Anda di halaman 1dari 71

TEKNOLOGI PEMBAKARAN DI KILN

1. PROSES PEMBUATAN SEMEN

1.1 Jenis proses Pembuatan Semen

 Proses Basah ( Wet Prosess )


 Proses Kering ( Dry Prosess )

Pemilihan Jenis Proses Tergantung kepada :

 Kondisi bahan baku


- Kadar Air Bahan Baku
- Komposisi Bahan Bahan
- Grindability Bahan Baku

 Lokasi Pabrik & Biaya Operasi


 Jenis Produk yang Akan Dibuat
 Standard Teknik Disuatu daerah,. dll

1.2 Tahapan Proses Pembuatan Semen

Tahapan proses pembuatan semen pada umummnya :


- Penyediaan bahan mentah
- Pengolahan bahan mentah
- Pembakaran raw mix menjadi klinker
- Penggilingan klinker & gypsum menjadi semen

Teknologi Pembakaran di Kiln 1


Limestone. 80%, CaO Raw Coal
Coal Mill
Silicastone, 10%, SiO2
Clay, 8%, Al2O3 analisa • Drying
Ironsand, 2%, Fe2O3 LSF = 100±2
SM = 2,3±0,2 %H2O<3,5
• Milling
Fine
ALM = 1,3±0,1 +90m<20±5 coal

Raw Mill CF Silo Kiln


• Ram mix
Mixing & Drying
%H2O<1
• Homogenisasi Ram mix • Chemical Reaction
• Milling +90m<15%
• Burning & Cooling

Packer Indarung (PPI) klinker


semen
Cement Mill
Gypsum
Packer dan Semen (KA) • Finish Milling
Mat 3rd
(4%)
Ship Loading Tel Bayur (3-5%)

1.1 Homogenisasi Raw Meal

Tujuan homogenisasi adalah mengurangi fluktuasi raw meal sebelum


diumpankan ke kiln, ditujukan dengan deviasi CaO.

Deviasi CaO < 0.11 atau deviasi LSF < 2

Fluktuasi kualitas Kiln Feed menyebabkan :


 Kualitas Klinker tidak stabil
 Terjadi Ring formation di Klin
 Terbentuk Clogging
 Merusak batu tahan api
 Operasional Kiln tidak stabil

Homogenisasi effect, H :
2 2
S in  S an
H 
2
2 2
S out  S an

Teknologi Pembakaran di Kiln 2


Dimana :
H = homogenisasi effect
S in = standard deviasi material yang belum di homogenisasikan
(input)
S out = standard deviasi material yang homogen (output)
S an = standard deviasi thd error analysa

Standard Deviasi:
n

 x  xi 2 
2
i1
S in / out  S analisa  1

2n
Sementara

S an  S 2
 S analisa
2
 dan S  x
n

i x
2

t
t  1

n 1

Dimana:
n = jumlah sample yang diperiksa
xi = hasil pemeriksaan sample
x = harga rata-rata

Homogenisasi dapat dicapai dengan 2 (dua) cara:

Dengan blending:
Dimana dua atau lebih material dikeluarkan secara simultaneus.

Dengan mixing:
Dimana dua atau lebih material yang berbeda komponennya diaduk
dengan pengaduk ataupun aeration, sehingga mendapat satu campuran
material yang homogen.

Teknologi Pembakaran di Kiln 3


1.1.1 Sistem FLS Funnel Flow Silo
Salah sistem silo yang dipakai oleh FLS didasarkan pada proses
homogenisasi secara dis-kontinyu dengan blending silo diletakkan di atas
storage silo. Sistem silonya terdiri dari dua atau tiga set silo bergantung
pada kapasitas kiln. Blending silo biasanya menyimpan material selama
24 jam produk mill sedang storage silo menampung 3 - 4 hari konsumsi
kiln.

Blending silo bisa menggunakan prinsip fluidisasi atau jenis funnel flow.
Sistem fluidisasi dipakai jika raw mill-nya sangat heterogen. Metoda ini
menghasilkan derajat homogenisasi yang lebih baik tetapi biaya
operasinya lebih mahal karena membutuhkan udara yang banyak..

Urutan proses pengisian dan pengeluaran dioperasikan secara otomatis.


