Anda di halaman 1dari 22

SEMINAR

ILMU KEDOKTERAN JIWA


PSIKIATRI FORENSIK

Pembimbing :
dr. Ketut Tirka Nandaka, Sp.KJ

disusun oleh :

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2016
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,


karena dengan rahmat dan karunia-Nya akhirnya tugas seminar yang
berjudul ”PSIKIATRI FORENSIK” ini dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya.

Penyusunan seminar ini merupakan salah satu tugas yang harus


dilaksanakan sebagai bagian dari kepaniteraan Ilmu Kedokteran Jiwa di
RSAL dr. Ramelan Surabaya. Tak lupa ucapan terima kasih kami ucapkan
pada semua pihak yang telah membantu penyusunan referat ini, terutama
kepada dr. Ketut Tirka Nandaka, Sp.KJ, yang telah membimbing
penyusunan tugas ini.

Dalam penulisan tugas ini kami menyadari adanya keterbatasan


kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki, sehingga tugas ini jauh
dari sempurna. Oleh karena itu kritik maupun saran yang membangun
selalu diharapkan agar dapat menyempurnakan karya tulis ini dimasa
yang akan datang.

Semoga tugas ini dapat berguna bagi pembaca pada umumnya


dan penulis pada khususnya.

Surabaya, 19 Februari 2016

2
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I PENDAHULUAN 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Psikodinamika 6

2.2 Neurobiologi 7

2.2.1 Neurotransmitter 7

2.2.2 Neuromodulator 8

2.3 Aspek Hukum 10

2.3.1 Pengertian 10

2.3.2 Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga 11

2.3.3 Pelayanan Kesehatan untuk Korban Kekerasan


dalam Rumah Tangga 12
2.3.4 Pemulihan Korban 12

2.3.5 Hukuman Bagi Pelaku Tindak kekerasan dalam


Rumah Tangga menyangkut Kekerasan Psikis 13
2.4 Aspek Psikiatri Forensik 14

2.5 Ilustrasi Kasus 16

BAB III PENUTUP 20

3.1 Kesimpulan 20

3.2 Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

Keluarga merupakan bagian dalam masyarakat yang mempunyai


peranan yang berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan tiap pribadi dalam keluarga tersebut. Sebuah keluarga
bisa dikatakan harmonis apabila tiap anggota keluarga tersebut merasa
bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan,
kekecewaan terhadap anggota keluarga.
Ketegangan dan konflik yang terjadi dalam keluarga merupakan hal
wajar terjadi dalam keluarga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa
konflik dan hampir semua keluarga pernah mengalami konflik. Yang
menjadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan
hal tersebut. Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan
masalahnya masing masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik
maka kehidupan setiap anggota keluarga akan menjadi baik. Di sisi lain,
apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin
sering terjadi dalam keluarga. Biasanya penyelesaian masalah secara
tidak sehat dilakukan dengan marah-marah, teriakan dan makian maupun
ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku kasar seperti
menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik.
Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT).
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan pelanggaran
hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat manusia serta
bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Korban kekerasan dalam rumah
tangga kebanyakan adalah perempuan yang harusnya mendapatkan
perlindungan Negara dan masyarakat agar terhindar dari kekerasan atau
perlakuan yang merendahkan derajat, martabat kemanusiaan.
Beberapa contoh kasus mengenai kekerasan dalam rumah tangga
misalnya kasus yang dialami oleh Ibu Heni Supriana yang di Surabaya
yang dihajar sampai babak belur oleh suaminya, pemicu dari kasus ini

4
merupakan faktor ekonomi. Kemudian kasus yang dialami oleh artis
Manohara yang dianiaya oleh suaminya sendiri yang merupakan seorang
bangsawan dari negara tetangga. Pada kasus Manohara ini, dikabarkan
bahwa korban diberi semacam obat perangsang, agar dapat terus
melayani suami meskipun korban sedang tidak ingin berhubungan.
Hubungan suami istri ini didominasi oleh kekuasaan suami yang
berlindung di balik waham suami akan cinta terhadap istri atau korban.
Kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia rata-rata terjadi 311 kasus
setiap hari. Pada tahun 2011 angka kasus KDRT adalah 113.878 kasus
atau 95,71%, biasanya bentuk KDRT yang terjadi berupa pemukulan,
penganiayaan, penyekapan, penelantaran, penyiksaan, dan bahkan tak
jarang menyebabkan kematian. Kekerasan dalam rumah tangga kurang
mendapat tanggapan serius dari pihak korban, disebabkan karena
beberapa alasan:
1. Kekerasan dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup yang relatif
tertutup dan terjaga ketat privasinya, karena persoalannya terjadi di
dalam area keluarga;
2. Kekerasan dalam rumah tangga seringkali dianggap wajar karena
diyakini bahwa memperlakukan sekehendak suami merupakan hak
suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga;
3. Adanya harapan bahwa tindak kekerasan akan berhenti. Tindakan
kekerasan mempunyai “siklus kekerasan” yang menipu;
4. Karena terjadinya ketergantungan ekonomi yang menyebabkan
perempuan akan menerima saja jika kekerasan itu terjadi padanya.;

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psikodinamika
Psikodinamika menceritakan tentang pendekatan konseptual yang
memandang proses-proses mental sebagai gerakan dan interaksi
kuantitas-kuantitas energi psikik yang berlangsung intra-individual
(antar bagian struktur-struktur psikik) dan inter-individual (antar
orang).

Gambar 2.1. Formulasi Psikodinamika

Mekanisme timbulnya gangguan jiwa pada penderita


berdasarkan intervensi tiga variabel penting, yaitu :
1. Stres yang diterima diinterpretasikan berat oleh penderita
2. Daya tahan atau kemampuan penyesuaian diri terhadap
stres yang diterima penderita kurang

6
3. Diathesis-stress menyebabkan kerentanan yang menjadi
“bakat penderita.
Ketiga hal tersebut dapat menimbulkan berbagai klinis
gangguan jiwa.
Berdasarkan teori Dr. Hans Selye, apabila dilihat dari fase
terjadinya stress pada penderita, maka akan didapatkan
perkembangan yang signifikan dan sesuai yang dimulai dari :
a. Alarm reaction yaitu terjadinya pembangkitan emosi dan
ketegangan pada diri penderita.
b. Pertahanan : penderita menjadi terjaga (siaga) karena
sulit tidur.
c. Hasil adaptasi penderita : Maladaptasi.
Penyesuaian diri penderita yang gagal dan tidak sesuai.
Apabila terus menerus dapat mengakibatkan kepayahan dan
disintegrasi kepribadian.
d. Kepayahan (distress) : - Terjadi gangguan jiwa psikosa
- Terjadi disintegrasi kepribadian

2.2 Neurobiologi
2.2.1 Sirkuit Otak
 Cortex
Area prefrontal mengontrol tindakan agresi dan disosial
ditunjang oleh area frontal cortex yang memodulasi tindakan
subcortical. Lesi pada area prefrontal cortex mengahsilkan
disinhibisi tindakan agresif. Onset kerusakan ventromedial
prefrontal cortex pada masa anak-anak maupun dewasa
menghasilkan gangguan emosi berat yang mengarah pada
berkurangnya kemampuan pada dunia nyata. Pasien dengan injuri
pada lobus frontal cenderung menggunakan intimidasi fisik dan
ancaman dalam menghadapi konflik.

7
 Sistem limbik/struktur subcortical
Keabnormalitasan penting lainnya yang berperan dalam
dorongan agresi dan kekerasan adalah hipereaktivitas sistem
limbik, salah satu strukturnya seperti amygdala yang merespon
stimuli negatif maupun provokatif terutama stimuli yang
menyebabkan rasa marah. Aktivasi hipotalamus juga diasosiasikan
dengan agresi pada kekerasan dalam rumah tangga. Kelainan
fungsi hippocampus juga berperan dalam perilaku kekerasan dan
antisosial.

2.2.2 Neuromodulator
 Neurotransmitter
Serotonin
Serotonin memfasilitasi regio prefrontal cortex seperti orbital
frontal cortex dan anterior cingulate cortex yang berperan
memodulasi dan supresi tindakan agresif dengan bekerja pada
reseprot serotonin 5- HT2 pada regio ini. Oleh karena itu
defisiensi pada inervasi serotonin pada regio ini menghasilkan
disinhibisi tindakan agresif saat terjadi provokasi.

Katekolamin
Katekolamin dopamin dan norepinefrin dapat meningkatkan
kemungkinan agresi. Dopamin terlibat dalam inisiasi dan
tindakan agresi dan penurunan pada reseptor D1 terlibat dalam
pasien depresi yang mengalami anger attack.

Asetilkolin
Abnormalitas pada aktivitas cholinergic berkontribusi pada
hiperreaktivitas regio subcortical limbik dan disforia atau
iritabilitas yang memicu agresi.

8
Sistem glutamatergic/gabaminergic
Ketidakseimbangan aktivitas glutamatergic/gabaminergic
berkontribusi pada hiperreaktivitas regio subcortical llimbik.
Oleh karena itu menurunkan aktivitas pada GABA reseptor
berkontribusi pada agresivitas.

 Neuropeptida
Vasopressin
Vasopressin terlibat pada tingkah laku dan agresi. Studi
melaporkan terdapat korelasi positif antara konsentrasi
vasopressin CSF dan agresi pada pasien personality disorder

Oxytocin
Oxytocin terlibat dalam tingkah laku serta kepercayaan. Ia
juga menurunkan aktivitas amygdala sehingga defisit oxytocin
berkontribusi pada rasa permusuhan, rasa takut dan
ketidakpercayaan yang menunjang kondisi agresi.

Aksis hipotalamopituitari adrenal


Konsentrasi kortisol secara umum rendah pada individu
dengan tingkat agresi tinggi (orang dewasa dengan gangguan
perilaku, kriminal antisosial, pelaku kekerasan rumah tangga)
dan perilaku agresi dihubungkan dengan adanya autoantibodi
reaktif corticotropin releasing factor.

Agresi muncul ketika drive pada area yang merespon


stimulus provokatif atau rasa marah pada bagian prefontal yang
dimediasi sistem limbik diinhibisi secara insufisien dan
menghasilkan tindakan kekerasan. Reaktivitas berlebih pada
amygdala ditambah dengan regulasi area prefrontal yang inadekuat
meningkatkan kejadian tindakan agresif. Perubahan pada sirkuit
prefrontal-subcortical beserta ketidaknormalan neuromodulator juga

9
mempunyai peranan penting. Serotonin menginhibisi area
prefrontal sehingga aktivitas serotonin yang insufisien dapat
meningkatkan agresi. Aktivitas Gabaminergic pada reseptor GABA
A) dapat menurunkan reaktivitas subcortical dan karenanya
menurunkan aktivitas gabaminergic dapat meningkatkan agresi.
Reduksi pada aktivitas oxytocin dan peningkatan aktivitas
vasopressin juga berpengaruh dalam menginduksi agresi.

2.3 Aspek Hukum


2.3.1 Pengertian
Secara hukum, kekerasan dalam rumah tangga diatur oleh
UU No. 23 tahun 2004. Pada pasal 1(1) dijelaskan bahwa
kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Yang dimaksud korban sesuai pada pasal 1(3) adalah orang
yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam

10
lingkup rumah tangga. Pada pasal 2 dijelaskan bahwa :
(1) Lingkup rumah tangga dalam UU ini meliputi :
a. Suami, istri, dan anak ;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja sebagimana dimaksud pada
huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam
jangka waktu selama berada dalam rumah tangga
yang bersangkutan.

2.3.2 Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga


Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan
cara (pasal 5) :
a. Kekerasan Fisik (Pasal 6)
Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat.
b. Kekerasan Psikis (Pasal 7)
Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
c. Kekerasan Seksual (Pasal 8)
Terdiri dari :
a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

11
d. Penelantaran Rumah Tangga (Pasal 9)
Pada ayat pertama dijelaskan bahwa setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

2.3.3 Pelayanan Kesehatan untuk Korban Kekerasan dalam Rumah


Tangga

Pada pasal 21(1) dijelaskan bahwa dalam memberikan


pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus :
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standart
profesinya.
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama
sebagai alat bukti.
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dilakukan di sarana
kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat
(pasal 21(2)).

2.3.4 Pemulihan Korban

- Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh
pelayanan dari :
a. Tenaga kesehatan
b. Pekerja sosial
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani
- Pasal 40
(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai
dengan standart profesinya.

12
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga
kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan
korban.
- Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk
pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa
aman bagi korban.
- Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga
kesehatan, pemerja sosial, relawan pendamping dan/atau
pembimbing rohani dapat melakukan kerjasama.

2.3.5 Hukuman Bagi Pelaku Tindak kekerasan dalam Rumah Tangga


menyangkut Kekerasan Psikis (Pasal 45)

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis


dalam lingkup rumah tangga sebagimana dimaksud dalam pasal 5
huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta Rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta Rupiah).

2.4 Aspek Psikiatri Forensik


Psikologi forensik adalah aplikasi metode, teori, dan konsep-
konsep psikologi dalam sistem hukum. Setting dan kliennya
bervariasi, mencakup anak-anak maupun orang dewasa. Semua
jenis institusi, mencakup korporasi, lembaga pemerintah,
universitas, rumah sakit dan klinik, serta lembaga pemasyarakatan,

13
dapat terlibat sebagai klien atau obyek kesaksian dalam berbagai
macam kasus hukum.
Psikiatri forensik di dalam hukum pidana, termasuk
kekerasan dalam rumah tangga, berhubungan dengan unsur
pembuktian dalam pertanggung jawaban pidana atau untuk
menentukan ada atau tidak kesalahan terdakwa. Psikiatri forensik
menentukan besar kecilnya tanggung jawab seseorang dalam
melanggar hukum pidana. Sering kali seseorang dalam kehidupan
sehari-hari terlihat masih cukup daya pikirannya, tetapi dalam
pemeriksaan psikiatri jelas menderita gangguan jiwa yang dapat
mengurangi tanggung jawabnya.
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi timbulnya
gangguan jiwa, yaitu:
1. Faktor keturunan (genetik)
Beberapa jenis gangguan jiwa cenderung berhubungan dengan
faktor keturunan.
2. Faktor lingkungan dan situasi kehidupan sosial
Pengalaman dengan anggota keluarga, tetangga, sekolah,
tempat kerja, dan lain-lain dapat menciptakan situasi yang
menegangkan atau menyenangkan. Seseorang melalui
pergaulan akan belajar bagaimana cara berbagi dan mengerti
perasaan serta sikap orang lain. Kritik yang negatif dari orang
sekitar dapat menurunkan harga diri. Harga diri yang positif
merupakan kunci untuk mencapai derajat kesehatan jiwa,
sebaliknya orang yang mempunyai harga diri yang negatif,
akan menganggap orang lain memandangnya secara negatif
pula.
3. Faktor fisik
a. Gangguan fisik yang langsung mengenai otak
 Trauma (cedera) otak
 Tumor otak
 Penyakit infeksi pada otak

14
 Gangguan perdarahan otak “stroke”
 Pengaruh zat psikoaktif seperti narkotika, ganja, alkohol
b. Gangguan fisik yang tidak langsung mengenai otak, yaitu
penyakit yang dapat menyebabkan gangguan metabolism
otak, misalnya sakit tifus, malaria, penyakit hati, keracunan
dan lain-lain. Gangguan tersebut dapat menimbulkan
perubahan cara berpikir, berperasaan dan bertingkah laku.

Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi akibat


beberapa hal yang menjadi pemicunya, antara lain:
1. Ketergantungan ekonomi
Ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami
memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun
ia merasa tertekan, bahkan perlakuan keras yang dilakukan
kepadanya oleh suami enggan untuk dilaporkan demi
kelangsungan hidup dan rumah tangganya.
2. Kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa telah tertanam
sedemikian rupa dalam keluarga dan masyarakat. Bahwa istri
adalah milik suami sehingga harus melaksanakan segala yang
diinginkan oleh suami. Hal ini menyebabkan suami merasa
berkuasa dan bertindak sewenang-wenang terhadap istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik
Kekerasan dilakukan biasanya sebagai pelampiasan dari
ketersinggungan dan kekecewaan karena tidak terpenuhinya
keinginan dan dengan kekerasan tersebut diharapkan istrinya
mau memenuhi keinginannya.
4. Persaingan
Perimbangan antara suami-istri sangat diperlukan baik dalam
hal pendidikan, pergaulan, pekerjaan, dan penghasilan. Kalau
suami merasa kalah dalam hal-hal tersebut akan memicu konflik
dalam rumah tangga, sementara si istri tidak mau dikekang.

15
5. Frustasi
Biasanya terjadi pada pasangan-pasangan yang:
a. Masih muda
b. Belum mempunyai penghasilan tetap
c. Masih hidup menumpang pada orang tua

Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak


sehat diperlukan keterangan dari seorang dokter ahli jiwa. Di dalam
suatu perkara pidana di mana tertuduhnya disangka menderita
gangguan jiwa, maka di sini psikiatri forensic terlibat pada segi
hukum dalam penyelesaian kasus perkara tersebut dalam forum
peradilan. Kegiatan utama dari psikiatri forensic adalah Visum et
Repertum Psychiatrum.
Pada dasarnya, pengadaan Visum et Repertum Psychiatrum
diperuntukkan sebagai rangkaian hukum pembuktian tentang
kualitas tersangka pada waktu melakukan perbuatan pidana dan
penentuan kemampuan bertanggung jawab bagi tersangka.
Kebutuhan bantuan kedokteran jiwa pada kenyataannya
berkembang bukan sebagai rangkaian hukum pembuktian, namun
untuk kepentingan kesehatan tersangka dalam rangka
penyelesaian proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan
kesehatan jiwa bagi si tersangka ini sangat diperlukan, selain
menyangkut perlindungan hak asasi manusia juga untuk
menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan bagi jiwa dan raga
manusia.

2.5 Ilustrasi Kasus


Lama tak muncul, aktor Egi John Foreisythe membawa
kabar mengejutkan. Egi menjadi korban tindak penganiayaan oleh
istrinya, Citta Permata pada 2011 lalu.
Menurut ibunda Egi, Rina putranya pernah disiram oleh
minyak panas oleh Citta. Tak berhenti di situ, aktor yang laris main

16
di beberapa judul FTV itu juga pernah ditusuk gunting oleh istrinya
itu. Semua hal itu terjadi saat Egi dan Citta tengah bertengkar.
Namun apa sebenarnya duduk permasalahannya?
Rina coba membeberkan masalah penyebab pertengkaran
rumah tangga putranya itu. Menurutnya, sang menantu saat itu
selalu cemburu dengan lawan main Egi di sinetron dan FTV hingga
pertengkaran pun tak terelakkan.
“Emang dari dulu sering cemburu sama lawan mainnya Egi,
ya sama Nia (Ramadhani), sama (Laudya Chintya) Bella, sama
Thalita-lah dan nggak bisa nahan emosi. Lama-lama Egi juga
nyerah lah ya,” beber Rina.
Selain itu, menurut Rina, sang menantu juga sangat suka
dengan dunia malam seperti dugem. Egi dan Citta pun kerap
bertengkar karena masalah tersebut.
“Orangnya kan sering dugem. Justru Egi kan diajak-ajak
begitu gara-gara dia. Lama-lama Egi juga nggak tahan,” tuntasnya.
Kini Egi dan Citta sudah resmi bercerai. Namun masalah
KDRT itu tetap dibawa ke ranah hukum. Bahkan kasus tersebut
sudah beberapa kali disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang.

Analisis masalah:
Dari kasus diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa inti
masalahnya yaitu perasaan cemburu seorang istri terhadap lawan
main suaminya di FTV. Cemburu sebenarnya merupakan bukti atau
tanda seseorang mencintai orang yang dicintainya, tapi jika
cemburu itu sudah terlalu berlebihan bahkan akan mengganggu
hubungan antara suami dan istri, dan hal itulah yang terjadi dalam
kasus diatas.
Begitu kita terlibat dalam suatu hubungan cinta, kita akan
mengeksklusifkan hubungan itu hanya antara si dia dan diri kita.
Akibatnya bila ada pihak lain yang dirasakan akan mengganggu
hubungan maka muncullah keterbangkitan emosi yang disebut

17
cemburu. Semakin serius dan eksklusif hubungan itu, maka
kecemburuan juga cenderung meningkat (Dugosh, 2000). Jadi
intensitas kecemburuan seseorang yang baru pacaran sangat
mungkin lebih rendah bila dibandingkan dengan seseorang yang
sudah tunangan atau menikah. Sudah jamak banyak yang
mengeluh bahwa dulu pada awal-awal pacaran kekasihnya tidak
cemburuan, tapi justru setelah sekian tahun pacaran menjadi
sangat pencemburu.
Sang istri percaya bahwa kelekatannya dengan sang suami
adalah hak mutlaknya, (yang memberikan orang lain tidak memiliki
hak untuk membubarkan kelekatan itu), akhirnya rasa cemburu dari
sang istri menjadi kejam. Cemburu sang istri juga menjadi tidak
realistis, sang istri yang terlalu cemburu terhadap lawan main
suaminya di FTV lalu sang istri menafsirkannya sebagai ancaman
terhadap hubungan.
Cemburu adalah emosi yang muncul sebagai reaksi
terhadap ancaman yang mungkin bisa membuat seseorang
kehilangan afeksi dari seseorang yang bernilai penting baginya,
dimana afeksi itu diberikan pada orang lain. Jadi, Anda cemburu
pada pasangan Anda ketika dia berbicara pada orang lain, tidak
lain karena Anda takut kehilangan afeksi darinya karena afeksinya
bisa pindah ke orang yang diajak bicara. Cemburu juga bisa dialami
kepada seseorang yang belum jadi pasangan. Apabila Anda diam-
diam mencintai seseorang, Anda akan cemburu bila seseorang itu
bertingkah mesra dengan orang lain.
Ada tipe kepribadian tertentu yang membuat seseorang
menjadi lebih pencemburu. Orang yang memiliki tipe kepribadian
egoistik, cenderung mementingkan diri sendiri, ambisius, dan
berpandangan sempit umumnya lebih pencemburu. Orang yang
memiliki tipe cinta passionate love juga memiliki kecemburuan yang
tinggi. Mereka sangat mudah cemburu dan meledak-ledak
sehingga sangat mempengaruhi pikiran dan perasaannya, serta

18
perilakunya menjadi negatif. Demikian juga orang yang memiliki
tipe kelekatan anxious/ambivalent umumnya sangat pencemburu.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk kekerasan
dalam lingkungan keluarga yang terjadi dalam ranah domestik yang
kemudian menjadi persoalaan publik. Tindak kekerasan tidak hanya
terbatas pada tindak kekerasan fisik, seksua

3.2 Saran
Setelah mengkaji beberapa aspek tentang kekerasan dalam rumah
tangga, maka kami menyarankan :
1. bagi korban kekerasan dalam rumah tangga
 pada umumnya dapat berbagi dengan anggota keluarga,
teman, atau pelapor ke LSM bahkan langsung ke pihak
berwajib mengenai apa yang sudah dialaminya
 korban dapat bercerita dengan pihak yang dianggapnya
mampu untuk menjaga dan membantu memecahkan
masalah yang dihadapi
 bagi masyarakat yang mengetahui adanya tindak kekerasan
diharapkan dapat membantu
 masyarakat mengadakan kesepakatan antar warga untuk
mengatasi masalah-masalah kekerasan dalam rumah
tangga yang terjadi di lingkungan sekitar, melalui
penyuluhan warga
 masyarakat dapat membantu korban untuk melaporkan
kepada ketua RT dan polisi
2. Bagi instansi terkait seperti LSM, LBH dan Kepolisian
 Agar dapat cepat tanggap mengatasi masalah korban
kekerasan. Hal tersebut diharapkan dapat membantu

20
korban-korban kekerasan untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Hoediyanto, Hariadi. 2012. Ilmu Kedokteran Forensik dan


Medikolegal, Edisi Kedelapan. Departemen Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya: 447- 448.
2. Ibid. Buku Pedoman Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan: 38.
3. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Online). 2010 Jul 20.
(http://underlaw98.tripod.com/ilmu_kedokterankehakiman.htm)
4. R, Soesilo. 1976. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta
Komentar-komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia Bogor:
50.

22

Anda mungkin juga menyukai