Anda di halaman 1dari 13

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kasus HIV-AIDS di dunia saat ini berkembang terus. Data WHO (2013)

menunjukkan bahwa total jumlah orang yang hidup dengan HIV-AIDS tahun

2013 adalah 35 juta orang. Dimana 16 juta orang diantaranya adalah wanita dan

3,2 juta orangnya adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun, dengan total kematian

1,5 juta orang. Menurut UNAIDS (2010), ada 33,3 juta orang dewasa dan anak

yang hidup dengan HIV di dunia, dengan akun terbesar di Sub-Sahara Afrika

(22,5 juta) dimana sekitar 60% nya adalah perempuan. 4,1 juta di Asia Selatan

dan Asia Tenggara.

Di Indonesia, HIV dan AIDS dalam kurun waktu sembilan tahun yang

semula meningkat perlahan-lahan menjadi sangat tajam sejak tahun 2000.

Menurut KPA (2010), perkembangan jumlah kasus baru HIV positif tahun 2013

mengalami peningkatan secara signifikan, dengan kenaikan mencapai 35%

dibanding tahun 2012 yang telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/ kota di

33 provinsi.

Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal PP & PL Kementerian Kesehatan

RI (2014) secara kumulatif kasus HIV-AIDS mulai 01 April 1987 sampai dengan

31 Desember 2013 berjumlah 179.764 kasus yang tersebar di 33 provinsi di

Indonesia dimana Sumatera Utara menduduki urutan kesembilan kasus terbanyak

yaitu 7.967 HIV dan 1.301 AIDS. Pada tahun 2016, Indonesia akan mempunyai

Universitas Sumatera Utara


2

hampir dua kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS di usia dewasa

dan anak (812.798 orang) dibandingkan tahun 2008 (411.543 orang). Berdasarkan

hasil studi pendahuluan di RSU. Dr. Pirngadi Medan, jumlah pasien HIV-AIDS

tahun 2013 berjumlah 137 orang. Sedangkan untuk Bulan April sampai Bulan

Oktober 2014 didapatkan penderita HIV-AIDS berjumlah 59 orang. dan

ditemukan sebanyak 126 kasus HIV positif disepanjang tahun 2015.

Peningkatan jumlah kasus HIV pada anak meningkat setiap tahunnya.

Tahun 2010 jumlah anak usia 0-4 tahun terinfeksi meningkat dari 1,8% menjadi

2,6% di tahun 2011. Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi ke bayinya juga

cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV

positif yang tertular baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko.

Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin

meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan

hubungan seksual tidak aman, yang selanjutnya akan menularkan pada pasangan

seksualnya. Perempuan yang hidup dengan HIV memiliki tingkat morbiditas dan

mortalitas lebih tinggi (Calvert & Ronsmans (2013); Calvert et al., 2013).

Prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan meningkat dari 0,38%

tahun 2012 menjadi 0,49% pada tahun 2016, demikian pula jumlah anak berusia

di bawah 15 tahun yang tertular HIV dari ibunya pada saat dilahirkan ataupun saat

menyusui akan meningkat dari 4.361 pada tahun 2012 menjadi 5.565 pada tahun

2016, yang berarti terjadi peningkatan angka kematian anak akibat AIDS

(Permenkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara


3

Peningkatan kasus HIV dan AIDS di kalangan masyarakat, khususnya

perempuan usia produktif, cenderung meningkat sehingga menjadi ancaman

potensial terhadap kesehatan masyarakat di Indonesia yang dapat berdampak luas

dan negatif bagi ketahanan bangsa sehingga pelayanan pencegahan penularan HIV

dari ibu ke anak (Mother to Child HIV Transmission) merupakan salah satu

upaya penanggulangan HIV-AIDS yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan

ibu dan anak pada fasilitas pelayanan kesehatan (Permenkes, 2013).

Salah satu upaya untuk mengurangi tingkat penularan HIV dari ibu ke

anak dan untuk mengurangi angka morbiditas serta mortalitas adalah melalui

pemilihan metode persalinan pembedahan yang dikenal dengan istilah bedah

caesarea. Suatu metode persalinan dengan membuat sayatan di kulit perut bagian

bawah (NICE, 2012). Berbagai macam indikasi dilakukannya metode persalinan

ini. Salah satunya adalah ibu hamil positif HIV dengan tujuan menurunkan risiko

penularan infeksi melalui jalan lahir (NHS, 2010).

Metode persalinan secara caesarea dapat menurunkan angka morbiditas

dan mortalitas pada ibu yang terinfeksi HIV-AIDS (Permenkes, 2013). Penelitian

yang dilakukan oleh Mrus et al. (2000) berupa uji coba secara acak dari bedah

caesarea elektif diterbitkan oleh The European Mode of Delivery Collaboration

menunjukkan bahwa metode persalinan secara caesarea elektif pada wanita hamil

yang terinfeksi HIV dengan HIV terdeteksi terbukti mengurangi total tarif dan

meningkatkan kualitas harapan hidup pasangan ibu dan anak.

Universitas Sumatera Utara


4

Penelitian yang dilakukan oleh Peters et al. (2008) di 22 rumah sakit di

Kota New York menemukan terjadinya peningkatan kelahiran secara caesarea di

antara seluruh sampel dari 15% menjadi 55%, dimana 5295 kelahirannya

terdeteksi virus HIV (67% dari semua kelahiran) dari tahun 1994 hingga 2003.

Dalam 13 tahun terakhir, tingkat kelahiran caesarea di Amerika Serikat

meningkat sebesar 59% dari 20,7% pada tahun 1996 ke posisi tertinggi sepanjang

masa dari 32,9% pada tahun 2009 (Hessol, 2012).

Berdasarkan data RIKESDAS (2013), tingkat persalinan melalui bedah

caesarea termasuk kasus HIV-AIDS di Indonesia meningkat 20% dalam kurun

waktu lima tahun terakhir. Hasil survey yang dilakukan di RS. Haji Medan

menunjukkan bahwa jumlah kasus bedah caesarea pada pasien HIV-AIDS

berjumlah 16 kasus sepanjang tahun 2014 dan tiga kasus disepanjang tahun 2013.

Survey juga dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan, dimana ada 16 kasus

bedah caesarea elektif pasien HIV-AIDS sepanjang tahun 2013.

Bagi ibu yang terdeteksi HIV-AIDS, proses melahirkan akan menjadi

suatu ketakutan tersendiri terkait dampak yang akan di timbulkan. Ibu yang

terdeteksi HIV dapat menularkan infeksi ke janin yang dikandung atau bayi yang

dilahirkan. (Yayasan Spiritia, 2010). Infeksi HIV pada ibu hamil dapat

mengancam kehidupan ibu serta ibu dapat menularkan virus kepada bayinya.

Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan

dari ibu ke anak (NHS, 2011).

Universitas Sumatera Utara


5

Menurut Permenkes (2013) tentang pedoman pencegahan penularan HIV

dari ibu ke anak menunjukkan bahwa virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang

terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan saat

menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu selama proses kehamilan adalah 5-10

%, 10-20% selama proses persalinan dan 5-20% selama proses menyusui.

Perkembangan teknologi kedokteran, membuat metode persalinan

caesarea menjadi pilihan sebagai jenis persalinan yang dapat mengurangi risiko

penularan virus HIV dari ibu ke anak. Metode persalinan secara pervaginam lebih

besar risikonya dibandingkan metode persalinan melalui caesarea (Permenkes,

2013).

Hasil penelitian yang merupakan hasil awal dari dua penelitian yang

dipresentasikan pada Konferensi AIDS Sedunia ke-12 di Jenewa, Swiss tahun

1999. Penelitian merupakan hasil uji coba secara acak di enam negara Eropa yang

menunjukkan terjadi penurunan 80% pada angka penularan dari ibu ke anak pada

kelompok kelahiran caesarea elektif. Saat cara kelahiran dianalisis, kelahiran

caesarea setelah adanya rasa sakit dan/atau setelah pecah ketuban menghasilkan

angka penularan dari ibu ke anak yang menengah (8,8%), dibandingkan kelahiran

vagina (10,2%) dan kelahiran caesarea elektif (2,4%) (Yayasan Spiritia, 2010).

Kemajuan teknologi dibidang kesehatan tidak lantas membuat ibu dengan

HIV-AIDS merasa lega. Penularan virus mungkin dapat di minimalisir dengan

pemilihan teknik persalinan, meningkatkan status gizi ibu, pengobatan dengan

ARV (Antiretroviral Therapy), pemantauan Jumlah virus (viral load), CD4

Universitas Sumatera Utara


6

(Cluster of Differentiation 4), dan lainnya. Namun kekhawatiran ibu dengan HIV-

AIDS akan mempengaruhi kondisi psikologisnya.

Perubahan psikologis dapat terjadi pada ibu khususnya ibu hamil dengan

HIV-AIDS. Selain kekhawatiran akan penularan terhadap janin yang

dikandungnya, ibu hamil dengan HIV-AIDS mempunyai berbagai macam

komplikasi yang mungkin terjadi pada janin maupun ibu sendiri. Komplikasi

tersebut antara lain adanya ruptur saat persalinan, bayi lahir cacat, berat bayi lahir

rendah (BBLR), bayi lahir prematur dan janin tertular HIV (Reeder et al., 2013).

Hal ini mengakibatkan perubahan psikologis pada ibu hamil dengan HIV-AIDS

seperti adanya ambivalensi, perasaan ragu-ragu akan kehamilannya, depresi,

kehawatiran yang berlebihan terhadap janin, bahkan dapat juga terjadi post

partum blues.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kotze di Afrika Selatan, ibu

hamil dengan HIV mengalami peningkatan depresi dan kekhawatiran terhadap

stigma masyarakat. Aspek sosial pasien HIV-AIDS meliputi masalah-masalah

yang terjadi pada kehidupan sosial yaitu adanya stigmatisasi, diskriminasi, isolasi,

dapat mempengaruhi kondisi psikologis ibu. Menurut International Center for

Research on Women (2003), ada beberapa bentuk stigma antara lain pemberian

sebutan/nama, menunjuk, mengkambinghitamkan, sindiran, membuat bahan

tertawaan, memberikan lebel, menyalahkan, mempermalukan, menghakimi,

memfitnah, mencurigai, mengabaikan, penolakan, isolasi, tidak mau berbagi

alat/perlengkapan dengan ODHA, menghindari, menjaga jarak, gangguan,

kekerasan fisik dan penyiksaan.

Universitas Sumatera Utara


7

Orang yang mengalami stigma dan diskriminasi melaporkan berbagai efek

negatif, termasuk hilangnya pendapatan, isolasi dari masyarakat dan

ketidakmampuan untuk berpartisipasi sebagai anggota masyarakat yang produktif

sebagai akibat dari status HIV mereka. Menurut survey yang dilakukan melalui

orang dengan indeks stigma HIV, stigma dan diskriminasi membawa efek

psikologis yang mendalam, sehingga perasaan bersalah, malu dan pikiran untuk

bunuh diri muncul sebagai efek negatif dari stigma dan diskriminasi (World

Report, 2013).

Kecemasan pada ibu yang terdeteksi HIV juga meliputi kecemasan

terhadap kondisi fisik ibu, kemungkinan kematian, rasa sakit setelah proses

melahirkan, dan kondisi bayinya, apakah bayinya akan tertular, bagaimana cara

merawat bayinya, dan lain-lain. Selain pentingnya memperhatikan kondisi

psikologis ibu, perawatan postpartum atau perawatan nifas setelah dilakukannya

bedah caesarea juga memegang peranan penting dalam mempertahankan

kesehatan ibu dengan HIV-AIDS. 50% kematian ibu secara global di Sub-Sahara

Afrika, 70-80% nya disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan, dan

periode postpartum (NICE, 2011).

Dalam sebuah analisis dari 34 database di seluruh dunia ditemukan

penyebab utama kematian ibu secara global adalah perdarahan postpartum (PPH).

Khan et al. menemukan bahwa persentase kontribusi dari perdarahan postpartum

terhadap total kematian ibu bervariasi antara 13,3% dan 43,6% di Afrika (Prata et

al., 2010). Charier et al. (2009) menemukan 85% dari infeksi luka bedah

postpartum teridentifikasi setelah operasi caesarea di sebuah rumah sakit di Italia.

Universitas Sumatera Utara


8

Di Indonesia, komplikasi postpartum paling banyak terjadi diakibatkan

perdarahan dan infeksi (Wiknjosastro, 2001). Data lain juga dikemukakan oleh

Ine (2010) bahwa penyebab langsung kematian ibu postpartum terkait kehamilan

dan persalinan adalah perdarahan (28%), eklampsi (24%), infeksi (11%), partus

lama (5%) dan abortus (5%).

Tingginya angka kematian akibat komplikasi postpartum pada ibu dengan

HIV-AIDS menyebabkan perlu dilakukannya perawatan postpartum atau

perawatan masa nifas termasuk pencegahan perdarahan, perawatan luka bekas

operasi, penatalaksanaan nyeri, perbaikan nutrisi, pengawasan pengobatan,

pengontrolan jumlah virus (viral load), CD4, dan lainnya (NICE, 2011).

Perlunya pemahaman ibu terkait perawatan setelah bedah caesarea sangat

diperlukan. Salah satu faktor yang berkontribusi dalam masa adaptasi wanita pada

masa persalinan adalah perawatan postpartum yang dilakukan. Perawatan

postpartum khususnya pasien HIV-AIDS sangat diperlukan, terutama terkait

risiko infeksi.

Untuk itu perlu di berikan informasi bagi perempuan yang akan menjalani

bedah caesarea terkait risiko infeksi yang terjadi. Penentuan tingkat infeksi

dilakukan melalui pengawasan post discharge setelah bedah caesarea. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan Debra (2001) terkait efektivitas

pengawasan terhadap informed consent rencana pemulangan pasien menunjukkan

sebanyak 32% tingkat respon terhadap infeksi luka operasi ditentukan oleh

pengawasan setelah pembedahan.

Universitas Sumatera Utara


9

Perawatan postpartum merupakan perawatan yang bersifat edukatif sebab

individu mampu melakukan perawatan secara mandiri. Perawatan mandiri (self

care) adalah suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh

individu guna memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan dan

kesehatan dimana tingkat keberhasilannya ditentukan oleh pengalaman hidup,

kebiasaan, tingkat pengetahuan, tingkat maturitas dan kesehatan mental individu

(Orem, 2001).

Pengalaman merupakan bagian dari kehidupan manusia yang sangat

berharga yang dapat diberikan kepada siapa saja untuk digunakan dan menjadi

pedoman serta pembelajaran bagi manusia. Pengalaman merupakan sumber

pengetahuan. Mengenali pentingnya pengalaman seputar persalinan terutama

pengalaman melakukan perawatan masa nifas dan perawatan pada bayinya yang

dilakukan langsung oleh ibu serta memberi kesempatan untuk menceritakannya

pada orang lain sehingga menimbulkan pemahaman yang semakin mendalam

(Kirkham, 1997).

Pengalaman yang dirasakan ibu yang terinfeksi HIV dalam melakukan

perawatan masa nifas dan perawatan bayinya merupakan pengalaman yang tidak

dapat dirasakan dan di pahami oleh setiap orang. Pengalaman yang berbeda akan

memberi makna yang berbeda pada setiap individu. Oleh karena itu eksplorasi

secara mendalam terkait pengalaman ibu pengidap HIV-AIDS dalam melakukan

perawatan setelah menjalani bedah caesarea sangat penting khususnya untuk

menurunkan risiko infeksi yang dapat berujung pada kematian.

Universitas Sumatera Utara


10

Pentingnya kemampuan pasien untuk berpartisipasi secara aktif dalam

perawatan dirinya telah mendapat perhatian beberapa tahun terakhir ini. Pasien

memiliki tanggung jawab utama dalam mengelola kesehatannya dalam konteks

kehidupan mereka lebih luas perlu diakui dalam penyediaan layanan dan dengan

cara profesional oleh pemberi layanan kesehatan yang berinteraksi dengan pasien.

Setengah dari seluruh kematian ibu postpartum terjadi selama minggu

pertama setelah bayi lahir, dan mayoritas ini terjadi selama 24 jam pertama setelah

proses melahirkan. Di Afrika, 34% penyebab utama kematian ibu adalah karena

perdarahan, 10% karena sepsis dan infeksi yang hampir semua terjadi selama

periode postpartum. Kematian pada Ibu HIV positif lebih berisiko pasca

melahirkan dibandingkan perempuan HIV negatif. Akses penggunaan KB pada

periode postpartum dini juga penting, dan kurang efektifnya perawatan

postpartum sering berkontribusi dan jarak kehamilan buruk. Ini adalah waktu yang

menegangkan bagi ibu baru, sehingga dukungan emosional dan psikososial harus

tersedia untuk mengurangi risiko depresi (Warren, 2010).

Namun, angka risiko kematian pada bedah caesarea sangat tinggi akibat

infeksi. Komplikasi infeksi akibat bedah caesarea meliputi demam, wound

infection, endometritis, bakterimia, dan infeksi saluran kemih (Chapman et al.,

2009). Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan terkait perawatan bedah

caesarea pada ibu yang positif AIDS dan ibu negative AIDS. Hanya saja

diperlukan pengawasan ekstra terkait komplikasi yang mungkin terjadi seperti

perdarahan ataupun infeksi luka terkait penyakit-penyakit infeksi yang berisiko

tinggi. Oleh karena itu, perlunya pengawasan perawatan yang ketat pada masa

Universitas Sumatera Utara


11

postpartum, khususnya ibu yang positif HIV-AIDS yang menjalani bedah

caesarea. Perawatan postpartum ini mencakup monitoring setelah kelahiran, cara

perawatan luka, pemberian ASI, nutrisi ibu, dan lainnya yang tentunya

memperhatikan risiko yang mungkin dihadapi ibu dengan penyakit-penyakit

infeksi yang berisiko tinggi.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti Bulan Juni 2014

pada seorang partisipan didapatkan adanya efek dari bedah caesarea

menyebabkan infeksi yang berulang pada luka bekas operasinya baik di rumah

sakit atau setelah pulang ke rumah. Partisipan menyampaikan bahwa dia dibantu

oleh perawat dan keluarganya selama perawatan masa nifas khususnya terkait

perawatan luka caesarea. Partisipan juga mengeluhkan tidak adanya informasi

yang diberikan petugas kesehatan pada mereka sesaat akan pulang dari rumah

sakit terkait penanganan perdarahan, perawatan perineum, perawatan payudara,

penggunaan duk, pengenalan tanda-tanda infeksi, teknik higienis saat merawat

luka, pengaturan gizi, perawatan bayinya, dan lain-lain terkait penyakit infeksi

yang berisiko tinggi. Selain itu, partisipan juga menyampaikan bahwa

payudaranya sering sakit, bengkak, dan sering muncul ruam yang hilang timbul

selama masa nifasnya. Partisipan mengaku tidak pernah diajarkan cara perawatan

payudara selama di rumah sakit atau setelah pulang kerumah.

Perawatan diri pada masa postpartum sangat diperlukan khususnya ibu

dengan penyakit-penyakit infeksi yang berisiko tinggi karena pada masa

pemulihan ini, ibu diharapkan mampu melakukan pemenuhan perawatan pada

Universitas Sumatera Utara


12

dirinya agar tidak mengalami gangguan kesehatan yang dapat berdampak

langsung pada ibu ataupun bayi yang dilahirkannya.

Berdasarkan latar belakang diatas, dan belum adanya penelitian terkait

pengalaman ibu HIV-AIDS dalam melakukan perawatan postpartum setelah

menjalani bedah caesarea di Kota Medan membuat peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian terkait pengalaman ibu HIV-AIDS dalam melakukan

perawatan postpartum dengan sectio caesarea.

1.2. Permasalahan

Pemilihan metode persalinan secara caesarea pada kasus HIV-AIDS

terbukti dapat menurunkan tingkat penularan dari ibu ke anak, namun metode

tersebut tidak serta merta membuat lega ibu HIV-AIDS. Selain itu, pentingnya

pemahaman ibu HIV-AIDS terkait perawatan postpartum seperti risiko infeksi,

risiko perdarahan, perawatan luka insisi, perawatan bayinya, penatalaksanaan

pemberian air susu ibu, teknik aseptik dan lainnya dapat meningkatkan

pengetahuan ibu dalam perawatan postpartum yang dapat berdampak terhadap

kesehatan ibu terkait pencapaian perannya dan perawatan bayi setelah persalinan.

Peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pada ibu postpartum khususnya ibu

dengan HIV-AIDS perlu mendapat perhatian terkait perawatan diri ibu dan

bayinya sehingga terhindar dari kejadian infeksi. Penelitian ini dilakukan untuk

menjawab permasalahan yang dinyatakan dengan pertanyaan penelitian:

Bagaimana pengalaman ibu HIV-AIDS dalam melakukan perawatan postpartum

dengan sectio caesarea.

Universitas Sumatera Utara


13

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi secara mendalam

pengalaman ibu HIV-AIDS dalam melakukan perawatan postpartum setelah

menjalani bedah caesarea.

1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1. Praktik Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi perawat untuk

meningkatkan profesionalismenya terkait penatalaksanaan perawatan postpartum

pasca bedah caesarea khususnya pada pasien HIV-AIDS.

1.4.2. Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan ilmu

keperawatan bedah khususnya terkait konsep perawatan pasca persalinan dengan

menggunakan metode bedah caesarea pada pasien HIV-AIDS serta bermanfaat

bagi institusi pendidikan dalam mempersiapkan mahasiswa yang akan melakukan

praktik lapangan di ruang bedah dengan membekali mahasiswa terkait sikap

proteksi terhadap kasus-kasus penyakit infeksi yang berisiko tinggi.

1.4.3. Penelitian Keperawatan

Hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai evidence based dan

pertimbangan bagi penelitian keperawatan dalam melakukan penelitian lebih

lanjut khususnya yang berkaitan dengan perawatan pasca bedah caesarea pada

pasien HIV-AIDS.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai