Anda di halaman 1dari 8

SEMINAR MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2017

T - 26

ANALISIS EMPIRICAL ORTHOGONAL FUNCTION (EOF) DAN


TRANSFORMASI FOURIER PADA SINYAL CURAH HUJAN
INDONESIA
Pandu Septiawan1, Sri Nurdiati2, Ardhasena Sopaheluwakan3.
Institut Pertanian Bogor1
Institut Pertanian Bogor2
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika3
Septiawan.pandu@gmail.com

Abstrak—Curah hujan merupakan parameter atmosfer yang sulit diprediksi karena


memiliki keragaman yang tinggi baik secara spasial dan temporal. Tujuan penelitian
ini adalah menganalisis frekuensi sinyal curah hujan enam bulanan dan pola curah
hujan harian Indonesia secara spasial dan temporal untuk mendapatkan variasi
diurnal. Analisis transformasi Fourier digunakan untuk mengetahui pengaruh sinyal
curah hujan enam bulan terhadap curah hujan Indonesia pada data TRMM 3B43.
Hasil analisis menunjukkan wilayah Indonesia yang terbagi menjadi tiga tipe hujan
memiliki kekuatan sinyal curah hujan enam bulanan yang berbeda-beda dengan
urutan kekuatan sinyal berturut-turut monsoonal, ekuatorial, kemudian lokal. Analisis
EOF berbasis dekomposisi nilai singular digunakan untuk mereduksi data TRMM
3B42 dan mendapatkan pola-pola dominan secara spasial dan temporal. Hasil analisis
pada tiga pola dominan utama dari 2920 pola menunjukkan pola dominan pertama
didominasi oleh pola hujan enam bulanan, sedangkan variasi diurnal diperoleh pada
pola dominan kedua dan ketiga.

Kata kunci: curah hujan TRMM 3B42, curah hujan TRMM 3B43, dekomposisi
nilai singular, empirical orthogonal function (EOF), transformasi Fourier.

I. PENDAHULUAN

Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit diprediksi karena mempunyai
keragaman tinggi baik secara spasial maupun temporal. Demikian halnya dengan curah hujan di wilayah
maritim tropis seperti Indonesia. Sebagai negara kepulauan, seperti pada [1] Indonesia memiliki tiga pola
hujan, yaitu: monsoonal, ekuatorial, dan lokal. Setiap pola curah hujan tersebut memiliki karakteristik dan
penyebab masing-masing. Pola yang paling mendominasi adalah pola monsoonal yaitu pola periode hujan
dua belas bulanan yang terdiri atas satu kali musim hujan dan satu kali musim kemarau. Pola ekuatorial ini
dipengaruhi oleh gerak revolusi bumi mengelilingi matahari dan pengaruh zona konvergensi terhadap
hujan (inter tropical convergenze zone). Pola hujan lokal adalah pola hujan yang disebabkan oleh topografi
dan keadaan lingkungan suatu daerah. Indonesia mempunyai garis pantai yang panjang dan wilayah
berpegunungan, sehingga memengaruhi arus udara, perubahan cuaca, iklim, dan hujan. Dalam penelitian
ini, kita dapat mengetahui pengaruh dari pola-pola tersebut dalam memengaruhi periode musim hujan di
Indonesia.
Selain itu, Indonesia mempunyai variasi suhu yang kecil, sementara variasi curah hujan yang besar. Hal
ini disebabkan karena curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah
variasi diurnal. Variasi diurnal merupakan sinyal berskala harian yang memengaruhi siklus curah hujan
harian di Indonesian. Variasi diurnal disebabkan oleh dua hal, yaitu adanya lautan dan daratan, dan ukuran
pulau dan topografi dari pulau yang sesuai. Akan tetapi variasi diurnal ini sinyalnya sangat kecil jika
dibandingkan dengan sinyal-sinyal lain yang memengaruhi curah hujan seperti pada periode yang lebih
panjang dan skala yang lebih besar, sehingga perlu analisis tertentu agar dapat melihat sinyal diurnal
tersebut.
Tujuan pertama yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah menganalisis frekuensi sinyal curah hujan
6 bulanan wilayah Indonesia dan kontribusi sinyalnya terhadap keseluruhan sinyal yang memengaruhi

PT-179
ISBN. 978-602-73403-2-9 (Cetak) 978-602-73403-3-6 (On-line)

curah hujan di Indonesia. Selanjutnya adalah menganalisis pola curah hujan Indonesia secara spasial dan
temporal yang kemudian dianalisis variasi diurnal yang kemudian memengaruhi curah hujan harian di
Indonesia. Manfaat Penelitian ini adalah memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat Indonesia
yang didasarkan pada data aktual curah hujan Indonesia tentang periode hujan dan pola-pola hujan yang
memengaruhi curah hujan di Indonesia. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk membuat prediksi terhadap
curah hujan menjadi lebih akurat.

II. METODE PENELITIAN

Metode yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu metode transformasi Fourier dan empirical
orthogonal function (EOF) berbasis Singular Value Decomposition (SVD) terhadap data curah hujan.

A. Transformasi Fourier
Metode transformasi Fourier digunakan untuk mengubah sinyal dari domain waktu menjadi sinyal
dengan domain frekuensi. Transformasi Fourier didefinisikan [2] sebagai


 = −∞  − 2   (1)

 =     (2)
di mana
f(x) = fungsi dalam domain waktu, v = frekuensi.
e^(-i2πvx)= fungsi kernel, x = waktu.
F(v) = fungsi dalam domain frekuensi,
Metode ini digunakan untuk memperoleh sinyal sinyal dominan terkait periode hujan pada data curah
hujan wilayah Indonesia.

B. Fast Fourier Transform


Discrete Fourier transform (DFT) merupakan alat praktis yang penting karena ada algoritme yag
efisien untuk menghitungnya. Salah satunya adalah algoritme yang paling popular yaitu fast Fourier
transform (FFT). Perhitungan langsung pada DFT pada umumnya membutuhkan N perkalian dan N-1
penjumlahan untuk setiap N elemen dari F. Jika f bilangan kompleks, setiap perkalian masig-masing
terhadap diri sendiri membutuhkan empat perkalian real dan dua penjumlahan real:
(a+ib)(c+id)=(ac-bd)+i(bc+ad).
Setiap N – 1 penjumlahan bilangan kompleks membutuhkan dua penjumlahan bilangan real:
(a+ib)+(c+id)=(a+c)+i(b+d).
Total operasi yang diperlukan adalah 4N2 perkalian bilangan real dan 4N2 - 2N penjumlahan bilangan
real. Pada pemrosesan digital, penjumlahan-perkalian dilakukan dalam satu operasi tanpa harus membuat
jalur terpisah antara penjumlahan dan perkalian, sehingga membutuhkan 4N2 operasi bilangan real. Jika f
bilangan real, membutuhkan 2N2 operasi bilangan real. Karena F merupakan matriks Hermitian, akan
mengurangi setengah jumlah operasi, sehingga perhitungan langsung DFT membutuhkan N2 operasi.
Perhitungan tersebut akan menimbulkan galat O(N2).
Pada Algoritme FFT, galat yang ditimbulkan adalah O(Nlog2N) ketika N adalah nilai pangkat dari
2. Meskipun dalam transformasi kecil, contohnya N = 32, perbedaannya adalah 170 FFT operasi dengan
1024 DFT. Ketika N = 512, perbedaannya sangat besar yaitu 4600 FFT dengan 256000 DFT

C. Metode EOF berbasis SVD


Metode EOF berbasis SVD digunakan untuk mereduksi matriks data ke dalam program komputer
menggunakan software MATLAB. Misalkan X sebarang matriks berukuran n × p dengan rank(X) = r.
Singular value decomposition (SVD) atau dekomposisi nilai singular dari X adalah faktorisasi dalam
bentuk:
X = U∑VT (3)

PT-180
SEMINAR MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2017

dengan  = [ ,  , … ,  ] dan = [ ,  , … ,  ] merupakan matriks ortogonal. Matriks U


$ 0
berukuran ! × ! , berukuran " × " , dan ∑ = # & adalah matriks berukuran n × p dengan $ =
0 0
diag($ 1, $ 2, … , $ n) dan $ 1 ≥ $ 2 ≥, … ≥ $ n ≥ 0. Dimana $ merupakan nilai singular dari matriks X, U
dan V masing–masing merupakan vektor singular kiri dan vektor singular kanan dari matriks X. Oleh
karena itu, dapat dituliskan seperti pada [3] sebagai:
$ 0
+!×" = !×! # & ,
!×" (4)
0 0 !×"
Analisis EOF bertujuan untuk mentransformasikan p peubah asal yang saling berkorelasi menjadi k
buah komponen ortogonal (tidak berkorelasi) seperti pada [4]. Misalkan X matriks berukuran n × p yang
mengandung dataset dengan n banyaknya peubah atau variabel dan p waktu. SVD dari X dengan rank(X) =
r adalah faktorisasi seperti pada persamaan (4) sehingga diperoleh:
+ = ∑01  $  . . (5)
Matriks V dari persamaan (4) adalah matriks EOF atau koefisien vektor dan U∑ adalah matriks skor
EOF atau komponen utama. Skor komponen utama dapat dituliskan
2 =  $ , = 1,2, … , 4. (6)
Varian dari i komponen utama ,i=1,2,…,r adalah
$2
5 = (7)
∑ =1 $2
4

dengan ,i=1,2,…,r merupakan nilai singular dari matriks X. Dalam prakteknya, k mode EOF1 atau
komponen utama pertama dengan k≪r menjelaskan proporsi varian terbesar. Mode EOF2 merupakan
kombinasi linear dari seluruh variabel yang diamati yang bersifat ortogonal terhadap mode EOF1 dan
memiliki varian terbesar kedua dan seterusnya. Oleh karena itu, mode EOF ke-k memiliki varian
maksimum ke-k dan tidak berkorelasi dengan mode EOF sebelumnya.

D. Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan tropical rainfall measuring mission
(TRMM) 3B42 yang diambil setiap 3 jam tahun 1999 dan data TRMM 3B43 yang diambil setiap bulan
tahun 1998-2015. Data ini merupakan data global bulanan selama memiliki resolusi spasial 0.250 x 0.250
dan resolusi temporal bulanan. Data TRMM 3B42 dan 3B43 ini disponsori oleh NASA (National
Aeronautics and Space Administration) dan JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency). Data ini
berupa data digital compressed dengan format binary (bin) dan HDF. Reduksi data dan transformasi data
dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan domain wilayah Indonesia.

E. Langkah Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian ini terdiri atas beberapa tahap. Tahap pertama adalah
menyiapkan alat uji coba untuk menyusun suatu program menggunakan bahasa pemrograman MATLAB.
Tahap kedua adalah mendeskripsikan dan mengektraksikan masing-masing data curah hujan TRMM 3B42
dan 3B43 yang dibentuk dalam suatu matriks X menggunakan fungsi-fungsi yang tersedia dalam software
MATLAB. Tahap ketiga adalah menganalisis data TRMM 3B43 menggunakan metode transformasi
Fourier. Pada tahap berikutnya hasil transformasi tersebut akan dianalisis untuk melihat sinyal curah hujan
enam bulanan di Indonesia. Adapun tahap kelima adalah menganalisis EOF terhadap data curah hujan
3B42 di Indonesia menggunakan teknik SVD. Pada tahap analisis ini diuraikan teknik reduksi
menggunakan metode EOF. Langkah terakhir adalah dengan menganalisis variasi diurnal yang terdapat
pada data yang telah direduksi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Eksplorasi Data
Data yang diperoleh dari data TRMM 3B42 dan TRMM 3B43 merupakan data global untuk seluruh
dunia. Oleh karena itu, perlu dilakukan ekstrasi data atau pemotongan data pada wilayah cakupan
Indonesia untuk menganalisis data yang akan digunakan dalam penelitian. Eksplorasi data diawali dengan
menyajikan pola data yang tersedia dalam bentuk visual berdasarkan grid data global. Ukuran grid data
dengan koordinat tersebut yaitu 400 × 1440 untuk data TRMM 3B42 dan 480 × 1440 untuk data TRM

