net/publication/305434297
CITATIONS READS
0 6,278
1 author:
Irine Gayatri
Indonesian Institute of Sciences
25 PUBLICATIONS 5 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
“Politik Negara Terhadap Etnis Tionghoa Pasca Orde Baru” View project
"Perseteruan Politik Nelayan di Perairan Belawan Sumatera Utara" (2017) View project
All content following this page was uploaded by Irine Gayatri on 19 July 2016.
“I argue that Marx’s discussion of gender extended far beyond merely including
women as factory workers”[1]
BARANGKALI satu-satunya karya intelektual abad ke-19 yang awet dibahas orang
dari karya-karya awal hingga manuskrip terakhirnya, hanyalah Marxisme. Pemikiran
Karl Marx mengenai filsafat, ekonomi-politik, gender, hingga organisasi, dipadukan
dengan Friedrich Engels masih terus bergaung dan menunjukkan relevansinya
dengan kondisi-kondisi yang terjadi saat ini. Namun, meskipun tidak segemilang
penerimaan karya-karya Marx yang berpengaruh pada gerakan buruh, karya Marx
ternyata sangat penting untuk ditelaah fondasinya bagi feminisme. Hal inilah yang
dilakukan Heather A. Brown melalui bukunya Marx on Gender and The Family: A
Critical Study ini.
Topik gender dan keluarga tidak akan pernah lekang oleh perkembangan zaman.
Apalagi ketika gender dan keluarga diletakkan dalam perspektif politik ekonomi
Marxis dan ditinjau kembali secara kritis, sebagaimana yang dibahas dalam buku ini.
Keutamaan buku ini bahwa ia terbit pada saat yang sangat kontekstual, di tengah
deras laju perubahan dan perkembangan kapitalisme yang merasuk di tanah air, tak
terkecuali di kalangan pemikir mengenai gender dan feminisme khususnya. Di
tengah-tengah pergeseran/perubahan nilai-nilai tradisional mengenai konsep
keluarga di Indonesia, yang berhadapan dengan pergerakan cepat serta luas dari
jangkauan kapitalisme, buku ini menawarkan cara pandang yang bagi saya,
konstruktif. Di mana letak konstruktifnya?
Dari jejak sejarah, hubungan antara kelas dan gender merupakan salah satu isu
besar yang terus diperdebatkan di masa awal feminisme Gelombang Kedua pada
akhir tahun 1960.[2] Bagi umumnya feminis, Marxisme, dengan teorinya tentang
eksploitasi kelas sebagai pusat pemahaman masyarakat, disebut sebagai
cenderung ‘reduksionis’ dan tidak memperhitungkan dengan cukup aspek
penindasan perempuan.
Heather A Brown, adalah intelektual asal Kanada yang bekerja sebagai asisten
profesor ilmu politik di Westfield State university. Ia selama ini dengan tekun
melakukan riset mengenai pemikiran politik modern dan kontemporer, khususnya
subyek yang mencerminkan interseksi antara gender, ras dan kelas. Melalui buku
ini, Brown membawa pembaca untuk memahami letak pemikiran Marx mengenai
ketiga hal tersebut. Di bagian awal dari prolog buku ini dikatakan, sepanjang
sejarahnya relasi Marxisme dengan feminisme selalu tegang, ini adalah istilah yang
terbaik—yang seringkali disebabkan oleh kurangnya diskusi mengenai gender dan
isu-isu perempuan tradisional oleh banyak kalangan Marxis. Bahkan, menurut
Brown, jika pun gender dan keluarga telah dibahas oleh kalangan Marxis, tulisan-
tulisan atau hasil kajian mereka cenderung mengikuti determinisme ekonomi
Friedrich Engels. Namun Brown berargumen, bahwa karya Marx mengenai gender
dan keluarga memperlihatkan perbedaan yang signifikan dari tipe determinisme ini.
Buku ini diulas secara kronologis oleh Brown, dengan analisis dan kritik terhadap
karya Marx mengenai gender dan keluarga. Brown juga mendiskusikan
kemungkinan-kemungkinan dibukanya analisis feminis dalam keseluruhan teori
Marx. Dalam uraiannya, Brown cukup detail dan teliti mendiskusikan bagian-bagian
dari karya-karya besar Marx.
Bab Dua dalam buku ini mendiskusikan karya-karya awal Marx termasuk Manuskrip
1884 (The 1884 Manuscripts), Keluarga Suci (The Holy Family), Ideologi Jerman
(German Ideology) dan ‘Peuchet tentang Bunuh Diri.’ Tulisan-tulisan Marx yang awal
ini memuat kritik yang tajam terhadap keluarga borjuis dan ketidakmanusiawian
masyarakat kapitalis, terutama pada perempuan. Sebagai tambahan, pada kritik-
kritik ini Marx mengembangkan posisinya pada asal mula penindasan perempuan
dalam keluarga dan masyarakat secara luas. Terlebih lagi, Marx membuat upaya
penting untuk mengakhiri dualisme alam/budaya dalam filsafatnya. Barangkali yang
terpenting, dalam Manuskrip 1884, Marx berargumen bahwa penindasan perempuan
dapat saja lebih fundamental dari pada kelas.
