Anda di halaman 1dari 9

BB

Kekayaan Manusia yang Terbesar


(Dari Kebahagiaan yang Membebaskan, Gede Prama)

”Bagi setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur ’cukup’, segera
akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang terbesar”
Seorang sahabat yang mulai kelelahan hidup, pagi bangun, berangkat ke kantor, pulang malam dalam
kelelahan, serta amat jarang bisa merasakan sinar matahari di kulit, kemudian bertanya, ”Untuk apa
hidup ini?” Ada juga orang yang sudah benar-benar telah mengungsi (kecil mengungsi di rumah orang
tua, dewasa mengungsi ke lembaga pernikahan, tua mengungsi di rumah sakit), dan juga bertanya
serupa. Objek sekaligus subjek yang dikejar dalam hidup memang bermacam-macam. Ada yang
mencari kekayaan, ada yang mengejar keterkenalan, ada yang lapar dengan kekaguman orang, ada
yang demikian seriusnya di jalan-jalan spiritual sampai mengorbankan hampir segala-galanya. Dan
tentu saja sudah menjadi hak masing-masing orang untuk memilih jalur bagi diri sendiri.
Namun yang paling banyak mendapat pengikut adalah mereka yang berjalan atau berlari memburu
kekayaan (luar maupun dalam). Pedagang, pengusaha, pegawai, pejabat, petani, tentara, supir,
penekun spiritual sampai dengan tukang sapu, tidak sedikit kepalanya yang diisi oleh gambar-gambar
hidup agar cepat kaya. Sebagian malah mengambil jalan-jalan pintas.
Yang jelas, pilihan menjadi kaya tentu menjadi sebuah pilihan yang bisa dimengerti. Terutama dengan
kaya materi manusia bisa melakukan lebih banyak hal. Dengan kekayaan di dalam, manusia bisa
berjalan lebih jauh di jalan-jalan kehidupan. Dan soal jalur menjadi kaya mana yang akan ditempuh,
pilihan yang tersedia memang amat melimpah. Dari jualan asuransi, ikut MLM, memimpin perusahaan,
jadi pengusaha sampai dengan jadi pejabat tinggi. Namun, salah seorang bijak dari Timur pernah
menganjurkan sebuah jalan: Contentment is the greatest wealth . Tentu agak unik kedengarannya
terutama di zaman yang serba penuh dengan hiruk-pikuk pencarian keluar. Menyebut cukup, sebagai
kekayaan manusia terbesar, tentu bisa dikira dan dituduh miring.
Ada yang mengira itu menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh anti kemajuan, dan tentu saja
tidak dilarang untuk berpikir seperti ini. Cuman, bagi setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba
serta berjalan jauh di jalur-jalur “cukup”, segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan
manusia yang terbesar. Bukan merasa cukup kemudian berhenti berusaha dan bekerja. Sekali lagi
bukan. Terutama hidup serta alam memang berputar mellaui hukum-hukum kerja. Sekaligus
memberikan pilihan-pilihan yang mengagumkan, bekerja dan lakukan tugas masing –masing sebaik-
baiknya, namun terimalah hasilnya dengan rasa cukup.
Dan ada yang berbeda jauh di dalam sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk dengan
perasaan cukup. Tugasnya berjalan, kerja kerasnya juga berputar. Namun rasa syukurnya
mengagumkan. Sekaligus membukakan pintu bagi perjalanan kehidupan yang penuh dengan
kemesraan. Tidak saja dengan diri sendiri, keluarga, tetangga serta teman. Dengan semua
perwujudan Tuhan manusia mudah terhubung ketika rasa syukurnya mengagumkan. Tidak saja dalam
keramaian manusia menemukan banyak kawan, di hutan yang paling sepi xeklaipun menemukan
banyak teman.
Dalam terang cahaya pemahaman seperti ini, rupanya merasa cukup jauh dari lebih sekedar memaksa
diri agar lebih damai. Awalnya, apapun memang diikuti keterpaksaan. Namun begitu merasa cukup
nyaman ke sarang laba-laba kehidupan. Dimana semuanya (manusia, binatang, tetumbuhan, batu,
air, awan, langit, matahari, dll) serba terhubung sekaligus menyediakan rasa aman nyaman di sebuah
titik pusat.
Orang tua mengajarkan hidup berputar seperti roda. Dan setiap pencaharian kekayaan ke luar yang
tidak mengenal rasa cukup, mudah sekali membuat manusia terguncang menakutkan di pinggir roda.

Refleksi Penerapan Nilai 1


BB
Namun di titik pusat, tidak ada putaran. Yang ada hanya rasa cukup yang bersahabatkan hening,
jernih sekaligus kaya. Bagi yang belum pernah mencoba, apalagi diselimuti ketakutan, keraguan dan
iri hati, hidup di titik pusat berbekalkan rasa cukup memang tidak terbayangkan. Hanya keberanian
untuk melatih dirilah yang bisa membukakan pintu dalam hal ini.
Hidup yang ideal memang kaya di luar sekligus di dalam. Dan ini bisa ditemukan orang-orang yang
mampu mengkombinasikan antara kerja keras di satu sisi, serta rasa cukup di sisi lain. Bila orang-
orang seperti ini berjalan lebih jauh lagi di jalan yang sama, akan datang suatu waktu dimana bahagia
dengan hidup yang bodoh di luar, namun pintar mengagumkan di dalamnya. Ini bisa terjadi, karena
rasa cukup membawa manusia pelan-pelan mengurangi ketergantungan akan penilaian orang lain.
Jangankan dinilai baik dan pintar, dinilai buruk sekaligus bodoh pun tidak ada masalah.
Salah satu manusia yang sudah sampai di sini bernama Susana Tamaro. Dalam novel indahnya
berjudul Pergi Ke Mana Hati Membawamu. Ia kurang lebih menulis: ”Kata-kata ibarat sapu”. Ketika
dipakai menyapu, lantai lebih bersih namun debu terbang ke mana-mana. Dan hening ibarat lap pel.
Lantai bersih tanpa membuat debu terbang. Dengan kata lain , pujian, makian, kekaguman,
kebencian dan kata-kata manusia sejenis, hanya menjernihkan sebagian, sekligus memperkotor di
bagian lain (seperti sapu). Sedangkan hening di dalam bersama rasa cukup seperti lap pel, bersih,
jernih tanpa menimbulkan dampak negatif.
Manusia lain yang juga sampai di sini bernama Chogyum Trungpa, di salah satu karyanya yang
mengagumkan (Shambala, the Sacred Path of the Warrior) ia menulis: ”This basic wisdom of
Shambala is that in this worl, as it is, we can find a good and meaningful human life that will also
serve others. This is richness”. Itulah kekayaan yang mengagumkan, bahwa dalam hidup yang
sebagaimana adanya (bukan yang seharusnya) kita bisa menemukan kehidupan berguna sekaligus
pelayanan bermakna buat pihak lain.

Refleksi Penerapan Nilai 2


BB
Semakin Kaya Semakin Kurang
(dari: ”A Book of Wisdom”, Tasirun Sulaiman)

”Hartamu yang sesungguhnya adalah


yang engkau berikan di jalan kebenaran ”.
(Hadis Nabi)

