Homogenisasi effect, H :
2 2
S in S an
H
2
2 2
S out S an
Standard Deviasi:
n
x xi 2
2
i1
S in / out S analisa 1
2n
Sementara
S an S 2
S analisa
2
dan S x
n
i x
2
t
t 1
n 1
Dimana:
n = jumlah sample yang diperiksa
xi = hasil pemeriksaan sample
x = harga rata-rata
Dengan blending:
Dimana dua atau lebih material dikeluarkan secara simultaneus.
Dengan mixing:
Dimana dua atau lebih material yang berbeda komponennya diaduk
dengan pengaduk ataupun aeration, sehingga mendapat satu campuran
material yang homogen.
Blending silo bisa menggunakan prinsip fluidisasi atau jenis funnel flow.
Sistem fluidisasi dipakai jika raw mill-nya sangat heterogen. Metoda ini
menghasilkan derajat homogenisasi yang lebih baik tetapi biaya
operasinya lebih mahal karena membutuhkan udara yang banyak..
Setiap outlet dibagi menjadi enam segmen sehingga total ada 42 segmen
yang masing-masing bisa diaerasi secara sendiri-sendiri. Dengan cara ini
memungkinkan untuk mengatur dari segmen mana material akan
dikeluarkan disesuaikan dengan urutannya. Urutan aerasinya dan operasi
valvenya dikontrol dengan komputer untuk mendapatkan tingkat
homogenisasi yang optimum.
Target / Komposisi
Semen
Target / Komposisi
Klinker
Target / Komposisi
Raw Meal
Contoh perhitungan :
Diketahui komposisi umpan tanur sebagai berikut :
CaO : 42,72 %
SiO2 : 13,38 %
Al2O3 : 3,51 %
Fe2O3 : 2,10 %
MgO : 0,58 %
K2O : 0,20 %
LOI : 34,21 %
100 x 42,72
LSF
2,8 x13,38 1,18 x3,51 0,65 x 2,10
= 99,42
HM CaO
SiO 2 Al 2O3 Fe 2O3
Contoh perhitungan :
Diketahui komposisi umpan tanur sebagai berikut :
CaO : 42,72 %
SiO2 : 13,38 %
Al2O3 : 3,51 %
Fe2O3 : 2,10 %
MgO : 0,58 %
K2O : 0,20 %
LOI : 34,21 %
42,72
HM
13,38 3,51 2,10
= 2,25
SM SiO 2
Al 2O 3 Fe 2O 3
Batasan nilai SM adalah 1,9 – 3,2 Pengaruh nilai SM terhadap proses dan
kualitas semen adalah sebagai berikut :
Contoh perhitungan :
Diketahui komposisi umpan tanur sebagai berikut :
CaO : 42,72 %
= 2,39
AM Al 2O 3
Fe2O 3
Contoh perhitungan :
Diketahui komposisi umpan tanur sebagai berikut :
CaO : 42,72 %
SiO2 : 13,38 %
Al2O3 : 3,51 %
Fe2O3 : 2,10 %
MgO : 0,58 %
K2O : 0,20 %
LOI : 34,21 %
3,51
IM
2,10
= 1,67
Contoh perhitungan :
Diketahui komposisi umpan tanur sebagai berikut :
= 24,37
C3S
ME
C2S
C3S C3 A
MK
C2S C4AF
Harga MK di dalam portland cement bervariasi antara 0,3 -1,8. Semakin tinggi
harga MK akan menyebabkan kenaikan panas hidrasi semen.
1.4.8 Burnability
Untuk mineral sumber oksida CaO, dibawah ini adalah urutan reaktifitas mineral dari
yang mudah sampai yang susah secara berurutan.
