Pak Nasution
Pak Nasution
Bagi orang yang mendengar adzan disunnahkan menirukan suara muadzin. Jika muadzin melantunkan
Allahu Akbar – Allahu Akbar, orang yang mendengarnya mengucapkan Allahu Akbar –Allahu Akbar. Dan
begitu seterusnya terhadap lantunan adzan. Kecuali pada hai’alatain (hayya ‘alash Shalah dan Hayya
‘Alal Falah), maka ia menjawab Laa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda,
“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkan seperti yang diucapkan mu’adzin.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam riwayat muslim disebutkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhu tentang keutamaan mengucapkan
kalimat perkalimat seperti ucapan muadzin kecuali al-Hai’alatain (dua hai’alah), hendaknya ia
mengucapkan,
(Laa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah -Tidak ada daya (untuk berbuat) dan kekuatan (untuk
melakukan sesuatu) kecuali dengan izin Allah-)
Berdasarkan keumuman hadits dari Abu Sa’id al-Khudri di atas maka jika muadzin mengucapkan Ash-
Sholatu Khairum Minan Naum, maka orang yang medengarnya mengucapkan Ash-Sholatu Khairum
Minan Naum juga. Yang dikecualikan dari keumuman itu hanya Hayya ‘Alash Sholah dan Hayya ‘Alal
Falaah, maka selain dua kalimat itu tetap berada pada keumuman dan kemutlakannya. Yaitu mengikuti
apa yang diucapkan muadzin. [Baca: Tashwib (Al-Shalatu Khairum Minan Naum) pada Adzan Shubuh]
Sebagian ulama ada yang berpendapat, orang yang mendengar itu membaca Shodaqta wa Bararta.
Namun jawaban ini tidak memiliki landasan riwayat yang shahih. Padahal perkara menjawab adzan
adalah bagian ibadah yang tak diketahui kecuali dengan dalil shahih. Wallahu A’lam.
Kita lihat sebagian imam shalat saat shalat tarawih –misalnya- langsung membaca surat Al-Fatihah tanpa
mendahului dengan membaca do’a istiftah (disebut sebagian ulama dengan doa iftitah).
Para ulama menganggap bahwa membaca do’a iftitah dihukumi sunnah, tidak sampai tingkatan wajib.
Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Doa iftitah ini disunnahkan untuk dibaca pada setiap shalat dan setiap keadaan.
Imam Nawawi mengatakan bahwa do’a iftitah disunnahkan dibaca untuk setiap orang yang shalat, untuk
imam, makmum, munfarid, wanita, anak-anak, musafir, orang yang shalat wajib, orang yang shalat
sunnah, orang yang shalat sambil duduk, orang yang shalat sambil berbaring, dan selainnya. Termasuk
juga di dalamnya orang yang melaksanakan shalat sunnah rawatib, shalat sunnah mutlak, shalat ‘ied,
shalat gerhana (shalat kusuf) dan shalat minta hujan (shalat istisqa’).
Yang dikecualikan di sini adalah shalat jenazah, shalat ‘ied dan shalat lail (shalat malam), ada
pembicaraan tersendiri mengenai do’a iftitah dalam shalat tersebut.
Adapun meninggalkan membaca do’a iftitah mungkin bisa dilihat dari pendapat berikut ini.
Ulama Hanabilah berpandangan bahwa shalat sunnah jika lebih dari sekali salam seperti pada shalat
tarawih, dhuha, sunnah rawatib, maka di setiap dua raka’at (memulai shalat) disunnahkan membaca
doa iftitah. Karena setiap dua raka’at itu berdiri sendiri. Namun menurut pendapat yang lain, cukup di
awal shalat saja membaca iftitah.
Berarti ada ulama yang berpandangan bolehnya meninggalkan doa iftitah untuk shalat yang salamnya
lebih dari sekali seperti dalam shalat tarawih.
Bagaimana kalau imam tidak membaca do’a iftitah (langsung membaca surat), apakah makmum tetap
membacanya?
ولو كان اإلمام يجهر والمأموم يسمع قراءته، يسن للمأموم أن يستفتح: قال الشافعية.
“Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa disunnahkan bagi makmum untuk membaca doa iftitah walau
imam sudah mengeraskan bacaan suratnya dan makmum mendengarkannya.”