”Bagi setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur ’cukup’, segera
akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang terbesar”
Seorang sahabat yang mulai kelelahan hidup, pagi bangun, berangkat ke kantor, pulang malam dalam
kelelahan, serta amat jarang bisa merasakan sinar matahari di kulit, kemudian bertanya, ”Untuk apa
hidup ini?” Ada juga orang yang sudah benar-benar telah mengungsi (kecil mengungsi di rumah orang
tua, dewasa mengungsi ke lembaga pernikahan, tua mengungsi di rumah sakit), dan juga bertanya
serupa. Objek sekaligus subjek yang dikejar dalam hidup memang bermacam-macam. Ada yang
mencari kekayaan, ada yang mengejar keterkenalan, ada yang lapar dengan kekaguman orang, ada
yang demikian seriusnya di jalan-jalan spiritual sampai mengorbankan hampir segala-galanya. Dan
tentu saja sudah menjadi hak masing-masing orang untuk memilih jalur bagi diri sendiri.
Namun yang paling banyak mendapat pengikut adalah mereka yang berjalan atau berlari memburu
kekayaan (luar maupun dalam). Pedagang, pengusaha, pegawai, pejabat, petani, tentara, supir,
penekun spiritual sampai dengan tukang sapu, tidak sedikit kepalanya yang diisi oleh gambar-gambar
hidup agar cepat kaya. Sebagian malah mengambil jalan-jalan pintas.
Yang jelas, pilihan menjadi kaya tentu menjadi sebuah pilihan yang bisa dimengerti. Terutama dengan
kaya materi manusia bisa melakukan lebih banyak hal. Dengan kekayaan di dalam, manusia bisa
berjalan lebih jauh di jalan-jalan kehidupan. Dan soal jalur menjadi kaya mana yang akan ditempuh,
pilihan yang tersedia memang amat melimpah. Dari jualan asuransi, ikut MLM, memimpin perusahaan,
jadi pengusaha sampai dengan jadi pejabat tinggi. Namun, salah seorang bijak dari Timur pernah
menganjurkan sebuah jalan: Contentment is the greatest wealth . Tentu agak unik kedengarannya
terutama di zaman yang serba penuh dengan hiruk-pikuk pencarian keluar. Menyebut cukup, sebagai
kekayaan manusia terbesar, tentu bisa dikira dan dituduh miring.
Ada yang mengira itu menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh anti kemajuan, dan tentu saja
tidak dilarang untuk berpikir seperti ini. Cuman, bagi setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba
serta berjalan jauh di jalur-jalur “cukup”, segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan
manusia yang terbesar. Bukan merasa cukup kemudian berhenti berusaha dan bekerja. Sekali lagi
bukan. Terutama hidup serta alam memang berputar mellaui hukum-hukum kerja. Sekaligus
memberikan pilihan-pilihan yang mengagumkan, bekerja dan lakukan tugas masing –masing sebaik-
baiknya, namun terimalah hasilnya dengan rasa cukup.
Dan ada yang berbeda jauh di dalam sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk dengan
perasaan cukup. Tugasnya berjalan, kerja kerasnya juga berputar. Namun rasa syukurnya
mengagumkan. Sekaligus membukakan pintu bagi perjalanan kehidupan yang penuh dengan
kemesraan. Tidak saja dengan diri sendiri, keluarga, tetangga serta teman. Dengan semua
perwujudan Tuhan manusia mudah terhubung ketika rasa syukurnya mengagumkan. Tidak saja dalam
keramaian manusia menemukan banyak kawan, di hutan yang paling sepi xeklaipun menemukan
banyak teman.
Dalam terang cahaya pemahaman seperti ini, rupanya merasa cukup jauh dari lebih sekedar memaksa
diri agar lebih damai. Awalnya, apapun memang diikuti keterpaksaan. Namun begitu merasa cukup
nyaman ke sarang laba-laba kehidupan. Dimana semuanya (manusia, binatang, tetumbuhan, batu,
air, awan, langit, matahari, dll) serba terhubung sekaligus menyediakan rasa aman nyaman di sebuah
titik pusat.
Orang tua mengajarkan hidup berputar seperti roda. Dan setiap pencaharian kekayaan ke luar yang
tidak mengenal rasa cukup, mudah sekali membuat manusia terguncang menakutkan di pinggir roda.
Raja Termiskin
Suatu siang seorang guru sufi mendengar keriuhan dan kegaduhan melanda desanya. Teriakan
manusia berserakan di udara, ingar bingar dicampur dengan ringkikan kuda, lenguhan sapi dan
kerbau, embikan kambing dan lainnya, orang–orang desa sepertinya sedang dicekam rasa takut dan
kalut yang sangat. Sang guru sufi yang sedang asyik berzikir di gubuknya pun terusik, hingga diapun
berhenti dan ke luar ingin melihat apa yang sedang terjadi.
Dari kejauhan sang guru sufi dapat meihat beberapa tentara kerajaan sedang menjarah uang orang-
orang desa. Mereka yang tidak punya uang harus merelakan binatang ternaknya digondol. Mereka
yang menentang ditendang atau dihajar. Oleh karena itulah kemudian orang-orang desa berlarian
menyeret-nyeret hewan ternaknya agar bisa diselamatkan.
Sang guru sufi kembali masuk ke dalam gubuknya dan melanjutkan zikirnya. Siangnya orang-orang
desa mengerumuni gubuk sang guru sufi. Mereka mengeluhkan kekejaman yang dilakukan sang raja.
Entah bagaimana, dua hari kemudian sang guru dijemput seseorang utusan dari raja zalim itu agar
datang ke istana. Kabarnya, sang raja zalim itu ingin bertemu dengannya. Kemasyuharan sang guru
sufi dalam hal kearifan dan kesalehan membuat sang raja ingin bertemu dengannya. Sesampai di
istana, sang guru sufi diantar pengawal menemui raja.
Sang raja sangat senang dengan kedatangan sang guru sufi. Sang raja pun menyilakan duduk dengan
senyum lebar. Gigi sang raja terlihat di bawah rerimbunan kumis yang lebat. Setelah berbicara
banyak, sang raja pun merasa senang dan puas dengan kearifan sang guru sufi. Lalu sang raja
menyuruh pembantunya mengambil satu kantong uang untuk diberikan pada sang guru sufi.
Tapi, apa yang terjadi? Sang guru sufi yang penampilan luarnya sangat sederhana, sebagai seorang
darwis, pengemis, tiba-tiba menolak uluran tangan dari sang raja.
Raja sangat heran ketika sang guru sufi berkata ”Saya kira baginda lebih layak menerima pemberian
ini”
”Kenapa begitu?” sergah sang raja dengan mata terbelalak keheranan.
”Karena sang rajalah yang termiskin di negeri ini!” jawab sang guru sufi.
Raja hanya bisa termenung. Sang guru sufi pun kemudian bergegas meninggalkan istana.
Dunia itu Hanya Secuil
Pernahkah kita menolak pemberian orang lain, apalagi dalam bentuk uang tunai, cash? Jawabannya,
tidak pernah. Bahkan orang-orang yang uangnya sudah berlimpah pun masih berharap diberi uang.
Buktinya soal hadiah yang ujung-ujungnya penipuan itu juga berpangkal keinginan mendapatkan
pemberian.
Apa itu otoritas moral? Otoritas moral adalah pemanfaatan kebebasan dan kemampuan kita untuk
memilih berdasarkan suatu prinsip. Dengan kata lain, bila kita mengikuti prinsip-prinsip dalam
hubungan kita dengan sesama kita, kita seperti sedang memasuki wilayah perizinan alam. Hukum
alam (seperti gravitasi) dan prinsip-prinsip (seperti rasa hormat, kejujuran, kebaikan, hati, integritas,
pelayanan dan keadilan) mengendalikan akibat dari pilihan-pilihan kita. Sebagaimana anda
mendapatkan udara dan air yang tercemar kalau anda terus menerus bersikap tidak baik dan tidak
jujur kepada orang lain. Dengan pemnafaatan kebebasan dan kemampuan untuk memilih secara
bijaksana, dan didasari dengan prinsip-prinsip yang baik, orang yang rendah hati akan memperolah
otoritas moral terhadap orang-orang, budaya, organisasi, maupun seluruh masyarakatnya.
Nilai adalah norma sosial, yang bersifat personal, emosional, subyektif, dan dapat diperdebatkan. Kita
semua punya nilai-nilai. Bahkan kriminal pun punya nilai-nilai. Pertanyaan yang harus anda ajukan
terhadap diri sendiri adalah, apakah nilai-nilai anda didasarkan atas prinsip?. Bila anda runut sampai
ujungnya, anda akan menemukan bahwa prinsip-prinsip tersebut adalah hukum alam, yang bersifat
impersonal, faktual, objektif dan jelas dari sananya. Berbagai akibat atau konsekuensi ditentukan oleh
prinsip, perilaku ditentukan oleh nilai, karena itu hargailah prinsip-prinsip itu!
Orang yang terobsesi dengan ketenaran, adalah contoh dari mereka yang nilai-nilainya mungkin tidak
mengakar kuat pada prinsip. Popularitas membentuk pusat moral mereka. Dengan kata lain,
keinginan untuk tenar dan tetap tenar menghalalkan segala cara. Mereka tidak tahu sebenarnya siapa
mereka itu, dan tidak tahu ke mana sebenarnya arah ”utara” yang benar. Mereka tidak tahu prinsip
mana yang harus diikuti, karena kehidupan mereka didasarkan pada nilai-nilai sosial. Mereka tercabik
karena tegangan antara kesadarannya akan tuntutan sosial dan kesadaran diri mereka di satu pihak,
dan hukum alam dan prinsip di pihak lain. Bila sedang ada dalam pesawat terbang, keadaan seperti
itu disebut vertigo. Dalam keadaan itu, Anda kehilangan arah atau acuan ke darat (yang dalam hal ini
berarti prinsip) sehingga anda jadi benar-benar bingung dan tersesat. Banyak orang yang
menjalankan hidup mereka dengan semacam vertigo, atau kebingungan moral. Anda menyaksikan
mereka dalam kehidupan anda dan dalam budaya populer. Mereka tidak mau bersusah payah untuk
benar-benar memusatkan dan mendasarkan nilai-nilai mereka pada prinsip-prinsip yang abadi.
Karena itu, tugas pokok kita adalah menentukan di mana ”utara yang sesungguhnya” dan kemudian
mengarahkan segalanya ke situ. Kalau tidak, anda akan hidup dengan berbagai konsekuensi negatif
yang pasti akan muncul. Sekali lagi, konsekuensi negatif itu tak terelakan karena walau nilai
mengendalikan tingkah laku, prinsiplah yang mengendalikan tingkah laku itu. Otoritas moral menuntut
pengorbanan atas kepentingan egoistik berjangka pendek, dan keberanian untuk meletakkan nilai-
nilai sosial di bawah prinsip-prinsip. Dan nurani kita adalah gudang dari prinsip-prinsip tersebut.
Nurani
Berupayalah untuk mempertahankan percikan api ilahi yang disebut nurani itu tetap menyala
(George Washington).
Banyak yang telah dikatakan mengenai pentingnya nurani atau suara hati. Ada banyak sekali bukti
yang menunjukkan bahwa nurani-yaitu kesadaran moral kita, cahaya batin kita-merupakan fenomena
yang bersifat universal. Kodrat rohani dan kodrat moral manusia itu terlepas dari agama, atau
pendekatan agama, budaya, geografi, nasionalitas atau ras tertentu. Kendati demikian, semua tradisi
agama besar di dunia ini bertemu di dalam prinsip atau nilai dasar tertentu.
Immanuel Kant berkata, ”Saya selalu dibuat kagum oleh dua hal: langit berbintang-bintang di atas
kita, dan hukum moral di dalam diri kita.” Nurani adalah hukum moral di dalam diri kita. Banyak orang