Anda di halaman 1dari 13

Herpes simplex keratitis: tantangan dalam diagnosis

dan manajemen klinis

Abstrak : Virus herpes simplex bertanggung jawab atas berbagai penyakit mata, yang
paling umum adalah herpes stromal keratitis. Herpes stromal keratitis adalah infeksi kornea
berulang yang biasanya dimulai dengan infeksi subklinis kornea yang membentuk infeksi
laten ganglia sensoris, dan yang tersering adalah ganglia trigeminal. Infeksi berulang terjadi
ketika virus teraktivasi kembali dari masa laten dan menuju ke kornea dan mengakibatkan
terjadinya respon peradangan. Respon peradangan ini dapat menyebabkan penurunan sensasi
pada kornea, jaringan parut, dan kebutaan. Diagnosis lesi ini sebagai hasil dari infeksi virus
herpes simpleks berulang kadang-kadang bisa menjadi masalah. Saat ini, herpes stromal
keratitis didiagnosis dengan manifestasi klinis pada pemeriksaan slit-lamp, tetapi keakuratan
temuan klinis tersebut tidak selalu didukung oleh. Tes diagnostik lain seperti uji polymerase
chain reaction (PRC), enzymlinked immunosorbent assay (ELISA), antibodi imunofluoresen,
dan kultur virus telah memberikan diagnosis yang lebih pasti, tetapi juga memiliki beberapa
keterbatasan. Oleh karena itu, diagnosis yang akurat diperlukan untuk perawatan yang tepat
dan untuk mencegah komplikasi yang serius. Pengobatan saat ini mengurangi keparahan lesi
dan mengendalikan penyebaran virus, namun tidak memberikan penyembuhan.
Kata kunci: virus herpes simpleks, herpes stromal keratitis, kornea

Pendahuluan
Herpes simplex virus (HSV) adalah virus ber-DNA yang dapat menginfeksi hampir di
mana saja di dalam tubuh, terutama ketika bayi baru lahir terinfeksi. Namun, pada individu
dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, tempat infeksi yang paling umum adalah mulut,
genitalia, dan mata. HSV juga dapat menginfeksi otak pada anak-anak yang sangat muda dan
jarang pada orang dewasa. Infeksi HSV pada mata adalah penyebab utama kebutaan kornea
yang menular di negara maju. Sekitar 500.000 orang di Amerika Serikat saat ini terinfeksi
HSV okular. Setiap tahun, AS menghabiskan biaya pengobatan puluhan juta untuk penyakit
ini. Sementara sebagian besar infeksi bersifat unilateral, sekitar 1,3% -12% dari individu
yang terkena memiliki infeksi mata bilateral. Infeksi bilateral terlihat sebagian besar pada
pasien immunocompromised. Infeksi dapat terjadi di segmen anterior dan posterior mata,
tetapi paling sering menginfeksi epitel kornea. Penyakit ini terutama didiagnosis melalui
manifestasi klinisnya, namun manifestasi infeksi yang tidak khas dapat menghambat
diagnosis yang akurat dan berujung pada pengobatan yang tidak tepat.

Patofisiologi
HSV adalah virus dengan DNA beruntai ganda yang diklasifikasikan sebagai anggota-
α dari famili Herpesviridae. Infeksi primer terjadi setelah HSV menyebar melalui kontak
langsung dengan selaput lendir inang. Dalam kasus infeksi okular, virus dibawa mengikuti
infeksi retrograde primer melalui neuron sensorik untuk membuat masa latennya pada
ganglia trigeminal; di sini, penyakit ini tetap asimptomatik sampai reaktivasi virus
menyebabkan infeksi sekunder atau berulang. DNA polimerase dari sel inang, yang terletak
di inti sel, diperlukan HSV untuk bereplikasi. Herpes stromal keratitis (HSK) terdiri dari tiga
subtipe utama: epitel, stroma, dan endotel (Gambar 1). Temuan klinis pada keratitis epitel
termasuk ulkus kornea geografis dengan ekor dendritik atau keratitis dendritik. Keratitis
epitel ini terjadi setelah invasi langsung oleh virus dan merupakan subtipe yang paling umum.
Stromal keratitis (SK) berkembang sebagai hasil dari respon imun terhadap virus. Subtipe
stromal selanjutnya dapat dibagi menjadi keratitis diskiform, SK imun, dan keratitis
nekrotikans. Keratitis endotel bermanifestasi sebagai endapan keratic yang berbentuk garis
dan edema stroma. Adanya variasi pada presentasi klinis antara subtipe yang berbeda
menimbulkan tantangan dalam mendiagnosis kondisi ini secara akurat.
Gambar 1 Gambar representatif dari berbagai kerusakan kornea akibat infeksi HSV1.
Catatan: (A) Dendrit epitel herpetik yang besar di graft-host junction. (B) Bulla
subepitel yang besar akibat endotheliitis HSV. (C) Endapan cincin-lipid yang mengelilingi
keratitis diskiformis HSV fokal. (D) Ulkus herpetik geografis yang besar pada pasien HIV.
(E) Herpes keratouveitis dengan peradangan bilik anterior (lapisan hipopyon karena
akumulasi WBC), endapan keratic kecil (agregat WBC pada permukaan endotel kornea), dan
edema kornea (karena disfungsi endotel). (F) Dendrit epitel herpetic yang besar. (G) Defek
epitel neurotropik postherpetic akibat kerusakan saraf kornea oleh HSV1. (H) Skar kornea
herpetic yang besar dengan inkarserasi iris pada sisi perforasi kornea.
Singkatan: HSV, herpes simpleks virus; WBC, white blood cell.

Diagnosa
HSK terutama didiagnosis dengan presentasi klinisnya pada pemeriksaan slit-lamp.
Gejala umum termasuk kemerahan, keputihan, mata berair, iritasi, gatal, nyeri, dan fotofobia.
Pada kebanyakan pasien, gejala mulai mereda setelah 2 minggu pertama. Subtipe yang paling
umum, yaitu keratitis epitel, muncul sebagai bintik granular kasar yang membentuk lesi
punctuate, tetapi lesi-lesi tersebut cepat bersatu untuk membentuk lesi dendritik. Pada
pemeriksaan fisik, area yang memutih dapat terlihat. Pada pemeriksaan slit-lamp, keratitis
epitel hadir sebagai lesi dendritik dengan terminal bulb, pembengkakan tepi, dan infiltrasi sel
intraepitel. Hal-hal tersebut divisualisasikan dengan pewarnaan lesi dengan pewarna
lissamine green atau rose bengal. Untuk lesi epitel atipikal, reaksi rantai polimerase (PCR)
telah digunakan untuk mengkonfirmasi HSK. Metode yang lebih baru, seperti pengumpulan
air mata dan uji antibodi imunofluoresensi, juga telah digunakan untuk membantu identifikasi
lesi epitel. SK pada pemeriksaan fisik tampak buram atau memutih disebabkan karena
infiltrasi stroma. Demikian pula, bentuk nekrotikan SK muncul sebagai abu-abu putih atau
buram, tetapi ada nekrosis disertai dengan ulserasi pada pemeriksaan slit lamp. Edema dan
abses mungkin juga tampak jelas. Pada SK immunomediated, lebih sedikit nekrosis ataupun
ulserasi, tetapi terdapat infiltrasi stroma. Sayangnya, PCR kurang membantu untuk
mengidentifikasi SK immunomediated. Bentuk lain dari HSK, lesi diskiform, memiliki
tampilan seperti ground-glass dan berbentuk diskus dengan edema stromal pada pemeriksaan
slit-lamp. Bentuk endotel, endapan keratic, dan iritis juuga dapat terlihat. Edema stroma juga
ada. Enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) dan kultur virus telah digunakan sebagai
alat diagnostik untuk semua subkelompok lesi. Lesi epitel dendritiform pada pemeriksaan
slit-lamp bersifat patognomonik untuk keratitis. Namun, lesi atipikal dapat membuat
diagnosis menjadi sulit. Faktor-faktor yang mempengaruhi diagnosis termasuk lamanya
penyakit, penyakit sistemik, penggunaan obat sebelumnya, dan transplantasi kornea, karena
hal ini dapat mengubah penampilan lesi pada pemeriksaan slit lamp.

Kesalahan diagnosis tidak jarang terjadi karena patogen lain juga dapat menimbulkan
manifestasi lesi yang serupa. Infeksi amoeba dan jamur sering salah diidentifikasikan sebagai
keratitis HSV. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rübben et al, 8% dari lesi HSV
yang didiagnosis secara klinis diidentifikasi pada PCR sebagai lesi yang disebabkan oleh
salah satu virus dalam famili Herpesviridae lainnya, seperti virus varicella zoster. Demikian
pula, penelitian lain menemukan 5% dari lesi HSK didiagnosis secara klinis sebagai lesi yang
disebabkan oleh adenovirus, 3,2% sebagai lesi yang disebabkan oleh cytomegalovirus, dan
2,7% oleh enterovirus. Ketika PCR digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis klinis lesi
dendritiform epitel, terdapat adanya korelasi sedang (K = 0,485, P, 0,0001) antara diagnosis
yang dibuat oleh dokter spesialis mata dan diagnosis yang dibuat menggunakan PCR. Dalam
sebuah penelitian yang dirancang untuk menentukan diagnosis lesi HSK atipikal, Koizumi
dkk mendefinisikan lesi atipikal sebagai lesi di mana “tidak jelas ditemukan adanya ulkus
dendritik atau geografis dengan bulb terminal dan infiltrasi epitel”. Mereka menemukan
sangat sedikit hubungan antara hasil PCR dan diagnosis klinis (P = 0,22).
Sementara sebagian besar diagnosis HSK didasarkan pada presentasi klinis, PCR
memberikan sensitivitas yang lebih baik. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh El-
Aal et al, PCR mendeteksi 29,2% lebih banyak kasus daripada kultur sel. Dalam penelitian
lain, ketika kultur virus mengidentifikasi 12% pasien yang diduga menderita HSK, PCR
dapat mengidentifikasi 88% pasien yang dicurigai HSK. Metode PCR sangatlah sensitif,
namun terdapat banyak variasi dalam berbagai penelitian antara tingkat deteksi HSV oleh
PCR bila dibandingkan dengan diagnosis klinis. PCR lebih mungkin untuk mengidentifikasi
pasien yang datang dengan lesi khas atau pasien yang belum menggunakan obat antivirus (P
= 0,022). Metode PCR kurang responsif pada pasien dengan lesi atipikal atau pada pasien
yang sebelumnya menggunakan atau saat ini menggunakan obat antivirus (P = 0,968). Telah
dihipotesiskan oleh McGilligan et al bahwa karena SK adalah hasil dari respon imun terhadap
virus, daripada infeksi virus itu sendiri, hal tersebut mungkin menjelaskan mengapa hasil
PCR negatif. Variasi juga terlihat (variabilitas 4% -6%) ketika sampel yang sama dianalisis
kembali menggunakan regio amplifikasi gen yang berbeda. Dalam penelitian lain, ada
penurunan 80% dari virus yang terdeteksi pada pasien yang telah menggunakan 400 mg
asiklovir dua kali sehari. Hal tersebut dapat menyebabkan pengurangan sensitivitas PCR. Tes
berbasis PCR juga dapat menghasilkan negatif palsu.
Demikian pula, dokter mata menggunakan oxybuprocaine, anestesi lokal yang
digunakan bersamaan dengan pewarna berbasis fluorescein untuk memvisualisasikan lesi
kornea HSV, namun dapat mengurangi efektivitas PCR dengan mengganggu reaksi PCR, di
mana oxybuprocain tersebut menghasilkan penurunan lebih dari 2 log pada sampel DNA.
Pewarna lain, seperti rose bengal dan lissamine green, juga menghambat deteksi DNA HSV
pada uji PCR.
Tes PCR membutuhkan kerokan kornea. Sayangnya, pasien dengan infeksi berulang
mungkin mengalami penurunan ketebalan kornea, sehingga membatasi dokter mata untuk
melakukan kerokan kornea untuk mendapatkan spesimen. Selain itu, viral load dapat
didapatkan dari air mata pasien. Satpathy et al membandingkan virus yang dikumpulkan oleh
teknik yang kurang invasif ini dengan metode pengikisan kornea menggunakan uji
imunofluoresensi, PCR, dan titer virus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji
imunofluoresensi mendeteksi antigen virus pada 12,53% spesimen air mata dan 22,87% dari
kerokan kornea, PCR mendeteksi virus pada 13,97% spesimen air mata dan 36,66% dari
kerokan kornea. PCR juga dapat mendeteksi virus yang menular dari 5,2% air mata dan
11,11% dari kerokan kornea. Walaupun PCR virus yang dikumpulkan dari air mata lebih
sensitif daripada isolasi virus dan imunofluoresensi dari air mata, namun secara signifikan
kurang sensitif dibandingkan kerokan kornea (P, 0,0005). Selain itu, waktu pengujian film air
mata harus diperhatikan, karena virus tidak selalu ada selama lesi kornea terjadi.
Selain PCR, ELISA juga telah digunakan untuk mendeteksi virus dalam air mata.
Shoji et al mengukur DNA HSV menggunakan PCR real-time dan mengukur antibodi sekresi
imunoglobulin A (IgA) spesifik HSV menggunakan ELISA pada air mata pasien yang diduga
secara klinis merupakan HSK. Secara keseluruhan, sensitivitas ELISA adalah 49,2% dan
spesifisitasnya adalah 82,6%. Di sisi lain, sensitivitas dan spesifisitas untuk PCR real-time
lebih tinggi yaitu masing-masing 55,8% dan 100% dalam pengumpulan air mata. Namun,
ketika dibagi menjadi beberapa subkelompok, PCR real-time secara signifikasn mendeteksi
kadar DNA HSV dalam subkelompok keratitis diskiform (median 3,1 × 102 salinan / sampel)
lebih sedikit daripada deteksi DNA HSV dalam subkelompok keratitis dendritik / geografis
(median 2,3 × 104) / sampel) (P, 0,05, uji Mann-Whitney). Deteksi DNA HSV juga rendah
pada subkelompok atipikal. Lebih lanjut lagi, viral load dalam air mata menurun setelah
pasien menderita selama 11 hari yang dapat meningkatkan hasil negatif palsu di semua
subkelompok.
Kultur virus dianggap sebagai standar emas untuk mengidentifikasi HSV. Bila
dibandingkan dengan kultur virus, diagnosis klinis hanya 55% -65% akurat. Sayangnya,
kultur HSV memakan waktu satu minggu atau lebih ketika beberapa virus infeksius berada
dalam sampel. IFA juga telah digunakan untuk mendiagnosis HSV dan mendeteksi 33,3%
lebih banyak kasus positif dari pada kultur virus. IFA juga memiliki sensitivitas 80%,
spesifisitas 71,4%, nilai prediksi positif 63,6%, dan nilai prediksi negatif 81,8%. Dalam
penelitian lain, sensitivitas IFA dalam mendiagnosis HSV berkisar antara 77% hingga 86%.
HSK adalah penyebab utama kebutaan kornea. Diagnosis yang akurat dan cepat
diperlukan untuk perawatan yang tepat dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Variasi dalam
subtipe yang berbeda telah menimbulkan tantangan untuk mendiagnosis HSK secara akurat.

Tantangan untuk manajemen klinis


Sebagian besar infeksi HSK sembuh sendiri, bahkan tanpa pengobatan. Namun,
penyembuhan berlangsung lama tanpa menggunakan obat yang tepat, dan pengobatan yang
tidak tepat dapat memperburuk peradangan kornea dan menyebabkan lesi berulang dan
kehilangan penglihatan. Di sisi lain, subtipe lain, seperti keratitis epitel geografis, sulit diobati
dan memerlukan terapi jangka panjang. Meskipun dapat sembuh sendiri, penting untuk
mengobati infeksi pada awal untuk mengurangi replikasi virus, mempersingkat perjalanan
penyakit, dan mempertahankan latensi, untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Pengobatan HSK saat ini antara lain adalah asiklovir, gansiklovir, triflurothymidine,
penciclovir, dan valacyclovir. Asiklovir dan turunannya adalah analog nukleosida yang
secara selektif terfosforilasi oleh timidin kinase yang dikodekan untuk digunakan sebagai
substrat oleh DNA polimerase; obat ini bukan substrat untuk host thymidine kinase, sehingga
kurang memiliki efek samping. Setelah analog difosforilasi, ia dimasukkan ke dalam DNA
virus saat disintesis. Karena analog ini tidak memiliki struktur kimia untuk ditambahkan
nukleosida berikutnya, hal ini mengakibatkan pemutusan rantai dan mencegah replikasi virus
dengan menghambat elongasi DNA. Karena hanya memengaruhi DNA virus yang baru
disintesis, obat ini tidak menyembuhkan sel-sel dari infeksi virus, tetapi mencegah produksi
virus baru. Karena asiklovir memiliki bioavailabilitas yang buruk, maka diperlukan dosis
tinggi dan peningkatan frekuensi pemberian. Analog nukleosida lain, seperti valacyclovir,
memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi, dan dengan demikian mengurangi frekuensi
pemberian dan dapat mengarah pada kepatuhan pasien yang lebih baik. Asiklovir dan
valasiklovir dapat menyebabkan mual, muntah, diare, dan efek samping gastrointestinal
lainnya. Ganciclovir bekerja dengan cara yang sama seperti asiklovir. Walaupun memiliki
efek samping yang lebih sedikit, namun dapat menyebabkan penglihatan kabur, keratitis
punctuate, dan iritasi mata. Meskipun demikian, pengobatan jangka panjang dengan analog
nukleosida ini telah menghasilkan resistansi, terutama pada inang dengan imunokompromais.
Pengobatan lini kedua termasuk foscarnet dan cidofovir, tetapi obat-obat tersebut memiliki
spesifisitas yang kurang untuk DNA virus dan lebih cenderung memiliki toksisitas pada
pasien. Obat generasi awal, seperti idoxuridine, iododeoxyuridine, vidarabine, dan
trifluridine, tidak lagi digunakan, karena tingginya efek samping dan bioavailabilitas yang
rendah.
Seperti disinggung sebelumnya, pengobatan saat ini untuk HSV tidak memberikan
penyembuhan, tetapi lebih mengurangi durasi gejala dan membantu menjaga virus dalam
latensi. Kekambuhan masih dapat terjadi, meskipun sudah diobati dengan obat antivirus.
Dalam studi HEDS, pemberian oral 400 mg asiklovir menurunkan penyakit mata HSV1
sebesar 45% (32% plasebo vs 19% asiklovir). Dalam penelitian lain, kekambuhan penyakit
HSV okular adalah 23,1% pada pasien yang memakai asiklovir. Risiko kekambuhan adalah
20% dalam 2 tahun, 40% dalam 5 tahun, dan 67% dalam 7 tahun, dan risiko meningkat pada
episode berikutnya. Harus ditekankan bahwa asiklovir tidak mencegah SK, karena
patogenesis SK dimediasi imun, meskipun dengan mengurangi viral load dapat mengurangi
besarnya respon inflamasi. Steroid topikal membantu mengurangi perkembangan peradangan
stroma, tetapi tidak mengurangi penyakit pada epitel. Ringkasan pengobatan saat ini untuk
subtipe yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.

Penyakit stroma dan endotel yang kambuh dan berulang secara signifikan
meningkatkan risiko terjadinya jaringan parut kornea akibat fibrosis dan neovaskularisasi.
Reaktivasi dapat dikaitkan dengan stres, trauma, dan radiasi ultraviolet. Keratitis endotel
karena infeksi berulang dapat menyebabkan kehilangan sel, pembengkakan permanen,
jaringan parut kornea, kekeruhan, kerusakan jaringan, dan astigmatisme ireguler. Ketika
jumlah episode meningkat, sensitivitas kornea terhadap stimulasi mekanik berkurang.
Infeksi stroma dimediasi oleh imun dan merupakan penyebab utama kebutaan kornea
di negara maju. Infeksi tersebut terjadi sebagai akibat dari reaktivasi virus kronis, dan
menyebabkan keratitis neurotropik yang merupakan suatu kondisi degeneratif. Kornea yang
normal memiliki persarafan yang padat, tetapi tidak memiliki pembuluh darah. Episode
berikutnya tidak hanya merusak saraf, yang menyebabkan penurunan sensasi kornea
(hypoesthesia kornea), tetapi juga menyebabkan angiogenesis, dan neovaskularisasi. Sensasi
kornea yang berkurang menyebabkan hilangnya refleks kedip kornea. Reaksi imunomediasi
ini terjadi sebagai akibat dari sitokin yang dilepaskan oleh sel T CD4 +. Sementara episode
berulang dari HSK dapat menyebabkan kekeruhan stroma. Penggunaan obat antivirus jangka
panjang untuk mencegah episode di masa depan dapat meningkatkan risiko resistensi dan
toksisitas. Karena respons stroma dimediasi oleh imun, maka steroid dapat membantu
mengurangi kekambuhan, tetapi tidak menghilangkan virus.
Perubahan lain oleh karena HSK adalah perubahan ketebalan kornea. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Wilhelmus et al, ketebalan kornea pada SK diskiform
menurun sebesar 15% (interval kepercayaan 95% 10% -20%). Komplikasi lain adalah SK
nekrotikans, di mana ulserasi dan nekrosis kornea terlihat pada pemeriksaan slit-lamp.
Keratitis juga telah terbukti menyebabkan mata kering pada pasien dengan infeksi stroma.
Setiap episode berikutnya meningkatkan risiko pasien memiliki skar dan kebutaan
kornea. Karena perawatan saat ini membantu menjaga latensi dan hanya memperpendek
perjalanan penyakit, semua pasien yang terinfeksi berisiko mengalami reaktivasi. Jaringan
parut kornea yang menyebabkan kebutaan merupakan indikasi untuk transplantasi kornea.
Namun, transplantasi diperumit dengan peningkatan risiko penolakan graft pada pasien
dengan HSK.

Kesimpulan
HSK adalah infeksi kornea yang disebabkan oleh HSV. Infeksi primer adalah hasil
dari paparan langsung selaput lendir inang terhadap infeksi HSV. Setelah infeksi primer dan
pembentukan latensi pada ganglia sensoris, virus dapat distimulasi untuk memasuki siklus
infeksi, dan kembali ke kornea. Sesampai di sana, infeksi berulang ini dapat menyebabkan
berbagai komplikasi, khususnya respons peradangan, yang jika cukup kuat dapat
membahayakan integritas kornea, yang menyebabkan terjadinya jaringan parut kornea dan
kebutaan yang berat.
Diagnosis klinis HSK berdasarkan temuan dari pemeriksaan slit lamp. Lesi epitel
dendritiform pada pemeriksaan slit-lamp bersifat patognomonik untuk keratitis. Namun,
penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa lesi mata yang disebabkan oleh
cytomegalovirus, herpes zoster, adenovirus, dan infeksi jamur telah salah didiagnosis sebagai
lesi HSK. Tes diagnostik lain, seperti tes PCR, ELISA, IFA, dan kultur virus, telah
memberikan diagnosis yang lebih pasti, tetapi memiliki keterbatasan tersendiri. Selain itu,
variasi dalam berbagai subtipe keratitis mempersulit diagnosis lesi atipikal.
Diagnosis yang akurat dan cepat diperlukan untuk membantu dokter mengetahui
pengobatan mana yang akan memberikan hasil terbaik sehingga dengan demikian mencegah
komplikasi lebih lanjut. Perawatan farmakoterapi saat ini telah membantu mengurangi
kekambuhan dan mempertahankan latensi, tetapi infeksi sekunder masih dapat terjadi. Lesi
yang berulang meningkatkan risiko pasien terkena fibrosis, jaringan parut, dan
neovaskularisasi kornea. SK, respons imunomodulasi, adalah penyebab utama penurunan
sensasi dan kebutaan kornea. Asiklovir tidak efektif terhadap tahap inflamasi SK, karena
hanya sedikit virus yang ditemukan selama puncak peradangan. Perlu dicatat bahwa setiap
episode infeksi berulang meningkatkan risiko episode berikutnya dan selanjutnya
mempersulit manajemen klinis.

LAPORAN ANALISA JURNAL READING


Topik N Keterangan Halaman dan
o penjelasan
Judul dan 1 a.Menjelaskan Ya, pada abstrak
abstrak tujuan, metode, dan jurnal menjelaskan tujuan,
hasil penelitian metode, hasil penelitian
secara ringkas
b.Memberikan
ringkasan yang Dijelaskan di
informatif dan halaman awal secara
seimbang atas apa lengkap serta memberikan
yang dilakukan dan ringkasan yang sesuai
apa yang ditemukan dengan hasil yang
didapatkan di penelitian
Pendahuluan
Latar 2 Menjelaskan Ya, pada latar
belakang latar belakang yang belakang memberikan
ilmiah dan rasional informasi mengapa
mengapa penelitian penelitian perlu dilakukan
perlu dilakukan
Tujuan 3 Menentukan Ya, tujuan
tujuan spesifik, penelitian disebutkan
termasuk hipotesis secara terperinci
yang diajukan

Metodologi penelitian
Populasi 4 Menjelaskan Tidak dijelaskan
bagaimana metode pengambilan
populasiditentukan populasi, apakah
mengunakan random
sampling atau populasi
terjangkau, hanya
disampaikan bahwa
penelitian mengambil
spesimen dari pasien yang
mengalami ulkus kornea
Subyek 5 Kriteria subyek Tidak dijelaskan
penelitian penelitian secara rinci tentang kriteria
inklusi dan eksklusi pada
penelitian ini
Besar 6 Menjelaskan Tidak, tidak
sampel kriteria penentuan dijabarkan secara jelas
sampel minimal yang mengenai kriteria
diperlukan untuk penentuan besar sampel,
menghasilkan metode sampling, dan
kekuatan penelitian kriteria pengambilan
sampel pada penelitian
hanya dijelaskan
mengambil specimen dari
pasien ulkus kornea
sebanyak 100 spesimen
Prosedur 7 Menjelaskan Ya. Dijabarkan
penelitian secara rinci dan secara rinci prosedur
sistematikprosedur penelitian yang dilakukan
penelitian (teknik
pengambilan data)
Teknik 8 Teknik analisa Tidak dijelaskan
analisa data data yang digunakan teknik analisa data yang
untuk membandingkan digunakan
hasil penelitian
Hasil
Alur 9 Menjelaskan Pada
penelitian waktu penelitian penelitiantidak
disampaikan waktu
penelitian
Outcome 1 Untuk outcome Hasil penelitian
dan estimasi 0 hasil penelitian dijabarkan secara detail
penelitian dan dilengkapi dengan
tabel
Pembahasan
Interpretasi 1 Interpretasi Hasil yang
1 hasil dijelaskan pada penelitian
ini sudah baik
Generaliza 1 Apa hasil bisa Hasil dapat
bility 2 digeneralisasikan di digunakan sebagai evaluasi
masyarakat tambahan pada
pemeriksaan untuk pasien
dengan ulkus kornea dan
penelitian ini bisa
dijadikan referensi untuk
dilakukan penelitian
lanjutan.
Overall 1 Interpretasi Penelitian ini
evidence 3 umum terhadap hasil menggunakan literatur dan
dalam konteks data penelitian yang telah
penelitian dilakukan sebelumnya
sebagai bukti yang
menguatkan hasil
penelitian yang dilakukan.

KELEBIHAN PENELITIAN :
1. Judul dan abstrak memberikan ringkasan yang informatif dan
seimbang atas apa yang dilakukan dan apa yang ditemukandi penelitian
2. Jurnal ini menjelaskan prosedur penelitian secara rinci.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan refrensi untuk melakukan
penelitian lanjutan.
KEKURANGAN PENELITIAN :
1. Jurnal ini tidak menjelaskan metode penentuan populasi dan penentuan
besar sampel peneltian.
2. Penelitian ini tidak menentukan kriteria inklusi dan ekslusi sangat rinci
dan jelas.
3. Jurnal ini tidak menjelaskan teknik analisa data yang digunakan.

Anda mungkin juga menyukai