Anda di halaman 1dari 46

Hepatitis C Asimtomatik pada Pasien Oral Lichen Planus:

Laporan Kasus

Untuk Memenuhi Tugas :


Journal Review Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Disusun oleh:
Della Lailasari 160112170102
Gisha Lutfikadila 160112170096
R. Dewi Nugrahani 160112170098

Pembimbing :
drg. Wahyu Hidayat, Sp. PM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
JUDUL : Hepatitis C Asimtomatikpada Pasien Oral Lichen Planus:
Laporan Kasus

PENYUSUN : Della Lailasari


Gisha Lutfikadila
R. Dewi Nugrahani

Bandung, Februari 2019

Disetujui oleh,
Pembimbing

drg. Wahyu Hidayat, Sp. PM


197911082006041003
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II CASE REPORT ......................................................................... 3
2.1 Pendahuluan ................................................................................ 3
2.2 Presentasi Kasus .......................................................................... 4
2.3 Diskusi ......................................................................................... 5
2.4 Kesimpulan .................................................................................. 9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 11
3.1 Hepatitis C ................................................................................... 11
3.1.1 Definisi ............................................................................ 11
3.1.2 Epidemiologi ................................................................... 11
3.1.3 Etiologi ............................................................................ 13
3.1.4 Hubungan Faktor Resiko terhadap terjadinya Hepatitis C 13
3.1.5 Tanda dan Gejala ............................................................. 14
3.1.6 Patogenesis ...................................................................... 14
3.1.7 Cara Penegakan Diagnosis Hepatitis C ........................... 16
3.1.8 Pemeriksaan Laboratorium .............................................. 17
3.1.9 Biopsi Hati ....................................................................... 17
3.1.10 Penatalaksanaan ............................................................... 18
3.1.11 Pencegahan ...................................................................... 19
3.2 Oral Lichen Planus ...................................................................... 20
3.2.1 Definisi ............................................................................. 20
3.2.2 Epidemiologi dan Prevalensi ............................................ 20
3.2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi ....................................... 20
3.2.4 Gambaran Histologis ........................................................ 21
3.2.5 Gambaran Klinis ............................................................... 22
3.2.6 Manifestasi Oral ................................................................ 23
3.2.7 Patogenesis ........................................................................ 27
3.2.8 Mekanisme Homing Limfosit yang dimediasi oleh Sitokin 28
3.2.9 Diagnosis Banding ............................................................. 30
3.2.10 Perawatan ........................................................................... 33
BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................... 37
BAB V KESIMPULAN ............................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 42

i
BAB I
PENDAHULUAN

Rongga mulut mencerminkan kondisi kesehatan atau penyakit sebagai

sistem peringatan dini. Rongga mulut mungkin dianggap sebagai jendela ke tubuh

karena manifestasi oral menemani banyak penyakit sistemik. Dalam banyak contoh,

keterlibatan oral mendahului munculnya gejala atau lesi lain di lokasi lain. Oral

lichen planus (OLP) adalah gangguan mukokutan kronis dari epitel squamous

stratified dengan etiologi tidak pasti yang mempengaruhi membran mukosa mulut.

OLP diperkirakan mempengaruhi 0,5% hingga 2,0% dari populasi umum. Penyakit

ini paling sering dilaporkan pada usia 30-60 tahun dan lebih sering terjadi pada

wanita daripada pada pria. Penyakit ini tampaknya dimediasi oleh mekanisme

antigen-spesifik, aktivasi sitotoksik sel T, dan mekanisme non-spesifik seperti

degranulasi sel mast dan aktivasi matriks metaloproteinase (Gupta and Jawanda,

2015).

Beberapa laporan menunjukkan kemungkinan hubungan antara OLP dan

infeksi virus, seperti virus herpes simpleks, virus Epstein-Barr, virus human

papiloma dan virus hepatitis C (HCV). Virus yang paling banyak diteliti adalah

HCV, tetapi hubungannya dengan OLP masih kontroversial. Tingkat prevalensi

tinggi infeksi HCV pada pasien dengan OLP telah dibuktikan pada populasi tertentu

terutama di Mediterania dan Asia, sementara hubungan antara OLP dan HCV tidak

ditemukan di area lain seperti Eropa Utara, diduga adanya heterogenitas geografis.

Satu penjelasan untuk perbedaan geografis karena predisposisi genetik. Misalnya,

frekuensi yang lebih tinggi dari alel MHC kelas II dan DR6 telah dilaporkan pada

1
2

pasien OLP Italia dengan HCV dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki

HCV (Shirasuna, 2014).

Peran patogen infeksi HCV di OLP masih belum pasti. Deteksi RNA HCV

pada lesi mukosa pasien dengan OLP dan keberadaan HCV-spesifik CD4+ dan

CD8+ limfosit T dalam lesi OLP menunjukkan bahwa sel-sel epitel

mengekspresikan antigen HCV mungkin menjadi target untuk imunopatogenesis

OLP. Masalah lain yang relevan adalah OLP dapat diinduksi dan/atau diperparah

oleh pengobatan antiviral dengan interferon-alfa atau interferon-alfa/ribavirin

untuk infeksi HCV (Shirasuna, 2014).


BAB II

CASE REPORT

2.1 Pendahuluan

Lichen planus (LP) adalah kondisi peradangan kronis yang mempengaruhi

selaput lendir mulut/kulit dengan berbagai gambaran klinis. Oral Lichen Planus

(OLP) dianggap dikaitkan dengan berbagai kondisi sistemik salah satunya yang

termasuk infeksi hepatitis C. Virus hepatitis C (HCV) adalah salah satu penyebab

utama hepatitis kronis jika penyebabnya itu tidak diobati dapat berkembang

menjadi sirosis atau hepatoseluler karsinoma selama jangka waktu tertentu. Oral

lichen planus adalah satu-satunya gangguan ekstra-hati yang terkait dengan infeksi

HCV kronis.

Pasien OLP memiliki sekitar lima kali lipat risiko lebih tinggi daripada

kontrol menjadi HCV seropositif, yang paling umum di wilayah Jepang, negara-

negara Mediterania dan Amerika Serikat. Pasien HCV positif mungkin memerlukan

manajemen tertentu ketika perawatan gigi karena adanya gangguan perdarahan,

metabolisme yang rusak dari banyak obat dan risiko penularan HCV nosokomial.

Jadi penelitian pada pasien HCV dengan LP dapat dijadikan acuan diagnosis dini,

perawatan dan tindakan pencegahan yang dapat berguna untuk menghindari

penyebaran yang lebih jauh. Infeksi HCV kronis bisa mengarah ke cirrhosis dan

karsinoma hepatoseluler dan OLP adalah penyakit yang berpotensi ganas, oleh

karena itu, diagnosis dini dan manajemen yang tepat mungkin menyelamatkan

nyawa dan bermanfaat dalam mengurangi biaya perawatan kesehatan. Dalam kasus

3
4

ini, seorang wanita melaporkan mengalami oral lichen planus, dan pada penelitian

menunjukkan terdapat antibodi hepatitis C. Anehnya, pasien itu sama sekali tidak

sadar dengan kondisinya, hal tersebut ditemukan secara kebetulan selama protokol

diagnostik untuk oral lichen planus.

2.2 Presentasi Kasus

2.2.1 Dasar Etik

Informed consent telah diperoleh dari pasien dan penelitian ini telah

dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Deklarasi Helsinki.

2.2.2 Laporan Kasus

Seorang perempuan berusia 50 tahun dilaporkan ke departemen Oral

Medicine and Radiology dengan keluhan utama sensasi terbakar di mulut saat

makan makanan pedas sejak enam bulan terakhir. Riwayat mengungkapkan bahwa

sensasi terbakar lebih terasa pada bagian lidah dan bagian dalam dari kedua pipi

kanan dan kiri. Riwayat medis dan gigi dan keluarga tidak signifikan. Riwayat

pribadi tidak terdapat kebiasaan buruk. Pada pemeriksaan fisik umum, pasien cukup

terbina, berorientasi baik pada waktu, tempat dan orang.

Pada pemeriksaan klinis intra oral, terdapat bercak (patch) putih keabu-

abuan berbatas jelas pada mukosa bukal kanan dan pola retikuler linier pada mukosa

bukal kiri. Pada dorsum lidah terdapat daerah berwarna putih keabu-abuan yang

serupa dan menutupi seluruh permukaan. Pada palpasi semua bercak tidak dapat

dihilangkan (non-scrapable), tidak lunak dan kasar. Berdasarkan riwayat dan

pemeriksaan klinis, diagnosis sementara lichen planus oral dibuat dan pemeriksaan
5

darah rutin disarankan. Semua pemeriksaan darah berada dalam batas normal,

kecuali serum positif untuk antibodi Hepatitis C yang dilakukan dengan tes Tridot.

Biopsi insisi lesi telah dilakukan dan lesi dikonfirmasi sebagai lichen planus secara

histopatologis. Pasien diterapi dengan Triamcinolone acetonide topikal (0, 1%) 3-4

kali sehari, sebagai aplikasi topikal setelah makan dan pada waktu tidur untuk

meningkatkan retensinya. Lycopene sebagai antioksidan diresepkan dalam dosis 8

mg sekali sehari setelah makan selama tiga bulan. Dalam minggu pertama, gejala

pada pasien berkurang. Meskipun riwayat medis pasien tidak signifikan untuk

kondisi sistemik apapun, tetapi pasien positif HCV pada protokol diagnostik untuk

OLP, pasien dirujuk ke dokter umum untuk evaluasi lebih lanjut status hati. Pasien

disarankan untuk folow up secara teratur.

2.3 Diskusi

Oral lichen planus adalah kondisi inflamasi kronis pada membran mukosa

mulut. Prevalensi oral lichen planus di masyarakat adalah 1-4%. Berbagai faktor

etiologi termasuk penyakit autoimun, reaksi obat, diabetes mellitus, hipertensi, batu

ginjal, faktor psikologis, infeksi bakteri dan beberapa virus, termasuk virus herpes,

virus immunodefisiensi, virus papilloma, virus hepatitis B dan C. Meskipun

etiopatogenesis yang tepat dari OLP tidak jelas, tetapi diyakini bahwa ia memiliki

sifat auto-imun, dimediasi oleh sel T CD8+, makrofag dan sel Langerhans. Sel

Langerhans dan makrofag di lapisan epitel basal memberikan informasi antigenik

untuk sel T CD8+ diaktifkan menyerang lapisan basal. Destruksi sel dilakukan

melalui apoptosis yang dimediasi imun, yang menghasilkan penampilan perubahan


6

histologis yang khas. OLP biasanya terjadi secara bilateral pada mukosa bukal dan

juga melibatkan lidah, gingiva dan area lainnya. OLP melibatkan wanita 1,4 kali

lebih banyak daripada pria, kebanyakan antara usia 50 hingga 60 tahun.

Secara klinis, OLP dapat berbentuk papular, retikuler, tipe plak, erosif dan

ulseratif. Penyakit ini biasanya asimptomatik, tetapi pasien mungkin datang dengan

rasa sakit atau iritasi atau mukosa terasa kasar.

Virus Hepatitis C (HCV), ditemukan oleh Patrick pada tahun 1989, milik

keluarga Flaviviridae dan memiliki genom RNA single-strand positif. Diperkirakan

bahwa 70% hingga 80% pasien dengan HCV masuk dalam fase kronis penyakitnya.

HCV dikenal sebagai penyebab utama penyakit hati kronis dan karsinoma

hepatoseluler. Hepatitis C kronis sering asimptomatik dan biasanya ditemukan

secara tidak sengaja, seperti dalam kasus ini. Diagnosis didasarkan pada deteksi

antibodi terhadap HCV (anti-HCV). Tes immunosorbent terkait-enzim generasi

ketiga (ELISA) memiliki 99% sensitivitas dalam mendeteksi antibodi total dengan

spesifisitas 94% dan dapat dikonfirmasi dengan deteksi langsung menggunakan

RNA HCV. Komplikasi ekstra hepatic HCV meliputi tiroiditis, delayed skin

porphyria, cryoglobulinemia, glomerulonefritis, sindrom sicca, trombositopenia,

lichen planus, diabetes mellitus dan gangguan limfo-proliferatif. Manifestasi

dermatologis ini dapat berfungsi sebagai penanda awal untuk HCV yang dapat

menyelamatkan nyawa. Oleh karena itu, mengevaluasi peran klinis potensial OLP

dalam mendiagnosis infeksi HCV tampaknya menjadi tugas yang sangat berguna

dan penting.
7

Prevalensi hepatitis kronis pada pasien dengan OLP telah ditemukan

antara 0, 5-3, 5% dalam penelitian yang dilakukan di berbagai wilayah geografis.

Pada tahun 1991, Monki et al melaporkan kasus pertama secara histologis yang

dikonfirmasi OLP pada pasien dengan HCV aktif kronis, menunjukkan hubungan

antara keduanya. Manifestasi mukosa/dermatologi ini dapat berfungsi sebagai

penanda awal untuk diagnosis HCV pada pembawa asimtomatik. Sebagian besar

kasus lichen planus oral yang terkait dengan HCV telah dilaporkan dari penelitian

di daerah Mediterania, sedangkan di negara-negara dengan prevalensi HCV

tertinggi (seperti Mesir dan Nigeria) tidak ada korelasi signifikan yang telah

ditetapkan antara HCV dan OLP. Meskipun proses infeksi HCV mempengaruhi

pasien untuk pengembangan LP tetap tidak jelas. Beberapa berspekulasi bahwa

infeksi jangka panjang dapat menyebabkan respons imunologi yang menyimpang

sehingga menunjukkan bahwa OLP dapat dipicu oleh HCV. Penelitian lain

menunjukkan bahwa respon imun pejamu daripada faktor virus adalah lebih penting

dalam pengembangan lesi OLP pada pasien terinfeksi HCV. Peran faktor

lingkungan atau geografis kurang jelas. Telah dikemukakan bahwa lokalisasi

geografis dapat menjelaskan hubungan yang berbeda antara HCV dan OLP.

Frekuensi infeksi HCV yang lebih tinggi di negara-negara tertentu akan

meningkatkan kemungkinan bahwa seorang pasien dengan OLP juga akan

terinfeksi HCV. Mega et al mencatat tiga jenis OLP: OLP terkait dengan infeksi

HCV (OLPHCV), reaksi sensitivitas kontak lichen oral (OLCSR) dan lichen planus

oral idiopatik (IOLP), yang semuanya menunjukkan histopatologi yang sama.

Namun, beberapa kasus OLPHCV menunjukkan infiltrasi limfosit yang lebih pada
8

lamina propria dibandingkan pada IOLP, dan infiltrasi limfosit yang lebih ekstensif

dan agresif dapat dikaitkan dengan manifestasi erosi OLP-HCV.

Immunohistochemically, distribusi yang sama dari sel CD4 diamati pada semua

kelompok OLP. Meskipun patogenesis OLP-HCV masih belum jelas, beberapa

laporan telah mendukung faktor pejamu yang disebabkan oleh infeksi HCV

daripada reaksi terhadap HCV lokal sebagai antigen eksogen. Ini didukung oleh

peningkatan yang signifikan dari molekul adhesi interseluler terlarut (ICAM) -1 dan

IgG pada pasien OLP-HCV. Selanjutnya, replikasi HCV telah dilaporkan dalam sel

epitel mukosa mulut dari pasien HCV dengan dan tanpa OLP, menggunakan kedua

reverse transcriptase PCR, dan hibridisasi in-situ. HCV serta faktor-faktor lain

tampaknya bertanggung jawab untuk OLP-HCV. Dalam lamina propria OLP-HCV,

fungsi yang berbeda dari sel CD8 + telah dilaporkan secara in vitro. Sel Langerhans,

yang memainkan peran kunci dalam penyajian antigen dalam OLP telah dilaporkan

baik meningkat jumlahnya atau diaktifkan dalam OLP, menunjukkan ekspresi S-

100, HLA-DR dan CD1. Lazaro et al telah menunjukkan bahwa HCV menginfeksi

keratinosit dari lesi LP kulit dan bahwa RNA virus diterjemahkan dalam sel-sel ini

sebagaimana ditunjukkan oleh HCV yang tergabung dalam biopsi kulit. Klanrit et

al menunjukkan persentase kecil tetapi signifikan dari pasien terinfeksi HCV

dengan OLP.

Studi tentang Harman et al mendukung pandangan bahwa konsistensi

HCV dan OLP mungkin lebih dari secara kebetulan dan mereka merekomendasikan

bahwa itu pantas untuk membedakan semua pasien dengan LP untuk infeksi HCV.

Telah diamati bahwa, pasien yang memiliki bentuk penyakit hati kronis umumnya
9

menunjukkan bentuk ekstensif lichen planus oral, dengan episode sering

eksaserbasi lesi, yang refrakter terhadap pengobatan. Seringkali bentuk akut OLP

yang terkait dengan HCV dalam tahap aktif secara biokimia diungkapkan oleh

peningkatan kadar transaminase serum dan percepatan replikasi virus. Jadi dalam

situasi seperti itu, adalah wajib untuk menyelidiki hepatitis dan pendekatan

interdisipliner dengan spesialis penyakit menular untuk terapi yang tepat. Aspek

penting lainnya adalah kebutuhan untuk menguji semua pasien yang didiagnosis

dengan lichen planus oral untuk keberadaan virus hepatitis C karena pasien sering

asimptomatik dan tidak menyadari kondisi mereka, seperti yang dilaporkan dalam

kasus ini.

2.4 Kesimpulan

Lichen planus oral mungkin merupakan manifestasi infeksi HCV ekstra-

hati pertama dan karena HCV dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang

signifikan, penting bagi klinisi untuk menundukkan pasien yang dicurigai OLP,

untuk tes fungsi hati dan deteksi antibodi hepatitis C untuk mencegah setiap

transmisi HCV yang tidak disengaja kepada petugas layanan kesehatan. Juga

asosiasi lichen planus oral dengan HCV dapat menghasilkan evolusi lesi oral lichen

planus yang lebih lama, dengan eksaserbasi berulang. Jenis OLP yang sering

dikaitkan dengan hepatitis C kronis adalah tipe erosif-ulseratif, disertai dengan

gejala akut. Hasil dari literatur telah menunjukkan bahwa prevalensi hepatitis C

pada pasien dengan lichen planus oral lebih tinggi dibandingkan dengan populasi

umum; nilai-nilai ini sangat bervariasi karena HCV kronis memiliki distribusi di
10

seluruh dunia yang berbeda dari satu wilayah geografis ke wilayah geografis

lainnya. Virus hepatitis C kronis dapat mempertahankan asimtomatik untuk waktu

yang lama, tetapi pasien dapat menyajikan sejumlah manifestasi ekstrahepatik

seperti yang ada di rongga mulut. Dokter gigi memiliki peran aktif dalam

mendeteksi infeksi dengan hepatitis C. Di sisi lain, mengingat risiko, perawatan gigi

pasien dengan penyakit hati HCV kronis yang diketahui menimbulkan masalah

khusus.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hepatitis C

3.1.1 Definisi

Hepatitis C merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis C

(HCV). Virus ini dapat mengakibatkan infeksi seumur hidup, sirosis hati, kanker

hati, kegagalan hati, dan kematian. Belum ada vaksin yang dapat melindungi

terhadap HCV, dan diperkirakan 3 persen masyarakat umum di Indonesia terinfeksi

virus HCV (Green, 2016). HCV adalah patogen yang paling banyak ditularkan

melalui darah dan paling sering didapat melalui penggunaan narkoba suntikan

(Dipiro et al., 2015).

