Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindroma koroner akut (SKA) merupakan suatu masalah utama

kardiovaskular karena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi didunia. SKA

mencakup angina tidak stabil, infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)

dan infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI). 1,2,


Angka kematian akibat SKA hampir mencapai 1,8 juta per tahun dengan

insiden STEMI dan NSTEMI terus meningkat setiap tahunnya. Bedasarkan data

dari Acute Coronary Syndrome Registry yang dilakukan di Jakarta didapatkan

kasus STEMI sebanyak 31% yang merupakan persentase terbesar dari seluruh

kasus SKA. Kematian terbanyak terjadi diluar rumah sakit yang disebabkan oleh

adanya aritmia maligna 2,3


Pada STEMI, terjadi oklusi mendadak di arteri koroner epikardial,

sehingga suplai dan kebutuhan otot jantung menjadi tidak seimbang yang

menyebabkan iskemia dan infark otot jantung. Akibat iskemia otot jantung, akan

menimbulkan rasa nyeri di dada yang sering membawa pasien datang ke rumah

sakit. 3,4
Penegakan diagnosis STEMI adalah dari anamnesis dan EKG dengan

gambaran yang khas yaitu elevasi segmen ST. Penatalaksanaan harus dilakukan

sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan, karena dengan penatalaksanaan

dini prognosisnya akan lebih baik. Tujuan dari terapi STEMI adalah mengurangi

daerah miokard yang mengalami infark sehingga fungsi miokard dapat

dipertahankan, mencegah komplikasi kardiak yang fatal, dan menangani

komplikasi STEMI.4

1
Pasien STEMI harus dilakukan tindakan revaskularisasi untuk

mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya. Tindakan

revaskularisasi dapat dilakukan dengan PPCI (Primary Percutaneus Coronary

Intervention) atau dengan pemberian agen fibrinolitik.4


Berdasarkan uraian diatas, penegakan diagnosis dan tatalaksana stemi

yang cepat dan tepat sangat penting untuk mencegah iskemik dan infark otot

jantung tidak bertambah luas, sehingga morbiditas dan mortalitas akibat stemi

dapat menurun. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas Stemi pada sesi

laporan kasus ini.


1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas tentang kasus infark miokard dengan elevasi

segmen ST (STEMI) serta diagnosis dan penatalaksanaannya.


1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan

pemahaman tentang diagnosisdan tatalaksana dari kasus infark miokard dengan

elevasi segmen ST (STEMI).


1.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dari hasil

pemeriksaan pasien, rekam medis pasien, tinjauan kepustakaan yang mengacu

pada berbagai literatur.

BAB II
ILUSTRASI KASUS

Seorang perempuan berusia 52 tahun datang ke IGD RSUP M. Djamil

Padang dengan keluhan dada terasa berat seperti ditimpa sejak 6.5 jam sebelum

masuk rumah sakit, nyeri dirasakan saat istirahat. Rasa nyeri dada ini menjalar ke

bagian punggung, leher, dan dagu dengan durasi >20 menit. Pasien merasakan

mual dan muntah sebanyak tiga kali serta adanya rasa pusing dan berkeringat

2
dingin. Pasien juga merasakan sesak yang tidak menciut, tidak dipengaruhi cuaca,

aktivitas dan makanan, sesak muncul bersamaan dengan rasa berat di dada.

Pasien adalah rujukan dari RS Ibnu Sina Payakumbuh dengan diagnosis

STEMI inferior, dan telah diberikan O2 2L/menit, ISDN 5mg, aspilet 160mg,

klopidogrel 300mg. Pasien ada penyakit hipertensi dan dislipidemia sejak 17

tahun yang lalu tetapi tidak dikontrol rutin, serta DM. Pasien memiliki riwayat

gastritis. Pasien mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit yang sama dimana

ayahnya juga ada penyakit jantung.

Pada pemeriksaan fisik saat di IGD, pasien tampak sakit sedang dengan

skala nyeri 8/10, kesadaran komposmentis kooperatif, TD 105/53 mmHg, nadi

120 kali/menit,nafas 16x/menit, TB 157 cm, BB 48 kg. Pemeriksaan pada kulit,

kepala, dan leher ditemukan tidak ada kelainan. Pada inspeksi, iktus kordis tidak

terlihat. Pada palpasi, iktus kordis teraba. Pada auskultasi, S1-S2 normal, tidak

ada bunyi gallop dan murmur. Pada pemeriksaan paru, tidak ada ditemukan

kelainan. Pada pemeriksaan abdomen, tidak ada ditemukan kelainan. Pada

pemeriksaan ekstremitas juga akral hangat, merah, dan tidak ada udem.
Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 8 September 2017,

didapatkan glukosa sewaktu 307 mg/dl, CK-MB 70 u/l, troponin I 8.08 mg/dl, HB

12.0 g/dl, leukosit 12.410/mm3, trombosit 251.000/mm3, Ht 35%. Kesan dari

hasil laboratorium ini adalah leukositosis, GDS tinggi, dan troponin I meningkat.
Pemeriksaan pemeriksaan EKG didapatkan hasil sebagai berikut:

3
Interpretasi EKG: Sinus ritme,QRS rate: 93×/mnt, axis: normal, PR

interval: 0.12 dtk, durasi QRS: 0,08 dtk, ST elevasi di lead II, III, aVF, dan ST

depresi di lead V2-V3, Q patologis di lead V3r, V4r dan V9

Pemeriksaan rontgen didapatkan hasil sebagai berikut:

4
Rontgen tidak layak dibaca.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,

pasien ini didiagnosa dengan STEMI Inferior dengan rencana terapi pemberian

trombolytic agent.

Laporan Follow Up

Tanggal 8 September 2017


Pasien diberi agen trombolitik, guyur RL 100cc, metoclopramid 10gr. Pada jam
20.10, nyeri dada 0/10, stop trombolitik
Tanggal 9 September 2017
S/ nyeri dada (-), gusi berdarah
O/ KU ; sedang Kes:CMC TD:120/61 RR:20
A/ STEMI akut inferior onset 6,5 jam TIMI 3/14 post sukses trombolitik,
on DAPT, lonnux 2×0.6 cc SC, HN stabil
DM Tipe 2 dengan ketosis, on insulin fixed dose
HT terkontrol. M ramipril 1×1.5
P/ Cek KKL, cek GD 3 kali sehari, rintgent toraks, konsul penyakit dalam
Tanggal 10 September 2017
S/ keluhan tidak ada
O/ KU: sedang, Kes: CMC, TD: 131/69, ND: 60, RR: 20, I:96
A/ Sama dengan sebelumnya
P/ cek GD, cek KKL, cek keton urin
Tanggal 11 September 2017
S/ keluhan tiada
O/ KU: sdg, Kes: CMC, TD: 125/71, ND: 72, RR: 20
A/ Sama dengan sebelumnya
P/ Cek GD, cek KKL, cek keton urin

5
Tanggal 12 September 2017
S/ keluhan tiada
O/ KU: sdg, KES: CMC, TD: 110/75, ND: 57, RR: 20
A/ Sama dengan sebelumnya
P/ Cek GD, cek KKL, cek keton urin.

Hasil EKG Post Fibrinolitik

Interpretasi EKG: T inverted di lead II, III, aVF

BAB III
DISKUSI

Seorang pasien, perempuan, 52 tahun, datang ke IGD RSUP M.Djamil

Padang tanggal 8 September 2017 dengan keluhan nyeri dada sejak 6,5 jam

6
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri seperti rasa ditindih, menjalar ke punggung,

dan dirasakan terus-menerus hingga pasien masuk ke IGD M.Djamil. Keluhan

dirasakan saat pasien beristirahat, tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi,

bernapas, dan tidak membaik dengan istirahat. Pasien juga mengeluhkan keringat

dingin yang membasahi seluruh pakaian pasien, mual, muntah, dan sesak napas.

Nyeri dada pada pasien ini merupakan nyeri dada khas angina.1

Berdasarkan tatalaksana sindroma koroner akut PERKI tahun 2015 edisi

ketiga, keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada. Nyeri

dada dibedakan menjadi nyeri dada tipikal dan atipikal. Keluhan angina tipikal

berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,

rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung

intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). 1 Pada pasien ini ditemukan

nyeri dada kiri selama 6,5 jam, dirasakan terus-menerus seperti terindih dan

menjalar ke punggung.

Nyeri pada iskemik miokard disertai dengan keluhan penyerta seperti

diaphoresis, mual, muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.1 Pada pasien

ini dijumpai adanya keringat dingin yang membasahi hingga seluruh pakaian,

mual, muntah, sesak napas. Sedangkan keluhan angina atipikal lebih sering

dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun),

wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Presentasi

angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina

tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat

diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.1

7
Diagnosis Sindroma Koroner Akut menjadi lebih kuat jika ditemukan

karakteristik berikut pada pasien:

 Pria
 Riwayat penyakit aterosklerosis
 Hipertensi
 Merokok
 Dislipidemia
 Diabetes Melitus
 Riwayat penyakit jantung dalam keluarga
 Usia

Pada pasien ini ditemukan kesesuaian dengan literatur, pasien mengalami

hipertensi, dyslipidemia, diabetes mellitus, dan adanya riwayat penyakit jantung

dalam keluarga.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, kesadaran

composmentis cooperatif, tekanan darah 140/80, frekuensi nadi 60x / menit,

frekuensi nafas 20x / menit, suhu 37 C. Pada pemeriksaan vital sign didapatkan

hasil dalam batas normal. Pada pemeriksaan jantung dan paru tidak ditemukan

adanya kelainan.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan gula darah sewaktu:

307 mg/dl, hal ini menunjukkan pasien di diagnosis dengan diabetes melitus. Juga

didapatkan pningkatan enzim marka jantung yaitu troponin I dan CKMB. Dimana

didapatkan troponin I 8,08 ng/ml dan CK-MB 70 u/l. Troponin I dan CK-MB

merupakan biomarker jantung yang menandakan adanya nekrosis dari otot

jantung. Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam

darah prifer 3-4 jam setlah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Nilai

ambang peningkatan troponin I ditetapkan sedikit diatas nilai normal yang

ditetapkan oleh laboratorim setempat.1

8
Di rumah sakit M.Djamil kadar normal troponin I adalah <0,02 dan dikatakan

infark miokard adalah besar sama 0,1. Jika pemeriksaan troponin tidak tersedia,

pemeriksaan CK-MB dapat digunakan. CK-MB akan meningfkat dalam waktu 4

hingga 6 jam, mencapai puncak saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari. Kadar

normal CK-MB di rumah sakit M. Djamil adalah <24 u/I.1

Pada pemeriksaan EKG didapatkan ST elevasi di lead II, III, dan AVF dan

ST depresi resiprokal di lead V2 dan V3 dimana hal ini menunjukkan adanya

infark miokard di bagian inferior jantung, serta ditemukan adanya Q patologis di

lead V3R, V4R, dan V9 yang menandakan old infark pada ventrikel kanan

jantung.

Tujuan tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis secara cepat,

menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi

yang mungkin dilakukan, memberi antitrombolitik dan antiplatelet, dan memberi

obat penunjang. Semua rumah sakit dan sistem emergensi medis yang terlibat di

dalam penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala

penundaan yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target

kualitas berikut ini:1

1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG ≤ 10 menit


2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
a. Primary PCI bila fasilitas dan SDM di cathlab siap melakukan dalam

2 jam
b. Fibrinolitik

Tatalaksana emergensi yang diberikan pada pasien ini yaitu pemberian

IVFD RL 500 cc/24 jam, pemberian oksigen 4 L/menit nasal kanul, ISDN 5

mg,aspilet 160 mg, klopidogrel 300 mg, ranitidine 1 ampul dan pethidine 2,5 mg.

9
Hal ini sesuai dengan pedoman penatalaksanaan STEMI menurut ACC/AHA

2013.5

Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada

tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada, langsung

terpai fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh apakah kurang atau lebih dari

2 jam, jika lebih maka pilihan reperfusi pertama adalah fibrinolitik. Setelah

fibrinolitik diberikan, jika memungkinkan rujuk pasien untuk PCI.1

Terapi reperfusi bertujuan untuk membatasi luasnya daerah infark

miokard. Bila STEMI terjadi dalam waktu 12 jam, maka tindakan reperfusi perlu

dilakukan segera. Tetapi bila STEMI terjadi dalam waktu lebih dari 12 jam, maka

telah terjadi infark miokard komplit. Pada pasien ini didapatkan onset 6,5 jam

sehingga tindakan reperfusi perlu dilakukan segera.1

Lalu pada pasien direncanakan untuk reperfusi arteri koroner, mengingat

onset pada pasien ini <12 jam. Awalnya pasien setuju untuk dilakukan PPCI

kemudian setelah memasuki cath lab pasien tiba-tiba takut dan berubah pikiran

sehingga direncanakan dilakukan pemberian fibrinolitik pada pasien.Terapi

fibrinolotik dinyatakan berhasil apabila angina berkurang, resolusi amplituda

segmen ST >50% dan dijumpai aritmia reperfusi.

Awalnya pasien setuju untuk dilakukan PPCI kemudian setelah memasuki

cath lab pasien tiba-tiba takut dan berubah pikiran sehingga direncanakan

dilakukan pemberian fibrinolitik pada pasien.Terapi fibrinolotik dinyatakan

berhasil apabila angina berkurang, resolusi amplitudo segmen ST >50% dan

dijumpai aritmia reperfusi.

10
Gambaran EKG post fibrinolitik pada pasien ini didapatkan adanya T

inverted pada lead II, III, aVF, V4-V6, V4R, V7-V9. Adanya T inverted

menunjukkan terjadinya evolusi dari infark miokard.

Penggunaan fibric specific agent seperti tenecplase, alteplase, atau reteplase

sangat dianjurkan (Kelas I, Level B). Pengunaan anti-platelet untuk pasien-pasien

dengan fibrinolisis perlu dilakukan. Pemberian aspirin oral dan iv di indikasikan

pada pasien dengan fibrinolisis (kelas I, level A), dan klopidogrel di inidikasikan

sebagai tambahan aspirin (kelas I, level A).3

Setelah dilakukan terapi fibrinolitik pada pasien maka diberikan

antikoagulan dan terapi medikamentosa pada pasien postreperfusi. Antikoagulan

direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik.

Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:1

1. Enoksaparin secara subkutan dengan dosis 1mg/kg setiap 12 jam

kemudian ditambah pemberian aspirin 100-325mg setiap harinya

selama minimal 2 hari.


2. Heparin, diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infus

selama 3 hari yaitu 60U/kgBB (maksimal 4000 U).

Kemudian pada pasien postpreperusi diberikan terapi medikamentosa

sebagai berikut:1

1. Aspirin 81mg/hari, dimakan seumur hidup


2. Klopidrogrel 600 mg diikuti loading 75mg/hari, diberikan minimal

selama 1 tahun.
3. ACE-inhibitor harus dimulai pada 24 jam pertama. Diberikan selama 1

bulan pada semua pasien dan seumur hidup untuk pasien dengan fraksi

ejeksi 40%.

11
4. Terapi insulin direkomendasikan untuk kontrol gula darah pada semua

pasien dengan gula darah tinggi, berikan insulin drip bila kadar gula

>200 mg/dL
5. Statin harus dimulai pasca reperfusi setelah hemodinamik stabil. Dapat

diberikan atorvastatin 80 mg/hari.


Dosis fibrinolitik dan antitrombotik adalah sebagai berikut:3

Obat Dosis awal

Dosis untuk terapi fibrinolitik

Sterptokinase 1,5 juta unit dalam 30-60 menit ibv

Altaplase 15 mg iv bolus

0,75 mg/kg iv dalam 30 mg

0,5 mg/kg iv dalam 60 menit

Reteplase 10 unit + 10 unit iv bolus diberikan dalam masing


masing 30 menit

Tenekplase Dosis tunggal iv bolus:

30 mg (6000 IU) jika BB < 60 kg

35 mg (7000 IU) jika BB 60 sampai <70 kg

40 mg (8000 IU) jika BB 70 sampai <80 kg

45 mg (9000 IU) jika BB 80 sampai <90 kg

50 mg (10000 IU) jika BB >90 kg

Antiplatelet terapi

Aspirin Dosis awal 150-300 mg oral (75-250 mg iv apabila


oral tidak memungkinkan), maintenance 75-100
mg/day

Klopidogrel Loading dosis 300 mg oral, maintenance 75 mg/hari

Dosis antikoagulan

Enoksaparin Jika pasien <75 tahun : 30 mg iv bolus diikuti 15


menit kemudian dengan 1 mg/kg subkutan setiap 12

12
jam.

Jika pasien >75 tahun : tidak ada dosis inisial,


langsung diberikan 0,75 mg/kg subkutan

Pada pasien ini, diberikan levanox, apidra 3x6U dan lantus 1x11U untuk

terapi insulin pada pasien karena hasil pemeriksaan GDS 307 mg/dl, aspilet 1x80

mg, klopidogrel 1x75 mg, atrovastatin 1x40 mg, ramipril 1x2,5mg, ranitidine

2x50mg iv, dan alprazolam 1x0,5mg.

Kontraindikasi penggunaan terpai fibrinolitik:3

1. Kontraindikasi absolut
a. Riwayat hemoragik intrakranial atau stroke
b. Riwayat stroke iskemik dalam 6 bulan terakhir
c. Kerusakan sistem saraf pusat atau neoplasma atau malformasi

arterivena
d. Ada trauma mayor, operasi atau cedera kepala bulan sebelumnya
e. Perdarahan gastrointestinal bulan seelumnya
f. Gangguan perdarahan
g. Diseksi aorta
2. Kontraindikasi relatif
a. TIA dalam 6 bulan terakhir
b. Mendaptkan terapi antikoagulan oral
c. Hamil atau satu minggu setelah melahirkan
d. Hipertensi refrakter (SBP >180 mmHg atau DBP >110 mmHg)
e. Gangguang hati yang berat
f. Endokarditis
g. Ulkus peptikum

DAFTAR PUSTAKA

13
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman

Tatalaksana Sindroma Koroner Akut. Edisi ketiga. Jakarta: Centra

Communication;2015
2. Myrtha R. Perubahan Gambaran EKG pada Sindroma Koroner Akut.

CDK 188,2011;38(7) pp: 541-542.


3. European Society of Cardiology. 2017 ESC Guidelines for the

Management of Acute Myocardial Infarction in Patient Presenting

withST-segment elevastion. European Heart Journal; 2017. Pp: 1-66


4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktis

Klinis dan Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Edisi

Pertama. Jakarta;2016
5. O’Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, Casey DE, Chung MK. Lemos

JA, et al. Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial

Infarction. The American Heart Association:2012.

14

Anda mungkin juga menyukai