Anda di halaman 1dari 5

Tinjauan Pustaka

2.1 Perikanan Tangkap

Secara umum usaha perikanan tangkap dapat dibedakan berdasarkan jenis alat

tangkap yang digunakan, antara lain gill net, payang, dogol, pancing tonda, dll, dimana

masing-masing alat tersebut mempunyai perbedaan dalam cara pengoperasiannya dalam

menangkap ikan. Salah satu jenis usaha perikanan tangkap yang lumayan banyak dilakukan

di Palabuhanratu Sukabumi adalah usaha perikanan tangkap pancing tonda. Pancing tonda

merupakan alat tangkap ikan tradisional yang bertujuan untuk menangkap ikan-ikan jenis

pelagis. Pancing tonda dikelompokan ke dalam alat tangkap pancing (Hook and Line)

(Subani dan Barus 1989). Jumlah nelayan yang diperlukan untuk pengoperasian alat tangkap

ini tergantung dari besar kecilnya kapal atau perahu yang digunakan. Untuk perahu berukuran

kecil biasanya digunakan tenaga nelayan sebanyak 4-6 orang dengan satu orang sebagai

nahkoda yang merangkap menjadi fishing master, satu orang menjadi juru mesin, 2-4 orang

ABK (Anak Buah Kapal) yang masingmasing mengoperasikan satu atau lebih pancing tonda

sekaligus (Gunarso 1989). Alat bantu pada alat tangkap ini adalah rumpon dan lampu yang

berfungsi untuk mengumpulkan (memikat) ikan agar mendatangi rumpon pada saat malam

hari (Gunarso 1989).

Menurut Hermanto (1986) usaha penangkapan ikan sangat tergantung dari hasil

penangkapan ikan di laut. Adapun hasil penangkapan ikan di laut oleh suatu unit usaha

penangkapan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Hasil tangkapan sangat dipengaruhi antara

lain oleh (1) tersedianya populasi ikan di suatu daerah penangkapan (fishing area), (2)

keadaan cuaca, (3) posisi bulan terhadap bumi, dan (4) efektifitas alat tangkap yang

digunakan.
Menurut Taryoto dkk (1993) usaha penangkapan di Indonesia memiliki ciri armada

penangkapan yang sederhana, kesederhanaan ini dapat dilihat dari ukuran perahu atau kapal,

ukuran motor maupun alat tangkap yang digunakan. Kondisi demikian mengakibatkan sangat

sulit untuk memperoleh hasil tangkapan yang memadai untuk menopang kehidupan sehari-

hari bagi nelayan. Nelayan sendiri merupakan kelompok yang memiliki pendapatan paling

rendah dibandingkan dengan kelompok lain belum dapat dihapuskan dari pikiran sebagian

masyarakat.

2.1.1 Pola Usaha Perikanan Tangkap

Berbeda dengan pola usaha yang lain, pendapatan dari usaha yang dilakukan oleh

nelayan cenderung tidak teratur. Nelayan dalam menjalankan usahanya tidak pernah

mempunyai gambaran tentang besarnya pendapatan yang akan diperoleh (Nadjib 2000).

Usaha penangkapan ikan bagi nelayan merupakan seni berburu yang sulit diperkirakan

hasilnya. Pada suatu saat, nelayan mempunyai pendapatan besar tetapi pada saat yang lain

nelayan tidak berpenghasilan sama sekali.

Usaha penangkapan ikan mempunyai tingkat ketidakpastian yang tinggi. Nelayan

dapat mengalami kerugian dari penggunaan biaya operasi, resiko kehilangan perahu atau

jaring pada waktu penangkapan ikan adalah sangat mungkin. Nelayan perlu melakukan

berbagai macam inovasi dan diversifikasi usaha perikanan tangkap (Kusnadi 2000).

Usaha penangkapan ikan yang dilakukan nelayan sangat terkait dengan penggunaan

biaya operasi penangkapan yang meliputi bahan bakar, perbekalan nelayan serta es apabila

dibutuhkan. Biaya operasi merupakan biaya tetap yang dikeluarkan oleh nelayan, walaupun

nelayan tidak dapat memastikan perolehan hasil tangkapan yang akan diterima pada saat itu

sebagai pengembalian modal usaha penangkapan ikan untuk hari esok.


Penggunaan biaya operasi sebagai biaya tetap dalam kegiatan penangkapan ikan oleh

nelayan Palabuhanratu serta hasil tangkapan yang tidak menentu menyebabkan nelayan

berorientasi untuk melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan agar hasil tangkapan optimal.

Biaya atau ongkos produksi adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan

produksi. Ongkos produksi dalam usaha nelayan terdiri dari dua kategori, yaitu ongkos

berupa pengeluaran nyata (actual cost) dan ongkos yang tidak merupakan pengeluarannyata

(inputed cost). Pengeluaran-pengeluaran nyata yang dikeluarkan ada yang kontan dan ada

yang tidak kontan. Pengeluaran-pengeluaran kontan adalah bahan bakar, oli, es, pengeluaran

untuk makan, untuk reparasi kapal, dan untuk biaya lain. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak

kontan adalah upah/gaji awak nelayan pekerjaan yang umumnya bersifat bagi hasil dan

dibayar sesudah hasil dijual. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak nyata ialah penyusutan dari

perahu, mesin dan alat penangkap. Salah satu strategi dalam menganalisis ketidakpastian

usaha dengan pola bagi hasil antara nelayan buruh dan pemilik berikut ini adalah analisis bagi

hasil tersebut.

2.1.2Sistem Bagi Hasil

Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1964 tentang sistem Bagi Hasil Perikanan,

yang dimaksud dengan hasil bersih bagi perikanan laut adalah hasil ikan yang diperoleh dari

penangkapan yang setelah diambil dari sebagian untuk para nelayan penggarap, menurut

kebiasan nelayan setempat, dikurangi dengan beban yang menjadi tanggungan bersama dari

nelayan pemilik dan nelayan penggarap

Usaha penangkapan ikan, sebagian besar nelayan tidak memiliki alat penangkapan

ikan sendiri karena keterbatasan modal. Usaha untuk mengatasi keterbatasan modal adalah

dengan mengadakan kerjasama dengan pemilik peralatan melalui cara ikatan tertentu yang

tercermin dalam sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil akan terjadi saling ketergantungan antara
golongan nelayan pandega dengan juragan sebagai pemilik alat tangkap (Manadiyanto dkk

1988).

Menurut Manadiyanto dkk (1988) adanya Undang-Undang Sistem Bagi Hasil

merupakan bukti bahwa perhatian pemerintah terhadap masalah pemerataan pendapatan

adalah cukup besar. Namun perjalanan panjang Undang-Undang tersebut mungkin kurang

sesuai lagi dengan keadaan di lapangan, yang telah menjalani perubahan yang cukup pesat

selama kurun waktu 1964-1999.

2.2 Nelayan

Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1, Nelayan

adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Menurut Satria

(2002), berdasarkan penguasaan kapital nelayan dibedakan menjadi nelayan pemilik dan

nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang memiliki sarana penangkapan ikan,

seperti kapal atau perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah orang yang

menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau

sekarang lebih dikenal dengan Anak Buah Kapal (ABK).

Menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1985 tentang perikanan, nelayan dibedakan

atas nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik adalah orang atau badan

hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas kapal/perahu yang diperlukan dalam usaha

penangkapan ikan dilaut. Nelayan pekerja (buruh) yaitu semua orang yang sebagai satu

kesatuan menyediakan tenaga kerjanya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut baik

sebagai nahkoda/pandega maupun sebagai pengoprasian alat tangkap (Mubagio 1994 diacu

dalam Firman 1996).


Secara umum berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha penangkapan ikan maka

nelayan dapat dibagi atas lima kelompok yaitu:

1) Juragan darat, yaitu orang yang mempunyai perahu dan alat penangkap ikan tetapi tidak

ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil

penangkapan yang diusahakan orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung seluruh

biaya operasi penangkapan.

2) Juragan laut, yaitu orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap tetapi bertanggung

jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut.

3) Juragan darat laut, yaitu orang yang memiliki perahu dan alat tagkap ikan dan dia ikut

dalam operasi penangkapan. Juragan darat laut menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi

hasil sebagai unit penangkapan.

4) Buruh/pandega, yaitu orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya berfungsi

sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi hasil dari hasil tangkapan dan jarang

diberi upah harian.

5) Anggota kelompok, yaitu orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan secara

berkelompok. Perahu yang diusahakan adalah perahu yang diberi modal yang dikumpulkan

oleh tiap anggota kelompok (Hermanto 1986).

Kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan sangat

rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran karena limbah industri maupun

tumpahan minyak, dapat mempengaruhi usaha baik di bidang perikanan tangkap mau pun

budidaya yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir (Dahuri

2000).

Anda mungkin juga menyukai