Anda di halaman 1dari 26

A.

Konsep Dasar Mioma Uteri


1. Pengertian
Mioma Uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan
jaringan ikat sehingga dalam kepustakaan disebut juga leiomioma, fibromioma
atau fibroid (Mansjoer, 2015). Myoma Uteri umumnya terjadi pada usia lebih
dari 35 tahun. Dikenal ada dua tempat asal myoma uteri yaitu pada serviks uteri
( 2 % )dan pada korpus uteri ( 97 % ), belum pernah ditemukan myoma uteri
terjadi sebelum menarche. Mioma ini berbentuk padat karena jaringan ikat dan
otot rahimnya dominan. Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang paling
umum dan sering dialami oleh wanita. Neoplasma ini memperlihatkan gejala
klinis berdasarkan besar dan letak mioma. Mioma uteri merupakan tumor jinak
otot rahim, disertai jaringan ikatnya, sehingga dapat dalam bentuk padat karena
jaringan ikatnya dominan dan lunak serta otot rahimnya dominan (Manuaba,
2017).

2. Klasifikasi
a. Mioma submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol kedalam kavum uteri. Jenis
ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan
keluhan gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun besar mungkin
belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa,
walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma
submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase, dengan
adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai currete bump dan dengan
pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai tumor. Tumor
jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma submukosa
pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma
submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga
rahim ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau mioma yang
dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan infark. Pada
beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses
di atas.
b. Mioma intramural (mioma intraepitelial)
Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena
pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk
simpai yang mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai
banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-
benjol dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding
depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong
kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
Mioma sering tidak

memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena
adanya massa tumor di daerah perut sebelah bawah. Kadang kala tumor
tumbuh sebagai mioma subserosa dan kadang-kadang sebagai mioma
submukosa. Di dalam otot rahim dapat besar, padat (jaringan ikat
dominan), lunak (jaringan otot rahim dominan).
c. Mioma subserosa
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di
antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.
d. Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke
ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri dari uterus
sehingga disebut wondering parasitis fibroid. Jarang sekali ditemukan satu
macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada servik dapat menonjol
ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri eksternum berbentuk
bulan sabit.

3. Etiologi
Menurut Manuaba (2017), faktor-faktor penyebab mioma uteri belum
diketahui, namun ada 2 teori yang menjelaskan faktor penyebab mioma uteri,
yaitu:
a. Teori Stimulasi
Berpendapat bahwa estrogen sebagai faktor etiologi dengan alasan :
1) Mioma uteri sering kali tumbuh lebih cepat pada masa hamil
2) Neoplasma ini tidak pernah ditemukan sebelum monarche
3) Mioma uteri biasanya mengalami atrofi sesudah menopause
4) Hiperplasia endometrium sering ditemukan bersama dengan mioma uteri
b. Teori Cellnest atau Genitoblas
Terjadinya mioma uteri tergantung pada sel-sel otot imatur yang terdapat
pada cell nest yang selanjutnya dapat dirangsang terus menerus oleh
estrogen. Menurut Muzakir (2008) faktor risiko yang menyebabkan mioma
uteri adalah:
1) Usia penderita
Mioma uteri ditemukan sekitar 20% pada wanita usia reproduksi dan
sekitar 40%-50% pada wanita usia di atas 40 tahun. Mioma uteri jarang
ditemukan sebelum menarke (sebelum mendapatkan haid). Sedangkan
pada wanita menopause mioma uteri ditemukan sebesar 10%.
2) Hormon endogen (Endogenous Hormonal)
Mioma uteri sangat sedikit ditemukan pada spesimen yang diambil dari
hasil histerektomi wanita yang telah menopause, diterangkan bahwa
hormon esterogen endogen pada wanita-wanita menopause pada level
yang rendah/sedikit (Parker, 2007). Otubu et al menemukan bahwa
konsentrasi estrogen pada jaringan mioma uteri lebih tinggi
dibandingkan jaringan miometrium normal terutama pada fase
proliferasi dari siklus menstruasi (Djuwantono, 2014).
3) Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma
uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma
dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma
uteri. Penderita mioma yang mempunyai riwayat keluarga penderita
mioma mempunyai 2 (dua) kali lipat kekuatan ekspresi dari VEGF-α (a
myoma-related growth factor) dibandingkan dengan penderita mioma
yang tidak mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri (Parker,
2015).
4) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi esterogen oleh
enzim aromatease di jaringan lemak (Djuwantono, 2014). Hasilnya
terjadi peningkatan jumlah esterogen tubuh yang mampu meningkatkan
prevalensi mioma uteri (Parker, 2015).
5) Makanan
Beberapa penelitian menerangkan hubungan antara makanan dengan
prevalensi atau pertumbuhan mioma uteri. Dilaporkan bahwa daging
sapi, daging setengah matang (red meat), dan daging babi menigkatkan
insiden mioma uteri, namun sayuran hijau menurunkan insiden mioma
uteri. Tidak diketahui dengan pasti apakah vitamin, serat atau
phytoestrogen berhubungan dengan mioma uteri (Parker, 2015).
6) Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar
esterogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus
kemungkinan dapat mempercepat terjadinya pembesaran mioma uteri
(Manuaba, 2017).
7) Paritas
Mioma uteri lebih banyak terjadi pada wanita dengan multipara
dibandingkan dengan wanita yang mempunyai riwayat frekuensi
melahirkan 1 (satu) atau 2 (dua) kali. (Parker, 2015).
4. Patofisiologi
Mioma uteri mulai tumbuh sebagai bibit yang kecil di dalam miometrium
dan semakin lama membesar karena pertumbuhan itu miometrium terdesak
menyusun semacam pseudekapsula atau simpai semu yang mengelilingi tumor
di dalam uterus mungkin terdapat satu mioma, akan tetapi mioma biasanya
banyak. Jika ada satu mioma yang tumbuh intramural dalam korpus uteri maka
korpus ini tampak bundar dan konstipasi padat. Bila terletak pada dinding
depan uterus, uterus mioma dapat menonjol ke depan sehingga menekan dan
mendorong kandung kencing ke atas sehingga sering menimbulkan keluhan
miksi.
Tetapi masalah akan timbul jika terjadi: berkurangnya pemberian darah
pada mioma uteri yang menyebabkan tumor membesar, sehingga menimbulkan
rasa nyeri dan mual. Selain itu masalah dapat timbul lagi jika terjadi perdarahan
abnormal pada uterus yang berlebihan sehingga terjadi anemia. Anemia ini bisa
mengakibatkan kelemahan fisik, kondisi tubuh lemah, sehingga kebutuhan
perawatan diri tidak dapat terpenuhi. Selain itu dengan perdarahan yang banyak
bisa mengakibatkan seseorang mengalami kekurangan volume cairan.

5. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis tergantung tergantung letak mioma, besarnya, perubahan
sekunder dan komplikasi. Manifestasi klinis digongkan menjadi perdarahan
abnormal yaitu disminore, menoragi, dan metroragi, rasa nyeri, gejala dan tanda
penekanan seperti retensio urin, hidronefrosis, dan hidroureter, abortus spontan
dan infertilitas.
a. Perdarahan abnormal
Perdarahan abnormal yaitu menoragia, menometroragia dan metroragia.
Perdarahan sering bersifat hipermenore dan mekanisme perdarahan tidak
diketahui benar. Faktor- faktor yang mempengaruhinya yaitu telah
meluasnya permukaan endometrium dan gangguan dalam kontraktibilitas
miometrium (Manuaba, 2017).
b. Rasa nyeri pada pinggang dan perut bagian bawah, dapat terjadi jika :
1) Mioma menyempitkan kanalis servikalis
2) Mioma submukosum sedang dikeluarkan dari rongga Rahim
3) Adanya penyakit adneks, seperti adneksitis, salpingitis, ooforitis
4) Terjadi degenerasi merah
c. Tanda-tanda penekanan/pendesakan
Terdapat tanda-tanda penekanan tergantung dari besar dan lokasi mioma
uteri. Tekanan bisa terjadi pada traktus urinarius, pada usus, dan pada
pembuluh-pembuluh darah. Akibat tekanan terhadap kandung kencing
ialah distorsi dengan gangguan miksi dan terhadap uretes bisa
menyebabkan hidro uretre.
d. Infertilitas
Infertilitas bisa terajadi jika mioma intramural menutup atau menekan pors
interstisialis tubae.
e. Abortus
Abortus menyebabkan terjadinya gangguan tumbuh kembang janin dalam
rahim melalui plasenta.
 Gejala sekunder
Gejala sekunder yang muncul adalah anemia karena perdarahan, uremia,
desakan ureter sehingga menimbulkan gangguan fungsi ginjal.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Lengkap: Hb turun, Albumin turun, Lekosit
turun/meningkat, Eritrosit turun.
b. USG: terlihat massa pada daerah uterus. Ultrasonografi transabdominal dan
transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma uteri.
c. Vaginal Toucher: didapatkan perdarahan pervaginam, teraba massa,
konsistensi dan ukurannya.
d. Sitologi: menentukan tingkat keganasan dari sel-sel neoplasma tersebut.
e. Rontgen: untuk mengetahui kelainan yang mungkin ada yang dapat
menghambat tindakan operasi.
f. ECG: Mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi, yang dapat
mempengaruhi tindakan operasi.
g. Histeroskopi: pemeriksaan ini dapat melihat adanya mioma uteri
submukosa, jika tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus
dapat diangkat.
h. MRI (Magnetic Resonance Imaging): Pada MRI, mioma tampak sebagai
massa gelap terbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium yang
normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi
dengan jelas, termasuk mioma submukosa.

7. Penanganan
a. Pengobatan Konservatif
Dalam dekade terakhir ada usaha untuk mengobati mioma uterus dengan
Gonadotropin releasing hormone(GnRH) agonis. Pengobatan GnRH agonis
selama 16 minggu pada mioma uteri menghasilkan degenerasi hialin di
miometrium hingga uterus menjadi kecil. Setelah pemberian GnRH agonis
dihentikan mioma yang lisut itu akan tumbuh kembali di bawah pengaruh
estrogen oleh karena mioma itu masih mengandung reseptor estrogen dalam
konsentrasi tinggi.
b. Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan
uterus, misalnya pada mioma submukosum pada mioma geburt dengan cara
akstirpasi lewat vagina. Apabila miomektomi dikerjakan karena keinginan
memperoleh anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan 30-50%.
Pengambilan sarang mioma subserosum dapat dengan mudah dilaksanakan
apabila tumor bertangkai. Tindakan ini seharusnya hanya dibatasipada
tumor dengan tangkai yang jelas yang dengan mudah dapat dijepit dan
diikat. Bila tidak mioma dapat diambil dari uterus pada waktu hamil atau
melahirkan, sebab perdarahan dapat berkepanjangan dan terkadang uterus
dikorbankan.
c. Histerektomi
Histerektomi dikenal sebagai operasi pengangkatan rahim. Histerektomi
adalah pengangkatan uterus yang umumnya merupakan tindakan terpilih.
Tindakan ini terbaik untuk wanita berumur lebih dari 40 tahun dan tidak
menghendaki anak lagi atau tumor yang lebih besar dari kehamilan 12
minggu disertai adanya gangguan penekanan atau tumor yang cepat
Universitas Sumatera Utara membesar. Histerektomi dapat dilaksanakan
perabdomen atau pervaginum. Adanya prolapsus uteri akan mempermudah
prosedur pembedahan. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan
alasan mencegah akan timbulnya karsinoma serviks uteri. Histeroktomi
supra vaginal hanya dilakukan apabila terdapat kesukaran teknis dalam
mengangkat uterus keseluruhan. Indikasi pelaksanaan prosedur
histerektomi adalah:
1) Adanya tumor jinak rahim, misalnya mioma uteri. Meskipun jinak,
tumor dapat membesar dan dapat menekan jaringan di sekitarnya.
2) Apabila ada gejala prakanker dan hyperplasia selaput rahim
(endometrium) serta prakanker di leher rahim. Histerektomi untuk
prakanker dilakukan pada wanita yang sudah punya anak cukup dan
tingkat prakankernya tergolong berat sampai carcinoma in citu.
3) Kanker pada badan dan leher rahim stadium awal. Apabila hal tersebut
terjadi maka akan dilakukan operasi histerektomi radikal. Operasi ini
juga dapat dilakukan pada wanita lanjut usia dengan kanker indung telur
dan saluran tuba.
4) Rupture uteri
5) Perdarahan hebat pasca persalinan: Antonia uteri, afibrinogenemia atau
hipofibrinogenemia pada plasenta, placenta inkreta dan perkreta, uterine
terputus, hematoma yang luas pada rahim.
6) Kematian janin pada rahim dan missed abortion dengan kelainan darah
(Muchtar, 2017).
Jenis-jenis Histerektomi:
1) Histerektomi Total: Pengangkatan terhadap badan dan leher rahim
2) Histerektomi Subtotal: Hanya bagian atas uterus yang diangkat
sedangkan mulut rahim dibiarkan pada tempatnya
3) Histerektomi Radikal: Bila leher rahim beserta jaringan penggantung
diangkat sampai ke dinding panggung dan 1/3 panjang saluran vagina.
Ketiga jenis histerektomi ini menutup kemungkinan wanita untuk hamil,
termasuk melalui bayi tabung, tidak menutup kemungkinan atas prosedur
pembedahan ini, seorang wanita mengalami depresi karna menganggap
dirinya bukan wanita lagi. Cara melakukan operasi histerektomi ada
beberapa yakni:
1) Histerektomi abdominal
Dimana pengangkatan kandungan dilakukan melalui irisan pada perut,
baik irisan vertikal maupun horisontal (Pfanenstiel). Keuntungan teknik
ini adalah dokter yang melakukan operasi dapat melihat dengan leluasa
uterus dan jaringan sekitarnya dan mempunyai cukup ruang untuk
melakukan pengangkatan uterus. Cara ini biasanya dilakukan pada
mioma yang berukuran besar atau terdapat kanker pada uterus.
Kekurangannya, teknik ini biasanya menimbulkan rasa nyeri yang lebih
berat, menyebabkan masa pemulihan yang lebih panjang, serta
menimbulkan jaringan parut yang lebih banyak.
2) Histerektomi vaginal
Dilakukan melalui irisan kecil pada bagian atas vagina. Melalui irisan
tersebut, uterus (dan mulut rahim) dipisahkan dari jaringan dan
pembuluh darah di sekitarnya kemudian dikeluarkan melalui vagina.
Prosedur ini biasanya digunakan pada prolapsus uteri. Kelebihan
tindakan ini adalah kesembuhan lebih cepat, sedikit nyeri, dan tidak ada
jaringan parut yang tampak.
3) Histerektomi laparoskopi.
Teknik ini ada dua macam yaitu histeroktomi vagina yang dibantu
laparoskop (laparoscopically assisted vaginal hysterectomy, LAVH) dan
histerektomi supraservikal laparoskopi (laparoscopic supracervical
hysterectomy, LSH). LAVH mirip dengan histerektomi vagnal, hanya
saja dibantu oleh laparoskop yang dimasukkan melalui irisan kecil di
perut untuk melihat uterus dan jaringan sekitarnya serta untuk
membebaskan uterus dari jaringan sekitarnya. LSH tidak menggunakan
irisan pada bagian atas vagina, tetapi hanya irisan pada perut. Melalui
irisan tersebut laparoskop dimasukkan. Uterus kemudian dipotong-
potong menjadi bagian kecil agar dapat keluar melalui lubang
laparoskop. Kedua teknik ini hanya menimbulkan sedikit nyeri,
pemulihan yang lebih cepat, serta sedikit jaringan parut.
Setelah histerektomi, siklus haid atau menstruasi akan berhenti dan
wanita tidak dapat lagi hamil. Jika pada histerektomi juga dilakukan
pengangkatan ovarium (indung telur), maka dapat timbul menopause
dini.Pada umumnya tindakan pengangkatan rahim ini dilakukan
menggunakan teknik open surgery, dengan membuat sayatan sekitar 15 cm
pada dinding perut. Namun saat ini tindakan tersebut dapat dilakukan
dengan cara yang lebih baik, yakni melalui vagina atau menggunakan
laparoskopi. Kedua tindakan ini lebih baik dibandingkan dengan open
surgery karena waktu penyembuhan yang lebih cepat, nyeri pasca operasi
lebih ringan, serta tidak meninggalkan jaringan parut (bekas luka) besar di
peut. Pada operasi pengangkatan rahim melalui vagina bahkan tidak ada
luka sama sekali di perut. Laparoskopi memberi keuntungan dapat melihat
keadaan organ di sekitar rahim sehingga apabila didapatkan perlengketan
atau kelainan pada organ di sekitar rahim, lebih mudah untuk melakukan
tindakan untuk memperbaikinya.
8. Pathway
a. Pre Operasi
Herediter, Pola hidup,

Hormonal dan faktor lain


Rencana
Menorrhagi tindakan operasi
Myoma uteri

Kecemasan

Perdarahan pervaginam
Massa
Kurang pengetahuan

Gangguan sirkulasi akut dan


defisit volume cairan nekrosis jaringan
Penekanan organ
sekitar

Nyeri akut

Resiko tinggi infeksi


Vesika urinari Pembuluh darah
Rectum

Gangguan pola
Nyeri akut Gangguan pola
eliminasi urin
eliminasi alvi
b.Intra dan Post Operasi

Kerusakan
integritas kulit
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Identitas klien: Nama, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Agama,
Pekerjaan, Alamat, No. RM, status Perkawinan, Tanggal MRS, Sumber
informasi. Mioma biasanya terjadi pada usia reproduktif, paling sering
ditemukan pada usia 35 tahun keatas. Makin tua usia maka toleransi
terhadap nyeri akan berkurang Orang dewasa mempunyai dan mengetahui
cara efektif dalam menyesuaikan diri
b. Riwayat kesehatan
a. Diagnosa Medik: Mioma Uteri
b. Keluhan Utama
Hal yang paling di rasakan klien saat itu. Keluhan yang timbul pada
hampir tiap jenis operasi adalah rasa nyeri karena terjadi torehant
tarikan, manipulasi jaringan organ.Rasa nyeri setelah bedah biasanya
berlangsung 24-48 jam.
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan pengalaman klien saat ini yang
membentuk suatu kronologi dari terjadinya etiologi hingga klien
mengalami keluhan yang dirasakan dan menjalani prosedur
penatalaksanaan.
d. Riwayat penyakit dahulu
1) Penyakit yang pernah dialami
2) Alergi
3) Imunisasi
4) Kebiasaan/Pola hidup
5) Obat yang pernah digunakan
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keluarga merupakan penyekit yang pernah dialami atau sedang
dialami keluarga, baik penyakit yang sama dengan keluhan klien atau pun
penyakit lain.
f. Riwayat reproduksi
1) Haid
Dikaji tentang riwayat menarche dan haid terakhir, sebab mioma
uteri tidak pernah ditemukan sebelum menarche dan mengalami
atrofi pada masa menopause
2) Hamil dan Persalinan
3) Kehamilan mempengaruhi pertubuhan mioma, dimana mioma uteri
tumbuh cepat pada masa hamil ini dihubungkan dengan
hormon estrogen, pada masa ini dihasilkan dalam jumlah yang besar.
Jumlah kehamilan dan anak yang hidup mempengaruhi psikologi klien
dan keluarga terhadap hilangnya organ kewanitaan.
g. Genogram
h. Pengkajian Keperawatan
2) persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
menjelaskan tentang bagaimana pendapat klien maupun keluarga
mengenai apakah kesehatan itu dan bagaimana klien dan keluarga
mempertahankan kesehatannya.
3) pola nutrisi/metabolik terdiri dari antropometri yang dapat dilihat
melalui lingkar lengan atau nilai IMT, biomedical sign merupakan
data yang diperoleh dari hasil laboratorium yang menunjang,
clinical sign merupakan tanda-tanda yang diperoleh dari keadaan
fisik klien yang menunjang, diet pattern merupakan pola diet atau
intake makanan dan minuman yang dikonsumsi.
4) pola eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna,
konsistensi, bau, karakter)
5) pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living, status oksigenasi,
fungsi kardiovaskuler, terapi oksigen. Gejala: lemah, letih, sulit
bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun. Tanda :
penurunan kekuatan otot.
6) Pola tidur & istirahat : durasi, gangguan tidur, keadaan bangun tidur
7) Pola kognitif & perceptual : fungsi kognitif dan memori, fungsi dan
keadaan indera
8) Pola persepsi diri : gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal
diri, dan peran diri
9) Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi
10) Pola peran & hubungan
11) Pola manajemen & koping stres
12) Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat
i. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum (Kesadaran secara kualitatif maupun kuantitatif),
tanda-tanda vital seperti tekanan darah, pernafasan, nadi dan suhu
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi):
a) Kepala: Rambut, Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta
karakteristik lain rambut. Adakah lesi atau tidak. Ada nyeri tekan
atau tidak.

b) Muka/ Wajah: Simetris atau tidak? Apakah ada nyeri tekan?


Warna merata atau tidak.
c) Mata, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata
keruh atau tidak.
d) Telinga, Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-
tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah
belakang telinga, keluar cairan dari telinga, melihat serumen
telinga berkurangnya pendengaran, telinga kadang-kadang
berdenging, adakah gangguan pendengaran
e) Hidung, Apakah ada pernapasan cuping hidung? Adakah nyeri
tekan? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya,
jumlahnya?
f) Mulut, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi
mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah
g) Tenggorokan, Adakah tanda-tanda peradangan tonsil? Adakah
tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat?
h) Leher: Adakah nyeri tekan, pembesaran kelenjar tiroid? Adakah
pembesaran vena jugularis?
i) Thorax: Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak
pernapasan, frekuensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi
Intercostale? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan?
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada.
j) Jantung: Bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta
iramanya? Adakah bunyi tambahan? Adakah bradicardi atau
tachycardia?
k) Abdomen: Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada
abdomen? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus? Adakah
tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar? Adakah
nyeri tekan. Fungsi gastrointestinal biasanya pulih pada 24-74
jam setelah pembedahan, tergantung pada kekuatan efek
narkose pada penekanan intestinal. Ambulatori dan kompres
hangat perlu diberikan untuk menghilangkan gas dalam usus.
l) Kulit: Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun
warnanya? Turgor kulit menurun, warna kulit, ada lesi atau
tidak.
m) Ekstremitas: Apakah terdapat oedema, Penyebaran lemak,
penyebaran masa otot, perubahan tinggi badan, cepat lelah,
lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas?
n) Genetalia: Retensi urine paling umum terjadi setelah
pembedahan ginekologi, klien yang hidrasinya baik biasanya
baik biasanya kencing setelah 6 sampai 8 jam setelah pembedahan.
Jumlah autput urine yang sedikit akibat kehilangan cairan tubuh saat
operasi, muntah akibat anestesi.
j. Terapi, pemeriksaan penunjang & laboratorium
Pemeriksaan Darah Lengkap, USG, vaginal toucher, sitologi, rontgen,
ECG, histeroskopi, MRI (Magnetic Resonance Imaging)
2. Diagnosis Keperawatan
a. Mioma Uteri
1) Deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan
akibat perdarahan pervaginam
2) Nyeri akut berhubungan dengan penekanan pada pembuluh darah,
nekrosis jaringan
3) Gangguan pola eliminasi urin berhubungan dengan penekanan pada
vesika urinaria massa jaringan neoplasm pada daerah sekitarnnya
4) Gangguan pola eliminasi alvi berhubungan dengan penekanan pada
rectum massa jaringan neoplasm pada daerah sekitarnnya
5) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan nekrosis jaringan
6) Kecemasan berhubungan dengan rencana tindakan operasi
7) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi, tidak
mengenal sumber informasi.
b. Mioma Uteri post pembedahan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
penumpukan secret
2) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan suplai oksigen
terganggu
3) Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka insisi prosedur bedah
4) Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan luka insisi
prosedur bedah
5) Deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan banyak darah
akibat perdarahan
6) Gangguan pola seksual berhubungan libido seksual menurun dengan
produksi hormone kewanitaan menurun
7) Gangguan konsep diri: citra diri berhubungan dengan perubahan fisik
8) Kecemasan berhubungan dengan libido seksual menurun
9) Kecemasan berhubungan dengan infertile
10) Kurang pengetahuan tentang kondisi dan perubahan fisik berhubungan
dengan salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
11) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka insisi prosedur
pembedahan
12) Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan napsu makan
3. Rencana Tindakan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi keperawatan
Post Op
1. Nyeri akut berhubungan 1. Pain level Pain Management
dengan penekanan pada 2. Pain control 1. Kaji karakteristik nyeri secara komprehensif
pembuluh darah, nekrosis 3. Comfort level 2. Gunakan komunikasi terapeutik untuk menggali
jaringan Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengalaman klien tentang nyeri yang dirasakan
diharapkan nyeri klien dapat teratasi dengan 3. Observasi respon non verbal klien
kriteria hasil: 4. Evaluasi ketidakefektifan pengobatan yang pernah
1. Mampu mengontrol nyeri dilakukan terhadap nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan 5. Gunakan pendekatan multidisipliner untuk manajemen
menggunakan manajemen nyeri nyeri: penggunaan analgesik
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, 6. Ajarkan tentang teknik pengontrolan nyeri non
frekuensi, dan tanda nyeri) farmakologis
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
berkurang
2. Ansietas berhubungan 1. Anxiety self-control Anxiety Reduction
dengan rencana tindakan 2. Anxiety level 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
operasi 3. Coping 2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama
Setelah dilakukan tindakan keperawatan prosedur
diharapkan kecemasan klien dapat teratasi dengan 3. Dengarkan dengan penuh perhatian
kriteria hasil: 4. Instruksikan pasien menggunakan tekik relaksasi
1. Klien mampu mengidentifikasi dan 5. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
mengungkapkan gejala cemas ketakutan dalam presepsinya.
2. Vital sign dalam batas normal
3. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh,
dan tingkat akivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan
3. Resiko infeksi berhubungan 1. Immune status Infection Control
dengan luka post operasi 2. Knowledge: infection control
1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
3. Risk control
2. Pertahankan teknik isolasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3. Batasi pengunjung bila perlu
diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi
4. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
dengan kriteria hasil:
5. Cuci tangan sebelum dan sesudah cuci tangan
1. Klien bebas dati tanda dan gejala infeksi 6. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah pelindung
timbulnya infeksi
3. Jumlah leukosit dalam batas normal
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat
Intra Op

1. Resiko infeksi area Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Kontrol infeksi :intra operatif
1x24 jam, diharapkan status imunitas dan kontrol
pembedahan resiko meningkat dengan riteria hasil: 1. Bersihkan debu dan permukaan mendatar dan alat-alat
di ruang operasi
NOC : 2. Montor dan jaga suhu ruangan antara 20 – 24 derajat C,
kelembaban ruangan antara 20-60%, da jaga aliran
Kontrol risiko (1992) udara yang berlapis
3. Batasi lalu lalang pengunjung dan lakukan isolasi serta
1. Mengidentifikasi faktor resiko monitor teknik isolasi yang sesuai
2. Mengenali resiko 4. Lakukan tindakan pencegahan universal (Universal
3. Tidak menunjukkan tanda-tanda resiko precautions)
5. Pastikan petugas mengenakan pakaian yang sesuai,
verifikasi keutuhan kemasan steril dan indikasi
sterilisasi
6. Buka persediaan peralatan steril dengan menggunakan
teknik aseptik
7. Pisahkan alat steril dan non steril
8. Periksa kulit dan jaringan disekitar lokasi pembedahan
9. Letakkan handuk untuk mencegah penyatuan cairan
antimikroba
10. Oleskan salep antimikroba pada lokasi pembedahan
yang sesuai
11. Batasi kontaminasi yang terjadi
12. Berikan terapi antibiotik yang sesuai
13. Angkat penutup beserta barang-barang yang membatasi
kontaminasi
14. Bersihkan dan sterilkan instrumen dengan baik
2. Resiko Kekurangan Setelah dilakukan perawatan, diharapkan pasien Manajemen Cairan
Volume cairan tidak mengalami dehidrasi atau cairan tubuh
pasien adekuat. 1. Catat intake dan output
2. Monitor status hidrasi seperti membran mukosa, nadi,
Dengan kriteria hasil : tekanan darah dengan cepat.
3. Beri cairan yang sesuai dengan terapi
1. Kulit dan membran mukosa lembab
2. Tidak terjadi demam, TTV normal
3. Balance Cairan
Post Op

1. Resiko infeksi area Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Kontrol infeksi (6540)
pembedahan 1x24 jam, diharapkan status imunitas dan kontrol
resiko meningkat dengan riteria hasil: 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai
setiap pasien
NOC : 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai SOP
rumah sakit
Kontrol risiko (1992) 3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan cara mencuci tangan
1. Mengidentifikasi faktor resiko 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
2. Mengenali resiko 6. Berikan perawatan kulit yang tepat
3. Memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi
resiko

2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Pain Management


2x24 jam, nyeri akut teratasi
NOC: 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Pain Level, Pain control Comfort level termasuk lokasi, karakteristik, durasi frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi Observasi reaksi
Kriteria hasil: nonverbal dan ketidaknyamanan
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab 2. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
nyeri) untuk mengetahui pengalaman nyeri
2. mampu menggunakan tehnik pasien
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, 3. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
mencari bantuan) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
3. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan 4. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menggunakan manajemen nyeri menemukan dukungan Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan Kurangi faktor
presipitasi nyeri
5. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi,
non farmakologi dan inter personal)
6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi Ajarkan tentang teknik non farmakologi
Berikan anaIgetik untuk mengurangi nyeri
7. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
8. Tingkatkan istirahat Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
Monitor penerimaan pasien tentang manajemen
nyeri
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2011. Patofisiologi : Buku Saku. Jakarta : EGC.

Gleadle, Jonathan. 2017. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.


Jakarta: Penerbit Erlangga.

Mansjoer, Arif. 2015. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :

Media. Manuaba, I.B.G. 2017. Pengantar Kuliah Obstetri.

Jakarta, EGC.

Moorhead, S et al. 2016. Nursing Intervension Classification (NIC)


Terjemahan Edisi ke 5. Singapore: Elsevier.

Moorhead, S et al. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC)


Terjemahan Edisi ke 5. Singapore: Elsevier.

Nanda International 2018. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi.


Jakarta: EGC.

Nurarif, A.H. & Kusuma, H.K. 2013. Aplikasi Asuhan Kepreawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta :
Mediaction Publishing.

Smeltzer, Suddarth. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:


EGC.

Tambayong, Jan. 2016. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai