OLEH :
KUPANG
2019
GASTRIC MYASIS
BAB I
PENDAHULUAN
Gajah adalah mamalia besar dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Secara
tradisional, terdapat dua spesies yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta africana) dan
gajah asia (Elephas maximus), walaupun beberapa bukti menunjukkan bahwa gajah semak
afrika dan gajah hutan afrika merupakan spesies yang berbeda (L. africana dan L. cyclotis).
Gajah tersebar di seluruh Afrika sub-Sahara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Elephantidae
adalah satu-satunya famili dari ordo Proboscidea yang masih ada; famili lain yang kini sudah
punah termasuk mamut dan mastodon. Gajah memiliki ciri-ciri khusus, dan yang paling
mencolok adalah belalai atau proboscis yang digunakan untuk banyak hal, terutama untuk
bernapas, menghisap air, dan mengambil benda. Gigi serinya tumbuh menjadi taring yang
dapat digunakan sebagai senjata dan alat untuk memindahkan benda atau menggali. Daun
telinganya yang besar membantu mengatur suhu tubuh mereka. Telinga gajah asia lebih kecil
dan punggungnya cembung.
Gajah merupakan hewan herbivora yang dapat ditemui di berbagai habitat, seperti
sabana, hutan, gurun, dan rawa-rawa dan cenderung berada di dekat air. Permasalahan
kesehatan gajah di lembaga konservasi merupakan hal perlu diperhatikan, salah satunya
adalah infeksi lalat. Myiasis atau belatungan adalah infestasi larva lalat ke dalam suatu
jaringan hidup hewan berdarah panas termasuk gajah. Penyakit ini sering ditemukan di
negara-negara tropis. Diantara lalat penyebab myiasis di dunia, lalat Chrysomya bezziana
mempunyai nilai medis yang penting karena larvanya bersifat obligat parasit dan
menyebabkan kerugian ekonomi. Oleh karena itu kita perlu mengetahui apa itu gastric
myasis.
1.2 TUJUAN
PEMBAHASAN
Menurut Zahrah (2014) untuk mempertahankan kondisi populasi gajah yang sehat
harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup gajah yaitu faktor
kebutuhan hidup seperti pakan, air, dan garam-garam mineral. Gajah membutuhkan pakan
dengan keanekaragaman jenis yang tinggi (Fadhli, 2012; Saragih, 2014). Keanekaragaman
jenis pakan tersebut untuk memenuhi kebutuhan nutrisi gajah dalam menjalankan
aktivitasnya. Seekor gajah makan paling sedikit 300-350 kg tumbuhan per hari (Abdullah,
Dahlian, dan Mukhlisin, 2009). Jumlah konsumsi harian yang besar mengharuskan gajah
melakukan aktivitas makan dengan aktif (Yudarini, Soma, dan Widyastuti, 2013).
Myiasis adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh bertelurnya lalat dipteren (Zumpt
1965; Hall dan Wall 1995). Di Gajah, myiasis lambung disebabkan oleh Cobbaldia elephantis
yang bertanggung jawab untuk menyebabkan gastritis berat (Fowler dan Mikota 2006).
Chrysomyia bezziana adalah parasit obligat dari mamalia yang menyebabkan myiasis dan
luka (Urech et al. 2012).
Cobboldia adalah genus lalat dalam keluarga Oestridae dinamai Thomas Spencer
Cobbold (1828–1886) yang menggambarkan spesies pertama sebagai Gastrophilus elephantis
(Cobbold 1882). Lalat dewasa Cobboldia elephantis bertelur di dekat mulut atau pangkal
gading gajah Asia sementara Cobboldia terkait loxodontis (Platycobboldia loxodontis)
memparasitisasi Gajah afrika. Larva menetas dan berkembang di dalam rongga mulut dan
kemudian pindah ke perut menyebabkan lambung myiasis. Ketiga tahap larva dapat diamati
dinding perut dan larva tahap ketiga yang matang keluar dari mulut dan dijatuhkan ke tanah
untuk menjadi kepompong (Fowler dan Mikota 2006).
Gastric myiasis adalah sejenis pseudomiiasis atau myiasis yang tidak disengaja yang
mungkin terkait dengan konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan larva lalat
diptera. Kebersihan yang buruk adalah faktor risiko. Pasokan air merupakan sumber
kontaminasi yang mungkin. Presentasi klinis bervariasi dan tergantung pada jumlah belatung,
spesies parasit, dan lokasi dalam saluran pencernaan.
Identifikasi belatung dari spesimen yang dikumpulkan oleh sigmoidoskopi lebih dapat
diandalkan jika dicurigai adanya kontaminasi eksternal. Agen myiasis yang terkait dengan
miiasis tidak disengaja ini adalah Fannia canicularis, Sarcophaga spp., Hermetia illucens,
Muscina stabulans, Megaselia scalaris, Eristalis tenax, Musca domestica, Phormia regina,
Lucilia cuprina, dan Stomoxys calcitrans. Mesalazine telah digunakan sebagai agen
antiinflamasi. Kolonoskopi berguna sebagai diagnostik dan terapeutik.
2. 2 PATOLOGI ANATOMI
Dipahami dengan baik bahwa, hampir semua spesies hewan liar yang hidup di daerah
bebas memiliki berbagai jenis parasit secara alami, tetapi tingkat keparahan infeksi
tergantung pada tubuh, status hewan (Gaur et al. 1979). Gajah asia telah diamati rentan
terhadap berbagai parasit. Pemeriksaan post-mortem detail dari gajah betina dilakukan
(Gambar. 1) dan terungkap mukosa lambung yang sangat sesak, hiperemis, bertabur dengan
larva berukuran 2-3 cm banyak pada mukosa lambung (Gambar. 2).
Pada pemeriksaan post mortem gajah betina menunjukkan luka dan kerusakan parah
pada langit-langit mulut keras dan lunak, fraktur tulang mandibula dan gigi yang terlepas saat
ditangani karena membusuk. Pus ditemukan pada kepala dan sinus cantor. Demikian pula,
gajah jantan menunjukkan fraktur lengkap mandibula dan mudah terlepas saat dipegang.
Luka dan kerusakan jaringan yang parah diamati di langit-langit mulut. Bangkai gajah jantan
dan betina menunjukkan ukuran besar jumlah belatung di langit-langit mulut dan mukosa
lambung (Gambar 1a, 2a). Larva dari rongga mulut dan perut diidentifikasi sebagai C.
bezziana dan C. elephantis, masing-masing. Rata-rata 127 C. bezziana dari rongga mulut dan
C.elephantis dari perut dikumpulkan dari bangkai gajah.
Larva Cobbaldia elephantis diidentifikasi dengan adanya duri berbentuk segitiga di
segmen perut dan dua kait oral yang kuat dengan cephalopharngeal kerangka di ujung
anterior. Anterior spiracle memiliki 13 jari seperti proyeksi dan posterior spiracle memiliki
tiga celah paralel longitudinal dengan spiral berbentuk oval. Larva Chrysomyia bezziana
diidentifikasi berdasarkan keberadaan kait oral dengan kerangka cephalopharngeal diujung
anterior. Ini memiliki 13 jumlah jari seperti proyeksi dianterior spiracle. Segmen perut
tertutup kait. Posterior spiracle memiliki peritreme dan tombol tidak jelas. Jaringan yang
terinfeksi C. bezziana menunjukkan nekrosis parah .
Gejalanya berkisar dari kasus tanpa gejala, di mana larva diidentifikasi dalam tinja,
hingga nyeri perut, mual, muntah, analpruritus, atau pembengkakan usus. Kehadiran belatung
dapat menyebabkan peradangan pada mukosa usus dan membenarkan gejala-gejalanya.
Dalam beberapa kasus, asal-usul gejala mungkin membingungkan, karena hewan mungkin
memiliki infeksi enterik parasit secara bersamaan, seperti Ascaris lumbricoides, atau obat
antiparasit (albendazole atau mebendazole) mungkin telah digunakan sebelum diagnosis
pseudomiiasis. Di sisi lain, pengurangan gejala setelah eliminasi belatung adalah bukti yang
tidak dapat disangkal bahwa myiasis usus mungkin bertanggung jawab atas gejala-gejala ini.
Kehadiran banyak larva dalam satu atau lebih spesimen tinja berturut-turut adalah diagnostik.
Gejala klinis dicatat sebelum kematian gajah termasuk, diare, anoreksia, dehidrasi dan
tidak bisa berjalan selama sekitar satu minggu. Pengamatan serupa dilaporkan oleh Raquib
(1970), Pandaet al. (2005), Venu et al. (2013). Gajah jantan dan betina yang terkena dampak
menunjukkan anoreksia dan berkeliaran tanpa makan karena adanya rasa sakit luka myiasis
oral nekrotik selama lebih dari 15 hari dan kemudian berbaring di lantai dan mati sebelum
pengobatan.
Anoreksia.
Keengganan untuk minum.
Sakit perut.
Anoreksia,
Kolik
Diare.
2.4 PENCEGAHAN
Sanitasi yang buruk mungkin merupakan faktor risiko paling penting untuk myiasis
Tindakan pencegahan umum termasuk menutupi luka di sekitar daerah abdomen agar
terhindar dari lalat. Kontrol lapangan juga penting. Semua metode keselamatan harus
digunakan, termasuk semprotan udara, penghancuran bangkai kecil, dan pembersihan sampah
di dekat tempat pemeliharaan gajah.
2.5 PENGOBATAN
2.5 KONTROL
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Gejala klinis pada hewan yang menderita gastric myasis ialah diare, anoreksia,
dehidrasi dan tidak dapat berjalan sekitar satu minggu sebelum kematian dan dirawat dengan
antibiotik dan terapi cairan selama tiga hari. Pemeriksaan post-mortem mengungkapkan
bahwa, mukosa lambung sangat parah sesak, hiperemia dan banyak bot perut melekat pada
mukosa. Bot dipulihkan dari mukosa lambung dan diproses untuk identifikasi spesies. Spirak
posterior bot menunjukkan tiga celah paralel longitudinal di masing-masing spiral, segmen
perut memiliki deretan sabuk seperti duri berbentuk segitiga dan ujung anterior memiliki dua
kait oral yang kuat dengan kerangka cephalopharyngeal. Berdasarkan karakter morfologis di
atas, bot diidentifikasi sebagai Cobboldia elephantis. Ini tampaknya merupakan C.
elephantis pada gajah liar.
DAFTAR PUSTAKA
Ananda K, Gowda J, Dharanesha NK, Giridhar P, Gowda SMB (2017) Cobboldia elephantis
(Cobbold, 1866) larval infestation in an Indian elephant (Elephas maximus). J Parasit Dis
41:364–366.
Kakkassery MP, Sunil Kumar V, Arun Z, Anand LF, Pradeep Kumar PR (2011) EEHV like
haemorrhagic myocardititis in a wild Asian elephant (Elephas maximus). J Ind Vet Assoc
Kerala 9:51–52.
Panda SK, Panda DN, Parhi NK (2005) Occurrence of Cobboldia elephantis (Cobbold, 1866)
larvae in a wild elephant. J Vet Parasitol 19:163–164 Raquib A (1970) Record of Cobboldia
elephantis (Cobbold, 1866) in elephant in Assam. Orissa Vet J 5:28.
Bowman DD (2009) Georgis’ parasitology for veterinarians, 9th edn. Saunders Elsevier, St.
Louis.
Cobbold TS (1882) The parasites of elephants. Trans Linn Soc London 2(4): 223–258.
TRYPANOSOMYASIS
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2.1 Etiologi
Trypanosoma evansi adalah spesies yang memiliki daerah penyebaran paling luas,
yaitu meliputi benua Afrika, Timur Tengah, Asia, termasuk Amerika Selatan dan Utara
(Vanhollebeke et al. 2006).
2.2 Patogenesis
T. evansi tidak memerlukan periode pematangan dalam vektor serangga dan
karenanya memiliki transmisi noncyclic. Setiap serangga atau kutu atau lalat yang
menggigit dan mengisap darah dapat berfungsi sebagai vektor. Antara lain lalat dari
genera Tabanus dan Stomoxys. Transmisi mekanis oleh jarum suntik yang terkontaminasi
juga dimungkinkan.(Fowler & Mikota, 2006)
Patogenesis penyakit surra bermula dari kelenjar saliva vektor lalat dan ditularkan
pada inang melalui gigitan. Infeksi ditularkan dengan penetrasi T. Evansi ke dalam
jaringan subkutan atau mukosa. Parasit tersebut kemudain memasuki peredaran darah,
berkembang dan akan bertamabah secara logaritmik di dalam darah dalam waktu satu
sampai tiga hari setalah parasit ditemukan di dalam aliran darah. Kerusakan endotel
pembuluh darah menyebabkan edema dan pendarahan. Trpanosoma evansi menyebabkan
reaksi inflamsi pada jaringan darah dengan diikuti multifikasi parasit . Trpanosoma evansi
bertambah dalam darah secara berkala dan hal ini disertai demam pada gajah. Serangan
demam yang berulang disebabkan oleh invasi masal T. Evansi ke dalam darah atau
perkembangbiakan yang cepat dalam darah. (Ressang ,1984)
2.4 Diagnosis
Menurut Fowler & Mikota (2006) diagnosis penyakit trypanosomiasis dapat dilihat
berdasarkan gejala klinis. Selain itu mungkin diagnosa trypanasomiasismungkin sulit
dideteksi dalam darah sehingga dapat dilakukan dengan teknologi PCR.
Banyak obat telah digunakan dalam upaya untuk menghilangkan trypanosom dari
berbagai spesies hewan. Tanggapan inang terhadap obat bervariasi dan tidak dapat
diandalkan. Obat-obatan yang telah digunakan di India termasuk melarsomine
(Cymelarsan) dan suramin (naganol) (Fowler & Mikota, 2006).
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Penyakit Surra yang akut ditandai dengan demam, depresi, kelemahan, dan edema
sedangkan penyakit Surra yang Surra kronis ditandai dengan demam intermiten, anemia,
edema dependen, dan kekurusan. Diagnosis penyakit trypanosomiasis dapat dilihat
berdasarkan gejala klinis dan uji molekuler PCR.
Fowler M. E,. Mikota S.K. 2006. Biology, Medicine, And Surgery Of Elephants. Blackwell
Publishing. Australia.
Ressang, A.A., 1984. Trypanosomiasis. Patologi Khusus Veteriner. Edisi II. Airlangga
University Press. Hlm : 347-359
Subekti, D.T. 2014. Perkembangan, Struktur, Mekanisme Kerja dan Efikasi Trypanosidal
untuk Surra. Balai Besar Penelitian Veteriner: Vol. 24 No. 1 Th. 2014.Wartazoa
Vanhollebeke B, Truc P, Poelvoorde P, Pays A, Joshi PP, Katti R, Jannin JG, Pays E. 2006.
Human Trypanosoma evansi infection linked to a lack of apolipoprotein L-I. N Engl J
Med. 355:2752-2756.
Wardhana A. H., Sawitri DH. 2018. Surra: Trypanosomiasis pada Ternak yang Berpotensi
sebagai Penyakit Zoonosis. WARTAZOA Vol. 28 No. 3. Hal 139.
FILARIASIS
BAB 1
PENDAHULUAN
PENUTUP
KESIMPULAN
Filaria adalah parasit nematoda yang hidup di jaringan inang vertebrata yang
menunjukkan adanya mikrofilaria dalam darah dan jaringan. Filariais pada gajah afrika
disebabkan oleh infeksi cacing Dipetalonema loxodontis dan D. gossi sedangkan pada gajah
asia disebabkan oleh infeksi cacing Indofilaria parabiramani. Dipetalonema asiatica dan
Stephanofilaria sp.
Gejala klinis yang terjadi pada gajah yang menderita filariais adalah terbentuknya lesi
pada kulit, dermatitis pada daerah perut, pruritus diantara digit kaki, hilangnya nafsu makan,
lesu, anemia submandibular, atau kekeruhan kornea. Filariasis dapat didiagnosis dengan
melakukan pemeriksaan fisik maupun laboratorium agar tidak dibingungkan dengan penyakit
parasit lainnya. Jika telah terdeteksi menderita filariasis dapat melakukan terapi pada gajah
dengan pemberian salep 8% metrifonat (antelmintik) dalam vaselin atau salep Himax (Herbal
India).
DAFTAR PUSTAKA
Fowler M.E, Mikota M.K. 2006. Biology, Medicine, and Surgery of Elephants. Blackwell
Publishing: USA
PARAMPHYSTOMUM
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami mengenai penyakit yang
disebabkan oleh Paramphystomum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Taksonomi
Paramphistomum adalah genus cacing pipih parasit trematoda. Ini termasuk cacing
yang sebagian besar parasitisasi ternak ruminansia , serta beberapa mamalia liar. Mereka
bertanggung jawab atas penyakit serius yang disebut paramphistomiasis, juga dikenal
sebagai amfistomosis, terutama pada sapi dan domba.Gejalanya meliputi diare yang
banyak, anemia , lesu , dan sering berakibat kematian jika tidak diobati. Mereka
ditemukan di seluruh dunia, dan paling banyak ditemukan di daerah peternakan
seperti Australia, Asia, Afrika, Eropa Timur, dan Rusia.
Paramphistomum
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Divisi: Platyhelminthes
Kelas: Trematoda
Memesan: Plagiorchiida
Keluarga: Paramphistomatidae
Marga: Paramphistomum
Fischoeder, 1901
2.4 Diagnosa
Telur-telur dapat diamati pada flotasi tinja. Enzim hati yang meningkat dapat
dideteksi pada analisis kimia darah. Patologi klinis yang terkait dengan fascioliasis pada
empat gajah yaitu penurunan hemoglobin 6,8–9,0 g / dl (normal 12,1), PCV 19– 28%
(normal 34), eritrosit 1,53-2,3 106 / μ (normal 3,18), protein plasma 5,4–8,6 g / dl
(normal 9,0), dan leukosit 14,5–16,0 103 / mm3 (normal 14,7). Pada nekropsi, hati yang
terinfeksi memiliki traktus hemoragik, penebalan saluran empedu, sirosis, dan
pseudolobulasi. Parasit juga ditemukan di bronkus paru-paru, menyebabkan bronkitis
dengan sel-sel yang dideklamasi dan eksudat fibrinohemoragik.
2.5 Pengobatan
Banyak obat yang berbeda telah digunakan untuk mengobati infeksi cacing. Saat
ini, satu-satunya obat yang direkomendasikan di Amerika Serikat adalah clorsulon
(Curatrem®) dengan dosis 7 mg / kg berat badan. Ini diberikan per os, dua kali dengan
interval 45-60 hari. Albendazole juga efektif. Di India, triclobendazole pada 9 mg / kg
(tidak melebihi 7200 mg / hewan) dan oxyclozanide 7,5 mg / kg (tidak melebihi 6,0 g /
hewan) berhasil digunakan.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Paramphistomum adalah genus cacing pipih parasit trematoda. Ini termasuk cacing
yang sebagian besar parasitisasi ternak ruminansia , serta beberapa mamalia liar. Mereka
bertanggung jawab atas penyakit serius yang disebut paramphistomiasis, juga dikenal
sebagai amfistomosis, terutama pada sapi dan domba.Gejalanya meliputi diare
yangbanyak, anemia , lesu , dan sering berakibat kematian jika tidak diobati.Mereka
ditemukan di seluruh dunia, dan paling banyak ditemukan di daerah peternakan seperti
Australia, Asia, Afrika, Eropa Timur, dan Rusia.
Cacing dewasa hidup di saluran empedu. Beberapa mungkin ditemukan di paru-
paru. Paramphystomum dapat menyebabkan fascioliasis akut dan kronis. Diagnosa dapat
dilakukan dengan telur-telur yang diamati pada flotasi tinja dan enzim hati yang
meningkat dapat dideteksi pada analisis kimia darah.
Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan clorsulon (Curatrem®) dengan
dosis 7 mg / kg berat badan. Ini diberikan dua kali dengan interval 45-60 hari.
Albendazole juga efektif. Triclobendazole pada 9 mg / kg (tidak melebihi 7200 mg /
hewan) dan oxyclozanide 7,5 mg / kg (tidak melebihi 6,0 g / hewan) berhasil digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Fowler M. E. and Mikota S. K., 2006. Biology, Medicine, And surgery of Elephants.
Blackwell : USA.
Juniar M., Rosa E., Rustiati E. L. 2015. Identifikasi Nematoda Dan Trematoda Saluran
Pencernaan Pada Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) Di Pusat
Konservasi Gajah (Pkg) Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Prosiding Seminar
Nasional. Hal. 582-587.
Musabine, S.Y. 2013. Malnutrisi Pada Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus).
Artikel ilmiah. Pusat Konservasi Gajah (PKG) Taman Nasional Way Kambas.
Lampung.
Sambodo, P., dan A. Tethol. 2012. Endoparasit Dalam Feses Bandikut (Echymipera kalubu)
(Studi Awal Kejadian Zoonosis Parasitik Dari Satwa Liar). Jurnal Agrinimal Vol.2
No.2, Oktober 2012, Hal.71-74.
PIROPLASMOSIS
BAB I
PENDAHULUAN
Gajah afrika Afrika adalah mamalia darat terbesar yang hidup dengan berat spesies pejantan
hingga 6.000 kg dan saat berdiri tingginya dapat mencapai 3,3 meter (Laws 1966; Laws & Parker
1968 ; Hukum 1969 ; Hanks 1969). Dapat mengangkat batang pohon 140kg, mendorong pohon, dapat
meminum 12 liter air dan mendeteksi bau beberapa kilometer jauhnya. Kedua gigi seri memanjang
yang terdiri dari gading yang diidamkan oleh manusia selama ratusan ribu tahun, dan gading telah
memainkan peran penting dalam seni dan budaya Indonesia (Ross 1993).
Selama tiga puluh tahun terakhir, dilakukan ratusan studi pada gajah afrika Afrika (Loxodonta
africana) di seluruh benua. Seperti manusia, gajah afrika memiliki kapasitas untuk memodifikasi
habitat mereka secara dramatis (Laws et al. 1970 ; Cumming 1982; Kortlandt 1984 ; Barat 1989), dan
kebutuhan mereka akan tempat seringkali membuat mereka langsung konflik dengan populasi
manusia yang berkembang (Kangwana 1993; Ngure 1993; Kiiru 1994; Thouless dalam pers). Gajah
afrika telah dicatat kecerdasan mereka, ikatan keluarga dekat dan kompleksitas sosialnya (Moss
1988). Dengan cara lain, mereka tetap berbeda secara misterius. Kemampuan luar biasa mereka untuk
berkomunikasi satu sama lain dalam jarak jauh (Martin 1978), dan pernah disebut sebagai ‘persepsi
ekstra sensoris' (Rees 1963).
Gajah afrika pernah menghuni seluruh benua (Mauny 1956 ; Douglas-Hamilton 1979) dan dalam
tiga abad terakhir, Loxodonta africana menghuni semua sub-Sahara Afrika mulai dari hutan tropis
dan pegunungan hingga padang rumput terbuka, semak semi-kering dan gurun. Namun perburuan
gajah afrika untuk diambil gadingnya dan pertumbuhan manusia serta ekspansi populasi telah
mengurangi rentang dan jumlah spesies ini secara drastis. Sepupu dekat gajah afrika Afrika adalah
gajah afrika Asia (Elephas maximus), dan merupakan satu-satunya spesies bertahan hidup sebagai
Probocidea. Keduanya genera berasal dari tempat yang sama yakni sub-Sahara Afrika pada masa
Pleistosen awal (Maglio 1973) ; tetapi gajah afrika pindah ke Asia pada masa Pleistosen akhir.
Gajah afrika adalah hewan yang dapat diserang berbagai penyakit, namun penyakit ini dapat
diminimalkan dengan vaksinasi rutin. Penyakit infeksius yang dapat menyerang gajah afrika antara
lain tuberkulosis, septikemia hemoragik, trypanosomiasis, piroplasmosis, penyakit kaki dan mulut,
cacar, nekrosis basiler, salmonellosis, streptococcosis, babesiosis, helminthiasis, dan ektoparasitisme,
selain itu ada juga rabies dan tetanus. Namun, dalam makalah ini penulis akan membahas salah satu
penyakit pada gajah afrika yakni piroplasmosis.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
ISI
Piroplasmosis atau Babesiosis adalah protozoa hemoparasit yang ditularkan oleh kutu
menimbulkan dampak ekonomi, medis kedokteran hewan di seluruh dunia. Pada inang vertebrata
parasit ini bereproduksi aseksual di dalam eritrosit. Parasit ini dan Theileria spp disebut sebagai
piroplasme atau piroplasmid. Fase siklus seksual hidup Babesia biasanya terjadi dalam kutu Ixodid,
yang memperoleh dan mengirimkan parasit selama makan darah (Kakoma dan Mehlhorn, 1994 ;
Telford et al., 1993 ; Gray dan Weiss, 2008).
Babesiosis pada umunya disebabkan oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp. Nama
Babesia sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang mengidenfikasi organisme didalam
sel darah merah pada tahun 1888. Selanjutnya pada tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan
protoza intra eritotrosit pada gajah afrika yang mengalami haemoglobinuria. Berdasarkan
taksonominya, Babesia sp tergolong dalam Filum Apicomplexa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo
Piroplasmida, Famili Babesiidae dan Genus Babesia. Pada gajah afrika, babesiosis disebabkan oleh
Babesia loxodontis atau Nuttallia loxodontis (Rodhain, 1916). Parasit darah ini pada gajah africa
dilaporkan ditularkan oleh kutu Loxanoetus bassoni. Namun ada juga sumber lain yang mengatakan
bahwa parasit ini pada gajah juga dapat di tularkan oleh berbagai jenis kutu seperti : Boophilus
annulatus, Boonicoplus sp, Ixodes sp, dan spescies Rhipicephalus juga pernah dilaporkan.
A. Morfologi
Anggota genus Babesia berbentuk piriform, sering kali berbentuk bulat, lonjong, memanjang
atau amoeboid dengan panjang 1-4 μm adalah parasit obligat intraeritrositik. Multiplikasi trofozoit
terjadi melalui pembelahan biner intraerythrocytic atau dengan schizogony membentuk tetrad.
Reproduksi seksualnya terjadi di dalam vektor kutu.
B. Sifat Biologis
Laporan tentanng sifat biologis dari parasit penyebar piroplasmosis gajah masih jarang,
namun berdasarkan studi in vitro oleh Rickard (1969, 1970) menunjukkan kemampuan B. rodhaini
(B. microti) dalam melakukan metabolisasi sejumlah heksosa serta glukosa. Pada kondisi aerobic dan
kondisi anaerob, produk utama metabolisme yang dihasilkan adalah asam laktat. Rickard (1970)
mengemukakan bahwa Babesia sp dapat mengatur metabolisme sel eritrosit inang dengan mengubah
rasio NAD-NADH melalui parasit dehidrogenase malat milik parasit itu sendiri.
C. Interaksi Host-Parasit
Studi interaksi host-parasit yang mendalam belum pernah dilakukan sebelumnya pada hewan
gajah afrika. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa laporan (Van Peenen dan Healy, 1970
Annable dan Ward, 1974 ; Lykins et al, 1975) tentang patogenesis penyakit pada hewan laboratorium
yang terinfeksi secara eksperimental telah muncul dalam literatur. Infeksi cross-specics dari Babesia
dirasionalisasikan berdasarkan hubungan filogenik host yang dekat. Resistansi bawaan dianggap
sebagai faktor utama yang mengatur spesifisitas host. Namun, sebagian besar data yang
dipublikasikan telah menggambarkan proses interaksi inang-Babesia pada mamalia liar dan yang
beradaptasi di laboratorium setelah terpapar darah yang terinfeksi melalui jarum suntik dan jarum.
Vektor yang menggigit inang akan menularkan parasit ini kedalam sirkluasi darah inang. Saat
memasuki fase ekso-eritrositik, inang tidak menunjukan gejala klinis. Selanjutnya parasit akan terus
berkembang biak secara aseksual didalam eritrosit hingga menjadi 2-4 tunas. Jika perkembangannya
telah sempurna, maka parasit ini akan memecahkan eritrosit dan menginfeksi eritrosit yang baru,
kemudian memulai siklus hidup yang baru. Kerusakan eritrosit ini akan menyebabkan gejala seperti
hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (jaundice). Pada kasus babesiosis yang berlangsung
menahun, parasit mampu mengubah spesifisitas antigen di permukaan sel hingga berubah
kepekaannya terhadap antibodi.
Gambar 2. Babbesia pada eritrosit, dimana B adalah merozoite buds, BR adalah bud residue (Kreier et
al, 1975).
Manifestasi klinis yang ditimbulkan pada gajah akibat penyakit yang disebebkan parasit darah
adalah kehilangan kondisi umum tubuh, anemia, hemoglobinemia, lemas dan depresi, anoreksia,
dengan temperatur tubuh 37,50C (99,60F) (Fowler and Mikota, 2008).