PT-181
ISBN. 978-602-73403-2-9 (Cetak) 978-602-73403-3-6 (On-line)

3B43. Selanjutnya dilakukan proses pemotongan data sesuai dengan domain wilayah Indonesia 60 LU–110
LS dan 950 BT–1410 BT, sehingga untuk setiap satu bulan diperoleh matriks data berukuran 119 × 236
untuk data TRMM 3B43 dan matriks data berukuran 73 × 201 untuk data TRMM 3B42.

B. Analisis Transformasi Fourier


Matriks data X yang kita peroleh dari dasil ekstraksi data merupakan matriks yang berorientasi dengan
ruang dan waktu, dengan baris dan kolom menyatakan suatu posisi dari lokasi pengambilan data. Data
tersebut kemudian diolah menggunakan transformasi Fourier untuk mendapatkan informasi kemungkinan
potensi periode hujan enam bulanan di wilayah Indonesia. Periode hujan tersebut dianalisis menggunakan
dua parameter, yaitu: perbandingan periode hujan enam bulanan dengan luas keseluruan sinyal dan
perbandingan periode hujan enam bulanan dengan periode dua belas bulanan.
1. Daerah tipe monsoonal

GAMBAR 1 GRAFIK PERIODE CURAH HUJAN DI DAERAH MONSOON

Pada daerah monsoonal nilai maksimum global dari hasil FFT berada pada periode 11,9444 bulan atau
mendekati dua belas bulan. Terdapat beberapa nilai maksimum grafik salah satunya periode enam bulan,
namun memiliki nilai sinyal yang jauh di bawah dari power pada periode 11,9444 bulan. Hal ini
menunjukkan bahwa pada daerah monsoonal periode curah hujan yang dominan adalah periode 12 bulan,
sedangkan periode yang lain tidak terlalu berpengaruh pada periode hujan di daerah tersebut. Analisis
lengkap hasil terhadap paramater yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar potensi periode enam
bulan pada beberapa daerah monsoonal adalah di tunjukan pada TABEL 1 dan TABEL 2. Pada TABEL 2
diperoleh bahwa perbandingan kontribusi sinyal 6 bulan sangat kecil jika dibandingkan dengan sinyal 12
bulan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sinyal 6 bulan sangat didominasi oleh sinyal 12 bulan

TABEL 1 PENGARUH SINYAL 6 BULAN TERHADAP TABEL 2 PENGARUH SINYAL 6 BULAN TERHADAP
LUAS KESELURUHAN (RIEMANN) SINYAL DI SINYAL 12 BULAN DI DAERAH MONSOON
DAERAH MONSOON
Provinsi Pengaruh periode 6 bulan
Provinsi Pengaruh periode 6 bulan
Banten 0.0139
Banten 0.0332
Jawa Barat 0.0714
Jawa Barat 0.0072
Jawa Tengah 0.0280
Jawa Tengah 0.0145
Nusa Tenggara Timur 0.0008
Nusa Tenggara Timur 0.0002
Lampung 0.0263
Lampung 0.0087

PT-182
SEMINAR MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2017

2. Daerah tipe ekuatorial

GAMBAR 2 GRAFIK PERIODE CURAH HUJAN DI DAERAH EKUATORIAL

Pada daerah ekuatorial nilai maksimum global berada pada periode 11,9444 bulan atau mendekati dua
belas bulan, akan tetapi pada periode enam bulan memiliki nilai yang mendekati nilai ketika periode dua
belas bulan. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah tipe ekuatorial terdapat dua periode hujan yang
dominan yaitu periode enam bulan dan dua belas bulan. Hasil lengkap analisis terhadap paramater yang
digunakan sebagai berikut:

