Anda di halaman 1dari 7

Tugas Ujian

MEKANISME DAN PATOGENESIS DRUG INDUCED LIVER INJURY


(DILI) KARENA OBAT ANTI TUBERKULOSIS

Disusun oleh :
Fery Ardi Kurniawan
G99151023

Pembimbing :
Jatu Aphridasari, dr., Sp.P(K)

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2016
MEKANISME DAN PATOGENESIS DRUG INDUCED LIVER INJURY
(DILI) KARENA OBAT ANTI TUBERKULOSIS

A. Definisi DILI
Drug induced liver injury (DILI) didefinisikan sebagai kerusakan hati
yang disebabkan oleh berbagai obat-obatan yang menyebabkan abnormalitas
pada uji biokimia hati, khususnya peningkatan serum alanine amino-
transferase (ALT), alkali fosfatase, atau kadar bilirubin. Dalam mendiagnosis
suatu DILI maka harus disingkirkan dulu penyebab lain gangguan hati seperti
virus hepatitis.1,2

B. Mekanisme dan Patogenesis DILI


Obat dapat menyebabkan beragam kerusakan hati baik bersifat akut
atau kronis. Sebagian besar kasus DILI merupakan hasil dari respon
metabolik idiosinkratik atau reaksi tak terduga terhadap obat-obatan,
meskipun patogenesis yang pasti dari peristiwa tersebut masih kurang
dipahami. Terdapat tiga tahapan dalam mekanisme DILI. Pertama, obat atau
metabolitnya menyebabkan stres langsung pada sel (jalur intrinsik), reaksi
memicu sistem kekebalan (ekstrinsik jalur), dan/atau langsung merusak
fungsi mitokondria. Kedua, “initial hit” dapat menyebabkan transisi
permeabilitas mitokondria, yang pada langkah ketiga dan terakhir dapat
memulai kematian sel apoptosis atau nekrosis, tergantung pada ketersediaan
adenosin trifosfat. 1,2
Baik metabolit obat ataupun obat induk dapat menyebabkan direct cell
stress, dan mengganggu fungsi mitokondria serta menstimulasi suatu respon
imun. Hati menghilangkan bahan kimia lipofilik, termasuk obat-obatan, dan
biotransformsinya menjadi metabolit larut dalam air yang kemudian
diekskresikan. Proses ini melibatkan sitokrom P450 (tahap 1), konjugasi
(tahap 2) dan transportasi (tahap 3). Ekspresi dari enzim dan transporter yang
terlibat dalam proses ini berada di bawah kendali faktor transkripsi seperti
reseptor pregnane X dan reseptor androstane konstitutif. Selain itu,
polimorfisme dari tahap 1, 2 dan 3 ini dan faktor transkripsi mempengaruhi
kegiatan dan ekspresi mereka dalam menanggapi faktor lingkungan.1

Gambar 1. Tiga tahapan mekanisme DILI1

Pada pajanan selanjutnya, gugus toksik menginduksi stres atau


gangguan fungsional. Mitokondria merupakan salah satu target terpenting
dari gangguan ini. Ketika mitokondria kehilangan cukup DNA atau terjadi
akumulasi modifikasi dari protein transpor elektron mitokondria, maka stres
oksidatif dari peningkatan oksigen reaktif akan menguasai pertahanan
antioksidan pada mitokondria. Mekanisme kerusakan awal yang spesifik ini
juga bisa disebut “upstream events” yang pada tahap selanjutnya akan
berlanjut ke “downstream events” yang tidak spesifik yang melibatkan innate
immune system yang tugasnya menyeimbangkan respon pro dan antiinflamasi
yang menentukan proses selanjutnya, yaitu apakah terjadi kerusakan yang
makin parah atau terjadi pemulihan.1
Konsep penting dalam DILI adalah adaptasi. Sejumlah respon bisa
menjadi perantara adaptasi. Perubahan dalam tahap 1, 2 atau 3 dapat
meredam paparan toksik bahan kimia pada hepatosit. Stres oksidatif yang
disebabkan oleh toksik bahan kimia atau dampaknya pada mitokondria dapat
mengaktifkan faktor-faktor terkait eritroid-2, yaitu faktor transkripsi yang
mengaktifkan ekspresi gen antioksidan. Kerusakan mitokondria menginduksi
biogenesis mitokondria, dan stres retikulum endoplasma menginduksi respon
adaptif untuk memodulasi stres.1

C. DILI pada pengobatan infeksi Tuberkulosis (TB)


Semua regimen yang saat ini direkomendasikan untuk pengobatan
infeksi TB dapat menyebabkan DILI, termasuk isoniazid yang digunakan
selama 6 sampai lebih 9 bulan, rifampisin selama 4 bulan, atau isoniazid dan
rifampisin selama 4 bulan. Hal ini juga berlaku dari regimen dua obat
pirazinamid dengan baik etambutol atau fluorokuinolon digunakan untuk
mengobati kontak kasus TB-MDR (MDR). Reaksi idiosinkratik metabolik
tampaknya bertanggung jawab untuk sebagian besar DILI dari obat lini
pertama anti-TB dan fluoroquinolones.2
1. Isoniazid
Isoniazid dimetabolisme sebagian besar oleh hati, terutama melalui
asetilasi oleh N-asetil transferase 2 (NAT-2). Asetil-isoniazid
dimetabolisme menjadi monoasetil hidrazin (MAH) dan diacetyl hidrazin
yang bersifat nontoksik, serta metabolit kecil lainnya. Adanya variasi pada
waktu paruh eliminasi plasma (t1/2), maka dosis dependen dari obat dan
konsentrasinya akan cukup besar. Pada individu dengan t1/2 yang
berkepanjangan maka akan terjadi penambahan pajanan dari obat.
Metabolit reaktif MAH mungkin dapat bersifat toksik pada jaringan karena
adanya radikal bebas. Pembersihan radikal bebas terkait glutathione-tiol,
dan aktivitas antioksidan glutathione peroksidase dan katalase berkurang
oleh isoniazid, meskipun aktivitas glutathione reduktase meningkat.
Antioksidan N-asetil-sistein dapat menghambat kerusakan hati akibat
isoniazid. Metabolit asetil-hidrazin kovalen dari isoniazid akan mengikat
makromolekul hati, proses ini dimediasi oleh enzim mikrosomal. Pasien
dengan gen polimorfisme homozigot sitokrom P450 2E1 c1/c1, yang telah
ditingkatkan oleh aktivitas sitokrom P450 2E1, dalam satu studi memiliki
risiko hepatotoksisitas yang lebih tinggi, khususnya pada asetilator
lambat.2,3
2. Rifampisin
Rifampisin diabsorbsi dengan baik di lambung dan dimetabolisme
di hati melalui proses deasetilasi menjadi desacetyl rifampisin dan secara
jalur hidrolisis yang menghasilkan 3-formil rifampisin. Desacetyl
rifampisin lebih polar daripada senyawa induk, dan bersifat mikrobiologis
aktif. Metabolit ini mempengaruhi mayoritas aktivitas antibakteri dalam
empedu. Metabolit ini bersifat nontoksik. Rifampisin diekskresikan
melalui empedu dan urin. Rifampisin diasosiasikan dengan pola
hepatoselular dari DILI dan lebih sering mempotensiasi toksisitas obat
anti-TB lainnya.3
Rifampisin terkadang dapat menyebabkan gangguan terkait serapan
bilirubin, sehingga secara subklinis terjadi hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi atau penyakit kuning tanpa kerusakan hepatoseluler. Keadaan
ini dapat bersifat sementara dan terjadi pada awal pengobatan atau pada
beberapa individu dengan penyakit hati yang sudah diderita sebelumnya.
Rifampisin kadang dapat menyebabkan gangguan pada hepatosit dan
mempotensiasi hepatotoksisitas obat anti-TB lainnya. Hiperbilirubinemia
terkonjugasi yang mungkin disebabkan oleh rifampisin akan menghambat
pompa natrium pada empedu. Peningkatan bilirubin asimptomatik
mungkin juga merupakan hasil dari kompetisi dosis terkait dengan
bilirubin clearance pada membran sinusoidal atau dari terhambatnya
sekresi pada tingkat canalicular.2
3. Pirazinamid
Pirazinamid memiliki waktu paruh (t1/2) yang lebih lama dari
isoniazid atau rifampisin, yaitu sekitar 10 jam. Pada pasien dengan
penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, t1/2 meningkat menjadi 15 jam.
Hal ini menyebabkan pajanan pirazinamid menjadi lebih lama.
Pirazinamid dimetabolisme di hati menjadi asam 5-hidroksi-pyrazinoic
oleh xantin oksidase, aldehida oksidase, dan xanthine dehidrogenase.
Selain itu, 5-hidroksi pirazinamid dapat dihasilkan selama metabolisme.
Hepatotoksisitas karena pirazinamid mungkin bersifat idiosyncratic.
Beberapa dekade yang lalu, dosis harian pirazinamid pada 40 sampai 50
mg/kg umumnya menyebabkan hepatotoksisitas. Pirazinamid mengubah
level nicotinamide asetil dehidrogenase di hati yang menghasilkan radikal
bebas. Pirazinamid dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas terkait
eosinofilia dan gangguan hati atau hepatitis granulomatosa. 2,3
4. Fluorokuinolon
Fluoroquinolones telah digunakan sebagai agen lini kedua dalam
konteks pengobatan TB-MDR dan dalam peristiwa hepatotoksisitas lebih
dikarenakan agen lini pertama. Kuinolon dimetabolisme dengan baik di
hati (seperti dengan ciprofloxacin) dan diekskresikan oleh ginjal (seperti
dengan levofloxacin). Dengan pengecualian dari trovafloxacin yang
sekarang ditarik, fluorokuinolon yang menginduksi hepatotoksisitas sangat
jarang terkado dan dapat diidentifikasi hanya melalui studi berskala besar
di seluruh dunia.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Suk KT, Kim DJ. 2012. Drug-induced liver injury: present and future.
Clinical and Molecular Hepatology 18: 249-267
2. Saukkonen JJ, Cohn DL, Jasmer RM, Schenker J, Jerep JA, Nolan CM,
Peloquin CA et al. 2006. An Official ATS Statement: Hepatotoxicity of
Antituberculosis Therapy. American Thoracic Society 174: 935-952
3. Ramappa V, Aithal GP. 2012. Hepatotoxicity related to anti-tuberculosis
drugs: mechanisms and management. Journal of clinical and experimental
hepatology 3: 37-49

Anda mungkin juga menyukai