1 SM PDF
1 SM PDF
Turaina Ayuti
ABSTRAK
Burung Walet (Collocalia fuciphaga) merupakan ternak unggas yang dibudidayakan
dengan sarang sebagai produksi utama. Produksi sarang Burung Walet dipengaruhi oleh
berbagai faktor, salah satunya yaitu faktor kondisi lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui lingkungan Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Way Jepara, Bandar Sribhawono dan Labuhan Maringgai
dengan jumlah sampel 6 gedung. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan
cara pengambilan sampel Purposive Sampling. Peubah yang diamati adalah Habitat Mikro
(Temperatur, Kelembaban dan Intensitas Cahaya di dalam gedung), Habitat Makro (Temperatur
dan Kelembaban udara di luar gedung, curah hujan, serta jenis, luas dan jarak lokasi sumber
pakan), dan Produksi Sarang. Pada kondisi habitat makro yang sama, produktivitas sarang
Burung Walet dipengaruhi oleh habitat mikro. Produksi sarang Burung Walet di Kabupaten
Lampung Timur berkisar antara 18,311-22,647 gram / / periode.
ABSTRACT
Swiftlet (Collocalia fuciphaga) is one of poultry cultivate by nest as their primary
production. Swiftlet nest production affected by many factors one of them is environmental
condition. This study goals to determined the habitat of swiftlet at East Lampung District,
Lampung Province. This study carried out at Way Jepara Sub-district, Bandar Sribhawono and
Labohan Maringgai with number of samples are 6 building. Method of this study using
descriptive analysis by taking sample of Purposive Sampling. Variable observe are Micro Habitat
(Temperature, Humidity and Light Intensity inside building), Macro Habitat (Temperature and
air humidity outside building, rainfall also the kind, area and distance feed resource), and nest
production. Swiftlet nest production in East Lampung district ranged from 18,311 - 22,647 gram
/ / period.
PENDAHULUAN
Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas
tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan dan
bereproduksi, sehingga Burung Walet sering disebut dengan burung layang-layang. Selain itu,
ciri yang paling khas dari jenis burung ini yaitu kemampuannya dalam menghasilkan sarang
yang bernilai jual tinggi. Indonesia merupakan penyedia sarang Burung Walet dunia. Ekspor
sarang Burung Walet dilakukan ke berbagai negara di Asia dan Eropa, serta Australia dan
Amerika Serikat. Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di Indonesia, salah
satunya adalah Collocalia fuciphaga, spesies ini merupakan Burung Walet yang mampu
menghasilkan sarang berwarna putih dan paling disukai konsumen. Burung Walet (Collocalia
fuciphaga) tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Salah satu daerah penyebaran burung ini
yaitu daerah Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung.
Produksi sarang Burung Walet dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah
faktor kondisi lingkungannya. Lingkungan Burung Walet terdiri dari habitat mikro dan habitat
makro. Habitat mikro Burung Walet adalah lingkungan di dalam gedung yang dapat
dikondisikan sesuai kebutuhan seperti temperatur, kelembaban dan intensitas cahaya. Habitat
makro adalah lingkungan walet di luar gedung tempat hidup dan mencari makan seperti
ketinggian wilayah, suhu dan kelembaban udara, serta sumber air dan vegetasi sebagai penyedia
pakan. Habitat makro tidak dapat dengan mudah dikondisikan layaknya habitat mikro, sehingga
pembangunan gedung walet harus berada di daerah yang tepat. Oleh karena itu, penulis tertarik
untuk mengetahui habitat mikro dan habitat makro untuk mendukung perkembangan budidaya
Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur.
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kamera digital, alat tulis, termometer dan
hygrometer digital, GPS (Global Positioning System) dan lightmeter. Objek yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Burung Walet putih (Collocalia fuciphaga) di Kecamatan Way
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Jepara, Bandar Sribhawono dan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi
Lampung.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Pengambilan sample
dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu penarikan sample didasarkan pada beberapa
pertimbangan tertentu. Pertimbangan pada penelitian ini yaitu gedung yang sudah berproduksi
lebih dari 5 tahun dan memiliki kriteria gedung yang relatif sama, seperti gedung bertingkat tiga,
pengelolaan ekstensif, sistem panen buang telur, dan memiliki jadwal panen yang berdekatan.
Peubah yang diamati dalam penelitian yaitu temperatur, kelembaban dan intensitas cahaya
dalam habitat mikro, curah hujan, temperatur dan kelembaban udara dalam habitat makro serta
jenis, jarak dan luas habitat sumber pakan. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara
deskriptif analitik, nilai yang dianalisis antara lain: nilai maksimum, nilai minimum, ragam, rata-
rata, simpangan baku, koefisien variasi dan pendugaan parameter.
Gedung walet yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 6 gedung yang terletak di
Kecamatan Way Jepara, Bandar Sribhawono dan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Timur. Manajemen pengelolaan pada gedung penelitian ini menerapkan pengelolaan secara
ekstensif, yaitu tidak adanya perlakuan tambahan seperti pemberian pakan dan penetasan buatan,
pengelola hanya melakukan pemanenan sarang. Pemanenan sarang dilakukan setiap tiga bulan
sekali atau 4 kali dalam setahun. Gedung walet di Kabupaten Lampung Timur memiliki usia
yang hampir seragam yaitu berkisar antara 12-16 tahun. Bentuk dan tingginya gedung juga tidak
jauh berbeda yaitu berbentuk persegi panjang dengan jumlah lantai tiga tingkat. Karakteristik
fisik gedung walet yang diteliti di Kabupaten Lampung Timur dijabarkan dalam Tabel 3.
Gedung B merupakan gedung yang memiliki luas ruangan yang paling besar, selanjutnya
gedung C dan D, lalu F dan A, dan yang paling kecil yaitu gedung E. Tidak ada aturan khusus
mengenai luas gedung walet, melainkan ukuran gedung walet disesuaikan dengan modal pelaku
usaha. Lain hal nya dengan jarak antara lantai dengan sirip atau tinggi ruangan, menurut
Taufiqurohman (2002) sebaiknya tinggi ruangan lebih dari 2 meter, karena semakin tinggi
ruangan akan semakin banyak menampung udara yang akan menciptakan suhu udara yang lebih
sejuk. Tinggi ruangan pada gedung A, B, C, D, E dan F yaitu 3 m, artinya ruangan pada gedung
walet A, B, C, D, E dan F mampu menampung udara yang cukup.
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Kolam air pada gedung A, E dan F tidak sebanyak kolam air pada gedung B, C, dan D.
Pada gedung A, E dan F kolam air hanya terdapat di dalam gedung pada pertengahan lantai 1,
sedangkan pada gedung B, C, dan D kolam air tidak hanya terdapat pada pertengahan melainkan
juga pada sisi kiri dan kanan lantai 1, serta terdapat di luar gedung. Menurut Adiwibawa (2000)
volume air di sekitar gedung dapat membantu menurunkan suhu dan melembabkan udara di
dalam gedung. Atap yang digunakan oleh ke-6 gedung yang diamati yaitu atap genting. Hal ini
dimaksudkan agar dapat menjaga kestabilan suhu di dalam gedung, sesuai dengan pernyataan
Nazarrudin dan Widodo (2008) bahwa atap gedung Burung Walet sebaiknya menggunakan atap
genting, karena atap asbes, seng dan atap beton tidak dapat menjaga kestabilan suhu di dalam
gedung. Sirip yang dipasang pada plafon gedung berbentuk persegi dengan bahan kayu Meranti.
Sirip pada gedung Walet sebaiknya berbahan kayu yang tidak mudah terkena jamur, tidak
beraroma menyengat, tidak mudah lapuk seperti kayu jati, dan harganya terjangkau seperti kayu
meranti (Nazarrudin dan Widodo, 2008).
Berdasarkan Tabel 4 rata-rata temperatur gedung yang berada di tiga Kecamatan Way
Jepara, B. Sribhawono dan Labuhan Maringgai yaitu 29,69°C; 28,99°C; dan 30,72°C. Nilai
temperatur minimum berada pada gedung B dengan suhu 27,57°C, dan suhu maksimum berada
di gedung E dengan nilai 32,86°C. Suhu optimum gedung walet menurut Mardiastuti dkk (1998)
yaitu 26-28° C dengan kelembaban relatif berkisar 85-98%. Sementara menurut Sofwan dan
Winarso (2005) berkisar 27-29°C dengan kelembaban 70-95%. Dengan kisaran tersebut, gedung
B, C, dan D telah mencapai suhu dan kelembaban optimum, sedangkan suhu di gedung A, E dan
F melebihi kisaran meskipun kelembaban udara masih berada pada kisaran optimum. Tingginya
suhu di gedung A, E dan F disebabkan oleh kurangnya kubangan air di dalam gedung tersebut
sebagai pencegah kenaikan suhu dan penambah kelembaban. Suhu dan kelembaban optimum di
dalam gedung dibutuhkan Burung Walet sebagai zona nyaman Burung Walet untuk beristirahat.
Suhu dan kelembaban yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mengurangi produktivitas
sarang dan mengganggu kenyamanan Burung Walet (Ibrahim dkk., 2009).
Pengukuran intensitas cahaya gedung dilakukan dengan menggunakan luxmeter. Intensitas
cahaya pada seluruh ruangan gedung Walet A-F yaitu 0 lux, kecuali pada lantai 3 gedung E dan
F yang memiliki intensitas cahaya sebesar 7 dan 6 lux. Menurut Francis (1987) intensitas cahaya
yang disukai oleh Burung Walet untuk bersarang adalah 0 lux (gelap total). Nilai intensitas
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
cahaya di lantai tiga rumah Burung Walet E dan F melebihi 0 lux dikarenakan terdapat dua
lubang masuk Burung Walet yang mengahadap arah datangnya sinar matahari (barat dan timur)
sehingga cahaya masuk dengan mudah. Burung Walet (Collocalia fuciphaga) memilih tempat
yang pencahayaannya mendekati 0 lux atau gelap total sebagai tempat meletakkan sarangnya.
Hal ini berkaitan dengan fungsi sarang sebagai tempat Burung Walet beristirahat, sehingga
Burung Walet membutuhkan lokasi yang sesuai dengan zona nyamannya. Oleh karena itu ruang
gedung yang berintensitas tinggi akan menurunkan produksi sarang atau bahkan tidak akan
dihuni oleh Burung Walet (Marhiyanto dkk. 1996).
Kecamatan Way Jepara memiliki luas sawah dan tegalan sebanyak 68,54% dari total
keseluruhan luas habitat sumber pakan, lahan basah 11,41%, dan daerah berhutan 20,04%. Luas
sumber pakan di Kecamatan Bandar Sribhawono meliputi sawah dan tegalan 37,24% , lahan
basah 9,56% dan daerah berhutan 53,19%. Luas habitat sumber pakan di L. Maringgai meliputi
41,79 % daerah sawah dan tegalan, 37,61% lahan berair, dan 20,59% daerah berhutan.
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Habitat makro Burung Walet adalah di sekitar pantai dan daerah yang ditumbuhi banyak
tanaman atau hutan (Gosler, 2007 dalam Hakim, 2011). Habitat makro sangat penting bagi
kelangsungan hidup Burung Walet karena serangga pakan Burung Walet bergantung pada
kondisi habitat makronya yang terdiri dari area bervegetasi dan berair. Ketersediaan serangga
pakan Burung Walet tersebut bergantung pada kondisi iklim dan luasnya lokasi habitat serangga
sebagai penyedia tempat dan makanan (Hakim, 2011).
Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), habitat mencari pakan yang paling cocok
untuk spesies Collocalia fuciphaga adalah campuran antara sawah dan tegalan (50%), lahan
basah (20%), dan daerah berhutan (30%). Komposisi ini berkaitan dengan habitat serangga yang
paling disukai oleh Burung Walet. Urutan serangga yang paling disukai oleh Burung Walet yaitu
serangga yang berasal dari ordo Hymenoptera dan Homoptera yang hidup di daerah sawah dan
tegalan, Diptera yang hidup di daerah lahan berkayu, dan Ephemenoptera yang hidup di lahan
basah (Adiwibawa, 2000). Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tidak ada kecamatan yang memiliki
luas habitat sumber pakan yang mendekati kisaran yang ditentukan oleh Soehartono dan
Mardiatuti (2003). Meskipun demikian, bukan berarti ketiga kecamatan di atas merupakan
tempat yang tidak cocok bagi habitat Burung Walet, karena menurut Mardiastuti dkk. (1998)
kemampuan Burung Walet dalam menjelajah home range radius 25-40 km, maka tidak menutup
kemungkinan Burung Walet akan mecari pakan di luar area sekitar tempat tinggalnya. Jarak
yang ditempuh Burung Walet untuk menjangkau lokasi sumber pakan diuraikan pada Tabel 6.
Rata-rata jarak gedung A, B, C, D, E dan F ke lokasi sumber pakan sejauh 4,08 km, 5,28
km, 2,12 km, 2,12 km, 0,87 km, dan 0,90 km. Rata-rata jarak gedung ke lokasi sumber pakan
pada ke-6 gedung tentu dapat dijangkau oleh Burung Walet yang memiliki kemampuan
menjelajah wilayah sejauh 25-40km Mardiastuti dkk. (1998).
Menurut Michael (1995) dalam Balai Besar Pembenihan dan Proteksi Tanaman
Perkebunan (2013) kepadatan populasi serangga di lapangan tidak hanya ditentukan oleh
tersedianya sumberdaya seperti makanan dan ruang tempat hidup, melainkan ada dua faktor
penting lainnya yaitu (1) kemampuan serangga untuk memperoleh pakan, seperti mencari pakan
di beberapa vegetasi (2) waktu atau kesempatan dalam memanfaatkan laju pertumbuhan yang
tinggi, misalnya keadaan iklim yang menguntungkan untuk pertumbuhan. Maka dari itu, suatu
wilayah yang memiliki sumberdaya sebagai penyedia pakan serangga juga harus memiliki
kondisi iklim yang mendukung bagi perkembangan serangga. Kondisi iklim di Kabupaten
Lampung Timur tahun pada 2015 diurai pada Tabel 7.
Pada tahun 2015, suhu rata-rata di Kabupaten Lampung Timur sebesar 27,850C,
kelembaban rata-rata 82% dan curah hujan 1976 mm pertahun. Suhu, Kelembaban dan Curah
Hujan tersebut mendukung pertumbuhan serangga sebagai sumber pakan Burung Walet. Jumar
(2000) menyatakan bahwa kisaran suhu habitat makro yang efektif adalah suhu minimum 15 0C,
suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Suhu rata-rata di Kabupaten Lampung Timur
termasuk kedalam suhu optimum untuk pertumbuhan serangga, sehingga kemampuan serangga
untuk menghasilkan keturunan sangat tinggi dan kemungkinan mortalitas rendah.
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Bagi serangga pada umumnya kisaran toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum
terletak di dalam titik rentang 73-100 % (Jumar, 2000). Kelembaban udara di Kabupaten
Lampung Timur berkisar antara 76-88% artinya kelembaban udara di Kabupaten Lampung
Timur merupakan kisaran kelembaban optimum bagi perkembangan hidup serangga.
produksi di atas rata-rata yaitu gedung B, C dan D dengan nilai produksi 22,627 gram/ ,
22,813 gram/ , dan 22,344 gram/ . Produksi gedung B, C dan D lebih besar dari pada
produksi gedung A, E dan F. Nilai produksi gedung A dan B berbeda meskipun gedung A dan B
berada di Wilayah yang sama yaitu Way Jepara. Gedung B memiliki habitat mikro yang
optimum, sedangkan gedung A di luar kisaran optimum. Hal ini menunjukkan bahwa produksi
sarang tidak dipengaruhi oleh habitat makro melainkan dipengaruhi oleh habitat mikro.
Proses pemanenan sarang Burung Walet sarang putih (Collocalia fuciphaga) di Gedung A,
B, C, D, E maupun F dilakukan sebanyak 4 kali dalam satu tahun atau pemanenan dilakukan
setiap 3 bulan. Pola panen yang digunakan yaitu dengan cara memanen semua sarang yang
menempel pada sirip tanpa mempertimbangkan keberadaan telur ataupun anak walet (piyik).
Artinya pemanenan pada gedung walet di Kabupaten Lampung Timur menggunakan pola panen
rampasan, buang telur dan tetasan dalam satu waktu. Dengan menerapkan pola campuran secara
berturut-turut selama satu tahun penuh akan mengurangi kesempatan Burung Walet untuk
melakukan perkembangbiakannya, sehingga pola pemanenan ini akan menurunkan populasi
Burung Walet secara perlahan. Hal ini tidak sesuai dengan Kepmenhut Nomor 449/Kpts-II/1999
yang menjelaskan bahwa pemanenan sarang Burung Walet dilakukan dalam rangka pembinaan
populasi sehingga pemanenan sarang Burung Walet harus dengan memperhatikan kelestariannya.
KESIMPULAN
Pada kondisi habitat makro yang sama, produktivitas sarang Burung Walet dipengaruhi
oleh habitat mikro. Produksi sarang Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur berkisar antara
18,311 - 22,647 gram / / periode.
SARAN
Untuk mencapai produksi sarang Burung Walet yang maksimal, habitat mikro dan makro
harus dijaga pada kisaran optimum. Disamping itu perlu adanya penelitian lanjutan mengenai
seberapa besar pengaruh dari masing-masing habitat bagi produktivitas Burung Walet.
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Indonesia. 2012. Peta Infrastruktur
Kabupaten Lampung Timur. http://loketpeta.pu.go.id/peta-infrastruktur-kabupaten-
lampung-timur-2012 diakses pada tanggal 18 Juli 2016 pukul 13.24 WIB.
Langham, N. 1980. Breeding biology of the edible-nest Swiftlet Aerodramus fuciphagus. Ibis
7(4):447-461.
Lim CK, Cranbrook E. 2002. Swiftlets of Borneo: Builders of Edible Nest. Ed ke-
1. Kota Kinibalu: Nat His Publication (Borneo) Sdn. Bhd.
Mardiastuti, A., Y. A. Mulyani, J. Sugarjito, L. N. Ginonga, I. Maryanto, A. Nugraha dan Ismail.
1998. Teknik pengusahaan Burung Walet rumah, pemanenan sarang, dan penanganan
pasca panen. Laporan Riset Unggulan Terpadu IV. Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi, Dewan Riset Nasional, Jakarta.
Marhiyanto, dkk. 1996. Budidaya Rumah dan Sarang Walet. Surabaya. Gitamedia Press.
Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. 2015. Monografi Kabupaten Lampung Timur 2015.
Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. Lampung Timur.
Nazzarudin dan A. Widodo. 2008. Sukses Merumahkan Walet. Jakarta. Penebar Swadaya.
Nguyen QP, Vo QY, Voisin JF. 2002. The White-Nest Swiftlet and The Black-Nest Swiftlet: A
Monograph. Paris: Societe Nouvelle Des Edition Boubee.
Soehartono, T. A. dan A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Japan
International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.
Sofwan, A. dan P. Winarso. 2005. Rancang bangun sistem pengendali suhu dan kelembaban
udara pada rumah Burung Walet berbasis mikrokontroler AT89C51. ISBN: 979-756-
061-6.
Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang. 2016. Informasi Analisis Curah Hujan dan Sifat Hujan.
Kupang. http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/informasi/informasi-analisis-curah-hujan-dan-
sifat-hujan/ diakses pada tanggal 20 Juli 2016 Pukul 12.15 WIB
Taufiqurohman. 2002. Meningkatkan populasi burung walet atau seriti di rumah burung walet
yang belum berproduksi di Desa Pasarean Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor.
Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Thomassen H. 2005. Swift as Sound, Design and Evolution of The Echolocation System in
Swiftlets (Apodidae: Collocaliini). [tesis]. Leiden: Leiden Univ.
Wibowo, S. 1995. Budidaya Sarang Walet. Surabaya. Arkola.