Untuk mineral yang mengandung oksida alumina, urutan reaktifitasnya dari yang
mudah sampai yang susah berdasarkan urutan di bawah ini:
Untuk mineral yang mengandung oksida silika, urutan reaktifitasnya dari yang
mudah sampai yang susah berdasarkan urutan di bawah ini:
Silica amorph (glassy slags) > Silika mica dan amphiboles silica (dari
clay minerals) > silica dari felspars > ά-tridymite > ά-cristobalite > opal >
chacedony > quartz
Selain mineral sumber oksida utama, mineral-mineral minor yang berfungsi sebagai
fluxes akan memperbaiki burnability raw mix. Mineral yang termasuk dalam
golongan ini diantaranya adalah CaF2, Na2SiF6, Ca3(PO4)2, dan lainnya.
Burnability akan turun sebanding dengan naiknya kadar mineral calcite dan quartz
yang terdapat dalam Raw Meal, hal ini disebabkan mineral calcite yang berasal dari
batu kapur membutuhkan energi yang relatif besar untuk proses kalsinasi sedangkan
mineral quartz yang berasal dari sand / pasir dan / atau clay mempunyai tingkat
reaktivitas yang rendah sehingga relatif sulit untuk bereaksi dengan CaO.
o
C = 1300 + 4,51 C3S – 3,74 C3A – 12,64 C4AF
C3S
a. BI1 = C3A
C4AF
C3S
b. BI2 = C3A MgO K 2O Na 2O
C4AF
100(CaO 0,75MgO)
LSF3 =
2,8SiO 2 1,18Al2O3 0,65Fe2O3
1.2 Aspek Kimia, Fisika , Mineral dan Energi Pada Proses Pembakaran
Jika kondisi ini tidak memadai akan dihasilkan klinker yang berwarna
coklat sehingga semen yang dihasilkan kekuatannya rendah dan waktu
setting-nya rendah. Proses kimia fisika penting yang terjadi selama
pembakaran adalah dehidrasi mineral tanah liat, dekarbonisasi senyawa
Catatan :
a. Tanda + berarti proses endotermik (membutuhkan panas) dan tanda –
berarti proses eksotermik (menghasilkan panas).
b. Dekomposisi karbonat secara teoritik membutuhkan panas sebesar 370
kkal/kg CaCO3. Sedangkan untuk membentuk 1 (satu) kg klinker
dibutuhkan sekitar 1,2 hingga 1,3 kg CaCO 3, sehingga panas
dekomposisi karbonat memerlukan 445 – 480 kkal/kg klinker.
c. Proses-proses di atas memerlukan persyaratan lain yaitu temperatur
cukup tinggi sehingga menghasilkan material keluar sistem dengan
temperatur tinggi, gas hasil pembakaran yang cukup tinggi pula
Berikut ini akan dibahas satu per-satu peralatan proses tersebut serta
ringkasan peristiwa yang dialami oleh meterial baku (raw meal) selama
berada di dalam peralatan tersebut.
Fresh Feed
1
Fresh Feed
1
2 Notation:
1. Top Cyclone
2 Notation: 2. Second Cyclone
1. Top Cyclone 3 3. Third Cyclone
2. Second Cyclone 4. The lowest cyclone
3 3. Third Cyclone 5. Calciner
4. The lowest 4 Hot Air from Cooler
cyclone
Rawmix Rawmix
Rawmix inside of the kiln Rawmix inside of the kiln
Pada suspension preheater dengan kalsiner ini derajat kalsinasi raw mix
(artinya prosentase bahan baku yang telah mengalami proses kalsinasi)
pada saat masuk ke kiln dapat mencapai 90 - 95 %. Sedangkan pada
suspension preheater tanpa kalsiner, menurut hasil penelitian selama ini,
tidak akan melebihi 40%. Sebagai konsekuensi dari pemakaian kedua
jenis preheater ini, proses yang terjadi di dalam kiln akan sedikit berbeda,
demikian pula energi yang dibutuhkannya.
