Secara umum usaha perikanan tangkap dapat dibedakan berdasarkan jenis alat
tangkap yang digunakan, antara lain gill net, payang, dogol, pancing tonda, dll, dimana
menangkap ikan. Salah satu jenis usaha perikanan tangkap yang lumayan banyak dilakukan
di Palabuhanratu Sukabumi adalah usaha perikanan tangkap pancing tonda. Pancing tonda
merupakan alat tangkap ikan tradisional yang bertujuan untuk menangkap ikan-ikan jenis
pelagis. Pancing tonda dikelompokan ke dalam alat tangkap pancing (Hook and Line)
(Subani dan Barus 1989). Jumlah nelayan yang diperlukan untuk pengoperasian alat tangkap
ini tergantung dari besar kecilnya kapal atau perahu yang digunakan. Untuk perahu berukuran
kecil biasanya digunakan tenaga nelayan sebanyak 4-6 orang dengan satu orang sebagai
nahkoda yang merangkap menjadi fishing master, satu orang menjadi juru mesin, 2-4 orang
ABK (Anak Buah Kapal) yang masingmasing mengoperasikan satu atau lebih pancing tonda
sekaligus (Gunarso 1989). Alat bantu pada alat tangkap ini adalah rumpon dan lampu yang
berfungsi untuk mengumpulkan (memikat) ikan agar mendatangi rumpon pada saat malam
Menurut Hermanto (1986) usaha penangkapan ikan sangat tergantung dari hasil
penangkapan ikan di laut. Adapun hasil penangkapan ikan di laut oleh suatu unit usaha
penangkapan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Hasil tangkapan sangat dipengaruhi antara
lain oleh (1) tersedianya populasi ikan di suatu daerah penangkapan (fishing area), (2)
keadaan cuaca, (3) posisi bulan terhadap bumi, dan (4) efektifitas alat tangkap yang
digunakan.
Menurut Taryoto dkk (1993) usaha penangkapan di Indonesia memiliki ciri armada
penangkapan yang sederhana, kesederhanaan ini dapat dilihat dari ukuran perahu atau kapal,
ukuran motor maupun alat tangkap yang digunakan. Kondisi demikian mengakibatkan sangat
sulit untuk memperoleh hasil tangkapan yang memadai untuk menopang kehidupan sehari-
hari bagi nelayan. Nelayan sendiri merupakan kelompok yang memiliki pendapatan paling
rendah dibandingkan dengan kelompok lain belum dapat dihapuskan dari pikiran sebagian
masyarakat.
Berbeda dengan pola usaha yang lain, pendapatan dari usaha yang dilakukan oleh
nelayan cenderung tidak teratur. Nelayan dalam menjalankan usahanya tidak pernah
mempunyai gambaran tentang besarnya pendapatan yang akan diperoleh (Nadjib 2000).
Usaha penangkapan ikan bagi nelayan merupakan seni berburu yang sulit diperkirakan
hasilnya. Pada suatu saat, nelayan mempunyai pendapatan besar tetapi pada saat yang lain
dapat mengalami kerugian dari penggunaan biaya operasi, resiko kehilangan perahu atau
jaring pada waktu penangkapan ikan adalah sangat mungkin. Nelayan perlu melakukan
berbagai macam inovasi dan diversifikasi usaha perikanan tangkap (Kusnadi 2000).
Usaha penangkapan ikan yang dilakukan nelayan sangat terkait dengan penggunaan
biaya operasi penangkapan yang meliputi bahan bakar, perbekalan nelayan serta es apabila
dibutuhkan. Biaya operasi merupakan biaya tetap yang dikeluarkan oleh nelayan, walaupun
nelayan tidak dapat memastikan perolehan hasil tangkapan yang akan diterima pada saat itu
nelayan Palabuhanratu serta hasil tangkapan yang tidak menentu menyebabkan nelayan
berorientasi untuk melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan agar hasil tangkapan optimal.
Biaya atau ongkos produksi adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan
produksi. Ongkos produksi dalam usaha nelayan terdiri dari dua kategori, yaitu ongkos
berupa pengeluaran nyata (actual cost) dan ongkos yang tidak merupakan pengeluarannyata
(inputed cost). Pengeluaran-pengeluaran nyata yang dikeluarkan ada yang kontan dan ada
yang tidak kontan. Pengeluaran-pengeluaran kontan adalah bahan bakar, oli, es, pengeluaran
untuk makan, untuk reparasi kapal, dan untuk biaya lain. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak
kontan adalah upah/gaji awak nelayan pekerjaan yang umumnya bersifat bagi hasil dan
dibayar sesudah hasil dijual. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak nyata ialah penyusutan dari
perahu, mesin dan alat penangkap. Salah satu strategi dalam menganalisis ketidakpastian
usaha dengan pola bagi hasil antara nelayan buruh dan pemilik berikut ini adalah analisis bagi
hasil tersebut.
Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1964 tentang sistem Bagi Hasil Perikanan,
yang dimaksud dengan hasil bersih bagi perikanan laut adalah hasil ikan yang diperoleh dari
penangkapan yang setelah diambil dari sebagian untuk para nelayan penggarap, menurut
kebiasan nelayan setempat, dikurangi dengan beban yang menjadi tanggungan bersama dari
Usaha penangkapan ikan, sebagian besar nelayan tidak memiliki alat penangkapan
ikan sendiri karena keterbatasan modal. Usaha untuk mengatasi keterbatasan modal adalah
dengan mengadakan kerjasama dengan pemilik peralatan melalui cara ikatan tertentu yang
tercermin dalam sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil akan terjadi saling ketergantungan antara
golongan nelayan pandega dengan juragan sebagai pemilik alat tangkap (Manadiyanto dkk
1988).
adalah cukup besar. Namun perjalanan panjang Undang-Undang tersebut mungkin kurang
sesuai lagi dengan keadaan di lapangan, yang telah menjalani perubahan yang cukup pesat
2.2 Nelayan
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Menurut Satria
(2002), berdasarkan penguasaan kapital nelayan dibedakan menjadi nelayan pemilik dan
nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang memiliki sarana penangkapan ikan,
seperti kapal atau perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah orang yang
menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau
atas nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik adalah orang atau badan
hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas kapal/perahu yang diperlukan dalam usaha
penangkapan ikan dilaut. Nelayan pekerja (buruh) yaitu semua orang yang sebagai satu
kesatuan menyediakan tenaga kerjanya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut baik
sebagai nahkoda/pandega maupun sebagai pengoprasian alat tangkap (Mubagio 1994 diacu
1) Juragan darat, yaitu orang yang mempunyai perahu dan alat penangkap ikan tetapi tidak
ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil
penangkapan yang diusahakan orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung seluruh
2) Juragan laut, yaitu orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap tetapi bertanggung
3) Juragan darat laut, yaitu orang yang memiliki perahu dan alat tagkap ikan dan dia ikut
dalam operasi penangkapan. Juragan darat laut menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi
4) Buruh/pandega, yaitu orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya berfungsi
sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi hasil dari hasil tangkapan dan jarang
5) Anggota kelompok, yaitu orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan secara
berkelompok. Perahu yang diusahakan adalah perahu yang diberi modal yang dikumpulkan
Kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan sangat
rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran karena limbah industri maupun
tumpahan minyak, dapat mempengaruhi usaha baik di bidang perikanan tangkap mau pun
budidaya yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir (Dahuri
2000).