3.1.2 Epidemiologi

HCV adalah patogen yang paling banyak ditularkan melalui darah. Di

Amerika Serikat, sekitar 3, 2 juta orang terinfeksi HCV kronis. Diperkirakan 17.000

infeksi HCV baru terjadi di tahun 2007. Namun, karena sifat akut infeksi akut dan

perkembangan penyakit 20 sampai 30 tahun terhadap sirosis, ini adalah 200.000

pasien yang terinfeksi per tahun pada akhir 1980-an yang berkontribusi terhadap

beban HCV hari ini. Mengingat bahwa infeksi HCV lazim terjadi pada populasi

berisiko tinggi seperti narapidana, penasun, dan tunawisma, dan bahwa populasi ini

umumnya dikecualikan dari sebagian besar survei, jumlah sebenarnya orang

terinfeksi kronis meningkat secara signifikan. Hampir 75% orang yang terinfeksi

mungkin tidak dikenali. Faktor risiko terbesar untuk infeksi adalah penggunaan

11
12

narkoba suntikan. Beberapa ahli juga mempertimbangkan penggunaan obat

terlarang lainnya, misalnya kokain intranasal, sebagai faktor risiko karena

kemungkinan kontaminasi pernak pernik obat tidak terbatas pada jarum suntik dan

jarum suntik. Secara historis, transfusi darah menimbulkan resiko infeksi yang

besar. Pasien yang menerima transfusi darah atau transplantasi sebelum tahun 1992,

faktor penggumpalan darah sebelum 1987, atau pernah mengalami hemodialisis

kronis mewakili mayoritas infeksi HCV kronis. Skrining darah yang membaik pada

tahun 1992 mengurangi risiko HCV terkait transfusi. Saat ini hemodialisis dan

transfusi keduanya mewakili kurang dari 1% faktor risiko pada eksposur HCV yang

diketahui. Transmisi terkait kesehatan jarang terjadi, namun wabah yang

dipublikasikan secara luas terkait dengan pusat endoskopi di Nevada pada tahun

2007 mendorong dilakukannya pemeriksaan terhadap wabah HCV yang terkait

dengan perawatan kesehatan. Sejak tahun 1998, lebih dari 58.000 pasien telah

diskrining untuk kemungkinan terkena HCV di tempat perawatan kesehatan non-

rumah sakit, termasuk insiden di Nevada. Risiko yang teridentifikasi di Nevada

adalah praktik injeksi yang tidak aman. Meskipun transmisi seksual merupakan

faktor risiko yang sering dikenali, risiko sebenarnya sangat rendah dan dapat

dikacaukan oleh perilaku lainnya. Studi tentang pasangan monogami dalam

hubungan jangka panjang tidak mendukung penggunaan metode penghalang untuk

mencegah penularan. Pengujian pasangan seksual dalam hubungan monogami

terutama dianjurkan untuk kemudahan pikiran. Meskipun kontak seksual dianggap

sebagai alat penularan HCV yang tidak efisien, beberapa pasangan seksual dan
13

koinfeksi dengan penyakit menular seksual, termasuk HIV, meningkatkan risiko

penularan HCV (Dipiro et al., 2011).

3.1.3 Etiologi

Menurut Dipiro J.T., (2011), etiologi Hepatitis C berasal dari HCV. HCV

adalah virus RNA beruntai tunggal keluarga Flaviviridae yang terkenal karena

kekurangan polimerase proofreading dan memungkinkan mutasi virus yang sering

terjadi. Virus bereplikasi di dalam hepatosit dan seperti hepatitis B, tidak secara

langsung bersifat sitopatik. HCV bereplikasi secara berlebihan dengan perkiraan

waktu paruh serum 2 sampai 3 jam. Hasilnya adalah virus bermutasi yang terus

bermunculan dan terus bermunculan yang merupakan tantangan besar bagi

pengendalian yang dimediasi oleh kekebalan tubuh.

3.1.4 Hubungan Faktor Resiko terhadap Terjadinya Hepatitis C

Hepatitis C paling mudah ditularkan melalui rute parenteral seperti

penggunaan narkotika suntik13 dan transfusi darah14, akan tetapi sulit ditularkan

melalui rute seksual. Masih terdapat pro kontra mengenai transmisi seksual virus

hepatitis C. Beberapa studi mendapatkan bahwa risiko transmisi seksual hepatitis

C memang ada, namun risiko tersebut rendah.15-17 Adanya infeksi HIV dapat

meningkatkan risiko transmisi seksual virus hepatitis C. Gabrielli dkk10 dalam

studi potong lintang mendapatkan prevalensi hepatitis C pada pasangan seksual

pengguna narkotika suntik dengan koinfeksi HIV/HCV sebesar 9,5%. Pada

kelompok pasangan seksual dengan status HIV positif didapatkan prevalensi

hepatitis lebih tinggi dibandingkan dengan yang HIV negatif (28,6% vs 12,8%)
14

Namun beberapa studi mendapatkan bahwa koinfeksi HIV/HCV tidak

meningkatkan risiko transmisi seksual virus hepatitis C (Wyld et al, 1997).

Berbagai faktor diduga berperan dalam meningkatkan risiko transmisi

seksual hepatitis C pada pasien koinfeksi HIV/HCV. Tingginya kadar HCV RNA

darah dan rendahnya hitung CD4+ pasien koinfeksi HIV/HCV berhubungan

dengan meningkatnya transmisi hepatitis C. Faktor-faktor lain yang diduga

berhubungan dengan transmisi hepatitis C adalah hubungan seksual yang tidak

aman, lamanya hubungan seksual, teknik hubungan seksual yang merusak mukosa

dan adanya penyakit menular seksual (Ghosn, 2004).

3.1.5 Tanda dan Gejala

Menurut Life Productions (2009) Tanda dan gejala hepatitis C, yaitu:

1. Menurunnya nafsu makan

2. Letih-lesu-lelah

3. Gatal-gatal

4. Otot nyeri

5. Sakit pada bagian perut

6. Muntah-muntah

7. Demam

8. Berat badan menurun

9. Kulit menguning

3.1.6 Patogenesis

Pada sebagian besar kasus, infeksi HCV akut menyebabkan infeksi kronis.

Respon kekebalan pada infeksi HCV akut sebagian besar tidak cukup untuk
15

membasmi virus. Selama fase awal infeksi, sel pembunuh alami diaktifkan saat

tingkat RNA HCV meningkat dengan cepat. Upaya gabungan limfosit CD4 dan

CD8 spesifik HCV dan ekspresi bersama interferon mengurangi replikasi virus.

Pemberantasan HCV oleh limfosit T sitotoksik dapat terjadi baik sebagai akibat dari

apoptosis yang diinduksi oleh hepatosit yang terinfeksi atau dengan pelepasan

interferon untuk menahan replikasi virus. Tingkat apoptosis hepatosit dapat

berkorelasi dengan jalannya penyakit. Kerusakan hati dan HCC dikaitkan dengan

tingkat apoptosis hepatosit yang tinggi. Tingkat apoptosis rendah dikaitkan dengan

persistensi virus. Selain itu, sel T-helper CD4 tidak mungkin memediasi luka hati,

namun dapat mendorong lingkungan yang kondusif untuk respon kekebalan lainnya

yang merusak hati (Dipiro et al., 2011).

HCV menimbulkan tantangan yang menakutkan untuk pengendalian

kekebalan tubuh karena diversifikasi virusnya yang cepat. Mutasi genom HCV

dapat terdeteksi dalam waktu 1 tahun setelah infeksi. Kasus HCV yang terselesaikan

ditentukan oleh respons sel T yang kuat dengan respon CD8 dan tanggapan sel beta

yang sangat aktif. Dihipotesiskan bahwa aktivitas CD8 memediasi kekebalan

protektif namun memerlukan bantuan sel CD4 untuk mempertahankan respons

selama mutasi virus (Dipiro et al., 2011).


16

3.1.7 Cara Penegakakan Diagnosis Hepatitis C

Anamnesis dan pemeriksaan fisis penting untuk diagnosis hepatitis C

sekaligus untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Pada infeksi hepatitis C

akut, HCV RNA dapat terdeteksi dalam 7-10 hari setelah paparan kemudian anti-HCV

mulai dapat terdeteksi di dalam darah 7-8 minggu setelah paparan. Saat diagnosis awal

hepatitis C akut, pemeriksaan anti-HCV positif hanya ditemukan pada sekitar 50%

pasien. Diagnosis hepatitis C akut dapat ditegakkan jika terjadi serokonversi anti-HCV

pada pasien yang sebelumnya telah diketahui anti-HCV negatif, oleh karena tidak

adanya penanda serologi yang dapat membuktikan infeksi akut VHC. Pada kasus

pasien dengan gejala yang sesuai (alanine aminotransferase (ALT) >10x nilai batas

atas normal, ikterik) tanpa adanya riwayat penyakit hati kronik atau penyebab lain

hepatitis akut, dan/atau sumber penularan dapat diidentifikasi maka dapat dicurigai

hepatitis C akut, meskipun 80% infeksi hepatitis C akut bersifat asimptomatik

(Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Diagnosis hepatitis C kronik dapat ditegakkan apabila anti-HCV dan HCV

RNA tetap terdeteksi lebih dari 6 bulan sejak terinfeksi disertai dengan gejala-gejala

penyakit hati kronik (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Gambar 3.1. Perjalanan serologi Hepatitis C. 1


17

3.1.8 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium anti VHC menggunakan uji diagnostik cepat /

rapid diagnostic test (RDT). Pemeriksaan RDT yang digunakan harus memenuhi

standar performa yang baik. Pemeriksaan RDT tunggal dalam hal ini dapat

menjembatani akses menuju konfirmasi penegakan diagnosis melalui pemeriksaan

RNA VHC untuk kemudian dilanjutkan dengan terapi. (Kementerian Kesehatan RI,

2017).

Pada infeksi hepatitis C kronik didapatkan bukti anti-HCV dan HCV RNA

positif disertai tanda-tanda hepatitis kronik. Interpretasi hasil anti-HCV dan HCV RNA

dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Interpretasi hasil anti-HCV dan HCV RNA1

Anti-HCV HCV RNA Interpretasi

Positif Positif Akut atau kronik bergantung pada gejala klinis.

Resolusi VHC; Status infeksi tidak dapat


Positif Negatif ditentukan (mungkin dalam status intermittent
viremia).

Infeksi VHC akut awal; VHC kronik pada


pasien dengan status imunosupresi (pasien HIV,
Negatif Positif
pasien hemodialisis dan penggunaan obat-obat
imunosupresan).

Negatif Negatif Tidak terinfeksi VHC.

3.1.9 Biopsi Hati

Dimana sedikit hati diambil dan diperiksa dengan mikroskop hasilnya dapat

menunjukkan jenis dan tingkat keparahan hepatitis C yang pada ahirnya membantu
18

dalam rencana perawatan. Pada pemeriksaan histopatologi jaringan dari biopsi hati

pada penderita hepatitis c akan dapat terlihat berbagai kelainan seperti:

1. Gambaran lobules hati yang normal dan sebagian lobules tidak jelas

Hilangnya gambaran hepatosit disertai dengan proses radang, mobilisasi sel

kupffer pada hepatoseluler yang sweling merubah gambran pada liver plate

yang menyebabkan kerusakan pada arsitektur lobules

2. Peradangan pada portal periportal

Peradangan pada portal periportal selalu dijumpai terdiri dari sel-sel limfosit,

sel plasma dan makrofag serta biasanya dijumpai piece meal nekrosis

3. Nekrosis fokal

4. Nekrosis confluent

Tampak adanya nekrosis fokal berkelompok pada lobules

5. Massive dan submassive nekrosis

Nekrosis yang massive sudah bersifat fatal melibatkan hampir seluruh

parenkim hati. Nekrosis ini merupakan komplikasi dari sirosis hati.

6. Adanya gambaran fibrosis

3.1.10 Penatalaksanaan

Pengobatan bertujuan untuk mengeliminasi virus HCV dan mencegah

progresifitas penyakit menjadi sirosis maupun karsinoma hepatoselular dan sebagai

endpoint therapy atau mencapai sustained virologic response (SRV).

1) Tatalaksana Hepatitis C Akut

Identifikasi infeksi HCV akut dimulai, pasien harus dipantau setiap 4

minggu untuk serokonversi atau terbentuknya HCV RNA viremia.

2) Tatalaksana Hepatitis C Kronis


19

3.1.11 Pencegahan

3.1.11.1 Pencegahan Primer

Tidak ada vaksin untuk hepatitis C, oleh karena itu pencegahan infeksi HCV

titujukan pada mengurangi resiko terpaparnya HCV. Daftar berikut memberikan

contoh terbatas intervensi pencegahan primer yang di rekomendasikan oleh WHO:

1. Kebersihan tangan: persiapan bedah, mencuci tangan dan penggunaan

sarung tangan.

2. Penanganan yang aman dan pembuangan benda tajam dan limbah

3. Pembersihan yang aman dari peralatan

4. Pengujian darah yang didonorkan

5. Edukasi kepada masyarakat

6. Meningkatkan akses terhadap darah yang aman

7. Pelatihan tenaga kesehatan

3.1.11.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder berlaku bagi orang-orang yang terinfeksi dengan virus

hepatitis C, WHO merekomendasikan:

1. Pendidikan dan konseling tentang pilihan untuk perawatan dan

pengobatan

2. Imunisasi dengn vaksin hepatitis A dan B untuk mencegah koindeksi dari

virus hepatitis ini untuk melindungi hati mereka

3. Manajemen medis awal dan tepat termasuk terapi antiviral jika sesuai,

dan

4. Pemantauan rutin untuk diagnosis awal penyakit hati kronis (WHO<

2014).
20

3.2 Oral Lichen Planus

3.2.1 Definisi

Lichen planus adalah penyakit dermatologi kronis jinak pada epitelial

skuamosa berlapis yang mempengaruhi kulit, mukosa mulut, dan genital. Lesi

memiliki pola karakteristik garis interkoneksi yang disebut striae, menyerupai pola

tanaman lichen seperti tumbuh pada batu dan pohon (Scully, 2013; Langlais, 2009;

Ibsen, 2004). LP dimediasi oleh reaksi limfosit T terhadap rangsangan antigen yang

berada di lapisan epitel (Silverman, et al., 2002).

3.2.2 Epidemiologi dan Prevalensi

Prevalensi dari OLP berkisar 0.5-2.2%. Dari angka tersebut, proporsi wanita

lebih tinggi daripada pria. Usia rata-rata sekitar 55 tahun (Greenberg et al, 2008).

3.2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi OLP belum diketahui secara pasti, tetapi bukti menunjukkan karena

kelainan imunologi memiliki peran utama dalam perkembangan penyakit ini. Hal ini

didukung oleh karakteristik histopatologi dan infiltrasi yang dibentuk oleh selaput

subepitel yang didominasi oleh limfosit T dan makrofag serta degenari sel basal yang

dikenal sebagai degenerasi likuifaki (Gambar 3.2) (Jontell dan Palle, 2008).

Gambar 3.2 Degenerasi sel basal

Fitur-fitur ini dapat ditafsirkan sebagai ekspresi lengan sel-mediated dari

sistem kekebalan yang terlibat dalam patogenesis OLP melalui sitotoksisitas limfosit
21

T yang diarahkan terhadap antigen yang diekspresikan oleh lapisan sel basal

(Greenberg et al, 2008). Limfosit T autoreaktif sangat penting untuk perkembangan

OLP (Compositio 7).

Gambar 3.3 Compositio 7

Sel-sel ini tidak dapat membedakan antara molekul yang melekat pada tubuh

dan antigen asing. Aktivasi limfosit T autoreaktif adalah proses yang mungkin timbul

di bagian lain dari tubuh daripada mukosa mulut dan bahkan mungkin tidak terjadi

bersamaan dengan timbulnya lesi mukosa.

Faktor predisposisi dari LP di antaranya karena faktor genetik, stres, lesi

likenoid antara karena bahan restorasi gigi (terutama amalgam dan emas), infeksi

dengan virus hepatitis C, obat antiinflmasi NSID, dan gangguan sistemik seperti

hipertensi dan diabetes. (Scully, 2013). Secara keseluruhan, ini membuat etiologi di

balik OLP terdapat proses multifaktorial yang terdiri dari peristiwa yang mungkin

terjadi pada titik waktu yang berbeda (Greenberg et al, 2008).

3.2.4 Gambaran Histologis

Terdapat 3 gambaran histologi yang perlu diperhatikan untuk mendiagnosis

OLP:

1. Daerah hiperkeratosis atau hiperortokeratosis dengan penebalan pada

lapisan sel granular dan gambaran saw-tooth pada retepeg.


22

2. Biasanya terjadi degenerasi likuifaksi atau nekrosis pada lapisan sel basal

3. Band eosinofilik dapat dilihat tept di bawah membran basalis dan

mewakili fibrin yang meliputi lamina propia, serta adanya infiltrasi band

limfosit dan makrofag yang berbentuk subepitelial yang padat

(Greenberg, M.S et al., 2008)

Gambar 3.4 Lichenoid reaction dengan adanya infiltrasi dari sel inlamatori

dan degenerasi likuifaksi pada lapisan sel basal.

