Oleh:
Liga Hendrono 1780312607
Riko Janukadri 1840312303
Elen Pebriyani 1840312256
Ikrimah Sukmanius 1840312259
Indah Khoirunn Nisa 1840312411
Mutia Oktaviani D 1840312634
Rani Aulia Dwi Nanda 1840312445
Tessa Amanda 1840312211
Preseptor:
Prof. Dr. Darfioes Basir, Sp.A(K)
DR. Dr. Finny Fitri Yani, Sp.A (K)
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
referat ini dengan judul “Bronkiolitis pada Anak”.
Pada kesempatan ini dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Darfioes Basir, Sp.A(K) dan DR. Dr.
Finny Fitri Yani, Sp.A (K) sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dalam penyusunan referat ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada dr. Sindi sebagai Residen Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran dalam penyusunan referat ini.
Referat ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan
Anak dan menambah wawasan mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, faktor
risiko, patogenesis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi, prognosis
dan pencegahan bronkiolitis pada anak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................... ii
Daftar Gambar......................................................................................iii
Daftar Tabel..........................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Batasan Masalah............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................2
1.4 Metode Penulisan............................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi............................................................................................3
2.2 Epidemiologi...................................................................................3
2.3 Etiologi............................................................................................4
2.4 Faktor Risiko...................................................................................4
2.5 Patogenesis......................................................................................6
2.6 Manifestasi Klinis........................................................................... 8
2.7 Diagnosis.........................................................................................9
2.8 Klasifikasi....................................................................................... 12
2.9 Diagnosis Banding.......................................................................... 14
2.10 Tatalaksana................................................................................... 16
2.11 Komplikasi....................................................................................21
2.12 Prognosis.......................................................................................21
2.13 Pencegahan................................................................................... 22
BAB 3 KESIMPULAN.........................................................................24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 26
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
sama dengan di Amerika Serikat. Insiden terbanyak terjadi pada musim dingin atau
musim hujan di negara-negara tropis.3
Penegakan diagnosis dilakukan dari riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis.
Adapun tanda dan gejalanya berupa mengi (yang tidak membaik dengan tiga dosis
bronkodilator kerja cepat, ekspirasi memanjang, hiperinflasi dinding dada, hipersonor
pada perkusi, retraksi dinding dada, ronki pada auskultasi dan sulit makan, menyusu
atau minum. Pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak harus rutin dilakukan.
Tatalaksana bronkiolitis umumnya suprotif karena sifat infeksi virusnya biasanya self
limiting. Prinsip pengobatan yaitu dengan pemberian oksigenasi, cairan,
bronkodilator dan kortikosteroid.2,4
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka referat ini dibuat untuk lebih
memahami dan mendalami mengenai bronkiolitis pada anak.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bronkiolitis adalah infeksi pada saluran nafas bawah oleh virus yang ditandai
dengan peradangan akut, edema dan nekrosis sel epitel yang melapisi saluran
pernafasan kecil, peningkatan produksi lendir, serta bronkospasme. Penyebab paling
sering adalah Respiratory Synctial Virus (RSV). 1,2
2.2 Epidemiologi
Bronkiolitis menjadi penyakit saluran nafas tersering yang terjadi pada bayi.
Biasanya mengenai usia 2-24 bulan dengan usia puncak 2-8 bulan.1,6 Sebanyak 95%
kasus terjadi pada anak usia <2 tahun dan 75% mengenai anak usia <1 tahun. Anak
yang tidak diberi ASI, tinggal di lingkungan padat, memiliki banyak saudara kandung,
atau memiliki riwayat paparan asap rokok sejak lahir memiliki risikomengalami
bronkiolitis. Walaupun terdapat angka insidensi yang sama antara bayi laki-laki dan
perempuan, bayi laki-laki memilliki risiko lebih tinggi mengalami bronkiolitis yang
berat dikemudia hari.6,8 Infeksi saluran napas bawah disebabkan oleh RSV pada 22,4
dari 100 anak pada tahun pertama kehidupannya.1,2
Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di RS dan 4500 kematian
setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17% dari semua kasus perawatan di RS pada
bayi. Insidens bronkiolitis di negara berkembang hampir sama dengan di Amerika
