Anda di halaman 1dari 22

PRESENTASI KASUS

PTERIGIUM

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Mata di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga

Disusun Oleh:
Dianatun Nafisah
NIPP. 20174011072

Pembimbing:
dr. Awang Wimbo Yuwono, Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul


PTERIGIUM

Disusun oleh:
Dianatun Nafisah
20174011072

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: Jumat, 26 April 2019

Disahkan oleh:
Dokter Pembimbing

dr. Awang Wimbo Yuwono, Sp.M

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. B
Umur : 75 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Krajan 2/5 ds. Tingkir Lor kc. Tingkir
No. RM : 14-15-275***
B. Anamnesis
Keluhan Utama:
Pandangan kabur
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Salatiga dengan keluhan
pandangan kabur. Pasien juga merasa mata sebelah kanan ada daging
tumbuh. Keluhan tersebut sudah pasien sadari sejak kurang lebih 3 tahun
yang lalu, awalnya pasien merasa ganjel pada mata sebelah kanan, kemeng
dan sering keluar air (nerocos). Kemudian pasien menyadari bahwa
terdapat putih-putih pada bagian hitam matanya. Beberapa hari sebelum ke
poliklinik mata keluhannya semakin mengganggu dan pandangan semakin
kabur. Keluhan lain seperti mata merah, gatal dan pusing disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya. Riwayat sakit mata yang lain di sangkal. Riwayat trauma
pada mata disangkal. Riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma
dan alergi disangkal.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:
Keluhan hal serupa dalam keluarga disangkal. Riwayat penyakit
hipertensi, diabetes mellitus, asma dan alergi di keluarga disangkal.

3
Riwayat Personal Sosial:
Dalam keseharian pasien bekerja sebagai petani di sawah. Pasien
merupakan perokok aktif dan menghabiskan 7 batang rokok setiap
harinya.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Tidak tampak sakit
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7oC
Status Oftalmologi
OD OS

Pemeriksaan OD OS

Visus 6/60 6/6

Kedudukan Bola Mata Orthoforia

Gerakan Bola Mata

Segmen Anterior
Silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-). edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
4
Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi (-) Injeksi (-)
Tampak jaringan
fibrovaskular berbentuk
segitiga dengan puncak
di bagian sentral sudah
melewati pupil. Arah
nasal ke sentral.
Kornea Sedang, tertutup Sedang,jernih
jaringan fibrovaskular
bentuk puncak segitiga
Bilik Mata Depan Dalam, jernih Dalam, jernih
Iris Kripta iris normal Kripta iris normal
Pupil Bulat, tertutup jaringan Bulat, RC (+)
fibrovaskular
Lensa Jernih Jernih

Pemeriksaan Slitlamp
OD OS
Cilia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Konjungtiva Injeksi (-) Injeksi (-)
Kornea Terdapat jaringan Jernih
fibrovaskular dari area plica
semilunar conjunctiva .
COA Darah (-) pus (-) Darah (-) pus (-)
Iris Warna coklat, kripta iris Warna coklat, kripta iris normal
normal
Lensa Jernih Jernih

Pemeriksaan Tonometri : Tidak dilakukan

5
D. Diagnosis Banding
 Pterigium
 Pinguekula
 Pseudopterigium

E. Diagnosis Kerja
Oculi Dextra Pterigium Nasal Grade IV

F. Penatalaksanaan
Pro eksisi dan conjungtival autograft

G. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad visam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad kosmetika : bonam

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI KONJUNGTIVA DAN KORNEA


1. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata
bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal
yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya. Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan
sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah
bergerak. Konjungtiva bulbi superior paling sering mengalami infeksi dan
menyebar ke bawahnya. Pada pterigium, konjungtiva yang mengalami
fibrovaskular adalah konjungtiva bulbi.

Gambar 1. Penampang sagital konjungtiva

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk
jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe
konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan
bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus

7
limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit
mempunyai serat nyeri.
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel,
aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan
spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya
jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superficial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air
mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih
pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel
tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Lapisan fibrosa tersusun
longgar pada bola mata.
2. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
Kornea terdiri dari lima lapisan yaitu :
a. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

8
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
b. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian
depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
d. Membrane descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40µm.
e. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf trigeminus. Saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman
melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Trauma atau penyakit yang

9
merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel terganggu
sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenarasi.

Gambar 2. Gambaran Histologi Kornea

B. DEFINISI PTERIGIUM
Pterigium adalah keadaan patologik konjungtiva bulbi yang menunjukkan
penebalan yang merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang bersifat
degeneratif dan invasif berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari
arah konjungtiva dan menjalar ke dalam kornea, dengan puncak segitiganya di
kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing
atau sayap. Kebanyakan pterigium ditemukan di bagian nasal daripada
temporal. Pterigium memiliki tiga bagian:
1. Cap atau leading edge adalah zona datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala.
2. Head adalah daerah vaskular yang terletak di belakang tutup dan melekat
kuat pada kornea.
3. Body adalah bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan
area vaskular pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung.
Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya
koreksi pembedahan

10
Gambar 3. Bagian pterigium

C. EPIDEMIOLOGI
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Insiden
pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1
%. Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan
ke-3. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49 tahun. Kejadian berulang
(rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali
lebih resiko dari perempuan. Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki
yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90%
terletak di daerah nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat
terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang
ditemukan.

D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan
suatu neoplasma radang dan degenerasi. Namun, pterigium banyak terjadi
pada mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan banyak
terkena panas terik matahari. Faktor risiko terjadinya pterigium adalah
lingkungan seperti sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau
anginnya besar. Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan
berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA
ataupun UVB, dan angin (udara panas) yang mengenai konjungtiva bulbi
berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain seperti zat alergen, kimia dan zat pengiritasi lainnya. Pterigium
sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat
daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak.
11
Faktor-faktor risiko pterigium yaitu :
1. Radiasi ultraviolet adalah penyebab tersering timbulnya pterigium. Faktor
resiko radiasi sinar UV bisa dikaitkan dengan pekerjaan.
2. Faktor genetik, hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
menunjukkan kemungkinan diturunkan autosom dominan pada riwayat
keluarga dengan pterigium.
3. Faktor lain seperti iritasi kronik atau inflamasi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari
bahan partikel tertentu (pasir, debu, angin, asap rokok, bahan iritan), dry
eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.
E. PATOFISIOLOGI
Sinar matahari yang menghasilkan ultraviolet adalah mutagen untuk p53
tumor suppressor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis,
transforming growth factor-beta overproduksi dan menimbulkan peningkatan
kolagenase, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan
degenerasi kolagen dan timbulnya jaringan subepitelial fibroveskular yang
menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran
bowman.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal dapat terjadi pertumbuhan konjungtiva pada permukaan
kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement, dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa perigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem
cell. Sinar ultraviolet menjadi salah satu yang dapat menyebabkan rusaknya
limbal stem cell.
Lapisan fibroblas pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblas pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase,
di mana matrix tersebut adalah matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk
jaringan yang rusak dan penyembuhan luka. Fibroblas pterigium bereaksi
terhadap TGF-β (transforming growth factor-β), bFGF (basic fibroblast

12
growth factor), TNF-α (tumor necrosis factor-α) dan IGF II secara berlebihan
berbeda dengan jaringan konjungtiva normal. Hal ini menjelaskan bahwa
pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi
fibrovaskular dan inflamasi.
F. KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya, berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera
dan lokasi. Berikut klasifikasinya:
1. Berdasarkan tipe pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering
mengalami inflamasi ringan.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4
mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan
tear film dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm
dan mengganggu aksis visual.
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
 Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
 Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus, namun tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea.
 Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter
pupil sekitar 3-4 mm).
 Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.

13
Gambar 4. Pterigium stadium 1 Gambar 5. Pterigium stadium 2

Gambar 6. Pterigium stadium 3 Gambar 7. Pterigium stadium 4

3. Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:


- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
5. Berdasarkan lokasi, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:
- Pterygium Simpleks, jika terjadi hanya di nasal atau temporal saja
- Pterygium Dupleks, jika terjadi di nasal dan temporal
G. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan
sering tidak ada keluhan sama sekali (asimptomatik). Pada fase awal
pterigium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika
pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena
pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga
14
menyebabkan terbatasnya pergerakan mata. Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain :
1. Mata sering berair dan tampak merah (apabila terjadi iritasi)
2. Merasa seperti ada benda asing atau fotofobia
3. Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium
tersebut, biasanya astigmatisme “with the rule” ataupun astigmatisme
irreguler sehingga mengganggu penglihatan
4. Pada pterygium yang lanjut (derajat 3 dan 4), bisa menutupi pupil dan aksis
visual sehingga tajam penglihatan juga menurun.
5. Diplopia karena membesarnya ukuran lesi. Efek diplopia akan lebih sering
pada lesi-lesi rekuren dengan pembentukan jaringan parut.
H. DIAGNOSIS BANDING
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan
pseudopterigium. Pinguekula merupakan benjolan (nodul) kuning pada
konjungtiva bulbi akibat degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva,
jarang bertumbuh besar. Sedangkan pseudopterygium merupakan perlekatan
konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterygium ini terjadi
pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi
kornea. Pseudopterygium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder
penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterygium dapat ditemukan di
bagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk obliq. Sedangkan
pterygium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. Berikut
tabel perbedaan antara pterigium, pinguekula dan pseudopterigium.
Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular konjungtiva konjungtiba bulbi
konjungtiva bulbi dengan kornea yang
bulbi berbentuk cacat
segitiga
Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan
kekuningan keabu-abuan
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah

15
bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya
6♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak
pulau Funchs ada head, cap,
(bercak kelabu) body)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium

I. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok
usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat

16
perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar
matahari. Selain itu perlu ditanyakan apakah ada riwayat trauma pada mata
sebelumnya untuk menyingkirkan penyebab lain.
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa
mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus
berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya
sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau
alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada
daerah fisura interpalpebralis. Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah
nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga
menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan
terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea
astigmatisme pada tahap regresif.
J. PENATALAKSANAAN PTERIGIUM
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami
gangguan penglihatan. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau
suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar
matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan
yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis, adanya gangguan
pergerakan bola mata dan alasan kosmetik. Eksisi pterigium bertujuan untuk
mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin.
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple

17
surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat
menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft.
Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva normal.
Konjungtiva normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki
kecenderungan untuk menyebabkan pterigium rekuren.

Gambar 8. Prosedur conjungtival autograft

Selain conjungtival autograft ada berbagai macam teknik operasi yang


digunakan dalam penanganan pterigium di antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi
pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.

18
K. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut)
pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar
pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi post eksisi
pterigium, yaitu:
1. Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar,
dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment
2. Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting
pada sklera dan kornea
3. Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-
kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau
amnion graft.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren
pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft.

19
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien seorang laki-laki usia 75 tahun datang ke poliklinik mata RSUD


Salatiga dengan keluhan pandangan kabur. Pasien juga merasa mata sebelah
kanan ada daging tumbuh. Keluhan tersebut sudah pasien sadari sejak kurang
lebih 3 tahun yang lalu, awalnya pasien merasa ganjel pada mata sebelah kanan,
kemeng dan sering keluar air (nerocos). Kemudian pasien menyadari bahwa
terdapat putih-putih pada bagian hitam matanya. Beberapa hari sebelum ke
poliklinik mata keluhannya semakin mengganggu dan pandangan semakin kabur.
Keluhan lain seperti mata merah, gatal dan pusing disangkal.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis pasien di diagnosis
dengan Oculi Dextra Pterigium Nasal Grade IV. Pterigium adalah keadaan
patologik konjungtiva bulbi yang menunjukkan penebalan yang merupakan
pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang bersifat degeneratif dan invasif berupa
lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva dan menjalar ke
dalam kornea, dengan puncak segitiganya di kornea. Penyebab pterigium belum
dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan suatu neoplasma radang dan
degenerasi. Namun, pterigium banyak terjadi pada mereka yang banyak
menghabiskan waktu di luar rumah dan banyak terkena panas terik matahari. Pada
pasien pekerjaan dan lingkungannya menjadi faktor risiko, dimana pasien
merupakan seorang petani yang kesehariannya berada di sawah selain risiko
terpapar sinar matahari saat bekerja, debu atau tanah di sawah dapat menyebabkan
iritasi kronis pada pasien yang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
pterigium.
Pertumbuhan jaringan pada konjungtiva bulbi bisa diakibatkan oleh suatu
penyakit akibat pinguekula, pseudopterigium, dan pterigium. Pada pasien
diagnosis banding seperti pinguekula dan pseudopterigium dapat disingkirkan,
berdasarkan bentuk pertumbuhan pada pasien berbentuk segitiga dengan puncak
menutup pupil sedangkan pada pinguekula pertumbuhan berbentuk nodul tanpa
adanya puncak. Selain itu pada pasien tidak didapatkan riwayat trauma
sebelumnya yang mana hal tersebut merupakan faktor risiko terbentuknya
pseudopterigium.
20
Pada pasien akan dilakukan bedah eksisi pterigium dengan teknik
conjungtival autograf hal ini sudah sesuai karena salah satu indikasi dilakukan
pembedahan pada kasus pterigium adalah berdasarkan derajat pterigium yang
mana pada pasien sudah sampai derajat 4 yaitu sudah melewati pupil dan lebih
dari 3-4 mm dan mengganggu penglihatan. Dilakukan pemilihan teknik
conjungtival autograph untuk mengurangi angka kekambuhan yang lebih kecil
dibandingkan teknik simple surgical removal.

21
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course
section 8 External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared
with subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive
primary pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu
Kedokteran, Volume 39, No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan
Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
4. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan
Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina
Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan, 1984. 14-17
5. Jerome P Fisher. Pterygium. 2009. available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
6. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited
Publisher. 2007. p: 443-457
7. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104
8. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
9. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
hal:2-6, 116 – 117
10. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology – An Asian
Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
11. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum.
Edisi 17.Jakarta:Widya Medika, 2013, hal 5-6.

22

Anda mungkin juga menyukai