Anda di halaman 1dari 17

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

Latar Belakang........................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU (ONTOLOGI,EPISTEMOLOGI...................... 2

A. Ontologi............................................................................................................. 2

B. Epistemologi...................................................................................................... 5

C. Aksiologi............................................................................................................ 9

BAB III PENUTUP............................................................................................................ 16

Kesimpulan.............................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang ,

Socrates menggambarkan akal merupakan segalanya, dan merupakan pokok serta satu-satunya
jalan yang dapat menuntun manusia mencari kebenaran. Iya berfilsafat untuk hidup, karena dengan
berfikir maka eksistensinya sebagai manusia dapat dipertahankan. Filsafat jika ditinjau lebih
mendalam lagi bukan sekedar ilmu logika yang lebih mengedepankan rasionalitas, karena filsafar
merupakan pondasi awal dari segala macam disiplin keilmuan yang ada. Adapun ilmu merupakan
suatu cabang pengetahuan yang berkembang dengan sangat pesat dari waktu kewaktu. Hamper
seluruh aspek kehidupan manusia menggunakan ilmu, seperti agama, ekonomi, sosoial, budaya,
dan teknologi.

Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan mengamatan
ataupun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan
mengenai hasil pengamatan/penelitannya. Dengan demikian, illmu merupakan suatu kegiatan
yang sifatnya oprasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal.

Filsafat merupakan studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara
persis, mencari solusi untuk itu, member argumentasi dan alasan yang tetap untuk alasan tertentu.

BAB II

PEMBAHASAN

DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU

(ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI)

A. ONTOLOGI

1. Pengertian Ontologi

Ontologi adalah cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan.
Noeng Muhadjir menjelaskan bahwa ontology itu ilmu yang membicarakan tentang hakikat
realitas yang ada.

Ilmu pengetahuan adalah keberadaan suatu fenomena kehidupan yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Ontology juga merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno. Dalam ontology orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita
menerapkan hakikat dari segala yang ada. Pertama kali orang menghadapkan pada persoalan
materi (kebenaran), dan kedua pada kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Kedua realitas ini,
yaitu lahir dan batin, merupakan hakikat keilmuan manusia[1].

Hakikat ada atau realitas ada itu bagi filsafat selalu bersifat utuh. Misalnya, bila secara ilmu
hukum kita berfikir tentang kebenaran atau keadilan, maka dapat ditunjukan bahwa kebenaran atau
keadilan itu ada atau biasa diadakan dalam hidup manusia sehingga bias dibuktikan atau ditolak
kebenarannya.

2. Cara Berfikir Ontologi Dalam Ilmu Pengetahuan

Menurut Muhadjir (2011), cara berpikir ontology dapat berbenturan dengan suatu agama.
Agama selalu berpikir tentang ada atas dasar iman atau keyakinan. Filsafat ilmu ontology tidak
mengajak berdebat antara ilmu dan iman. Ontology sebagai cabang filsafat ilmu yang mencoba
mencermati hakikat keilmuan karena ontology menjadi pijakan manusia berpikir keritis tentang
keadaan alam semesta yang sesungguhnya.

Filsafat dalam hal ini lebih merupakan sesuatu pemiiran yang universal, menyeluruh, dan
mendasar, sementara ilmu lainya merupakan pemikiran yang lebih psesifik atau khusus, karena
membatasi pada objek dan sudut pandang pemikiran yang khas. Objek kajian filsafat mencakup
segala sesuatu, sejauh bisa dijangkau oleh pikiran manusia. Filsafat berusaha menerangi dunia
dengan raasio, dan karena, fisafat lebih merupaka “kebijakan duniawi”, bukan “kebijakan ilahi”
yang sempurana dan mutlak abadi.

Filsafat tidak pernah akan menerima secara buta berbagai pemikiran, keyakinan, egoism,
keilmuan, atau pandangan kepribadian yang bersifat individual semata. Justuru filsafat berusaha
mengajukan pertanyaan secara baru dan menjawabnya secara baru pula, berdasarkan aktualitas
dan tuntunan dinamika perkembangan yang dihadapi.

Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara pengetahuan yang memuat
penampakan dan kenyataan. Kedua hal ini dalam pandangan thales sebagai filsuf pernah sampai
pada kesimpulan bahwa air substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Dia
tampaknya melihat realitas dari sisi yang tampak; yang tampak itulah realitas(kenyataan). Secara
seksama, dia sebenarnya telah berpikir berpikir ontology tentang sangkaan peran alam semesta.
3. Karakteristik Ilmu Pengetahuan Secara ontology

Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan realitas. Orang yang mempelajari
pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan menelusuri realitas secara cermat. Hakikat kenyataan
atau realitas memang bisa didekati dari sisi ontology dengan dua macam sudut pandang kuantitatif
dan kualitatif

Ontology sebagai cabang filsafat ilmu telah melahirkan sekian banyak aliran otologisme. Tiap
ontology biasanya memegang pokok pikiran yang satu sama lain saling mendukung dan
melengkapi.

Beberapa aliran dalam bidang ontologi antara lain:

a) Aliran Realisme

Realism merupakan filsafat yang memandang realisasi secara dualistis. Berbeda dengan
materialisme maupun dengan idealism, yang sifatnya monistis.

Pada dasarnya, realisme berrpendapat bahwa hakikat realism adalah terdiri dari dunia fisik dan
dunia roh. Aristoteles sebagai tokoh realisme memandang dunia serba dua, atau cara dualistis.
Aristoteles membangun sebuah metafiska terutama untuk menjelaskan dunia alamiah.

b) Aliran Naturalisme

Naturalism merupakan suatu pendirian bukan merupakan suatu dokrin, atau ajaran.
Naturalisme memandangan bahwa ada suatu aturan atau hokum alam yang mengatur dunia ini
secara cerdas. Aturan ini identik dengan atau dalam alam itu sendiri, tidak perlu mencari hokum
dan maknanya diluar alam, karena hukum maupun maknanya dapat dicari dalam alam itu sendiri.
Materialism yunani kelasik, adalah suatu contoh dari suatu bentuk naturalism, karena dasar
pandangannya adalah benda dalam gerak, dimulai oleh demokritos (460-370 sm) yang telah
dirintis oleh Leucippus dan dilanjutkan oleh epicurus, yang lebih dikenal dengan epicurisme.

c) Aliran materialisme
Berbeda dengan idelaisme, materialism menghilangkan jiwa, bahkan termasuk juga tuhan
dihilangkan dari metafisika. Dan mencoba untuk menjelaskan segala sesuatu dari sudut peristiwa
materi. Menurut materialime, bahwa kenyataan yang sebenarnya, atau hakikat realisasi adalah
materi, bukan roh, bukan spiritual atau bukan supernatural. Materi merupakan satu-satunya
substansi yang mengisi ruang dan waktu, tidak ada dunia lain diluar dunia yang kita alami sekarang
ini. Dengan kata lain tidak ada kehidupan bagi manusia setelah manusia itu mati, manusia adalah
materi yang sama seperti batu, besi, dan materi yang lainnya[2].

Atas dasar ketiga aliran tersebut, ontologi selalu memiliki ciri-ciri. Setiap aliran
memberikan gambaran luas suatu cabang keilmuan. Ciri-ciri terpenting yang terkait dengan
ontologi antara lain:

1) Membahas yang ada

2) Kenyataan atau realitas

3) Eksistensi

4) Esensi

5) Substansi

6) Perubahan

7) Tunggal dan jamak

Ontology itu pantas dipelajari bagi orang-orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi. Orang yang belajar ontology akan paham tentang hakikat suatu
ilmu.

Dasar ontology ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra
manusia. Jadi, masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris.

Objek otology sama halnya dengan objek filsafat antara lain:

1) Objek formal, yaitu objek formal ontology sebagai hakikat seluruh realitas.

2) Objek material, yaitu suatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki
atau sesuatu hal yang dipelajari.
B. Epistemologi

1. Pengertian Epistemologi

Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” yang berarti Pengetahuan dan
“Logos” yang berarti Teori. Secara etimologis, berarti teori pengetahuan. Epistemologi adalah
cabang filsafat yang mempersoalkan atau menyelidiki tentang asal, susunan,metode, serta
kebenaran pengetahuan. Menurut Langeveld, teori pengetahuan membicarakan hakikat
pengetahuan, unsur-unsur pengetahuan, dan susunan berbagai jenis pengetahuan, pangkal
tumpuannya yang fundamental,metode-metode dan batas-batasnya.

Jadi, epistemologi merupakan cabang atau bagian dari filsafat yang membahas masalah-
masalah pengetahuan.

Menurut Koestenbaum (1968), secara umum epistemologi berusaha untuk mencari jawab atas
pertanyaan “apakah pengetahuan?” Akan tetapi, secara spesifik, epistemologi berusaha menguji
masalah-masalah yang kompleks seperti hubungan anatara pengetahuan dengan kepercayaan
pribadi, status pengetahuan yang melampaui pancaindra, status ontologis atau kata-kata yang
bersifat umum dengan objek-objek yang di tunjuk oleh konsep-konsep atau kata-kata, dan analisis
atas tindakan mengetahui itu sendiri[3].

2. Berkenalan dengan Epistemologi Islam

a. Epistemologi Bayani

Bayani dalam bahasa arab berarti penjelasan (explanation). Arti asal katanyaadalah menyingkp
dan menjelaskan sesuatu, yaitu menjelaskan maksud suatu pembicarakan dengan menggunakan
lafadz yang paling baik (komunikatif).

Al-Jabiri memaknai al-bayan secara epistemologi, dengan mengacu kepada kamus Lisan al-arab
karya Ibn Mandzur, yang didalamnya tersedia materi-materi bahasa arab sejak permulaan masa
tadwin,yang masih mempunyai makna asli yang belum tercampuri oleh pengertian lain, karena
dari makna asli tersebut akan diketahui watak dan situasi yang mengitari. Makna al-bayan di sini
mengandung empat pengertian, yakni al-fasl wa al- infishal dan al-dzuhur wa al-idzhar, atau bila
harus disusun secara hirarkis atas dasar pemilahan antara metode (manhaj) dan visi (Ru’yah) dalam
epistemologi bayani,dapat disebutkan bahwa al bayan sebagai metode al-fasl wa al-
infishal,sementara al bayan sebagai visi al-dzuhur wa al-idzhar.

b. Epistemologi Irfani

Irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab merupakan bentuk dasar (Masdar) dari kata
‘Arafa, yang semakna dengan ma’rifat. Dalam bahasa arab, istilah al-‘irfan berbeda dengan kata
al-‘ilm. Al-‘ilm menunjukan pemerolehan objek pengetahuan (al-ma’lumat) melalui transformasi
(naql) ataupun rasionalitas (‘aql), sementara irfan atau ma’rifat berhubungan dengan pengalaman
langsung dengan objek pengetahuan[4].

c. Epistemologi Burhani

Dalam bahasa arab,al-burhan berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah;clear) dan distinc
(al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration,yang mempunyai akar bahasa latin:
demonstratio (berarti memberi insyarat, sifat,keterangan dan penjelasan). Dalam perspektif logika
(almantiq), burhani adalah aktivitas berfikir untuk menetankan kebenaran suatu premis melalui
metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang
lain yang nalar dibenarkan telah terbukti kebenarannya(badlihiyyah). Sedangkan dalam pengertian
umum, burhani adalah aktifitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.

3. Ruang Lingkup Epietemologi

Menurut J.F.Ferrier (dalam Koestenbaun, 1968) Epistemologi pada dasarnya berkenaan


dengan pengujian filsafat terhadap batas-batas, struktur-struktur, metode-metode, dan validitas
(kebenaran) pengetahuan. Berikut akan di deskripsikan ruang lingkup epistemologi sebagai mana
dikemukakan oleh Ferrier tadi.

Batas-batas pengetahuan

Para ahli filsafat seperti John Locke (1632-1704), David Hume (1711-1776), dan Immanuel Kant
(1724-1804) sering mengajukan pertanyaan seperti ini: apakah pengetahuan, terutama
pengetahuan yang benar, mungkin tercapai oleh manusia? Ada sejumlah jawaban yang diajukan
dalam filsafat, diantaranya: skeptisisme, realisme naif, skeptisisme Descartes, realisme kritis,
kritisisme Immanuel Kant, dan positivisme logis.
1. Skeptisisme

Menurut paham ini, tidak mungkin kita mencapai pengetahuan selain berupa pengenalan-
pengenalan yang bersifat sementara. Gejala atau realitas selalu berubah dan perangkat perseptual
(indera) manusia tidak sempurna, sehingga hasil persepsi (pengetahuan) manusia tidak pernah bisa
dipercaya. Demikian juga, rasio atau pikiran manusia sangat terbatas, sehingga tidak akan pernah
mungkin sampai pada pengetahuan yang sejati. Oleh sebab itu, kita jangan meyakini kebenaran
pengetahuan manusia, melainkan harus meragukannya.

2. Realisme Naif

Pandangan ini biasanya dianut oleh orang awam (Common Sense). Menurut paham ini,
pengetahuan sangat dimungkinkan sejauh bersesuaian dengan objek yang dipersepsi.
Pengetahuan, konsep, atau gambaran tentang pohon, misalnya, harus bersesuaian dengan pohin
yang diamati. Pengetahuan kita adalah gambaran yang sesungguhnya dari realitas diluar kita.
Dunia adalah sebagaimana ang tampak pada indra kita atau sebagaimana ia memanifestasikan diri
dalam kesadaran kita. Objek dalam kesadaran kita adalah gambaran sebenrnya dari objek diluar
kita dan demikian, pengetahuan yang melampaui atau diluar realitas yang nyata adalah tidak
mungkin. Pengetahuan hanya mungkin sejauh yang dapat diamati dan dibuktikan melalui indra
kita.

3. Skeptisisme Descartes

Menurut Descartes, segala sesuatu (termasuk apa yang ada dalam pengetahuan kita dan bahkan
pengetahuan itu sendiri) dapat diragukan keberadaannya.

4. Realisme Kritis

Meski pengetahuan hanya mungkin sebatas pengalaman indra (sebagaimana yang diyakini oleh
realisme naif), tapi pengetahuan yang mengatasi pengalamaanpun dimungkinkan, sejauh ada
justifikasi rasional terhadapnya. Paham ini mengatasi realisme naif, karna ia mengakui adanya
peran pikiran manusia. Pikiran manusia menambahkan dan sekaligus mendistorsi data dari dunia
luar ; namun ide-ide dan konsep-konsep yang kita miliki harus selalu bersesuaian dengan
(correspondence to) data. Jika tidak, berarti ide- ide dan konsep-konsep tersebut keliru (salah).

5. Kritisisme Immanuel Kant

Menurut Kant, realitas pada dasarnya terbagi kedalam dua dunia yakni Dunia fenomenal
(phenomenon, atau dunia sebagaimana menampakan diri pada pengamat) dan Dunia noumenal
(noumenal, atau dunia yang sesungguhnya, yang berada di dalam diri realitas itu sendiri).
Meskipun dunia noumenal itu ada, tetapi keberadaannya diluar pengetahuan kita. Kita tidak dapat
sungguh-sungguh menjangkaunya. Kant memberinya nama Ding-an-sich ( ada dalam dirinya
sendiri) pikiran manusia tidak bisa menembus dunia noumenal ini pengetahuan manusia terbatas
hanya pada dunia fenomenal, dunia pengalaman. Didalam dunia fenomenal, pengetahuan kita
merupakan campuran dari apa yang diterima (dialami) oleh kita dari luar dengan proyeksi-proyeksi
dan harapan-harapan kita sendiri: ruang dan waktu adalah “ kondisi subjektif dari sensibilitas kita”
atau “ bentuk dari intuisi” yakni, mereka adalah proyeksi dari pikiran kita sendiri dan penambahan
pada kualitas murni atau bahan material dari pengalaman (warna bentuk suara) yang masuk
kesadaran dari luar.

6. Positivisme Logis

Aliran filsafat ini masalah yang bisa diketahui dan yang tidak bisa diketahui diubah dalam bentuk
yang bermakna dan yang tidak bermakna.menurut aliran ini,kriteria untuk membedakan yang
bermakna dari yang tidak bermakna adalah pembuktian dari verifikasi empiris.dengan
demikian,batas-batas pengetahuan dan juga ukuran kebenaran suatu pengetahuan adalah
kemungkinannya untuk diverifikasi.

Sumber dan struktur pengetahuan

Apa sebetulnya sumber pengetahuan itu ?bagaimana struktur nya? Ada sejumlah aliran filsafat
yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut,antara lain rasionalisme dan empirisme.
Menurut rasionalisme,pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari pemikiran logis dan deduktif
melalui rasio manusia.sebaliknya,menurut empirisme, pengetahuan diperoleh dari pengamatan
inderawi manusia.jadi,empirisme menekankan karakter eksperimental dan perseptual dari
pengetahuan,sedangkan rasionalisme pada karakter kekuatan logika dan matematika.

Untuk memahami perbedaan antara rasionalisme dan empirisme mari kita lihat persoalan
mengenai pengetahuan a priori, atau pengetahuan tentang suatu objek sebelum kita memiliki
pengalaman tentang objek itu. Rasionalisme abad ke-17 berpandangan bahwa semua atau beberapa
pengetahuan yang sangat penting tentang dunia secara logis tidak tergantung pada pengalaman.
Dengan oerkataan lain,rasionalisme percaya bahwa ada proposisi-proposisi tentang dunia yang
dapat diverifikasi dan dijustifikasi hanya oleh kerja rasio,tanpa memerlukan bantuan pengalaman.

Empirisme menolak kemungkinan pertimbangan a priori.bagi seorang penganut


empirisme,pengalaman empiris adalah satu satunya sumber pengetahuan.tidak ada pengetahuan
yang tidak berasal dari pengalaman. John Locke bahkan menegaskan bahwa jiwa atau pikiran
manusia pada dasarnya seperti kertas kosong, seperti tabularasa; pengalamanlah yang mengisi jiwa
atau pikiran itu sehingga ia seolah-olah mempunyai pengetahuan a priori.

C. AKSIOLOGI

1. Pengertian Aksiologi

Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “ axios “ ( Yunani ) yang berarti “Nilai” dan
“logos” yang berarti “teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Penggunaan istilah aksiologi
sebetulnya baru diperkenalkan oleh Paul Lapie daalam Bukunya, “Grundrisder Axiologie”. Teori
tentang nilai dapat kita bagi menjadi a) Nilai etika, b) Nilai estetika[5].

a. Etika

Istilah etika berasal dari kata “ethos” ( Yunani ) yang Artinya ‘adat kebiasaan’. Dalam istilah lain
para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutnya dengan ‘moral’. Walaupun antara kedua
istilah etika dan moral ada perbedaannya, namun para ahli tersebut tidak membedakannya dengan
tegas, bahkan cendrung untuk memberi arti yang sama secara pasti.
Menurut Langeveld etika ialah teori perbuatan manusia, yaitu ditimbang menurut baik dan
buruknya. Selanjutnya Dagobert Runes, mengemukakan bahwa etika merupakan cabang filsafat
yang membicarakan perbuatan manusia dan meandangnya dari sudut baik dan tidak baik.etika
merupakan filsafat tentang prilaku manusia.

Etika dapat dipandang sebagai studi filsafat tentang hubungan antar manusia,dan juga antara
manusia dengan lembaga-lembaga yang diciptakannya (pemerintah,lembaga-lembaga
kemasyarakatan,hukum,ekonomi,bahkan mungkin juga lembaga kepercayaan serta keagamaan)

b. Estetika

Estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni,dengan pengalaman-


pengalaman kita yang berhubungan dengan seni atau kesenian.kadang-kadang estetika diartikan
sebagai filsafat seni,dan kadang-kadang prinsip-prinsip yang berhubungan dengan estetika
dinyatakan sebagai hakikat keindahan. Selanjutnya Randall mengemukakan ada tiga interprestasi
tentang hakikat seni, yaitu :

1. Seni sebagai penembusan [penetrasi] terhadap realisasi di samping pengalaman. Dengan


merespon terhadap apa yang kekal dan tidak berubah. Plato menyatakan, bahwa ada suatu bentuk
atau cita-cita absolut dari keindahan dengan sifat-sifat tertentu itu. Keindahan absolut adalah
abadi/kekal dan tidak berubah, sedangkan semua benda-benda indah dalam alam ini adalah fana
sifatnya dan dapat rusak.

2. Seni sebagai alat untuk kesenangan. Seni tidaklah berhubungan dengan pengetahuan tentang
alam dan memprediksikannya, tetapi berhubungan dengan manipulasi alam untuk kepentingan
kesenangan kita. Seni tidak hanya kekurangan nilai praktis. Apabila tidak merupakan jalan untuk
kesenangan maka seni tidak mempunyai nilai apa pun. Menurut Tolstoy, seni adalah penyebaran
atau penularan emosi oleh seniman. Makin luas emosi dan makin besar jumlah sentimen moral
terlibat di dalamnya, akan semakin besarlah seni itu.

3. Seni sebagai ekspresi sungguh-sungguh tentang pengalaman pandangan ini menganggap seni
sebagai berakar dalam tali-tali pengalaman. [pandangan ini adalah pandangan Santayana dan
Dewey: seni adalah pengalaman, yaitu pengalaman yang ditransformasikan secara sadar]. Seni
adalah pengalaman dan penyungguhan pengalaman dengan transformasi imajinatif tentang
pengalaman seni, sebagai pengalaman, mencerminkan pengalaman dan menambah pengalaman.

2. Kategori Dasar Aksiologi

Menurut susanto(2011) mengatakan, ada dua kategori dasar aksiologi : Pertama,objectivism, yaitu
penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
Kedua,subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat
unsur intuisi ( perasaan ). Dari sini muncul 4 pendekatan etika, yaitu teori nilai intuitif, teori nilai
rasional, teori nilai alamiah, dan teori nilai emotif.

1. Teori Nilai Intuitif ( The Intuitive Theory Of Value )

Menurut teori ini, sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu
perangkat nilai yang apsolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu eksis
dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melauli intuisi, karena ada tatanan moral
yang bersifat baku .

2. Teori Nilai Rasional (The Rational Theory Of Value)

Menurut teori ini, janganlah percaya pada nilai yang bersifat objektif dan murni independen dari
manusia. Nilai ini ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang
melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar sebagai fakta bahwa
hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau
wahyu tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, objektif, absolut yang seharusnya
mengarahkan perilakunya.

3. Teori Nilai Alamiah (The Naturalistic Theory Of Value)

Menurut teori ini nilai, diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dialaminya.
Nilai yaitu produk biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai diuji oleh individu dan
masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis
mencakup teori nilaininstrumental dimana keputusan nilai tidak absolut tetapi bersifat relatif. Nilai
secara umum hakikatnya bersifat subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori Nilai Emotif ( The Emotive Theory Of Value )

Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsepnnilai dengan status kognitifnya, maka teori ini
memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan 43 faktual melainkan hanya
merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa
diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.

3. Ilmu Sebagai Suatu Cara Berfikir

Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan.
Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam
hidup dan berkehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan
aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pengembangan
kebudayaan nasional merupakan bagian dari kegiatan suatu bangsa, baik disertai atau tidak,
maupundinyatakan secara eksplisit atau tidak.

Ilmu merupakan suatu cara berfikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya produk dari kegiatan berfikir.
Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum
dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.

Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.


Persyaratan tersebut pada hakikatnya mencakup dua kriteria utama yakni, Pertama, berpikir ilmiah
harus mempunyai alur jalan pikiran yang logis, dan Kedua, pernyataan yang bersifat logis tersebut
harus didukung oleh fakta empiris. Persyaratan pertama mengharuskan alur jalan pikiran kita untuk
konsisten dengan pengetahuan ilmiah yang telah ada, sedangkan persyaratan kedua mengharuskan
kita untuk menerima persyaratan yang didukung oleh fakta sebagai pernyataan yang benar secara
ilmiah. Pernyataan yang telah teruji kebenarannya ini kemudian memperkaya Khazanah
pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematik dan kumulatif.
4. Ilmu Sebagai Asas Moral

Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, atau secara lebih
sederhana, ilmu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah
jelas sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik berpikirnya kriteria kebenaran ini pada
hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan.

Disamping itu kebenaran bagi kaum ilmuwan mempunyai kegunaan khusus, yakni kegunaan yang
universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya. Secara nasional
maka ilmuwan tidak mengabdi golongan. Klik politik atau kelompok-kelompok lainnya. Secara
internasional kaum ilmuwan tidak mengabdi ras ideologi, dan faktor-faktor pembatas lainnya.

Dua karaktereristik ini merupakan asas moral bagi kaum ilmuwan, yakni menjunjung tinggi
kebenaran dan mengabdi secara universal. Tentu saja dalam kenyataannya pelaksanaan asas moral
ini tidak mudah, sebab sejak tahap perkembangan ilmu yang sangat awal kegiatan ilmiah ini
dipengaruhi oleh struktur kekuasaan dari luar.

5. Nilai-Nilai Ilmiah Untuk Kemajuan Budaya Nasional

Sampailah kepada tujuh nilai yang terpencar dari hakikat keilmuan, yakni
kritis,rasional,logis,objektif,terbuka,menjunjung kebenaran dan mengabdi secara universal.
Dalam pembentukan karakter bangsa, sekiranya bangsa indonesia bertujuan menjadi bangsa yang
modern, maka ketujuh sifat tersebut akan konsisten sekali. Bangsa yang modern akan menghadapi
berbagai permasalahan dalam bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan, ilmu/teknologii,
pendidikan dan lain-lain, yang membutuhkan cara pemecahan secara kritis,rasional,logis,objektif
dan terbuka.

Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang
sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan
tujuan nasional. Proses pengembangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah tuntutan zaman serta
penumbuhan nilai-nilai yang fungsional, untuk terlaksananya kedua proses dalam pengembangan
kebudayaan nasional tersebut, maka diperlukan sifat kritis, rasional, logis, objektif, terbuka,
menjunjung kebenaran dan pengabdian universal.

6. Ilmu Sebagai Kekuasaan

Francis Bacon mengucapkan kata-kata termasyur ini “ ilmu adalah kekuasaan”. Orang menulis
mengenai Allah : “Allah berfirman, dan terjadilah alam semesta”. Firman Allah, kata-kata Allah,
mempunyai daya menciptakan. Kita memang tidak bisa berkata bahwa kata-kata manusia itu
begitu saja mempunyai daya menciptakan. Ini sangat jelas dari kenyataan bahwa kita menghayati
perkataan kita tidak hanya sebagai pemberian arti, tetapi juga sebagai pengambilan arti. Tetapi itu
adalah kebenaran yang sepihak, sebab perkataan kita mengambil arti pula. Kita merasakan bahwa
kita selalu terikat dengan apa yang ingin kita katakan. Kita menyadari, bahwa kita bisa saja
menyimpang dari sana. Kita bisa berkata “meleset” dari padanya.

Orang menulis mengenai Allah : “ Allah berfirman, dan terjadilah alam semesta”. Tentang manusia
kita bisa berkata : “Manusia berkata, dan alam semesta mendapatkan arti.” Hendaknya kita disini
jangan lupa, bahwa apa yang dikatakan oleh satu orang bisa berulang kali diucapkan kembali oleh
dia sendiri dan oleh orang banyak lainnya. Merleau ponty menggunakan istilah “Ia parole parlee”
[kata yang diucapkan]. Yang dimaksudkannya ialah sesuatu yang diucapkan oleh semuanya, atau
oleh kebanyakan orang.

Ini dibuktikan oleh sejarah pada zaman Galilei, setiap orang berkata bahwa segala sesuatu berputar
sekitar bumi yang tidak bergerak, dan bahwa matahari mengelilingi bumi. Ada orang yang
mengatakannya untuk pertama kali, dan semua orangmenirukannya, jadi begitu lah adanya. Galilei
mulai menentang itu dengan alasan mengatakannya, suatu cara mengungkapkan persoalan dengan
lebih baik. Tetapi itu mendapat tantangan. Orang menentang Galilei demi kebenaran, bahkan demi
kitab suci yang dianggap menguatkan kebenaran itu dengan kekuasaan ilahi.
Galilei dituntut demi kebenaran, demi wahyu ilahi. Sesungguhnya Galilei bertentangan dengan
kekuasaan pemberi arti dan kata-kaprah. Kekuasaan ini hampir menghancurkannya. Semua orang
mengatakannya dengan cara yang demikian, jadi, demikianlah adanya. Tentu saja, waktu itu ada
juga perbedaan pendapat, tetapi perbedaan-perbedaan pendapat itu nyata sekali tenggelam
dibawah cakrawala pendapat umum dibentuk oleh kekuasaan bersama dari cara bertutur.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ontologi adalah cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat ilmu
pengetahuan. Noeng Muhadjir menjelaskan bahwa ontology itu ilmu yang membicarakan tentang
hakikat realitas yang ada.

Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan atau menyelidiki tentang asal,
susunan,metode, serta kebenaran pengetahuan. Menurut Langeveld, teori pengetahuan
membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur pengetahuan, dan susunan berbagai jenis
pengetahuan, pangkal tumpuannya yang fundamental,metode-metode dan batas-batasnya.

Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Penggunaan istilah aksiologi sebetulnya baru
diperkenalkan oleh Paul Lapie daalam Bukunya, “Grundrisder Axiologie”. Teori tentang nilai
dapat kita bagi menjadi a) Nilai etika, b) Nilai estetika.

DAFTAR PUSTAKA

Mukhtar Latif, Orientasi Ke arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Kencana,2014,Jakarta

H. Burhanudin Salam, Logika Material,rineka cipta,Jakarta,1997.

Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,2011.

Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu,Yogyakarta,2004.


Latif mukhtar, orientasi kearah pemahaman filsafat ilmu,jakarta,kencana,2014.

[1]Mukhtar Latif, Orientasi Ke arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Kencana,2014,Jakarta,hlm172.

[2] H. Burhanudin Salam, Logika Material,rineka cipta,Jakarta,1997.hlm77-78.

[3] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,2011,hlm35.

[4] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu,Yogyakarta,2004.hlm197-198

[5] Latif mukhtar, orientasi kearah pemahaman filsafat ilmu,jakarta,kencana,2014.hlm229

Anda mungkin juga menyukai