3.2.5 Gambaran Klinis

Lesi kulit lichen planus dikarakteristikkan dengan 5 tanda : berwarna ungu,

polygonal, pruritus, papula, dan plak. LP dapat muncul di mukosa dan kulit. LP

biasanya muncul dimulai sebagai papula dengan permukaan datar yang berdiameter

3-15 mm yang dapat bergabung menjadi plak yang lebih besar. Pada awal perjalanan

penyakit mereka berwarna merah kemudian segera berubah warna menjadi ungu

kemerahan atau ungu. Pertengahan papula sedikit cekung (umbilicated) dan

permukaannya memiliki karakteristik garis putih keabu-abuan yang sangat halus yang

disebut Wickham striae. Lesi dapat terjadi di mana saja di permukaan kulit tetapi

sering terletak di permukaan fleksor anggota badan, bagian dalam lutut, paha, badan,

dan juga dapat muncul pada bagian yang memiliki trauma. Wajah sering tetap tidak

terlibat. Gejala utama LP adalah pruritis yang parah dengan tingkat keparahan
23

bervariasi. Beberapa pasien melaporkan keterlibatan genital dengan fitur yang mirip

dengan lesi kulit, dan adanya keterlibatan kulit kepala (lichen planopilaris), dan alas

kuku. Keterlibatan laring, esofagus dan konjungtiva jarang terjadi (Gupta and

Jawanda, 2015).

Gambar: Lesi kulit A. Lesi kulit klasik pada kulit dengan warna ungu dan
Wickam striae di permukaan. B. Tanda-tanda kuku bergerigi. C. Whickham
Striae Klasik pada bibir, dengan keterlibatan simetris bilateral tambahan dari
dorsum lidah yang terlihat secara intra-oral (Ion and Setterfield, 2016)

3.2.6 Manifestasi Oral

Gambaran klinis oral agak berbeda dengan lichen planus pada kulit. OLP

memiliki karakteristik: lesi putih, abu, beludru, papula seperti benang dalam linear,

annular dan retiform membentuk renda (lacy) khas, bercak retikular, cincin dan garis.

Sebuah titik tinggi putih kecil hadir di persimpangan garis putih yang dikenal sebagai

striae of Wickham. Lesi tidak bergejala, bilateral / simetris di mana saja dalam rongga

mulut, tetapi paling sering pada mukosa bukal, lidah, bibir, gingiva, dasar mulut,

palatum dan dapat muncul berminggu-minggu atau berbulan-bulan sebelum

munculnya lesi kulit. OLP memiliki 6 presentasi klinis klasik (Gupta and Jawanda,

2015):

1. Retikular

Bentuk retikular adalah bentuk klinis OLP yang paling sering terjadi,

asimptomatik, dan hadir dengan pola yang halus dan putih, linier, terjalin

seperti renda "Wickham striae" dalam bentuk simetris bilateral dan umumnya
24

terlihat pada mukosa bukal, bibir, lidah, atau gingiva (Ion and Setterfield,

2016; Gupta and Jawanda, 2015).

Gambar. Tipe retikular OLP pada bibir dan mukosa pipi (Gupta and

Jawanda, 2015)

2. Erosive

Erosive OLP dapat terjadi sebagai daerah atrofi, dengan area ulserasi,

eritema, dan keratotic white striae, sert a bisa terdapat pseudomembran. Lesi

simptomatik, mulai dari rasa terbakar ringan sampai sakit terutama saat

makanan pedas atau asam (Ion and Setterfield, 2016; Justin, et al, 2013).

Gambar: Tipe Erosive OLP pada mukosa bukal. Kondisi ditandai oleh area

eritema dan diselingi pseudomembran (Edwards and Kelsch, 2002)


25

3. Atrophic

Atrofi menunjukkan lesi merah difus dan mungkin menyerupai kombinasi

dua bentuk klinis, seperti adanya karakteristik striae putih dari tipe retikuler

yang dikelilingi oleh area eritematosa. OLPA atrofi hadir dengan area atrofi

mukosa yang terjadi di dalam bercak putih. Gambaran klinis adalah salah satu

area merah dan putih, tetapi tidak berbintik seperti yang terlihat pada

kandidiasis hiperplastik kronis. Pasien dengan jenis penyakit ini sering

mengeluh sakit mulut (Ion and Setterfield, 2016; Gupta and Jawanda, 2015).

Gambar: Tipe Atrophic OLP- terkadang mewakili sebagai gingivitis

deskuamatif (Gupta and Jawanda, 2015)

4. Plaque-like

Tipe ini bermanifestasi sebagai area putih homogen yang mirip dengan

leukoplakia. Tipe ini biasanya muncul di mukosa bukal atau dorsum lidah

dan mungkin lebih umum di antara mereka yang perokok. Biopsi disarankan

(Ion and Setterfield, 2016; Gupta and Jawanda, 2015).


26

Gambar: Tipe Plaque OLP pada lidah (Gupta and Jawanda, 2015)

5. Papular

Bentuk ini jarang terjadi. Papular oral lichen planus bermanifestasi sebagai

papula daerah putih kecil yang memiliki ketinggian dengan diameter sekitar

1-2 mm. Biasanya muncul pada mukosa bukal dan dorsum lidah, meskipun

mungkin juga ada pada permukaan mukosa lainnya (Ion and Setterfield,

2016; Gupta and Jawanda, 2015).

Gambar: Tipe papular OLP pada lateral border lidah (Gupta and Jawanda,

2015)

6. Bullous

Merupakan bentuk klinis yang langka yang bermanifestasi sebagai vesikula

kecil atau lepuhan/blister (bullae) yang meningkat dalam ukuran dan

cenderung pecah, meninggalkan permukaan yang mengalami ulserasi dan


27

nyeri. Nikolsky sign mungkin positif (Ion and Setterfield, 2016; Gupta and

Jawanda, 2015).

Gambar: Tipe bullous OLP pada mukosa bukal atas (Gupta and Jawanda,

2015)

3.2.7 Patogenesis

OLP adalah penyakit autoimun yang dimediasi sel T, di mana sel T CD8+

auto-sitotoksik memicu apoptosis sel basal epitel mulut. Mekanisme awal penyakit

melibatkan ekspresi antigen keratinosit atau dari antigen yang mungkin berupa self-

peptide atau heat shock protein. Kemudian sel T (kebanyakan sel CD8+ dan beberapa

CD4+) bermigrasi ke epitelium baik karena pertemuan acak antigen selama

pengawasan rutin atau migrasi yang dimediasi kemokin terhadap keratinosit basal. Sel

CD8+ yang bermigrasi ini diaktifkan secara langsung oleh antigen yang terikat ke

Major Histocompatibility Complex (MHC-1) pada keratinosit atau melalui

pengaktifan limfosit CD4+. Selain itu, jumlah sel langerhan pada lesi OLP meningkat

seiring dengan peningkatan regulasi ekspresi MHC-II, selanjutnya kehadiran antigen

untuk sel CD4+ dan Interleukin (IL-12) mengaktifkan sel T helper CD4+ yang

mengaktifkan sel T CD8+ melalui interaksi reseptor, γ interferon (INF-γ) dan IL-2. Sel

T CD8+ teraktivasi kemudian membunuh keratinosit basal melalui Tumor Necrosis


28

Factor (TNF-α) tumor, dimediasi Fas-FasL atau granzim B yang mengaktifkan

apoptosis (Lavanya, et al, 2011).

3.2.8 Mekanisme Homing Limfosit yang dimediasi oleh Sitokin

Daya tarik limfosit terhadap epitel permukaan jaringan ikat juga telah

diusulkan terjadi karena peningkatan regulasi yang dimediasi sitokin dari molekul

adhesi pada sel endotel dan ekspresi bersamaan dari molekul reseptor oleh sirkulasi

limfosit. Pada OLP terdapat peningkatan ekspresi molekul adhesi vaskular (CD62E,

CD54, CD106) oleh sel-sel endotel dari pleksus vaskular subepitel. Infiltrasi limfosit

mengekspresikan reseptor resiprokal (CD11a) ke molekul adhesi vaskular ini. Hal ini

mendukung hipotesis yang dijelaskan di atas bahwa mekanisme homing limfosit yang

dimediasi sitokin memainkan peran penting dalam patogenesis lichen planus.

Beberapa sitokin yang bertanggung jawab untuk peningkatan regulasi molekul adhesi

adalah: TNF-α, IFN-γ dan IL-1. Ini berasal dari makrofag sekitar, sel Langerhans,

limfosit dan keratinosit di atasnya sendiri, sehingga membentuk lingkaran berbahaya

(Lavanya, et al, 2011).

Integritas normal dari membran basal dipertahankan oleh keratinosit basal

hidup karena sekresi kolagen 4 dan laminin 5 ke dalam zona membran basal epitel.

Pada gilirannya, keratinosit memerlukan membran basal membran dasar derivat sinyal

kelangsungan hidup yang berasal dari sinyal untuk mencegah terjadinya apoptosis.

Keratinosit apoptosis tidak lagi mampu melakukan fungsi ini, yang menyebabkan

gangguan pada membran basal. Sekali lagi, membran basal yang tidak utuh tidak dapat

mengirim sinyal kelangsungan hidup sel. Ini terjadi dalam lingkaran berbahaya yang

berkaitan dengan sifat kronis penyakit (Lavanya, et al, 2011).

Matriks Metaloproteinase (MMP) pada prinsipnya terlibat dalam degradasi

protein matriks jaringan. MMP-9 yang memotong kolagen 4, bersama dengan


29

aktivatornya diregulasi dalam sel T lesional OLP, menghasilkan peningkatan

gangguan membran basal. RANTES (Diatur pada Aktivasi, sel T normal

diekspresikan dan Disekresikan) adalah anggota dari keluarga kemokin CC yang

memainkan peran penting dalam perekrutan limfosit dan sel mast pada OLP. CCR1,

CCR3, CCR4, CCR5, CCR9 dan CCR10, yang merupakan reseptor permukaan sel

untuk RANTES, telah diidentifikasi dalam lichen planus. Sel mast yang direkrut

mengalami degranulasi di bawah pengaruh RANTES, yang melepaskan chymase dan

TNF-α. Zat-zat ini meningkatkan sekresi RANTES oleh sel T lesional OLP. Ini sekali

lagi terjadi dalam lingkaran berbahaya yang berkaitan dengan sifat kronis penyakit

(Lavanya, et al, 2011).

Sel mast sebanyak 60% telah ditemukan mengalami degranulasi dalam OLP

dibandingkan 20% pada mukosa normal. Degranulasi sel mast melepaskan berbagai

mediator pro-inflamasi seperti TNF-α, chymase dan tryptase. TNF-α meningkatkan

regulasi dari ekspresi molekul adhesi sel endotel (CD62E, CD54 dan CD106) dalam

OLP, yang diperlukan untuk adhesi limfosit ke permukaan luminal pembuluh darah

dan ekstravasasi berikutnya dan menstimulasi sekresi RANTES dari sel T. Chymase,

protease sel mast, adalah aktivator MMP-9 yang diketahui, yang menyebabkan

gangguan membran basal di OLP (Lavanya, et al, 2011).

Ekspresi lemah dari Transforming Growth Factor (TGF-β1) telah ditemukan

di OLP. Defisiensi TGF-β1 dapat menjadi predisposisi inflamasi limfositik autoimun.

Keseimbangan antara TGF-β1 dan IFN-γ menentukan tingkat aktivitas imunologi

pada lesi OLP. Overproduksi lokal IFN-γ oleh sel T CD4+ pada lesi OLP menurunkan

regulasi efek imunosupresif TGF-β1 dan meningkatkan regulasi ekspresi keratinosit

MHC kelas II dan aktivitas sel T sitotoksik CD8+ (Lavanya, et al, 2011).
30

3.2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding OLP yaitu cheek chewing/frictional keratosis, lichenoid

reactions, leukoplakia, dan erythematous candidiasis (Lavanya, et al, 2011).

3.2.9.1 Oral Lichenoid Lesions atau Reactions (OLLs/OLRs)

Berbeda dengan sifat idiopatik OLP, OLLs sering dikaitkan dengan faktor

inisiasi yang dapat diidentifikasi. Apabila faktor tersebut dihilangkan maka lesi

dapat sembuh. Faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis OLLs yaitu obat-

obatan, bahan restorasi gigi, Graft-versus host disease (GVHD), dan faktor

lainnya seperti dental tartar dan akumulasi plak. OLLs karena obat-obatan

biasanya unilateral dalam distribusi disertai dengan riwayat konsumsi obat

baru. Bahan restorasi gigi yang menginduksi OLLs dapat diidentifikasi ketika

lesi seperti OLP terbatas pada area mukosa mulut berkontak dekat dengan

bahan restorasi, biasanya amalgam. GVHD terjadi pada pasien yang menerima

transplantasi allogenic hematopoietic stem cell. Gambaran klinis OLLs serupa

dengan OLP yaitu plak atau bercak erosif dengan wickham striae, juga pola

retikuler, atrofik, erosif, bullous, dan keratotik (Kamath et al, 2015; (Chiang,

et al, 2018).

Gambar. Gambaran klinis dari OLLs yang dekat dengan restorasi amalgam

(Kamath et al, 2015)


31

3.2.9.2 Oral Leukoplakia

Oral Leukoplakia (OL) adalah gangguan mukosa mulut yang paling berpotensi

keganasan. Etiologi OL adalah multifaktorial, seperti merokok, alkohol,

infeksi human papilloma virus, restorasi dental, dan iritasi mekanis. OL

merupakan patch atau plak putih yang tidak dapat dikarakterisasi secara klinis

atau patologis seperti penyakit lainnya. OL diklasifikasikan dalam dua tipe

utama: tipe homogen yang muncul sebagai lesi putih datar dan tipe non-

homogen yang meliputi leukoplakia speckled, nodular dan verukosa.

Leukoplakia homogen adalah uniform, area putih tipis yang berubah atau tidak

dengan mukosa normal. Tipe speckled (berbintik) adalah lesi putih dan merah,

dengan permukaan didominasi putih. Tipe verukosa memiliki gambaran

permukaan yang tinggi, proliferatif atau bergelombang. Tipe nodular memiliki

pertumbuhan polypoid kecil, bonggol bulat didominasi putih (Parlatescu et al,

2014).

Gambar. Leukoplakia homogen pada bagian lingual gingiva (Parlatescu et al,

2014)

3.2.9.3 Friksional Keratosis

Friksional keratosis adalah lesi putih reaktif yang disebabkan oleh iritasi ringan

berkepanjangan pada membran mukosa. Friksional keratosis menunjukkan


32

permukaan yang kasar dan berjumbai dan apabila penyebab dihilangkan maka

lesi sembuh dalam 2 minggu. Trauma akut menyebabkan ulser sementara

trauma kronis menyebabkan hiperkeratosis. Etiologi friksional keratosis

adalah kebiasaan menggigit pipi, alat ortodontik, gigi tiruan yang tidak pas,

mahkota patah, tepi kasar pada gigi karies atau ketidaksejajaran gigi.

Gambaran klinis pada mulanya adalah bercak yang pucat translusen kemudian

menjadi padat dan putih, sebagian besar terjadi di daerah yang biasanya

mengalami trauma seperti mukosa bukal sepanjang garis oklusal, bibir, tepi

lateral lidah (Khaled and Dantala, 2017).

Gambar. Friksional keratosis berupa pembengkakan keratotik tanpa pus akibat

iritasi gigi 17 fraktur mahkota (Khaled and Dantala, 2017).

3.2.9.4 Erythematous Candidiasis

Erythematous Candidiasis relatif jarang dan bermanifestasi sebagai bentuk

akut dan kronis (Ashman dan Farah, 2005). Sebelumnya dikenal sebagai

'antibiotic sore mouth', karena hubungannya dengan penggunaan antibiotik

spektrum luas yang berkepanjangan. Bentuk kronis biasanya terlihat pada

pasien HIV yang melibatkan dorsum lidah, palatum dan kadang-kadang

mukosa bukal. Secara klinis bermanifestasi sebagai daerah eritematosa lokal

yang terasa sakit. Erythematous Candidiasis adalah satu-satunya bentuk


33

kandidiasis yang terkait dengan rasa sakit. Lesi terlihat pada dorsum lidah

biasanya merupakan area depapillasi. Lesi palatal lebih sering terjadi pada

pasien HIV (Patil et al, 2015)

Gambar. Erythematous Candidiasis pada palatum (Patil et al, 2015)

3.2.10 Perawatan

Masih kontroversial apakah biopsi harus dilakukan untuk setiap lesi OLP.

Untuk lesi NEOLP (reticular, papular atau plaque-like OLP), jika manifestasi

klinisnya khas (lesi bilateral dan simetris), maka kami mungkin atau tidak mungkin

melakukan biopsi untuk konfirmasi diagnosis klinis. Untuk lesi EOLP (atrophic /

erosive, ulcerative atau bullous OLP), biopsi harus dilakukan terutama untuk lesi

dengan kecurigaan perubahan displastik atau transformasi malignant. Baik

pemeriksaan visual dan palpasi penting untuk pemeriksaan lesi OLP. Jika indurasi

jaringan terdeteksi di daerah perifer lesi OLP dengan palpasi, maka biopsi harus

dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan.

Perawatan untuk OLP tergantung pada tipe dan gejala penyakit. Untuk pasien

dengan NEOLP (OLP reticular, papular atau plaque-like), jika mereka tidak memiliki

gejala oral seperti rasa sakit dan sensasi terbakar mukosa mulut saat makan makanan

yang panas, asin, asam atau pedas, maka tidak perlu untuk mengobati Lesi OLP ini
34

segera. Namun, penjelasan menyeluruh tentang etiologi dan fitur karakteristik klinis

OLP diperlukan untuk setiap pasien OLP (Chiang, et al, 2018).

Untuk pasien dengan EOLP (atrophic / erosive, ulcerative atau bullous OLP),

karena mereka biasanya memiliki gejala dan tanda-tanda oral seperti nyeri, sensasi

terbakar, dan inflamasi, perawatan obat segera dan efektif harus ditawarkan kepada

pasien untuk meringankan gejala dan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Karena OLP adalah penyakit yang dimediasi secara imunologik, kortikosteroid adalah

obat pilihan untuk pengobatan EOLP. Jika lesi EOLP kecil dan gejala oral ringan,

aplikasi topikal kortikosteroid ointement (deksametason atau triamsinolon) sebagai

film tipis 2-3 kali per hari ke daerah yang paling bergejala biasanya cukup untuk

menginduksi penyembuhan lesi EOLP dalam 2-3 minggu (Chiang, et al, 2018).