Indikator level di puncak silo mengatur jika salah satu silo telah penuh
maka arah aliran akan diubah ke arah silo yang lain.

Teknologi Pembakaran di Kiln 4


Gambar 1. Sistem silo FLS funnel flow

1.1.2 Controlled Flow Silo


CF-silo beroperasi secara kontinyu dengan hanya menggunakan satu silo,
sehingga lebih sederhana dan instalasinya lebih ekonomis dibandingkan
dengan sistem sebelumnya. Raw meal dikeluarkan dengan urutan tertentu
dari tujuh outlet yang ada di bagian dasar silo, di mana masing-masing
outlet dikontrol oleh satu valve, sehingga bagian dasar silo terbagi atas
tujuh bagian dengan waktu tinggal yang berbeda.

Teknologi Pembakaran di Kiln 5


Gambar 2. CF Silo

Setiap outlet dibagi menjadi enam segmen sehingga total ada 42 segmen
yang masing-masing bisa diaerasi secara sendiri-sendiri. Dengan cara ini
memungkinkan untuk mengatur dari segmen mana material akan
dikeluarkan disesuaikan dengan urutannya. Urutan aerasinya dan operasi
valvenya dikontrol dengan komputer untuk mendapatkan tingkat
homogenisasi yang optimum.

Teknologi Pembakaran di Kiln 6


Gambar 3. Sistem CF-silo

Raw meal yang diekstraksi dilewatkan mixing tank yang diletakkan di


bawah silo. Tangki tersebut diletakkan di atas load cell yang akan
mengirim signal untuk mengontrol jumlah total material yang diekstrak
dengan membuka dan menutup tujuh valve yang ada secara simultan
sampai dicapai maksimum level yang diinginkan.

Teknologi Pembakaran di Kiln 7


Gambar 4. Pembagian dasar silo

Gambar 4. menunjukkan pembagian dasar silo menjadi tujuh bagian


dengan outlet A-G dan segmen-segmen yang terletak di sekeliling outlet.
Masing-masing bagian segitiga disediakan sistem aerasi sendiri-sendiri.
Raw meal dikeluarkan dari tiga valve pada waktu yang bersamaan dari
tiga valve pengeluaran dengan menggunakan tiga kompresor yang
terpisah secara berurutan

1.3 Penentuan Target Semen (Raw Mix Desain)


Dalam pembuatan semen memerlukan pengaturan proporsi dari oksida-
oksida yang dikehendaki sesuai dengan type semen yang akan dibuat.
Dalam kondisi kualitas yang stabil pada raw meal, abu batu bara, EP dust,
gypsum dan material ketiga, hal tersebut tidaklah terlalu sulit, yang
diperlukan adalah hanya pengaturan komposisi dari raw meal saja,
misalnya target LSF, SIM, ALM. Akan tetapi pada kondidi seperti sekarang
ini dimana terjadi fluktuasi kadar abu batu bara, serta EP dust yang selalu
berubah-ubah dari waktu ke waktu, maka diperlukan pengaturan target
raw mix sesuai dengan perubahan dari kandungan abu pada batu bara,
serta komposisi dari EP dust. Perubahan komposisi EP dust selama ini
dipengaruhi oleh jenis batu kapur yang dikirim dari Tambang, perubahan

Teknologi Pembakaran di Kiln 8


ini mempunyai range waktu yang agak panjang. Sebaliknya abu pada
batu bara akan berubah-ubah dalam waktu range yang sangat pendek ,
sesuai dengan pile dari batu bara yang ditarik dari storage, selama ini
setiap terjadi pemindahan penarikan dari Pile, maka komposisi kadar abu
akan berubah pula, hal ini diakibatkan oleh kualitas batu bara yang masuk
tidak konstant.

Flow Chart Pengaturan Komposisi Semen

Target / Komposisi
Semen

Oksida & Proporsi :


Klinker & Gypsum

Target / Komposisi
Klinker

Oksida & Proporsi :


Raw Meal Feed
EP dust
Ash Bahan Bakar

Target / Komposisi
Raw Meal

Oksida dan Proporsi


Batu Kapur
Silika
Clay
Pasir Besi

Teknologi Pembakaran di Kiln 9


1.4 Modulus dan Faktor

Komposisi kimia utama Raw Meal adalah oksida-oksida kalsium, silika,


alumina dan besi. Dalam proses, komposisi kimia Raw Meal pada
umumnya dinyatakan dalam bentuk modulus-modulus atau faktor. Dengan
menyatakan komposisi kimia dalam bentuk modulus atau faktor, maka
parameter-parameter pengendalian dalam raw mix design akan lebih
sederhana dan mudah dimengerti.

1.4.1 Faktor Penjenuhan Kapur / Lime Saturation Factor (LSF)


Faktor penjenuhan kapur adalah nilai yang menunjukkan perbandingan CaO
efektif terhadap CaO maksimum teoritis yang dapat mengikat senyawa-
senyawa SiO2, Al2O3 dan Fe2O3. Perhitungan LSF didasarkan pada
anggapan kondisi pembakaran klinker yang optimal, homogenisasi Raw Meal
baik dan CaO-bebas pada terak sama dengan nol, yang dirumuskan :

LSF  100 xCaO


2,8 xSiO 2  1,18 xAl 2O 3  0,65 xFe2O 3

Batasan nilai LSF adalah 90 – 99 %. Pengaruh nilai LSF terhadap proses


pembentukan klinker adalah sebagai berikut :

Pengaruh LSF > 99


o Raw Meal sulit dibakar, kebutuhan energi tinggi
o Sulit membentuk coating, sehingga panas radiasi yang hilang dari
dinding kiln naik
o Temperatur gas keluar kiln naik
o Kadar CaO bebas cenderung naik
o Kadar C3S naik, sehingga kuat tekan awal dan panas hidrasi naik
o Biasanya digunakan untuk mengantisipasi kadar abu dan
komposisi kimia kadar abu batubara yang tinggi

Teknologi Pembakaran di Kiln 10


Pengaruh LSF < 90
o Raw Meal mudah dibakar, kebutuhan energi rendah
o Fasa cair di burning zone berlebihan, cenderung membentuk ring
dan coating washing
o Terak berbentuk bola-bola dan sulit digiling
o Kadar CaO bebas rendah
o Kadar C3S turun dan kadar C2S naik secara proposional
o Panas hidrasi semen cenderung rendah

Contoh perhitungan :
Diketahui komposisi umpan tanur sebagai berikut :
CaO : 42,72 %
SiO2 : 13,38 %
Al2O3 : 3,51 %
Fe2O3 : 2,10 %
MgO : 0,58 %
K2O : 0,20 %
LOI : 34,21 %
100 x 42,72
LSF 
2,8 x13,38  1,18 x3,51  0,65 x 2,10

= 99,42

1.4.2 Modulus Hydraulic


Modulus ini menunjukkan perbandingan antara CaO dengan ketiga oksida
utama lainnya yang dirumuskan :

HM  CaO
SiO 2  Al 2O3  Fe 2O3

Teknologi Pembakaran di Kiln 11


Batasan nilai HM adalah 1,7 – 2,3. Pengaruh nilai HM terhadap proses dan
kualitas semen adalah sebagai berikut :

Pengaruh HM > 2.3


o Raw Meal sulit dibakar, kebutuhan energi tinggi.
o Karakteristik semen yang dihasilkan adalah mempunyai kadar
CaO bebas yang cenderung tinggi, kuat tekan awal dan panas
hidrasi tinggi, tidak tahan terhadap senyawa asam dan stabilitas
volume yang rendah.

Pengaruh HM < 1.7


o Raw Meal mudah dibakar, kebutuhan energi rendah.
o Karakteristik semen yang dihasilkan adalah mempunyai kadar
CaO bebas rendah, kuat tekan rendah.

Contoh perhitungan :
Diketahui komposisi umpan tanur sebagai berikut :
CaO : 42,72 %
SiO2 : 13,38 %
Al2O3 : 3,51 %
Fe2O3 : 2,10 %
MgO : 0,58 %
K2O : 0,20 %
LOI : 34,21 %
42,72
HM 
13,38  3,51  2,10

= 2,25

1.4.3 Modulus Silika

Teknologi Pembakaran di Kiln 12


Modulus silika adalah nilai yang menunjukkan perbandingan antara jumlah
SiO2 terhadap jumlah Fe2O3 dan Al2O3. Modulus silika dapat dinyatakan
dengan persamaan berikut ini :

SM  SiO 2
Al 2O 3  Fe 2O 3

Batasan nilai SM adalah 1,9 – 3,2 Pengaruh nilai SM terhadap proses dan
kualitas semen adalah sebagai berikut :

Pengaruh SM > 3.2


o Raw Meal sulit dibakar dan memerlukan energi tinggi
o Fase cair rendah, thermal load tinggi, terak dusty dan kadar CaO
bebas cenderung tinggi.
o Sifat coating tidak stabil, coating yang terbentuk tidak tahan
terhadap thermal shock sehingga radiasi dari dinding tanur tinggi.
o Merusak bata tahan api.
o Memperlambat pengerasan semen.
o Kuat tekan semen cenderung tinggi

Pengaruh SM < 1.9


o Selalu membentuk ring
o Terak sangat keras dan sulit digiling
o Waktu pengikatan semen pendek dan panas hidrasi naik
o Kuat tekan awal semen (3 – 7 hari) rendah
o Tanur tidak stabil, kebutuhan energi rendah
o Mudah dibakar, fasa cair tinggi, menyerang bata tahan api

Contoh perhitungan :
Diketahui komposisi umpan tanur sebagai berikut :
CaO : 42,72 %

Teknologi Pembakaran di Kiln 13


SiO2 : 13,38 %
Al2O3 : 3,51 %
Fe2O3 : 2,10 %
MgO : 0,58 %
K2O : 0,20 %
LOI : 34,21 %
13,38
SM 
3,51  2,10

= 2,39

1.4.4 Modulus Alumina


Modulus alumina / modulus besi adalah perbandingan antara Al2O3 dengan
Fe2O3. Nilai modulus alumina / modulus besi dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut ini :

AM  Al 2O 3
Fe2O 3

Nilai kritis AM dapat dihitung dengan perbandingan berat molekul alumina


dengan besi. Berat molekul oksida alumina adalah 102 sedang berat oksida
besi adalah 160, sehingga nilai kritis dari AM adalah (102/160) = 0,64. Jika
nilai AM lebih rendah dari 0.64, maka lelehan akan terdiri dari CF dan C 4AF.
Jika nilai AM sama dengan 0,64 keseluruhan lelehan dalam clinker berupa
C4AF, sedang bila nila AM lebih besar dari 0,64 lelehan akan terdiri dari C 4AF
dan C3A, sehingga untuk membuat semen yang mengandung C3A maka nila
AM harus lebih besar dari 0,64.

Batasan nilai IM / AM adalah 1,5 – 2,5. Pengaruh nilai IM / AM terhadap


proses dan kualitas semen adalah sebagai berikut :

Pengaruh IM > 2.5


o Raw Meal sulit dibakar

Teknologi Pembakaran di Kiln 14


o Viskositas fasa cair pada temperaturtetap akan naik
o Semen yang dihasilkan mempunyai kuat tekan awal tinggi, waktu
pengikatan pendek, panas hidrasi tinggi, ketahanan terhadap sulfat
rendah.
o Kadar C3A naik, C4AF turun, sedangkan C3S dan C2S naik.

Pengaruh IM < 1.5


o Fase cair mempunyai viskositas rendah
o Semen yang dihasilkan mempunyai ketahanan terhadap sulfat
tinggi, kuat tekan awal rendah, panas hidrasi rendah
o IM yang rendah dan tidak adanya SiO 2 bebas dalam Raw Meal
menyebabkan terak menjadi lengket dan membentuk bola-bola
besar.

Contoh perhitungan :
Diketahui komposisi umpan tanur sebagai berikut :
CaO : 42,72 %
SiO2 : 13,38 %
Al2O3 : 3,51 %
Fe2O3 : 2,10 %
MgO : 0,58 %
K2O : 0,20 %
LOI : 34,21 %
3,51
IM 
2,10

= 1,67

1.4.5 Fasa Cair


Senyawa-senyawa Al2O3, Fe2O3, MgO dan minor sangat menentukan
jumlah fasa cair yang terbentuk, temperatur reaksi, viskositas, tegangan