Karya-karya Marx hingga pertegahan tahun 1840 memfokuskan pada dua arena
penting yaitupertama, kritik terhadap masyarakat borjuis secara umum terutama dari
karya-karya para ilmuwan ekonomi politik di Jerman, Perancis dan Inggris; kedua,
Marx merumuskan teorinya mengenai sejarah, masyarakat dan perubahan sosial. Di
kedua wilayah ini, Marx mengemukakan diskusi-diskusi penting tentang gender dan
keluarga. Di Bab Dua ini juga, Brown mengulas empat karya penting Marx sejak
tahun 1840 dan satu artikel singkat yang terbit tahun 1850, masing-masing terdiri
dari diskusi-diskusi penting tentang gender dan keluarga. Keterputusan Marx
terhadap liberalisme berlangsung tahun 1843-1844, yang kemudian diacu
sebagai Manuskrip 1844. Manuskrip ini mengandung diskusi singkat namun penting
tentang gender, di mana Marx berpendapat ‘bahwa posisi perempuan dapat
digunakan untuk melihat perkembangan umum dari suatu masyarakat. ’Manuskrip
1844 juga mengandung diskusi penting mengenai kemanusiaan dan alam, satu isu
yang merujuk pada pemahaman berbeda mengenai nexus antara biologi dan
masyarakat yang umumnya tidak sering dialamatkan pada Marx. Keluarga
Suci yang ditulisnya bersama Engels merupakan respons atas novel Eugene
Sue Les Mysteres de Parisyang dianggapnya moralis. Terhadap novel ini, Marx
berargumen bahwa moralitas si pelacur, Fleur de Marie sebagai tokoh dalam novel
tersebut lebih manusiawi daripada orang lainnya dalam masyarakat borjuis,
meskipun dia hidup di kondisi yang tidak manusiawi, berlawanan dengan moralitas
yang dianut Sue sang penulisnya. Hal ini mungkin terjadi karena masyarakat borjuis
tidak mempengaruhinya. Dalam Ideologi Jerman yang juga ditulisnya bersama
Engels, Marx berargumen bahwa keluarga mengandung semua jenis kontradiksi
signifikan yang berkembang dalam masyarakat (keluarga sebagai ‘miniatur’
masyarakat) dan bahwa perbudakan adalah laten dalam struktur keluarga. Dalam
sebuah teks yang sedikit diketahui publik tahun 1846, Marx mengadopsi tulisan
seorang perwira polisi, Jacques Pauchet mengenai bunuh diri.[4] Di sini Marx
menekankan moralitas masyarakat borjuis, kekuasaan patriarkis, dan efek-efeknya
yang menghancurkan bagi perempuan. Akhirnya dalam artikel untuk Neue
Rheinische Zeitung politisch Ekononomische Revue dalam tahun 1850, Marx dan
Engels memaparkan diskusi singkat tentang dualisme alam/budaya (natur/kultur)
serta perempuan/laki-laki. Dari diskusi ini, menjadi jelas bahwa Marx memberi
perhatian, setidaknya, pada gender dan keluarga dalam karya awalnya dan melihat
hal itu sebagai faktor penting dalam memahami masyarakat.
Manuskrip 1844 itu sendiri tidak diterbitkan di masa hidup Marx. Karya ini
merupakan eksplorasi Marx pertama yang membahas mengenai masyarakat dan
perubahan sosial. Di situ, Marx membahas sejumlah isu seperti keterasingan yang
inheren dalam masyarakat kapitalis, struktur ekonomi dan politik kapitalisme, dan
kritik serta modifikasi dari dialektika Hegel. Dia juga mengelaborasi kritik terhadap
arti komunisme yang ada saat itu. Dalam Manuskrip ini, Marx mendiskusikan relasi
gender dalam esai ‘Private Property and Communism,’ yang berargumen bahwa
posisi perempuan adalah kunci untuk menentukan perkembangan masyarakat.
Menurut Brown, dialektika pemahaman Marx tentang relasi alam, kultur dan kerja
berpotensi selaras dengan interpretasi feminis tentang relasi antara alam dan
budaya, terutama yang berkaitan dengan perempuan. Di Bab 2 ini Brown juga
mengemukakan beberapa ilmuwan yang kritis terhadap tulisan-tulisan Marx terkait
dengan perempuan. Salah satunya adalah Christine Di Stefano yang melihat tulisan
Marx sebagai maskulin dari tiga sudut pandang: gaya penulisan diskursif yang
agresif, ontologi yang dualistik, dan paparan Marx mengenai buruh dalam
tulisannya, sebagai buruh laki-laki. Aspek terakhir ini adalah sangat signifikan untuk
melihat kemungkinan amalgamasi baru antara Marxisme dan feminisme.
Bab Tiga ‘Political Economy, Gender and the “Transformation” of The Family’ Brown
membahas empat karya Marx dan Engels, Manifesto Komunis serta karya
Engels, Prinsip-prinsip Komunismeserta karya Marx,Das Kapital Volume I dan II.
Dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels menyediakan kritik yang keras
terhadap keluarga modern, seraya memperkirakan kejatuhannya karena faktor-
faktor obyektif dalam sistem kapitalisme. Marx dan Engels
dalam Manifesto mendiskusikan proses transformasi keluarga borjuis karena
perubahan ekonomi dalam masyarakat. Sementara keluarga borjuis tidak
sepenuhnya melebur dalam kondisi-kondisi kapitalisme, Marx dan Engels melihat
kondisi-kondisi material untuk peleburannya. Realitas material dari keluarga,
terutama untuk kaum proletar, sangat berbeda dengan versi ideal dari keluarga
borjuis.
Sementara Marx dan Engels sudah pasti keliru mengenai peleburan yang massif
dari keluarga borjuis, analisis Marx pantas mendapat perhatian utama sebab dia
memisahkan kontradiksi-kontradiksi di antara efek-efek yang menyeluruh dari
kapitalisme, dan kebutuhan modal untuk mengeksploitasi partikularitas-partikularitas
demi mempertahankan keuntungan. Sehingga, walaupun Marx tidak betul dalam
menekankan pada efek-efek menyeluruh dari kapitalisme, analisisnya terhadap
kontradiksinya dan konflik tetap penting bagi teori feminis. Lebih jauh lagi Brown
berpendapat, konsep produksi Marx dan kerja produktif ternyata sangat kompleks
daripada yang umumnya dipercaya.
Sementara karya Marx cenderung fokus pada aspek ekonomi politik, Brown melihat
bahwa dia tidak mengesampingkan posisi perempuan sepenuhnya. Bahkan, Marx
menganggap perubahan signifikan yang muncul berlangsung sebagiannya karena
perkembangan kapitalisme, berkenaan dengan keluarga. Keluarga dalam arti ‘lama’
semakin memudar karena perempuan dan anak menjadi lebih berperan dalam
produksi kapitalis. Jika pun Marx tampaknya mungkin agak berlebihan ketika
memperkirakan cakupan perubahan yang muncul dalam keluarga dan potensinya
untuk menghilangkan relasi-relasi patriarkis yang menindas didalamnya, dia adalah
satu dari segelintir ilmuwan yang pada masa itu memperlihatkan perkembangan
historis keluarga.[6] Brown dengan tepat menunjukkan poin Marx yang melihat
bahwa karena keluarga borjuis hanyalah satu tipe dalam bentuk-bentuk sejarah
keluarga, maka dapat bertransformasi. Meskipun poin ini mempunyai ambiguitas,
menurut BrownMarx melihat potensi bagi sebuah bentuk keluarga baru yang laten
dalam masyarakat kapitalis. Perempuan ditarik dalam angkatan kerja dan oleh
sebab itu memperoleh kemandirian, karena ayah atau suami tidak lagi secara penuh
mengontrol pendapatan keluarga. Terlebih, perempuan membuktikan bahwa diri
mereka adalah pekerja tangguh, meskipun ideologi tradisional mengatakan ‘tempat
perempuan adalah di dalam rumah.’[7]
Dalam titik ini, menurut Brown, penghancuran keluarga juga mempunyai sisi negatif,
terutama untuk anak dan perempuan. Selain disebabkan oleh masuknya mereka ke
dalam angkatan kerja, perempuan masih bertanggungjawab atas anak-anak, hal ini
diulas oleh Marx secara kurang kritis.
Pada Bab Lima Brown mulai mendiskusikan karya-karya akhir Marx. [8]Di bab ini
Brown membandingkan catatan-catatan Marx tentang karya Lewis Henry
Morgan, Ancient Society to Engels Origin of The Family, Private Property and The
State, yang juga berdasarkan pada karya Morgan dan pada titik tertentu, catatan-
catatan Marx mengenai Morgan. Meskipun catatan-catatan Marx dalam
bentuk draft kasar dan tidak pernah dimaksud untuk diterbitkan, Brown berpendapat,
mengikuti Dunayevskaya, bahwa catatan-catatan itu mengilustrasikan bahwa
pandangan Marx mengenai asal mula kelas dalam masyarakat dan penindasan
gender lebih bernuansa daripada yang ditulis Engels. Sebagai kontras dengan
model unilinear dan monokausal ala Engels, Marx memperlihatkan bagaimana
antagonisme-antagonisme kelas dan gender telah dimulai dalam masyarakat
berbasis klan-klan yang terstruktur secara komunal sebelum berkembangnya
kepemilikan pribadi.
Rangkaian protes yang terakhir melanda kawasan Timur Tengah, yang mengacu
pada tumbangnya rejim-rejim di Tunisia, Libya, Mesir di samping meluasnya protes
rakyat di Negara-negara Bahrain, Syria dan Yemen. Keseluruhan protes ini
menunjuk pada besarnya kemarahan dan frustrasi pada kebijakan ekonomi dan
politik, baik di negara-negara maju maupun berkembang. Tampaknya, dari gejala-
gejala tersebut neoliberalisme tengah mengalami krisis dengan skala penuh.[10]
Brown melihat bagaimana situasi ini menjadi semakin problematik ketika posisi
perempuan dalam konteks kapitalisme yang mengglobal didiskusikan. Apalagi dalam
dekade terakhir, masalah ini telah berkembang dan mempunyai relevansi lebih
besar jika melihat pada situasi meningkatnya perempuan dalam angkatan kerja yang
dibayar di seluruh dunia, yang merupakan akibat dari perubahan dalam kapitalisme
global. Sebagai contoh dikemukakan oleh Brown, berdasarkan laporan PBB,
perempuan ‘menempati 66 persen dari total angkatan kerja di dunia, memproduksi
50 persen makanan, tetapi hanya memperoleh 10 persen dari pendapatan dan
memiliki 1 persen dari kepemilikan.’[11] Terlebih lagi, demikian Brown, krisis
ekonomi hanya membuat keadaan menjadi lebih buruk bagi perempuan. Menurut
Bank Dunia (2009), perempuan menempati dari 60 menjadi 80 persen dari tenaga
kerja pabrik manufaktur di seluruh dunia, khususnya di negara-negara
berkembang.[12] Sementara itu, mengutip data ILO tahun 2009, krisis ekonomi
global akan menjerumuskan sebanyak 22 juta perempuan menjadi pengangguran,
dimana angka rata-rata pengangguran perempuan menjadi sebesar 7.4 persen
versus 7 persen dari tingkat pengangguran pada laki-laki. Lebih jauh dari itu,
menurut Brown, dalam konteks kapitalisme yang mengglobal ini kekuasaan politik
perempuan malah meningkat. Sebuah studi tahun 2011, menunjukkan bahwa rata-
rata partisipasi perempuan dalam dewan perwakilan, baik yang perwakilan tunggal
maupun sistem bicameral, mendekati 20 persen.[13] Negara-negara Nordik
menempati angka tertinggi sebesar 43.1 persen, diikuti dengan seluruh Eropa
sebesar 20,3 persen, dan Amerika pada angka 22 persen. Belakangan perempuan
Mesir juga terlibat sangat aktif dalam revolusi menggusur Mubarak. Meskipun
demikian, ketika dia telah tersingkirkan, peran perempuan tidak terakomodasi dalam
posisi di pos-pos pemerintahan yang penting, bahkan perempuan justru berkurang
jumlahnya di kabinet yang sekarang dibandingkan dengan masa Mubarak
berkuasa.[14]
Semua fenomena di atasmendorong Brown untuk lebih jauh mengamati relasi antara
Marxisme dan feminisme. Tentu saja, dengan belajar dari contoh-contoh di atas,
hubungan yang kompleks antara gender dan kelas adalah satu hal yang harus
ditinjau kembali untuk memperbaiki kondisi perempuan di manapun. Setelah
sejumlah upaya dilakukan pada periode 1970an dan 1980an untuk mengadopsi dan
mengintegrasikan pandangan ekonomi Marx dengan metodologinya ke dalam teori
feminis, kritik-kritik kalangan feminis terhadap Marx tampak menjadi pemenang dari
perdebatan, dengan argumen bahwa Marx tidak menawarkan apapun (atau hanya
sedikit menawarkan sesuatu) dalam arti feminisme dan gerakan pembebasan
perempuan. Bahkan, dalam pembacaan Brown, banyak teori feminis dalam dua
dekade terakhir telah bergerak ke arah pemahaman pasca strukturalis.[15]
Brown melihat, sejumlah studi dari genre pasca strukturalis ini telah mengevaluasi
banyak keterbatasan feminisme sosialis dan upaya-upayanya untuk mensintesiskan
Marxisme dan feminisme. Ini benar khususnya tentang kritik terhadap esensialisme,
etnosentrisme dan penerimaan yang tidak kritis dari kalangan feminis Marxis awal
terhadap determinisme ekonomi Marxis ortodoks, setidaknya dalam konteks diskusi
mengenai ‘ranah produktif.’ Sebenarnya, belum jelas betul apakah perdebatan ini
benar-benar telah selesai. Pascastrukturalisme dan teori mengenai perbedaan tidak
dapat menciptakan feminisme anti kapitalis, sebab teori-teori ini hampir semuanya
memfokuskan pada wilayah-wilayah kebudayaan, ideologi, dan gerakan-gerakan
resistensi yang bersifat lokal.[16]
Namun demikian, menurut Brown, justru dalam kurun waktu limabelas tahun terakhir
ini sejumlah studi dengan berbagai angle telah berupaya untuk ‘membawa Marx
kembali ke dalam diskusi.’ Ia mencontohkan dalam buku ini karya-karya beberapa
akademisi tersebut. Misalnya, Grant dan Klotz membuka kembali topik mengenai
pemahaman Marx tentang gender dan kondisi alamiah manusia dalam Manuskrip
1884.[17] Sedangkan Carver berupaya untuk menempatkan Marx sebagai feminis
dalam konteks abad ke-19, meskipun, menurut Carver ‘dia tidak banyak gunanya
dalam teorisasi feminis saat ini.’[18] Leeb mendiskusikan sejauh mana gender
distrukturkan di bawah kapitalisme dan bagaimana, bahkan Marx, tidak dapat
melampaui dualisme gender dalam karyanya sendiri.[19] Gimenez memberikan
tinjauan penting terhadap metode dialektis Marx dan berargumen bahwa itu bisa
digunakan secara produktif oleh para feminis untuk mengatasi kategorisasi yang
tetap seperti ‘laki-laki’ dan ‘perempuan.’[20] Anderson memaparkan suatu hal yang
sering dikesampingkan, sebuah esai dari karyaMarx awal mengenai bunuh diri yang
melibatkan perempuan.[21] Dalam karyanya yang lain, Anderson secara ringkas
mendiskusikan catatan-catatan Marx mengenai masyarakat prakapitalis dan
gender.[22] Hennessy mendiskusikan bagaimana kebutuhan emosional yang
terkandung dalam nilai-nilai dan identitas dimasukkan ke dalam hubungan kerja di
dalam dan di luar pasar.[23]
Brown berkesimpulan, dari beberapa referensi yang memperlihatkan bangkitnya
kembali studi mengenai Marx serta tampaknya menawarkan banyak hal bagi
pemahaman mengenai relasi antara gender dan klas, namun kesemuanya masih
bersifat parsial: tidak ada studi yang meninjau karya Marx tentang gender dengan
membahas karyanya secara menyeluruh, termasuk karyanya mengenai etnologi.
Disinilah letak signifikansi dari buku ini: berupaya mengisi kesenjangan dalam
literatur tentang Marx, dan diharapkan, menawarkan beberapa wawasan umum ke
dalam interseksi antara gender dan kelas. [24]
Titik penting dari buku ini adalah ajakan Brown untuk mengevaluasi dan
mengembangkan Marx guna kepentingan teori feminis saat ini. Dia menunjukkannya
dengan mengetengahkan bagaimana sejumlah akademisi memperlihatkan daya
tahan Marxisme, meskipun dalam kurun waktu pasca runtuhnya komunisme di
Eropa Timur. Brown mengutip karya akademisi Amerika, Martha Gimenez mengenai
feminisme, yang mengatakan ‘jika karya Marx (dan konsekuensinya, tradisi Marxis)
secara substantif dipengaruhi oleh semua kekurangan yang disumbangkan oleh
ilmuwan sosial dan feminis, maka sudah pasti akan dilupakan. Tapi kekuatan
intelektual Marx dan vitalitasnya masih tak menyurut, sebagaimana diperlihatkan,
bahkan oleh ilmuwan yang menolaknya, haruslah berkutat dengan tantangan dalam
karyanya, sedemikian sehingga teori-teori mereka dipengaruhi oleh proses
penolakan terhadapnya.’[25]
Brown lebih jauh mengemukakan, di luar teori Marx yang tampaknya buta gender
dan dualistis, sejumlah ilmuwan feminis telah mengakui kekuatan kritik Marx
terhadap ekonomi politik, dan pada beberapa kasus, berupaya untuk memasukkan
ke dalam analisis. Tentu saja, setiap studi yang berkenaan dengan Marx dan gender
harus mengakui pentingnya studi-studi yang dilakukan oleh para feminis Marxis
awal, seperti Margaret Benston, Mariarosa Dalla Costa, Silvia Federici[26] dan Wally
Seccombe, untuk menyebut beberapa nama penting dalam studi mengenai nilai
kerja rumah tangga.[27] Sementara, meskipun mereka memunyai kesimpulan yang
berbeda-beda, (lihat Bab 3 mengenai diskusi di antara para ilmuwan tersebut)
semua membawa Marx dalam menilai kembali secara politik, ekonomi dan sosial,
dari kerja perempuan dalam rumah tangga. Ini dipandang merupakan
perkembangan penting, sejak kebanyakan ilmuwan melihat Marx buta gender dan
tidak dapat berurusan dengan isu-isu yang melibatkan perempuan di luar angkatan
kerja. Namun, karya-karya mereka mengilustrasikan bahwa teori Marx dapat
dipengaruhi untuk memasukkan isu-isu perempuan setidaknya melibatkan ekonomi
politik. Di Bab 3, Brown berargumen bahwa para ilmuwan feminis Marxis awal itu
gagal mengintegrasikan diskusi mengenai upah kerja dengan suatu teori Marxis
yang menyeluruh mencakup perempuan dan masyarakat. Tentu saja, tujuan-tujuan
dalam esai buku ini lebih terbatas daripada keinginan yang disebut Brown di atas,
sehingga Brown pun menyadari bahwa kritiknya pada para feminis Marxis itu pun
kurang fair. Namun, masih menurut Brown, mungkin saja menciptakan teori Marxis
yang memperhitungkan efek-efek pembeda dari gender, sehingga diperlukan lebih
dari sekedar teorisasi tentang kerja rumah tangga. Brown juga menelusuri karya
ilmuwan lainnya yang telah meninjau aspek-aspek berbeda dari Marx untuk
menghindari implikasi-implikasi ‘buta gender’ dari teorinya.
Brown berargumen bahwa ‘diskusi mengenai Marx dan gender terletak jauh
melampaui batasan yang sekedar memasukkan perempuan sebagai pekerja pabrik.’
Menurut Brown, semua karya-karya Marx secara mendasar mempunyai perhatian
pada aspek manusia serta bagaimana mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
dunia di luar mereka. Brown berpendapat, meskipun Marx tidak menulis cukup
banyak mengenai gender dan keluarga, dan tidak mengembangkan teori yang
sistematis tentang gender, namun baginya gender merupakan kategori penting
untuk memahami pembagian kerja, produksi, dan masyarakat secara
umum.[33] Secara garis besar, karya-karya Marx mencerminkan petunjuk untuk
emansipasi manusia yang genuine. Dengan ini, Brown melihat adanya celah dalam
semua teori Marx mengenai masyarakat yang bisa jadi dapat dimaknai kembali oleh
interpretasi feminis. Dengan tepat ditunjukkan oleh Brown bahwa Marx
sangat concern dengan pembebasan perempuan sebagai bagian dari upaya besar
emansipasi manusia di sepanjang karya-karyanya.
Bagaimana Brown menelusuri akar pemikiran Marx mengenai gender dan keluarga?
Dalam buku ini, Brown mengulas karya-karya Marx yang telah diterbitkan yang
membahas gender dan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, termasuk
catatan (notebooks) 1879-1882 yang sebagiannya masih belum diterbitkan. Brown
berkesimpulan, melalui kajian terhadap seluruh materi tersebut, menjadi jelas bahwa
Marx, meskipun tidak pernah sepenuhnya mengembangkan ide-ide ini, telah
memberi indikasi-indikasi penting untuk menuju pada teori mengenai gender dan
masyarakat.[34]
Posisi di atas oleh Brown diterjemahkan ke dalam metode penulisan buku ini. Brown
mengidentifikasi semua yang ditulis Marx terutama tentang keluarga dan peran
perempuan, dan dalam menjelaskan maksudnyamengutip kata-kata Marx yang tak
jarang panjang daripada memparafrase argumennya. Meskipun ia sadar bahwa
pilihan itu berimplikasi cenderung mengurangi alur dan kelanjutan dari teks, namun
Brown merasa penting untuk memaparkan konteks relasional untuk argumen-
argumen Marx. Ini terutama dilakukan Brown ketika mendiskusikan beberapa karya
Marx yang kurang banyak diketahui publik atau karya-karyanya yang belum
terpublikasikan sehingga tidak terlalu banyak pembaca yang tahu.
‘Di Jerman, Marx muda melanjutkan pengembangannya terhadap suatu karya yang
utuh, teori revolusi proletar, sebuah filosofi menyeluruh mengenai pembebasan
manusia, berakar kuat baik dalam perjuangan kelas dan dalam relasi yang paling
mendasar: laki-laki dan perempuan. Marx membantu mengorganisir gerakan
perempuan, tidak hanya untuk mendapat upah lebih baik, tetapi untuk memperoleh
kondisi perburuhan yang berbeda; tidak hanya untuk mendapat hak memilih, tetapi
untuk kemerdekan penuh. Delapan puluh halaman mengenai perempuan dan buruh
anak ditulisnya dalam Das Kapital Volume I, tidak hanya sebagai deskripsi dan
bertahan, namun, sebagaimana diekspresikan Marx ketika dia menuliskan
kesimpulan, “hasrat-hasrat baru dan kekuatan-kekuatan baru” yang akan
memproduksi “negasi dari negasi,” yaitu untuk mengatakan, menjadi “penggali
kubur” dari kapitalisme, menciptakan suatu masyarakat yang baru seutuhnya,
dimana “pembangunan kekuatan manusia adalah akhir dari dirinya sendiri.”’[41]
Diletakkan dalam konteks kekinian, kombinasi dari unsur-unsur yang berbeda di atas
menghadapkan kalangan sosialis dengan tantangan baru tentang teori-teori yang
selama ini dianut dan digunakan sebagai landasan aksi. Buku ini bertujuan untuk
melihat tulisan-tulisan Karl Marx sendiri dalam mencoba untuk mengembangkan
teori feminisme untuk abad kedua puluh satu. Brown dalam buku ini berpendapat,
Marx memiliki banyak hal untuk ditawarkan pada feminisme baik dari segi
pendekatan khusus untuk keluarga dan penindasan, dan dari segi metodenya untuk
memahami masyarakat.
Penutup
Brown dalam pembabakannya telah membuat argumen yang kuat untuk melihat
relevansi tulisan Marx dalam pemikiran feminis di masa ini, dan mencoba untuk
menjelaskan berbagai isu, misalnya dari sikap Marx terhadap moralitas abad ke-19
seperti yang tampak di beberapa bagian dari Das Kapital. Namun, dalam
melakukannya kadang-kadang Brown secara sengaja lebih menujukan
pembahasannya pada Marx daripada mengenai isu yang dikemukakan dalam tulisan
Marx sendiri. Selain itu, seluruh pendekatan Brown terhadap hubungan antara Marx
dan kolaborator terdekat sekaligus teman seumur hidupnya, Friedrich Engels,
adalah bahwa Marx itu baik dan Engles adalah ‘buruk.’ Brown kerap menyebut
Engels sebagai deterministik dan mengecilkan arti aspek ekonomi dari pemikiran
Marx, cenderung memisahkan aspek ekonomi ini dari pandangannya tentang
suprastruktur (termasuk keluarga). Dia menekankan dengan tepat tindakan subyektif
dari perempuan dalam mengubah keadaan mereka, tetapi kadang-kadang dengan
mengorbankan juga mempertimbangkan perubahan sosial dan ekonomi di mana
mereka sendiri bertindak sebagai individu dengan subyektivitasnya.
Sebetulnya saya melihat pandangan kritis Brown terhadap Engels senada dengan
pandangan Dunayevskaya yang lebih mencari aspek-aspek humanis dari tulisan
Marx. Meskipun demikian, jika melihat poin-poin argumen Brown terhadap karya
Marx dan Engels, lebih baik dikatakan keduanya saling melengkapi daripada disebut
salah satu lebih deterministik daripada yang lain, atau yang satu lebih bernuansa
dari yang lain. Namun tak dapat dipungkiri, jika Brown meletakkan keseluruhan
analisisnya pada karya Dunayevskaya apalagi dengan maksud buku ini adalah ‘fill
the gap,’ maka posisi Dunayevskaya yang kritis terhadap Engels memang telah
mempengaruhi Brown sedemikian rupa.
(1) ‘The world historic defeat of the female sex,’ which Engels grounds in transition
from matriarchy (or at least a matrinlineal descent) to patriarchy, is no expression of
Marx’s. (cetak miring sesuai teks aslinya)
(2) ‘The world historic defeat of the female sex’ is related, in turn to the so called
‘primordial division of labor between the sexes,’ which can conveniently put freedom
off until the millenium. Again, it is not Marx’s concept, even where Marx said that the
first division of labor was sexual (in 1845 in the German Ideology, which he and
Engels wrote together), it was perceived as not just personal but social.[45]
Dengan mengikuti logika totalitas analisis Dunayevskaya, Brown dalam buku ini
menganalisis Marx dengan bertolak pada spektrum tulisan Marx yang cukup luas:
kita melihat bagaimana pandangan Marx mengenai perempuan dalam industri di
Inggris pada abad ke-19, tulisannya mengenai penindasan perempuan dan bunuh
diri, intervensi politiknya, sebagai contoh selamaInternasional Pertama dan Komune
Paris, perilakunya dan hubungan antara produksi sosial dan reproduksi dari generasi
buruh berikutnya. Barangkali, isu yang paling kontroversial adalah pandangan-
pandangan Brown mengenai catatan-catatan antropologi Marx tentang gender
dalam masyarakat pra kelas. Analisis terhadap tulisan-tulisan Marx menunjukkan
beberapa sisi mengenai perilakunya terhadap perempuan dan gender. Sangat jelas
bahwa sosialisme Marx, tidak mengejutkan karena dipengaruhi oleh sosialisme
utopis dan antusiasme Marx sendiri terhadap sebab-sebab yang khusus, sangat
memperhatikan tentang penindasan perempuan. Jelaslah dari contoh-contoh itu
bahwa Marx, tidak- seperti kerap dituduhkan- mempunyai pandangan yang
reduksionis tentang kelas dalam isu penindasan, yang berarti bahwa perubahan
ekonomi akan mengatasi semua masalah. Bahkan, dia memahami bahwa keluarga
yang diprivatisasi adalah pusat penindasan dan hal ini mempengaruhi perempuan
dari semua kelas. Dampak sosial dari ini adalah moralitas yang menindas yang
memberi prasangka pada perempuan berdasarkan perilaku seksual mereka. Lebih
luas lagi, keterasingan dalam masyarakat kapitalis mempengaruhi semua orang,
bahkan jika, sebagaimana ditulisnya dalamThe Holy Family, orang-orang borjuis
merasa nyaman atau puas dalam keterasingannya.
Sebagian besar dari fokus Brown adalah asal mula penindasan, dan di sini dia
berurusan dengan relasi antara alam dan kultur dan antara produksi dan reproduksi.
Kedua hal ini merupakan titik perhatian Marx yang utama, di mana dalam tulisan-
tulisan awalnya dibicarakan secara ekstensif mengenai cara perilaku manusia
dengan alam untuk menghasilkan bentuk tertentu dari masyarakat dan bagaimana
ide-ide muncul dari masyarakat semacam itu. Barangkali alasan paling dasar bagi
penindasan perempuan dalam kapitalisme terletak dalam kontradiksi di antara
produksi sosial dan reproduksi yang diprivatisasi. Berbagai perdebatan dalam kerja
domestik dan perannya dalam kapitalisme dicakup oleh Brown.
Kalaupun ada kritik, dan agak sulit menemukan celah untuk mengritik Brown karena
dari awal sampai akhir Brown telah cukup dalam mengulas karya Marx dan bahkan
cenderung ‘berpihak pada posisi Marx saat itu, antara lain Brown berulangkali
memperlawankan pandangan Marx terhadap Engels.Menurut saya, dalam karya
mereka Engels dan Marx telah menjelaskan asal mula penindasan perempuan untuk
merujuk pada konteks ekonomi politikmasyarakat tertentu. Dalam hal ini adalah
industri. Kitalah yang ‘bertugas’ mempelajarinya agar dapat melihat di titik mana
penindasan sejenis ini di suatu waktu muncul. Inilah mengapa keduanya memberi
perhatian pada bagaimana monogami dikembangkan, siapa mengontrol anak-anak,
dan dalam setiap masyarakat tertentu, dan dengan pekerjaan apa yang diidentifikasi
dengan posisi-posisi tertentu. Pendekatan umum inilah yang membuat The Origin of
the Family menjadi buku yang penting, yang membolehkan kita untuk menggunakan
pendekatan ini untuk memahami strategi-strategi mengakhiri penindasan perempuan
saat ini.
Selain itu, sangat diapresiasi bagaimana Brown telah mengambil kesimpulan bahwa
dalam artikel Marx tentang bunuh diri dan kasus Bulwer Lytton, Marx, setidaknya,
mulai mendiskusikan relasi saling ketergantungan antara kelas dan gender tanpa
secara mendasar memberikan privilese pada satu pun dari keduanya dalam
analisisnya.[46] Marx dengan pasti memperlihatkan ketertarikan pada pertanyaan-
pertanyaan ini (tulisan mengenai perceraian dan keluarga, sebagai contoh, s/d 1842)
tetapi analisisnya sangat jelas berbasis kelas, dan dia melihat sederetan isu seperti
penindasan gender, keluarga dan agama, sebagai produk spesifik dari masyarakat
kelas, dalam kasus kita, kapitalisme. Namun ini bagi saya dapat dipahami sebagai
sebuah upaya komplementer untuk menemukan basis bagi perjuangan umat
manusia yang tidak hanya kelas. Metode pembacaan secara total dan dialektis yang
dipakai oleh Brown terhadap karya-karya Marx, berdasarkan karya Dunayevskaya
yang juga secara dialektis membaca karya-karya Marx sehingga menemukan aspek-
aspek lainnya, dan tidak hanya kelas, tidak berarti menegasikan dalil
dalam Manifesto bahwa ‘sejarah seluruh perjuangan manusia adalah sejarah
perjuangan kelas.’
Buku ini telah membedah dan mengembangkan dengan cukup kritis karya-karya
Marx dengan maksud menjelaskan secara sistematis teorisasinya mengenai gender
dan keluarga. Meskipun Brown secara tegas mengakui tidak semua teorisasi Marx
relevan hari ini, sementara di beberapa bagian ada keterbatasan disebabkan oleh
konteks ekonomi dan politik dari telaah obyektif Marx dalam tulisannya di abad ke-
19, teks-teks itu masih memberikan kontribusi wawasan yang penting mengenai
gender dan pemikiran politik dewasa ini. Selain itu, walaupun Marx tidak menulis
dalam jumlah banyak mengenai gender,dan tidak mengembangkan teori yang
sistematis mengenai gender dan keluarga, namun Brown dengan menelaah karya-
karyanya melihat bahwa, bagi Marx, gender dan keluarga adalah kategori yang
esensial untuk memahami pembagian kerja, produksi dan masyarakat secara
umum. Argumen utama Brown, telaah Marx mengenai gender dan keluarga tidak
dibatasi hanya sejauh mengaitkan perempuan dalam posisi mereka sebagai buruh-
buruh pabrik semata. Marx justru menunjukkan kebertahanan pola penindasan
dalam keluarga borjuis (yang kalau kita perhatikan masih berlangsung hingga
sekarang) dan keperluan untuk membangun sistem keluarga yang baru. Selain itu,
tampak dari karya-karyanya bahwa Marx menjadi semakin suportif dengan
kebutuhan kesetaraan perempuan dalam lapangan kerja, serikat buruh (hal yang
juga diperjuangkan oleh banyak organisasi serikat buruh di Indonesia dalam konteks
protes kenaikan UMR kemarin, yang terlihat dari lebih militannya partisipasi buruh-
buruh perempuan) dan di internasional. Sedangkan, masih menurut pembacaan
Brown, catatan Marx mengenai etnologi sangat signifikan sebab Marx merujuk
langsung pada karakter sejarah dari keluarga berdasarkan karya penulis-penulis
seperti Morgan, Maine dan Lange. Terlebih, Brown menekankan bahwa penggunaan
metode dialektis Marx sangat penting sebagai kontribusi metodologis bagi feminisme
dan riset ilmu sosial pada umumnya, sebab dia tampaknya melihat isu gender
sebagai subyek perubahandan perkembangan, dan bukan konsep yang statis.
Bacaan tambahan:
Barker, Cox, Kinsky and Nilsen, eds., Marxism and Social Movement (Leiden: Brill,
2013).
Engels, Friedrich,Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara, (Penerj. Vidi,
Ed., Joesoef Ishak (Jakarta: Kalyanamitra, 2011).
[8]Catatan Marx mengenai karya Morgan dan Maine telah diterjemahkan dan
diterbitkan tahun 1972 oleh Krader.
[9] Ibid.
[10]Browhn hlm.1.
[11]Ibid., hlm. 2
[12]Ibid.
[13]Ibid.
[14]Ibid,
[15]Leyne 2001 dalam Brown hlm. 2. Lihat juga mengenai kembalinya Marxisme
dalam literatur gerakan sosial termasuk feminisme yang dikategorikan sebagai ‘New
Social Movements’ dalam Colin Barker, Laurence Cox, John Krinsky and Alf Gunvald
Nilse, eds.,Marxism and Sosial Movements, (Brill: Leiden, Boston, 2013)
[18]Ibid.
[19] Ibid
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23].Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26]Lihat, Mariarosa Dalla Costa dan Giovanna Dalla Rosa, peny., ( terj. Emil Olla
Kleden), Kaum Perempuan dan Politik Strategi Ekonomi Internasional, (Jakarta:
Kalyanamitra, 2000).
[27] Ibid.
[29] Ibid.
[30]Ibid.
[31] Ibid.
[33]Ibid
[35]Brown, hlm. 6
[36] Lihat, Raya Dunayevskaya, Rosa Luxemburg, Women’s Liberation and Marx’s
Philosophy of Revolution (New Jersey: Humanities Press, Inc., 1981).
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[45] Ibid.
[46]Brown, hlm.220