SEMIOTIKA ROLAND BARTHES - Metode Penelitian Komunikasi (Gea 1610631190070, Nice 1610631190134) - Kelas 6E
SEMIOTIKA ROLAND BARTHES - Metode Penelitian Komunikasi (Gea 1610631190070, Nice 1610631190134) - Kelas 6E
MAKALAH
Disusun Oleh :
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat
dan karunianya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat atas tugas dari Dosen Mata Kuliah Metode Penelitian
Komunikasi yang mengharuskan kami untuk membuat sebuah makalah mengenai
materi “Semiotika Roland Barthes”. Disamping itu sebagai media pembelajaran
kami, dalam melengkapi kegiatan perkuliahan.
Didalam makalah ini banyak sekali manfaat yang bisa diambil bagi
pembaca, selain dapat memberi wawasan yang lebih tentang Komunikasi
Organisasi, kami juga berharap pembaca dapat memahami maksud dari isi makalah
ini.
Pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
keluarga kami yang senantiasa selalu mendo’akan kami, kepada Dosen Mata Kuliah
Metode Penelitian Komunikasi yang telah mempercayakan tugas makalah tentang
Semiotika Roland Barthes ini kepada kami.
Kami merasa makalah ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan
,oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak akan kami terima dengan lapang
hati demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu
tentangnya. Istilah semiotik lebih mengarah pada tradisi saussurean yang diikuti
oleh Charkes Sanders Pierce dan Umberto Eco, sedangkan istilah semiologi lebih
banyak dipakai oleh Barthes. Baik semiotik ataupun semiologi merupakan cabang
penelitian sastra atau seuah pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan
antara tanda-tanda.
1.3 Tujuan
1. Memaparkan tentang semiotika.
2. Menjelaskan prinsip-prinsip semiotika menurut Roland Barthes.
3. Memaparkan pandangan Roland Barthes tentang praktik budaya
kontemporer dalam karya-karyanya.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda. Tandaa-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya
berusaha mencari jalan didunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak
mepelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to signifty) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak
hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstruksikan sistem terstruktur dari
tanda.
Sedangkan Van Zoest seperti dikutip oleh Rahayu S. Hidayat menjelaskan
bahwa semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang
bertalian dengan tanda. Berbicara tentang kegunaan semiotika tidak dapat
dilepaskan dari pragmatik, yaitu untuk mengetahui apa yang dilakukan dengan
tanda, apa reaksi manusia ketika berhadapan dengan tanda. Dengan kata lain,
permasalahannya terdapat pada produksi dan konsumsi tulis, semiotika komunikasi
visual, semiotika kode budaya, dsb. Pengkajian kartun masuk dalam ranah
ssemiotika visual.
Awal mulanya konsep semiotika diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure
melalui dikontomi sitem tanda signified dan signifier atau signifie dan significant
yang bersifat atomistis. Konsep ini meluhat bahwa makna muncul ketika ada
hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara “yang ditandai” (signified)
dan “yang menandai” (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda
adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah
aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang
ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi,
petanda adalah aspek mental dari bahasa (Barthes, 2001:180).
4
Suatu penanda tanpa pertanda tidak berarti apa-apa dan karena itu dak
merupakan tanda. Sebaiknya, suatu pertanda tidak mungkin disampaikan atau
ditangkap lepas dari penanda: petanda tau yang ditiadakan itu termasuk tanda
sendiri dan dengan demikian merupakan suatu fakor linguistik. “Penanda dan
petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertasnya,” kata Saussure.
Terdapat tiga bidang kajian dalam semiotika: pertama, semiotika komunikasi
yang menekuni tanda sebagai bagian dari proses komunikasi. Artinya disini tanda
hanya dianggap sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang
diterima oleh penerima. Dengan kata lain, semiotika komunikasi memperhatikan
denotasi suatu tanda. Pengikut aliran ini adalah Buyssens, Prieto dan Mouin. Kedua,
semiotika konotasi, yaitu yang mempelajari makna konotasi dari tanda. Dalam
hubungan antarmanusia, sering terjadi tanda yang diberikan seseorang dipahami
secara berbeda oleh penerimanya. Semiotika konotatif sangat berkembang dalam
pengkajian karya sastra. Tokoh utamanya adalah Roland Barthes, yang menekuni
kedua makna dibalik bentuk tertentu. Yang ketiga adalah semiotika ekspansif
dengan tokohnya yang paling terkenal Julia Kristeva. Dalam semiotika jenis ini,
pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya karena digantikan oleh pengertian
produksi arti. Tujuan semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan bermimpi
menggantikan filsafat.
Roland Barthes merupakan pengikut Saussarrean yang berpandangan bahwa
sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat
tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-
hal (things). Memaknai berarti objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam
hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitunsi
sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes
dalam studinya tentang tanda adalah peran pembasa (the reader). Konotasi,
walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat
berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem
ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif yang didalam buku Mythologies-
nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
5
1. Mythologies
Buku Barthes yang berjudul Mythologies terdiri atas dua sub bab, yakni: (1)
“Mythologies”, dan (2) “Myth Today”. Jangan berharap kalau dalam buku ini
Barthes membicarakan dan mengulas tokoh-tokoh mitologi Yunani atau
Romawi seperti Zeus dan dewa-dewa Olympus lainnya, Hercules dan hero-hero
lainnya, ataupun rentetan Perang Troya sebagaimana dikisahkan dalam Iliad dan
Odiseus yang sangat dikenal tidak hanya oleh masyarakat Eropa tetapi juga
7
musim dingin, musim semi, musim panas atau musim gugur. Manusia pengguna
pakaian yang menikuti trend akan mengejar apa yang tengah menjadi simbol
status kelas menengah atas. Yang tidak mengikuti arus dunia mode akan
dikatakan manusia yang tidak fashionable alias ketinggalan mode. Tata busana
tidak menjadi sekedar pakaian tetapi juga telah menjadi mode, menjadi peragaan
busana, menjadi sebuah tontonan yang memiliki prestisenya tersendiri, menjadi
simbol status kehidupan. Hal ini tidak hanya terjadi didunia Barat saja, tetapi
tengah melanda Indonesai.
Barthes tidak salah membidik salah satu aspek ini, yakni mode, sebagai
salah satu kajian, mengingat paris merupakan kiblat model dunai. Begitulah ,
salah satu topik pembicaraan Barthes tentang aspek kebudayaan massa yakni
tentang dunia mode. Dunia yang kini penuh dengan kemewahan para model
yang memperagakannya di sejumlah catwalk pusat-pusat peragaan busan
diberbagai kota metropolis. Status seseorang dalam masyarakat seringkali
dicitrakan melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang dikenakannya.
Padahal kalau ditelusuri, dunia mode adalah salah satu plegitimasi ideologi
gender yang selama ini sering dikonter oleh para feminis.
3. Camera
Selain berbicara tentang mode, Barthes juga berbicara tentang foto,
khususnya tentang foto-foto dalam media massa dan iklan. Hak ini
diungkapkannya dalam dua artikelnya. “The Photographic Message” pada 1961
dan “Rethroric of the Image” juga pada 1961. Lewat dua artikelnya ini, barthes
menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam
media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup
menghadirkan pesan secara langsung (sebagai analog atau denotasi) dapat
meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa tersebut
sudah dilihat oleh seseorang, yakni fotografer. Akan tetapi, dibalik peristiwa
tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconis message)
yang menurut pembacanya untuk menghubungkan dengan “pengetahuan” yang
telah dimiliki sebelumnya.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tandaa-tanda adalah perangkat
yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan didunia ini,
ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Sedangkan Van
Zoest seperti dikutip oleh Rahayu S. Hidayat menjelaskan bahwa
semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang
bertalian dengan tanda.
Awal mulanya konsep semiotika diperkenalkan oleh Ferdinand de
Saussure melalui dikontomi sitem tanda signified dan signifier atau
signifie dan significant yang bersifat atomistis. Roland Barthes adalah
penerus pemikiran Saussure. Roland Barthes meneruskan pemikiran
tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman
personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dengan
konvensi yang daialami dan diharapkan penggunanya. Gagasan Barthes
ini dikenal dengan “order og signification”, mencakup denotasi (makna
sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari
pengalaman kultural dan personal). Barthes melakukan analisisnya
terhadap sejulmlah fenomena budaya pop seperti dalam Mythologies,
The fashion system, ataupun Camera Lucida.
12
DAFTAR PUSTAKA