Anda di halaman 1dari 24

DIFTERI TONSIL

Nasrul,Tenri Nila Aprilia, Ied Rachma


A. PENDAHULUAN
Penyakit difteri merupakan penyakit infeksi akut yang mudah menular
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae. Difteri merupakan
masalah kesehatan sejak ribuan tahun yang lalu yang menyerang kesehatan
manusia yang dapat mengakibatkan komplikasi dan kematian. Organisasi
kesehatan dunia (WHO) mencatat sebanyak 4,5 juta kematian 10,5 juta per
tahun terjadi akibat infeksi yang bisa dicegah dengan imunisasi. Penyakit
difteri dapat dicegah dengan imunisasi sesuai dengan pengembangan program
imunisasi.1
Penyakit difteri pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Jumlah kasus difteri di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 415 kasus
dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 24 kasus sehingga presentase
angka kematian difteri sebesar 5,8%. Dari jumlah tersebut, kasus tertinggi
terjadi di Jawa Timur dengan 209 kasus dan Jawa Barat yaitu sebanyak 113
kasus. Dari seluruh kasus difteri, sebesar 51% diantaranya tidak mendapat
vaksinasi. . Terjadi peningkatan kasus yang besar di Provinsi Sumatera Barat
(KLB) dibandingkan tahun 2014 yang hanya sejumlah 9 kasus. Untuk itu
telah dilaksanakan Outbreak Respons Imunization (ORI). 2
B. DEFINISI
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai
dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan
pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri adalah
penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita.
Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna
putih keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan.
tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan
bull neck. Membran mudah berdarah apabila dilakukan pengangkatan.3
C. ANATOMI TONSIL
Cincin waldey ermerupakan jaringan limfoid yang mengelilingi
faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatine dan tonsil faringeal
(adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual,gugus limfoid lateral faring
dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di
bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.

Gambar 1. Cincin Waldeyer


a. Tonsil Palatina
Tonsil palatine adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletakdi
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior
(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).Tonsil berbentuk
oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus
yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
Lateral:M. konstriktorfaringsuperior
Anterior:M. palatoglosus
Posterior:M. Palatofaringeus
Superior :Palatummole
Inferior :Tonsil lingual
Gambar 2. Anatomi Tonsil
Secaramikroskopik tonsilterdiriatas3 komponen yaitujaringanikat,
folikelgerminativum(merupakansel limfoid)danjaringaninterfolikel(terdiri
darijaringanlimfoid).
 Fossa Tonsil
Fosa tonsilatausinustonsil dibatasiolehotot-otot orofaring, yaitu
batas anterioradalah ototpalatoglosus, batas lateralataudinding
luarnyaadalahotot konstriktorfaringsuperior.Pilaranteriormempunyai
bentukseperti kipaspada rongga mulut,mulaidari palatummole dan
berakhirdisisilaterallidah.Pilarposterioradalahototvertikalyangke atas
mencapaipalatummole,tubaeustachiusdan dasar tengkorakdan ke arah
bawah meluashinggadindinglateralesofagus, sehinggapada
tonsilektomiharushati-hati agarpilarposteriortidakterluka.Pilaranterior
danpilarposteriorbersatudibagianataspadapalatummole, kearah
bawahterpisahdanmasukkejaringandi pangkallidahdandindinglateral
faring.
 Kapsul Tonsil
Bagianpermukaanlateraltonsilditutupiolehsuatu membran
jaringanikat,yangdisebut kapsul. Walaupunpara pakaranatomi
menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa
kapsuladalahjaringanikatputih yangmenutupi4/5 bagiantonsil.
 PlikaTriangularis
Diantarapangkallidahdanbagiananteriorkutubbawah tonsil
terdapatplikatriangularis yangmerupakan suatustrukturnormalyang telah
ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab
kesukaransaat pengangkatantonsil denganjerat.Komplikasi yangsering
terjadiadalahterdapatnyasisa tonsilatauterpotongnyapangkallidah.
 Vaskularisasi
Tonsil mendapatpendarahan dari cabang-cabang A. karotis
eksterna,yaitu1) A.maksilariseksterna(A.fasialis)dengancabangnyaA.
tonsilarisdan A.palatinaasenden;2)A.maksilarisinternadengan
cabangnyaA.palatinadesenden; 3)A.lingualisdengancabangnyaA.
lingualisdorsal; 4)A. faringealasenden. Kutub bawah tonsil bagian
anteriordiperdarahiolehA. lingualisdorsaldan bagianposteriorolehA.
palatinaasenden,diantarakedua daerahtersebutdiperdarahiolehA.
tonsilaris.Kutubatastonsil diperdarahiolehA.faringealasendendanA.
palatinadesenden.Vena-venadaritonsilmembentukpleksus yang
bergabungdenganpleksusdarifaring.Aliranbalikmelaluipleksus venadi
sekitarkapsul tonsil,venalidah danpleksus faringeal.

Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil


 Aliran Getah Bening
Aliran getahbeningdari daerahtonsilakan menujurangkaian
getahbeningservikalprofunda (deepjugularnode)bagiansuperiordi
bawahM.Sternokleidomastoideus,selanjutnyake kelenjartoraksdan
akhirnyamenujuduktustorasikus.Tonsilhanya mempunyaipembuluh
getahbeningeferan sedangkanpembuluhgetahbening aferentidakada.
 Innervasi
Tonsilbagian atas mendapatsensasidariserabutsarafkeV melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.

Gambar 4. Persarafan Tonsil


 Imunologi Tonsil
Tonsil merupakanjaringanlimfoidyang mengandungsel limfosit,
0,1-0,2%darikeseluruhanlimfosittubuhpadaorangdewasa.
ProporsilimfositBdan Tpadatonsiladalah 50%:50%, sedangkan di
darah55-75%:15-30%. Padatonsilterdapatsistimimunkompleksyang
terdiriatasselM(selmembran),makrofag,sel dendritdanAPCs(antigen
presentingcells)yangberperandalamprosestransportasiantigenke sel
limfositsehingga terjadisintesisimunoglobulinspesifik. Juga terdapatsel
limfositB, limfositT, selplasma dansel pembawaIgG. Tonsilmerupakan
organlimfatiksekunderyang diperlukanuntuk diferensiasidanproliferasi
limfosityangsudahdisensitisasi.Tonsilmempunyai2fungsiutamayaitu :
1)menangkapdanmengumpulkanbahanasing dengan efektif;2)sebagai
organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigenspesifik.
b. Tonsil Tubarius
Tonsil Tubariusadalah salah satu dari empat kelompok tonsil utama
yang terdiri dari cincin tonsil Waldeyer, yang juga termasuk amandel
palatina, amandel lingual, dan amandel faring.
Tonsil tubariussangat dekat dengan torus tubarius, itulah sebabnya
tonsil ini kadang-kadang juga disebut tonsil torus tubarius.Namun,
menyamakan torus dengan tonsilnya mungkin dianggap tidak benar atau
tidak tepat.
Letak posterior ke pembukaan tuba Eustachius pada dinding lateral
nasofaring.

Gambar 5. Tonsil Lingual


c. TonsilFaringeal(Adenoid)
Adenoidmerupakanmasa limfoidyangberlobusdanterdiri dari
jaringanlimfoidyang samadengan yang terdapatpada tonsil.Lobusatau
segmentersebut tersusunteratur sepertisuatusegmenterpisahdarisebuah
cerukdengan celahataukantongdiantaranya.Lobus initersusun mengelilingi
daerahyang lebihrendahdibagiantengah,dikenalsebagaibursafaringeus.
Adenoidtidak mempunyaikriptus. Adenoidterletakdidinding belakang
nasofaring.Jaringanadenoiddi nasofaringterutamaditemukanpadadinding
atasdanposterior,walaupundapatmeluaskefosaRosenmullerdan orifisium
tuba eustachius.Ukuranadenoidbervariasipada masing-masinganak.Pada
umumnyaadenoidakanmencapaiukuranmaksimalantarausia 3-7tahun
kemudianakanmengalamiregresi.

Gambar 6. Adenoid
d . Tonsil Lingual
Tonsil lingual adalah dua gundukan kecil jaringan limfatik yang
terletak di bagian belakang pangkal lidah, satu di kedua sisi.Mereka
terdiri dari jaringan limfatik yang berfungsi untuk membantu sistem
kekebalan dalam produksi antibodi dalam menanggapi invasi bakteri
atau virus patogen.

Gambar 7.Tonsil Lingual


D. ETIOLOGI
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah
dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium
diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada
tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung
dan juga pada kulit.5
Infeksi difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, yaitu
bakteri gram positif berbentuk batang. Bakteri tersebut menghasilkan toksin
jika mengalami lisogenisasi (terinfeksi) oleh bakteriofag (virus yang
menyerang bakteri tertentu) yang mengandung informasi genetik toksin (tox
C. diphtheriae).6
Dengan adanya bakteriofag (β–corynebacteriumphage) maka galur
Corynebacterium diphtheriae yang tidak toksik dapat berubah menjadi
toksik. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya galur Corynebacterium
diphtheriae toksik dan non-toksik pada survei wabah difteri. Bukti
menunjukkan bahwa wabah lebih sering disebabkan oleh galur
Corynebacterium diphtheriae toksik yang ditularkan ke galur
Corynebacterium diphtheriae non-toksik oleh bakteriofag, daripada
ditimbulkan oleh galur Corynebacterium diphtheriae baru. Hanya galur
toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit yang parah. Ditemukan 3 galur
bakteri difteri yaitu gravis, intermedius dan mitis, semuanya memproduksi
toksin, namun tipe gravis yang paling virulen. Galur Corynebacterium
diphtheriae toksigenik jarang menginfeksi kulit dan mukosa, meskipun
demikian dapat menjadi sumber penularan.6
Sintesis toksin difteri diatur oleh protein yang disandi oleh gen
kromosom bakteri. Toksin difteri akan dihasilkan maksimal bila konsentrasi
besi dalam medium rendah. Toksin difteri dibuat dan disekresi dalam bentuk
rantai polipeptida tunggal, dapat dipotong dengan enzim protease menjadi
bentuk yang lebih kecil yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen A bersifat
toksik akan menghambat sintesis protein sel inang sehingga menyebabkan
kematian sel. Fragmen B tidak toksik tetapi berperan pada proses pelekatan
dan penetrasi ke sel inang. Tanpa penetrasi, fragmen A tidak bisa aktif.1,8
Struktur kristal toksin difteri telah diketahui dan menunjukkan 3 bagian
berbeda, yaitu bagian Catalytic (C),Transmembran (T) dan Receptor-binding
(R). Patogenesis difteri tergantung pada toksin difteri, namun organisme yang
virulen tidak selalu berhubungan dengan galur yang produktif menghasilkan
toksin.6
Manusia adalah satu-satunya reservoir Corynebacterium diptheriae.
Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah,
melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit. Tanda dan gejala
berupa infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas, adanya nyeri
tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi (kurang dari 38,5º C), dan
ditemui adanya pseudomembrane putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil,
faring, atau laring yang tak mudah lepas, serta berdarah apabila diangkat.
Sebanyak 94 % kasus Difteri mengenai tonsil dan faring.5
D. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia jumlah kasus difteri pada tahun 2016 sebanyak 415
kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 24 kasus sehingga presentasi
angka kematian yaitu sebesar 5,8%. Dari jumlah tersebut, kasus tertinggi
terjadi di Jawa Timur dengan 209 kasus dan Jawa Barat yaitu sebanyak 133
kasus. Dari seluruh kasus difteri, sebesar 51% diantaranya tidak mendapatkan
vaksinasi.2
Gambaran kasus menurut kelompok umur pada tahun 2016
menunjukkan bahwa 59 % kasus difteri terjadi pada kelompok umur 5 – 9
tahun dan 1 – 4 tahun. Kelompok umur ≥ 15 tahun memiliki jumlah kasus
yang rendah yaitu sebanyak 28 % dan 11 % kasus pada kelompok umur 10 –
14 tahun. Gambaran perkembangan difteri di Indonesia mulai tahun 2010-
2017 tertera pada Grafik 1. Sementara gambaran Case Fatality Rate
berdasarkan kelompok umur pada tahun 2017 tertera pada Grafik 2.2,3
Grafik 1. Perkembangan difteri di Indonesia3

Grafik 2. Case fatality rate berdasarkan kelompok umur3


E. PATOGENESIS
Patogenesis infeksi bakteri meliputi langkah awal proses infeksius dan
mekanisme selanjutnya yang menimbulkan perkembangan gejala penyakit.
Corynebacterium diphtheriae memiliki faktor virulensi yang
memungkinkannya untuk menginvasi sel epitel saluran pernafasan atas dan
kemudian menghasilkan suatu eksotoksin. Kemampuan invasi dan virulensi
basil difteri ditentukan oleh antigen K bersama-sama dengan glikolipid.
Antigen K adalah suatu protein termolabil dan terdapat pada permukaan
dinding sel. Antigen ini berperan penting dalam imunitas antibakteri dan
hipersensitivitas, tetapi tidak ada hubungannya dengan imunitas anti toksin.
Selain antigen K, basil difteri juga memiliki cord factor berupa glikolipid
yang mengandung mycolic acids. Pada tikus, cord factor ini terbukti
menyebabkan kerusakan mitokondria, mereduksi resprasi, mereduksi
fosforilasi dan mengakibatkan kematian sel.4
Toksin menimbulkan peradangan dan destruksi epitel pada daerah
yang terinfeksi, akibatnya akan terjadi nekrosis jaringan dan terbentuk
membran palsu (pseudomembran). Pseudomembran diikuti dengan terjadinya
edema jaringan mukosa dibawahnya. Inilah yang sering menyebabkan
terjadinya obstruksi saluran nafas.7
Setelah menginvasi epitel saluran pernafasan atas, Corynebacterium
diphtheriaeakan membentuk koloni pada tenggorokan dan kemudian
menghasilkan enzim neuraminidase yang akan memecah Nacetylneuraminic
acid (NAN) pada permukaan sel untuk menghasilkan piruvat yang berperan
sebagai pemicu pertumbuhan. Corynebacterium diphtheriae juga
menghasilkan diphthine, yaitu suatu protease yang menginaktifkan IgA.
Corynebacterium diphtheriae juga akan menghasilkan protein eksotoksin
yang potensial, toksin difteri, yang akan memasuki aliran darah lalu
didistribusikan ke jaringan-jaringan tubuh dan menyebabkan gejala difteri
disertai gejala komplikasi, terutama miokarditis dan neuritis.4
Gambar 1. Kolonisasi Corynebacterium diphtheriae4

Gambar 2. Skema patogenesis 4


F. MANIFESTASI KLINIS
Tergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai keadaan berat dan fatal. Sebagai faktor
primer adalah imunitas pejamu, virulensi serta toksigenitas Corynebacterium
diphtheriae(kemampuan kuman membentuk toksin) dan lokasi penyakit
secara anatomis. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Berikut ini adalah
beberapa jenis difteri menurut lokasinya.3
a. Difteri Saluran Napas
Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx
kemudian hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering
terjadi pada bayi, menyebabkan sekret serosanguinis, purulen, dan rhinitis
erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus dangkal dari nares
eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan
pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali
muncul. Separuh pasien memiliki gejala demam dan sebagian lagi
mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise atau sakit kepala. Injeksi
pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran tonsilar baik uni
maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis
yang dimediasi oleh toksin), palatum molle, oropharynx posterior,
hypopharynx, atau area glotis.3
b. Difteri hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan
gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen,
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat
dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat
dibuat.3
c. Difteri Tonsil dan Faring
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam
ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran
yang mudah perdarah, melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke
bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema
jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala
tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus
berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum
molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan
regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai
10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur dan
bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan,
membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi
penyembuhan sempurna.3
d. Difteri laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada
difteria laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring karena
mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan
mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih
mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan dengan gejala
sindrom croup, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau
dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan
membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada
kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial.
Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring maka
gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.3
e. Difteri Kulit
Difteri kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan
ulkus superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di
atasnya, sulit dibedakan dengan impetigo akibat Stapyllococcus/
Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada
banyak kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada dermatosis,
laserasi, luka bakar, tersengat atau impetigo. Ekstremitas lebih sering
terkena daripada leher atau kepala. Infeksi simtomatik atau kolonisasi
kuman di traktus respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi pada
sebagian kecil penderita difteria kulit.3
f. Difteri Pada Tempat Lain
Corynebacterium diphtheriae dapat menyebabkan infeksi
mukokutaneus pada tempat lain, seperti di telinga (otitis eksterna), mata
(purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan traktus genitalis (purulen dan
ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis terdapat ulserasi, pembentukan
membran dan perdarahan submukosa membantu dalam membedakan
difteria dari penyebab bakteri lain dan virus.Difteria pada mata dengan
lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret
purulen dan berbau.3

Gambar 1. Difteri pada Tonsil10 Gambar 2. Difteri pada Bibir10

Gambar 3. Difteri pada Kulit10 Gambar 4. Bull – neck10


G. DIAGNOSIS
Diagnosis difteria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium. Ditemukan kuman difteria dengan pewarnaan Gram secara
langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan
identifikasi secara flourescent antibody technique, tetapi untuk ini diperlukan
seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi Corynebacterium
diphtheriaedengan pembiakan pada media Loeffler atau dengan media baru
Amies dan Stewart dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo
(marmut) dan in vitro (tes Elek). Beberapa definisi yang dipakai untuk
memudahkan dilapangan.3
Kasus suspek difteri adalah orang dengan gejala laryngitis,
nasofaringitis atau tonsillitis ditambah pseudomembran putih keabuan yang
tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring, tonsil. Kasus probable
difteri adalah suspek difteri ditambah salah satu dari: a) pernah kontak dengan
kasus (<2minggu), b) berasal dari daerah endemis difteri, c) Stridor, bullneck,
perdarahan submukosa atau ptekie pada kulit, d) gagal jantung, gagal ginjal
akut, miokarditis dan kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah awitan, e)
kematian. Kasus konfirmasi difteri adalah kasus probable yang hasil isolasi
ternyata positif Corynebacterium diphtheriaetoksigenik (dari usap hidung,
tenggorok, ulkus kulit, jaringan, konjungtiva, telinga, vagina) atau serum
antitoksin meningkat 4 kali lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum
diperoleh sebelum pemberian toksoid difteri atau antitoksin).7 Sementara
kasus karier adalah orang yang tidak menunjukan gejala klinis, tetapi hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukan positif Corynebacterium diphtheriae.3
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pada kasus difteri dibagi berdasarkan lokasi membran,
yaitu :
1. Difteria hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah
rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam
hidung, snuffles (lues kongenital).3
2. Difteria tonsil dan faring, harus dibedakan dengan tonsilitis
mebranosa akut yang disebabkan oleh Streptococcus (tonsilitas akut,
septic sore throat), mononukleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa
non-bakterial, tonsilitis herpetika primer.3
Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang ditandai
nyeri tenggorok, nyeri menelan, panas, dan malaise. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesarantonsil, eritema dan
eksudat pada permukaan tonsil.12
3. Difteria laring, gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat
menyerupai croup sindroma yang lain, yaitu spasmodic croup,
angioneurotik edema pada laring, dan benda asing dalam laring.
4. Difteria kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh Streptococcus atau Stapyllococcus.3
I. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadi minimal, mengeliminasi Corynebacterium diphtheriae untuk
mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.8
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut dengan jarak 24 jam. Pada umumnya
pasien tetap diisolasi selama 2 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang
lebih 2-3 minggu bila terjadi komplikasi miokarditis, pemberian cairan serta
diet yang adekuat. Dilakukan pemeriksaan jantung (EKG) dan neurologis
untuk mengetahui ada/tidaknya komplikasi.8
Khusus
1. Antitoksin: Anti Diphteria Serum
Antitoksin diberikan segera setelah ditegakkan diagnosis difteri.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6,
angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.8
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu,
oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji
kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi >10 mm. Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-100.000 KI.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness). Kemungkinan terjadi reaksi
anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit setelah pemberian
ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum sickness (8,8%)
7-10 hari kemudian.8
Tabel 1. Dosis ADS Berdasarkan Lokasi Membran8
Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara Pemberian
Difteri kulit 20.000 Intravena
Difteri Hidung 20.000 Intravena
Difteri Tonsil 40.000 Intravena
Difteri Faring 40.000 Intravena
Difteri Laring 40.000 Intravena
Difteri Nasofaringeal 40.000 Intravena
Kombinasi lokasi diatas, tanpa 80.000 Intravena
melibatkan hidung/nasal
Difteri + penyulit dan/atau 80.000 – 100.000 Intravena
ditemukan bullneck
Terlambat berobat (> 72 jam), 80.000 – 100.000 Intravena
lokasi dimana saja
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 25.000 - 50.000 U/kgBB/hari
(maksimum 1,2 juta U/hari) diberikan secara intramuskular (IM) selama
14 hari. Bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan
eritromisin 40 mg/kgBB/hari (maksimum 2 g/hari) dibagi 4 dosis, interval
6 jam selama 14 hari.8
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan untuk kasus difteri yang disertai dengan
gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak
bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2
mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.8
4. Trakeostomi
Ditemukannya obstruksi saluran napas karena membran dan edema
perifaringeal, bahkan apabila telah tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeostomi.8
5. Pengobatan Kontak
Kontak erat adalah orang serumah atau orang lain yang memiliki
kontak erat satu rumah, guru, petugas kesehatan yang terpapar dengan
sekret nasofaring, orang-orang yang menggunakan perangkat masak atau
makan minum yang sama dan pengasuh anak yang terinfeksi. Pada orang
yang mengalami kontak tanpa memandang status imunisasi seyogyanya
diimunisasi sampai hal-hal berikut dilakukan yaitu (a) Biakan hidung dan
tenggorok (b) Gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlewati
(c) Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid
difteri, yang belum diimunisasi segera melengkapi imunisasi.8
Profilaksis dapat diberikan pada konttak dekat yaitu orang-orang
yang terpapar dengan sekret pernapasan pasien atau yang tinggal bersama
dengan pasien. profilaksis yang dapat diberikan berupa antibiotik
benzylpenisilin intramuskular dengan dosis 600.000 IU untuk usia
dibawah 6 tahun dan 1.200.000 IU untuk usia lebih dari 6 tahun, dosis
tunggal.11
6. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan
gejala difteri, tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri
dalam nasofaringnya. Pengobatan untuk karier adalah eritromisin 40-50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari).
Eritromisin lebih superior daripada penisilin untuk eradikasi karier difteri
nasofaring. Pemantauan dilakukan sampai ada hasil kultur, jika masih
positif, antibiotik diberikan lebih lama.8
J. PENCEGAHAN
Hal penting yang perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan adalah
memelihara kualitas vaksin, memperkuat program imunisasi lebih lanjut
dengan norma yang lebih ketat untuk dokumentasi sejarah vaksinasi,
meningkatkan cakupan vaksin dan memberikan kekebalan seumur hidup
dianjurkan.9
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya,
setelah seorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini
sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari
imunisasi DPT dan pengobatan karier. Imunitas pasif diperoleh secara
transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan
suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 minggu. Imunitas aktif
diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta
imuni sasi toksoid difteria. Imunisasi DPT sangat penting untuk
mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas ambang pencegahan dan
imunisasi ulangan sangat diperlukan agar lima kali imunisasi sebelum usia 6
tahun. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji
Moloney.3

Gambar 3. Jadwal Imunisasi


K. KOMPLIKASI
Komplikasi difteri disebabkan efek sistemik dari absorbsi toxin difteri.
Komplikasi termasuk myocarditis, gagal ginjal, shock septic yang terjadi
karena toxemia difteridan paralisis nervus. Tingkat kematian 5-10% pada
difteri saluran napas terjadi sedikit perubahan pada 50 tahun terkahir. Difteri
pada saluran napas biasaya terbentuk dalam beberapa hari dan komplikasi
dapat berlangsung bulanan.3
Myocarditis ditandai sebagai irama yang tidak normal dan dapat
terjadi lebih awal dalam penyakit atau beberapa minggu kemudian dan dapat
menyebabkan gagal jantung. Jika myocarditis terjadi lebih awal, hal ini sering
fatal.3
Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Paralisis pada
palatum durum paling sering terjadi pada minggu ke-3. Paralisis otot mata,
ekstremitas dan diafragma dapat terjadi setelah minggu ke-5. Pneumonia
sekunder dan kelumpuhan diafragma dapat menyebabkan kegagalan napas.
Komplikasi lainnya termasuk otitis media dan obstruksi napas.3
L. PROGNOSIS
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik
daripada sebelumnya. Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum di
imunisasi, masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan
oleh karena obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya
membran difteria, adanya miokarditis dan gagal jantung, dan paralisis
diafragma sebagai akibat neuritis nervus frenikus. Anak yang pernah
menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya
akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah
dilaporkan kelainan jantung yang menetap.3
Walaupun dilakukan pengobatan, 1 dari 10 pasien difteri
kemungkinan meninggal. Tanpa pengobatan 1 dari 2 pasien difteri
meninggal.8
Kematian pada tonsilitis difteri dapat terjadi akibat komplikasi
sumbatan jalan napas atas dan komplikasi jantung akibat efek sistemik toksin
difteri, meskipun sumbatan jalan napas telah diatasi. Terapi antidifteri serum
harus diberikan sesegera mungkin setelah dicurigai tonsilitis difteri untuk
mencegah kematian. Status imunisasi difteri individu yang tidak lengkap dan
juga akibat cakupan imunisasi wilayah yang rendah dapat meningkatkan
mortalitas tonsilitis difteri.11
M. KESIMPULAN
Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau
droplet dari penderita. Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran
tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan
penyumbatan karena peradangantonsil dan meluas ke struktur yang
berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah
berdarah apabila dilakukan pengangkatan.
Infeksi difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, yaitu
bakteri gram positif berbentuk batang. Bakteri tersebut menghasilkan toksin
jika mengalami lisogenisasi (terinfeksi) oleh bakteriofag (virus yang
menyerang bakteri tertentu) yang mengandung informasi genetik toksin (tox
C. diphtheriae). Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada tempat
infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga
pada kulit.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan
lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-
100.000 KI.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfina R, Isfandiari MA. Faktor Yang Berhubungan dengan Peran Aktif


Kader Dalam Penjaringan Kasus Probable Difteri. Jurnal Berkaala
Epidemiologi. Vol. 3 No. 3. Surabaya: 2015.
2. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
3. Hartoyo E. Difteri Pada Anak. Jurnal Sari Pediatri. Vol.19 No. 5.
Banjarmasin: 2018.
4. Rusmana Det al. Mekanisme Toksigenitas Molekuler dan Potensi Medik
Toksin Difteri. JKM. Vol. 5 No. 2. Februari 2006.
5. Kemenkes RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri Tahun
2017.
6. Handayani S. Deteksi Kuman Difteri dengan Polymerase Chain Reaction
(PCR).CDK-191. Vol. 39 No. 3. 2012.
7. Sumarno et al. Potensi Gen dtx dan dtxR Sebagai Marker Untuk Deteksi
dan Pemeriksaan Toksigenitas Corynebacterium diphteriae. Buletin
Penelitian Kesehatan. Vol. 41 No 1. 2013.
8. IDAI. Tatalaksana Difteri. Diakses tanggal 20
Agustus2018http://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-
ikatan-dokter-anak-indonesia-Penatalaksanaan-difteri
9. Parande, Mahantesh V. et al. Diphtheria outbreak in rural North
Karnataka. Journal of Indian Council of Medical Research. Belgaum,
Karnataka, India. Published by SGM. 2014. Page 1 to 3.
10. Dinkes. Waspada Penyakit Difteri. Diakses tanggal 04 September 2018.
http://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokumen/PPID_DINKES_PROVJA
TIM_DIFTERI.
11. Hutauruk SM, Fauziah F, Sevi A. Tonsilitis Difteri dengan Sumbatan
Jalan Napas Atas. Laporan Kasus. ORLI Vol. 48. No. 1. 2018.
12. Novialdi N, M. Rusli P. Mikrobiologi Tonsilitis Kronis. Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M Djamil Padang. 2011.

Anda mungkin juga menyukai