Reaksi Kalsinasi :
Udara pembakaran dari cooler ini disebut dengan udara tertier. Oleh
karena itu di dalam kalsiner ini beda temperatur antara gas dan material
paling rendah.
a. Diameter kiln dan thermal load-nya lebih rendah terutama untuk kiln
dengan kapasitas besar. Pada sistem suspension preheater tanpa
kalsiner, 100% bahan bakar dibakar di kiln. Dengan kalsiner ini,
dibandingkan dengan kiln yang hanya menggunakan SP saja, maka
suplai panas yang dibutuhkan di kiln hanya 35% - 50%. Biasanya
sekitar 40 % bahan bakar yang dibakar di dalam kiln, sementara
sisanya dibakar di dalam kalsiner. Sebagai konsekuensinya untuk
suatu ukuran kiln tertentu, dengan adanya kalsiner ini, kapasitas
produksinya dapat mencapai hampir dua kali atau dua setengah kali
lipat dibanding apabila kiln tersebut dipergunakan pada sistem
suspension preheater tanpa kalsiner. Kapasitas kiln spesifik, dengan
penggunaan kalsiner ini, bisa mencapai 4,8 TPD/m 3.
a. Temperatur gas buang keluar dari top cyclone relatif lebih tinggi. Untuk
mengatasi hal ini dirancang siklon dengan penurunan tekanan yang
rendah sehingga dapat ditambah dengan siklon ke-lima sehingga
secara keseluruhan suspension preheater memiliki lima tingkat siklon.
b. Temperatur klinker yang keluar dari kiln relatif lebih tinggi karena
berkurangnya jumlah udara sekunder yang diperlukan di kiln. Untuk
mengatasi hal ini biasanya digunakan pendingin klinker yang efektif
yaitu grate cooler.
c. Penurunan tekanan total di suspension preheater lebih tinggi dibanding
sistem tanpa kalsiner sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya
konsumsi daya listrik pada motor ID fan. Namun hal ini biasanya
dikompensasi dengan desain siklon yang hemat energi.
d. Lokasi kalsiner, ducting, tambahan alat pembakaran, duct udara tersier
akan menambah kompleksnya konstruksi peralatan.
Hubungan antara waktu bakar fine coal dan ukuran partikel dapat dilihat
pada gambar 4. dan hubungan Derajat Kalsinasi Raw Mix terhadap
temperatur dapat dilihat pada gambar 5.
1. Tabel tersebut berlaku untuk kiln dengan tiga support. Untuk kiln
dengan dua support (kiln lebih pendek), khususnya untuk tipe
konfigurasi ILC dan SLC termasuk I dan S, beban volumetrik dapat
ditingkatkan menjadi hingga maksimum 5,0 (TPD/m 3) dan beban
panas di burning zone menjadi lebih rendah sedikit atau sama dengan
kiln tiga support.
2. Sistem ILC-E :
Apabila diasumsikan 15% bahan bakar dibakar di Calciner dan
85% dibakar di kiln akan diperoleh:
Produksi maksimum = 1295 x 2,5 = 3237 TPD
Dalam hal ini konfigurasi SP dapat merupakan jenis ILC, SLC, SLC
– I, maupun SLC – S.
SP Kiln System sudah diperkenalkan sejak 1962, Kiln system ini biasanya
menggunakan planetary cooler dan single string preheater.
Special Advantages
Untuk kapasitas kecil (solusi pilihan secara ekonomis)
Spesifik power consumption rendah dengan planetary cooler
Pengoperasian sederhana (cocok untuk control manual)
Special Advanteges
Lebih ekonomis untuk kiln kapasitas kecil dan menengah.
Spesifik power consumption rendah dengan planetary cooler.
Pengoperasian mudah sehubungan dengan percentase excess
air tinggi dalam kiln.
Kecendrungan yang rendah clogging di kiln inlet dan riser duct.
Sedikit sensitif terhadap unsur klorida di kiln feed.
Dimensi kiln yang lebih kecil dibanding SP.
System ini diperkenalkan tahun 1976, yang memiliki single string 4-6
stage preheater, dan dilengkapi calciner yang di pasang di Riser duct.
Udara pembakaran diambil dari cooler melalui TAD.
Special Advantages
Waktu tinggal yang lama material dan gas di calciner
sehubungan dengan volume yang besar calciner dan moderate
swirl.
Cocok untuk low grate fuel.
Kecendrungan yang rendah coating di kiln dan riser duct
Dimensi kiln yang lebih kecil dibanding SP dan ILC-E
Special Advantages
Waktu tinggal yang lama material dan gas di calciner dimana
dimensi adalah minimal selama gas kiln tidak melewati calciner.
Cocok untuk segala jenis fuel, terutama low volatile,
sebagaimana pembakaran dalam kalsiner terjadi dengan udara
kaya oksigen panas dan temperature pembakaran di kalsiner
dapat dikontrol secara terpisah dari temperature material yang
terkalsinasi menuju kiln.
Dimensi calciner lebih kecil.
Sangat cocok untuk retrofit dari existing SP atau ILC-E.
Umur batu tahan api yang lama sehubungan dengan kestabilan
coating kiln.
Sedikit sensitif terhadap unsur klorida di kiln feed.
Special Advantages
Waktu tinggal material dan gas yang lama di calciner dimana
volume calciner yang besar.
Cocok untuk segala jenis fuel, terutama low volatile,
sebagaimana pembakaran dalam kalsiner terjadi dengan udara
kaya oksigen panas dan temperature pembakaran di kalsiner
dapat dikontrol secara terpisah dari temperature material yang
terkalsinasi menuju kiln.
Tidak ada damper di TAD.
Feature
Range normal kapasitas : 3000 – 7500 tpd (2 string)
7500 – 12000 (3 string)
Ratio firing di calciner : 55 – 60 %
Bypass dari gas kiln : 0 – 100 %
Derajad kalsinasi di kiln inlet : 90 – 95 %
Untuk meningkatkan kapasitas kiln type SLC maka ILC calciner dipasang
pada kiln string. SLC-I Kiln system dapat dilengkapi double atau tripple
string preheater dimana kapasitas kiln dapat mencapai 6.500 – 9.000
TPD.
Special Advantages
Waktu tinggal material dan gas yang lama di calciner dimana
volume calciner yang besar.
Cocok untuk segala jenis fuel, terutama low volatile,
sebagaimana pembakaran dalam kalsiner terjadi dengan udara
kaya oksigen panas dan temperature pembakaran di kalsiner
dapat dikontrol secara terpisah dari temperature material yang
terkalsinasi menuju kiln.
Cooler adalah alat untuk mendinginkan klinker yang keluar dari kiln.
Ada dua jenis / type cooler untuk proses kering yang digunakan PTSP
yaitu :
Planetary/Satelite Cooler.
Grate Cooler.
Spesific load grate cooler yang dinyatakan dalam t/d per m area grate,
yang menunjukkan kecendrungan grate dapat dibebani dengan klinker
bed yang lebih tebal, yaitu sekitar 30-40. untuk grate cooler desain lama
hanya sekitar 20.
Biasanya grate cooler dalam pengontrolan (automatic control) dibagi 3
grate dan grate 1 yang paling ketat pengontrolan karena merupakan
daerah jatuhan pertama klinker dari kiln, dan merupakan patokan
keberhasilan pendinginan grate berikutnya.
Ada dua sistem udara pendingin untuk grate cooler : CFG (controlled flow
grate) untuk comparment 1 dan RTF (reduced fall through) untuk grate 2
dan 3.
Grate Plate
Grate plate di design dengan sistem high pressure drop, dimana masing –
masing grate plate mempunyai air slote yang terdiri dari 3 double row. Air
slot di design sedemikian rupa sehingga tidak ada klinker yang akan jatuh
ke dalam slot dari grate plate tersebut. Udara pendingin sekaligus
berfungsi sebagai pendingin grate plate secara merata.
Dari hal-hal di atas tampak bahwa pemilihan burner dan penyetelan api
merupakan sesuatu yang tidak mudah mengingat banyaknya kriteria yang
harus dipenuhi. Berikut ini diberikan beberapa contoh tentang burner dan
karakteristik masing-masing sebagai gambaran.
Apapun jenis burnernya yang lebih penting adalah bentuk nyala yang
dihasilkan untuk batubara yang kita bakar karena bentuk nyala erat
kaitannya dengan kualitas operasi kiln. Pengontrolan pembentukan nyala
sangat kompleks karena disamping tergantung pada mekanisme bahan
bakar dan udara primer yang keluar dari mulut burner, juga dipengaruhi
oleh pencampurannya dengan udara sekunder dan kondisi di dalam kiln
itu sendiri.
Perbedaan dari kedua bentuk api tersebut akan lebih mudah apabila
diterangkan dengan gambar-gambar seperti diperlihatkan pada gambar 6
untuk cone flame dan gambar 7 untuk hollow cone flame.
axial
radi
al
axial
radi
al
axial
Berdasarkan sifat nyala dari kedua tipe nyala tersebut, apabila diterapkan
pada proses pembakaran di kiln, maka tipe hollow cone flame dirasa lebih
cocok karena dengan adanya sirkulasi internal dari gas panas
menunjukkan kestabilan nyala yang lebih baik.
3.1.1 Batu-bara
Batubara diklasifikasikan menjadi beberapa macam berdasarkan pada
sifat-sifat dan umur terbentuknya antara lain lignit, bituminous, anthracite,
dan lain-lain. Beberapa sifat yang membedakan antara beberapa jenis
batubara tersebut antara lain diperlihatkan pada tabel 1.
Hubungan antara kehalusan butir serta kadar air yang disarankan dengan
kemudahan proses pembakaran diberikan pada gambar 1 dan gambar 2.
Banyak sekali jenis bahan bakar minyak ini, misalnya IDO, HFO, dan lain-
lain.
Contoh beberapa sifat yang dimiliki oleh bahan bakar minyak diberikan
pada tabel 2.
Kadar belerang bahan bakar minyak tergantung pada asal sumber minyak
tersebut. Kadar belerang ini bisa mencapai sekitar 4,5%. Sifat specific
gravity penting untuk minyak ini karena terkorelasi dengan nilai kalor
bahan bakar. Pada umumnya semakin tinggi nilai specific gravity semakin
rendah nilai kalornya.
Jadi rumus kimia umum dari batu bara tersebut adalah C 5,1167 H5,24 S0,07685
N0,06178 O1,19125. Sedangkan kebutuhan udara minimal untuk pembakaran
sempurna batubara tersebut setiap 100 kg nya adalah sebesar = (x +
y/4 + p – q/2) kmol = (5,1167 + 5,24/4 + 0,076875 –1,19125/2) kmol =
5,90795 kmol atau 0,0590795 kmol udara/kg batubara atau sama dengan
[(0,0590795)x(32 + 3,762x28)] kg udara/kg batubara = 8,114 kg udara/kg
batubara.
Apabila dianggap tidak ada panas yang hilang kecuali hanya untuk
memanaskan produk pembakaran serta jumlah udara yang dibutuhkan
pas atau sama dengan kebutuhan udara stoikiometriknya, maka
temperatur akhir gas-gas hasil pembakaran merupakan temperatur
adiabatik atau temperatur teoritik. Secara teoritik temperatur adiabatik ini
dapat dihitung berdasarkan persamaan kekekalan energi.
Untuk memenuhi beberapa hal di atas agar bentuk nyala api di dalam kiln
baik , perlu kiranya dilakukan kontrol pembakaran antara lain:
Selain hal-hal di atas, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengaruh
batubara terhadap klinker dan coating yang antara lain terkait dengan
komposisi abu, suasana di burning zone, dan bentuk nyala.
c. Bentuk nyala:
Bentuk nyala erat kaitannya dengan temperatur api sehingga akan
berpengaruh terhadap perpindahan panas radiasi ke raw meal
yang akhirnya berpengaruh terhadap kualitas klinker.
Tolok ukur yang biasanya dipakai dalam operasi pembakaran yang baik
antara lain: