Anda di halaman 1dari 20

BAB I

KONSEP MEDIS

A. Defenisi

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang

disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai

negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.

Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting

karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,

kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene

industri pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C.H, 2009).

Tifoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang

disebabkan oleh salmonella thypi, penyakit ini dapat ditularkan melaui kuman,

mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman salmonella thypii (Azis

H. A. 2006).

Demam typhoid merupakan penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang

disebabkan oleh salmonella thypi. Penyakit ini ditandai oleh panas

berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur

endothelia atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi kedalam

sel fagosit monocular dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch

dan dapat menular pada orang lain melalui makanan atau air yang

terkontaminasi (Nurarif & Kusuma, 2015)


B. Etiologi

Salmonella typhi sama dengan

salmonella yang lain adalah bakteri

gram negative, mempunyai flagella,

tidak berkapsul, tidak membentuk

spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari

ologoskarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope

antigen (K) yang terdiri dari polisakarida kompleks yang membentuk lapis luar

dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat

memperoleh plasmid faktor R yang berkaitan dengan resistensi terhadap

multiple antibiotic (Nurarif & Kusuma, 2015)

C. Tanda dan Gejala

Gejala pada anak : inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari
1. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
2. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani
akan menyebabkan syok, stupor, dan koma
3. Ruam muncul pada hari ke 7-10 hari dan bertahan selama 2-3 hari
4. Nyeri kepala, nyeri perut
5. Kembung, mual, muntah, diare, konstipasi
6. Pusing, bradikardi, nyeri otot
7. Batuk
8. Epiktaksi
9. Lidah yang berselaput
10. Hepatomegali, splenomegali, meteorismus
11. Gangguan mental berupa somnolen
12. Delirium atau psikosis
13. Dapat timbul gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai
penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipotermia
Periode infeksi demam thypoid, gejala dan tanda :

Minggu Keluhan Gejala Patologi

Minggu 1 Panas Gangguan Bakteremia


berlangsung saluran cerna
insidious, tipe
panas stepladder
yang mencapai
39-40º c,
menggigil, nyeri
kepala

Minggu 2 Rash, nyeri Rose sport, Vaskulitis, hiperplasi


abdomen, diare splenomegali, pada peyer’s patches,
atau konstipasi, hepatomegali nodul typhoid pada
delirium limpa dan hati

Minggu 3 Komplikasi : Melena, ilius, Ulserasi pada payer’s


perdarahan ketegangan patches, nodul tifoid
saluran cerna, abdomen, pada limpa dan hati
perforasi dan koma
syok

Minggu 4 Keluhan Tampak sakit Kolelitiasis, carrier


menurun, relaps, berat, kakeksia kronik
penurunan berat
badan

(Nurarif & Kusuma, 2015)


D. Patofisiologi

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke

dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam

(pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria,

gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor

pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis

infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus,

bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan

menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Selsel M, sel epitel

khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi

Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti

aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi

sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella

typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam

folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo,

Sumarmo S Poorwo, 2012).

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang

lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun

pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus

torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme

dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh

Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung

empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat
terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu.

Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau

dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid

tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam

sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari

Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel

limfoma usus ha lus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi

sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan

nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang

belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik

(Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, 2012)


E. PATHWAY

Kuman Salmonella typhi yang


Lolos dari asam Dimusnahkan oleh asam
masuk ke saluran
gastrointestinal lambung

Pembuluh darah limfe Bakteri masuk usus halus

Peredaran darah (bakterimia Masuk retikulo endothelial


promer) (RES) terutama hati dan limfa

Masuk kealiran darah


Berkembang biak di hati dan
(bakteremia sekunder)
limfa

Empedu Endotoksin

Terjadi kerusakan sel


Rongga usus pada
kel. Limfoid halus
Merangsang melepas zat
epirogen oleh leukosit
Pembesaran hati Pembesaran limfe

Mempengaruhi pusat
Hepatomegali Splenomegali
thermoregulator
dihipotalamus

Lase plak peyer Penurunan /


peningkatan mobilitas Hypertermi
usus

Erosi Resiko kekurangan


Penurunan / peningkatan
volume cairan
peristaltic usus

Nyeri

Konstipasi / diare Peningkatan asam


Perdarahan masif lambung

Anoreksia mual muntah

Komplikasi perforasi dan Ketidakseimbangan nutrisi


perdarahan usus kurang dari kebutuhan tubuh

(Nanda Nic-Noc.2013)
E. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut widodo 2007 Pemeriksaan penunjang pada klien dengan

typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :

1. Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat

leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia

tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah

leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan

kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau

infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak

berguna untuk diagnosa demam typhoid.

2. Pemeriksaan Sgot Dan Sgpt

Sgot Dan Sgpt pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat

kembali normal setelah sembuhnya typhoid.

3. Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila

biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam

typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa

faktor :

a. Teknik pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang

lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang

digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat

demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.


b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu

pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu

kambuh biakan darah dapat positif kembali.

c. Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan

antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia

sehingga biakan darah negatif.

4. Pengobatan dengan obat anti mikroba

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba

pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan

mungkin negatif.

5. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi

(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat

dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah

divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi

salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari

uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien

yang disangka menderita tifoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien

membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari

tubuh kuman).

b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari

flagel kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari

simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang

ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar

klien menderita tifoid.

Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap

kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat

kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau

titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall

kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam

tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif

belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan,

yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi.

Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit

demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:

1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan

gejala demam,gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air

besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum

lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan

dasar.

2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir

lengkap, serta didukung oleh gambaran laboratorium yang

menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160

satu kali pemeriksaan).

3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada

pemeriksaan biakan ataupositif S.Thypi pada pemeriksaan PCR


atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali lipat (pada pemeriksaan

ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada

pemeriksaan sekali)

F. Komplikasi

1. Pendarahan usus. Bila sedikit, hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan


tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak, maka terjadi melena yang
dapat disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.

2. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum.

3. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi


usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut hebat, dinding
abdomen tegang, dan nyeri tekan

4. Komplikasi diluar usus. Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis,


yaitu meningitis, kolesistisis, ensefalopati, dan lain-lain (Susilaningrum,
Nursalam, & Utami, 2013)

G. Penatalaksanaan

1. Anti Biotik (Membunuh Kuman): Klorampenicol, Amoxicilin,

Kotrimoxasol, Ceftriaxon dan Cefixim

2. Antipiretik (Menurunkan panas) : Paracetamol

3. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang

lebih dari selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah

terjadinya komplikasi perforasi usus.

4. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan

pasien.
5. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus

diubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi

pneumonia dan dekubitus.

6. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang

terjadi konstipasi dan diare.

7. Diet: Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein, pada penderita yang

akut dapat diberi bubur saring, setelah bebas demam diberi bubur kasar

selama 2 hari lalu nasi tim, dilanjutkan dengan nasi biasa setelah

penderita bebas dari demam selama 7 hari (Smeltzer & Bare. 2002).
BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Pengumpulan data

a. Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa,

agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register

dan diagnosa medik.

b. Keluhan utama

Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-

turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta

penurunan kesadaran.

c. Riwayat penyakit sekarang

Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke

dalam tubuh.

d. Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.

e. Riwayat penyakit keluarga

Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.

2. Pola-pola fungsi kesehatan

a. Pola nutrisi dan metabolisme

Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah

saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama

sekali.
b. Pola eliminasi

Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah

baring lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan,

hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam

tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak

keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan

tubuh.

c. Pola aktivitas dan latihan

Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak

terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.

d. Pola tidur dan istirahat

Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.

e. Pola persepsi dan konsep diri

Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan

penyakitanaknya.

f. Pola sensori dan kognitif

Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan

umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham

pad klien.

g. Pola hubungan dan peran

Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di

rumah sakit dan klien harus bed rest total.

h. Pola penanggulangan stress

Biasanya orang tua akan nampak cemas.


3. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38-410 C, muka

kemerahan.

b. Tingkat kesadaran

Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).

c. Sistem respirasi

Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan

gambaran seperti bronchitis.

d. Sistem kardiovaskuler

Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.

e. Sistem integumen

Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak

kusam

f. Sistem gastrointestinal

Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual,

muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak,

peristaltik usus meningkat.

g. Sistem muskuloskeletal

Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.

h. Sistem abdomen

Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi

lunak serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut

kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.


B. Diagnosa Keperawatan

1. Hipertermi

2. Nyeri

3. Risiko defisit nutrisi

4. Resiko ketidakseimbangan cairan

5. Konstipasi

6. Nausea. (PPNI, 2016)

C. INTERVENSI

1. Hipertermi

Defenisi : peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal

Luaran keperawatan : hipertermi menurun

Intervensi :

a. Identifikasi penyebab hipertermi

Rasional : sebagai acuan intervensi berikutnya

b. Monitor suhu tubuh pasien

Rasional : mengetahui keadaan umum pasien

c. Longgarkan atau lepaskan pakaian pasien

Rasional : untuk meningkatkan kenyamanan dan menurunkan suhu

d. Berikan cairan oral

Rasional : untuk mencegah dehidrasi

e. Anjurkan tirah baring

Rasional : mempercepat penurunan suhu tubuh

f. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena

Rasional : untuk mempertahankan keseimbangan cairan


2. Nyeri

Luaran keperawatan : nyeri menurun

Intervensi :

a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas

nyeri

Rasional : mengetahui keadaan umum pasien

b. Identifikasi tingkat nyeri

Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien

c. Berikan teknik nonfarmakologi

Rasional : untuk mengurangi rasa nyeri

d. Kolaborasi pemberian analgetik

Rasional : untuk mengurangi rasa sakit/nyeri

3. Resiko defisit nutrisi

Luaran keperawatan : nutrisi membaik

a. Monitor status nutrisi

Rasional : untuk mengetahui status nutrisi pasien sehingga dapat

menentukan intervensi yang diberikan

b. Monitor asupan makanan

Rasional : untuk mengetahui asupan makanan pasien

c. Lakukan oral hygiene sebelum makan

Rasional : untuk meningkatkan selera makan pasien

d. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai

Rasional : untuk meningkatkan nafsu makan pasien

e. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis

nutrisi yang dibutuhkan

Rasional : mengatur asupan nutrisi yang dibutuhkan


4. Resiko ketidakseimbangan cairan

Luaran keperawatan : cairan membaik

Intervensi :

a. Monitor status hidrasi (mis, frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral,

pengisian kapiler, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah)

Rasional : mengetahui status hidrasi

b. Catat intake dan output cairan

Rasional : untuk mengetahui intake dan output pasien

c. Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan

Rasional : membantu memenuhi kebutuhan cairan

d. Berikan cairan intravena

Rasional : asupan cairan secara adekuat sangat diperlukan untuk

menambah cairan yang hilang

5. Konstipasi

Luaran keperawatan : konstipasi membaik

Intervensi :

a. Periksa tanda dan gejala konstipasi

Rasional : untuk memudahkan intervensi yang akan diberikan

b. Anjurkan diet tinggi serat

Rasional : nutrisi serat tinggi untuk melancarkan eeliminasi fekal

c. Anjurkan peningkatan asupan cairan, jika tidak ada kontraindikasi

Rasional : membantu menurunkan konstipasi

d. Ajarkan cara mengatasi konstipasi/impaks

Rasional : membantu pengeluaran feses

e. Kolaborasi penggunaan obat pencahar, jika perlu

Rasional : untuk melunakkan feses


6. Nausea

Luaran keperawatan : nausea menurun

Intervensi :

a. Identifikasi karakteristik muntah (mis warna, konsistensi, adanya darah,

waktu, frekuensi dan durasi)

Rasional : untuk mempermudah menentukan intervensi yang akan

diberikan

b. Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit

Rasional : pemasukan cairan dan elektrolit yang adekuat sangat

diperlukan untuk mengganti cairan yang keluar

c. Berikan dukungan fisik saat muntah (mis membantu membungkuk atau

menundukkan kepala)

Rasional : memberikan rasa nyaman/dukungan pada pasien

d. Anjurkan memperbanyak istirahat

Rasional : istirahat diperlukan untuk meningkatkan rasa nyaman

e. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis untuk mengelola muntah

(mis. Biofeedback, hipnosis, relaksasi, terapi musik, akupresur)

Rasional :

f. Kolaborasi pemberian antimetik jika perlu

Rasional : mengurangi rasa mual/muntah. (PPNI, 2017).


DAFTAR PUSTAKA

Bare & Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta:

EGC
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagosa Medis NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa Medis Nanda Nic Noc jilid 2. Jakarta: EGC.

PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Jakarta: DPP

PPNI.

PPNI. 201. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI). Jakarta: DPP

PPNI.

Simanjuntak, C. H, 2009. Demam Tifoid, Epidemologi dan Perkembangan

Penelitian. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran.


Susilaningrum, R., Nursalam, & Utami, S. (2013). Asuhan Keperawatan Bayi dan
Anak Untuk Perawat dan Bidan. Jakarta: Salemba Medika.
Soedarmo, S. Sumarno, Poorwo. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi
Kedua. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Widodo, D., 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai