Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM KI2221

CARA PEMISAHAN DAN ELEKTROMETRI


PERCOBAAN 09
KROMATOGRAFI GAS CAIR

Nama : Galih Dyah Kurniawati


NIM : 10515055
Shift : Senin
Tanggal Percobaan : 10 April 2017
Tanggal Pengumpulan: 17 April 2017
Asisten : Risma Pratiwi

LABORATORIUM KIMIA ANALITIK


PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2017
KROMATOGRAFI GAS CAIR
I. TUJUAN
Menentukan komposisi campuran alkohol yaitu metanol, 1-butanol dan 1-
heksanol dalam sampel.

II. TEORI DASAR


Teknik kromatografi gas cair diperkenalkan oleh Martin dan Synge, saat ini
sudah merupakan teknik analisis yang luas digunakan untuk keperluan pemisahan,
identifikasi dan kuantifikasi berbagai senyawa. Teknik kromatografi gas-cair secara
umum hanya dapat digunakan pada senyawa yang mudah menguap (volatile) atau
dapat diuapkan, baik senyawa organik maupun anorganik. Pada teknik ini, pemisahan
terjadi akibat partisi dai komponen yang bersangkutan pada fase gerak dan diam yang
terdapat dalam kolom. Dengan demikian, setiap komponen akan bergerak melalui
kolom dengan kecepatan yang berbeda-beda dengan membentuk pita kromatografi.
Susunan dari kromatografi gas-cair adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Susunan kromatografi gas-cair

Instrumen yang ada dalam kromatografi gas-cair yaitu gas pembawa, system
injeksi, kolom, detektor, dan oven( Tim Dosen, Penuntun Praktikum Kimia Analitik).

III. ALAT DAN BAHAN


Tabel 1. Daftar alat dan bahan yang digunakan

Alat Bahan
Instrument kromatografi gas-cair Larutan standar metanol
Gelas kimia Larutan standar 1-butanol
Tabung vial kecil untuk sampel Larutan standar 1-
heksanol
Syringe Larutan CCl4
Larutan standar mix 1:1:1
Larutan sampel
IV. CARA KERJA
• Standar pengoperasian alat
Table 2. Setting alat kromatografi gas-cair

Merk Instrumen Kromatografi GC Agillent


Suhu awal injeksi 225 °C
Kolom HP-5 ( Phenyl Metil Silicon)
Panjang kolom 30 meter
Diameter kolom 320 µm
Ukuran partikel 0.25 µm
Suhu Kolom 70 °C / 1 menit/ 12 °C per menit / 200 °C
Suhu detector FID 240 °C
Laju alir 1mL/menit
H2 flow 30 mL/menit
Air flow 400 mL/menit
He flow 25mL/menit
Volume injeksi 1 µL
Jenis Injektor ALS
• Langkah kerja
Alat instrument kromatografi GC dinyalakan dan membuka klem tabung gas
Helium untuk mengalirkan gas pembawa. Proses penyiapan alat ditunggu hingga
terjadi letupan pertama dan suhu pada kolom dan detector serta laju alir gas pembawa
sudah sesuai dengan kondisi standar instrument.
Penyiapan larutan yang akan diinjeksikan kedalam alat dilakukan dalam vial
kecil. Vial dibilas dengan larutan CCl4 kemudian dimasukkan 0.75 mL larutan
metanol, 1-butanol, 1-heksanol, campuran standar dan larutan sampel secara
bergantian dalam vial yang diinjeksikan secara otomatis oleh alat tersebut.

V. DATA PENGAMATAN
Table 3. Data kromatogram metanol
Table 4. Data kromatogram 1-butanol

Table 5. Data kromatogram 1-heksanol

Table 6. Data kromatogra campuran metanol:1-butanol:1-heksanol (1:1:1)


Table 7. Data kromatogram sampel

Table 8. Data puncak maksimum pada kromatogram

Tipe Lebarr
No Waktu Tinggi
punca punca Luas
Analit pun Retens puncak Area %
k k puncak
cak i [min] (pA)
[min] (pA*s)
2104.7714 99.7861
Metanol 1 5.902 BB 0.0902 12845.4
8 8
4740.1005 93.6984
1-butanol 2 6.480 VV 0.0788 24688.8
9 7
3727.3322 98.3310
1-heksanol 4 7.920 VV 0.1016 26722.5
8 3
18.0806
1 5.873 BB 0.0925 4060.7 681.49023
7
Campuran 1667.9868 35.3978
3 6.444 VB 0.0736 7949.9
1:1:1 2 4
1875.5881 43.8673
7 7.855 VB 0.0803 9852.0
3 3
10.5394
1 5.865 BB 0.0898 2565.4 428.90021
6
1729.8709 33.5706
Sampel 3 6.437 VB 0.0721 8171.3
7 6
2319.5100 53.4625
8 7.861 VB 0.0815 13013.1
1 5

VI. PENGOLAHAN DATA


1. Penentuan N Kolom dan HETP

NMetanol =16 x 5.902


=16 x ( 0.0902 ) 2

( wakturetensi
Width )
2 = 68502 pelat
L ( mm )
HETP Metanol = ( N )
30000 mm = 0.43794
= ( 68502 )
Dengan menggunakan cara perhitungan yang sama diperoleh data untuk seluruh
senyawa sebagai berikut :
Table 9. Data jumlah pelat dan efisiensi larutan standar alkohol murni, campuran alkohol murni dan sampel
Width Waktu Retensi N kolom
Senyawa HETP(mm)
(menit) (menit) (pelat)
Metanol 0.0902 5.902 68502 0.43794
1-butanol 0.0788 6.480 108196 0.27727
1-heksanol 0.1016 7.920 97226 0.30856
0.0925 5.873 64500 0.46512
Campuran
0.0736 6.444 122652 0.244594
1:1:1
0.0803 7.855 153102 0.195948
0.0898 5.865 68250 0.43956
Sampel 0.0721 6.437 127531 0.235237
0.0815 7.861 148854 0.20154

2. Penentuan Volume Retensi


Volume retensi metanol = tR × laju alir
Volume retensi methanol = 5,845min × 1 mL/min
Volume retensi methanol = 5,845 mL
Dengan menggunakan cara perhitungan yang sama diperoleh data untuk seluruh
senyawa sebagai berikut:

Table 10. Data volume retensi dari larutan alkohol murni, campuran alkohol murni dan sampel

Senyawa Waktu Retensi (tR) (min) Volume Retensi (mL)


Metanol 5.902 5.902
1-butanol 6.480 6.480
1-heksanol 7.920 7.920
5.873 5.873
Campuran 1:1:1 6.444 6.444
7.855 7.855
5.865 5.865
Sampel 6.437 6.437
7.861 7.861

3. Penentuan komposisi campuran alkohol dalam sampel


Komposisi pada sampel dapat ditentukan dengan luas area.
Table 11. Data luas area larutan alkohol murni , campuran dan sampel

Metanol 12845.4
1-butanol 24688.8 64256.7
1-heksanol 26722.5
4060.7
Campuran 1:1:1 7949.9 21862.6
9852.0
Sampel 2565.4 23749.8
8171.3
13013.1

Luas total puncak kromatogram larutan standar = 12845.4 + 24688.8 + 26722.5


alkohol murni = 64256.7
Luas total puncak kromatogram campuran = 4060.7 + 7949.9 +9852.0
= 21862.6
Luas total puncak kromatogram larutan sampel = 2565.4 + 8171.3 +13013.1
= 23749.8

- Perbandingan metanol dalam larutan standar =


luas a rea metanol pada standar
luastotal standar
12845.4
=
64256.7
= 0.1999

- Perbandingan metanol dalam larutan campuran =


luas area metanol pada campuran
luastotal campuran
4060.7
=
21862.6
= 0.1857

- Perbandingan metanol dalam larutan sampel =


luas area metanol pada sampel
luastotal sampel
2565.4
=
23749.8
= 0.1080
Dengan cara yang sama, maka:
Table 12. Data komposisi metanol, 1-butanol, 1-heksanol dalam larutan standar alkohol murni, campuran dan
sampel.
Senyawa Standar Campuran 1:1:1 Sampel
Metanol 0.1999 0.1857 0.1080
1-
0.3842 0.3636 0.3441
butanol
1-
0.4158 0.4506 0.5479
heksanol

Komposisi metanol, 1-butanol, dan 1-heksanol pada sampel yaitu:

metanol pada sampel 0.1080


Komposisi metanol = = =¿ 0.5403
metanol pada standar 0.1999

butanol pada sampel 0.3441


Komposisi 1-butanol = = =¿ 0.8956
butanol pada standar 0.3842
heksanol pada sampel 0.5479
Komposisi 1-heksanol = = =¿ 1.3177
heksanol pada standar 0.4158

Sehingga diperoleh perbandingan senyawa campuran alkohol pada sampel


Metanol : 1-butanol : 1-heksanol = 0.5403:0.8956:1.3177 ≈ 1.08:1.79:2.64 ≈
1:2:3

VII. PEMBAHASAN
Pada percobaan ini akan ditentukan komposisi campuran senyawa alkohol
dalam sampel dengan menggunakan kromatografi gas cair. Kromatografi gas cair atau
Gas Chromatography (GC) merupakan jenis kromatografi yang umum digunakan
untuk pemisahan suatu senyawa menjadi partikel-partikelnya dan analisis senyawa
yang dapat menguap atau dapat diuapkan tanpa mengalami perubahan struktur pada
senyawa tersebut. Pemisahan antar komponen terjadi akibat pastisi dari komponen
pada fasa gerak dan fasa diam yang terdapat di dalam kolom. Dengan demikian setiap
komponen akan bergerak melalui kolom dengan kecepatan yang berbeda-beda (waktu
retensi yang berbeda-beda) dengan membentuk pita-pita kromatografi. Kromatografi
gas-cair dapat dipakai untuk setiap campuran yang semua komponennya mempunyai
tekanan uap yng berbeda-beda. Hal ini berarti kromatografi gas-cair sangat
bergantung pada suhu.
Prinsip kerja dari kromatografi gas-cair adalah adanya gas pembawa (fasa
gerak) yang membawa sampel bergerak melalui kolom (fasa diam) untuk dianalisis
kromatogramnya pada sebuah detektor. Sampel yang akan diuji kromatogramnya
terlebih dahulu di suntik dengan syringe kemudian dimasukkan ke dalam sistem
injeksi. Sampel yang sudah dimasukkan akan dibawa oleh gas pembawa menuju
kolom. Pada kolom terjadi pemisahan komponen akibat perbedaan distribusi/partisi
pertikel, volatilitas dari masing-masing komponen yang akan dianalisis dan perbedaan
dalam kemampuan distribusi analit diantara fasa gerak dan fasa diam di dalam kolom
Kemudian komponen yang sudah dipisahkan akan dibawa menuju detektor untuk
dideteksi. Hasil yang sudah dideteksi oleh detektor akan dimunculkan dalam bentuk
pita kromatografi. Data yang diperoleh dari kromatogram adalah waktu retensi, luas
puncak, dan lebar.
Jenis fasa yang digunakan pada praktikum ini adalah fasa terbalik yaitu fasa
gerak bersifat polar dan fasa diam bersifat nonpolar. Fasa gerak berupa gas pembawa
yang bersifat inert dan stabil seperti helium, hidrogen atau gas yang tidak reaktif
seperti nitrogen. Fasa diam yang digunakan berupa lapisan cairan mikroskopik atau
polimer yang berada di dalam kolom. Fasa gerak yang digunakan adalah gas helium
dan fasa diam yang digunakan adalah kolom kapiler sepanjang 30m, terbuat dari
silika dengan lapisan poliamida.
Instrumen yang ada dalam kromatografi gas-cair yaitu gas pembawa, kolom ,
sistem injeksi, detektor, dan oven. Gas pembawa yang berfungsi sebagai fasa gerak
yang membawa sampel melalui kolom. Gas yang digunakan pada umumnya
merupakan gas stabil dan inert dan pada percobaan ini digunakan gas helium sebagai
gas pembawa. Gas pembawa ini bertujuan agar fasa gerak tidak bereaksi dengan
analit, fasa diam, maupun senyawa lain yang terdapat diluar sistem sehingga tidak
dapat mengganggu proses pemisahan. Kolom merupakan tempat berlangsungnya
proses pemisahan komponen dari senyawa campuran yang akan dianalisis dan
dipisahkan. Kolom berfungsi sebagai fasa diam, pada percobaan ini digunakan kolom
silika yang dilapisi cairan semi polar. Sistem injeksi merupakan tempat masuknya
sampel yang akan dianalisis dan dipisahkan. Detektor berfungsi mendeteksi
komponen yang telah dipisahkan dalam kolom. Selanjutnya yaitu oven, oven
merupakan bagian yang penting dalam pengaturan suhu kolom. Karena pada
kroatografi gas-cair ini suhu merupakan parameter utama yang harud diatur dengan
baik. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terdekomposisinya suatu
komponen dalam sampel, namun jika terlalu rendah maka komponen dalam sampel
juga akan sulit dipisahkan.
Detektor yang digunakan dalam kromatografi gas-cair ini yaitu FID (Flame
Ionization Detector) merupakan detektor pengionan nyala. Detektor ini menggunakan
gas hidrogen dan udara untuk memantik nyala dalam instrumen kromatografi gas-cair.
Detector ini juga peka terhadap senyawa hidrokarbon, namun tidak dapat mendeteksi
air. Pada detector FID ini, energi kalor dalam hidrogen menyebabkan banyak molekul
untuk mengionisasi. Gas eluen dari kolom dicampur dengan hidrogen dan dibakar
pada ujung jet logam dalam udara yang berlebih. Potensial yang diberikan antara jet
dan elektroda kedua yang bertempat diatas atau disekitar nyala tersebut. Ketika ion-
ion dibentuk dalam nyala, ruang gas antara elektroda kedua menjadi lebih konduktif
dan arus yang meningkat mengalir dalam sirkuit melewati resistor. Selain detector
FID, ada juga detektor lain yang biasanya digunakan dalam kromatografi gas-cair
yaitu TCD dan ECD. TCD (Thermal Conductivity Detector) atau detektor hantaran
panas adalah teknik yang digunakan untuk mendeteksi setiap komponen selain gas
pembawa dalam jumlah yang besar terutama untuk hidrokarbon, gas yang dapat
dideteksi juga seperti gas anorganik (Argon, Nitrogen, Hidrogen, Karbon Dioksida,
dll.) dan molekul hidrokarbon kecil. Detektor ini mengandung filamen logam yang
dipanaskan. Gas pembawa dalam alat ini adalah hidrogen dan helium. Detektor ini
relatife sederhana, tidak mahal, memiliki kepekaan yang cukup bagi banyak
kegunaan. Sedangkan Electron Capture Detector (ECD) merupakan dektektor yang
menggunakan radioactive beta emitter (electron) untuk mengionisasi sebagian gas
(carrier gas) dan menghasilkan arus antara biased pair of electron, ketika molekul
organik yang mengandung electronegative functional groups seperti halogen,
phosphor dan gugus nitro dilewati detektor, sebagian electron akan ditangkap
sehingga mengurangi arus yang diukur antara elektroda. Detector FID yang sudah
siap digunakan ditandai dengan adanya suara letupan. Suara letupan ini karena nyala
api berbahan bakar hidrogen atau udara berdampingan dengan elektroda di dekat
bagian ujung kolom. Sehingga pembakaran pada detector FID ini akan menimbulkan
letupan. Suhu yang digunakan pada detektor ini adalah sebesar 240⁰C.
Pada percobaan ini, hanya dilakukan beberapa langkah kerja karena alat yang
digunakan merupakan autoinject sehingga langkah kerja yang dilakukan hanya sedikit
yaitu seperti penyuntikan sampel atau senyawa alkohol ke dalam GC dan
pengoperasian alat. Langkah pertama yang dilakukan yaitu sampel ditempatkan ke
dalam wadah untuk sampel. Syringe plastik untuk penyuntikan sampel ke dalam vial
kecil harus dicuci terlebih dahulu dengan larutan CCl 4 sebelum analit disuntikkan ke
dalam kolom. Wadah libah berada diantara vial yang berisi cairan pencuci dan sampel.
Setelah ketiga vial dimasukkan ke dalam tempat di GC, kemudian proses dijalankan.
Volume injektor sampel pada percobaan ini yaitu satu mikroliter. Sampel yang akan
dianalisis dimasukkan ke dalam sistem injeksi menggunakan syringe yang berfungsi
untuk memasukkan sampel ke dalam aliran kontinu gas pembawa. Injeksi dilakukan
ketika muncul tulisan ready. Suhu pada injektor ini telah diatur otomatis yaitu sebesar
225⁰C dan max bernilai 325 oC hal ini bertujuan agar sampel berubah fasa menjadi
gas. Partikel sampel gas ini kemudian dibawa oleh fasa geraknya yaitu gas pembawa
menuju detector untuk dianalisis.
Pengaturan suhu pada oven yaitu 70⁰C (sebelum sampel dimasukkan) selama
satu menit pertama lalu setelah sampel dimasukkan maka suhu sinaikkan hingga
200⁰C dan kenaikan suhu sebesar 12⁰C setiap menitnya. Proses perubahan suhu ini
bertujuan agar sampel menguap pada titik didih yang berbeda, apabila suhu dibuat
tetap maka senyawa sampel yang memiliki titik didih yang lebih tinggi dari suhu yang
ditetapkan maka sampel tidak akan terdeteksi. Titik didih dapat dipengaruhi oleh
panjangnya rantai karbon pada senyawa. Sampel yang digunakan pada percobaan ini
yaitu metanol, 1-butanol dan 1-heksanol dan yang memiliki titik didih paling tinggi
yaitu 1-heksanol. Saat sampel dimasukkan, sampel akan dipisahkan oleh interaksi
antara sampel dengan fasa diam berdasarkan sifat fisik dan kimia sampel tersebut
seperti titik didih asing-masing sampel juga kepolarannya. Apabila sampel memiliki
kepolaran yang mirip dengan fasa diam, maka sampel akan lebih lama tertahan
didalam kolom dibandingkan dengan sampel yang kurang berinteraksi dengan fasa
diam yang akan keluar terlebih dahulu dari dalam kolom. Waktu yang dibutuhkan
oleh sampel untuk keluar dari kolom disebut waktu retensi. Waktu retensi yang
dihasilkan oleh masing-masing sampel akan berbeda. Interaksi antara sampel dengan
fasa diam juga dapat ditentukan dari titik didih sampel. Apabila sampel memiliki titik
didih rendah, maka akan keluar terlebih dahulu dari kolom daripada sampel yang
memiliki titik didih yang tinggi.

Dari percobaan, diperoleh data waktu retensi, jumlah pelat dan HETP masing-
masing sampel sehingga dapat menentukan komposisi alkohol yang ada dalam
sampel. Didalam sampel, waktu retensi metanol dalam adalah 5.902 menit, 1-butanol
yaitu 6.480 menit, 1-heksanol yaitu 7.920 menit, dan waktu retensi alkohol murni
metanol, 1-butanol dan 1-heksanol secara berurutan yaitu 5.865menit, 6.437menit,
dan 7.861menit. Dengan kromatogram yang diperoleh, dapat ditentukan juga nilai
pelat teoritis (N), HETP, dan komposisi larutan sampel campuran. HETP yaitu
menunjukan seberapa besar efisiensi pemisahan tersebut. Sedangkan jumlah pelat
teoritis berfungsi untuk mengetahui seberapa banyak sampel dipisahkan didalam
kolom. Semakin besar jumlah pelat teoritis, maka semakin efisien pemisahan yang
terjadi. Hal ini dikarenakan semakin banyak pelat yang dilalui sampel, maka
pemisahan yang terjadi berulang-ulang pun akan menghasilkan hasil yang lebih akurat
dan sampel akan benar-benar terpisah secara sempurna. Jumlah pelat teoritis senyawa
metanol, 1-butanol dan 1-heksanol murni memiliki nilai yang berbeda yaitu 68502,
108196, dan 97226. Pada sampel, jumlah pelat teoritisnya yaitu 68250, 127531, dan
148854. Sampel yang muncul pertama kali pada kromatogram adalah metanol, 1-
butanol lalu 1-heksanol. Hal ini sesuai dengan data titik didih literatur dari ketiga
senyawa tersebut yaitu titik didih metanol 64.7oC, 1-butanol 118oC, dan 1-heksanol
157oC. Senyawa yang memiliki titik didih yang lebih tinggi akan tertahan lebih lama
pada fasa diamnya karena fasa diam yang digunakan pada percobaan ini bersifat
sedikit polar. Sehingga, apabila terdapat senyawa atau komponen zat yang memiliki
sifat sedikit polar yang sama dengan fasa diamnya, maka akan tertahan lebih lama.
Kepolaran suatu senyawa dapat dilihat dari data titik didihnya apabila suatu senyawa
bersifat kurang polar maka akan memiliki titik didih yang lebih tinggi dibandingkan
senyawa yang memiliki sifat lebih polar. Hal ini dapat dibuktikan yaitu karena titik
didih 1-heksanol>1-butanol>metanol, maka 1-heksanol akan lebih tertahan pada fasa
diam, dan memiliki waktu retensi yang lebih lama. Hubungan antara kepolaran
dengan waktu retensi yaitu, semakin polar suatu senyawa, maka waktu retensinya
akan semakin kecil.
Aplikasi kromatografi gas cair dalam kehidupan sehari-hari yaitu dapat
digunakan untuk mendeteksi bom dan pemecahan kasus dalam bidang forensik seperti
sidik jari dan menganalisis sampel darah yang ditemukan ditempat perkara kriminal.
Kelebihan dari kromatografi gas cair adalah waktu analisis yang digunakan singkat,
GC dapat menggunakan kolom yang panjang sehingga menghasilkan efisiensi
pemisahan yang tinggi, proses analisis relatif cepat karena kesetimbangan partisi
antara gas dan cairan berlangsung cepat. Kekurangan kromatografi gas cair adalah
teknik ini hanya dapat digunakan untuk zat yang volatile (mudah menguap) atau dapat
diuapkan, tidak bisa digunakan untuk memisahkan campuran dalam jumlah yang
besar (lebih dari 1000kg).

VIII. KESIMPULAN
Komposisi campuran metanol: 1-butanol: 1-heksanol pada sampel yaitu 1:2:3.

IX. DAFTAR PUSTAKA


Elisa. Kromatografi. Universitas Gadjah Mada. Hal. 10
Harmita. 2012. Kromatografi.
Http://staff.ui.ac.id/system/files/users/harmita/material/anfiskimkromatografi.p
df (diakses pada tanggal 15 April 2017 pukul 15.07 WIB)
Harvey, David. 1956. Modern Analytical Chemistry, 1st ed. McGraw-Hill
Companies, Inc. p. 563-578

Anda mungkin juga menyukai