T - 26
Kata kunci: curah hujan TRMM 3B42, curah hujan TRMM 3B43, dekomposisi
nilai singular, empirical orthogonal function (EOF), transformasi Fourier.
I. PENDAHULUAN
Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit diprediksi karena mempunyai
keragaman tinggi baik secara spasial maupun temporal. Demikian halnya dengan curah hujan di wilayah
maritim tropis seperti Indonesia. Sebagai negara kepulauan, seperti pada [1] Indonesia memiliki tiga pola
hujan, yaitu: monsoonal, ekuatorial, dan lokal. Setiap pola curah hujan tersebut memiliki karakteristik dan
penyebab masing-masing. Pola yang paling mendominasi adalah pola monsoonal yaitu pola periode hujan
dua belas bulanan yang terdiri atas satu kali musim hujan dan satu kali musim kemarau. Pola ekuatorial ini
dipengaruhi oleh gerak revolusi bumi mengelilingi matahari dan pengaruh zona konvergensi terhadap
hujan (inter tropical convergenze zone). Pola hujan lokal adalah pola hujan yang disebabkan oleh topografi
dan keadaan lingkungan suatu daerah. Indonesia mempunyai garis pantai yang panjang dan wilayah
berpegunungan, sehingga memengaruhi arus udara, perubahan cuaca, iklim, dan hujan. Dalam penelitian
ini, kita dapat mengetahui pengaruh dari pola-pola tersebut dalam memengaruhi periode musim hujan di
Indonesia.
Selain itu, Indonesia mempunyai variasi suhu yang kecil, sementara variasi curah hujan yang besar. Hal
ini disebabkan karena curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah
variasi diurnal. Variasi diurnal merupakan sinyal berskala harian yang memengaruhi siklus curah hujan
harian di Indonesian. Variasi diurnal disebabkan oleh dua hal, yaitu adanya lautan dan daratan, dan ukuran
pulau dan topografi dari pulau yang sesuai. Akan tetapi variasi diurnal ini sinyalnya sangat kecil jika
dibandingkan dengan sinyal-sinyal lain yang memengaruhi curah hujan seperti pada periode yang lebih
panjang dan skala yang lebih besar, sehingga perlu analisis tertentu agar dapat melihat sinyal diurnal
tersebut.
Tujuan pertama yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah menganalisis frekuensi sinyal curah hujan
6 bulanan wilayah Indonesia dan kontribusi sinyalnya terhadap keseluruhan sinyal yang memengaruhi
PT-179
ISBN. 978-602-73403-2-9 (Cetak) 978-602-73403-3-6 (On-line)
curah hujan di Indonesia. Selanjutnya adalah menganalisis pola curah hujan Indonesia secara spasial dan
temporal yang kemudian dianalisis variasi diurnal yang kemudian memengaruhi curah hujan harian di
Indonesia. Manfaat Penelitian ini adalah memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat Indonesia
yang didasarkan pada data aktual curah hujan Indonesia tentang periode hujan dan pola-pola hujan yang
memengaruhi curah hujan di Indonesia. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk membuat prediksi terhadap
curah hujan menjadi lebih akurat.
Metode yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu metode transformasi Fourier dan empirical
orthogonal function (EOF) berbasis Singular Value Decomposition (SVD) terhadap data curah hujan.
A. Transformasi Fourier
Metode transformasi Fourier digunakan untuk mengubah sinyal dari domain waktu menjadi sinyal
dengan domain frekuensi. Transformasi Fourier didefinisikan [2] sebagai
∞
= −∞ −2
(1)
= (2)
di mana
f(x) = fungsi dalam domain waktu, v = frekuensi.
e^(-i2πvx)= fungsi kernel, x = waktu.
F(v) = fungsi dalam domain frekuensi,
Metode ini digunakan untuk memperoleh sinyal sinyal dominan terkait periode hujan pada data curah
hujan wilayah Indonesia.
PT-180
SEMINAR MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2017
dengan ,i=1,2,…,r merupakan nilai singular dari matriks X. Dalam prakteknya, k mode EOF1 atau
komponen utama pertama dengan k≪r menjelaskan proporsi varian terbesar. Mode EOF2 merupakan
kombinasi linear dari seluruh variabel yang diamati yang bersifat ortogonal terhadap mode EOF1 dan
memiliki varian terbesar kedua dan seterusnya. Oleh karena itu, mode EOF ke-k memiliki varian
maksimum ke-k dan tidak berkorelasi dengan mode EOF sebelumnya.
E. Langkah Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian ini terdiri atas beberapa tahap. Tahap pertama adalah
menyiapkan alat uji coba untuk menyusun suatu program menggunakan bahasa pemrograman MATLAB.
Tahap kedua adalah mendeskripsikan dan mengektraksikan masing-masing data curah hujan TRMM 3B42
dan 3B43 yang dibentuk dalam suatu matriks X menggunakan fungsi-fungsi yang tersedia dalam software
MATLAB. Tahap ketiga adalah menganalisis data TRMM 3B43 menggunakan metode transformasi
Fourier. Pada tahap berikutnya hasil transformasi tersebut akan dianalisis untuk melihat sinyal curah hujan
enam bulanan di Indonesia. Adapun tahap kelima adalah menganalisis EOF terhadap data curah hujan
3B42 di Indonesia menggunakan teknik SVD. Pada tahap analisis ini diuraikan teknik reduksi
menggunakan metode EOF. Langkah terakhir adalah dengan menganalisis variasi diurnal yang terdapat
pada data yang telah direduksi.
A. Eksplorasi Data
Data yang diperoleh dari data TRMM 3B42 dan TRMM 3B43 merupakan data global untuk seluruh
dunia. Oleh karena itu, perlu dilakukan ekstrasi data atau pemotongan data pada wilayah cakupan
Indonesia untuk menganalisis data yang akan digunakan dalam penelitian. Eksplorasi data diawali dengan
menyajikan pola data yang tersedia dalam bentuk visual berdasarkan grid data global. Ukuran grid data
dengan koordinat tersebut yaitu 400 × 1440 untuk data TRMM 3B42 dan 480 × 1440 untuk data TRM
PT-181
ISBN. 978-602-73403-2-9 (Cetak) 978-602-73403-3-6 (On-line)
3B43. Selanjutnya dilakukan proses pemotongan data sesuai dengan domain wilayah Indonesia 60 LU–110
LS dan 950 BT–1410 BT, sehingga untuk setiap satu bulan diperoleh matriks data berukuran 119 × 236
untuk data TRMM 3B43 dan matriks data berukuran 73 × 201 untuk data TRMM 3B42.
Pada daerah monsoonal nilai maksimum global dari hasil FFT berada pada periode 11,9444 bulan atau
mendekati dua belas bulan. Terdapat beberapa nilai maksimum grafik salah satunya periode enam bulan,
namun memiliki nilai sinyal yang jauh di bawah dari power pada periode 11,9444 bulan. Hal ini
menunjukkan bahwa pada daerah monsoonal periode curah hujan yang dominan adalah periode 12 bulan,
sedangkan periode yang lain tidak terlalu berpengaruh pada periode hujan di daerah tersebut. Analisis
lengkap hasil terhadap paramater yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar potensi periode enam
bulan pada beberapa daerah monsoonal adalah di tunjukan pada TABEL 1 dan TABEL 2. Pada TABEL 2
diperoleh bahwa perbandingan kontribusi sinyal 6 bulan sangat kecil jika dibandingkan dengan sinyal 12
bulan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sinyal 6 bulan sangat didominasi oleh sinyal 12 bulan
TABEL 1 PENGARUH SINYAL 6 BULAN TERHADAP TABEL 2 PENGARUH SINYAL 6 BULAN TERHADAP
LUAS KESELURUHAN (RIEMANN) SINYAL DI SINYAL 12 BULAN DI DAERAH MONSOON
DAERAH MONSOON
Provinsi Pengaruh periode 6 bulan
Provinsi Pengaruh periode 6 bulan
Banten 0.0139
Banten 0.0332
Jawa Barat 0.0714
Jawa Barat 0.0072
Jawa Tengah 0.0280
Jawa Tengah 0.0145
Nusa Tenggara Timur 0.0008
Nusa Tenggara Timur 0.0002
Lampung 0.0263
Lampung 0.0087
PT-182
SEMINAR MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2017
Pada daerah ekuatorial nilai maksimum global berada pada periode 11,9444 bulan atau mendekati dua
belas bulan, akan tetapi pada periode enam bulan memiliki nilai yang mendekati nilai ketika periode dua
belas bulan. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah tipe ekuatorial terdapat dua periode hujan yang
dominan yaitu periode enam bulan dan dua belas bulan. Hasil lengkap analisis terhadap paramater yang
digunakan sebagai berikut:
Dari Tabel 4 diperoleh bahwa perbandingan kontribusi sinyal 6 bulan cukup besar jika dibandingkan
dengan sinyal 12 bulan, akan tetapi tidak lebih besar dari sinyal 12 bulan. Oleh karena itu, pada daerah
denga tipe hujan ekuatorial memiliki 2 sinyal hujan yaitu sinyal 6 bulan dan 12 bulan, dengan sinyal 12
bulan lebih mendominasi sinyal 6 bulan.
3. Daerah tipe ekuatorial
Pada daerah dengan tipe lokal memiliki nilai maksimum global terdapat pada periode 5,972 bulan atau
mendekati enam bulan. Selain itu terdapat beberapa nilai yang mendekati nilai maksimum grafik. Hal ini
menunjukkan bahwa pada daerah dengan tipe lokal curah hujannya lebih dipengaruhi oleh kondisi dari
lingkungannya, sehingga terdapat beberapa pola curah hujan yang dominan pada daerah-daerah tersebut.
Hasil lengkap analisis terhadap parameter disajikan pada tabel berikut:
Berdasarkan Tabel 6 diperoleh bahwa perbandingan kontribusi sinyal 6 bulan lebih besar dari sinyal 12
bulan, akan tetapi tidak lebih besar dari sinyal 12 bulan. Oleh karena itu, pada daerah denga tipe hujan
lokal pola curah hujan yang dominan adalah sinyal 6 bulan, dengan 3 bulan musim hujan dan 3 bulan
musim kemarau.
PT-184
SEMINAR MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2017
daratan Indonesia pada waktu yang sama menurut zona waktu masing-masing daerah meskipun
kontribusinya cukup kecil dalam keseluruhan sinyal.
GAMBAR 6 menunjukkan pola spasial mode ke 3 EOF. Curah hujan mode ke 3 pada data yang telah
dinormalisasi berkisar antara -20 sampai 30. Pola spasial mode ke 3 menunjukkan bahwa setiap wilayah
perairan di Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi dalam 1 pola dominan yang sama. Hal ini
berkebalikan dengan pola pada mode EOF 2. Selanjutnya, Pola temporal pada mode 3 diamati pada skala
sumbu mendatar antara 0 sampai 7 untuk menganalisis variasi diurnal yang muncul. Dapat diperoleh
bahwa terdapat kontribusi variasi diurnal pada mode 3 yang ditunjukkan oleh periode hujan 1 hari yang
terjadi pada lautan Indonesia pada waktu yang sama menurut zona waktu masing-masing daerah meskipun
kontribusinya cukup kecil dalam keseluruhan sinyal.
DAFTAR PUSTAKA
[1] J. Hamada, M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A. Winarso and T. Sribimawati. “Spatial and temporal variations of
the rainy season over Indonesia and their link to ENSO,” Journal of the Meteorological Society of Japan, vol. 80 No. 2, 2002,
pp. 285-310. (references)
[2] E. W. Hansen. Fourier Transform: Principles and Applications. New Jersey: J Wiley. 2014.
[3] W. K. Nicholson. Elementary Linear Algebra. Singapore: McGraw-Hill. 2001.
[4] Navarra A, Simoncini V. A Guide to Empirical Orthogonal Function for Climate Data Analysis: Springer. 2010.K. Elissa,
“Title of paper if known,” unpublished.
PT-185
ISBN. 978-602-73403-2-9 (Cetak) 978-602-73403-3-6 (On-line)
[5] J. Matsumoto, “The seasonal changes in Asian and Australian monsoon region,” J. Meteorology Society of Japan, vol 70, pp.
257–273.
[6] R. Hidayat. “Modulation of Indonesian rainfall variability by the Madden-Julian Oscillation,” Procedia Environmental
Sciences, vol 33, 2016, pp.167–177.
[7] H. Hashiguchi, S. Fukao, M. D. Yamanaka, T. Tsuda, S. W. B. Harijono and H. Wiryosumarto, “Boundary Layer Radar
observations of the convention center over Serpong, Indonesia (6oS, 107oE) during the TOGA COARE intensive observation
period. J. Meteorology Society of Japan, vol 73, 1995, pp. 535-548
[8] M. Tanaka, “The onset and retreat dates of the Austral summer monsoon over Indonesia, Australia and New Guinea,” J.
Meteorology Society of Japan, vol 72, 1994, pp. 255-267
[9] M. Haylock and J.L. McBride, “Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall,” J. Climate, vol 14,
2001, pp. 3882–3887.
PT-186