Xylocarpus dan Sonneratia.
Kacang (Bean like) Buah berbentuk seperti kacang dengan berbagai
macam bentuk, terutama ditemukan pada Avicennia.

tangkai buah

kelopak buah

buah

keping benih

plumulae

hipokotil

radicle

Gambar buah dengan bagian-bagiannya


(Rhizophora apiculata)

4218
INDEKS

A C
Acanthus ebracteatus 48 Calophyllum inophyllum 146

Acanthus ilicifolius 50 Calotropis gigantea 148

Acrostichum aureum 52 Camptostemon philippinense 90


Acrostichum speciosum 54 Camptostemon schultzii 92

Aegialitis annulata 56 Cerbera manghas 150

Aegiceras corniculatum 58 Ceriops decandra 94

Aegiceras floridum 60 Ceriops tagal 96

Amyema anisomeres 62 Clerodendrum inerme 152

Amyema gravis 64

Amyema mackayense 66 D
Avicennia alba 68 Derris trifolia 154

Avicennia eucalyptifolia 70

Avicennia lanata 72 E
Avicennia marina 74 Excoecaria agallocha 98

Avicennia officinalis 76

F
B Finlaysonia maritima 156

Barringtonia asiatica 144

Bruguiera cylindrica 78 G
Bruguiera exaristata 80 Gymnanthera paludosa 100

Bruguiera gymnorrhiza 82

Bruguiera hainessii 84 H
Bruguiera parviflora 86 Heritiera globosa 102

Bruguiera sexangula 88 Heritiera littoralis 104

Hibiscus tiliaceus 158

2193
I R
Ipomoea pes-caprae 160 Rhizophora apiculata 118

Rhizophora mucronata 120

K Rhizophora stylosa 122

Kandelia candel 106 Ricinus communis 174

L S
Lumnitzera littorea 108 Sarcolobus globosa 124

Lumnitzera racemosa 110 Scaevola taccada 176

Scyphiphora hydrophyllacea 126


M Sesuvium portulacastrum 178

Melastoma candidum 162 Sonneratia alba 128

Morinda citrifolia 164 Sonneratia caseolaris 130

Sonneratia ovata 132

N Stachytarpheta jamaicensis 180

Nypa fruticans 112

T
O Terminalia catappa 182

Osbornia octodonta 114 Thespesia populnea 184

P X
Pandanus odoratissima 166 Xylocarpus granatum 134

Pandanus tectorius 168 Xylocarpus mekongensis 136

Passiflora foetida 170 Xylocarpus moluccensis 138

Phemphis acidula 116 Xylocarpus rumphii 140

Pongamia pinnata 172

W
Wedelia biflora 186

4220

Anda mungkin juga menyukai