Raja Termiskin
Suatu siang seorang guru sufi mendengar keriuhan dan kegaduhan melanda desanya. Teriakan
manusia berserakan di udara, ingar bingar dicampur dengan ringkikan kuda, lenguhan sapi dan
kerbau, embikan kambing dan lainnya, orang–orang desa sepertinya sedang dicekam rasa takut dan
kalut yang sangat. Sang guru sufi yang sedang asyik berzikir di gubuknya pun terusik, hingga diapun
berhenti dan ke luar ingin melihat apa yang sedang terjadi.
Dari kejauhan sang guru sufi dapat meihat beberapa tentara kerajaan sedang menjarah uang orang-
orang desa. Mereka yang tidak punya uang harus merelakan binatang ternaknya digondol. Mereka
yang menentang ditendang atau dihajar. Oleh karena itulah kemudian orang-orang desa berlarian
menyeret-nyeret hewan ternaknya agar bisa diselamatkan.
Sang guru sufi kembali masuk ke dalam gubuknya dan melanjutkan zikirnya. Siangnya orang-orang
desa mengerumuni gubuk sang guru sufi. Mereka mengeluhkan kekejaman yang dilakukan sang raja.
Entah bagaimana, dua hari kemudian sang guru dijemput seseorang utusan dari raja zalim itu agar
datang ke istana. Kabarnya, sang raja zalim itu ingin bertemu dengannya. Kemasyuharan sang guru
sufi dalam hal kearifan dan kesalehan membuat sang raja ingin bertemu dengannya. Sesampai di
istana, sang guru sufi diantar pengawal menemui raja.
Sang raja sangat senang dengan kedatangan sang guru sufi. Sang raja pun menyilakan duduk dengan
senyum lebar. Gigi sang raja terlihat di bawah rerimbunan kumis yang lebat. Setelah berbicara
banyak, sang raja pun merasa senang dan puas dengan kearifan sang guru sufi. Lalu sang raja
menyuruh pembantunya mengambil satu kantong uang untuk diberikan pada sang guru sufi.
Tapi, apa yang terjadi? Sang guru sufi yang penampilan luarnya sangat sederhana, sebagai seorang
darwis, pengemis, tiba-tiba menolak uluran tangan dari sang raja.
Raja sangat heran ketika sang guru sufi berkata ”Saya kira baginda lebih layak menerima pemberian
ini”
”Kenapa begitu?” sergah sang raja dengan mata terbelalak keheranan.
”Karena sang rajalah yang termiskin di negeri ini!” jawab sang guru sufi.
Raja hanya bisa termenung. Sang guru sufi pun kemudian bergegas meninggalkan istana.
Dunia itu Hanya Secuil
Pernahkah kita menolak pemberian orang lain, apalagi dalam bentuk uang tunai, cash? Jawabannya,
tidak pernah. Bahkan orang-orang yang uangnya sudah berlimpah pun masih berharap diberi uang.
Buktinya soal hadiah yang ujung-ujungnya penipuan itu juga berpangkal keinginan mendapatkan
pemberian.

Refleksi Penerapan Nilai 3


BB
Dalam ungkapan kearifannya masyarakat Barat dikatakan, ” Golden key open every door”. Maksudnya,
kalau kita datang dan membawa hadiah atau oleh-oleh, orang akan menerima kita dengan senang
hati. Tidak ada istilah penolakan atau ungkapan kebohongan seperti yang pernah diceritakan teman
saya.
Teman saya yang kebetulan adalah ketua ikatan remaja masjid, katanya benar-benar kecewa ketika
dia mendatangi seorang mubalig untuk sebuah perayaan di masjidnya. Ketika dia datanga ke rumah
mubalig itu, katanya sang mubalig sedang tidak ada di rumah, padahal kata panitia sang mubalig ada,
kenapa?.
Wallahua’lamu bishawwab, tapi saya percaya dengan ungkapan teman saya itu, katanya karena
mungkin bayaran yang diterima tahun lalu tidak sesuai ”tarif” yang diinginkan sang mubalig. Cerita
seperti itu bukan hanya saya dengar dari teman saya saja, ternyata di surat kabar juga dalam rubrik
surat pembaca saya pernah membacanya.
Jadi ungkapan kearifan masyarakat Barat itu sesungguhnya berlaku juga untuk mubalig tadi. Ia tidak
bekerja secara efektif, bahkan boleh dibilang tidak berpengaruh terhadap kewaraan-keinginan terus
menjaga kesucian-sang guru sufi.
Kenapa sang guru sufi yang darwis dengan kehidupan sangat sederhana, bahkan meminjam istilah
developer (pengembang) triple s, sangat-sangat sederhana, ternyata menolak pemberian itu?
Jawabannya, tidak lain adalah kesucian hati dan jiwa. Dia tidak ingin zikir yang dilakukannya siang
malam hanya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, Swt, sirna begitu saja karena harta yang tidak
halal itu.
Guru sufi sudah merasakan kecukupan dengan bisa hidup tenteram dan damai dalam rengkuhan cinta
ilahi. Hati dan jiwanya begitu terang dalam dekapan cahaya cinta Ilahi. Sehingga dia tidak
menginginkan yang lainnya. Maqam (tingkatan) paling tinggi, dimana hubungan seorang hamba
begitu dekat antara dirinya dan Allah, Swt. Inilah bentuk dari segala kebahagiaan yang
didambakannya.
Sekaya apa pun dan seberapa banyak harta yang dimiliki seseorang, apalagi diperoleh dengan cara-
cara yang tidak dibenarkan agama, seperti: memeras, merampok, korupasi, suap dll, adalah bentuk
kemiskinan yang sesungguhnya. Semakin bertambah hartanya, rasa kurangnya juga bertambah.
Kenapa sang guru sufi mengatakan kalau rajalah yang layak atas uang itu?. Sang guru sufi melihat
keserakahan merasuki sang raja akan kekayaan duniawi. Padahal menurut pandangan dan keyakinan
sufi kekayaan duniawi itu hanya secuil.
Lalu yang secuil saja diambil dengan cara –cara yang kotor seperti menjarah dan memeras. Lalu
berapa nilainya kalau begitu?. Tidak ada.
Tentang lemewahan, kemegahan dan kenikmatan dunia, Rasulullah Saw pernah bersabda dengan
menyatakan bahw aperumpamaannya adalah mirip air yang tersisa di jari telunjuk setelah dicelupkan
ke dalam lautan.
Jadi, kehidupan dunia itu sesungguhnya tidak ada apa-apanya.

Refleksi Penerapan Nilai 4


BB

“Wabah Virus” Ketidakjujuran


(dari: ”A Book of Wisdom”, Tasirun Sulaiman)

“Dan manusia itu ssungguhnya mencintai yang serba cepat”


(QS Al-Qayimah - 75 : 20 )

Susu dan Air


Seperti biasa khalifah Umar r.a. keliling di malam hari untuk memeriksa keadaan kaum Muslimin.
Ketika beliau sedang melintasi sebuah rumah seorang janda, tiba-tiba harus menghentikan
langkahnya. Sang Khalifah kemudian mengendap-endap dan mendengar sebuah percakapan dari
dalam rumah.
”Nak, campuri saja susunya dengan air biar banyak,” kata sang ibu.
”Jangan bu, karena khalifah Umar telah mengeluarkan peraturan, dan kita tidak boleh melanggarnya,”
jawab si anak.
” Tidak apa nak, kan Khalifah Umar r.a tidak mengetahuinya,” timpal sang ibu.
”Benar bu, Khalifah Umar tidak melihatnya, tapi Allah Swt, mengetahuinya”. Jawab si anak.
Percakapan mereka malam itu membuat hati Khalifah Umar benar-benar terharu. Beliau selalu
memikirkan kejadian tersebut dan penasaran ingin mengetahui lebih jauh.
Karenanya, keesokannya Khalifah Umar megutus pembantunya untuk menyelediki lebih detil lagi
keadaan penghuni rumah itu: Khalifah ingin tahu dan menegaskan siapakah mereka itu sebenarnya?
Setelah menyelidiki dan mendapatkan gambaran keluraga itu, akhirnya diketahui kalau sang ibu itu
adalah seorang janda dan anak putrinya adalah seorang gadis.
Khalifah Umar r.a. kemudian memanggil putranya Ashim. Ketika Ashim mendekat, beliau berkata:
”Pergilah putraku, temui seorang gadis. Ayah mengenalnya ketika sedang berkeliling. Nikahilah dia.
Ayah berharap dia akan melahirkan seorang pahlawan yang mau memimpin kejayaan Islam kelak”.
Ashim kemudian menuju rumah gadis itu lalu melamarnya. Dari pernikahan itu lahirlah seorang anak
perempuan. Singkat cerita, anak perempuan itu kemudian dinikahi Abdul Aziz bin Marwan dan dari
pernikahan mereka lahir seorang anak laki-laki bernama Umar bin Abdul Aziz, seorang Khalifah yang
sangat harum namanya karena kejujuran dan keadilannya.
”Bermain Api” dengan ketidakjujuran
Masih perlukah sikap jujur, di negeri dimana moral sudah tidak lagi bersendi? Moral sudah berserak-
serak?. Korupsi dimana-mana: dari birokrasi hingga lembaga perwakilan, dari pusat sampai ke desa,
dari pejabat tinggi sampai RT. Apakah tidak merugi kita bersikap jujur?.
Kejujuran adalah bawaan lahir manusia. Manusia betapapun rusak akhlaknya, tetap mencintai
kejujuran. Seorang penjahat sungguh tidak pernah menginginkan anaknya menjadi penjahat. Seorang
penipu tidak pernah terlintas dalam pikirannya agar anaknya menjadi penipu juga. Bahkan seorang
koruptor juga tidak ingin anaknya melanjutkan karir sebagai koruptor.
Mereka yang tidak jujur sebenarnya memiliki rasa bersalah. Mereka lantas menyalahkan keadaan:
blaming the others. Seperti menyalahkan punya anak banyak. Punya istri banyak. Teman-temannya