Jika lesi EOLP besar dan gejala oral sedang atau berat, topikal spray dari

kortikosteroid powder (misalnya, sealcoat cap untuk spray, mengandung

beklometason dipropionat) ke daerah lesi mukosa 2-3 kali per hari juga efektif untuk

menginduksi penyembuhan lesi EOLP. Kalau tidak, lesi EOLP besar dan parah dapat

diobati dengan injeksi intralesi dan submukosa dari kenacort A (40 mg triamcinolone

acetonide dibagi menjadi dua dosis masing-masing untuk lesi EOLP satu sisi sekali

seminggu selama 2-3 minggu) ditambah pemberian prednisolon oral (15-30 mg

prednisolon satu kali sehari selama 2 minggu; pemberian prednisolon oral dikurangi

hingga 5 mg per hari dan berhenti pada minggu ketiga) (Chiang, et al, 2018).

Modalitas pengobatan ini dapat menghasilkan penyembuhan yang cepat dari

lesi EOLP. Untuk lesi EOLP multifokal yang paling parah dengan area ulserasi yang

luas, pemberian prednisolon sistemik (40 mg prednisolone per hari selama 5 hari

diikuti oleh 10-20 mg prednisolon per hari untuk 7-10 hari lagi) dapat mencapai

peningkatan yang signifikan dari lesi EOLP.58 Jika ada lesi EOLP minor yang tersisa,
35

mereka dapat diobati dengan aplikasi topikal kortikosteroid ointement. Kortikosteroid

sistemik dapat meningkatkan viremia HCV yang mengarah pada perburukan

kerusakan hati dan oleh karena itu harus dihindari pada OLP yang terkait HCV

(Chiang, et al, 2018).

Terapi kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan efek samping yang

merugikan seperti supresi adrenokortikal, hipertensi, hiperglikemia, peningkatan berat

badan, perubahan suasana hati, insomnia, iritasi gastrointestinal, dan osteoporosis.

Terlebih lagi, pasien harus diperingatkan bahwa penyakit ini pasti akan muncul lagi,

dalam hal ini kortikosteroid harus diaplikasikan ulang. Selain itu, kemungkinan

kandidiasis iatrogenik yang terkait dengan penggunaan kortikosteroid harus dipantau.

Jika pasien EOLP memiliki kandidiasis oral, terutama di tempat lesi, karena

penggunaan jangka panjang salep kortikosteroid, obat antijamur (seperti mycostatin)

harus diberikan kepada pasien setidaknya selama dua minggu. Pasien dengan EOLP

harus dievaluasi setiap 3-6 bulan, terutama jika lesi tidak khas (not typical) (Chiang,

et al, 2018).

Levamisole adalah obat anthelmintik yang digunakan untuk pengobatan

infeksi cacing parasit, terutama infeksi ascariasis dan cacing tambang. Levamisole

juga dapat digunakan sebagai imunomodulator untuk mengembalikan fungsi

fagositosis makrofag dan neutrofil, untuk memodulasi aktivitas sel T helper dan

sitotoksik, untuk meningkatkan aktivitas interferon dan IL-2, dan untuk mengubah

perjalanan alami penyakit inflamasi kronis yang rekuren. Dengan demikian,

levamisole juga digunakan untuk mengobati EOLP. Dosis yang dianjurkan untuk

terapi EOLP adalah pemberian levamisole oral (50 mg, tiga kali per hari) dan

prednisolone (5 mg, tiga kali per hari) selama 3 hari berturut-turut setiap minggu

selama 4-6 minggu. Pada periode pengobatan ini, dexamethason orobase (dexaltin)
36

dapat dioleskan secara topikal 2 kali per hari. Modalitas pengobatan ini biasanya

menghasilkan peningkatan yang signifikan dari gejala dan tanda EOLP. Namun,

penggunaan levamisole tidak dianjurkan untuk wanita selama menyusui atau trimester

ketiga kehamilan. Efek samping minor dari levamisole mungkin termasuk ruam kulit,

sakit perut, mual, muntah, sakit kepala, dan pusing. Salah satu efek samping

levamisole yang lebih serius adalah agranulositosis; ini terjadi pada 0, 08% -5% dari

populasi yang diteliti (Chiang, et al, 2018).


BAB IV

PEMBAHASAN

Hubungan antara HCV dan OLP telah menjadi pusat diskusi selama periode

waktu yang lama. Laporan pertama yang menunjukkan hubungan antara penyakit hati

kronis dan OLP (varian ulseratif) diterbitkan pada tahun 1978. Prevalensi pasien yang

menderita LP dan infeksi HCV aktif kronis bervariasi dari 4,0% hingga 13,5%.

Namun, prevalensi antibodi anti-HCV pada pasien yang menderita OLP berkisar 3, 8

hingga 65%. Meskipun hubungan telah terdeteksi di seluruh dunia tetapi variasi

geografis dengan asosiasi positif yang kuat cukup jelas di negara-negara Timur, Asia

Tenggara, Amerika Selatan dan Mediterania. Ada variasi yang signifikan dalam

prevalensi HCV pada pasien yang menderita OLP, mulai dari 3, 8% di Prancis hingga

62% di Jepang. Hubungan infeksi HCV dengan OLP telah lebih disorot secara jelas di

wilayah Mediterania. Kehadiran antibodi anti-HCV dalam LP oral atau kulit bervariasi

dari 4-65% seperti penelitian yang dilakukan pada populasi Eropa Selatan dan Jepang,

sementara itu tidak ditemukan begitu umum pada pasien OLP di Belanda. Sebuah

penelitian yang dilakukan di Sao Paulo menyarankan hubungan yang signifikan antara

OLP dan HCV, dalam jurnal yang dibahas ini pun terdapat keterkaitan antara kejadian

OLP dan hepatitis C pada pasien wanita yang mana pada jurnal ini diungkapkan juga

mengenai hubungannya dengan antibodi hepatitis C.

Penyakit hati terkait-HCV dapat mendahului onset LP atau dapat didiagnosis

bersama. Rupanya, tidak ada perbedaan signifikan dalam karakteristik histopatologis

khusus untuk OLP atau dalam rasio sel T dan B di antara limfosit infiltrasi terlepas

dari ada atau tidak adanya infeksi HCV (Kirby et al., 1998; Nagao et al., 2000a).

Beberapa percobaan terkontrol telah mengkonfirmasi bahwa HCV adalah korelasi

37
38

utama penyakit hati pada pasien dengan LP (Carrozzo et al., 1996; del Olmo et al.,

2000) dan telah menyarankan bahwa HCV dapat terlibat dalam pengembangan LP,

terutama varietas oral.

Patogenesis LP terkait-HCV dapat dikaitkan dengan beberapa faktor.

Pertama, Faktor Virus. Peran genotipe HCV tertentu dalam patogenesis OLP terkait

HCV dikesampingkan oleh pengamatan bahwa LP dapat dikaitkan di seluruh dunia

dengan genotipe yang sama yang biasa ditemukan pada pasien tanpa LP (Pawlotsky

et al., 1995b; Lodi et al., 1997b), meskipun sebagian besar genotipe 1b tampaknya

terkait dengan LP, dan tampaknya tidak umum di Inggris (Harris et al., 1999). Studi

juga menunjukkan tidak ada perbedaan dalam tingkat serum atau tingkat HCV-RNA

antara pasien yang terinfeksi HCV dengan LP dan mereka yang tidak (Nagao et al.,

1996a).

Kedua, Molekul mimikri. Fitur konstan pada pasien LP dengan infeksi HCV

adalah adanya hipergammaglobulinemia poliklonal (Carrozzo et al., 1996; Lodi et al.,

1997a; Nagao et al., 1997b). Hal ini tampaknya tidak disebabkan oleh peningkatan

frekuensi autoantibodi non-organ spesifik (Carrozzo et al., 1999), walaupun antibodi

anti-epitel telah terdeteksi dengan frekuensi yang secara signifikan lebih tinggi pada

pasien dengan OLP terkait HCV dibandingkan pada mereka yang tidak Infeksi HCV

(Lodi et al., 1997a). Dalam penelitian ini, bagaimanapun 2% dari OLP-HCV + lima

pasien dengan antibodi anti-epitel beredar telah diobati dengan alpha interferon (IFN-

α) selama lebih dari 6 bulan (Lodi et al., 1997a), dan Fleishmann et al (1996) telah

menunjukkan, secara in vivo, bahwa IFN-α dosis rendah untuk jangka waktu 12 bulan

dapat menginduksi auto-antibodi anti-epidermal. Memang, sebagian besar kasus OLP-

HCV + ve tidak memiliki jenis auto-antibody (Carrozzo et al., 1999), dan signifikansi

patologisnya mungkin dapat diabaikan jika tidak ada terapi α-IFN. Untuk alasan yang
39

tidak diketahui, efek terapi α-IFN untuk infeksi HCV pada pasien dengan LP berbeda

nyata dari kasus ke kasus. α-IFN telah dilaporkan tidak memiliki pengaruh (Pawlotsky

et al., 1995a), untuk memperbaiki (Doutre et al., 1992, 1996; Strumia et al., 1993;

Hildebrand et al., 1995; Pedersen, 1998; Nagao et al., 1999), atau untuk memicu atau

memperburuk lesi LP, terutama dalam kasus dengan keterlibatan oral (Agner et al.,

1992; d'Agay-Abensour et al., 1992; Cayla et al., 1993; Protzer et al ., 1993;

Sassigneux et al., 1993; Heintges et al., 1994; Papini et al., 1994; Perreard et al., 1994;

Barreca et al., 1995; Fornaciari et al., 1995; Nunez et al. , 1995; Areias et al., 1996;

Nagao et al., 1996b; Schlesinger et al., 1997; Dalekos et al., 1998; Varela et al., 2000;

Guijarro et al., 2001). Penggunaan ajuvan ribavirin dengan α-IFN juga tampaknya

meningkatkan risiko reaksi kulit yang merugikan, sering dari jenis lichenoid

(Sookoian et al., 1999; Manjón-Haces et al., 2001), sedangkan data tentang efek apa

pun pada mukosa mulut masih kurang. Dalam setiap kasus, mimikri molekuler antara

virus dan epitop inang tidak mungkin aktif dalam LP, dan hypergammaglobulinemia

sebaiknya dikaitkan dengan cryoglobulinemia (Carrozzo et al., 1999).

