Anda di halaman 1dari 15

SEMIOTIKA ROLAND BARTHES

MAKALAH

Digunakan untuk memenuhi tugas akhir semester

Metode Penelitian Komunikasi oleh dosen pengampuh.

Fajar Hariyanto S.I.Kom., M.I.Kom.

Disusun Oleh :

Gea Ramadhan 1611063190070


Nice Ibny 1610631190134

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

2019
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat
dan karunianya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat atas tugas dari Dosen Mata Kuliah Metode Penelitian
Komunikasi yang mengharuskan kami untuk membuat sebuah makalah mengenai
materi “Semiotika Roland Barthes”. Disamping itu sebagai media pembelajaran
kami, dalam melengkapi kegiatan perkuliahan.
Didalam makalah ini banyak sekali manfaat yang bisa diambil bagi
pembaca, selain dapat memberi wawasan yang lebih tentang Komunikasi
Organisasi, kami juga berharap pembaca dapat memahami maksud dari isi makalah
ini.
Pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
keluarga kami yang senantiasa selalu mendo’akan kami, kepada Dosen Mata Kuliah
Metode Penelitian Komunikasi yang telah mempercayakan tugas makalah tentang
Semiotika Roland Barthes ini kepada kami.

Kami merasa makalah ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan
,oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak akan kami terima dengan lapang
hati demi kesempurnaan makalah ini.

Karawang, Mei 2019

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... .................................................................................... i

DAFTAR ISI.. .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.. ................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang..... ......................................................................................... 1

1.2 Maksud Tujuan Penulisan.. ........................................................................... 2

1.3 Rumusan Masalah.. ............................................................................ ...........2

BAB II PEMBAHASAN.. .................................................................................. 3

2.1 Semiotika Roland Barthes ............................................................................. 3

2.2 Prinsip Semiotika Menurut Roland Barthes ................................................ 5

2.3 Pandangan Toland Barthes dalam Karya-Karyanya .................................... 6

BAB III PENUTUP.. ........................................................................................ 11

3.1 Kesimpulan. ................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA.. ..................................................................................... 12


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cultural studies atau yang kita kenal sebagai studi kajian budaya merupakan
hubungan atau relasi antar kebudayaan dan kekuasaan. Storey dalam bukunya yang
berjudul, Teori Budaya dan Pop (An Intiductory Guide to Cultural Theory and
Popular Studies, 1993) teelah memetakan budaya pop dalam lanskap cultural
studies. Dalam bukunya yang lebih bersifat sebagai pengenalan ini, Storey lebih
memfokuskan kajiannya pada implikasi teoritis, implikasi metodologis dan
percabangan yang terjadi pada saat-saat tertentu dalam sejarah kajian budaya pop.
Storey cenderung lebih memperlakukan teori budaya atau budaya popular sebagai
sebiah proses pembentukan wacana (discursive formation)
Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut, Storey menempatkan
Roland Barthes dalam subtopik “Strukturalisme dan Pascastrukturalisme”. Barthes
tidak hanya sering disalah pahami konsep-konsepnya, tetapi juga sering
dikategorikan sebagai seorang tokoh strukturalisme atau poststrukturalisme dan
ahli semiotika. Buku-buku yang membicarakan Barthes terutama dalam bahasa
Indonesia, seringkali terbatas dalam kategori-kategori tersebut. Tidak hanya itu,
buku-buku berbahasa Indonesia yang khusus berbicara tentang pemikir Prancis
yang lahir pada 1915 di Cherbourg, Prancis ini, tidak lebih dari hitungan jari. Sebut
saja misalnya: Semiologi Roland Barthes oleh Kurniawan (2001), Barthes, Seri
Pengantar Singkat edisi terjemahan tulisan Jpnathan Culler (2003), dan sejumlah
fenomena budaya pop antar lain Mythologies, The Fashion System dan Camera
Lucida.
Di Indonesia, Roland Barthes sering kali dikutip pendapatnya tentang
semiotika (semiologi) terutama tentang konsep pemaknaan konotatif atau yang
lebih dikenal istilah second order semiotic system. Semiotika berasal dari bahasa
Yunani: semeion yang berarti tanda. Semiotika adalah model penelitian yang
memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut mewakili suatu objek resprensentatif.
Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Istilah
2

pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu
tentangnya. Istilah semiotik lebih mengarah pada tradisi saussurean yang diikuti
oleh Charkes Sanders Pierce dan Umberto Eco, sedangkan istilah semiologi lebih
banyak dipakai oleh Barthes. Baik semiotik ataupun semiologi merupakan cabang
penelitian sastra atau seuah pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan
antara tanda-tanda.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud semiotika?
2. Bagaimana prinsip-prinsip semiotika menurut Roland Barthes?
3. Bagaimana pandangan Roland Brthes tentang paktik budaya kontemporer
dalam karya-karya?

1.3 Tujuan
1. Memaparkan tentang semiotika.
2. Menjelaskan prinsip-prinsip semiotika menurut Roland Barthes.
3. Memaparkan pandangan Roland Barthes tentang praktik budaya
kontemporer dalam karya-karyanya.
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Semiotika

Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda. Tandaa-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya
berusaha mencari jalan didunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak
mepelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to signifty) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak
hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstruksikan sistem terstruktur dari
tanda.
Sedangkan Van Zoest seperti dikutip oleh Rahayu S. Hidayat menjelaskan
bahwa semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang
bertalian dengan tanda. Berbicara tentang kegunaan semiotika tidak dapat
dilepaskan dari pragmatik, yaitu untuk mengetahui apa yang dilakukan dengan
tanda, apa reaksi manusia ketika berhadapan dengan tanda. Dengan kata lain,
permasalahannya terdapat pada produksi dan konsumsi tulis, semiotika komunikasi
visual, semiotika kode budaya, dsb. Pengkajian kartun masuk dalam ranah
ssemiotika visual.
Awal mulanya konsep semiotika diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure
melalui dikontomi sitem tanda signified dan signifier atau signifie dan significant
yang bersifat atomistis. Konsep ini meluhat bahwa makna muncul ketika ada
hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara “yang ditandai” (signified)
dan “yang menandai” (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda
adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah
aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang
ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi,
petanda adalah aspek mental dari bahasa (Barthes, 2001:180).
4

Suatu penanda tanpa pertanda tidak berarti apa-apa dan karena itu dak
merupakan tanda. Sebaiknya, suatu pertanda tidak mungkin disampaikan atau
ditangkap lepas dari penanda: petanda tau yang ditiadakan itu termasuk tanda
sendiri dan dengan demikian merupakan suatu fakor linguistik. “Penanda dan
petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertasnya,” kata Saussure.
Terdapat tiga bidang kajian dalam semiotika: pertama, semiotika komunikasi
yang menekuni tanda sebagai bagian dari proses komunikasi. Artinya disini tanda
hanya dianggap sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang
diterima oleh penerima. Dengan kata lain, semiotika komunikasi memperhatikan
denotasi suatu tanda. Pengikut aliran ini adalah Buyssens, Prieto dan Mouin. Kedua,
semiotika konotasi, yaitu yang mempelajari makna konotasi dari tanda. Dalam
hubungan antarmanusia, sering terjadi tanda yang diberikan seseorang dipahami
secara berbeda oleh penerimanya. Semiotika konotatif sangat berkembang dalam
pengkajian karya sastra. Tokoh utamanya adalah Roland Barthes, yang menekuni
kedua makna dibalik bentuk tertentu. Yang ketiga adalah semiotika ekspansif
dengan tokohnya yang paling terkenal Julia Kristeva. Dalam semiotika jenis ini,
pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya karena digantikan oleh pengertian
produksi arti. Tujuan semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan bermimpi
menggantikan filsafat.
Roland Barthes merupakan pengikut Saussarrean yang berpandangan bahwa
sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat
tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-
hal (things). Memaknai berarti objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam
hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitunsi
sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes
dalam studinya tentang tanda adalah peran pembasa (the reader). Konotasi,
walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat
berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem
ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif yang didalam buku Mythologies-
nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
5

2.2 Prinsip-Prinsip Semiotika Menurut Roland Barthes


Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada
cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kelimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,
interaksi antara konvensi dengan konvensi yang daialami dan diharapkan
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order og signification”,
mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda
yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Disinilah titik perbedaan
Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-
signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang
menandai suatu masyarakat. “Mitor” menurut barthes terletak pada tingkat kedua
penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut
akan menjadi penenda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru. Jadi ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut
akan menjadi mitor. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat
menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian makhluk halus.
Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat
pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang kramat bukan lagi
menjadi sebuah konotasi tapi perubahan denotasi pada pemaknaan tingkat kedua.
Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah
Mitos.
Roland Barthes (1915-1980) menggunakan teori signifiants-signifie dan
muncul dengan terori konotasi. Perbedaan pokoknya adalah Barthes menekankan
teorinya pada mitor dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan individual).
Barthes mengemukakan bahwa semua hal yang dianggap wajar didalam suatu
masyrakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan lainnya adalah pada
6

penekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah expression


(bentuk,ekspresi,untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk signifie). Secara teroritis
bahasa sebagai sistem memang statis, misalnya meja hijau memang berarti meja
yang berwarna hijau. Ini disebutnya bahasa sebagai first order. Namun bahasa
sebagai second order mengijinkan kata meja hijau mengemban makna
“persidangan”. Lapis kedua ini yang disebut konotasi.

2.3 Pandangan Roland Barthes dalam Karya-Karyanya


Apa yang dilakukan Barthes dalam analisisnya terhadap sejulmlah
fenomena budaya pop seperti dalam Mythologies, The fashion system, ataupun
Camera Lucida memang tidak terkait dengan apa yang dilakukan oleh Hoggart
maupun Williams di Inggris. Bahkan Barthes menulis kajian terhadap budaya
massa lebih awal, yakni pada tahun 1954-1956 yang secara reguler dia tulis untuk
sejumlah media yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul
Mythologies; dibandingkan tulisan-tulisan Hoggart maupun Williams untuk The
Brimingham center For Contemporary Cultural Studies. Tulisan Hoggart yang
berjudul The uses of Literacy (tentang kegelisahan anak-anak muda terutama
kelompok “the juke-box boys”), yang dianggap sebagai tonggak shool of thought
kajian budaya di Inggris, diterbitkan pada 1957. Oleh karena itu, Barthes dapat
digolongkan sebagai salah satu tokoh cultural studies dari kutub Pemikir Prancis
selain dari Inggris yang seringkali dikutip sebagai cikal bakal berdirinya kajian
budaya ini.

1. Mythologies
Buku Barthes yang berjudul Mythologies terdiri atas dua sub bab, yakni: (1)
“Mythologies”, dan (2) “Myth Today”. Jangan berharap kalau dalam buku ini
Barthes membicarakan dan mengulas tokoh-tokoh mitologi Yunani atau
Romawi seperti Zeus dan dewa-dewa Olympus lainnya, Hercules dan hero-hero
lainnya, ataupun rentetan Perang Troya sebagaimana dikisahkan dalam Iliad dan
Odiseus yang sangat dikenal tidak hanya oleh masyarakat Eropa tetapi juga
7

dibelahan bumi lainnya termasuk di Indonesia. Barthes sama sekali tidak


menyinggung peristiwa maupun tokoh mistis legendaris tersebut.
Pada bagian pertama buku Mythologies, Barthes mengungkapkan topik-
topik kontenporer semacam dunia gulat, romantisme dalam film, anggur dan
susu, irisan steak, wajah garbo, otak Einstein, manusia Jet, masakan oriental,
novel dan anak-anak, mainan (toys),jm mobil Citoren, plastik, fotografi, tarian
striptese, dan topik-topik pop lainnya. Sebagaimana dinyatakan dalam
pengantarnya pada cetakan pertama (1957), Barthes menyatakan bahwa tulisan-
tulisannya dalam buku ini merupakan sejumlah esai tentang topik-topik masa itu
yang dia tulis setiap bulan untuk sejumlah media massa.
Topik-topik yang menarik perhatiannya ini, tidak lain merupakan refleks
atas mitos-mitos baru masyarakat Prancis kontenporer. Lewat berbagai
analisisnya tentang peristiwa-peristiwa yang ditemuinya dalam artikel surat
kabar, fotografi dalam majalah mingguan, film, pertunjukan, ataupun pameran,
Barthes mengungkapkan sejumlah mitos-mitos modern yang tersembunyi
dibalik semua hal itu. Mitos inilah yang oleh Barthes disebut sebagai second
order siematic system, yang harus diungkapkan signifikansinya. Mitos
merupakan salah satu type of speech. Jabarnya mengenai konsep mitos-mitos
masa kini sebagai kajian sistem tanda dibicarakan pada sub bab yang kedua yang
berjudul “Myth Today”.
2. Fashion
Dalam buku The fashion System, Barthes membicarakan panjang lebar
mengenai dunia mode. Sebagaimana bukunya yang terdahulu, dalam buku ini
Barthes juga membicarakan operasi struktur penanda (signifier) mode, struktur
petanda (signified)-nya, dan struktur sign atau signifikasinya. Memang kajian
mode atau fashion Barthes tidak terlepas dari bidang semiotika yang selama ini
dikembangkannya. Dunia mode merupakan proyek model kaum aristokrat
sebagai salah satu bentuk atau wujud prestie. Pada perkembangan berikut, model
pakaian seseorang juga harus disesuaikan dengan fungsinya sebagai tanda, yang
membedakan antara pakaian orang untuk kantoran, olah raga, liburan, berburu,
upacara-upacara tertentu, bahkan untuk musim-musim tertentu seperti pakaian
8

musim dingin, musim semi, musim panas atau musim gugur. Manusia pengguna
pakaian yang menikuti trend akan mengejar apa yang tengah menjadi simbol
status kelas menengah atas. Yang tidak mengikuti arus dunia mode akan
dikatakan manusia yang tidak fashionable alias ketinggalan mode. Tata busana
tidak menjadi sekedar pakaian tetapi juga telah menjadi mode, menjadi peragaan
busana, menjadi sebuah tontonan yang memiliki prestisenya tersendiri, menjadi
simbol status kehidupan. Hal ini tidak hanya terjadi didunia Barat saja, tetapi
tengah melanda Indonesai.
Barthes tidak salah membidik salah satu aspek ini, yakni mode, sebagai
salah satu kajian, mengingat paris merupakan kiblat model dunai. Begitulah ,
salah satu topik pembicaraan Barthes tentang aspek kebudayaan massa yakni
tentang dunia mode. Dunia yang kini penuh dengan kemewahan para model
yang memperagakannya di sejumlah catwalk pusat-pusat peragaan busan
diberbagai kota metropolis. Status seseorang dalam masyarakat seringkali
dicitrakan melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang dikenakannya.
Padahal kalau ditelusuri, dunia mode adalah salah satu plegitimasi ideologi
gender yang selama ini sering dikonter oleh para feminis.
3. Camera
Selain berbicara tentang mode, Barthes juga berbicara tentang foto,
khususnya tentang foto-foto dalam media massa dan iklan. Hak ini
diungkapkannya dalam dua artikelnya. “The Photographic Message” pada 1961
dan “Rethroric of the Image” juga pada 1961. Lewat dua artikelnya ini, barthes
menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam
media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup
menghadirkan pesan secara langsung (sebagai analog atau denotasi) dapat
meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa tersebut
sudah dilihat oleh seseorang, yakni fotografer. Akan tetapi, dibalik peristiwa
tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconis message)
yang menurut pembacanya untuk menghubungkan dengan “pengetahuan” yang
telah dimiliki sebelumnya.
9

Disejumlah media massa Indonesia pada tahun 1998, ketika presiden


Soeharto yang tengah membuuhkan tanda tangan. Wakil IMF itu berdiri
mengawasi dengan posisi tangan bersedekap. Sebagai analogon atau makna
denotasi, foto ini hanya menyatakan telah terjadi penandatanganan nota
persetujuan antara RI yang diwakili Soeharto dengan IMF yang diwakili
Camdesus. Akan tetapi, posisi tangan Camdesus dan caranya memandang
Soeharto membubuhkan tanda tangan secara konotatif memaknakan dia telah
menaklukan seorang pemimpin yang telah 32 tahun berkuasa.
Contoh-contoh analisis ssemacam inilah yang dikemukakan Barthes dalam
analisisnya tentang foto. Salah satunya tentang tentara berkulit hitam yang
mengenakan seragam militer Prancis yang tengah memberikan penghormatan
militer, matanya terpancang pada bendera nasional. Foto ini menjadi sampul dari
majalah Paris-Match. Dalam analisisnya, Barthes menyatakan bahwa foto itu
ingin menyatakan Prancis sebagai sebuah negara besar, tempat para putranya,
tanpa diskriminasi warna kulit, dengan penuh setia, melayani bangsa dibawah
kibaran benderanya. Foto itu merupakan konter atas pencela kolonialisme
(Culler, 2003:53).
Seorang fotografer dalam memotret dalam meringkali memperhatikan pose,
objek yang dipilihnya, logo-teknik, dan juga sejumlah manipulasi demi
tercapainya apa yang hendak “ditulisnya”. Hal ini seringkali ditemukan dalam
sejumlah media cetak, terlebih lagi pada iklan yang lebih menekankan kekuatan
foto pada aspek-aspek daya tariknya sebagai sarana persuasif yang seringkali
memanfaatkan teman-teman keintiman, seks, kekhawatiran, dan idola (St.
Sunardi, 2004:157-158).
Hanya dalam buku Camera Lucidia, Barthes tidak memfokuskan pada foto-
foto dalam media massa dan iklan tetapi memfokuskan kajiannya pada koleksi
foto-foto pribadinya. Berbeda dengan pendekatannya pada dua artikelnya pada
1961 yang lebih memusatkan analisisnya pada semiotika atas foto sebagai
produk budaya, dalam Camera Lucidia, Barthes menyebutnya dengan
pendekatan fenomenologis sinis. Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan
sebuah pengalaman, tetapi bukan sembaran pengalaman, melainkan pengalaman
10

seorang yang mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah.


Memandang foto merupakan ziarah menuju jati dirinya yang melewati tahap
eksplorasi, animasi, dan afeksi. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi
ukuran Barthes unutk menilai kulalitas foro, karena tidak setiap foto membuat
kita terpaku pada satu titik (St. Sunardi, 2004:166).
11

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tandaa-tanda adalah perangkat
yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan didunia ini,
ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Sedangkan Van
Zoest seperti dikutip oleh Rahayu S. Hidayat menjelaskan bahwa
semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang
bertalian dengan tanda.
Awal mulanya konsep semiotika diperkenalkan oleh Ferdinand de
Saussure melalui dikontomi sitem tanda signified dan signifier atau
signifie dan significant yang bersifat atomistis. Roland Barthes adalah
penerus pemikiran Saussure. Roland Barthes meneruskan pemikiran
tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman
personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dengan
konvensi yang daialami dan diharapkan penggunanya. Gagasan Barthes
ini dikenal dengan “order og signification”, mencakup denotasi (makna
sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari
pengalaman kultural dan personal). Barthes melakukan analisisnya
terhadap sejulmlah fenomena budaya pop seperti dalam Mythologies,
The fashion system, ataupun Camera Lucida.
12

DAFTAR PUSTAKA

Nurhandayani, Chairunnisa. 2017. Semiotika Roland Barthes.


https://kupdf.net/download/semiotika-roland-
barthes_59611e89dc0d6017082be308_pdf. Diakses pada Senin 13 Mei 2019 Pukul
21.15 WIB, Karawang.

Anda mungkin juga menyukai