Anda di halaman 1dari 8

APAKAH PROFILAKSIS ANTITROMBOTIK MEMPERBURUK OUTCOME AWAL

TIROIDEKTOMI TOTAL? - PENELITIAN KOHORT RETROSPEKTIF

E. Erdas, F. Medas, S. Sanna, L. Gordini, G. Pisano, G. L. Canu dan P. G. Calò

Abstrak

Latar Belakang

Saat ini, belum ada bukti kuat mengenai efektivitas dan keamanan profilaksis antitrombotik
farmakologis dalam operasi tiroid. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah
penggunaan profilaksis heparin berat molekul rendah/low-molecular-weight-heparin (LMWH)
dapat secara negatif mempengaruhi (memperburuk) outcome awal pasien yang menjalani
tiroidektomi total.

Metode

Data pasien yang menjalani tiroidektomi total antara Februari 2013 dan Oktober 2017
dikumpulkan dan dianalisis secara retrospektif. Hanya pasien dengan indikasi profilaksis
antitrombotik yang sesuai dengan pedoman saat ini yang dimasukkan ke dalam penelitian. Kasus
yang memenuhi syarat dibagi menjadi dua kelompok, sesuai dengan dua periode berbeda dari
praktik bedah kami: Grup A, mencakup 178 pasien yang mendapatkan profilaksis antitrombotik
LMWH dan Grup B, mencakup 348 pasien yang tidak mendapatkan profilaksis. Endpoint primer
dari penelitian ini adalah kejadian hematoma servikal pasca operasi/post-operative cervival
haematoma (POCH) dan kejadian tromboemboli. Endpoint sekunder adalah durasi rawat inap di
rumah sakit pasca operasi. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Student’s t test untuk
variabel kontinu dan uji Chi-square untuk variabel kategori. Nilai P kurang dari 0,05 dianggap
signifikan secara statistik.

Hasil

Kedua kelompok pasien sebanding dalam hal usia, jenis kelamin, penyakit tiroid, durasi operasi,
dan berat kelenjar tiroid. Secara keseluruhan, tidak ada kejadian tromboemboli pada kedua
kelompok. Analisis komparatif dari ukuran outcome lainnya, tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok (POCH: 2 kasus (1,12%) pada Grup A vs 8 kasus (2,30%) pada
Grup B - p = 0,349; durasi rawat inap di rumah sakit: 2,90 ± 0,86 hari di Grup A vs 2,89 ± 0,99
hari di Grup B = p 0,908).

Kesimpulan

Data dari penelitian ini tidak mendukung ataupun mengkontraindikasikan penggunaan profilaksis
antitrombotik dalam operasi tiroid. Namun, karena tiroidektomi adalah prosedur ruang tertutup
(closed-spaced procedure), dan bahkan perdarahan sederhana dapat dengan cepat mengakibatkan
kompresi jalan napas dan kematian akibat asfiksia, profilaksis mekanis perlu untuk lebih
diprioritaskan daripada LMWH bila memungkinkan.

Kata kunci: profilaksis antitrombotik, operasi tiroid, perdarahan pasca operasi

Latar belakang

Hematoma servikal pasca operasi/post-operative cervical haematoma (POCH) adalah komplikasi


dari operasi tiroid yang jarang, namun berpotensi menyebabkan kematian. Di berbagai pusat
pelayanan kesehatan besar, POCH terjadi pada 0,3-1,6% pasien, sehingga hanya mewakili 8% dari
seluruh komplikasi operasi tiroid [1]. Meskipun mortalitas setelah prosedur tiroidektomi sangat
rendah (0,065%), hal ini sering dikaitkan dengan terjadinya POCH, karena perdarahan ke dalam
ruang leher dalam dapat dengan cepat mengakibatkan kompresi jalan napas dan kematian oleh
asfiksia [2, 3]. Dengan demikian, perdarahan pasca operasi setelah prosedur tiroidektomi adalah
salah satu perhatian utama para dokter bedah, dan tindakan yang mereka lakukan lebih berfokus
pada pencegahannya [4, 5].