TABEL 3 PENGARUH SINYAL 6 BULAN TABEL 4 PENGARUH SINYAL 6 BULAN TERHADAP


TERHADAP LUAS KESELURUHAN SINYAL 12 BULAN DI DAERAH EKUATORIAL
(RIEMANN) DI DAERAH EKUATORIAL
Provinsi Pengaruh periode 6
Provinsi Pengaruh periode 6 bulan
bulan Aceh 0.7233
Aceh 0.1442 Riau 0.6761
Riau 0.0529 Kalimantan Barat 0.9691
Kalimantan Barat 0.0839 Kalimantan Timur 0.4120
Kalimantan Timur 0.0243 Sulawesi Tengah 0.8528
Sulawesi Tengah 0.0771

Dari Tabel 4 diperoleh bahwa perbandingan kontribusi sinyal 6 bulan cukup besar jika dibandingkan
dengan sinyal 12 bulan, akan tetapi tidak lebih besar dari sinyal 12 bulan. Oleh karena itu, pada daerah
denga tipe hujan ekuatorial memiliki 2 sinyal hujan yaitu sinyal 6 bulan dan 12 bulan, dengan sinyal 12
bulan lebih mendominasi sinyal 6 bulan.
3. Daerah tipe ekuatorial

GAMBAR 3 GRAFIK PERIODE CURAH HUJAN DI DAERAH LOKAL.

Pada daerah dengan tipe lokal memiliki nilai maksimum global terdapat pada periode 5,972 bulan atau
mendekati enam bulan. Selain itu terdapat beberapa nilai yang mendekati nilai maksimum grafik. Hal ini
menunjukkan bahwa pada daerah dengan tipe lokal curah hujannya lebih dipengaruhi oleh kondisi dari
lingkungannya, sehingga terdapat beberapa pola curah hujan yang dominan pada daerah-daerah tersebut.
Hasil lengkap analisis terhadap parameter disajikan pada tabel berikut:

TABEL 5 PENGARUH SINYAL 6 BULAN TABEL 6 PENGARUH SINYAL 6 BULAN TERHADAP


TERHADAP LUAS KESELURUHAN (RIEMANN) DI SINYAL 12 BULAN
DAERAH LOKAL
Provinsi Pengaruh periode 6 bulan
Provinsi Pengaruh periode 6 bulan
Maluku 1.4285
Maluku 0.0100
Papua Barat 1.2162
Papua Barat 0.0056
PT-183
ISBN. 978-602-73403-2-9 (Cetak) 978-602-73403-3-6 (On-line)

Berdasarkan Tabel 6 diperoleh bahwa perbandingan kontribusi sinyal 6 bulan lebih besar dari sinyal 12
bulan, akan tetapi tidak lebih besar dari sinyal 12 bulan. Oleh karena itu, pada daerah denga tipe hujan
lokal pola curah hujan yang dominan adalah sinyal 6 bulan, dengan 3 bulan musim hujan dan 3 bulan
musim kemarau.

C. Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF)


Metode EOF merupakan metode yang digunakan untuk mencari pola-pola dominan pada suatu data
yang berevolusi pada pola ruang dan waktu. Metode EOF yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode EOF berbasis SVD untuk memperoleh pola dominan terhadap ruang dan waktu matriks data curah
hujan setiap 3 jam. Mode EOF yang diperoleh merupakan nilai yang menunjukkan ukuran kontribusi dari
setiap komponen utama terhadap masing-masing pengamatan. Nilai mode EOF tersebut dapat berupa
bilangan positif maupun negatif. Semakin besar nilai dari mode EOF, semakin besar pula kontribusi dari
komponen tersebut terhadap pengamatan. Dalam penelitian ini nilai mode EOF diperoleh dari nilai
perkalian matriks U dan Σ dari hasil SVD dari matriks data. Vektor singular mendeskripsikan hubungan
dari daerah-daerah yang memiliki curah hujan di atas rata-rata. Daerah dengan nilai unsur vektor positif
menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki curah hujan di atas rata-rata, sedangkan nilai negatif
menunjukkan curah hujan di bawah rata-rata. Hasil analisis menghasilkan 2920 mode EOF dari matriks
data.
Pada penelitian ini hanya akan dianalisis 3 mode EOF dominan sehingga akan menunjukkan pola-pola
dengan kontribusi yang paling besar terhadap curah hujan harian di Indonesia. Analisis dilakukuan
terhadap pola spasial dan temporal. Pola spasial merupakan hasil visualisasi dari skor komponen utama
dari masing-masing mode EOF, sedangkan pola temporal dalam penelitian ini diolah lagi menggunakan
metode FFT agar menunjukkan periode hujan terdapat pada mode EOF dominan.

GAMBAR 4 POLA SPASIAL & TEMPORAL (PERIODE HARI/SIKLUS) CURAH HUJAN


INDONESIA MODE EOF 1.
Hasil pengamatan pada pengamatan mode 1 yang ditunjukkan oleh GAMBAR 4 diperoleh bahwa
sinyal yang sangat dominan adalah sinyal curah hujan dengan periode temporal(waktu) yang mendekati 6
bulanan dan dengan pola spasial yang menunjukkan banyak hujan di wilayah sekitar perairan pasifik, hal
ini menunjukkan bahwa sinyal tersebut dipengaruhi oleh sinyal cincin api samudra pasifik. Analisis
terhadap mode 1 tidak dilakukan lebih lanjut. Hal ini disebabkan oleh sinyal cincin api pasifik memiliki
kontribusi yang sangat tinggi, sehingga menyebabkan variasi diurnal pada sinyal harian tidak berpengaruh.

GAMBAR 5 POLA SPASIAL & TEMPORAL (PERIODE 0 – 7 HARI/SIKLUS) CURAH HUJAN


INDONESIA MODE EOF 2.
Mode EOF 2 pada GAMBAR 5 menunjukkan bahwa setiap wilayah darat di Indonesia memiliki curah
hujan yang tinggi dalam 1 pola dominan yang sama. Curah hujan pada mode ke 2 pada data yang telah
dinormalisasi berkisar antara -20 sampai 30. Sebaliknya, curah hujan yang di bawah rata-rata terjadi di
setiap perairan di Indonesia. Pola temporal pada mode 2 diamati pada skala sumbu mendatar antara 0
sampai 7 untuk menganalisis variasi diurnal yang muncul. Diperoleh bahwa terdapat kontribusi variasi
diurnal pada mode 2 yang ditunjukkan oleh periode hujan 1 hari yang menyebabkan hujan diseluruh

PT-184
SEMINAR MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2017

daratan Indonesia pada waktu yang sama menurut zona waktu masing-masing daerah meskipun
kontribusinya cukup kecil dalam keseluruhan sinyal.
GAMBAR 6 menunjukkan pola spasial mode ke 3 EOF. Curah hujan mode ke 3 pada data yang telah
dinormalisasi berkisar antara -20 sampai 30. Pola spasial mode ke 3 menunjukkan bahwa setiap wilayah
perairan di Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi dalam 1 pola dominan yang sama. Hal ini
berkebalikan dengan pola pada mode EOF 2. Selanjutnya, Pola temporal pada mode 3 diamati pada skala
sumbu mendatar antara 0 sampai 7 untuk menganalisis variasi diurnal yang muncul. Dapat diperoleh
bahwa terdapat kontribusi variasi diurnal pada mode 3 yang ditunjukkan oleh periode hujan 1 hari yang
terjadi pada lautan Indonesia pada waktu yang sama menurut zona waktu masing-masing daerah meskipun
kontribusinya cukup kecil dalam keseluruhan sinyal.

GAMBAR 6 POLA SPASIAL & TEMPORAL (PERIODE 0 – 7 HARI/SIKLUS) CURAH HUJAN


INDONESIA MODE EOF 3.

IV. SIMPULAN DAN SARAN


Analisis FFT pada data TRMM 3B43 menghasilkan sinyal curah hujan 6 bulanan dan 12 bulanan.
Wilayah Indonesia yang terbagi menjadi 3 tipe hujan yatiu monsoonal, ekuatorial, dan lokal memiliki
kekuatan sinyal curah hujan 6 bulanan yang berbeda-beda. Tipe hujan monsoonal memiliki sinyal curah
hujan 6 bulanan yang relatif sangat kecil, sehingga tidak berpengaruh terhadap sinyal periode hujan secara
keseluruhan. Tipe hujan ekuatorial memiliki sinyal curah hujan 6 bulanan yang relatif tinggi terhadap
sinyal 12 bulanan, namun tidak melebihi kekuatan sinyal 12 bulanan. Tipe lokal memiliki sinyal curah
hujan 6 bulanan yang sangat tinggi dan mondominasi curah hujan 12 bulan.
Penerapan metode EOF berbasis SVD pada data TRMM 3B42 menghasilkan beberapa mode EOF.
Analisis EOF berbasis SVD pada data TRMM 3B42 dilakukan pada 3 mode dominan. Mode 1
menghasilkan bahwa diperoleh sinyal yang sangat dominan adalah sinyal curah hujan mendekati 6
bulanan. Sinyal tersebut memiliki kontribusi yang sangat tinggi, sehingga menyebabkan variasi diurnal
pada sinyal harian tidak berpengaruh. Pada mode 2 terdapat variasi diurnal yang menyebabkan hujan di
seluruh daratan di Indonesia. Mode 3 menghasilkan variasi diurnal yang berkebalikan dengan mode 2,
yaitu menyebabkan hujan di seluruh Perairan di Indonesia. Akan tetapi kedua variasi diurnal yang muncul
pada mode 2 dan mode 3 relatif kecil kontribusinya terhadap keseluruhan sinyal.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan
Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Sesuai dengan Kontrak
Penelitian Tim Pasca Sarjana Nasional Tahun Anggaran 2017 Nomor: 011/SP2H/LT/DRPM/IV/2017,
tanggal 20 April 2017.

DAFTAR PUSTAKA

[1] J. Hamada, M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A. Winarso and T. Sribimawati. “Spatial and temporal variations of
the rainy season over Indonesia and their link to ENSO,” Journal of the Meteorological Society of Japan, vol. 80 No. 2, 2002,
pp. 285-310. (references)
[2] E. W. Hansen. Fourier Transform: Principles and Applications. New Jersey: J Wiley. 2014.
[3] W. K. Nicholson. Elementary Linear Algebra. Singapore: McGraw-Hill. 2001.
[4] Navarra A, Simoncini V. A Guide to Empirical Orthogonal Function for Climate Data Analysis: Springer. 2010.K. Elissa,
“Title of paper if known,” unpublished.

PT-185
ISBN. 978-602-73403-2-9 (Cetak) 978-602-73403-3-6 (On-line)

[5] J. Matsumoto, “The seasonal changes in Asian and Australian monsoon region,” J. Meteorology Society of Japan, vol 70, pp.
257–273.
[6] R. Hidayat. “Modulation of Indonesian rainfall variability by the Madden-Julian Oscillation,” Procedia Environmental
Sciences, vol 33, 2016, pp.167–177.
[7] H. Hashiguchi, S. Fukao, M. D. Yamanaka, T. Tsuda, S. W. B. Harijono and H. Wiryosumarto, “Boundary Layer Radar
observations of the convention center over Serpong, Indonesia (6oS, 107oE) during the TOGA COARE intensive observation
period. J. Meteorology Society of Japan, vol 73, 1995, pp. 535-548
[8] M. Tanaka, “The onset and retreat dates of the Austral summer monsoon over Indonesia, Australia and New Guinea,” J.
Meteorology Society of Japan, vol 72, 1994, pp. 255-267
[9] M. Haylock and J.L. McBride, “Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall,” J. Climate, vol 14,
2001, pp. 3882–3887.

PT-186

Anda mungkin juga menyukai