Refleksi Penerapan Nilai 5


BB
juga koruptor. Keadaan memaksa kalau tidak korup tidak akan langgeng menduduki jabatan karena
jabatan itu menjadi transaksi korupsi.
Kenapa korupsi merajalela?. Karena moral dan kejujuran sudah tidak dibudayakan. Moral dan
kejujuran sebagai hiasan dan formalitas saja. Nama boleh diawali dengan Haji, KH, DR, SH, apalagi
gelar-gelar yang mencerminkan manusia berpendidikan dan mengerti apa itu etika-kaidah benar dan
salah-tapi kalau sudah berdekatan dengan masalah uang, langsung meleleh. Berubah warna dan
pudar.
Manusia juga sesungguhnya menyukai cara-cara yang instan dan cepat untuk mencapai tujuannya.
Akhirnya, demi mencapai tujuan, cara apa pun bisa ditempuh. Apakah bertentangan dengan moral
dan ajaran agama, itu tidak penting lagi. Yang penting adalah bagaimana saya mendapat keuntungan
sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Masalah orang lain menderita kerugian itu
urusan lain.
Sekilas, ketidakjujuran terlihat menguntungkan, tapi sesungguhnya ketidakjujuran justru awal dari
kejatuhan. Tidak saja kejatuhan moral dan integritas, tetapi kajatuhan ruhani. Bahkan, bisa dikatakan
kebangkrutan ruhani. Kalau terus menerus tidak jujur, lama-lama dia akan hancur.
Jalan kejujuran itu mirip dengan istilah jalan yang benar: jalan benar bukan berarti lurus seperti jalan
tol. Tapi bisa jadi jalan yang benar itu berkelok-kelok. Sementara itu ketidakjujuran mirip dengan jalan
pintas yang mengahantarkan seseorang tapi membahayakan. Ketidakjujuran terlihat dari luarnya
menguntungkan, tapi sesungguhnya merugikan karena mengorbankan sesuatu yang paling berharga
sebagai mansuia: concience atau hati nurani. Orang yang tidak jujur selalu bertentangan dan
bertarung dengan dirinya. Oleh karenanya, dia tidak akan pernah merasakan kepuasan dan
kebahagiaan hidup.
Sekali seseorang berlaku tidak jujur, maka dia juga akan melakukan hal yang sama untuk kasus-
kausus lainnya. Jadi, ketidakjujuran ibarat bara api yang akan merembet dan menghabiskan gulungan
kayu, bahkan hutan. Susah dihentikan. Hati –hatilah dengan perbuatan tidak jujur, meski hanya
sekali.

Refleksi Penerapan Nilai 6


BB
Otoritas Alamiah dan Moral
(dari: The 8th Habit, Stephen R. Covey)

Apa itu otoritas moral? Otoritas moral adalah pemanfaatan kebebasan dan kemampuan kita untuk
memilih berdasarkan suatu prinsip. Dengan kata lain, bila kita mengikuti prinsip-prinsip dalam
hubungan kita dengan sesama kita, kita seperti sedang memasuki wilayah perizinan alam. Hukum
alam (seperti gravitasi) dan prinsip-prinsip (seperti rasa hormat, kejujuran, kebaikan, hati, integritas,
pelayanan dan keadilan) mengendalikan akibat dari pilihan-pilihan kita. Sebagaimana anda
mendapatkan udara dan air yang tercemar kalau anda terus menerus bersikap tidak baik dan tidak
jujur kepada orang lain. Dengan pemnafaatan kebebasan dan kemampuan untuk memilih secara
bijaksana, dan didasari dengan prinsip-prinsip yang baik, orang yang rendah hati akan memperolah
otoritas moral terhadap orang-orang, budaya, organisasi, maupun seluruh masyarakatnya.
Nilai adalah norma sosial, yang bersifat personal, emosional, subyektif, dan dapat diperdebatkan. Kita
semua punya nilai-nilai. Bahkan kriminal pun punya nilai-nilai. Pertanyaan yang harus anda ajukan
terhadap diri sendiri adalah, apakah nilai-nilai anda didasarkan atas prinsip?. Bila anda runut sampai
ujungnya, anda akan menemukan bahwa prinsip-prinsip tersebut adalah hukum alam, yang bersifat
impersonal, faktual, objektif dan jelas dari sananya. Berbagai akibat atau konsekuensi ditentukan oleh
prinsip, perilaku ditentukan oleh nilai, karena itu hargailah prinsip-prinsip itu!
Orang yang terobsesi dengan ketenaran, adalah contoh dari mereka yang nilai-nilainya mungkin tidak
mengakar kuat pada prinsip. Popularitas membentuk pusat moral mereka. Dengan kata lain,
keinginan untuk tenar dan tetap tenar menghalalkan segala cara. Mereka tidak tahu sebenarnya siapa
mereka itu, dan tidak tahu ke mana sebenarnya arah ”utara” yang benar. Mereka tidak tahu prinsip
mana yang harus diikuti, karena kehidupan mereka didasarkan pada nilai-nilai sosial. Mereka tercabik
karena tegangan antara kesadarannya akan tuntutan sosial dan kesadaran diri mereka di satu pihak,
dan hukum alam dan prinsip di pihak lain. Bila sedang ada dalam pesawat terbang, keadaan seperti
itu disebut vertigo. Dalam keadaan itu, Anda kehilangan arah atau acuan ke darat (yang dalam hal ini
berarti prinsip) sehingga anda jadi benar-benar bingung dan tersesat. Banyak orang yang
menjalankan hidup mereka dengan semacam vertigo, atau kebingungan moral. Anda menyaksikan
mereka dalam kehidupan anda dan dalam budaya populer. Mereka tidak mau bersusah payah untuk
benar-benar memusatkan dan mendasarkan nilai-nilai mereka pada prinsip-prinsip yang abadi.
Karena itu, tugas pokok kita adalah menentukan di mana ”utara yang sesungguhnya” dan kemudian
mengarahkan segalanya ke situ. Kalau tidak, anda akan hidup dengan berbagai konsekuensi negatif
yang pasti akan muncul. Sekali lagi, konsekuensi negatif itu tak terelakan karena walau nilai
mengendalikan tingkah laku, prinsiplah yang mengendalikan tingkah laku itu. Otoritas moral menuntut
pengorbanan atas kepentingan egoistik berjangka pendek, dan keberanian untuk meletakkan nilai-
nilai sosial di bawah prinsip-prinsip. Dan nurani kita adalah gudang dari prinsip-prinsip tersebut.
Nurani
Berupayalah untuk mempertahankan percikan api ilahi yang disebut nurani itu tetap menyala
(George Washington).
Banyak yang telah dikatakan mengenai pentingnya nurani atau suara hati. Ada banyak sekali bukti
yang menunjukkan bahwa nurani-yaitu kesadaran moral kita, cahaya batin kita-merupakan fenomena
yang bersifat universal. Kodrat rohani dan kodrat moral manusia itu terlepas dari agama, atau
pendekatan agama, budaya, geografi, nasionalitas atau ras tertentu. Kendati demikian, semua tradisi
agama besar di dunia ini bertemu di dalam prinsip atau nilai dasar tertentu.
Immanuel Kant berkata, ”Saya selalu dibuat kagum oleh dua hal: langit berbintang-bintang di atas
kita, dan hukum moral di dalam diri kita.” Nurani adalah hukum moral di dalam diri kita. Banyak orang

