Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH

PENYAKIT PARASIT PADA GAJAH

ILMU PENYAKIT SATWA LIAR, ZOO DAN EKSOTIK

OLEH :

PRAISELIA D. A TAFUI 1609010007


JEMRIS SABNENO 1609010010
MARIA MAGDALENA KEWA 1609010017
ALEXANDRA PALLO SUNGGA 1609010018
KEFIN E. TAHUN 1609010027
NATASHA IMANUELLE 1609010029
YUSTINA INDRAWATI 1609010030
DIANA RAMBU NAHA ANA AWA 1609010037
GRACELA UTAMI ARA 1609010039
MARIA MELANNY OVERA 1609010042
ANDIANUS FRANSISKUS SURAK 1609010044
JUAN BASLIO ALCOSONI ALLE 1609010047

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2019
GASTRIC MYASIS
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Gajah adalah mamalia besar dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Secara
tradisional, terdapat dua spesies yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta africana) dan
gajah asia (Elephas maximus), walaupun beberapa bukti menunjukkan bahwa gajah semak
afrika dan gajah hutan afrika merupakan spesies yang berbeda (L. africana dan L. cyclotis).
Gajah tersebar di seluruh Afrika sub-Sahara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Elephantidae
adalah satu-satunya famili dari ordo Proboscidea yang masih ada; famili lain yang kini sudah
punah termasuk mamut dan mastodon. Gajah memiliki ciri-ciri khusus, dan yang paling
mencolok adalah belalai atau proboscis yang digunakan untuk banyak hal, terutama untuk
bernapas, menghisap air, dan mengambil benda. Gigi serinya tumbuh menjadi taring yang
dapat digunakan sebagai senjata dan alat untuk memindahkan benda atau menggali. Daun
telinganya yang besar membantu mengatur suhu tubuh mereka. Telinga gajah asia lebih kecil
dan punggungnya cembung.

Gajah merupakan hewan herbivora yang dapat ditemui di berbagai habitat, seperti
sabana, hutan, gurun, dan rawa-rawa dan cenderung berada di dekat air. Permasalahan
kesehatan gajah di lembaga konservasi merupakan hal perlu diperhatikan, salah satunya
adalah infeksi lalat. Myiasis atau belatungan adalah infestasi larva lalat ke dalam suatu
jaringan hidup hewan berdarah panas termasuk gajah. Penyakit ini sering ditemukan di
negara-negara tropis. Diantara lalat penyebab myiasis di dunia, lalat Chrysomya bezziana
mempunyai nilai medis yang penting karena larvanya bersifat obligat parasit dan
menyebabkan kerugian ekonomi. Oleh karena itu kita perlu mengetahui apa itu gastric
myasis.

1.2 TUJUAN

Mengetahui tentang gastric myasis pada gajah.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 GAJAH ASIA

Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi


berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Lembaga konservasi dunia yaitu IUCN
(International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) menetapkan
status gajah sumatera dalam kondisi kritis (critically endangered) (World Wide Fund For
Nature, 2013). Sedangkan CITES (Convention on International Trade of Endangered Species/
Konvensi tentang Perdagangan International Satwa, dan Tumbuhan) telah mengkategorikan
gajah asia (Elephas maximus) dalam kelompok Appendix I yaitu daftar tentang perlindungan
seluruh spesies tumbuhan, dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan
(Departemen Kehutanan, 2007). Wilayah penyebaran gajah sumatera meliputi Provinsi Aceh,
Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung (Departemen
Kehutanan, 2007). Menurut Hariyanto (2009) gajah sumatera banyak melakukan pergerakan
dalam wilayah jelajah yang luas sehingga menggunakan lebih dari satu tipe habitat,
diantaranya hutan rawa, hutan rawa gambut, hutan dataran rendah, dan hutan hujan
pegunungan rendah.

Menurut Zahrah (2014) untuk mempertahankan kondisi populasi gajah yang sehat
harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup gajah yaitu faktor
kebutuhan hidup seperti pakan, air, dan garam-garam mineral. Gajah membutuhkan pakan
dengan keanekaragaman jenis yang tinggi (Fadhli, 2012; Saragih, 2014). Keanekaragaman
jenis pakan tersebut untuk memenuhi kebutuhan nutrisi gajah dalam menjalankan
aktivitasnya. Seekor gajah makan paling sedikit 300-350 kg tumbuhan per hari (Abdullah,
Dahlian, dan Mukhlisin, 2009). Jumlah konsumsi harian yang besar mengharuskan gajah
melakukan aktivitas makan dengan aktif (Yudarini, Soma, dan Widyastuti, 2013).

Myiasis adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh bertelurnya lalat dipteren (Zumpt
1965; Hall dan Wall 1995). Di Gajah, myiasis lambung disebabkan oleh Cobbaldia elephantis
yang bertanggung jawab untuk menyebabkan gastritis berat (Fowler dan Mikota 2006).
Chrysomyia bezziana adalah parasit obligat dari mamalia yang menyebabkan myiasis dan
luka (Urech et al. 2012).
Cobboldia adalah genus lalat dalam keluarga Oestridae dinamai Thomas Spencer
Cobbold (1828–1886) yang menggambarkan spesies pertama sebagai Gastrophilus elephantis
(Cobbold 1882). Lalat dewasa Cobboldia elephantis bertelur di dekat mulut atau pangkal
gading gajah Asia sementara Cobboldia terkait loxodontis (Platycobboldia loxodontis)
memparasitisasi Gajah afrika. Larva menetas dan berkembang di dalam rongga mulut dan
kemudian pindah ke perut menyebabkan lambung myiasis. Ketiga tahap larva dapat diamati
dinding perut dan larva tahap ketiga yang matang keluar dari mulut dan dijatuhkan ke tanah
untuk menjadi kepompong (Fowler dan Mikota 2006).

2.2 GASTRIC MYASIS

Gastric myiasis adalah sejenis pseudomiiasis atau myiasis yang tidak disengaja yang
mungkin terkait dengan konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan larva lalat
diptera. Kebersihan yang buruk adalah faktor risiko. Pasokan air merupakan sumber
kontaminasi yang mungkin. Presentasi klinis bervariasi dan tergantung pada jumlah belatung,
spesies parasit, dan lokasi dalam saluran pencernaan.

Identifikasi belatung dari spesimen yang dikumpulkan oleh sigmoidoskopi lebih dapat
diandalkan jika dicurigai adanya kontaminasi eksternal. Agen myiasis yang terkait dengan
miiasis tidak disengaja ini adalah Fannia canicularis, Sarcophaga spp., Hermetia illucens,
Muscina stabulans, Megaselia scalaris, Eristalis tenax, Musca domestica, Phormia regina,
Lucilia cuprina, dan Stomoxys calcitrans. Mesalazine telah digunakan sebagai agen
antiinflamasi. Kolonoskopi berguna sebagai diagnostik dan terapeutik.

2. 2 PATOLOGI ANATOMI

Dipahami dengan baik bahwa, hampir semua spesies hewan liar yang hidup di daerah
bebas memiliki berbagai jenis parasit secara alami, tetapi tingkat keparahan infeksi
tergantung pada tubuh, status hewan (Gaur et al. 1979). Gajah asia telah diamati rentan
terhadap berbagai parasit. Pemeriksaan post-mortem detail dari gajah betina dilakukan
(Gambar. 1) dan terungkap mukosa lambung yang sangat sesak, hiperemis, bertabur dengan
larva berukuran 2-3 cm banyak pada mukosa lambung (Gambar. 2).
Pada pemeriksaan post mortem gajah betina menunjukkan luka dan kerusakan parah
pada langit-langit mulut keras dan lunak, fraktur tulang mandibula dan gigi yang terlepas saat
ditangani karena membusuk. Pus ditemukan pada kepala dan sinus cantor. Demikian pula,
gajah jantan menunjukkan fraktur lengkap mandibula dan mudah terlepas saat dipegang.
Luka dan kerusakan jaringan yang parah diamati di langit-langit mulut. Bangkai gajah jantan
dan betina menunjukkan ukuran besar jumlah belatung di langit-langit mulut dan mukosa
lambung (Gambar 1a, 2a). Larva dari rongga mulut dan perut diidentifikasi sebagai C.
bezziana dan C. elephantis, masing-masing. Rata-rata 127 C. bezziana dari rongga mulut dan
C.elephantis dari perut dikumpulkan dari bangkai gajah.
Larva Cobbaldia elephantis diidentifikasi dengan adanya duri berbentuk segitiga di
segmen perut dan dua kait oral yang kuat dengan cephalopharngeal kerangka di ujung
anterior. Anterior spiracle memiliki 13 jari seperti proyeksi dan posterior spiracle memiliki
tiga celah paralel longitudinal dengan spiral berbentuk oval. Larva Chrysomyia bezziana
diidentifikasi berdasarkan keberadaan kait oral dengan kerangka cephalopharngeal diujung
anterior. Ini memiliki 13 jumlah jari seperti proyeksi dianterior spiracle. Segmen perut
tertutup kait. Posterior spiracle memiliki peritreme dan tombol tidak jelas. Jaringan yang
terinfeksi C. bezziana menunjukkan nekrosis parah .

(Gastric myasis, bots)


2.3 GEJALA KLINIS

Gejalanya berkisar dari kasus tanpa gejala, di mana larva diidentifikasi dalam tinja,
hingga nyeri perut, mual, muntah, analpruritus, atau pembengkakan usus. Kehadiran belatung
dapat menyebabkan peradangan pada mukosa usus dan membenarkan gejala-gejalanya.
Dalam beberapa kasus, asal-usul gejala mungkin membingungkan, karena hewan mungkin
memiliki infeksi enterik parasit secara bersamaan, seperti Ascaris lumbricoides, atau obat
antiparasit (albendazole atau mebendazole) mungkin telah digunakan sebelum diagnosis
pseudomiiasis. Di sisi lain, pengurangan gejala setelah eliminasi belatung adalah bukti yang
tidak dapat disangkal bahwa myiasis usus mungkin bertanggung jawab atas gejala-gejala ini.
Kehadiran banyak larva dalam satu atau lebih spesimen tinja berturut-turut adalah diagnostik.

Gejala klinis dicatat sebelum kematian gajah termasuk, diare, anoreksia, dehidrasi dan
tidak bisa berjalan selama sekitar satu minggu. Pengamatan serupa dilaporkan oleh Raquib
(1970), Pandaet al. (2005), Venu et al. (2013). Gajah jantan dan betina yang terkena dampak
menunjukkan anoreksia dan berkeliaran tanpa makan karena adanya rasa sakit luka myiasis
oral nekrotik selama lebih dari 15 hari dan kemudian berbaring di lantai dan mati sebelum
pengobatan.

 Anoreksia.
 Keengganan untuk minum.
 Sakit perut.
 Anoreksia,
 Kolik
 Diare.

2.4 PENCEGAHAN
Sanitasi yang buruk mungkin merupakan faktor risiko paling penting untuk myiasis
Tindakan pencegahan umum termasuk menutupi luka di sekitar daerah abdomen agar
terhindar dari lalat. Kontrol lapangan juga penting. Semua metode keselamatan harus
digunakan, termasuk semprotan udara, penghancuran bangkai kecil, dan pembersihan sampah
di dekat tempat pemeliharaan gajah.
2.5 PENGOBATAN

 Avermectins, misalnya : ivermectin atau moxidectin, diberikan secara oral.


Tetramisole hidroklorida (Levamisole) 4 mg/kg, (rute pemberian tidak ditentukan)
telah digunakan.

2.5 KONTROL

Pemeriksaan tinja untuk parasit harus dilakukan setidaknya setahun sekali.


Pemeriksaan yang lebih sering, direkomendasikan di daerah endemis.
BAB III

PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Gejala klinis pada hewan yang menderita gastric myasis ialah diare, anoreksia,
dehidrasi dan tidak dapat berjalan sekitar satu minggu sebelum kematian dan dirawat dengan
antibiotik dan terapi cairan selama tiga hari. Pemeriksaan post-mortem mengungkapkan
bahwa, mukosa lambung sangat parah sesak, hiperemia dan banyak bot perut melekat pada
mukosa. Bot dipulihkan dari mukosa lambung dan diproses untuk identifikasi spesies. Spirak
posterior bot menunjukkan tiga celah paralel longitudinal di masing-masing spiral, segmen
perut memiliki deretan sabuk seperti duri berbentuk segitiga dan ujung anterior memiliki dua
kait oral yang kuat dengan kerangka cephalopharyngeal. Berdasarkan karakter morfologis di
atas, bot diidentifikasi sebagai Cobboldia elephantis. Ini tampaknya merupakan C.
elephantis pada gajah liar.
DAFTAR PUSTAKA

Ananda K, Gowda J, Dharanesha NK, Giridhar P, Gowda SMB (2017) Cobboldia elephantis
(Cobbold, 1866) larval infestation in an Indian elephant (Elephas maximus). J Parasit Dis
41:364–366.

Chakraborthy A, Gogoi AR, Chaudhury B (1994) Prevalence of parasitic infection in captive


wild herbivores in a zoo in Assam. Int J Anim Sci 9:149–152.

Kakkassery MP, Sunil Kumar V, Arun Z, Anand LF, Pradeep Kumar PR (2011) EEHV like
haemorrhagic myocardititis in a wild Asian elephant (Elephas maximus). J Ind Vet Assoc
Kerala 9:51–52.

Matsuo K, Suprahman H (1997) Some parasites from Sumatran elephants in Indonesia. J


Helminthol Soc Wash 64:298–299.

Panda SK, Panda DN, Parhi NK (2005) Occurrence of Cobboldia elephantis (Cobbold, 1866)
larvae in a wild elephant. J Vet Parasitol 19:163–164 Raquib A (1970) Record of Cobboldia
elephantis (Cobbold, 1866) in elephant in Assam. Orissa Vet J 5:28.

Sanyathitiseree P, Pinyopanuwat N, Phasuk J, Prasitiphol S, Yatbantoong N, Mueangthong


N, Losanyaluk B, Kasorndorkbua C (2009) Prevalence of stomach bot flies in a wild elephant
from Kanchanaburi Province. Kasetsart Vet 19:1.

Bowman DD (2009) Georgis’ parasitology for veterinarians, 9th edn. Saunders Elsevier, St.
Louis.

Chakraborthy A, Gogoi AR, Chaudhury B (1994) Prevalence of parasitic infection in captive


wild herbivores in a zoo in Assam. Int J Anim Sci 9:149–152.

Cobbold TS (1882) The parasites of elephants. Trans Linn Soc London 2(4): 223–258.
TRYPANOSOMYASIS
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gajah adalah mamalia besar dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Secara
tradisional, terdapat dua spesies yang diakui, yaitu gajah afrika(Loxodonta africana)
dan gajah asia (Elephas maximus), walaupun beberapa bukti menunjukkan bahwa gajah
semak afrika dan gajah hutan afrikamerupakan spesies yang berbeda
(L. africana dan L. cyclotis). Gajah tersebar di seluruh Afrika sub-Sahara, Asia Selatan,
dan Asia Tenggara. Elephantidaeadalah satu-satunya famili dari ordo Proboscidea yang
masih ada; famili lain yang kini sudah punah termasuk mamut dan mastodon.
Gajah afrika jantan merupakan hewan darat terbesar dengan tinggi hingga 4 m dan
massa yang juga dapat mencapai 7.000 kg. Gajah memiliki ciri-ciri khusus, dan yang
paling mencolok adalah belalai atau proboscis yang digunakan untuk banyak hal,
terutama untuk bernapas, menghisap air, dan mengambil benda. Gigi serinya tumbuh
menjadi taring yang dapat digunakan sebagai senjata dan alat untuk memindahkan benda
atau menggali. Daun telinganya yang besar membantu mengatur suhu tubuh mereka.
Gajah afrika memiliki telinga yang lebih besar dan punggung yang cekung, sementara
telinga gajah asia lebih kecil dan punggungnya cembung.
Dahulu, Gajah Asia (Elephas maximus) tersebar hampir seluruh Asia dan indocina
serta menempati berbagai macam habitat seperti hujan tropis dan padang rumput. Saat ini
populasi gajah Asia telah menurun secara drastis dan saat ini jumlahnya hanya
sepersepuluh populasi gajah Afrika. Di Indonesia, gajah Asia hanya terdapat di Pulau
Sumatera dan Kalimantan.
Gajah seharusnya mendapat pengobatan dan pemeriksaan kesehatan minimal tiga
sampai empat kali setahun, agar terhindar dari penyakit kecacingaan atau pun penyakit
parasit lainnyaoleh karena itu penyusun membuat makalah dengan judul
“Trypanosomiasis Pada Gajah”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas , penyusun merumuskan rumusan masalah
sebagai berikut
1. Apa saja etiologi dari penyakit trypanosomiasis pada gajah ?
2. Bagaimana patogenesis penyakit trypanosomiasis pada gajah ?
3. Apa saja gelaja klinis penyakit trypanosomiasis pada gajah?
4. Apa saja diagnosa penyakit trypanosomiasis pada gajah?
5. Bagaimana pencegahan dan pengobatan penyakit trypanosomiasis pada gajah?
1.3 Tujuan

Untuk mengetahui etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, pencegahan dan


pengobatan penyakit trypanosomiasis pada gajah.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Etiologi

Protozoa dari genus Trypanosoma adalah penyebab trypanosomiasis yang menyerang


hewan dan manusia dan salah satu etiologinya adalah Trypanosoma evansi yang
menyebabkan trypanosomiasis pada gajah asia dan biasa disebut penyakit surra.Di india
penyakit Surra dikatakan "buruk”. Selain itu Gajah Afrika telah dilaporkan terinfeksi T.
congolense di Tanzania dan Mozambik dan T. Brucei di Uganda (Fowler & Mikota,
2006)

Menurut Wardhana&Sawitri (2018) Trypanosoma evansi adalah salah satu protozoa


darah yang memiliki daerah penyebaran geografis yang luas dibandingkan dengan
spesies Trypanosoma lainnya. Parasit tersebut menyebabkan trypanosomiasis yang
dikenal dengan nama Surra dan dapat mengakibatkan kematian.

Trypanosoma evansi adalah spesies yang memiliki daerah penyebaran paling luas,
yaitu meliputi benua Afrika, Timur Tengah, Asia, termasuk Amerika Selatan dan Utara
(Vanhollebeke et al. 2006).

2.2 Patogenesis
T. evansi tidak memerlukan periode pematangan dalam vektor serangga dan
karenanya memiliki transmisi noncyclic. Setiap serangga atau kutu atau lalat yang
menggigit dan mengisap darah dapat berfungsi sebagai vektor. Antara lain lalat dari
genera Tabanus dan Stomoxys. Transmisi mekanis oleh jarum suntik yang terkontaminasi
juga dimungkinkan.(Fowler & Mikota, 2006)
Patogenesis penyakit surra bermula dari kelenjar saliva vektor lalat dan ditularkan
pada inang melalui gigitan. Infeksi ditularkan dengan penetrasi T. Evansi ke dalam
jaringan subkutan atau mukosa. Parasit tersebut kemudain memasuki peredaran darah,
berkembang dan akan bertamabah secara logaritmik di dalam darah dalam waktu satu
sampai tiga hari setalah parasit ditemukan di dalam aliran darah. Kerusakan endotel
pembuluh darah menyebabkan edema dan pendarahan. Trpanosoma evansi menyebabkan
reaksi inflamsi pada jaringan darah dengan diikuti multifikasi parasit . Trpanosoma evansi
bertambah dalam darah secara berkala dan hal ini disertai demam pada gajah. Serangan
demam yang berulang disebabkan oleh invasi masal T. Evansi ke dalam darah atau
perkembangbiakan yang cepat dalam darah. (Ressang ,1984)

2.3 Gejala klinis


Penyakit Surra yang akut ditandai dengan demam, depresi, kelemahan, dan edema.
Adanya edema paru dapat berkontribusi pada pengembangan pneumonia sekunder. Pada
gajah Betina mungkin dapat mengalami abortus , dan gajah betina yang sedang dalam
keadaan menyusui dapat menjadi caseous atau perkejuan. Sejumlah besar tripanosom
terlihat pada sampel darah. Kematian dapat terjadi dalam beberapa minggu(Fowler &
Mikota, 2006).
Penyakit Surra yangSurra kronis ditandai dengan demam intermiten, anemia, edema
dependen, dan kekurusan. Di antara demam, parasit mungkin tidak ada di pembuluh
darah perifer. Seekor gajah dapat bertahan hidup selama 3 atau 4 tahun, tergantung pada
perawatan yang diberikan.

2.4 Diagnosis
Menurut Fowler & Mikota (2006) diagnosis penyakit trypanosomiasis dapat dilihat
berdasarkan gejala klinis. Selain itu mungkin diagnosa trypanasomiasismungkin sulit
dideteksi dalam darah sehingga dapat dilakukan dengan teknologi PCR.

2.4 Pencegahan dan Pengobatan

Banyak obat telah digunakan dalam upaya untuk menghilangkan trypanosom dari
berbagai spesies hewan. Tanggapan inang terhadap obat bervariasi dan tidak dapat
diandalkan. Obat-obatan yang telah digunakan di India termasuk melarsomine
(Cymelarsan) dan suramin (naganol) (Fowler & Mikota, 2006).

Upaya pengembangan obat anti Trypanosoma evansi (trypanosidal) pada hewan


merupakan suatu kebutuhan. Pada saat ini, strategi pengobatan Trypanosomiasis
umumnya masih bertumpu pada lima kelompok obat yaitu suramin (misalnya antrypol,
naganol), isometamidium (misalnya trypamedium, samorin), diminazene (misalnya
berenil, tryponil), quinapyramine (misalnya antrycide, vetquin) dan melarsomine
(misalnya cymelarsan) (Subekti, 2014).
BAB III

PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Protozoa dari genus Trypanosoma adalah penyebab trypanosomiasis yang menyerang


hewan dan manusia dan salah satu etiologinya adalah Trypanosoma evansi yang
menyebabkan trypanosomiasis pada gajah asia dan biasa disebut penyakit surra.

Penyakit Surra yang akut ditandai dengan demam, depresi, kelemahan, dan edema
sedangkan penyakit Surra yang Surra kronis ditandai dengan demam intermiten, anemia,
edema dependen, dan kekurusan. Diagnosis penyakit trypanosomiasis dapat dilihat
berdasarkan gejala klinis dan uji molekuler PCR.

Obat-obatan yang telah digunakan di India termasuk melarsomine (Cymelarsan) dan


suramin (naganol).
DAFTAR PUSTAKA

Fowler M. E,. Mikota S.K. 2006. Biology, Medicine, And Surgery Of Elephants. Blackwell
Publishing. Australia.

Ressang, A.A., 1984. Trypanosomiasis. Patologi Khusus Veteriner. Edisi II. Airlangga
University Press. Hlm : 347-359

Subekti, D.T. 2014. Perkembangan, Struktur, Mekanisme Kerja dan Efikasi Trypanosidal
untuk Surra. Balai Besar Penelitian Veteriner: Vol. 24 No. 1 Th. 2014.Wartazoa

Vanhollebeke B, Truc P, Poelvoorde P, Pays A, Joshi PP, Katti R, Jannin JG, Pays E. 2006.
Human Trypanosoma evansi infection linked to a lack of apolipoprotein L-I. N Engl J
Med. 355:2752-2756.

Wardhana A. H., Sawitri DH. 2018. Surra: Trypanosomiasis pada Ternak yang Berpotensi
sebagai Penyakit Zoonosis. WARTAZOA Vol. 28 No. 3. Hal 139.
FILARIASIS
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Gajah adalah mamalia besar dari family Elephantidae dan ordo Proboscidea.
Secara tradisional, terdapat dua spesies yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta
africana) dan gajah asia (Elephas maximus), walaupun beberapa bukti menunjukkan
bahwa gajah semak afrika dan gajah hutan afrika merupakan spesies yang berbeda
(L. africana dan L. cyclotis). Gajah tersebar di seluruh Afrika sub-Sahara, Asia
Selatan, dan Asia Tenggara.
Elephantidae adalah satu-satunya famili dari ordo Proboscidea yang masih
ada; famili lain yang kini sudah punah termasuk mamut dan mastodon. Gajah afrika
jantan merupakan hewan darat terbesar dengan tinggi hingga 4 m dan massa yang
juga dapat mencapai 7.000 kg. Gajah memiliki ciri-ciri khusus, dan yang paling
mencolok adalah belalai atau proboscis yang digunakan untuk banyak hal, terutama
untuk bernapas, menghisap air, dan mengambil benda. Gigi serinya tumbuh menjadi
taring yang dapat digunakan sebagai senjata dan alat untuk memindahkan benda atau
menggali. Daun telinganya yang besar membantu mengatur suhu tubuh mereka. Gajah
afrika memiliki telinga yang lebih besar dan punggung yang cekung, sementara
telinga gajah asia lebih kecil dan punggungnya cembung.
Gajah merupakan hewan herbivora yang dapat ditemui di berbagai habitat,
seperti sabana, hutan, gurun, dan rawa-rawa. Gajah banyak dipelihara dipenangkaran
dengan tujuan mempertahankan dan menyelamatkan gajah dari kepunahan baik
karena factor internal maupun eksternal. Factor internal meliputi kesehatan sedangkan
factor eksternal meliputi lingkungan habitat dan perburuan liar.
Penyakit parasit merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan penangkaran seperti kebun binatang atau taman satwa, termasuk
diantaranya adalah kecacingan. Satwa, terutama primata yang ada di penangkaran
atau rehabilitasi lebih beresiko terinfeksi parasit dibandingkan dengan habitat aslinya,
hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan habitat
aslinya. Pada awalnya satwa mempunyai habitat di alam bebas, kemudian
dipindahkan ke alam buatan, sehingga mengalami berbagai perubahan lingkungan dan
perlakuan, seperti ruang gerak, pakan, minum dan tempat berteduh.
Batasan yang diciptakan untuk satwa-satwa tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya peningkatan penyakit. Hewan-hewan tersebut akan menjadi lemah
sehingga mudah terancam penyakit seperti virus, bakteri, jamur dan cacing parasit.
Penyakit yang disebabkan oleh endoparasit saluran pencernaan umumnya tidak
menyebabkan kematian secara akut, tetapi bersifat kronis sehingga pada satwa dewasa
akan mengakibatkan produksi dan kemampuan kerja yang menurun, sedangkan pada
satwa muda akan mengakibatkan pertumbuhan terhambat, nafsu makan menurun,
anemia dan diare.
1.2 RUMUSAN MASALAH
 Apa yang dimaksud dengan filariasis?
 Apa penyebab terjadinya filariasis pada gajah ?
 Bagaimana gejala klinis yang terlihat pada gajah yang menderita filariasis?
 Bagaimana teknik mendiagnosa kejadian filariasis ?
 Bagaimana terapi yang diterapkan pada gajah yang menderita filariasis?
1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan dari
pembuatan makalah yaitu untuk mengatahui pengertian dari filariasis, proses
terjadinya penyakit filariasis hingga timbulnya gejala klinis dan teknik mendiagnosa
filariasis serta penanganan atau terapi terhadap gajah yang mengalami filariasis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Filaria adalah istilah umum untuk sekelompok parasit nematoda yang hidup di
jaringan inang vertebrata. Filariasis menunjukkan adanya mikrofilaria dalam darah
dan jaringan. Elephantiasis, penyakit filaria pada manusia, dinamakan demikian
karena penampakan anggota badan yang mirip gajah akibat sumbatan sirkulasi dan
limfatik.
3.1 Etiologi
Pada gajah Afrika: Dipetalonema loxodontis dan D. gossi, sedangkan pada
gajah Asia: Indofilaria parabiramani dan Dipetalonema asiatica, juga
Stephanofilaria sp. Stephanofilaria sp. diisolasi dari gajah India di Assam untuk
sementara bernama Stephanofilaria srivastavai. Panjang rata-rata betina adalah 7,7
mm, lebar di tengah tubuh adalah 120 - 153 mikron, vulva ditemukan pada 89 - 94
mikron dari ujung anterior dan kutikula pada seluruh panjang tubuh secara mencolok
lurik. Ujung posterior betina lurus sedangkan ujung anterior "memiliki struktur
karakteristik genus".
4.1 Gejala Klinis

Gambar 1. Dermatitis akibat infeksi indofilaria sp.

Pada gajah Asia, Indofilaria patabiramani dan Indofilaria elephantis


menyebabkan filariasis kulit yang menyebabkan nodul 1-2 cm di bagian samping,
perut bagian bawah, dan anggota badan. Stephanofilaria sp. dapat menyebabkan lesi
di bagian belakang dan permukaan ventral mulai dari 2,5 17,5 cm. dalam diameter.
Lesi ulserasi, jari kaki dan tumit pruritus juga telah diamati. Microfilaria umumnya
ditemukan di gajah yang wilayah jelajah luas dan jinak di Sri Lanka, dan gajah yang
kondisi tubuhnya buruk juga dapat menunjukkan hilangnya nafsu makan, lesu, anemia
submandibular, atau kekeruhan kornea.
Pada seekor gajah Asia jantan dewasa di Assam, India, ditemukan luka
tunggal, di sisi kiri punggung gajah, berdiameter 1,0 kali 0,5 inci (2,5 kali 1,25 cm),
berkulit, dengan nanah lengket di bawah kerak. Lesi di bawah nanah ini berwarna
merah dan digambarkan kaya akan darah dan getah bening. Pada Elephas maximus-
gajah Asia, Stephanofilaria yang tidak dikenal dicatat adanya lesi pada area perut.
Lesi ulseratif berkembang di jari kaki gajah bagian belakang kaki kiri; daerah itu
terasa sakit ketika ditekan keras. Mengalami pruritis dan sering menggaruk daerah ini
selama 15 hari sebelum lesi terdeteksi. Lesi tambahan ada di sisi kanan perut. Tiga
minggu kemudian, setelah injeksi penisilin jangka panjang intramuskuler mingguan
dan aplikasi lokal ramuan herbal (salep Himax), tidak ada perbaikan yang signifikan
dan lesi ulseratif pruritus sekarang ditemukan di jari kaki kaki belakang kanan dan
tumit keduanya. kaki belakang, bersama-sama dengan retakan pada telapak kaki dan
beberapa abses di permukaan atas jari kaki yang terkena; gajah tertatih-tatih saat
berjalan. Pada tubuh ada beberapa bercak dermatitis: hiperkeratosis, retakan kecil dan
nodul kecil hadir.
5.1 Diagnosis.
Microfilaria pada gajah Afrika dapat dideteksi dengan pemeriksaan darah
segar atau tebal, apusan Giemsastained. Dalam satu penelitian 73,5% dari 195 gajah
Afrika terinfeksi M. loxodontis (mungkin bentuk filaria Dipetalonema meskipun
lokasi parasit dewasa tidak diselidiki). Tingkat infeksi tertinggi terjadi pada kelompok
usia 5-15 tahun dan jumlah rata-rata mikrofilaria adalah 289 ± 589 / ml darah.98
Dalam kasus filariasis kulit pada gajah Asia, mikrofilaria dapat dideteksi dalam darah
yang keluar dari nodul yang pecah. Mikrofilaria juga dapat terlihat dalam darah tepi;
jumlah yang lebih tinggi terdeteksi dalam sampel malam hari (9 malam sampai 3
pagi) dibandingkan dengan yang dikumpulkan pada siang hari. Differential diagnosis
dengan infeksi parasit lainnya, gigitan lalat, abses.
Diagnosis didasarkan pada deteksi filaria atau mikrofilaria pada kerokan kulit
yang dalam dari lesi, dan identifikasi sebagai berikut:
 Microfilariae, menyerupai mikrofilaria dari Stephanofilaria spp., ditemukan dalam
jumlah kecil pada kerokan kulit yang dalam dari jari-jari kaki yang terkena yang
terkumpul dalam saline normal, dan pada apusan darah yang mengalir. Diagnosis
dibuat berdasarkan temuan ini bersama dengan riwayat kasus, penampilan lesi dan
kurangnya respon terhadap terapi antibiotik.
 Stephanofilaria ditemukan dalam kerokan kulit yang dalam dari lesi pada gajah jantan
di Assam, India.
6.1 Treatmen
Lesi dibersihkan secara menyeluruh dengan menyikat dengan sabun dan air,
dikeringkan lalu diberikan salep 8% metrifonat (antelmintik) dalam vaselin atau salep
Himax (Herbal India). perubahan klinis terjadi setelah 22 hari pengobatan dengan 8%
metrifonat dalam vaseline atau 15 hari pengobatan dengan 8% metrifonat di Himax
(salep herbal). Anthiemalin dengan dosis 50 ml / 2000 kg yang diberikan secara
subkutan di leher atau ekor telah terbukti efektif melawan filariasis kulit pada gajah
Asia. Dermatitis stofanofilaria telah berhasil diobati dengan aplikasi topikal salep
metrifonate (trichlorfon) 8%. dengan Himax (krim ekstrak herbal India) selama 15
hari. Perawatan untuk lesi yang berhubungan dengan Stephanofilaria sp. pada spesies
lain termasuk:
 Pengangkatan secara operasi atau kauterisasi lesi, diikuti dengan
perawatan standar untuk luka;
 Aplikasi agen antiparasitisida topikal (senyawa organofosfat seperti
malathion, trichlorphon atau fentrothion);
 Petroleum jelly yang bila diterapkan pada lesi tampaknya "memeriksa
tingkat keparahan lesi dan bahkan untuk menyembuhkan lesi sakit
telinga ringan, mungkin dengan mencegah infeksi ulang."
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Filaria adalah parasit nematoda yang hidup di jaringan inang vertebrata yang
menunjukkan adanya mikrofilaria dalam darah dan jaringan. Filariais pada gajah afrika
disebabkan oleh infeksi cacing Dipetalonema loxodontis dan D. gossi sedangkan pada gajah
asia disebabkan oleh infeksi cacing Indofilaria parabiramani. Dipetalonema asiatica dan
Stephanofilaria sp.

Gejala klinis yang terjadi pada gajah yang menderita filariais adalah terbentuknya lesi
pada kulit, dermatitis pada daerah perut, pruritus diantara digit kaki, hilangnya nafsu makan,
lesu, anemia submandibular, atau kekeruhan kornea. Filariasis dapat didiagnosis dengan
melakukan pemeriksaan fisik maupun laboratorium agar tidak dibingungkan dengan penyakit
parasit lainnya. Jika telah terdeteksi menderita filariasis dapat melakukan terapi pada gajah
dengan pemberian salep 8% metrifonat (antelmintik) dalam vaselin atau salep Himax (Herbal
India).
DAFTAR PUSTAKA

Fowler M.E, Mikota M.K. 2006. Biology, Medicine, and Surgery of Elephants. Blackwell
Publishing: USA
PARAMPHYSTOMUM
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu satwa endemik
Sumatra, Indonesia. Satwa ini dilindungi karena penurunan populasinya. Status
konservasi satwa ini menurut IUCN (International Union for Conservation of Natural
Resources) adalah critically endangered atau kritis. Upaya konservasi gajah sumatera
diperlukan karena merupakan spesies payung yaitu spesies yang mewakili
keanekaragaman hayati di tempat satwa ini hidup sebagai penyebar biji, konservasi satwa
ini dapat mempertahankan keragaman hayati dalam ekosistemnya (Juniar M. et al., 2015).
Populasi gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas terdapat 180 individu dan
terusmengalami penurunan di habitat alaminya (IUCN, 2014). Menurunnya populasi
gajah sumatera disebabkanoleh degradasi dan fragmentasi habitat, perburuan liar, konflik
gajah dengan manusia, penyakit yangmenyebabkan malnutrisi dan status kesehatan
hewan yang menurun akibat terserang parasit seperti kasuskecacingan yang merupakan
salah satu penyakit yang dapat menyebabkan kematian pada gajah (Musabine,2013).
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi karena
beriklim tropis dan lembab yang menyebabkan banyaknya jenis hewan mikroskopis dapat
dengan cepat berkembang biak, terutama parasit (Sambodo dan Tethool, 2012). Infeksi
parasit cacing sering ditemukan pada manusia dan hewan mamalia di Indonesia.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai penyakit pada gajah yang disebabkan oleh
parasit Paramphystomum sp. mengenai anatomi dan morfologi, siklus hidup, gejala klinis,
diagnosa dan pengobatan.

1.2 TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami mengenai penyakit yang
disebabkan oleh Paramphystomum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Taksonomi
Paramphistomum adalah genus cacing pipih parasit trematoda. Ini termasuk cacing
yang sebagian besar parasitisasi ternak ruminansia , serta beberapa mamalia liar. Mereka
bertanggung jawab atas penyakit serius yang disebut paramphistomiasis, juga dikenal
sebagai amfistomosis, terutama pada sapi dan domba.Gejalanya meliputi diare yang
banyak, anemia , lesu , dan sering berakibat kematian jika tidak diobati. Mereka
ditemukan di seluruh dunia, dan paling banyak ditemukan di daerah peternakan
seperti Australia, Asia, Afrika, Eropa Timur, dan Rusia.

Paramphistomum

Klasifikasi ilmiah

Kerajaan: Animalia

Divisi: Platyhelminthes

Kelas: Trematoda

Memesan: Plagiorchiida

Keluarga: Paramphistomatidae

Marga: Paramphistomum
Fischoeder, 1901

2.2 Siklus hidup


Cacing dewasa hidup di saluran empedu. Beberapa mungkin ditemukan di paru-
paru. Telur dibuang ke saluran empedu, dibawa ke usus, dan diekskresikan dalam tinja.
Telur harus jatuh ke dalam air untuk pematangan ke tahap miracidium bersilia. Ini
membutuhkan 10 hingga 12 hari. Miracidium menjadi salah satu spesies siput amfibi.
Lymnaea truncatula adalah salah satu inang perantara yang lebih umum, tetapi spesies
Lymnaea lain juga dapat bertindak sebagai inang. Saat berada di siput, miracidium
kehilangan silia dan jatuh tempo untuk menjadi sporokista, dan kemudian redia, dan
akhirnya menjadi serkaria. Fase ini membutuhkan 4,5 hingga 7 minggu. Cercaria
meninggalkan siput dan berenang bebas selama beberapa menit hingga 2 jam. Mereka
menempel pada tanaman tepat di bawah permukaan, kehilangan ekornya, dan menjadi
metacercaria, yang merupakan tahap infektif. Metacercaria dapat tetap tersuspensi di
dalam air, tetapi sebagian besar akan tenggelam ke dasar badan air. Metacercaria dicerna
dengan hijauan atau dengan minum. Cacing yang belum matang (marita) dilepaskan ke
dalam duodenum, di mana mereka menembus dinding usus, memasuki rongga
peritoneum, dan bermigrasi ke hati. Pada 3 sampai 7 hari setelah infeksi, sebagian besar
cacing muda akan mencapai hati, di mana mereka menembus kapsul. Masa migrasi
sekitar 5 hingga 6 minggu di parenkim hati terjadi sebelum cacing memasuki saluran
empedu dan matang. Periode prepaten adalah sekitar 8 minggu, tetapi perkembangan
mungkin terhambat, menunda jatuh tempo 2 bulan lagi. Cacing dewasa dapat hidup
selama 9 bulan atau lebih (Fowler M. E. and Mikota S. K., 2006).

Sumber : Fowler M. E. and Mikota S. K., 2006.


Gambar 1. Siklus hidup Paramphystomum sp.

2.3 Gejala klinis


Fascioliasis akut dan kronis.
Bentuk akut terjadi dengan infeksi luar biasa yang menghasilkan tanda-tanda
insufisiensi hati, seperti anoreksia, konstipasi, diare, anemia, ikterus, dan kematian.
Bentuk kronis lebih sering terlihat. Stasis kronis dari empedu, yang disebabkan oleh
cacing yang menyumbat saluran, menghasilkan fibrosis hati, yang akhirnya menyebabkan
peningkatan tekanan darah intrahepatik. Kolangitis hiperplastik, yang memungkinkan
kebocoran protein plasma yang menyebabkan hipoproteinemia, juga terjadi. Cacing
dewasa menghisap darah, menyebabkan pendarahan intrabiliary, yang menyebabkan
anemia. Jika infestasi melibatkan paru-paru, tanda-tanda pernapasan mungkin terlihat.
Gajah menjadi anorektik, disertai dengan penurunan berat badan. Selaput lendir mungkin
pucat atau ikterik, dan edema liontin dapat terlihat. Depresi dan kekurusan mengikuti
anoreksia. Diare atau sembelit dapat terlihat. Tandanya paling parah pada gajah muda
(Fowler M. E. and Mikota S. K., 2006).

2.4 Diagnosa
Telur-telur dapat diamati pada flotasi tinja. Enzim hati yang meningkat dapat
dideteksi pada analisis kimia darah. Patologi klinis yang terkait dengan fascioliasis pada
empat gajah yaitu penurunan hemoglobin 6,8–9,0 g / dl (normal 12,1), PCV 19– 28%
(normal 34), eritrosit 1,53-2,3 106 / μ (normal 3,18), protein plasma 5,4–8,6 g / dl
(normal 9,0), dan leukosit 14,5–16,0 103 / mm3 (normal 14,7). Pada nekropsi, hati yang
terinfeksi memiliki traktus hemoragik, penebalan saluran empedu, sirosis, dan
pseudolobulasi. Parasit juga ditemukan di bronkus paru-paru, menyebabkan bronkitis
dengan sel-sel yang dideklamasi dan eksudat fibrinohemoragik.

2.5 Pengobatan
Banyak obat yang berbeda telah digunakan untuk mengobati infeksi cacing. Saat
ini, satu-satunya obat yang direkomendasikan di Amerika Serikat adalah clorsulon
(Curatrem®) dengan dosis 7 mg / kg berat badan. Ini diberikan per os, dua kali dengan
interval 45-60 hari. Albendazole juga efektif. Di India, triclobendazole pada 9 mg / kg
(tidak melebihi 7200 mg / hewan) dan oxyclozanide 7,5 mg / kg (tidak melebihi 6,0 g /
hewan) berhasil digunakan.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Paramphistomum adalah genus cacing pipih parasit trematoda. Ini termasuk cacing
yang sebagian besar parasitisasi ternak ruminansia , serta beberapa mamalia liar. Mereka
bertanggung jawab atas penyakit serius yang disebut paramphistomiasis, juga dikenal
sebagai amfistomosis, terutama pada sapi dan domba.Gejalanya meliputi diare
yangbanyak, anemia , lesu , dan sering berakibat kematian jika tidak diobati.Mereka
ditemukan di seluruh dunia, dan paling banyak ditemukan di daerah peternakan seperti
Australia, Asia, Afrika, Eropa Timur, dan Rusia.
Cacing dewasa hidup di saluran empedu. Beberapa mungkin ditemukan di paru-
paru. Paramphystomum dapat menyebabkan fascioliasis akut dan kronis. Diagnosa dapat
dilakukan dengan telur-telur yang diamati pada flotasi tinja dan enzim hati yang
meningkat dapat dideteksi pada analisis kimia darah.
Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan clorsulon (Curatrem®) dengan
dosis 7 mg / kg berat badan. Ini diberikan dua kali dengan interval 45-60 hari.
Albendazole juga efektif. Triclobendazole pada 9 mg / kg (tidak melebihi 7200 mg /
hewan) dan oxyclozanide 7,5 mg / kg (tidak melebihi 6,0 g / hewan) berhasil digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Fowler M. E. and Mikota S. K., 2006. Biology, Medicine, And surgery of Elephants.
Blackwell : USA.

Juniar M., Rosa E., Rustiati E. L. 2015. Identifikasi Nematoda Dan Trematoda Saluran
Pencernaan Pada Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) Di Pusat
Konservasi Gajah (Pkg) Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Prosiding Seminar
Nasional. Hal. 582-587.

Musabine, S.Y. 2013. Malnutrisi Pada Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus).
Artikel ilmiah. Pusat Konservasi Gajah (PKG) Taman Nasional Way Kambas.
Lampung.

Sambodo, P., dan A. Tethol. 2012. Endoparasit Dalam Feses Bandikut (Echymipera kalubu)
(Studi Awal Kejadian Zoonosis Parasitik Dari Satwa Liar). Jurnal Agrinimal Vol.2
No.2, Oktober 2012, Hal.71-74.
PIROPLASMOSIS
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gajah afrika Afrika adalah mamalia darat terbesar yang hidup dengan berat spesies pejantan
hingga 6.000 kg dan saat berdiri tingginya dapat mencapai 3,3 meter (Laws 1966; Laws & Parker
1968 ; Hukum 1969 ; Hanks 1969). Dapat mengangkat batang pohon 140kg, mendorong pohon, dapat
meminum 12 liter air dan mendeteksi bau beberapa kilometer jauhnya. Kedua gigi seri memanjang
yang terdiri dari gading yang diidamkan oleh manusia selama ratusan ribu tahun, dan gading telah
memainkan peran penting dalam seni dan budaya Indonesia (Ross 1993).

Selama tiga puluh tahun terakhir, dilakukan ratusan studi pada gajah afrika Afrika (Loxodonta
africana) di seluruh benua. Seperti manusia, gajah afrika memiliki kapasitas untuk memodifikasi
habitat mereka secara dramatis (Laws et al. 1970 ; Cumming 1982; Kortlandt 1984 ; Barat 1989), dan
kebutuhan mereka akan tempat seringkali membuat mereka langsung konflik dengan populasi
manusia yang berkembang (Kangwana 1993; Ngure 1993; Kiiru 1994; Thouless dalam pers). Gajah
afrika telah dicatat kecerdasan mereka, ikatan keluarga dekat dan kompleksitas sosialnya (Moss
1988). Dengan cara lain, mereka tetap berbeda secara misterius. Kemampuan luar biasa mereka untuk
berkomunikasi satu sama lain dalam jarak jauh (Martin 1978), dan pernah disebut sebagai ‘persepsi
ekstra sensoris' (Rees 1963).

Gajah afrika pernah menghuni seluruh benua (Mauny 1956 ; Douglas-Hamilton 1979) dan dalam
tiga abad terakhir, Loxodonta africana menghuni semua sub-Sahara Afrika mulai dari hutan tropis
dan pegunungan hingga padang rumput terbuka, semak semi-kering dan gurun. Namun perburuan
gajah afrika untuk diambil gadingnya dan pertumbuhan manusia serta ekspansi populasi telah
mengurangi rentang dan jumlah spesies ini secara drastis. Sepupu dekat gajah afrika Afrika adalah
gajah afrika Asia (Elephas maximus), dan merupakan satu-satunya spesies bertahan hidup sebagai
Probocidea. Keduanya genera berasal dari tempat yang sama yakni sub-Sahara Afrika pada masa
Pleistosen awal (Maglio 1973) ; tetapi gajah afrika pindah ke Asia pada masa Pleistosen akhir.

Gajah afrika adalah hewan yang dapat diserang berbagai penyakit, namun penyakit ini dapat
diminimalkan dengan vaksinasi rutin. Penyakit infeksius yang dapat menyerang gajah afrika antara
lain tuberkulosis, septikemia hemoragik, trypanosomiasis, piroplasmosis, penyakit kaki dan mulut,
cacar, nekrosis basiler, salmonellosis, streptococcosis, babesiosis, helminthiasis, dan ektoparasitisme,
selain itu ada juga rabies dan tetanus. Namun, dalam makalah ini penulis akan membahas salah satu
penyakit pada gajah afrika yakni piroplasmosis.
1.2 Rumusan Masalah

 Apa itu penyakit piroplasmosis ?


 Mengapa piroplasmosis dapat diderita gajah afrika?
 Apa saja etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan yang di lakukan
pada hewan gajah afrika ?

1.3 Tujuan

 Untuk mengetahui defenisi penyakit piroplasmosis.


 Untuk mengetahui penyebab piroplasmosis dapat dialami gajah afrika.
 Untuk mengetahui apa saja etiologi, patogenesis, gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan
yang di lakukan pada hewan gajah afrika.

1.4 Manfaat

 Agar dapat mengetahui defenisi penyakit piroplasmosis.


 Agar dapat mengetahui penyebab piroplasmosis dapat diderita gajah afrika.
 Agar dapat mengetahui apa saja etiologi, patogenesis, gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan
yang di lakukan pada hewan gajah afrika.
BAB II

ISI

2.1 Defenisi Penyakit Piroplasmosis

Piroplasmosis atau Babesiosis adalah protozoa hemoparasit yang ditularkan oleh kutu
menimbulkan dampak ekonomi, medis kedokteran hewan di seluruh dunia. Pada inang vertebrata
parasit ini bereproduksi aseksual di dalam eritrosit. Parasit ini dan Theileria spp disebut sebagai
piroplasme atau piroplasmid. Fase siklus seksual hidup Babesia biasanya terjadi dalam kutu Ixodid,
yang memperoleh dan mengirimkan parasit selama makan darah (Kakoma dan Mehlhorn, 1994 ;
Telford et al., 1993 ; Gray dan Weiss, 2008).

Gambar 1. Loxodonta africana

2.2 Etiologi Penyakit Piroplasmosis / Babesiosis

Babesiosis pada umunya disebabkan oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp. Nama
Babesia sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang mengidenfikasi organisme didalam
sel darah merah pada tahun 1888. Selanjutnya pada tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan
protoza intra eritotrosit pada gajah afrika yang mengalami haemoglobinuria. Berdasarkan
taksonominya, Babesia sp tergolong dalam Filum Apicomplexa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo
Piroplasmida, Famili Babesiidae dan Genus Babesia. Pada gajah afrika, babesiosis disebabkan oleh
Babesia loxodontis atau Nuttallia loxodontis (Rodhain, 1916). Parasit darah ini pada gajah africa
dilaporkan ditularkan oleh kutu Loxanoetus bassoni. Namun ada juga sumber lain yang mengatakan
bahwa parasit ini pada gajah juga dapat di tularkan oleh berbagai jenis kutu seperti : Boophilus
annulatus, Boonicoplus sp, Ixodes sp, dan spescies Rhipicephalus juga pernah dilaporkan.

2.2 Morfologi Dan Sifat Parasit Penyebab Piroplasmosis

A. Morfologi

Anggota genus Babesia berbentuk piriform, sering kali berbentuk bulat, lonjong, memanjang
atau amoeboid dengan panjang 1-4 μm adalah parasit obligat intraeritrositik. Multiplikasi trofozoit
terjadi melalui pembelahan biner intraerythrocytic atau dengan schizogony membentuk tetrad.
Reproduksi seksualnya terjadi di dalam vektor kutu.

B. Sifat Biologis

Laporan tentanng sifat biologis dari parasit penyebar piroplasmosis gajah masih jarang,
namun berdasarkan studi in vitro oleh Rickard (1969, 1970) menunjukkan kemampuan B. rodhaini
(B. microti) dalam melakukan metabolisasi sejumlah heksosa serta glukosa. Pada kondisi aerobic dan
kondisi anaerob, produk utama metabolisme yang dihasilkan adalah asam laktat. Rickard (1970)
mengemukakan bahwa Babesia sp dapat mengatur metabolisme sel eritrosit inang dengan mengubah
rasio NAD-NADH melalui parasit dehidrogenase malat milik parasit itu sendiri.

C. Interaksi Host-Parasit

Studi interaksi host-parasit yang mendalam belum pernah dilakukan sebelumnya pada hewan
gajah afrika. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa laporan (Van Peenen dan Healy, 1970
Annable dan Ward, 1974 ; Lykins et al, 1975) tentang patogenesis penyakit pada hewan laboratorium
yang terinfeksi secara eksperimental telah muncul dalam literatur. Infeksi cross-specics dari Babesia
dirasionalisasikan berdasarkan hubungan filogenik host yang dekat. Resistansi bawaan dianggap
sebagai faktor utama yang mengatur spesifisitas host. Namun, sebagian besar data yang
dipublikasikan telah menggambarkan proses interaksi inang-Babesia pada mamalia liar dan yang
beradaptasi di laboratorium setelah terpapar darah yang terinfeksi melalui jarum suntik dan jarum.

2.3 Patogenesis Penyakit Piroplasmosis

Vektor yang menggigit inang akan menularkan parasit ini kedalam sirkluasi darah inang. Saat
memasuki fase ekso-eritrositik, inang tidak menunjukan gejala klinis. Selanjutnya parasit akan terus
berkembang biak secara aseksual didalam eritrosit hingga menjadi 2-4 tunas. Jika perkembangannya
telah sempurna, maka parasit ini akan memecahkan eritrosit dan menginfeksi eritrosit yang baru,
kemudian memulai siklus hidup yang baru. Kerusakan eritrosit ini akan menyebabkan gejala seperti
hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (jaundice). Pada kasus babesiosis yang berlangsung
menahun, parasit mampu mengubah spesifisitas antigen di permukaan sel hingga berubah
kepekaannya terhadap antibodi.

Gambar 2. Babbesia pada eritrosit, dimana B adalah merozoite buds, BR adalah bud residue (Kreier et
al, 1975).

2.4 Gejala Klinis Penyakit Piroplasmosis

Manifestasi klinis yang ditimbulkan pada gajah akibat penyakit yang disebebkan parasit darah
adalah kehilangan kondisi umum tubuh, anemia, hemoglobinemia, lemas dan depresi, anoreksia,
dengan temperatur tubuh 37,50C (99,60F) (Fowler and Mikota, 2008).

2.5 Pengobatan Penyakit Piroplasmosis

Vaksinasi dapat dilakukan pada gajah untuk mencegah penyakit ini. Berdasarkan laporan dari
Fowler and Mikota, 2008 bahwa pengobatan babesiosis menggunakan diminazine azeteurate (Berenil,
Intervet, India Ltd) pada dosis 5 mg / kg berat badan yang diberikan melalui intramuscular dengan
interval waktu 3 hari telah berhasil. Streptopenicilin (Dicrysticin LD, Sharabhai Zydus) yang terdiri
atas 2,5 gram streptomicin sulphate, 150.000 IU procaine penicilin dan 500.000 penicilin G
sodium/vial diberikan setiap hari selama 5 hari.

2.6 Pencegahan Penyakit Piroplasmosis

Pencegahan penyakit piroplasmosis atau babesiosis pada gajah masih sangat jarang di
laporkan tetapi penanganan penyakit ini pada mamalia liar biasanya adalah :

(1) Mengurangi vektor kutu sebagai pembawa, dengan memandikan gajah.


(2) Mengeluarkan semua reservoir hewan yang rentan dari daerah endemis untuk waktu yang
cukup sehingga memungkinkan kutu yang terinfeksi hilang/ berkurang.

Pendekatan yang lebih rasional adalah mengurangi populasi kutu sebagai vektor yang
terinfeksi Babesia ; Namun, tidak ada penelitian mendalam yang tersedia tentang signifikansi
ekologis dan biologis infeksi Babesia pada mamalia liar atau memiliki ambang pemeliharaan penyakit
kutu yang terinfeksi Babesia. Langkah pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak
dengan gajah afrika yang diinfestasi oleh kutu karena berpotensi untuk menularkan babesiosis,
misalnya dengan melakukan penyemprotan insektisida atau repellant. Beberapa jam setelah digigit
kutu yang terinfestasi Babesia sp, hewan akan menderita babesiosis.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

 Piroplasmosis atau Babesiosis adalah protozoa hemoparasit.


 Pada gajah afrika, babesiosis disebabkan oleh Babesia loxodontis atau Nuttallia loxodontis
(Rodhain, 1916).
 Pencegahan piroplasmosis adalah mengurangi vektor kutu sebagai pembawa, dengan
memandikan gajah dan melakukan penyemprotan insektisida atau repellant untuk mencegah
hadirnya kutu.

3.2 Saran

Sebaiknya, perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak mengenai piroplasmosis pada gajah,
terutama daerah yang memilki populasi gajah cukup banyak dari daerah lain, agar dapat memberikan
informasi yang lebih banyak lagi tentang piroplasmosis atau babesiosis pada gajah.
DAFTAR PUSTAKA

 Brocklesby D. W. ; Campbell, Heather. 1963. African Journal of Ecology volume 1, issue 1


pages : 1-131 : A Babesia of the African Elephant. Association with the East AfricanWildlife
Society (EAWLS).
 Kangwana, Kadzo. 1996. Studying Studying Elephants _ Awf Technical Handbook Series
African Wildlife Foundation 7. Nairobi : Kenya.
 Schnittger, Leonhard ; Rodriguez, Anabel E. ; Christensen, Monica Florin- ; Morrison, David
A. 2012. Babesia : A world emerging. Institute of Pathobiology, Center of Research in
Veterinary and Agronomic Sciences, INTA-Castelar, Argentina ; National Research Council
of Argentina (CONICET), Av. Rivadavia 1917, C1033AAJ, CABA, Argentina ; Section for
Parasitology, Department of Biochemical Sciences and Veterinary Public Health, Swedish
University of Agricultural Sciences, Uppsala, Sweden.
 Kreir, Julius. 2012. Babesia, Theileria, Myxosporida, Microsporida, Bartonellaceae
Anaplasmataceae, Ehrlichia, and Pneumocystis covers a wide range of parasites that produce
disease in man and animals. Elsevier : Edinburgh, London and Oxford in the UK ;
Amsterdam in the Netherland.
 Fowler, Murray ; Mikota, Susan K. 2008. Biology, Medicine, and Surgery of Elephants. John
Wiley & Sons, Inc : New York City, Amerika Serikat.
STRONGYLOIDOSIS
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gajah sumatera adalah salah satu dari sub spesies gajah Asiadan menurut
IUCNRedList merupakan satwa terancam punah (Critically Endangered) yang tercatat dalam
daftar merah. Sebagai bentuk upaya pelestarian gajah, di Indonesia banyak terdapat lembaga
konservasi seperti Bakas Elephant Tour dan Taro Elephant Safari Park, Bali.Permasalahan
kesehatan gajah di lembaga konservasi merupakan hal perlu diperhatikan, salah satunya
adalah infeksi cacing.
Cacing merupakan parasit yang umum ditemukan pada hewan vertebrata dan dapat
menimbulkan permasalahan terhadap kesejahteraan, pengelolaan, dan konservasi populasi
satwa liar baik yang hidup di penangkaran maupun alam bebas (Pedersen et al., 2007; Zhang
et al., 2008). Hal tersebut menjadi sangat penting untuk diperhatikan pada spesies langka dan
endemik karena infeksi cacing berkaitan dengan penurunan populasi (Heard et al., 2013).
Beberapa jenis cacing pada gajah adalah Haemonchus contortus, Oesophagostomum
columbianum, Strongyloides papillosus, Trichostrongylus colubriformis (Mbaya et al., 2013),
Amira pileata (Easwaran et al., 2003), Quilonia magna(Kinsella et al., 2004), Parabronema
pecariae (Vicente et al., 2000), dan Murshida falcifera (Matsuo dan Suprahman, 1997).

1.2 Tujuan
Untuk mengertahui etiologi, gejala klinis, pengobatan dan penanganan serta diagnosa
cacing Stronyloides pada gajah sumatra .
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Strongiloydosis Pada Gajah Sumatra


Strongyloidiosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh nematoda Strongyloides sp.
2.1.1 Etologi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi infeksi cacing adalah host, parasit,
dan lingkungan. Faktor host meliputi umur, tingkah laku individu, pakan dan air
minum, frekuensi dan jumlah feses setiap harinya, dan status reproduksi. Sementara
faktor dari lingkungan itu sendiri meliputi suhu, kelembaban, serta curah hujan
(Hinget al., 2013). Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan telur
cacing strongiloydes, antara lain kelembaban udara yang terlalu rendah serta suhu dan
pH lingkungan yang terlalu rendah atau tinggi.
Bila kondisi lingkungan terganggu, maka perkembangan telur cacing
strongiloydes dapat mengalami kegagalan dalam pembentukan larva stadium I
maupun larva stadium II atau larva yang terbentuk di dalam telur yang kondisinya
terganggu.. Larva infektif tidak aktif masuk ke dalam tubuh hospes, tetapi tertelan
bersama makanan atau minuman (Soulsby, 1982)
2.1.2 Gejala Klinis
Gejala yang ditimbulkan akibat strongyloides adalah:
 Anoreksia.
 Kehilangan berat badan.
 Diare, yang mungkin berbau busuk.
 Kelemahan.
Pada laporan kasus, terdapat berbagai gejala yaitu:
 Anoreksia, diare, kelemahan, kehilangan kondisi dan memakan tanah
terlihat pada Elephas maximus - Gajah Asia dengan infeksi
trichostrongyle.
 Ketidaksesuaian (variabel), konjungtiva pucat, dan sedikit diare dengan
bau busuk.
 Anemia berat, kekurusan dan diare, fatal, terlihat terkait dengan infeksi
cacing tambang Bathmostomum sangeri yang parah ditambah abses
lambung yang besar akibat infeksi Parabronema indicum, pada gajah
dewasa (14 tahun) Elephas maximus - Gajah Asia.

2.1.3 Pencegahan dan Pengobatan


Gajah di Bakas dan Taro dipelihara secara intensif dan diberikan obat cacing
secara berkala setiap 3 bulan sekali. Berikut adalah obat yang diberikan sesuai laporan
kasus:
 Fenbendazole 2-2,5 mg / kg oral sebagai dosis tunggal.
 Mebendazole 2,5-4 mg / kg oral sebagai dosis tunggal.
 Levamisole 2,5-3 mg / kg oral sebagai dosis tunggal.
 Albendazole 2,5 mg / kg oral sebagai dosis tunggal.
 Morantel tartrate 2-4 mg / kg per oral sebagai dosis tunggal.
 Oxibendazole 2,5 mg / kg oral sebagai dosis tunggal.
 Parabendazole 6-10 mg / kg oral sebagai dosis tunggal.
 Tetramisole hidroklorida 3-5 mg / kg oral sebagai dosis tunggal.
Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan feses untuk parasit setidaknya
setahun sekali. Pemeriksaan yang lebih sering direkomendasikan di daerah endemis.

2.1.4 Diagnosa
Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan feses gajah yang dilakukan di
laboratorium dengan menggunakan metode sentrifus.
 Hematologi dapat mengungkapkan anemia.
 Coproculture dan identifikasi.
 Teknik penghitungan telur McMaster untuk menentukan telur per gram
(EPG).
 Jumlah telur nematoda per gram tinja yang tinggi:
 300 - 1200 EPG.
 2.325 - 3.550 EPG dengan infeksi Murshida murshida di tiga gajah
Asia.
BAB III

3.1 Kesimpulan
Strongyloidiosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh nematoda
Strongyloides sp. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi infeksi cacing adalah host,
parasit, dan lingkungan. Gejala yang ditimbulkan akibat strongyloides adalah
anoreksia, kehilangan berat badan, diare, yang mungkin berbau busuk dan lemah.
Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan feses untuk parasit setidaknya setahun
sekali. Pengobatan dilakukan dengan pemberian obat cacing secara berkala setiap 3
bulan sekali. Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan feses gajah yang
dilakukan di laboratorium dengan menggunakan metode sentrifus.
DAFTAR PUSTAKA

Easwaran KR, Ravindran R, Pillai KM. 2003. Parasitic Infection of Some Wild Animals at
Thekkady in Kerala. Zoos’ Print Journal. 18 (2) : 1030.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th Ed.
London: William and Wilkin.
Pedersen AB, Jones KE, Nunn CL, Altizer S. 2007. Infectious Diseases and Extinction Risk
in Wild Mammals. Conserv. Biol. 21. 1269-1279.
Mbaya AW, Ogwiji M, Kumshe HA. 2013. Effects of Host Demography, Season and
Rainfall on the Prevalence and Parasitic Load of Gastrointestinal Parasites of
FreeLiving Elephants (Loxodonta africana) of the Chad Basin National Park,
Nigeria. Pakistan Journal of Biological Sciences. 16 (20) : 1152-1158.
Heard MJ, Smith KF, Ripp KJ, Berger M, Chen J, Dittmeier J, Goter M, McGarvey ST, Ryan
E. 2013. The Threat of Disease Increases as Species Move Toward Extinction.
Conserv. Biol. 1-11.
Vicente JJ, Muniz-PereiraLC, Noronha D, Pinto RM, 2000. Description of Males of
Parabronema pecariae Ivaschkin, 1960 (Nematoda, Habronematoidea)
Parasitizing Peccaries (Mammalia, Tayassuidae) in Brazil. Memórias do Instituto
Oswaldo Cruz. 95 (6) : 849-851.

Anda mungkin juga menyukai