Kasus Carrefour
Kasus Carrefour
Pada 21 Januari 2008, nota kesepahaman (MoU) antara PT. Carrefour Indonesia
(Carrefour), PT. Sigmantara Alfindo Prime Horizon Pte.Ltd untuk membeli 75 persen
saham PT. Alfa Retailindo (Alfa) ditandatangani di Jakarta. Nota kesepahaman itu
kemudian ditindaklanjuti dengan penandatangan perjanjian jual beli saham antara
Carrefour dan Alfa pada 21 Januari 2008.
Setelah diakuisisi Carrefour, dari 30 gerai ex-Alfa, 14 ganti nama jadi Carrefour
Express, dan 16 jadi Carrefour. Dengan demikian, pasca mengakuisisi Alfa, Carrefour
beroperasi di dua format: hypermarket dan supermarket.
Carrefour dan ritel modern lainnya menjalankan kegiatan bisnisnya dengan memasok
barang dari pemasok dan menjualnya kepada konsumen. Keberadaan format ritel
modern menawarkan produk yang murah thus memberi kemudahan dan kenyamanan
bagi konsumen. Namun fitur layanan pro konsumen dan harga murah dilakukan dengan
mengeksploitasi rabat yang dimintakan kepada pemasok barang.
Oleh Carrefour, rabat yang dipersyaratkan untuk produk tertentu awalnya sebesar 20%
dari harga jualnya ke Carrefour. Besaran rabat ini kemudian mengalami kenaikan dari
tahun ke tahun. Bahkan ada di antara pemasok yang diminta rabat oleh Carrefour
sampai dengan 70% dari harga pasokannya. Selain itu pemasok juga mendapatkan
perlakuan abusive dari Carrefour berupa pengenaan biaya promosi yang sangat tinggi.
Seluruh ketentuan kerjasama tersebut dituangkan Carrefour dalam dokumen trading
terms.
Terkait dengan tindakan itu, oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),
Carrefour diperintahkan untuk melepas seluruh kepemilikannya di Alfa melalui
Putusan KPPU NO 09/KPPU-L/2009 tanggal 3 November 2009.
Paper ini akan menganalisis pertimbangan hukum yang dipakai KPPU dalam memutus
kasus akuisisi Carrefour atas Alfa. Sengketa ini menarik. Meskipun Carrefour tidak
terbukti melanggar Pasal 28 ayat (2) UU 5/1999 yang substansi normanya mengatur
tentang tindakan akuisisi yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat, namun KPPU tetap menjatuhkan sanksi administratif
berupa perintah bagi Carrefour untuk melepas seluruh kepemilikannya di Alfa.
Analisis Kasus :
Dalam putusan ini, sepertinya Majelis Hakim menjatuhkan sanksi memerintahkan
Carrefour untuk membatalkan akuisisi terhadap Alfa berdasarkan suatu penilaian
bahwa setelah melakukan akuisisi, Carrefour terbukti menyalahgunakan market power
yang dimilikinya sehingga melanggar ketentuan tentang penguasaan produksi dan/atau
pemasaran barang/jasa yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU 5/1999.
Pada dasarnya, analisis dampak bagi praktek akuisisi bertolak dari definisi praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1
angka 2 UU Persaingan Usaha. Di satu sisi, kejelasan normatif bagi kajian terhadap
akuisisi adalah analisis dampak adanya praktek monopoli dengan menggunakan
indikator pemusatan kekuatan ekonomi. Pemusatan ekonomi merujuk pada kekuatan
pasar bagi pelaku usaha yang melakukan akuisis baik sebelum dan sesudah akuisisi.
Dalam Pasal 1 angka 3 UU Persaingan Usaha, pemusatan kekuatan ekonomi adalah
penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha
sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.
Apakah dalam memutus kasus ini KPPU menerapkan analisis seperti itu?
Dalam kasus ini, KPPU menilai Carrefour terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal
17 ayat (1) UU 5/1999 tentang penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang/jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat. Untuk dapat dinyatakan melanggar Pasal 17 ayat (1) maka perlu memenuhi unsur:
(1) pelaku usaha; (2) menguasai pasar; (3) pelaku usaha tersebut menerapkan sebuah
kebijakan usaha; dan (4) kebijakan usaha tersebut dapat menimbulkan dampak negatif
berupa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Berikut ini adalah temuan-temuan KPPU terkait terpenuhi-tidaknya keempat unsur
Pasal 17 ayat (1) UU 5/1999:
Nilai HHI dan CR4 tersebut yang menandakan adanya kekuatan pasar yang dimiliki
Carrefour serta kondisi struktur industri yang kurang mendukung terciptanya pesaingan
sehat belum dapat dijadikan alasan untuk menyatakan Carrefour yang memiliki market
power tersebut melakukan pelanggaran. Market power yang dimiliki Carrefour
dinyatakan melanggar hukum persaingan usaha apabila market power tersebut secara
unilateral digunakan untuk mengeksploitasi suprplus konsumen dan/atau mencegah
pelaku usaha bersaing untuk masuk ke pasar atau bersaing secara efektif .KPPU
merujuk temuan beberapa perilaku unilateral dari Carrefour sebagai upaya untuk
mengeksploitasi surplus dari para pemasoknya.
KPPU juga menunjukkan temuan adanya tindakan pararel yang dilakukan oleh
Carrefour pada pasar bersangkutan yang terjadi pada kondisi tingkat konsentrasi yang
cenderung meningkat serta adanya entry barrier sehingga menjadikan kondisi
merugikan konsumen yang berpotensi tetap akan terjadi dalam jangka panjang
(6.3.8.17). Dengan demikian, KPPU menyimpulkan bahwa dampak syarat
perdagangan (trading terms) yang diterapkan Carrefour terhadap pemasok
menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan menghambat konsumen memperoleh
barang dan jasa yang bersaing.
Pasal 20 :
Cukup jelas
Amar Putusan
MEMUTUSKAN
1. Menyatakan bahwa Terlapor, PT. Carrefour Indonesia terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU
No. 5 Tahun 1999.