Anda di halaman 1dari 9

A.

Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya katarak bergantung pada jenis katarak. Katarak
pada umumnya terjadi bilateral, namun setiap mata memiliki kecepatan
perkembangan katarak yang berbeda.
Lensa mata yang terletak di belakang iris dan bertugas untuk
memfokuskan cahaya agar membentuk suatu bayangan yang tajam pada retina.
Lensa mata mempunyai bagian yang disebut kapsula lensa. Korteks lensa
terletak antara nukleus lensa dan kapsul lensa. Pada anak dan remaja, nucleus
lensa bersifat lunak sedangkan pada orang tua nukleus bersifat keras. Katarak
dapat terjadi pada setiap bagian lensa, baik di nukleus, korteks, serta
subkapsularis lensa.
Patogenesis terjadinya katarak senilis multifaktorial, serta belum
sepenuhnya dipahami. Semakin bertambahnya usia seseorang, terdapat
peningkatan berat dan ketebalan dari lensa. Kemampuan akomodasi lensa juga
menurun akibat degenerasi yang menyebabkan nukleus lensa menjadi keras.
Perubahan fisik dan kandungan zat kimia pada lensa mengakibatkan penurunan
hingga hilangnya transparansi lensa. Sedangkan perubahan konsentrasi zat
kimia dalam lensa seperti protein dapat menyebabkan koagulasi sehingga
membuat pandangan berkabut karena jalannya cahaya ke retina terhalang.
Terdapat lapisan kortikal baru pada pola konsentrisnya, nukleus ditengah akan
tertekan dan mengeras yang disebut sklerosis nuklear. Epitelium lensa yang
berubah sebagian perubahan umur terutama penurunan densitas sel epithelial
lensa dan penambahan sel serat lensa yang berbeda.
Gangguan homeostasis kalsium pada lensa dapat mengakibatkan
opasifikasi pada lensa sebagai akibat dari agregasi protein, migrasi sel epitel
lensa (LECs) pada kapsula posterior. Sel epitel lensa kemudian akan menjadi
sel fibrosit, terdapat celah pada serat lensa, serta hilangnya aktivitas kanal
kalsium. Kerusakan oksidasi progresif dari lensa yang sudah tua juga dapat
berkembang menjadi katarak senilis. Perubahan pada serabut zunula yang
memanjang dari badan silier ke daerah sekitar luar lensa menyebabkan distorsi
penglihatan. (Brown dan Akaichi, 2015).
Pada penderita diabetes, konsentrasi glukosa yang tinggi di dalam darah
berpengaruh terhadap komposisi glukosa pada humor aquous yang dapat
menyebabkan terjadinya katarak diabetikum. Kadar glukosa yang tinggi pada
humor aquous menyebabkan difusi glukosa ke lensa secara transport pasif.
Keadaan glukosa yang tinggi di lensa ini menyebabkan terbentuknya sorbitol
oleh enzim aldose reduktase yang tidak akan dimetabolisme melainkan akan
tetap berada di dalam lensa. Akumulasi dari sorbitol ini akan mengakibatkan
perubahan tekanan osmotik dalam lensa. Perubahan tekanan osmotik ini
menyebabkan influx cairan sehinggan menyebabkan edema kemudian terjadi
penurunan kekuatan refraksi lensa dan penurunan daya akomodasi (Pollreisz,
et al, 2010).

B. Manifestasi Klinis
1) Silau.
Salah satu gangguan penglihatan yang terjadi dini pada katarak adalah
rasa silau atau ketidakmampuan menoleransi cahaya terang. Derajat
silau tergantung pada lokasi dan ukuran kekeruhan lensa.
2) Diplopia atau poliopia monokular.
Dapat berupa melihat dua atau tiga bayangan objek. Hal ini juga
merupakan gejala dini dari katarak yang disebabkan oleh refraksi yang
tidak beraturan akibat indeks refraktif yang bervariasi sebagai hasil dari
proses kekeruhan lensa.
3) Halo berwarna.
Beberapa pasien menggambarkan sebagai melihat cahaya putih yang
terpecah menjadi spektrum warna akibat adanya droplet air di lensa.
4) Pandangan kabur, ditorsi gambar, dan pandangan berkabut dapat terjadi
pada stadium awal katarak.
Penglihatan yang menurun atau hilang secara perlahan tanpa diseratai
rasa nyeri. Penglihatan dirasakan lebih baik ketika pupil midriasis pada
malam hari dengan cahaya yang kurang. Pada pasien dengan kekeruhan
lensa di bagian perifer kemunduran penglihtan lambat terjadi dan
penglihatan dirasakan lebih baik pada cahaya terang ketika pupil miosis.
5) Nyeri
Nyeri dirasakan akibat peningkatan tekanan intra ocular yang biasanya
menyertai katarak khususnya pada katarak hipermatur.

C. Pemeriksaan
Pemeriksaan rutin
1. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen dengan koreksi terbaik serta
menggunakan pinhole
2. Tekanan intraocular (TIO) diukur dengan tonometer non contact,
aplanasi atau schiotz
3. Tes iris shadow
Ketika cahaya disinarkan ke pupil, akan terbentuk bayangan berebentuk
bulan sabit (crescenteric shadow) di tepi pupil pada lensa yang keruh
keabuan, selama masih ada korteks yang jernih dianatara kekeruhan dan
tepi pupil
4. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior. Jika TIO
dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil.
Setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan slit lamp untuk
melihat derajat kekeruhan lensa apakah sesuai dengan visus pasien.
a. Derajat 1 : nukleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/12,
tampak sedikit kekeruhan dengan warna agak putih. Reflek fundus
masih mudah diperoleh. Usia penderita biasanya kurang dari 50
tahun.
b. Derajat 2 : nukleus dengan kekerasan ringan, biasanya visus antara
6/12-6/30, tampak nukleus mulai sedikit berwarna kekuningan.
Reflek fundus masih mudah diperoleh dan paling sering
memberikan gambaran seperti katarak subkapsuler posterior.
c. Derajat 3 : nukleus dengan kekerasan medium, biasanya visus
antara 6/30 – 3/60, tampak nukleus berwarna kuning disertai
kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan.
d. Derajat 4 : nukleus keras, biasanya visus antara 3/60 – 1/60, tampak
nukleus berwarna kuning kecoklatan. Reflek fundus sulit dinilai.
e. Derajat 5 : nukleus sangat keras, biasanya visus hanya 1/60 atau
lebih jelek. Usia penderita sudah diatas 65 tahun. Tampak nukleus
berwarna kecoklatan bahkan sampai kehitaman. Katarak ini sangan
keras dan disebut juga sebagai Brunescene cataract atau black
cataract.
5. Pemeriksaan funduskopi jika masih memungkinkan (INASCRS, 2011).
Pemeriksaan penunjang:
1) USG untuk menyingkirkan adanya kelainan lain pada mata selain
katarak.
Pemeriksaan tambahan:
1. Biometri untuk mengukur power IOL jika pasien akan dioperasi katarak
2. Retinometri untuk mengetahui prognosis tajam penglihatan setelah
operasi (INASCRS, 2011).

D. Tatalaksana
Terapi
Berdasarkan INASCRS terapi katarak adalah sebagai berikut:
1. Penatalaksanaan non bedah untuk visus lebih baik atau sama dengan
6/12, yaitu pemberian kacamata dengan koreksi terbaik.
2. Jika visus masih lebih baik dari 6/12 tetapi sudah mengganggu untuk
melakukan aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada
indikasi medis lain untuk operasi, pasien dapat dilakukan operasi
katarak.
3. Tatalaksana pasien katrak dengan visus terbaik kurang dari 6/12 adalah
operasi katarak berupa ECEC + IOL atau fakoemulsifikasi + IOL
dengan mempertimbangkan ketersediaan alat, derajat kekeruhan
katarak dan tingkat kemampuan ahli bedah.
4. Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan
peralatan bedah mikro, dimana pasien dipersiapkan untuk implantasi
IOL
5. Ukuran IOL dihitung berdasarkan data keratometri serta pengukuran
biometri A-scan.
6. Apabila tidak tersedia peralatan keratometri dan biometri ukuran IOL
dapat ditentukan berdasar anamnesis ukuran kacamata yang selama ini
dipakai pasien. IOL standar power +20.00 dioptri, jika pasien
menggunakan kacamata, power IOL standar dikurangi dengan ukuran
kacamata.misalnya pasien menggunakan kacamata S -6.00 maka dapat
diberikan IOL power +14.00 dioptri
7. Operasi katarak bilateral (dilakukan pada kedua mata sekaligus secara
berurutan) sangat tidak dianjurkan berkaitan dengan risiko pasca
operasi yang berdampak kebutaan. Tetapi ada beberapa keadaan khusus
yang bisa dijadikan alas an pembenaran dan keputusan tindakan operasi
katarak bilateral ini harus dipikirkan sebaik-baiknya.
(INASCRS, 2011)
Indikasi operasi
Indikasi operasi katarak dibedakan menjadi dua, yaitu indikasi optik dan
indikasi medis.
a. Indikasi optik:
1) Pada katarak bilateral, ketika pasien merasakan kecacatan pada
penglihatannya maka mata dengan visus paling buruk harus segera
dilakukan operasi. Bagaimanapun, batasan ini sangat bergantung
pada pekerjaan pasien.
2) Pada keadaan katarak unilateral, pasien cenderung menunda operasi
selama kemampuan mata normalnya masih mencukupi.
b. Indikasi medis:
1) Pada keadaan katarak matur, pasien sangat disarankan untuk segera
melakukan operasi untuk mencegah phacolytic glaucoma.
2) Pada keadaan penyakit retina, pengambilan katarak mungkin
dibutuhkan untuk membersihkan axis optik dalam diagnosis dan
terapi laser pada retina.
Jenis Operasi Katarak
a. Phacoemulsification (Phaco)
Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi yang dimasukkan
melalui insisi yang lebih kecil di kornea atau sklera anterior (2-5 mm)
dengan menggunakan getaran-getaran ultrasonik. Biasanya tidak
dibutuhkan penjahitan. Teknik ini bermanfaat pada katarak kongenital,
traumatik, dan kebanyakan katarak senilis.
b. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Insisi dilakukan pada sklera dengan ukuran insisi bervariasi dari 5-8
mm. Penutupan luka insisi terjadi dengan sendirinya (self-sealing). Teknik
operasi ini dapat dilakukan pada stadium katarak imatur, matur, dan
hipermatur. Teknik ini juga telah dilakukan pada kasus glaukoma fakolitik
dan dapat dikombinasikan dengan operasi trabekulektomi.
c. Extracapsular Cataract Extraction (ECCE)
Insisi luas pada perifer kornea atau sklera anterior (biasanya 10-12 mm),
bagian anterior kapsul dipotong dan diangkat, nukleus diekstraksi, dan
korteks lensa dibuang dari mata dengan irigasi dengan atau tanpa aspirasi,
sehingga menyisakan kapsul posterior. Insisi harus dijahit. Metode ini
diindikasikan pada pasien dengan katarak yang sangat keras atau pada
keadaan dimana ada masalah dengan fakoemulsifikasi. Penyulit yang dapat
timbul adalah terdapat korteks lensa yang dapat menyebabkan katarak
sekunder.
d. Intracapsular Cataract Extraction (ICCE)
Prosedur ini memiliki tingkat komplikasi yang sangat tinggi sebab
membutuhkan insisi yang luas dan tekanan pada vitreous. Tindakan ini
sudah jarang digunakan terutama pada negara-negara yang telah memiliki
peralatan operasi mikroskop dan alat dengan teknologi tinggi lainnya.

Lensa Intraokular
Setelah pengangkatan katarak, lensa intraokular (IOL) biasanya
diimplantasikan ke dalam mata. Kekuatan implan IOL yang akan digunakan
dalam operasi dihitung sebelumnya dengan mengukur panjang mata secara
ultrasonik dan dengan kelengkungan kornea (maka juga kekuatan optik) secara
optik. Kekuatan lensa umumnya dihitung sehingga pasien tidak akan
membutuhkan kacamata untuk penglihatan jauh. Pilihan lensa juga dipengaruhi
oleh refraksi mata kontrolateral dan apakah terdapat katarak pada mata tersebut
yang membutuhkan operasi.

Komplikasi operasi
a. Komplikasi preoperative
1) Ansietas; beberapa pasien dapat mengalami kecemasan (ansietas)
akibat ketakutan akan operasi.
2) Nausea dan gastritis; akibat efek obat preoperasi seperti asetazolamid
dan/atau gliserol.
3) Konjungtivitis iritatif atau alergi; disebabkan oleh tetes antibiotik topical
preoperative.
4) Abrasi kornea; akibat cedera saat pemeriksaan tekanan bola mata dengan
menggunakan tonometer Schiotz.
b. Komplikasi intraoperatif
1) Laserasi m. rectus superior; dapat terjadi selama proses penjahitan.
2) Perdarahan hebat; dapat terjadi selama persiapan conjunctival flap atau
selama insisi ke bilik mata depan.
3) Cedera pada kornea (robekan membrane Descemet), iris, dan lensa;
dapat terjadi akibat instrumen operasi yang tajam
4) Cedera iris dan iridodialisis (terlepasnya iris dari akarnya)
5) Lepas/ hilangnya vitreous; merupakan komplikasi serius yang dapat
terjadi akibat ruptur kapsul posterior (accidental rupture) selama teknik
ECCE.
c. Komplikasi postoperatif
1) Hifema
2) Prolaps iris
3) Uveitis anterior postoperative
4) Endoftalmitis bacterial
5) Cystoid Macular Edema (CME)
6) Delayed chronic postoperative endophtalmitis
7) Pseudophakic Bullous Keratopathy (PBK)
8) Ablasio retina
9) katarak sekunder
10) Uveitis-glaucoma-hyphema syndrome (UGH syndrome)
11) Malposisi IOL,
12) Sindrom lensa toksik (toxic lens syndrome).
(INASCRS, 2011).
AAO (American Academy of Ophthalmology). 2011. Cataract.
http://www.geteyesmart.org/eyesmart/diseases/cataracts.cfm (diakses tanggal 24
Juni 2019)

Indonesian Society of Cataract and Refractive Surgery (INASCRS) (2011). Panduan


Penatalaksanaan Medis (PPM).

Pollreisz, Andreas and Schmidt-Erfurth, Ursula (2010). Diabetic Cataract-


Pathogenesis, Epidemiology and Treatment. Hindawi Publishing Corporation.
Journal of Ophthalmology, Vol 2010.

Rosenfeld, S.I. et al (2007). Basic and clinical course: lens and cataract. Section 2007-
2008. Singapore: American Academy of Ophthalmology.

Brown, C. J., and Akaichi, F. (2015). Vitamin D deficiency and posterior subcapsular
cataract. New Zealand : Clinical ophthalmology (9, 1093).

Anda mungkin juga menyukai