Bismillah Presus Pterigium
Bismillah Presus Pterigium
PTERIGIUM
Disusun Oleh:
Dianatun Nafisah
NIPP. 20174011072
Pembimbing:
dr. Awang Wimbo Yuwono, Sp.M
Disusun oleh:
Dianatun Nafisah
20174011072
Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: Jumat, 26 April 2019
Disahkan oleh:
Dokter Pembimbing
2
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. B
Umur : 75 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Krajan 2/5 ds. Tingkir Lor kc. Tingkir
No. RM : 14-15-275***
B. Anamnesis
Keluhan Utama:
Pandangan kabur
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Salatiga dengan keluhan
pandangan kabur. Pasien juga merasa mata sebelah kanan ada daging
tumbuh. Keluhan tersebut sudah pasien sadari sejak kurang lebih 3 tahun
yang lalu, awalnya pasien merasa ganjel pada mata sebelah kanan, kemeng
dan sering keluar air (nerocos). Kemudian pasien menyadari bahwa
terdapat putih-putih pada bagian hitam matanya. Beberapa hari sebelum ke
poliklinik mata keluhannya semakin mengganggu dan pandangan semakin
kabur. Keluhan lain seperti mata merah, gatal dan pusing disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya. Riwayat sakit mata yang lain di sangkal. Riwayat trauma
pada mata disangkal. Riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma
dan alergi disangkal.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:
Keluhan hal serupa dalam keluarga disangkal. Riwayat penyakit
hipertensi, diabetes mellitus, asma dan alergi di keluarga disangkal.
3
Riwayat Personal Sosial:
Dalam keseharian pasien bekerja sebagai petani di sawah. Pasien
merupakan perokok aktif dan menghabiskan 7 batang rokok setiap
harinya.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Tidak tampak sakit
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7oC
Status Oftalmologi
OD OS
Pemeriksaan OD OS
Segmen Anterior
Silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-). edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
4
Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi (-) Injeksi (-)
Tampak jaringan
fibrovaskular berbentuk
segitiga dengan puncak
di bagian sentral sudah
melewati pupil. Arah
nasal ke sentral.
Kornea Sedang, tertutup Sedang,jernih
jaringan fibrovaskular
bentuk puncak segitiga
Bilik Mata Depan Dalam, jernih Dalam, jernih
Iris Kripta iris normal Kripta iris normal
Pupil Bulat, tertutup jaringan Bulat, RC (+)
fibrovaskular
Lensa Jernih Jernih
Pemeriksaan Slitlamp
OD OS
Cilia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Konjungtiva Injeksi (-) Injeksi (-)
Kornea Terdapat jaringan Jernih
fibrovaskular dari area plica
semilunar conjunctiva .
COA Darah (-) pus (-) Darah (-) pus (-)
Iris Warna coklat, kripta iris Warna coklat, kripta iris normal
normal
Lensa Jernih Jernih
5
D. Diagnosis Banding
Pterigium
Pinguekula
Pseudopterigium
E. Diagnosis Kerja
Oculi Dextra Pterigium Nasal Grade IV
F. Penatalaksanaan
Pro eksisi dan conjungtival autograft
G. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad visam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad kosmetika : bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk
jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe
konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan
bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus
7
limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit
mempunyai serat nyeri.
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel,
aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan
spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya
jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superficial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air
mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih
pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel
tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Lapisan fibrosa tersusun
longgar pada bola mata.
2. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
Kornea terdiri dari lima lapisan yaitu :
a. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
8
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
b. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian
depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
d. Membrane descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40µm.
e. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf trigeminus. Saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman
melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Trauma atau penyakit yang
9
merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel terganggu
sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenarasi.
B. DEFINISI PTERIGIUM
Pterigium adalah keadaan patologik konjungtiva bulbi yang menunjukkan
penebalan yang merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang bersifat
degeneratif dan invasif berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari
arah konjungtiva dan menjalar ke dalam kornea, dengan puncak segitiganya di
kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing
atau sayap. Kebanyakan pterigium ditemukan di bagian nasal daripada
temporal. Pterigium memiliki tiga bagian:
1. Cap atau leading edge adalah zona datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala.
2. Head adalah daerah vaskular yang terletak di belakang tutup dan melekat
kuat pada kornea.
3. Body adalah bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan
area vaskular pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung.
Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya
koreksi pembedahan
10
Gambar 3. Bagian pterigium
C. EPIDEMIOLOGI
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Insiden
pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1
%. Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan
ke-3. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49 tahun. Kejadian berulang
(rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali
lebih resiko dari perempuan. Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki
yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90%
terletak di daerah nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat
terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang
ditemukan.
12
growth factor), TNF-α (tumor necrosis factor-α) dan IGF II secara berlebihan
berbeda dengan jaringan konjungtiva normal. Hal ini menjelaskan bahwa
pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi
fibrovaskular dan inflamasi.
F. KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya, berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera
dan lokasi. Berikut klasifikasinya:
1. Berdasarkan tipe pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering
mengalami inflamasi ringan.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4
mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan
tear film dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm
dan mengganggu aksis visual.
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus, namun tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea.
Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter
pupil sekitar 3-4 mm).
Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.
13
Gambar 4. Pterigium stadium 1 Gambar 5. Pterigium stadium 2
15
bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya
6♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak
pulau Funchs ada head, cap,
(bercak kelabu) body)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium
I. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok
usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat
16
perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar
matahari. Selain itu perlu ditanyakan apakah ada riwayat trauma pada mata
sebelumnya untuk menyingkirkan penyebab lain.
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa
mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus
berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya
sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau
alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada
daerah fisura interpalpebralis. Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah
nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga
menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan
terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea
astigmatisme pada tahap regresif.
J. PENATALAKSANAAN PTERIGIUM
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami
gangguan penglihatan. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau
suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar
matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan
yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis, adanya gangguan
pergerakan bola mata dan alasan kosmetik. Eksisi pterigium bertujuan untuk
mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin.
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple
17
surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat
menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft.
Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva normal.
Konjungtiva normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki
kecenderungan untuk menyebabkan pterigium rekuren.
18
K. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut)
pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar
pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi post eksisi
pterigium, yaitu:
1. Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar,
dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment
2. Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting
pada sklera dan kornea
3. Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-
kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau
amnion graft.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren
pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft.
19
BAB III
PEMBAHASAN
21
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course
section 8 External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared
with subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive
primary pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu
Kedokteran, Volume 39, No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan
Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
4. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan
Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina
Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan, 1984. 14-17
5. Jerome P Fisher. Pterygium. 2009. available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
6. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited
Publisher. 2007. p: 443-457
7. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104
8. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
9. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
hal:2-6, 116 – 117
10. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology – An Asian
Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
11. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum.
Edisi 17.Jakarta:Widya Medika, 2013, hal 5-6.
22