Ketiga, Faktor genetik. Perbedaan dalam susunan genetika berbeda

populasi mungkin bertanggung jawab atas presentasi OLP. Sebagai contoh, interferon-

fer genetik polimorfisme dan Variasi TNF-α dapat mempengaruhi kejadian OLP

(Carrozzo et al., 2001; Bai et al., 2008). Menariknya, heterogenitas geografis dalam

prevalensi infeksi HCV mirip dengan yang diamati pada pasien OLP juga ditemukan

pada pasien dengan kelainan ekstrahepatik lain yang terkait dengan infeksi HCV,

seperti autoantibodi serum, porphyria cutanea tarda (PCT), dan limfoma (Lenzi et al.

, 1991; McColl et al., 1997; Lamoril et al., 1998). Fakta yang mengejutkan ini

menunjukkan adanya kemungkinan perbedaan genetik di antara populasi yang

berbeda. Memang, telah dilaporkan bahwa kerentanan PCT berbeda pada pasien
40

Inggris dan Italia, yang berkorelasi dengan mutasi pada gen leukosit manusia (HLA)

yang terkait gen hemokromatosis C 282Y pada mantan dan dengan gen H63D dan

HCV pada yang terakhir (Elder dan Worwood, 1998). Kebanyakan LP idiopatik

terkait di seluruh dunia dengan alel HLA-DR1 (DRB1 * 0101) (La Nasa et al., 1995),

sedangkan LP sekunder dan OLP tidak. OLP terkait HCV tampaknya dikaitkan

dengan alel HLA-DR6 di Italia (Carrozzo et al., 2001), dan ini sebagian dapat

menjelaskan heterogenitas geografis yang aneh dari hubungan antara HCV dan LP.

Keempat, infeksi langsung lesi LP (Peran Antigen HCV). Ada beberapa data

tentang pelokalan antigen HCV di LP. Dua penelitian menggunakan berbagai teknik

imunohistokimia untuk mencari antigen HCV di bagian parafin yang tertanam dalam

kulit LP, baik yang dibekukan (Sansonno et al., 1995) atau formalin-tetap (Boyd et al.,

1998), tetapi semua sampel gagal untuk mengambil noda. Namun, semua kecuali dua

sampel yang diteliti berasal dari orang yang tidak terinfeksi HCV. Sebaliknya, analisis

beberapa data menunjukkan bahwa lesi OLP mungkin mengandung HCV-RNA

genomik dan antigenomik (Arrieta et al., 2000; Nagao et al., 2000c; Carrozzo et al.,

2002), sedangkan RNA perantara HCV tidak terdeteksi di spesimen kulit LP,

meskipun HCV-RNA kadang-kadang dapat dideteksi pada kulit lesi (Mangia et al.,

1999; Erkek et al., 2001). Baik hibridisasi in situ dan teknik PCR ekstraktif

mengungkapkan keberadaan HCV-RNA antara replikasi dalam spesimen OLP

(Arrieta et al., 2000; Nagao et al., 2000c; Carrozzo et al., 2002). Menggunakan PCR

ekstraktif yang sensitif, peneliti mendeteksi untai positif dan negatif di 82.
BAB V

KESIMPULAN

Oral Lichen Planus (OLP) dianggap dikaitkan dengan berbagai kondisi

sistemik salah satunya yang termasuk infeksi hepatitis C. Virus hepatitis C (HCV)

adalah salah satu penyebab utama hepatitis kronis jika penyebabnya itu tidak diobati

dapat berkembang menjadi sirosis atau hepatoseluler karsinoma selama jangka waktu

tertentu. Oral lichen planus adalah satu-satunya gangguan ekstra-hati yang terkait

dengan infeksi HCV kronis. Jenis OLP yang sering dikaitkan dengan hepatitis C kronis

adalah tipe erosif-ulseratif, disertai dengan gejala akut.

Penyakit hati terkait-HCV dapat mendahului onset LP atau dapat didiagnosis

bersama. Rupanya, tidak ada perbedaan signifikan dalam karakteristik histopatologis

khusus untuk OLP atau dalam rasio sel T dan B di antara limfosit infiltrasi terlepas

dari ada atau tidak adanya infeksi HCV. Patogenesis LP terkait-HCV dapat dikaitkan

dengan beberapa faktor, diantaranya faktor virus, molekul mimikri, faktor genetik, dan

infeksi langsung lesi LP.

Virus hepatitis C kronis dapat mempertahankan asimtomatik untuk waktu

yang lama, tetapi pasien dapat menyajikan sejumlah manifestasi ekstrahepatik seperti

yang ada di rongga mulut. Dokter gigi memiliki peran aktif dalam mendeteksi infeksi

dengan hepatitis C. Di sisi lain, mengingat risiko, perawatan gigi pasien dengan

penyakit hati HCV kronis yang diketahui menimbulkan masalah khusus.

41
DAFTAR PUSTAKA

Chiang CP. Chang JYF. Wang YP. Wu YH. Lu SY. Sun D. 2018. Oral Lichen
Planus – Differential Diagnoses, Serum Autoantibodies, Hematinic
Deficiencies, and Management. Journal of Formosan Medical
Association. 117 (9).
Dipiro, J.T. et al., 2011. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Eighth
Edition. New York: McGraw-Hill Companies.
Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., DiPiro, C.V. & Wells, B.G., 2015.
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. New York: McGraw-Hill
Education.
Edwards PC. Kelsch R. 2002. Oral Lichen Planus: Clinical Presentation and
Management. Journal of The Canadian Dental Association. 6(8): 494-499.
Ghosn J, Pierre-Francois S, Thibault V, Duvivier C, Tubiana R, Simon A, et al. Acute
hepatitis C in HIV-infected men who have sex with men. HIV Med.
2004(5);5:303-6.
Green, C.W., 2016. Hepatitis dan virus HIV. Jakarta: Spiritia.
Gupta S. Jawanda MK. 2015. Oral Lichen Planus: An Update in Etiology,
Pathogenesis, clinical Presentatuin, Diagnosis and Management. Indian
Journal of Dermatology. 60(3): 222–229.
Ibsen O.A.C, Phelan J.A. 2004. Oral Pathology for the Dental Hygienist. Elsevier :
Philadelphia. Hal 102-104
Ion DI, Setterfield JF. 2016. Oral Lichen Planus. Primary Dental Journal. 5(1):40-
44.
Justin AU, Patel D. Campbell JH. 2013. Oral Lichen Planus. Oral and Maxillofacial
Surgery Clinics. 25(1): 93-100. Kementerian Kesehatan RI. 2017.
Panduan Singkat Tatalaksana Hepatitis C. Jakarta
Kamath VV. Setlur K. Yerlagudda. 2015. Oral Lichenoid Lesions – A Review and
Update. Indian Journal of Dermatology. 60(1):102.
Khaled S. Dantala S. 2017. Frictional Keratosis of The Tongue: A Case Report.
International Healthcare Research Journal. 1(3): 24-6.
Langlais R.P, Miller C.S, Gehrig J.N. 2009. Atlas Berwarna Lesi mulut Yang Sering
Ditemukan (Colour Atlas of Common Oral Disease). Edisi Ke-4. EGC :
Jakarta. Hal 142
Lavanya N. Jayanthi P. Rao UK. Ranganathan K. 2011. OrPal Lichen Planus: An
Update on Pahogenesis and Treatment. Journal of Oral and
Maxillofacial and Pathology. 15(2): 127–132.

42
43

Leaf Productions. 2009. Hepatitis Seluk Beluk & Penanggulangannya. Bandung:


TriExs Media
Mignogna M.D, dkk. Lichen planus pemphigoides, a possible example of epitope
spreading. Journal of Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathologic, Oral
Radiology, and Edondontology. June 2010. Vol 109 No.6 : 837-843.
Parlatescu I. Gheorge C. Coculescu E. Tovaru S. 2014. Oral Leukoplakia – An
Update. Maedica a Journal of Clinical Medicine. 9(1):88-93.
Patil S. Rao RS. Majumdar B. Anil S. 2015. Clinical Appearnce of Oral Candida
Infection and Therapeutic Strategies. Frontiers in Microbiology. 6:1391.
Scully.C. 2013. Oral and Maxillofacial Medicine (The Basis of Diagnosis and
Treatment). Edisi Ke-3. Elsevier : Philadelphia. Hal 192-200
Shirasuna, K. 2014. Oral Lichen Planus : Malignant Potential Diagnosis. Oral
Science Internasional. 11(1):1-7.
Wyld R, Robertson JR, Brettle P, Mellor J, Prescott L, Simmonds P. Absence of
hepatitis C virus transmission but frequent transmission of HIV-1 from sexual
contact with doubly-infected individuals. J Infect. 1997;35(2):163-6.

Anda mungkin juga menyukai