POCH umumnya dianggap sebagai komplikasi yang tidak terduga dari operasi tiroid, namun,
dalam beberapa tahun terakhir, beberapa penelitian menunjukkan bahwa obat antikoagulan secara
signifikan meningkatkan risiko perdarahan perioperatif, yang juga dapat terjadi beberapa hari
setelah operasi [6, 7, 8]. Lebih khusus lagi, Lloyd et al. menunjukkan bahwa, antikoagulan dapat
meningkatkan risiko perdarahan pasca operasi sebesar 0,5% bahkan ketika diberikan pada dosis
rendah untuk mencegah deep vein thrombosis (DVT) [9].

Menurut pedoman American College of Chest Physicians (ACCP), profilaksis DVT dengan
heparin berat molekul rendah (LMWH) harus diberikan kepada seluruh pasien berusia di atas 40
tahun yang menjalani prosedur bedah dengan risiko perdarahan rendah, yang memiliki durasi
operasi lebih dari 45 menit [10]. Meskipun pedoman ACCP tidak membuat referensi khusus untuk
jenis operasi, rekomendasi ini dapat diterapkan untuk operasi tiroid. dan untuk alasan ini, telah
sepenuhnya dialihkan ke dalam pernyataan posisi dari Asosiasi Unit Operasi Endokrin Italia (UEC
Club), yang baru saja dimasukkan pada United Italian Society of Endocrine Surgery (SIUEC) [11].
Bahkan sebelum publikasi definitif pada Juni 2016, banyak unit operasi endokrin Italia yang mulai
menerapkan rekomendasi ini, termasuk kami. Namun, saat ini belum ada bukti bahwa profilaksis
DVT berguna dan aman dalam operasi tiroid, seperti yang telah ditunjukkan untuk prosedur mayor
lainnya.

Tujuan dari penelitian kohort retrospektif ini adalah untuk menentukan apakah pengenalan
protokol baru ini dalam praktik bedah kami telah berdampak negatif pada outcome awal pasien
yang menjalani tiroidektomi total, dengan merujuk khusus pada kejadian POCH dan durasi rawat
inap di rumah sakit pasca operasi.
Metode

Desain penelitian dan pemilihan pasien

Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dari 526 pasien yang menjalani
tiroidektomi total di Unit Bedah Endokrin Rumah Sakit Universitas di Cagliari, Italia, antara
Februari 2013 dan Oktober 2017. Data diperoleh dari register register data operasi tiroid di rumah
sakit tersebut. Seluruh pasien yang mendapatkan profilaksis antitrombotik yang diindikasikan
sesuai dengan pedoman ACCP saat menjalani tiroidektomi total disertakan ke dalam penelitian
ini. Kriteria eksklusi adalah usia di bawah 18 tahun, terapi antikoagulan atau antiplatelet, goiter
rekuren, dan operasi selain tiroidektomi total (hemitiroidektomi, tiroidektomi dengan diseksi leher
sentral atau lateral). Kasus yang memenuhi syarat dibagi menjadi dua kelompok: Grup A, terdiri
dari 178 pasien yang dirawat pada periode antara Juni 2015 dan Oktober 2017 yang mendapatkan
profilaksis antitrombotik dengan LMWH sesuai dengan Pedoman ACCP; dan Grup B, terdiri dari
348 pasien yang menjalani operasi sebelum periode ini, dalam jangka waktu yang sama (28 bulan),
dan tidak mendapatkan profilaksis. Profilaksis mekanik dengan stocking elastis atau kompresi
pneumatik intermiten belum pernah digunakan dalam penelitian kami.

Untuk setiap kelompok, terdapat beberapa variabel-variabel yang dianalisis yaitu: usia, jenis
kelamin, indikasi operasi, lama operasi, berat kelenjar tiroid, durasi rawat inap di rumah sakit pasca
operasi, dan komplikasi awal pasca operasi (dalam satu bulan setelah operasi).

Seluruh pasien telah memberikan informed consent tertulis untuk penyimpanan dan penggunaan
data mereka.

Endpoint klinis

Outcome primer dinilai melalui insidensi POCH dan tromboemboli. POCH dianggap sebagai
perdarahan pasca operasi yang membutuhkan perbaikan pembedahan.

Outcome sekunder dinilai melalui durasi rawat inap di rumah sakit pasca operasi. Data ini
digunakan sebagai pengganti untuk jumlah dan progress (kontinu, peningkatan, penurunan) drain,
yang merupakan faktor pembatas utama bagi pasien untuk dipulangkan dari rumah sakit.

Meskipun tidak sepenuhnya berguna untuk keperluan penelitian ini, tingkat cedera nervus
laringeus rekuren, hipokalsemia dan infeksi luka juga dicatat.

Seluruh pasien menjalani tindak lanjut melalui telepon seminggu sekali selama setidaknya satu
bulan.
Analisis statistik

Data dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak IBM SPSS 22. Analisis statistik dilakukan
dengan menggunakan Student’s t test untuk variabel kontinu dan uji Chi-square untuk variabel
kategori.

Nilai P kurang dari 0,05 dianggap signifikan secara statistik.

Perawatan pra operasi

Profilaksis antibiotik
Sefalosporin generasi kedua diberikan hanya dalam kasus-kasus tertentu, seperti pasien dengan
diabetes mellitus, imunosupresi dan obesitas.

Profilaksis antitrombotik
Dari Juni 2015, pedoman ACCP untuk pencegahan DVT pada pasien bedah non-ortopedi telah
diperkenalkan dalam praktik bedah kami. Dengan demikian, dosis profilaksis subkutan (yaitu, 0,3
ml) kalsium nadroparin diberikan sehari sebelum operasi untuk seluruh pasien di atas 40 tahun,
dan dilanjutkan selama setidaknya 10 hari.

Manajemen hipertiroidisme
Sebelum pembedahan, Seluruh pasien dengan hipertiroidisme diobati secara preventif dengan obat
antitiroid untuk mengembalikan pasien pada kondisi eutiroidisme.

Pasien yang menunggu operasi untuk penyakit Graves menerima larutan Lugol selama 10 hari
sebelum operasi (0,5 ml 3 kali sehari).

Teknik bedah
Operasi pada kedua kelompok dilakukan oleh dokter bedah endokrin berpengalaman, yang
mengikuti teknik standar tiroidektomi ekstrasapsular total.

Nervus laringeus rekuren dan kelenjar paratiroid secara sistematis dicari dan diidentifikasi.
Pemantauan saraf intraoperative/intraoperative nerve monitoring (IONM) secara rutin digunakan
untuk memfasilitasi identifikasi saraf dan memverifikasi integritas fungsionalnya. Hemostasis
terutama dicapai oleh FOCUS harmonic scalpel (Ethicon Endo-Surgery, Inc., Cincinnati, Ohio,
USA), meskipun pembuluh darah besar juga diikat secara proksimal dengan ligatur yang dapat
diserap. Pada seluruh pasien, dua drain hisap tertutup ditempatkan di bawah otot-oto
infrahyoid/strap muscle, dan akan dilepas ketika volume sekresi kurang dari 20 ml dalam 24 jam.
Otot-otot infrahyoid dan otot platysma dijahit menggunakan Vicryl 3/0 secara interrupted dan
insisi pada kulit dijahit menggunakan polypropylene 3/0 secara intradermal (subkutikuler).
Perawatan pasca operasi

Seluruh pasien akan menjalani pemantauan ketat dalam 12 jam pertama setelah operasi untuk
mendeteksi tanda-tanda awal hematoma servikal, gangguan pernapasan, atau hipokalsemia. Drain
dilepas ketika jumlah harian pengumpulan cairan turun di bawah 20 ml di setiap reservoir.

Hormon paratiroid (PTH) dan kadar kalsium serum diukur pada hari pertama dan kedua pasca
operasi, sementara kontrol lebih lanjut dilakukan hanya jika diperlukan (PTH pada tingkat yang
sangat rendah, tanda-tanda klinis hipokalsemia terlepas dari kadar kalsium serum). Suplemen
kalsium dan vitamin D oral pasca operasi diberikan pada seluruh pasien dengan gejala
hipokalsemia.

Setelah dipulangkan dari rumah sakit, seluruh pasien dievaluasi kembali dalam 1 minggu untuk
menilai luka dan, jika penyembuhan luka baik, jahitan intradermal/subkutikuler pasien akan
dicabut.

Hasil

Kedua kelompok pasien sebanding dalam hal usia, jenis kelamin, penyakit tiroid, durasi operasi,
dan berat kelenjar tiroid (Tabel 1). Pada kedua kelompok, tidak terdapat komplikasi umum, seperti
komplikasi respirasi, kardiologi, ataupun tromboemboli. Secara keseluruhan, rata-rata durasi rawat
inap di rumah sakit pasca operasi adalah kurang dari 3 hari dan insiden komplikasi pasca operasi
sesuai dengan data literatur. Analisis komparatif dari semua ukuran hasil, tidak menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok (POCH: 2 kasus (1,12%) pada Grup A
vs 8 kasus (2,30%) pada Grup B - p = 0,349; durasi rawat inap di rumah sakit: 2,90 ± 0,86 hari
pada Grup A vs 2,89 ± 0,99 hari pada Grup B – p = 0,908) (Tabel 2).

Tabel 1. Gambaran demografis dan klinis

Singkatan: min: minute (menit); g: gram


Tabel 2. Analisis komparatif outcome klinis

Singkatan: d: day (hari); SD: standar deviasi; RLN: reccurent laryngeal nerve (nervus laringeus
rekuren); POCH: post-operative cervical haematoma (hematoma servikal pasca operasi)

Diskusi

Saat ini, belum ada pedoman khusus untuk penggunaan profilaksis DVT dalam operasi tiroid.
Memang, rekomendasi yang dilaporkan dalam pernyataan posisi UEC Club hanyalah transposisi
pedoman ACCP mengenai pencegahan tromboemboli vena pada pasien bedah non-ortopedi [10,
11]. Sayangnya, pedoman ini didasarkan pada penelitian yang tidak menguji efektivitas dan
keamanan profilaksis DVT dalam operasi tiroid, yang berbeda dari sebagian besar prosedur bedah
lainnya dalam beberapa hal tertentu. Meskipun terdapat risiko perdarahan pasca operasi yang
rendah (sekitar 1% di pusat-pusat pelayanan kesehatan besar) [1], tiroidektomi harus dimasukkan
ke dalam apa yang disebut prosedur ruang tertutup/closed-space procedure, seperti bedah saraf
intrakranial dan bedah kanal tulang belakang, yang bahkan perdarahan kecil dapat menyebabkan
komplikasi yang mengancam jiwa [10]. Telah dilaporkan bahwa hanya 1% dari semua perdarahan
pasca operasi yang memerlukan transfusi darah, yang berarti 0,12% dari seluruh prosedur
tiroidektomi [1]. Namun, karena ruang leher dalam adalah kompartemen tertutup, perdarahan kecil
dapat dengan cepat mengakibatkan kompresi jalan napas dan kematian oleh asfiksia [3]. Karena
alasan ini, sesuai dengan pedoman yang telah disebutkan di atas, profilaksis mekanik, seperti
kompresi pneumatik intermiten, perlu untuk diprioritaskan daripada LMWH dalam operasi tiroid
[10].

Pertanyaan yang telah dicoba dijawab oleh beberapa penulis adalah apakah pengurangan tingkat
tromboemboli vena yang diharapkan dari profilaksis farmakologis bersifat menguntungkan dalam
hal rasio risiko / manfaat dalam operasi tiroid. Dalam hal ini, Roy et al. [12] menunjukkan bahwa
setelah operasi tiroid dan paratiroid, risiko perdarahan yang memerlukan pengembalian ke ruang
operasi adalah 1,58%, yaitu 10 kali lipat lebih besar daripada risiko mengalami DVT. Para penulis
menyimpulkan bahwa profilaksis DVT harus dievaluasi sesuai kebijaksanaan dokter bedah pada
pasien berisiko tinggi tertentu. Baru-baru ini, Docimo L et al. [13] mencapai kesimpulan yang
sama setelah menganalisis outcome dari 1.018 tiroidektomi yang dilakukan selama 6 tahun
berturut-turut. Dalam penelitian ini, tingkat DVT pada pasien yang menjalani tiroidektomi total
tanpa profilaksis pra operasi adalah 8 kali lipat lebih rendah daripada tingkat perdarahan pasca
operasi (0,1% vs 0,8%). Para penulis menyimpulkan bahwa profilaksis DVT harus diberikan
berdasarkan kasus per kasus, sesuai dengan faktor risiko pasien.
Topik lain yang baru-baru ini dibahas mengacu pada peran potensial kanker tiroid dalam
mendorong terjadinya DVT pada pasien yang menjalani tiroidektomi. Telah dilaporkan bahwa
pasien yang terkena berbagai tumor ganas memiliki peningkatan risiko empat hingga tujuh kali
lipat untuk mengalami kasus tromboemboli vena, dan hampir 10% pasien kanker rawat jalan
meninggal akibat peristiwa tromboemboli [14, 15]. Namun, Reike CE et al. [16] mencatat risiko
DVT yang sangat rendah, tanpa perbedaan yang signifikan antara penyakit keganasan (0,08%) dan
yang jinak (0,07%), di antara 19.640 pasien yang menjalani tiroidektomi selama 4 tahun. Para
penulis menyimpulkan bahwa kebutuhan untuk profilaksis DVT harus ditentukan oleh faktor
risiko pasien secara individu, terlepas dari sifat penyakit tiroid. Mereka juga berpendapat bahwa
rendahnya tingkat DVT yang diamati dalam penelitian mereka, bahkan pada pasien risiko tinggi,
menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut untuk menentukan pasien yang menjalani
tiroidektomi yang mungkin mendapat manfaat dari profilaksis DVT.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah pedoman ACCP mengenai profilaksis
antitrombotik berlaku untuk operasi tiroid. Untuk tujuan ini, kami membandingkan outcome awal
pasien yang menjalani tiroidektomi total sebelum dan sesudah pengenalan pedoman tersebut dalam
praktik bedah kami. Kami menduga bahwa insiden POCH dan durasi rawat inap di rumah sakit
akan lebih tinggi selama periode di mana profilaksis antitrombotik diberikan. Namun, kami tidak
menemukan perbedaan yang signifikan antara kedua periode tersebut. Selain itu, kami tidak
menemukan adanya kasus tromboemboli vena. Dengan demikian, penelitian ini tidak
menunjukkan kegunaan profilaksis antitrombotik dalam mengurangi risiko tromboemboli dalam
operasi tiroid. Pada saat yang sama, penerapan pedoman ACCP tidak memperburuk hasil pasca
operasi dalam hal risiko perdarahan dan durasi rawat inap di rumah sakit. Namun, penelitian ini
memiliki beberapa keterbatasan, seperti populasi pasien yang kecil dan sifatnya yang retrospektif;
dengan demikian hasilnya harus dipertimbangkan secara hati-hati. Penelitian lebih lanjut yang
lebih besar, multisenter, dan acak diperlukan untuk meningkatkan bukti mengenai topik ini.

Kesimpulan

Data dari penelitian ini dan tinjauan literatur tidak mendukung ataupun mengkontraindikasikan
penggunaan profilaksis antitrombotik dalam operasi tiroid.

Saat ini, tidak ada bukti bahwa LMWH secara signifikan mengurangi kejadian DVT atau
meningkatkan kejadian POCH dan durasi rawat inap di rumah sakit. Namun, harus ditekankan
bahwa tiroidektomi adalah prosedur ruang tertutup, dan bahkan perdarahan sederhana dapat
menyebabkan kompresi jalan napas dan kematian akibat asfiksia. Untuk prosedur semacam ini,
pedoman ACCP merekomendasikan penggunaan profilaksis mekanik, terutama kompresi
pneumatik intermiten. Pada pasien yang memiliki risiko DVT tinggi atau sangat tinggi, profilaksis
mekanik harus dilanjutkan sampai risiko perdarahan berkurang dan profilaksis farmakologis dapat
dimulai.
Singkatan dan kepanjangannya

ACCP: American College of Chest Physicians


DVT: Deep vein thrombosis
LMWH: Low-molecular-weight heparin
POCH: Post-operative cervical haematoma
PTH: Parathyroid hormone
RLN: Recurrent laryngeal nerve
SIUEC: United Italian Society of Endocrine Surgery
UEC Club: Italian Association of Endocrine Surgery Units

Anda mungkin juga menyukai