Serikat (AS). Insidens terbanyak terjadi pada musim dingin atau musim hujan di
negara-negara tropis. Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara
berkembang daripada di negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh
rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan
penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-
anak yang dirawat adalah 1-3%. Anak dan bayi yang pernah menjalani rawatan di
rumah sakit memiliki risiko terinfeksi, dimana risiko semakin meningkat siring
dengan bertambahnya lama rawatannya.1,8
3
2.3 Etiologi
Sekitar 95% dari kasus bronkiolitis secara serologis terbukti disebabkan oleh
invasi RSV. Beberapa virus lain yang dapat menyebabkan bronkiolitis seperti
Adenovirus, virus Influenza, virus Parainfluenza, Rhinovirus, dan mikoplasma, tetapi
belum ada bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri.3
RSV adalah virus paling umum yang terlibat pada anak-anak dengan
bronkiolitis. Dalam sebagian besar penelitian, RSV menyumbang 60-80% dari kasus
bronkiolitis pada anak di bawah usia 12 bulan.7-10 Pada anak-anak di bawah 12 bulan,
Rhinovirus (RV) adalah virus kedua yang paling umum (14-30%), setelah itu Human
Bocavirus (14-15%), Human Metapneumovirus (3-12%), enterovirus, adenovirus,
virus korona dan influenza (1–8%). Infeksi ganda dilaporkan pada 20-30% anak-anak,
tetapi tidak dikaitkan dengan peningkatan keparahan.8,9
Infeksi dimulai pada saluran pernapasan atas, menyebar ke saluran udara yang
lebih rendah dalam beberapa hari. Peradangan pada bronkiolus ditandai oleh infiltrasi
peribronkial dari jenis sel darah putih, sebagian besar sel mononuklear, dan edema
submukosa dan adventitia.12 Kerusakan dapat terjadi karena cedera virus langsung
pada epitel saluran napas, atau secara tidak langsung dengan mengaktifkan respon
imun.6
Edema, sekresi lendir, dan kerusakan epitel saluran napas dengan nekrosis
dapat menyebabkan obstruksi aliran udara parsial atau total, terperangkapnya udara
distal, atelektasis dan gangguan perfusi ventilasi yang menyebabkan hipoksemia dan
peningkatan kerja pernapasan.7,12
4
lain penyakit jantung bawaan dengan gangguan hemodinamik yang signifikan,
penyakit paru kronis (displasia bronkopulmoner, fibrosis kistik, anomali kongenital),
dan kondisi imunokompromais.1,13
1. Prematur
Alveolarisasi terjadi pada kehamilan ±36 minggu dan produksi surfaktan
matur pada pneumosit tipe II dimulai pada 34-35 minggu. Bayi prematur dilahirkan
dengan paru-paru yang belum matang tidak siap untuk pertukaran gas normal, dan
berisiko untuk mengembangkan Penyakit Paru Kronik (PPK). Bayi yang prematur
dan mengalami PPK berisiko tinggi mengalami infeksi pernafasan yang lebih
parah.1,13
2. Penyakit jantung kongenital
PJK yang tidak diperbaiki atau bermakna secara hemodinamik yang
mengakibatkan over sirkulasi paru dapat mengakibatkan edema paru atau hipertensi
pulmonal sehingga akan berisiko menyebabkan infeksi pernapasan dikemudian
hari.1,13
3. Kelainan saluran nafas
Anak-anak dengan laringomalasia, trakeomalasia, dan celah pada bibir dan
langit-langit mulut akan mengalami kesulitan mengelola peningkatan sekresi jalan
nafas atas.1,13
4. Down syndrome
Down syndrome (DS) telah diidentifikasi sebagai faktor risiko independen
untuk infeksi RSV, terutama infeksi yang membutuhkan rawat inap di rumah sakit.
Peningkatan risiko dikarenakan PJK (±50% anak-anak dengan DS), hipertensi
pulmonal (ditemukan pada 10% yang tidak memiliki PJK), abnormalitas fisiologi
jalan napas atas, dan gangguan respons imun (perkembangan dan fungsi timus yang
abnormal, jumlah sel B dan T rendah).1,13,16
Anak-anak dengan faktor-faktor risiko di atas merupakan kandidat untuk
diberikan profilaksis RSV dengan palivizumab, antibodi monoklonal khusus-RSV
yang telah terbukti menurunkan angka kejadian pada anak-anak berisiko tinggi.
5
2.5 Patogenesis
Kelainan mendasar dari bronkiolitis ini adalah terjadinya inflamasi dari
bronkiolus. Respons inflamasi berkontribusi terhadap patofisiologi dan tampilan
gejala. Sel host mengenali RSV melalui reseptor dan mengeluarkan sitokin inflamasi
(IFN-γ, IL-1β, IL-4, IL-8). Efektor ini mempengaruhi lingkungan jaringan lokal
secara langsung, dan juga memajukan proses inflamasi dengan menarik sel-sel imun
dari perifer. 4
6
Periode inkubasi sebelum terjadinya gejala berlangsung antara 3-8 hari.
Penyebaran infeksi terjadi melalui droplet. Droplet ditransmisikan melalui tangan dan
jari, dan auto-inokulasi melalui mata dan hidung, yang dapat menjadi port de entry
dari virus tersebut menuju traktus respiratorius.4,7
Infeksi dari bronkiolar menyebabkan nekrosis dari epitel saluran pernafasan
dan destruksi dari sel epitel bersilia, kemudian diikuti dengan infiltrasi oleh limfosit
dan neutrofil. Submukosa kemudian akan menjadi edem, tetapi tidak ditemukan
adanya kerusakan dari kolangen otot ataupun jaringan elastik. Debris-debris selular
dan fibrin akan membentuk suatu plug di bronkiolus. Alveolus biasanya akan normal,
kecuali yang berdekatan dengan area bronkiolus yang terinfeksi.7,8
RSV juga dapat menyebabkan pneumonia berat dengan kerusakan yang
meluas dari epitel pernafasan, nekrosis dari parenkim paru dan pembentukan
membran hialin, mirip dengan penumonia yang terjadi pada infeksi adenovirus.
Proses penyembuhan dari bronkiolitis akut ini mulai terjadi sejak 3/4 hari ditandai
dengan regenerasi dari epitel bronkiolar, akan tetapi silia akan muncul dalam waktu
yang lebih lama, kira-kira 15 hari. Sumbatan mukus akan dihancurkan oleh
makrofag.7,8
Akibat adanya edema pada dinding pernafasan dan akumulasi dari mukus
serta debris selular, saluran pernafasan akan menjadi sempit, beberapa teroklusi
sebagian dan yang lain tertutup seutuhnya. Variabel-variabel yang berbeda ini dapat
menyebabkan atelektasis pada beberapa bagian paru dan overdistention pada bagian
lainnya. Penurunan dari kemampuan dinamik paru untuk mengembang dan
menguncup dan peningkatan dari resistensi dari paru itu sendiri menyebabkan
peningkatan dari usaha untuk bernafas.4,7,8
Gangguan pertukaran udara yang terjadi sebagai akibat dari obstruksi jalan
nafas dan distribusi atelektasis yang tidak merata. Hipoksemia terjadi karena
terganggunya ventilasi dan perfusi paru (continued perfusion of underventilated unit
dan overventilation of underperfusion unit). Tekanan parsial dari karbon dioksida
bervariasi pada setiap pasien. Pada pasien bayi, terkadang akan ditemukan adanya
peningkatan retensi dari karbon dioksida. Mekanisme yang memungkinkan adalah
7
terjadinya mismatch ventilasi-perfusi yang berat dan hipoventilasi akibat dari
peningkatan upaya untuk bernafas.4,7,8
Pemeriksaan pH darah pada beberapa bayi menunjukkan adanya alkalosis
respiratorik sedang. Lebih sering ditemukan asidosis metabolik. Intake cairan dan
kalori yang buruk berkontribusi terhadap kejadian ketoasidosis. Retensi karbon
dioksida akan menimbulkan kejadian asidosis respiratorik akut.7,8
8
Bayi yang berusia kurang dari 4 bulan diketahui bernafas terutama dengan
hidungnya sehingga gejala rinorea dan hidung tersumbat dapat mengakibatkan distres
pernafasan dan kelelahan. Selain itu bayi cenderung berada pada posisi horizontal,
memiliki fungsi diafragma yang belum efisien, dan dinding thoraks yang masih lunak.
Hal-hal tersebut mengakibatkan bayi harus meningkatkan usaha bernafasnya ketika
air trapping terjadi supaya dapat memenuhi kebutuhan ventilasi alveolus. Selanjutnya
volume tidal paru menjadi berkurang karena pemenuhan rongga thoraks yang
mempersulit usaha inspirasi adekuat. Akhirnya terjadi kegagalan pernafasan karena
ventilasi yang inefektif dan otot-otot pernafasan yang mulai lelah.5
2.7 Diagnosis
Bronkiolitis harus didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Laboratorium rutin atau studi radiologis tidak dianjurkan untuk mendukung diagnosis.
1. Anamnesis
Gejala awal berupa gejala infeksi pernafasan atas akibat virus, seperti pilek
ringan, batuk, dan demam. Demam sering ditemukan tetapi dapat hilang diawal
perjalanan penyakit ataupun saat pasien dibawa ke rumah sakit. Dua sampai tiga hari
kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat
ditemukan wheezing, sianosis, merintih, napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel,
9
dan penurunan nafsu makan. Agitasi dan kesulitan untuk makan biasa dikarenakan
oleh hipoksia.1,2,13
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah pada bronkiolitis adalah
ditemukannya batuk, takipnea, dan peningkatan usaha pernapasan. Temuan fisik pada
inspeksi visual termasuk hidung tersumbat, rinore, batuk, takipnea, dan peningkatan
upaya pernapasan. Hidung melebar (nasal flaring); grunting; nafas cuping hidung
dan retraksi interkostal, suprakostal, dan subkostal menunjukkan peningkatan usaha
pernapasan. Selain itu dapat juga ditemukan konjungtivitis dan faringitis. Obstruksi
saluran respiratori bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala
ekspirasi memanjang hingga wheezing. Dapat juga ditemukan ronki pada
pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi dan bila gejala bertambah berat
dapat terjadi apnea, terutama pada bayi usia <6 minggu.1,5
Pada bayi yang sangat muda, terutama mereka yang memiliki riwayat
prematuritas, dapat datang ke praktik dokter dengan apnea saja tanpa gejala lainnya
dan hal tersebut merupakan komplikasi dari bronchiolitis. Presentasi klinis
bronkiolitis dapat beragam dari takipnea ringan hingga gagal napas. Sering terjadi
variabilitas yang signifikan. Frekuensi pernapasan yang cepat merupakan tanda vital
paling awal dan paling sensitif. 5,13
Selain itu, pasien dapat mengalami takikardia karena dehidrasi dan mengalami
derajat hipoksemia yang bervariasi. Laju pernapasan, kerja pernapasan, dan hipoksia
adalah parameter yang paling signifikan secara klinis dalam menentukan keparahan
penyakit dan harus dinilai secara rutin pada semua pasien yang memiliki bronkiolitis.
Perjalanan bronkiolitis mengikuti pola karakteristik. Pada pasien dapat diperkirakan
memiliki gejala klinis yang memburuk, dengan gejala puncak sekitar hari ke 3 sampai
4 penyakit.5,30
3. Pemeriksaan penunjang
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Soleimani G et al di tahun 2014
terhadap 100 pasien anak dengan bronkiolitis didapatkan bahwa 67 pasien (67%)
10
mengalami limfositosis dan sisanya memiliki angka pemeriksaan darah lengkap yang
normal (33%).9
Bayi dengan bronkiolitis memiliki resiko untuk mengalami gagal nafas,
dengan insiden kejadian mencapai 40% pada neonatus yang berusia kurang 8 minggu
dengan bronkiolitis. Gagal nafas dikarenakan kelelahan dan membutuhkan
pengawasan ketat terhadap status pernafasannya. Terkecuali bayi tersebut dengan
gejala yang sangat ringan, analisis gas darah (AGD) sangat perlu untuk dilakukan
terutama untuk pemantauan PCO2 dan pH. Pemeriksaan AGD dapat diulang sesuai
dengan kebutuhan klinis seperti : peningkatan atau penurunan frekuensi nafas yang
tiba-tiba, paradoxical breathing dan sianosis.5
Gambar 2. Rontgen thoraks bayi berusia 3 bulan dengan bronkiolitis RSV berat yang
menunjukkan kolaps lobus atas paru kanan, paru kiri hiperinflasi, serta penebalan
perihilar bilateral. Pasien diintubasi dan menggunakan tabung nasogastrik in situ.11
11
Dari data gas darah yang didapatkan perlu adanya pemantauan ketat terhadap
PCO2 yang dihubungkan dengan takipnea-nya karena pada bayi biasanya tidak akan
terjadi hiperkarbia sampai hampir gagal nafas. Data PCO2 yang umum digunakan
adalah sebagai berikut :5
a. PCO2 <40 dan frekuensi nafas < 60 : Pengawasan ketat rawatan
b. PCO2 40-50 : Pengawasan pada ICU pediatrik atau rujuk ke tertiary care;
bila memungkinkan dapat dipasang arterial line untuk AGD berulang.
c. PCO2 ≥50 : Pertimbangkan intubasi dan bantuan ventilasi terutama pada
keadaan asidosis atau sangat takipnea (frekuensi nafas >80)
Pada foto rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat, tetapi
gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia, viral dan
aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama akibat konvalesen
akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma
datar, dan peningkatan diameter antero-posterior. Untuk menemukan RSV dilakukan
kultur virus, rapid antigen detetion test, ELISA atau PCR, dan pengukuran titer
antibodi pada fase akut dan konvalesens.1,5,7
2.8 Klasifikasi
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) melaporkan 43 dari 52
penelitian mengenai skoring klinis bronkiolitis, aspek penilaian meliputi frekuensi
pernapasan, usaha pernapasan, severitas mengi, serta oksigenasi. Akan tetapi
kurangnya keseragaman antara sistem-sistem skoring tersebut sehingga perbandingan
antar sistem skoring menjadi sulit. Hingga saat in skor klinis yang paling banyak
digunakan dan reliabel adalah Respiratory Distress Assessment Instrument, akan
tetapi masih belum divalidasi dalam menilai prediksi klinis bronkiolitis. RDAI
dijelaskan pada tabel 2.1
Bhutada et al tahun 2015 mempublikasikan sistem skoring severitas
bronkiolitis (tabel 3). Aspek penilaian meliputi fekuensi pernafasan, warna kulit,
saturasi O2, Capillary Refill Time (CRT), retraksi, usaha nafas, mengi, dan kesadaran.
Sistem skoring tersebut mengklasifikasikan tingkat severitas bronkiolitis menjadi
12
ringan, sedang, dan berat.17 Øymar et al juga telah memodifikasi skoring severitas
bronkiolitis khusus untuk bayi usia <12 bulan berdasarkan guideline New Zealand
dan Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) yang dijelaskan pada tabel 4.
Skoring tersebut mengevaluasi aspek makan, frekuensi nafas, ada atau tidaknya
retraksi dinding dada, ada atau tidaknya Nasal flare atau grunting, saturasi oksigen,
serta sikap bayi.18
13
Tabel 4. Asesmen severitas bronkiolitis pada bayi usia <12 bulan18
Bronkiolitis ringan Bronkiolitis sedang Bronkiolitis berat
Makan Normal Berkurang namun Tidak mau makan
masih >1/2 porsi biasa <1/2 porsi biasa
Frekuensi nafas < 2 bulan: >60x/ >60x/ menit >70x/ menit
menit
> 2 bulan: >50x/
menit
Retraksi dinding dada Ringan Sedang Berat
Nasal flare atau Tidak ada Tidak ada Ada
grunting
SpO2 >92% 88-92% <88%
Sikap Normal Gelisah Letargis
14
Tabel 6. Diagnosis Banding Mengi pada Anak6
Diagnosis Banding Wheezing
- Riwayat mengi berulang, rasa sesak, beberapa dihubungkan dengan batuk,
demam / diinduksi oleh aktivitas
- Hiperinflasi dari thoraks
Asma
- Ekspirasi memanjang
- Penyempitan saluran nafas
- Respon baik terhadap bronkodilator
- Episode pertama mengi pada anak < 2 tahun
- Episode mengi pada waktu/musim tertentu
- Hiperinflasi thoraks
Bronkiolitis - Ekspirasi memanjang
- Penyempitan saluran nafas
- Respon sangat kurang/ tidak respon terhadap bronkodilator
- Apnea pada bayi, terutama bila lahir preterm
- Mengi selalu berhubungan dengan demam/batuk
- Tidak ada riwayat keluarga asma, ekzema dan hay fever
Mengi yang
- Ekspirasi memanjang
berhubungan dengan
- Penyempitan saluran nafas
demam / batuk
- Respon baik terhadap bronkodilator
- Lebih ringan jika dibandingkan dengan mengi akibat asma
- Riwayat tercekik/mengi dengan onset mendadak
- Mengi dapat bersifat unilateral
Benda Asing - Air-trapping dengan hipersonor dan mediastinal shift
- Tanda kolaps paru : penurunan air entry dan gagal nafas
- Tidak berespon terhadap bronkodilator
- Demam
Pneumonia - Ronki kasar
- Merintih
15
penting untuk memperhatikan epidemiologi, rentang usia terjadinya kasus, dan
musim-musim tertentu dalam satu tahun.1
Beberapa penyakit-penyakit lain harus dibedakan dari bronkiolitis. Kelainan
anatomi seperti cincin vaskuler dapat menyebabkan obstruksi saluran napas dan
gangguan inspirasi ataupun ekspirasi. Benda asing harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding. Penyebab mengi lain yang sering pada bayi muda adalah
Gastroesophageal Reux Disease (GERD). Pneumonia bakterialis harus dibedakan
dengan bronkiolitis karena terkait dengan perbedaan tatalaksana, walaupun pada
pneumonia jarang sekali ditemukan mengi. 6
2.10 Tatalaksana
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif berupa
terapi oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena, intake cairan,
penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi
bila perlu, dan nutrisi. Selanjutnya juga digunakan bronkodilator, anti inflamasi
seperti kortikosteroid, hingga antiviral seperti ribavirin. Pencegahan bronkiolitis
meliputi penggunaan vaksin RSV, RSV immunoglobulin (polyclonal) atau Humanis
RSV monoclonal antibody (palivizumab).1-3
1. Terapi oksigen
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan distres
pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan nasal prongs, kanul
nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen humidifed 30 – 40%. Terapi
oksigen diberikan dengan target saturasi O2 >95%. Apabila tidak ada oksigen, anak
harus ditempatkan dalam ruangan dengan kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan
uap dingin (mist tent) untuk mencairkan sekret di tempat peradangan. Terapi oksigen
diteruskan sampai tanda hipoksia hilang. Penggunaan kateter nasal >2 L/menit
dengan maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan angka rawatan di Paediatrics
Intensive Care Unit (PICU).Penggunaan kateter nasal sama efektifnya dengan nasal
CPAP bahkan mengurangi penggunaan obat sedasi. Penggunaan kanul nasal harus
16
berhati-hati terutama pada bayi muda dengan gejala infeksi saluran pernafasan atas,
karena kondisi hidung yang tersumbat dapat menghalangi aliran oksigen.1,2,5
Pemberian oksigen suplemental pada anak dengan bronkiolitis perlu
memperhatikan gejala klinis serta saturasi oksigen anak, karena tujuannya adalah
untuk pemenuhan kebutuhan oksigen anak yang terganggu akibat obstruksi yang
mengganggu perfusi ventilasi paru. Transient oxygen desaturation pada anak umum
terjadi saat anak tertidur, durasinya <6 detik, sedangkan hipoksia pada kejadian
bronkiolitis cenderung terjadi dalam hitungan jam sampai hari.2,5,7,18
2. Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan
respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi. Bayi dengan bronkiolitis
berisiko mengalami dehidrasi karena terjadi peningkatan output cairan akibat
penguapan tubuh (evaporasi) saat demam, takipnea, dan intake cairan yang tidak
adekuat. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan rumatan, bisa melalui
intravena maupun nasogastrik. Pemberian cairan melalui lambung dapat
menyebabkan aspirasi, dapat memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru
oleh lambung yang terisi cairan. Pemberian cairan melalui jalur nasogastik atau
intravena perlu pada anak bronkiolitis yang tidak dapat dihidrasi oral.2,5,17
Terapi cairan pada kondisi ini sangat perlu pemantauan yang ketat karena jika
terjadi overhidrasi, bayi akan sangat rentan mengalami edema paru akibat
perpindahan cairan melalui membran kapiler alveolus yang akan memperburuk
kondisi ventilasi perfusi yang memang sudah terganggu pada awalnya. Terapi cairan
diberikan pada pasien bronkiolitis dengan target supaya pasien mencapai isovolemia.
Ketika kondisi respirasi sudah stabil, pemberian cairan secara oral dapat dilanjutkan
kembali.5
3. Bronkodilator dan Kortikosteroid
Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan
selama selama hampir 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan
untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid. Dapat
diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari) diencerkan
17
dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.1 Beberapa penelitian
meta-analisis dan systematic reviews di Amerika menemukan bahwa bronkodilator
dapat meredakan gejala klinis, namun tidak mempengaruhi penyembuhan penyakit,
kebutuhan rawat inap, ataupun lama perawatan, sehingga dapat disimpulkan tidak ada
keuntungannya, sedangkan efek samping takikardia dan tremor dapat lebih
merugikan.2,3,5
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, metilprednisolon,
hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata
dosis per hari serta rata- rata total paparan obat tersebut dengan ekuivalen mg/kgBB
prednison. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6-6,3 mg/kgBB, dan rata-rata
total paparan antara 3,0-18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral,
intramuskular, dan intravena. Tidak ada efek merugikan yang dilaporkan.2,3,5
18
Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada tahun 2009
menunjukkan bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason oral pada anak dengan
bronkiolitis dapat mengurangi kebutuhan rawat inap, lama perawatan di rumah sakit,
dan durasi penyakit. Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang
dirawat. Nebulisasi ini bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran napas untuk
membersihkan lendir dan debris-debris seluler yang terdapat pada saluran
pernapasan.35
4. Antivirus
Ribavirin adalah zat nukleotida sintetik dengan fungsi viricidal in vitro bila
diberikan melalui partikel kecil pada nebulisasi. Penggunaannya masih kontroversial
baik efektivitas maupun keamanannya. The American Academy of Pediatrics
merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan yang diperkirakan akan
menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung,
fibrosis kistik, penyakit paru kronik, imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur.1
Ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita bronkiolitis
dengan penyakit jantung jika diberikan sejak awal.2 Ribavirin juga direkomendasikan
pada pasien anak atau bayi dengan keadaan umum berat dan pada pasien yang
mengalami distres pernafasan sehingga membutuhkan bantuan ventilasi mekanik.
Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol dengan dosis 20
mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 3-7 hari.5
5. Antibiotik
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan oleh virus,
kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik sering digunakan
berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang tidak terdeteksi, padahal hal
ini justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap
antibiotik tersebut; sehingga penggunaannya diusahakan hanya berdasarkan indikasi.
Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang
membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik untuk mencegah gagal napas.
Antibiotik yang dipakai biasanya yang berspektrum luas, namun untuk Mycoplasma
pneumoniae diatasi dengan eritromisin.2,13
19
Gambar 4. Algoritma diagnosis dan tatalaksana bronkiolitis viral18
20
6. Fisioterapi
Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik vibrasi ataupun perkusi
(5 trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih baik selain pengurangan durasi
pemberian terapi oksigen. Penghisapan sekret daerah nasofaring untuk meredakan
sementara kongesti nasal atau obstruksi saluran napas atas, namun sebuah studi
retrospektif menyatakan deep suctioning berhubungan dengan durasi rawat inap lebih
lama pada anak usia 2 – 12 bulan.2,13
2.11 Komplikasi
Komplikasi dari bronkiolitis mencakup infeksi sekunder/nosokomial,
pneumotoraks spontan, dan perubahan penyakit atau perburukan. Infeksi sekunder
terjadi oleh karena virus lainnya atau dari bakteri patogen, yang paling umum adalah
Streptococcus pneumonia dan Hemophilus influenza.5 Bayi dengan usia yang lebih
muda, ada demam dan peningkatan jumlah leukosit lebih sering terjadi infeksi
sekunder ini. Bayi dengan pelayanan intensif juga memiliki insiden yang lebih tinggi
untuk mengalami infeksi nosokomial yang berhubungan dengan alat-alat intensif
seperti arterial cathether dan endotracheal intubation.7
Pneumotoraks spontan muncul pada bayi dengan bronkiolitis karena air-
trapping dan saluran yang menyempit. Kecenderungan untuk terjadinya kebocoran
udara pada bayi yang memerlukan ventilasi mekanik semakin meningkat. Umumnya,
pasien-pasien dengan komplikasi ini memerlukan terapi dengan chest tube.5
Perburukan dari penyakit ini dapat terjadi setelah adanya inflamasi yang berat. Bayi
yang sangat muda atau dengan displasia bronkopulmoner ringan memiliki resiko
tertentu terhadap kebutuhan akan oksigen dan terapi lain untuk jangka lama.5,7
2.12 Prognosis
Beberapa studi telah mencatat peningkatan risiko asma bronkiale pada anak-
anak yang awalnya menderita bronkiolitis, meskipun tidak jelas apakah karena
bronkiolitis atau faktor risiko lain seperti kecenderungan genetik untuk asma dan
faktor lingkungan seperti asap rokok.26
21
Pada sebagian besar kasus, mengi biasanya disebabkan oleh virus. Riwayat
episode mengi berulang dan keluarga atau riwayat penyakit asma, riwayat alergi, atau
eksim membantu mendukung diagnosis asma. Beberapa bayi akan memiliki episode
berulang mengi selama masa kanak-kanak. Tatalaksana episode mengi yang dipicu
virus sama dengan asma bronkial.26-29
Beberapa penelitian menghubungkan insiden bronkiolitis akut dengan
kejadian asma. Penelitian di Norwegia mendapatkan bahwa bayi yang dirawat karena
menderita bronkiolitis cenderung menderita asma. Hal ini dihubungkan dengan
adanya hipereaktivitas bronkial yang menetap selama beberapa tahun setelah
menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik pada RSV positif maupun negatif. Selain
itu, sekitar +50% pasien bronkiolitis akan menderita mengi di kemudian hari.3
2.13 Pencegahan
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah higiene perorangan
meliputi desinfeksi tangan menggunakan alcohol based rubs atau dengan air dan
sabun sebelum dan sesudah kontak langsung dengan pasien atau objek tertentu yang
berdekatan dengan pasien.13 Perlindungan terhadap paparan asap rokok serta polusi
udara serta pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan mencegah kejadian
bronkiolitis.13 Perlu dilakukan edukasi anggota keluarga mengenai diagnosis,
tatalaksana, dan pencegahan bronkiolitis sesuai evidence-base.13
Palivizumab merupakan salah satu terapi profilaksis terhadap infeksi paru,
terutama yang disebabkan RSV, dapat diberikan terutama pada anak yang memiliki
risiko tinggi terinfeksi agen tersebut.13,17 Palivizumab perlu dibatasi pada anak yang
dilahirkan sebelum usia kehamilan 29 minggu, kecuali dengan penyakit jantung yang
signifikan atau penyakit paru kronik akibat prematuritas; dosis maksimum
palivizumab 15 mg/kgBB/dosis diberikan 1 dosis setiap bulan, dapat diberikan 5
bulan berturut-turut selama musim RSV pada anak yang memiliki kualifikasi diberi
palivizumab pada tahun pertama kehidupan.13,17
Vitamin D adalah salah satu faktor yang berperan dalam perjalanan penyakit
bronkiolitis.21,22 Studi prospektif Birth Cohort oleh Camargo, dkk. pada 922 anak-
22
anak Selandia Baru, menyatakan bahwa rendahnya kadar 25-hydroxyvitamin D (25
[OH] D) darah tali pusat berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi pernapasan dan
mengi berulang.23 Selain itu, studi case-control oleh Karatekin, dkk. menemukan
bahwa pada bayi baru lahir dengan kadar 25-hydroxyvitamin D (25 [OH] D) <10
ng/mL memiliki risiko lebih besar terkena infeksi saluran napas bawah.24 Hal ini
terkait dengan peran vitamin D dalam aktivitas sistem kekebalan bawaan.25 Sistem
kekebalan tubuh bawaan, khususnya aktivitas cathelicidin, membantu mencegah
infeksi bakteri dan virus.33 Wang, et al, menunjukkan bahwa vitamin D adalah
pemicu langsung gen cathelicidin ini.34 The American Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan konsumsi vitamin D 400 IU setiap hari untuk bayi baru lahir
dilanjutkan sampai memasuki usia remaja.34
23
BAB 3
KESIMPULAN
Bronkiolitis adalah infeksi pada saluran nafas bawah atau bronkiolus, yang
biasanya disebabkan oleh virus. Penyebab paling sering adalah Respiratory Synctial
Virus (RSV). Bronkiolitis menjadi penyakit saluran nafas tersering yang terjadi pada
bayi. Biasanya mengenai usia 2-24 bulan dengan usia puncak 2-8 bulan. Penyakit ini
menyebabkan 90.000 kasus perawatan di RS dan 4500 kematian setiap tahunnya.
Sekitar 95% dari kasus-kasus tersebut secara serologis terbukti disebabkan oleh
invasi RSV.
Inokulasi RSV langsung ke epitel pernapasan menyebabkan radang saluran
udara kecil. Gejala awal berupa gejala infeksi respirastori atas akibat virus, seperti
pilek ringan, baruk, dan demam. Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah pada
bronkiolitis adalah ditemukannya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu diatas
38,5 C. selain itu dapat juga ditemukan konjungtivitis dan faringitis.
Temuan pada pemriksaan penunjang pasien bronkiolitis antara lain adanya
limfositosis pada pemeriksaan darah lengkap dengan parameter lainnya dapat dalam
kisaran normal. AGD dilakukan bila terdapat peningkatan atau penurunan frekuensi
nafas yang tiba-tiba, paradoxical breathing dan sianosis. Pada foto polos thoraks
dapat ditemukan gambaran hiperinflasi dan infiltrat, tetapi gambaran ini tidak spesifik
dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia, viral dan aspirasi. Selain itu dapat pula
ditemukan gambaran atelektasis.
Diagnosis banding utama bronkiolitis pada anak adalah asma. Kedua penyakit
ini sulit dibedakan pada episode pertama, namun adanya kejadian mengi berulang,
tidak adanya gejala prodromal infeksi virus, dan adanya riwayat keluarga dengan
asma dan atopi dapat membantu menegakkan diagnosis asma.
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif yaitu
pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena, dan kecukupan
cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan
respirasi bila perlu, dan nutrisi. Selain itu juga digunakan bronkodilator, anti
24
inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan
vaksin RSV, RSV immunoglobulin (polyclonal) atau Humanis RSV monoclonal
antibody (palivizumab).
Bayi dengan bronkiolitis dapat mengalami hipereaktivitas bronkial yang
menetap selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis, baik pada RSV positif
maupun negatif. Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah hand hygiene,
pemberian ASI eksklusif, dan perlindungan terhadap asap rokok. Palivizumab
merupakan salah satu terapi profilaksis terhadap infeksi paru, terutama yang
disebabkan RSV. American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
konsumsi vitamin D 400 IU setiap hari untuk bayi baru lahir untuk mencegah infeksi
bakteri dan virus.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
13. Wagner, T. Bronchiolitis. Pediatrics in Review. 2009. 30(10), 386–395.
doi:10.1542/pir.30-10-386
14. Sigurs N, Gustafsson PM, Bjarnason R, et al. Severe respiratory syncytial virus
bronchiolitis in infancy and asthma and allergy at age 13. Am J Respir Crit Care
Med. 2005;171(2):137–141
15. Stein RT, Sherrill D, Morgan WJ, et al. Respiratory syncytial virus in early life
and risk of wheeze and allergy by age 13 years. Lancet. 1999;354(9178):541–
545
16. Bloemers BL et al. Down syndrome: a novel risk factor for respiratory syncytial
virus bronchiolitis-a prospective birth-cohort study. Pediatrics. 2007
Oct;120(4):e1076-81.
17. A Bhutada, S Deopujari, Y Parvez. Acute Bronchiolitis: A Review. Journal of
Pediatric Critical Care. 2015. 2(2), p 33-40
18. Øymar et al. Acute bronchiolitis in infants, a review. Scandinavian Journal of
Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine 2014, 22:23. Scandinavian
Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine 2014, 22:23
19. Verma N, Lodha R, Kabra SK. Recent advances in management of bronchiolitis.
Indian Pediatrics 2013, 50:939-949
20. Fitzgerald DA, Kilham HA. Bronchiolitis: assessment and evidence-based
management. Med J Aust. 2004 Apr 19;180(8):399-404.
21. Carroll KN, Gebretsadik T, Griffin MR, Wu P, Dupont WD, Mitchel EF, et al.
Increasing burden and risk factors for bronchiolitisrelated medical visits in
infants enrolled in a state health care insurance plan. Pediatrics 2008;122(1): 58–
64. doi: 10.1542/peds.2007-2087.
22. Simoes EA. Environmental and demographic risk factors for respiratory
syncytial virus lower respiratory tract disease. J Pediatr. 2003;143(5 Suppl):118–
26. [PubMed:14615710]
23. Camargo CA Jr, Rifas-Shiman SL, Litonjua AA, Rich-Edwards JW, Weiss ST,
Gold DR, et al. Maternal intake of vitamin D during pregnancy and risk of
27
recurrent wheeze in children at 3 y of age. Am J Clin Nutr. 2007;85(3):788–95.
[PubMed:17344501]
24. Karatekin G, Kaya A, Salihoglu O, Balci H, Nuhoğlu A. Association of
Subclinical Vitamin D decifiency in Newborn with Acute Lower Respiratory
Infection and Their Mother. Eur J Clin Nutr. 2009;63(4):473-7. [Epub 2007 Nov
21].
25. Black PN, Scragg R. Relationship between serum 25-hydroxyvitamin d and
pulmonary function in the third national health and nutrition examination survey.
Chest 2005;128(6):3792–8. [PubMed: 16354847]
26. Technical updates of the guidelines on the Integrated Management of Childhood
Illness (IMCI): Evidence and recommendations for further adaptations. Geneva:
WHO; 2005.
27. Watts KD, Goodman DM. Wheezing in infants: Bronchiolitis. In: Behrman RE,
Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 2011. p. 1456-9.
28. Welliver RC. Bronchiolitis and infectious asthma. In: Feigin RD, et al. Feigin
Textbook of Pediatric Infectious Disease. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders;
2009. p. 277-85
29. Mansbach JM. Respiratory viruses in bronchiolitis and their link to recurrent
wheezing and asthma. Clin Lab Med. 2009; 29(4): 741–55.
30. Ralston S, et al. Clinical Practice Guideline: The Diagnosis, Management, and
Prevention of Bronchiolitis. Pediatrics. 2014;134(5):e1474–e1502.
31. Blanken MO, Rovers MM, Molenaar JM, et al; Dutch RSV Neonatal Network.
Respiratory syncytial virus and recurrent wheeze in healthy preterm infants. N
Engl J Med. 2013;368(19):1791–1799
32. Committee on Infectious Diseases and Bronchiolitis. Updated huidance for
pavlizumab prophylaxis among infants and young children at increased risk of
hospitalization for respiratory syncytial virus infection. American Academy of
Pediatrics 2014;134:415-20.
28
33. J, Dockery D, Speizer FE. Low levels of dietary vitamin D intake and pulmonary
function in adolescents [abstract]. Proc Am Thoracic Soci. 2006;3 A 526
34. Wang TT, Nestel FP, Bourdeau V, Nagai Y, Wang Q, Liao J, et al. Cutting edge:
1,25-dihydroxyvitamin D3 is a direct inducer of antimicrobial peptide gene
expression. J Immunol 2004;173(5):2909–12. [PubMed: 15322146]
35. Plint AC, Johnson DW, Patel H, Wiebe N, Correll R, Brant R, et al. Epinephrine
and Dexamethasone in Children with Bronchiolitis. N Engl J Med 2009;
360:2079-89. doi: 10.1056/NEJMoa0900544
36. Walker VP, Modlin RL. The vitamin D connection to pediatric infections and
immune function. International Pediatric Research Foundation, Inc; 2009.
29