Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Teori Balita

Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita)

dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia balita, anak masih tergantung

penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti

mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan

sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas (Sutomo

dan Anggraeni, 2010).

Pada usia prasekolah akan menjadi konsumen aktif yaitu mereka

sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Perilaku makan sangat

dipengaruhi oleh keadaan psikologis, kesehatan dan sosial anak. Oleh

karena itu keadaan lingkungan dan sikap keluarga merupakan hal yang

sangat penting dalam pemberian makan pada anak agar anak tidak cemas

dan khawatir terhadap makanannya (Proverawati dan wati, 2010).

Masa Batita (dibawah usia tiga tahun atau Toddler) dan Balita (usia

dibawah lima tahun atau The Under-Fives) merupakan masa penting

khusunya tumbuh kembang jaringan otak, dimana terjadi proses pesat dan

memerlukan banyak energi untuk itu. Pada masa itu diperlukan nutrisi yang

adekuat dan stimulasi yang banyak sekali untuk dapat berkembang dengan

baik. Jaringan otak akan mencapai 50% otak dewasa pada usia 3 tahun, 80%

pada usia 5 tahundan 90% pada usia 8 tahun (Ranuh, 2013).


Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat

jasmani, sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan.

Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional, mengingat angka

kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi (Kusumawati,

2010).

2. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

a. Definisi ISPA

Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran

napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga

telinga tengah, pleura) (Kemenkes, 2011).

ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang

tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14

hari, ISPA adalah penyakit yang mengenai struktur saluran di atas

laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan

bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran

pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat

menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit

tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan

mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan,

dan faktor pejamu (WHO, 2007).

Jadi, ISPA adalah infeksi saluran pernapasan akut yang menyerang

baik saluran pernapasan atas maupun bawah, berlangsung kurang lebih


14 hari dan umumnya adalah penyakit yang sifatnya menular tergantung

pada penyebabnya.

b. Klasifikasi ISPA

Menurut Irianto (2014) ISPA diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :

1) Bukan pneumonia, mencakup kelompok pasien balita dengan batuk

yang tidak menunjukan gejala peningkatan frekuensi napas dan

tidak menunjukan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke

arah dalam. Contohnya adalah common cold, faringitis, tonsilitis,

dan otitis.

2) Pneumonia, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran

bernapas. Diagnosis gejala ini berdasarkan umur. Batas frekuensi

napas cepat pada anak berusia dua bulan sampai < 1 tahun adalah 50

kali per menit dan untuk anak usia 1 sampai < 5 tahun adalah 40 kali

per menit.

3) Pneumonia berat, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran

bernapas disertai sesak napas atau tarikan dinding dada bagian

bawah ke arah dalam (chest indrawing) pada anak berusia 2 bulan

sampai < 5 tahun. Untuk anak berusia < 2 bulan, diagnosis

pneumonia berat ditandai degan adanya napas cepat yaitu frekuensi

pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya

tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke arah dalam (severe

chest indrawing).
c. Epidemiologi ISPA

Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode penyakit

batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun

(rata-rata 4 kali per tahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan

serangan batuk pilek sebanyak 3-6 kali setahun. Angka kesakitan dikota

cenderung lebih besar daripada didesa. Hal ini mungkin disebabkan oleh

tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan di kota

yang lebih tinggi daripada didesa (Irianto, 2014).

d. Etiologi ISPA

1) Bakteri : diplococcus pneumoniae, pneumococcus streptococcus

pyogenes, staphylococcus aureus, haemophilus influenzae, dan lain-

lain.

2) Virus : influenzae, adenovirus, silomegalovirus.

3) Jamur : aspergilus sp., candida albicans, histoplasma, dan lain-lain.

4) Aspirasi : makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (Bahan Bakar

Minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir,

benda asing (biji-bijian, mainan plastik kecil, dan lain-lain).

(Irianto, 2014).

e. Gambaran Klinis

Napas cepat bila anak usia :

1) < 2 bulan : 60 kali per menit atau lebih

2) 2 bulan sampai < 1 tahun : 50 kali per menit atau lebih

3) 1 tahun sampai 5 tahun : 40 kali per menit atau lebih

Penentuan adanya tanda bahaya :


1) Tidak bisa minum

2) Kejang

3) Kesadaran menurun

4) Stridor

5) Gizi buruk

6) Demam atau dingin (khusus untuk bayi berusia < 2 bulan)

Klasifikasi penyakit:

1) Tanpa napas cepat (bukan pneumonia)

2) Dengan napas cepat saja (pneumonia)

3) Ada tanda bahaya (pneumonia berat)

(Irianto, 2014)

f. Faktor-faktor penyebab ISPA

Menurut Maryunani (2010) banyak faktor yang berperan terhadap

terjadinya ISPA, yaitu faktor lingkungan, faktor intrinsik (individu

anak) dan faktor ekstrinsik. Adapun faktor-faktor tersebut adalah

sebagai berikut :

1) Faktor lingkungan

a) Kondisi Fisik Rumah

(1) Ventilasi

Ventilasi adalah tempat sirkulasi/pertukaran udara.

Untuk pengukuran ventilasi dikategorikan 2 yaitu : ventilasi

baik jika ukuran ventilasi >10% luas lantai dan ventilasi


yang dikategorikan buruk jika ventilasi berukuran <10%luas

lantai (Ristanti, 2012).

Rumah yang sehat minimal memiliki luas ventilasi

10% dari luas lantai rumah. Begitu juga kamar, memiliki

ventilasi dengan luas minimal 10 % dari luas lantai. 10%

disini adalah ventilasi yang tidak permanen seperti pintu dan

jendela. Peran ventilasi adalah untuk pertukaran udara, yaitu

untuk menjaga keseimbangan oksigen untuk bernapas para

penghuni rumah (Munaya, 2013).

(2) Pencahayaan

Pencahayaan, adalah kebutuhan cahaya untuk

menyinari seluruh ruangan baik yang alami maupun buatan.

Untuk pengukuran pencahayaan di kategorikan 2 yaitu:

Pencahayaan yang tergolong baik apabila sinar matahari bisa

menerangi ruangan yang ada dan pencahayaan yang

tergolong buruk apabila sinar matahari tidak dapat

menerangi ruangan yang ada (Ristanti, 2012).

Penerangan alami diperoleh dengan masuknya sinar

matahari kedalam ruangan melalui jendela, celah maupun

bagian lain dari rumah yang terbuka, selain untuk

penerangan, sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan,

mengusir nyamuk atau serangga lainnya dan membunuh

kuman penyebab penyakit tertentu (Dewi dkk, 2014).


(3) Kelembaban

Kelembaban udara, adalah kondisi udara yang tidak kering

artinya banyak mengandung uap air dalam ruangan. Untuk

pengukuran kelembaban udara dikategorikan 2 yaitu :

kelembaban udara 40%-70% dikategorikan memenuhi

syarat kesehatan dan kelembaban udara <40% dan >70%

dikategorikan tidak memenuhi syarat kesehatan (Ristanti,

2012).

(4) Jenis lantai

Lantai yang tidak memenuhi syarat menghasilkan

banyak debu serta lembab dan kotor akan menyebabkan

organisme berkembang biak dan akhirnya akan terhirup oleh

balita dan menyebabkan infeksi saluran pernapasan

(Munaya, 2013). Lantai yang baik adalah yang terbuat dari

ubin atau semen. Syarat yang penting disini adalah tdak

berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim

hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak

berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian

dipadatkan dengan benda-benda yang berat, dan dilakukan

berkali-kali. Lantai yang basah dan berdebu merupakan

sarang penyakit gangguan pernapasan (Suhandayani, 2007).

(5) Jenis dinding

Dinding rumah sebaiknya kedap air yang berfungsi untuk

mmendukung atau menyangga atap, menahan angin dan air


hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar, serta

sebagai penjaga kerahasiaan penghuninya. Pada dinding

yang kotor, jamur dan bakteri akan tumbuh dan akan

menimbulkan alergi dan infeksi jika terhirup oleh

penghuninya khususnya balita (Munaya, 2013).

(6) Jenis atap

Atap merupakan salah satu konstruksi bangunan rumah yang

penting. Hal ini disebakan karena atap berfungsi untuk

melindungi penghuni rumah dari panas maupun hujan. Atap

yang buruk memungkinkan hujan maupun debu masuk

kedalam rumah yang akan mengganggu kesehatan penghuni

rumah (Munaya, 2013).

b) Kepadatan hunian rumah, yaitu keadaan tempat tinggal yang

padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah

ada. Kepadatan hunian yang tidak sehat menyebabkan

mudahnya mikroorganisme menular dari satu orang ke orang

lainnya terutama pada balita karena rentan terhadap infeksi

(Munaya, 2013).

c) Kebersihan rumah

Kebersihan rumah adalah salah satu faktor yang berpengaruh

terhadap kesehatan penghuninya. Ruangan dalam rumah jika

tidak rutin dibersihkan akan membuat debu mengendap dan

beterbangan sehingga akan menimbulkan penyakit ISPA

terutama pada balita/anak. Ruangan yang tidak bersih juga dapat


mengundang masuknya berbagai vektor penyebab penyakit

seperti nyamuk, lalat, tikus, kecoa, dan lain-lain (Sintha, 2016).

d) Pencemaran udara didalam dan diluar rumah

Pencemaran udara didalam rumah, seperti asap rokok dan hasil

pembakaran untuk memasak dengan konsentrasi tingi dapat

merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan

memudahkan timbulnya penyakit ISPA. Hal ini lebih

memungkinkan karena bayi atau anak balita lebih lama berada

dirumah sehingga dosis pencemaran tentunya lebih tinggi.

Pencemaran udara diluar rumah juga mendukung risiko

terjadinya ISPA dimana polusi dan debu yang beterbangan akan

masuk ke saluran pernapasan sehingga memudahkan balita

terkena ISPA, seperti yang kita tahu bahwa organ balita belum

cukup matur sehingga sistem imun tidak bekerja dengan

optimal.

2) Faktor Intrinsik

Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam

tubuh balita itu sendiri. Faktor intrinsik adalah faktor yang

meningkatkan kerentanan pejamu terhadap kuman. Faktor intrinsik

terdiri dari :
a) Umur

Insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi

dan anak-anak usia dini. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12

bulan (Maryunani, 2010).

Bayi dibawah 3 bulan memiliki kecepatan infeksi lebih

rendah, yang kemungkinan disebabkan oleh fungsi protektif dari

antibodi maternal. Kecepatan infeksi meningkat dari usia 3-6

bulan, waktu antara hilangnya antibodi maternal dan munculnya

antibodi bayi sendiri. Kecepatan infeksi terus meningkat selama

todler dan usia prasekolah. Pada saat anak mencapai usia 5

tahun, infeksi pernapasan akibat virus cenderung jarang terjadi,

namun insidensi Mycoplasma pneumoniae dan Streptokokus β

grup A mengalami peningkatan. Jumlah jaringan limfoid selama

masa kanak-kanak pertengahan, dan pajanan berulang terhadap

organisme menyebabkan peningkatan imunitas sejalan dengan

bertambah besarnya anak (Wong, 2008).

b) Jenis kelamin

Kejadian ISPA pada anak dibawah usia 5 tahun didominasi

oleh anak laki-laki. Anak laki-laki lebih rentan terkena ISPA

karena aktivitasnya yang lebih aktif dibandingkan anak

perempuan. Selain itu, hal ini disebabkan karena faktor

hormonal karena terdapat perbedaan respons immunologis

antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan ISPA lebih


sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan

(Iskandar dkk, 2015).

c) Berat badan lahir

BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2.500

gram, tanpa memandang usia kehamilan. BBLR dibedakan

menjadi dua bagian : pertama, BBL sangat rendah bila berat

badan lahir < 1.500 gram dan kedua, BBLR bila berat badan lahir

antara 1.501-2.499 gram (Zaviera, 2008). Masalah BBLR masih

merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal

dan juga merupakan penyebab kematian pada bayi (Umboh,

2013).

Bayi BBLR mudah terserang infeksi. Hal ini disebabkan

karena daya tahan tubuh bayi terhadap infeksi kurang karena

antibodi relatif belum terbentuk dan daya fagositosis serta reaksi

terhadap peradangan belum baik (Lestari, 2016).

Balita yang lahir BBLR lebih besar risikonya terdiagnosa

ISPA. Hal ini dikarenakan pada bayi yang BBLR organ-organ

pernapasanya belum matang yang menyebabkan pengembangan

paru kurang adekuat, otot-otot pernapasan masih lemah dan

pusat pernapasan masih belum berkembang.

Pada kongres European Prenatal Medicine II di London

diusulkan definisi sebagai berikut:

(1) Preterin Infant (bayi kurang bulan : masa gestasi kurang dari

269 hari (37 minggu)).


(2) Term infant (bayi cukup bulan : masa gestasi 259-293 hari

(37-31 minggu)).

(3) Post term infant (bayi lebih bulan, masa gestasi 254 hari atau

lebih (42 minggu atau lebih)).

Menurut Lestari (2016) penyebab BBLR yaitu:

(1) Faktor ibu seperti : riwayat kelahiran prematur sebelumnya,

perdarahan antepartum, malnutrisi, hidromion, penyakit

jantung/penyakit kronis lainnya, umur ibu < 20 tahun atau >

35 tahun, jarak dua kehamilan yang terlalu dekat, infeksi,

dan penderita DM berat.

(2) Faktor janin seperti : cacat bawaan, kehamilan ganda/gemili,

dan ketuban pecah dini/KPD.

(3) Keadaan sosial ekonomi yang rendah

(4) Kebiasaan

(5) Idiopatik

d) Status Gizi

Anak balita usia 1-5 tahun (usia prasekolah) merupakan

kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit, khususnya

penyakit infeksi seperti diare dan ISPA. Gizi merupakan salah

satu penentu kulaitas sumber daya manusia. Gizi kurang pada

balita tidak hanya memengaruhi gangguan pertumbuhan fisik,

tetapi juga memengaruhi kualitas kecerdasan perkembangan

dimasa mendatang (Adriani, 2012).


Anak-anak pada periode usia ini mempunyai dorongan

pertumbuhan yang biasanya bertepatan dengan periode

peningkatan masukan dan nafsu makan. Kebutuhan masing-

masing zat gizi untuk kelompok balita dan anak harus sesuai

dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Selain zat gizi

esesial, kebutuhan cairan juga harus diperhatikan karena penting

bagi anak untuk mencegah dehidrasi selama bergerak dan

berolahraga, karena anak-anak beresiko stress akibat dehidrasi

dan panas. Sulit makan merupakan ciri khas anak prasekolah dan

juga anak sekolah, karena pertumbuhan mereka lebih lambat

dibandingkan pada saat mereka bayi. Anak balita tidak bisa

diharapkan makan sebanyak saat mereka bayi ataupun dipaksa

mengikuti pola makan orang dewasa. Nafsu makan anak

bergantung pula dengan aktivitas dan kondisi kesehatan mereka

(Sulistyoningsih, 2011).

Kekurangan gizi dapat terjadi pada bayi dan anak yang

mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang

apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa.

Usia batita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan

yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas

sekaligus priode kritis. Priode emas dapat diwujudkan apabila

masai bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk

tumbuh kembang optimal (Hernawati, 2017).


Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang

ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya

tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan

menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan

mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang,

balita lebih mudah terserang ISPA bahkan serangannya lebih

lama (Maryunani, 2010).

e) Imunisasi Balita

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan

seseorang sacra aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila

kelak terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan menderita

penyakit tersebut karena sistem imun tubuh mempunyai sistem

memori (daya ingat), ketika vaksin masuk kedalam tubuh maka

akan dibentuk antibodi untuk melawan vaksin tersebut dan

sistem memori akan menyimpannya sebagai suatu pengalaman.

Imunisasi diberikan pada anak karena sistem imunnya yang

belum sempurna dan sangat rentan terkena infeksi (Mulyani,

2013). Jadi anak yang telah mendapatkan imunisasi lengkap

tubuhnya akan bertambah kekebalan tubuhnya sehingga tidak

mudah terserang penyakit yang sering dialami oleh anak seperti

penyakit ISPA.

Program imunisasi yang telah dijalankan selama ini, berhasil

menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit yang

dapat dicegah dengan imunisasi (Irianto, 2014). Imunisasi


lengkap perlu diupayakan untuk mengurangi faktor yang

menyebabkan peningkatkan mortalitas penyakit ISPA pada

balita (Ranuh, 2013).

f) Riwayat pemberian vitamin A

Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering

ditemukan berbagai macam infeksi. Vitamin A berpengaruh

terhadap fungsi kekebalan tubuh manusia. Sehingga, fungsi

kekebalan tubuh menurun sehingga mudah terserang infeksi.

Lapisan sel yang menutupi trakea dan paru-paru mengalami

keratinisasi, tidak mengeluarkan ender sehingga mudah

dimasuki mikroorganisme atau virus dan menyebabkan infeksi

saluran pernafasan. Peranan vitamin A yaitu untuk kesehatan,

pertumbuhan dan ketahanan dan juga dapat dikatakan sebagai

zat anti infeksi (Yunita dkk, 2014).

Pemberian vitamin A yang secara rutin sangat berperan

untuk masa pertumbuhan dan perkembangan karena vitamin A

dapat memelihara sel, meningkatkan respon antibodi terhadap

toksoid dan dapat meningkatkan jumlah limfosit total, sehinga

pertumbuhan dan perkembangan dapat berlangsung dengan

maksimal. Vitamin A diyakini penting disemua tingkat dari

sistem kekebalan tubuh, salah satu khasiat Vitamin A dapat

meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi

seperti ISPA (Sambominanga dkk, 2014).


g) Pemberian ASI eksklusif

ASI mengandung kombinasi nutrisi yang ideal yang

dibutuhkan bayi dengan jumlah yang tepat karena memberikan

kekebalan ekstra pada anak. Bayi yang minum ASI memiliki

risiko yang lebih rendah terhadap asma, kolik, atau kelebihan

berat badan (Koes Irianto, 2014). Adanya komponen-komponen

zat anti-infeksi, maka bayi atau balita yang minum ASI akan

terlindung dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan

oleh bakteri, virus, parasit, atau antigen lainnya (Soetjiningsih,

2012).

ASI merupakan pilihan terbaik bagi bayi karena didalamnya

mengandung antibodi dan lebih dari 100 jenis zat gizi, seperti

AA, DHA, taurin, dan spingomyelin. Taurin adalah sejenis asam

amino kedua yang yang terbanyak dalam ASI, yang berfungsi

sebagai neurotransmiter dan berperan penting dalam

pematangan sel otak. Decosahexoid acid (DHA) dan

arachidonic acid (AA) diperlukan dalam pembentukan sel-sel

otak yang optimal untuk menjamin pertumbuhan dan kecerdasan

anak. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, artinya hanya

memberikan ASI saja selama 6 bulan tanpa pemberian makanan

atau minuman lain. Pemberian cairan tambahan akan

meningkatkan risiko terkena penyakit dan menjadi sarana

masuknya bakteri patogen. Buruknya kondisi kesehatan bayi


sering terjadi bila bayi tidak diberikan ASI eksklusif (Yuliarti,

2010).

Menurut Maryunani (2012) manfaat memberikan ASI

eksklusif yaitu :

(1) Manfaat ASI bagi bayi :

(a) Kesehatan

Kandungan antibodi yang terdapat dalam ASI tetap

paling baik sapanjang masa. Oleh karena itu, bayi yang

mendapat ASI eksklusif lebih sehat dan lebih kuat

daripada yang tidak mendapatkan ASI. ASI juga

mencegah terjadinya kanker limfomaligna (kanker

kelenjar). ASI juga menghindarkan anak dari busung

lapar/malnutrisi, sebab komponen gizi ASI paling

lengkap, termasuk protein, lemak, karbohidrat, mineral,

vitamin dan zat penting lainnya. ASI adalah cairan hidup

yang mampu diserap dan digunakan tubuh dengan cepat,

meskipun status gizi ibu kurang.

(b) Kecerdasan

Dalam ASI terkandung DHA terbaik, selain laktosa yang

berfungsi dalam mielinisasi otak yaitu proses

pematangan otak agar bisa berfungsi optimal. Saat ibu

memberikan ASI, terjadi pula proses stimulasi yang

merangsang terbentuknya networking antar jaringan otak

hingga menjadi lebih banyak dan terjalin sempurna ini


terjadi melalui suara, tatapan mata, detak jantung, elusan,

pancaran dan rasa ASI.

(c) Emosi

Pada saat disusui, bayi berada dalam dekapan ibu, hal ini

akan merangsang terbentuknya Emotional Intelligence

(EI). Selain itu ASI merupakan wujud curahan kasih

sayang ibu pada buah hatinya. Doa dan harapan yang

didengarkan ditelinga bayi/anak selama proses menyusui

akan mengasah kecerdasan spiritual anak.

(2) Manfaat ASI bagi ibu :

(a) Memberikan ASI eksklusif akan membuat berat badan

segera kembali mendekati berat semula. Naiknya

hormon oksitosin selagi menyusui, menyebabkan

kontraksi semua otot polos, termasuk otot-otot uterus.

Memberikan ASI juga membantu memperkecil ukuran

rahim ke ukurn sebelum hamil. Menyusui dapat

membantu membakar kalori sehingga penurunan berat

badan lebih cepat.

(b) Mengurangi resiko anemia

Pada saat memberikan ASI, ototmatis risiko perdarahan

pasca-bersalin kurang. Memberikan ASI segera setelah

melahirkan akan meningkatkan kontraksi rahim yang

akan mengurangi risiko perdarahan.


(c) Mencegah kanker

Pada saat menyusui hormon estrogen mengalami

penurunan, sementara tanpa aktivitas menyusui kadar

hormon estrogen tetap tinggi. Hal ini diduga menjadi

salah satu pemicu kanker payudara karena tidak adanya

keseimbangan anatara hormon estrogen dan progesteron.

(d) Manfaat ekonomis

Dengan menyusui, ibu tidak perlu mengeluarkan dana

untuk membeli susu/suplemen bagi bayi karena cukup

dengan ASI eksklusif kebutuhan bayi selama 6 bulan

terpenuhi dengan sempurna. Selain itu, ibu tidak perlu

repot untuk mensterilkan peralatan bayi seperti dot,

cangkir, gelas, atau sendok untuk memberikan susu

kepada bayi.

3) Faktor Ekstrinsik

Merupakan faktor yang berasal dari luar tubuh yang dapat

meningkatkan pemaparan dari pejamu terhadap penyebab yang

terdiri dari tiga unsur yaitu biologi, fisik dan sosial ekonomi. Faktor

ekstrinsik yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita

yaitu:

a) Pendidikan

Pendidikan merupakan upaya yang direncanakan atau

mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau


masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan

oleh pelaku pendidikan (Fitriani, 2011).

Seseorang yang hanya tamat sekolah dasar akan berbeda

pengetahuan gizinya dibanding dengan yang pendidikannya

lebih tinggi. Namun, belum berarti seseorang yang hanya tamat

sekolah dasar kurang mampu menyusun makanan yang

memenuhi persyaratan gizi. Hal ini dikarenakan jika orang

tersebut rajin membaca informasi tentang gizi atau turut serta

dalam penyuluhan gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya

akan lebih baik. Hanya saja perlu dipertimbangkan, seseorang

yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah

dalam menerima pesan dan informasi gizi. Pendidikan pada satu

sisi mempunyai dampak positif yaitu ibu semakin mengerti akan

pentingnya pemeliharaan kesehatan, tetapi di sisi lain

pendidikan yang semakin tinggi juga akan berdampak adanya

perubahan nilai sosial (Nilakesuma dkk, 2015).

b) Paritas

Paritas adalah jumlah janin dengan berat badan lebih

dari atau sama dengan 500 gram yang pernah dilahirkan,

hidup maupun mati. Bila berat badan tak diketahui maka

dipakai umur kehamilan, yaitu 24 minggu (Siswosudarmo,

2008).
Menurut Siswosudarmo (2008), penggolongan paritas bagi

ibu yang masih hamil atau pernah hamil berdasarkan

jumlahnya yaitu:

(1) Primigravida

Adalah wanita hamil untuk pertama kalinya

(2) Multigravida

Adalah wanita yang pernah hamil beberapa kali, di mana

kehamilan tersebut tidak lebih dari 5 kali.

(3) Grandemultigravida

Adalah wanita yang pernah hamil lebih dari 5 kali. Menurut

sumber lain jenis paritas bagi ibu yang sudah partus

antara lain yaitu:

(4) Nullipara

adalah wanita yang belum pernah melahirkan bayi

yang mampu hidup.

(5) Primipara

adalah wanita yang pernah 1 kali melahirkan bayi yang

telah mencapai tahap mampu hidup.

(6) Multipara

adalah wanita yang telah melahirkan 2 janin viabel atau

lebih.

c) Status Ekonomi

Lingkungan ekonomi yang merugikan adalah kemiskinan.

Kemiskinan merupakan lingkungan hidup yang sangat


membahayakan kesehatan manusia (jasmani, rohani, dan sosial).

Sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan akan makanan

bergizi, yang akan melemahkan daya tahan tubuh sehingga

mudah terserang suatu penyakit (Koes Irianto, 2014).

Keluarga yang berada dalam garis kemiskinan tentunya

kurang mampu menyediakan makanan yang bergizi yang

nantinya akan berakibat gangguan gizi pada balita. Pendapatan

keluarga yang memadai akan menunjang perkembangan status

gizi karena orang tua mampu memenuhi semua kebutuhan bayi

atau balitanya (Nilakesuma dkk, 2015). Orang dengan tingkat

ekonomi rendah akan lebih berkosentrasi terhadap pemenuhan

kebutuhan dasar yang menunjang kehidupannya dan kehidupan

keluarganya. Sebaliknya orang dengan tingkat ekonomi tinggi

akan mempunyai kesempatan lebih besar dalam menempuh

pendidikan dimana orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan

lebih mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula

pengetahuan yang dimiliki sehingga makin banyak pula

pengetahuan yang dimiliki sehingga akan memperhatikan

kesehatan diri dan keluarga (Notoadmojo.S, 2007: 21).

Tingkatan penghasilan menurut Badan Pusat Statistik tahun

2012 yaitu:

(1) Golongan atas (Rp. 2.500.000-3.500.000/bulan)

(2) Golongan menengah (Rp. 1.500.00-2.500.000/bulan)

(3) Golongan bawah (< Rp. 1.500.000/bulan)


d) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi

setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek

tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia,

yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan

raba. Karena sebagian pengetahuan diperoleh melalui mata dan

telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over

behavior) (Fitriani, 2011).

Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku

sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari

pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku kesehatan akan

berpengaruh pada meningkatnya indikator kesehatan

masyarakat sebagai keluaran (outcame) pendidikan kesehatan

(Soekidjo Notoatmodjo, 2007:106). Untuk dapat merubah

perilaku masyarakat menjadi perilaku yang sehat, perlu

pendidikan atau penyuluhan kepada masyarakat. Karena tujuan

pendidikan kesehatan adalah untuk menambah pengetahuan

serta mengubah perilaku masyarakat yang tidak sehat menjadi

sehat dan terlindung dari penyakit (Juli Soemirat, 2009:9).

e) Perilaku

Perilaku adalah perbuatan/tindakan dan perkataan seseorang

yang sifatnya dapat diamati, digambarkan dan di catat oleh orang

lain ataupun orang yang melakukannya (Fitriani 2011).


Menurut Fitriani (2011). Perilaku dibentuk dalam 3 cara

yaitu:

(1) Pembentukan perilaku dengan conditioning/kebiasaan

Dengan cara membiasakna diri untuk berperilaku sesuai

dengan harapan maka akan terbentuklah suatu perilaku

tersebut.

(2) Pembentukan perilaku dengan insight/pengertian

Disamping dengan cara kebiasaan perilaku juga dapat

terbentuk dengan cara insight/pengertian. Belajar secara

kognitif disertai adanya pengertian dan dalam belajar yang

dipentingkan adalah latihan.

(3) Pembentukan perilaku dengan menggunakan model

Disamping dengan cara yang diatas, pembentukan perilaku

juga dapat ditempuh dengan cara menggunakan model.

Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap, tindakan, proaktif

untuk memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit,

melindungi diri dari ancaman penyakit, serta berperan aktif

dalam gerakan kesehatan masyarakat. Perilaku sehat dapat diihat

sebagai atribut-atribut personal seperti kepercayaaan-

kepercayaan, harapan-harapan, motif-motif, nilai-nilai, persepsi,

dan unsur-unsur kognitif lainnya, sebagai karakteristik individu

meliputi unsur-unsur dan keadaan afeksi dan emosi dan sebagai

pola-pola perilaku yang tampak yakni tindakan-tindakan dan

kebiasaan-kebiasaan yang berhubungan dengan


mempertahankan, memelihara dan untuk meningkatkan

kesehatan (Maryunani, 2013).

Menurut Fitriani (2011), klasifikasi perilaku kesehatan

dibagi menjadi 3 bagian yaitu:

(1) Perilaku pemeliharaan kesehatan

Perilaku atau usaha seseorang untuk menjaga kesehatannya

agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bila mana

sakit. Pemeliharaan terdiri dari 3 aspek yaitu:

(a) Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit serta

pemulihan kesehatan bila mana sembuh dari penyakit.

(b) Perilaku peningkatan kesehatan apabila seseorang dalam

keadaan sehat, karena harus mencapai kesehatan yang

optimal.

(c) Perilaku gizi yaitu makanan dan minuman dapat

memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang

tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi

penyebab menurunnya kesehatan bahkan mendatangkan

penyakit.

(2) Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas

pelayanan kesehatan atau perilaku pencarian pengobatan.

Perilaku yang menyangkut pada saat seseorang menderita

penyakit atau kecelakaan. Tindakan perilkau dimulai denga

cara mengobati diri sendiri sampai harus mencari

pengobatan ke luar negeri.


(3) Perilaku kesehatan lingkungan

Bilamana seseorang merespon lingkungannya baik itu fisik,

sosial dan budaya, sehingga lingkungan tidak mengganggu

kesehatannya, keluarga atau masyarakat.

g. Komplikasi

DepKes RI (2006) menyatakan bahwa ISPA adalah saluran

pernapasan akut yang sebenarnya merupakan self limited disease yang

sembuh sendiri selama 5-6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lain.

Tetapi jika tidak diobati lebih lanjut penyakit ISPA dapat menimbulkan

penyakit seperti sinusitis paranasal, penutupan tuba eustachi, laringitis,

tracheitis, bronchitis, dan broncopneumonia dan dapat berlanjut pada

kematian karena adanya sepsis yang meluas.

h. Pencegahan penyakit

Menurut Maryunani (2010) beberapa cara pencegahan agar balita

terhindar dari ISPA yaitu :

1) Mengusahakan agar anak mempunyai status gizi yang baik, yaitu

diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan karena ASI adalah makanan

yang paling baik untuk bayi, bayi diberikan makanan pendamping

ASI sesuai dengan umur, pada bayi dan anak makanan harus

mengandung gizi yang cukup yaitu mengandung cukup protein

(tempe tahu), karbohidrat (nasi atau jagung), lemak (minyak

kelapa), vitamin dan mineral (sayur dan buah-buahan), bayi dan

balita hendaknya ditimbang untuk mengetahui apakah beratnya


sesuai umur dan perlu diperiksa apakah ada penyakit yang

menghambat pertumbuhan.

Infeksi saluran nafas akut menyebar melalui batuk dan

air liur, oleh karena itu anak-anak sebaiknya tidak dibiarkan

bersama dengan orang yang sedang menderita batuk pilek. Selain

itu keadaan rumah juga sangat mempengaruhi kajiadan ISPA.

Keadaan ventilasi rumah sangat berkaitan dnegan kejadian ISPA.

Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam

rumah tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan

tetap terjaga. Kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya

oksigen dan meningkatnya kadar karbondioksida di dalam rumah

yang bersifat racun bagi penghuninya, karena akan menghambat

afinitas oksigen terhadap hemoglobin darah. Selain itu ventilasi

yang buruk menyebabkan aliran udara tidak lancar, sehingga bakteri

patogen sulit untuk keluar karena tidak ada aliran udara yang

cukup untuk membawa bakteri keluar rumah.

2) Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi

Imunisasi DPT salah satunya dimaksudkan untuk mencegah

penyakit pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi saluran

pernapasan.

3) Kebersihan perorangan dan lingkungan

Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama untuk

pencegahan ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak sehat akan

menimbulkan berbagai penyakit. Perilaku ini dapat dilakukan


melalui upaya memperhatikan rumah sehat dan lingkungan sehat.

Lingkungan sehat seperti membebaskan rumah dari pencemaran

udara seperti asap rokok dan hasil pembakaran untuk memasak

dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme paru sehingga

akan memudahkan timbulnya ISPA, menjaga kebersihn perorangan

diantaranya seperti mencuci tangan ketika merawat anak yang

terinfeksi saluran pernapasan, menggunakan tisu untuk menutup

hidung atau mulut ketika batuk atau bersin.

4) Pengobatan segera

Apabila anak sudah positif terserang penyakit ISPA, sebaiknya

orangtua tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa

sakit pada tenggorokan. Misalnya minuman dingin, makanan yang

terlalu manis, bahan pewarna, dan pengawet. Anak yang terkena

ISPA harus segera dibawa ke dokter.

5) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA

Orangtua dianjurkan menjaga pengaruh anak yang keluar dari

sekolah atau perawatan harian yang mengatur untuk mencegah

tersebarnya infeksi.

6) Istirahat yang cukup

Saat beristirahat tubuh berkesempatan untuk mengisi ulang semua

energi, sehingga dapat melawan serangan kuman-kuman penyakit.


B. Landasan Teori

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi angka kejadian ISPA pada balita yaitu

sebagai berikut:

1. Berat Badan Lahir

Berat badan lahir merupakan salah suatu indikator kesehatan bayi

baru lahir. Rata-rata berat bayi normal adalah 3200 gram dengan usia gestasi

37 sampai dengan 41 minggu. Bayi berat lahir rendah (BLR) adalah bayi

yang dilahirkan dengan berat lahir kurang dari 2500 gram, disebut prematur.

Bayi BLR dibedakan atas Berat Lahir Sangat Rendah (BLSR), yaitu bila

berat bayi lahir < 1.500 gram, dan Berat Lahir Amat Sangat Rendah

(BLASR), yaitu bila berat bayi lahir < 1.000 gram. Masalah BBLR

merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal. Faktor

yang menyebabkan pertumbuhan janin berkembang yaitu : faktor janin

(abnormalitas kromosom atau genetik), faktor maternal, dan faktor plasenta

(defisiensi nutrisi dan suplai oksigen) (Adrian, 2013).

BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram,

tanpa memandang usia kehamilan. BBLR dibedakan menjadi dua bagian :

pertama, BBL sangat rendah bila berat badan lahir < 1.500 gram dan kedua,

BBLR bila berat badan lahir antara 1.501-2.499 gram (Zaviera, 2008).

Masalah BBLR masih merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas perinatal dan juga merupakan penyebab kematian pada bayi

(Adrian, 2013). Bayi BBLR mudah terserang infeksi. Hal ini disebabkan

karena sistem pertahan tubuh yang belum matur sehingga daya tahan tubuh

bayi terhadap infeksi kurang karena antibodi relatif belum terbentuk dan
daya fagositosis serta reaksi terhadap peradangan belum baik (Lestari,

2016). Balita yang lahir BBLR lebih besar risikonya terdiagnosa ISPA. Hal

ini dikarenakan pada bayi yang BBLR organ-organ pernapasanya belum

matang yang menyebabkan pengembangan paru kurang adekuat, otot-otot

pernapasan masih lemah dan pusat pernapasan masih belum berkembang

serta tulang iga lemah.

Penyebab utama kematian pada BBLR adalah asfiksia, sindroma

gangguan pernapasan, infeksi dan komplikasi hipotermia. Pada bayi BBLR,

pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah

terkena penyakit infeksi terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan

lainnya (Husin, 2014).

2. Jenis kelamin

Kejadian ISPA pada anak dibawah usia 5 tahun didominasi oleh

anak laki-laki. Anak laki-laki lebih rentan terkena ISPA karena aktivitasnya

yang lebih aktif, dimana anak laki-laki suka bermain di tempat yang kotor,

berdebu, dan banyak bermain di luar rumah, sehingga kontak dengan faktor

penyebab ISPA lebih besar dibandingkan anak perempuan. Selain itu, hal

ini disebabkan karena faktor hormonal karena terdapat perbedaan respons

immunologis antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan ISPA

lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan

(Iskandar dkk, 2015).


3. Pemberian ASI eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) adalah species specific dan merupakan makanan

terbaik bagi bayi. ASI merupakan sumber yang dapat mencukupi kebutuhan

energi dan protein dalam masa bayi 6 bulan, dan secara tidak langsung

pemberian ASI eksklusif akan memacu kematangan usus bayi untuk

menerima nutrisi yang diperlukan. Adanya faktor-faktor bioaktif didalam

ASI merupakan hal yang sangat penting untuk kelanjutan kehidupan, yaitu

adanya hormon dan cytokines sebagai faktor pertumbuhan (Maryunani,

2012).

ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa memberi minuman

maupun makanan tambahan lain sampai usia 6 bulan. ASI eksklusif hanya

berlaku bagi bayi yang lahir full term dan normal. Berhentinya pemberian

ASI sebelum 6 bulan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bayi.

ASI eksklusif selama 6 bulan merupakan suatu perpanjangan fungsi

plasenta seperti halnya waktu masih didalam kandungan ibu. Pemberian

ASI eksklusif dapat menekan fertilitas ibu dan disebut Lactation

Amenorrhoea Method (LAM). Mekanisme tersebut terjadi karena

rangsangan si bayi menetek pada puting payudara ibunya (Yuliarti, 2010).

ASI mengandung nutrien, antioksidan, hormone dan antibodi yang

dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang dan membangun sistem kekebalan

tubuh. Sehingga anak yang mendapatkan ASI secara eksklusif lebih tahan

terhadap infeksi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mendapatkan

ASI. ASI mengandung antibody atau imonoglobulin utama yaitu IgA, IgE

dan IgM yang digunakan untuk mencegah dan menetralisir bakteri, virus,
jamur dan parasit. Jumlah immunoglobulin terbanyak terdapat pada

kolostrum (air susu yang pertama kali keluar sampai hari kempat), dimana

persentase imonoglobulin ini akan menurun seiring dengan waktu. Ibu yang

terus memberikan ASI pada anaknya akan meningkatkan produksi ASI,

sehingga total imonogobulin yang diterima bayi akan relative sama dengan

imonoglobulin yang terdapat pada kolostrum. Total imonoglobulin akan

meningkat selama periode ASI eksklusif (Lestari, dkk 2013).

Pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi kejadian ISPA

dibandingkan dengan hanya diberikan susu formula. Pemberian ASI

eksklusif selama 6 bulan atau lebih memberikan efek protektif yang lebih

besar berkaitan dengan respon dosis efek protektif yang dihasilkan.

Semakin besar dosis ASI yang diberikan, semakin besar pula efek protektif

yang dihasilkan. ASI sebagai proteksi pasif berpengaruh terhadap respon

sistem imun anak dengan maturasional, anti inflamasi, imunomodulator,

dan antimikrobial. Beberapa efek imun yang bisa ditimbulkan dalam bentuk

perpanjangan proteksi terhadap ISPA. ASI juga dapat memberikan

perlindungan jangka panjang melalui stimulasi respon imun aktif. Imunitas

aktif merupakan imunitas spesifik dimana sistem imun membentuk memori

jangka panjang terhadap paparan antigen tertentu. Pemberian ASI terbukti

efektif bagi perkembangan dan imunitas anak. Pemberian ASI cukup

memberikan efek protektif terhadap ISPA pada anak (Hernawati, 2017).


4. Status ekonomi

Keluarga yang berada dalam garis kemiskinan tentunya kurang

mampu menyediakan makanan yang bergizi yang nantinya akan berakibat

gangguan gizi pada balita. Pendapatan keluarga yang memadai akan

menunjang perkembangan status gizi karena orang tua mampu memenuhi

semua kebutuhan bayi atau balitanya (Nilakesuma dkk, 2015).

Sandang, pangan dan papan yang memenuhi syarat belum dapat

terpenuhi dengan baik apabila keluarga mempunyai penghasilan rendah.

Sedangkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak membutuhkan

nutrisi dan zat gizi yang mencukupi agar daya tahan tubuh dapat berperan

dengan optimal sehingga anak tidak mudah terkena penyakit khususnya

penyakit infeksi.

Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas

dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Kemampuan keluarga untuk

membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya

pendapatan keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan

besar kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk

memenuhi kebutuhan zat gizi. Apabila gizinya kurang maka tubuh akan

mudah terserang penyakit. Keadaan status ekonomi yang rendah pada

umumnya berkaitan erat dengan berbagai masalah kesehatan yang di

hadapi, hal ini disebabkan karena ketidakmampuan dan ketidaktahuan

dalam mengatasi berbagai masalah tersebut terutama dalam kesehatan

(Nana dan Tinah, 2012).


Tingkatan penghasilan menurut Badan Pusat Statistik tahun 2012 yaitu:

a. Golongan atas (Rp. 2.500.000-3.500.000/bulan)

b. Golongan menengah (Rp. 1.500.00-2.500.000/bulan)

c. Golongan bawah (< Rp. 1.500.000/bulan)

5. Perilaku kesehatan

Perilaku adalah perbuatan/tindakan dan perkataan seseorang yang

sifatnya dapat diamati, digambarkan dan di catat oleh orang lain ataupun

orang yang melakukannya (Fitriani 2011).

Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap, tindakan, proaktif untuk

memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari

ancaman penyakit, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan

masyarakat. Perilaku sehat dapat diihat sebagai atribut-atribut personal

seperti kepercayaaan-kepercayaan, harapan-harapan, motif-motif, nilai-

nilai, persepsi, dan unsur-unsur kognitif lainnya, sebagai karakteristik

individu meliputi unsur-unsur dan keadaan afeksi dan emosi dan sebagai

pola-pola perilaku yang tampak yakni tindakan-tindakan dan kebiasaan-

kebiasaan yang berhubungan dengan mempertahankan, memelihara dan

untuk meningkatkan kesehatan (Maryunani, 2013).

Perilaku anggota keluarga khususnya kepala keluarga tentang

kebiasaan merokok harus diminimalisir atau dihentikan karena rokok ibarat

pabrik kimia, dalam satu batang rokok yang dihisap akan dikeluarkan

sekitar4.000 bahan kimia berbahaya seperti Nikotin, Tar, dan Karbon

monoksida (CO). Merokok juga dapat menjadikan anggota keluarga lain


menjadi perokok pasif yaitu dimana orang yang tidak merokok ikut

menghirup asap rokok orang yang merokok. Kebiasaan merokok juga

menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit jantung, kanker paru-paru,

bronkhitis, dll. Bukan hanya si perokok aktif saja yang merasakan dampak

tersebut bahkan perokok pasif juga dapat ikut merasakan dampaknya,

bahkan dampak yang dirasakan bahkan lebih besar (Proverawati dan

Rahmawati, 2012).

Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan

memperbesar resiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan

pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit angina pectoris

serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya

pada balita karena struktur tubuh belum sempurna atau matur dimana

struktur internal telinga dan tenggorokan terus memendek dan melurus, dan

jaringan limfoid tonsil dan adenoid terus bertambah besar. Akibatnya,

sering terjadi otitis media, tonsillitis, dan infeksi saluran pernafasan (Wong,

2009).

Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena

penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma, pneumonia dan penyakit

saluran pernapasan lainnya. Asap rokok yang dihisap, baik oleh perokok

aktif maupun perokok pasif akan menyebabkan fungsi ciliary terganggu,

volume lendir meningkat, humoral terhadap antigen diubah, serta kuantitatif

dan kualitatif perubahan dalam komponen selular terjadi. Beberapa

perubahan dalam mekanisme pertahanan tidak akan kembali normal

sebelum terbebas dari paparan asap rokok. Sehingga selama penderita ISPA
masih mendapatkan paparan asap rokok, proses pertahanan tubuh terhadap

infeksi tetap akan terganggu dan akan memperlama waktu yang dibutuhkan

untuk penyembuhannya (Kusumawati, 2010).

Seringnya keluarga menggunakan obat nyamuk bakar dalam

melindungi anggota keluarga dari gigitan nyamuk juga mempunyai efek

yang buruk bagi balita. Obat nyamuk bakar mengadung bahan aktif

octhacloroprophyl eter yang dapat memicu penyakit kanker, dan dapat

mengakibatkan iritasi kulit, tenggorokan dan paru-paru (Dewi dkk, 2014).

Asap obat nyamuk juga mengandung beberapa senyawa karbonil dengan

sifat-sifat yang dapat menghasilkan efek iritasi kuat pada pada saluran

pernapasan atas dan bawah. Keluarga yang memakai obat nyamuk bakar

maka balitanya memiliki risiko 2,5 kali lebih besar terkena ISPA

dibandingkan keluarga yang tidak memakai obat nyamuk bakar didalam

rumahnya (Rakhmanda, 2012).

Perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA

pada bayi dan balita lebih efektif dilakukan oleh keluarga baik yang

dilakukan oleh ibu atau keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Keluarga

sangat mempengaruhi munculnya penyakit didalam rumah. Bila salah satu

keluarga mengalami gangguan kesehatan yang bersifat menular maka akan

mempengaruhi anggota keluarga lainya. Keberadaan anggota keluarga yang

terkena ISPA juga sangat mempengaruhi anggota keluarga yang lain.

Penyebaran ISPA ditularkan kepada orang lain melalui udara pernafasan

atau percikan air ludah. Oleh sebab itu, penting untuk melakukan upaya

pencegahan ISPA seperti menutup mulut pada waktu bersin dan memakai
masker untuk menghindari penyebaran kuman melalui udara, serta

membuang dahak pada tempat yang seharusnya. Keluarga juga harus

memperhatikan kebiasaan-kebiasan yang dapat meningkatkan resiko serta

berpengaruh terserang penyakit khususnya penyakit infeksi saluran

pernapasan (Pramita dkk, 2014).

Anggota keluarga yang mengalami ISPA mempunyai peran

terhadap penularan ISPA pada balita. Hal ini dikarenakan balita masih

mempunyai daya tahan tubuh yang rendah. Cara penularan ISPA melalui

udara yaitu jika penderita batuk atau bersin dan tidak ditutup menggunakan

tangan atau sapu tangan maka akan menyebabkan virus menyebar di dalam

ruangan (Lestari, 2014).


C. Skema Landasan Teori

BALITA

Sistem organ belum cukup matur Bukan


terutama sistem imun Pneumonia

Pneumonia
Rentan terserang
penyakit

Pneumonia
Faktor penyebab ISPA Berat

Faktor Lingkungan Faktor Intrinsik Faktor Ekstrinsik

1. Kondisi fisik rumah 1. Umur 1. Pendidikan


a. Ventilasi 2. Status gizi 2. Paritas
b. Kepadatan 3. Status Imunisasi 3. Pengetahuan
hunian 4. Riwayat
c. Pencahayaan pemberian Vit. A
4. Status ekonomi
d. Kelembaban
5. Jenis kelamin 5. Perilaku
e. Jenis lantai
6. Berat badan lahir kesehatan
f. Jenis dinding
7. Pemberian ASI
g. Jenis atap
eksklusif
2. Kebersihan rumah
3. Pencemaran udara
didalam maupun
diluar rumah
Keterangan :
Diteliti : Tidak diteliti :

Gambar 1.1 Skema Landasan Teori


D. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen

Faktor Intrinsik :

1. Jenis kelamin
2. Berat badan lahir
Variabel Dependen
3. Pemberian ASI eksklusif
ISPA

Faktor Ekstrinsik :

1. Status ekonomi
2. Perilaku kesehatan

Gambar 1.2 Kerangka Konseptual

Anda mungkin juga menyukai