Refleksi Penerapan Nilai 7


BB
yang percaya, demikian juga saya, bahwa nurani adalah suara Tuhan kepada anak-anakNya. Orang
lain mungkin saja tidak memiliki keyakinan seperti ini, tetapi tetap mengakui adanya suatu
pemahaman yang sudah mereka bawa sejak lahir mengenai kejujuran dan keadilan, mengenai benar
dan salah, mengenai apa yang baik dan buruk, mengenai apa yang mendukung dan apa yang
mengganggu, mengenai apa yang memperindah dan apa yang merusak, mengenai apa yang benar
dan salah. Tentu saja, berbagai budaya yang berbeda menerjemahkan pemahaman moral dasar ini
dalam berbagai praktik dan istilah yang berbeda pula, tetapi terjemahan yang berbeda-beda itu tidak
meniadakan pemahaman dasar mengenai baik dan buruk.
Ketika bekerja di antara bangsa-bangsa yang menganut beragam agama dan budaya, saya
menyaksikan penyingkapan nurani yang bersifat universal itu. Nurani itu sesungguhnya adalah
seperangkat nilai, suatu kesadaran mengenai keadilan, kejujuran, rasa hormat, dan sumbangan yang
mengatasi budaya-sesuatu yang abadi, yang mengatasi jaman, dan tidak memerlukan bukti lain (self
evident). Sekali lagi, hal itu sama jelasnya dengan fakta bahwa kepercayaan menuntut sifat dapat
dipercaya.
”Nurani rela berkorban”-mengalahkan diri sendiri dan menundukkan ego demi tujuan, alasan atau
prinsip yang lebih tinggi. Pengorbanan itu sesungguhnya berarti melepaskan sesuatu yang baik demi
sesuatu yang lebih baik lagi. Kendati demikian dalam benak orang yang melakukan pengorbanan,
sesungguhnya tidak ada kerugian, dan hanya si pengamat yang melihat hal itu sebagai pengorbanan.
Pengorbanan itu bisa mengambil banyak bentuk, sebagaimana dia dapat menampakkan diri dalam
empat dimensi kehidupan kita: berkorban secara fisik dan ekonomis (tubuh); berupaya
mengembangkan pikiran yang terbuka, selalu ingin tahu; dan membersihkan diri dari bermacam
prasangka (pikiran); menunjukkan rasa hormat dan cinta mendalam terhadap sesama (hati);
menundukkan kehendak diri kita kepada kehendak yang lebih tinggi demi kebaikan yang lebih besar
(jiwa).
Nurani megajarkan kepada kita bahwa tujuan dan cara mencapainya tidak terpisahkan, bahwa tujuan
sesungguhnya sudah ada sebelumnya dalam cara mencapainya. Immanuel Kant mengajarkan bahwa
cara yang digunakan untuk mencapai tujuan sama pentingnya dengan tujuan itu sendiri. Machiavelli
mengajarkan sebaliknya, tujuan membenarkan, dan karen itu juga menghalalkan segala cara.
Nurani terus menerus mengingatkan kita akan nilai-nilai dari tujuan maupun cara mencapainya, dan
bahwa keduanya tidak terpisahkan. Ego mengatakan kepada kita bahwa tujuan membenarkan
caranya, karena ego tidak sadar bahwa tujuan mulia tidak akan pernah dapat diraih dengan cara yang
tidak semestinya. Mungkin tampaknya anda bisa mencapai tujuan mulia dengan cara yang tidak
semestinya, tetapi akan ada sekian banyak konsekuensi yang tidak diharapkan, yang sebelumnya
tidak tampak atau tidak jelas, yang pada akhirnya akan menghancurkan tujuan itu sendiri. Misalnya,
anda dapat meneriaki anak anda untuk membersihkan kamarnya. Bila tujuan anda adalah ”kamarnya
jadi bersih”, mungkin anda mencapai tujuan itu, tapi ya hanya itu. Saya jamin, cara yang anda pakai
itu tidak akan hanya berpengaruh negatif terhadap hubungan anda dengan anak anda, tetapi kamar
mereka juga tidak akan tetap bersih bila anda ke luar kota beberapa hari saja.
Nurani secara lebih mendalam merubah visi, disiplin dan gairah kita dengan cara memperkenalkan
kita dengan berbagai bentuk hubungan. Dia mendorong kita untuk berpindah dari keadaan mandiri
jadi saling tergantung. Ketika hal ini terjadi segala sesuatunya jadi berubah, anda memahami bahwa
visi dan nilai harus disebarkan agar menjadi milik bersama, sebelum orang-orang bisa menerima
menjadi disiplin yang dilembagakan dalam struktur dan sistem yang mengemban nilai-nilai bersama
itu. Visi bersama itu akan menciptakan disiplin dan keteraturan tanpa menuntutnya. Nurani sering
menyediakan alasan (kenapa); visi mengidentifikasi apa yang hendak dicapai; disiplin mewakili
bagaimana anda mencapainya; dan gairah mewakili kekuatan perasaan dibalik kenapa, apa dan
bagaimana tadi.

Refleksi Penerapan Nilai 8


BB
Nurani mengubah gairah menjadi belarasa atau welas asih (compassion). Dia membangkitkan
perhatian tulus kepada orang lain, suatu kombinasi antara simpati dan empati, sehingga kita bisa
merasakan penderitaan orang lain. Belarasa adalah perwujudan gairah dalam keterkaitan kita dengan
orang lain.
Bila kita berusaha untuk hidup menurut nurani kita, nurani itu akan membangkitkan integritas dan
ketenangan pikiran. Seorang pastor projo kelahiran Jerman yang sekaligus juga pembicara dan
penulis yang membangkitkan motivasi, William J.H. Boetcker, pada awal abad kedua puluh
mengatakan, ”Bila anda akan mempertahankan rasa hormat anda terhadap diri sendiri, lebih baik
membuat orang lain tidak senang dengan melakukan hal-hal yang anda ketahui salah.” Kehormatan
dan integritas itu pada gilirannya akan membuat orang yang memilikinya mampu menjadi baik hati
sekaligus berani. ” Baik hati dalam arti bahwa dia akan menunjukkan rasa hormat yang mendalam
terhadap orang lain, terhadap pandangan, perasaan, pengalaman, dan keyakinan mereka”. Berani
dalam arti bahwa mereka dapat mengemukakan keyakinan mereka sendiri tanpa ancaman pribadi.
Benturan di antara berbagai pendapat yang berbeda bisa menghasilkan alternatif ketiga, yang lebih
baik daripada gagasan pertama yang muncul. Ini merupakan sinergi yang sesungguhnya, dimana
keseluruhannya lebih besar daripada jumlah total bagian-bagiannya.
Orang yang tidak hidup dari nuraninya tidak akan mengalami integritas batiniah dan ketenangan
pikiran. Ego mereka akan terus berusaha mengendalikan hubungan dengan orang lain. Kendati
barangkali mereka bisa berpura-pura baik hati dan berempati, mereka akan menggunakan manipulasi
halus, bahkan bisa lebih jauh terlibat dalam perilaku diktator, yang sepintas lalu kelihatan baik, tetapi
sesungguhnya tidak.

Refleksi Penerapan Nilai 9

Anda mungkin juga menyukai