Vaksinasi dapat dilakukan pada gajah untuk mencegah penyakit ini. Berdasarkan laporan dari
Fowler and Mikota, 2008 bahwa pengobatan babesiosis menggunakan diminazine azeteurate (Berenil,
Intervet, India Ltd) pada dosis 5 mg / kg berat badan yang diberikan melalui intramuscular dengan
interval waktu 3 hari telah berhasil. Streptopenicilin (Dicrysticin LD, Sharabhai Zydus) yang terdiri
atas 2,5 gram streptomicin sulphate, 150.000 IU procaine penicilin dan 500.000 penicilin G
sodium/vial diberikan setiap hari selama 5 hari.
Pencegahan penyakit piroplasmosis atau babesiosis pada gajah masih sangat jarang di
laporkan tetapi penanganan penyakit ini pada mamalia liar biasanya adalah :
Pendekatan yang lebih rasional adalah mengurangi populasi kutu sebagai vektor yang
terinfeksi Babesia ; Namun, tidak ada penelitian mendalam yang tersedia tentang signifikansi
ekologis dan biologis infeksi Babesia pada mamalia liar atau memiliki ambang pemeliharaan penyakit
kutu yang terinfeksi Babesia. Langkah pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak
dengan gajah afrika yang diinfestasi oleh kutu karena berpotensi untuk menularkan babesiosis,
misalnya dengan melakukan penyemprotan insektisida atau repellant. Beberapa jam setelah digigit
kutu yang terinfestasi Babesia sp, hewan akan menderita babesiosis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Sebaiknya, perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak mengenai piroplasmosis pada gajah,
terutama daerah yang memilki populasi gajah cukup banyak dari daerah lain, agar dapat memberikan
informasi yang lebih banyak lagi tentang piroplasmosis atau babesiosis pada gajah.
DAFTAR PUSTAKA
1.2 Tujuan
Untuk mengertahui etiologi, gejala klinis, pengobatan dan penanganan serta diagnosa
cacing Stronyloides pada gajah sumatra .
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.4 Diagnosa
Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan feses gajah yang dilakukan di
laboratorium dengan menggunakan metode sentrifus.
Hematologi dapat mengungkapkan anemia.
Coproculture dan identifikasi.
Teknik penghitungan telur McMaster untuk menentukan telur per gram
(EPG).
Jumlah telur nematoda per gram tinja yang tinggi:
300 - 1200 EPG.
2.325 - 3.550 EPG dengan infeksi Murshida murshida di tiga gajah
Asia.
BAB III
3.1 Kesimpulan
Strongyloidiosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh nematoda
Strongyloides sp. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi infeksi cacing adalah host,
parasit, dan lingkungan. Gejala yang ditimbulkan akibat strongyloides adalah
anoreksia, kehilangan berat badan, diare, yang mungkin berbau busuk dan lemah.
Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan feses untuk parasit setidaknya setahun
sekali. Pengobatan dilakukan dengan pemberian obat cacing secara berkala setiap 3
bulan sekali. Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan feses gajah yang
dilakukan di laboratorium dengan menggunakan metode sentrifus.
DAFTAR PUSTAKA
Easwaran KR, Ravindran R, Pillai KM. 2003. Parasitic Infection of Some Wild Animals at
Thekkady in Kerala. Zoos’ Print Journal. 18 (2) : 1030.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th Ed.
London: William and Wilkin.
Pedersen AB, Jones KE, Nunn CL, Altizer S. 2007. Infectious Diseases and Extinction Risk
in Wild Mammals. Conserv. Biol. 21. 1269-1279.
Mbaya AW, Ogwiji M, Kumshe HA. 2013. Effects of Host Demography, Season and
Rainfall on the Prevalence and Parasitic Load of Gastrointestinal Parasites of
FreeLiving Elephants (Loxodonta africana) of the Chad Basin National Park,
Nigeria. Pakistan Journal of Biological Sciences. 16 (20) : 1152-1158.
Heard MJ, Smith KF, Ripp KJ, Berger M, Chen J, Dittmeier J, Goter M, McGarvey ST, Ryan
E. 2013. The Threat of Disease Increases as Species Move Toward Extinction.
Conserv. Biol. 1-11.
Vicente JJ, Muniz-PereiraLC, Noronha D, Pinto RM, 2000. Description of Males of
Parabronema pecariae Ivaschkin, 1960 (Nematoda, Habronematoidea)
Parasitizing Peccaries (Mammalia, Tayassuidae) in Brazil. Memórias do Instituto
Oswaldo Cruz. 95 (6) : 849-851.