Anda di halaman 1dari 8

1

Untukmu yang membuatku menyadari bahwa banyak hal menarik yang terjadi dalam setiap
detik….

2
Prolog
Kita memang tidak pernah bisa menangkap setiap detik yang berlalu. Cukup menjadikan
apapun yang terjadi pada setiap detik itu untuk selalu ada dalam ingatan. Karena, setiap detik
itu selalu beda. Tak pernah sama.
Adam Harris Diaz

3
Satu
Aku meremas selembar kertas dari sesorang yang kutemukan di loker pagi tadi. Ini
kira kira surat ke lima yang kudapatkan pekan ini. Dan isinya sama, nasehat yang menurutku
sama sekali tak penting. Bagiku, dia terlalu ikut campur dalam masalah yang merupakan
pilihan masing masing orang dalam hidupnya. Setiap orang punya gaya sendiri dalam
hidupnya.
“lo punya penggemar, ki. Hebat!” Cia berteriak heboh saat mendengarku bercerita
tentang surat yang baru aku baca.
“nggak usah lebay, deh!” aku memutar kedua bola mata, jengah dengan sifat lebay
Cia.
“gue nggak lebay, lo aja yang sok jual mahal. Tuh cowok kayaknya beneran suka deh
sama lo.”
Aku mejitak kepalanya, “gue nggak peduli. Udah, ah. Kantin, yuk!”
Cia ini salah satu tipe orang yang lebay. Dan, lebaynya bertambah komplit dengan
suaranya yang ngejreng. Sehingga jika tidak segera dihentikan, akan merusak harga diri
sahabatnya. Hal itu yang membuat dia ‘mungkin’ sering dijauhin teman yang lain.
“ki,” panggil Cia membuatku menghentikan langkah lalu menoleh kearahnya yang saat
ini memasang ekspresi cengo. Aku menelusuri arah pandangnya. Tepat didepan sana,
seseorang keluar dari perpustakaan dengan menenteng beberapa buku ditangannya.
“kayaknya kegantengan Adam nggak kenal kata mines, ya.” Cia menggigit bibir
bawahnya.
“maksud, lo?”
“iya, makin hari dia makin ganteng aja.”
“oh, kalo kegantengannya nggak mines, artinya mata lo yang mines.” Ucapku yang
dihadiahi tatapan maut oleh Cia. Tajam dan menusuk. Dan berhasil membuatku merinding.
Tangannya sudah meremas pembungkus snek yang dibelinya dikantin tadi. Itu artinya dia
marah. Aku bergegas memasang kuda kuda. Lalu… lari sekuat mungkin. Meskipun tak
kelihatan tomboy, kekuatan pukulannya mirip dengan Muhammad Ali kalau lagi didalam ring.
Aku berlari sekuat mungkin. Menghindari pukulannya.
Dan, bugh!!
Aku menabrak seseorang. Botol minuman yang aku pegang oleng sehingga isinya
tumpah mengenai seeorang didepanku. Aku masih diam. Tak berani menatapnya. Bisa kulihat

4
dari ekor mataku bahwa seragam orang itu basah kuyup dengan cairan berwarna orange.
Termasuk buku yang ia pegang.
“punya mata nggak, sih!” orang itu menggertakku dengan nada ketus. Membuatku
gelagapan. Aku lalu mengarahkan mataku tepat diwajahnya. Tatapan tajamnya nyaris
membuat bulu kudukku berdiri.
“gu-gue nggak sengaja.” Ucapku mencoba meredam amarahnya.
“lo liat ini?” cowok itu menunjukkan buku buku ditangannya yang sudah basah.
“gue nggak tau ya, seberapa nggak dianggapnya ilmu dalam kehiduan lo.” Katanya
sarkartis lalu bergegas meninggalkanku.
Aku masih diam. Berfikir. Apa maksudnya mengatakan itu? Ya, aku mengakui bahwa
aku sudah berbuat salah. Tapi, setidaknya dia tidak perlu mengatakan kalimat terakhir itu
yang membuat kepalaku terasa mengganjal.
“parah lo, ki. Lo nabrak Adam dan lo nggak minta maaf?” Cia menghampiriku dan
langsung menjuruskan pertanyaan kepadaku.
“gue rasa nggak perlu. Kata maaf dari gue terlalu mahal buat dia.” Ucapku lalu
berjalan pergi.

--00—

Aku menatap langit hitam pekat yang dihiasi bintang bintang. Aku selalu ingat
perkataan Mama waktu kecil dulu, kalau bintang itu adalah bentuk kasih sayang orang yang
sudah meninggal kepada keluarga yang ditinggal. Ya, meskipun hanya mitos, aku percaya
bahwa Mama lagi berusaha untuk menjadi bintang itu. Berusaha menghibur aku setiap
malam. Walaupun akhirnya yang kurasakan hanya sepi yang seolah tak ada ujungnya. Dan
penantian yang seolah tak ada akhirnya.
Jujur, aku tak pernah percaya bahwa detik detik terakhir itu ada. Karena yang
kurasakan disetiap detik terakhir itu hanya kepedihan. Detik terakhir selalu membuatku
kehilangan segalanya. Termasuk Mama, papa, dan sahabat kecilku. Mama meninggal didetik
terakhir dokter memvonisnya terkena kanker hingga akhirnya meninggal. Di detik yang
bersamaan itu, papa memutuskan untuk menyerah dan memilih untuk lebih focus pada
pekerjaan yang lama kelamaan membuatku merasakan seolah ada jurang yang tercipta
antara aku dan papa. Papa jadi jarang pulang. Membuatku bahkan nyaris lupa, bagaimana
Papa yang dulu.

5
Dan satu hal lagi yang membuatku membenci detik terakhir ‘itu’. Sahabatku. Aku tidak
ingat namanya. Yang aku ingat, aku hanya terbiasa memanggilnya dengan nama Diis. Aku
kehilangan dia saat terpaksa mengikuti Papa untuk pindah ke Jakarta. Kota yang betul betul
tak kuinginkan. Kota ini membuatku harus melupakan semua masa lalu. Sehingga sekarang,
Bogor hanya masa lalu bagiku.

--00—

Aku melirik jam tanganku. Jam sepuluh lewat tiga puluh menit. Sudah malam, tapi
mataku belum juga ingin melepaskan bintang bintang cantik dilangit. Mereka terlihat lebih
banyak jika sudah larut begini.
Aku lalu menukar pandanganku pada ponselku yang baru saja berbunyi menandakan
sebuah pesan masuk. Dari nomor tidak dikenal.
+62823xxxxxxxx
Kiera, tidur! Nanti telat.

Ini siapa? Dari mana dia dapat nomor ponselku? Dan, yang lebih mengherankan, dari
mana dia tau aku belum tidur?
Aku lalu berdiri, memperhatikan dengan jeli ke halaman rumah. Kosong. Tak ada
siapapun. Hanya ada pak rusli yang sedang duduk dipos satpam. Dan tak tampak sesuatu
yang mencurigakan disana. Jika begitu, lalu orang ini siapa? Dukun? Setan? Atau, apa?
+62823xxxxxxxx
Nggak usah nyari tau saya siapa.

Orang itu mengirim pesan lagi. Dan kali ini aku sungguh yakin kalau orang ini
sebenarnya bukan golongan manusia. Melainkan dari golongan jin atau sebangsanya. Aku
bahkan merasa tak cocok memanggilnya ‘orang’. Dia lebih cocok dipanggil ‘makhluk’ biar
sedikit universal.
Lama lama berada disini, semakin membuat bulu kudukku berdiri. Juga membuat
hawa semakin dingin. Dan itu akhirnya membuatku masuk. Meninggalkan bintang bintang yang
sepertinya sayang untuk dilewatkan malam ini.

6
Dua
Aku memperlihatan pesan semalam kepada Cia. Dan seperti biasa, ekspresinya
sangat gampang ditebak. Lebay tingkat dewa.
“OMG! Ki, ternyata lo punya fans dari alam lain juga. Keren!” gadis cempreng itu
bertepuk tangan kegirangan, membuatku memutar kedua bola mata. Jengah. Sepertinya
takdir sedikit keliru ssehingga memberiku teman seperti Lucia Paramita.
Aku menjitak kepalanya, “Cia, kayaknya otak lo perlu diruqyah. Mungkin, saking banyak
setannya sampai ni otak mampet.”
“Enak aja. Gini gini otak gue dipake ya jadi wakil KeKe. Lha, lo?”
“lo salah paham. Gue Cuma nggak mau nguras otak gue buat mikirin yang begituan,
nggak penting.” Aku berkata jujur. Aku tak ingin pintar seperti Papa hingga akhirnya
melupakan keluarganya sendiri.
“tapi ka-,” Ucapan Cia terpotong saat melihat Rafa Cs lewat. Gang paling diincar oleh
hamper semua cewek di SMA Tuna Bangsa, termasuk aku. Jangan salah, ketua gangnya, Rafa
Ardiansyah, adalah salah satu primadona SMA sini. Selain ganteng, dia jago main basket, jago
ngedance. Dan yang paling penting, dia nggak pintar pintar amat. Sehingga aku yakin bahwa
suatu saat dia tidak akan pernah meninggalkan keluarganya seperti Papa.
“anjiir,, ganteng banget, ki.” Ini yang bikin bingung. Sahabatku ini sepertinya betul
betul tidak waras. Saat melihat Rafa, dia bakalan bilang nggak ada cowok yang bisa ngalahin
kegantengannya. Dan, saat ngelihat Adam, ia bakal ngatain hal yang sama. Dan yang paling
parah, saat ngelihat boyband korea, dia bakalan bilang kalau Adam dan Rafa itu nggak ada
apa apanya. Dasar aneh.
Melupakan kesintingan Cia, aku beralih pada Rafa. Cowok itu selalu mengumbar
senyumnya yang mirip gulali itu. Membuat udara sekitar langsung meleleh. Untungnya, dia
tidak ditakdirkan untuk tinggal dikutub utara. Jika itu terjadi, maka dunia akan kiamat
sebelum waktunya karena pasokan es dikutub utara mencair akibat senyum hangat Rafa.
“gue mungkin bakalan jadi orang paling beruntung kalo aja dia jadi pacar gue.” Ucapku
tanpa sadar.
“ngarep, lu.” Cia mengusap wajahku. Menyadaranku dari ketidak mungkinan yang baru
saja aku hayalkan.

7
8

Anda mungkin juga menyukai