Teknologi Pembakaran di Kiln 15


permukaan dan mobilitas ionik pada proses klinkerisasi. Kandungan fasa
cair pada suhu 1450 oC dapat dihitung sebagai berikut :

LP = 3,0 Al2O3 + 2,25 Fe2O3 + MgO + (Na2O+ K2O)

Fasa cair dibutuhkan untuk pembentukan C 3S pada waktu proses


klinkerisasi. Fasa cair yang normal berkisar antara 23 % hingga 28 %. TK
Chatterjee menunjukkan bahwa fasa cair yang ideal adalah sekitar 25 %,
dimana hal ini sangat baik untuk pembentukan C 3S yang cepat melalui
pelarutan C2S dan CaO bebas, kemudahan terak untuk digiling, keawetan
bata tahan api dan pemakaian bahan bakar yang lebih hemat.

Pengaruh fasa cair dibawah 23 % dan diatas 28 % terhadap kualitas klinker


dan proses adalah sebagai berikut :

Pengaruh Fasa cair < 23 % :


o Terak cenderung berdebu (halus)
o Gejala sirkulasi alkali meningkat, preheater cenderung
tersumbat secara periodik
o Pembentukan dust ring di zona transisi

Pengaruh Fasa cair > 28 % :


o Terak cenderung padat
o Serangan terhadap bata basic di burning zone

Contoh perhitungan :
Diketahui komposisi umpan tanur sebagai berikut :

Kompone Dry Base Ignited Base


n
CaO 42,72% 64,93 %

Teknologi Pembakaran di Kiln 16


SiO2 13,38 % 20,34 %
Al2O3 3,51 % 5,34 %
Fe2O3 2,10 % 3,19 %
MgO 0,58 % 0,88 %
K2O 0,20 % 0,30 %
LOI 34,21 % -

LP  3,0 x5,34  2,25 x3,19  0,88  0,30

= 24,37

1.4.6 Hardening Ratio


Hardening ratio didefinisikan sebagai perbandingan antara C3S dan C2S,
yang dinyatakan dengan ME.

C3S
ME 
C2S

Peningkatan nilai dari hardening ratio mengakibatkan peningkatan initial


strength, kenaikan panas hidrasi dan penurunan durability semen. Pada
umumnya harga ME berada diatas 0,5. Untuk high early strength cement
mempunyai harga ME sekitar 8.

1.4.7 Modulus Caloric


Hardening ratio didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah C 3S dan
C3A dengan jumlah C2S dan C4AF, yang dinyatakan dengan MK.

C3S  C3 A
MK 
C2S  C4AF

Harga MK di dalam portland cement bervariasi antara 0,3 -1,8. Semakin tinggi
harga MK akan menyebabkan kenaikan panas hidrasi semen.

1.4.8 Burnability

Teknologi Pembakaran di Kiln 17


Burnability adalah ukuran yang menunjukkan mudah atau sukarnya transfer
massa Raw Meal menjadi fasa terak. Biasanya burnability diukur dengan
menentukan kadar CaO bebas sesudah Raw Meal dibakar pada selang
waktu dan temperatur tertentu. Burnability umumnya dinyatakan dengan dua
cara, yaitu :
1. Mengukur CaO bebas pada selang waktu yang tetap dan temperatur
tertentu. Semakin tinggi nilai CaO bebas berarti semakin rendah
burnability.
2. Mengukur waktu pada temperatur tetap untuk CaO bebas  2 . Semakin
lama waktu yang dibutuhkan berarti semakin rendah burnability.

Parameter-parameter penting yang sangat berpengaruh pada burnability adalah :

i. Mineralogi Bahan Baku


1. Burnability akan turun sebanding dengan naiknya kadar mineral calcite dan
quartz yang terdapat dalam Raw Meal, hal ini disebabkan mineral calcite
yang berasal dari batu kapur membutuhkan energi yang relatif besar untuk
proses kalsinasi sedangkan mineral quartz yang berasal dari sand / pasir
dan / atau clay mempunyai tingkat reaktivitas yang rendah sehingga relatif
sulit untuk bereaksi dengan CaO.
2. Senyawa-senyawa minor tertentu baik sebagai senyawa pengotor / minor
(lihat tabel 6) akan mempengaruhi burnability Raw Meal.

Untuk mineral sumber oksida CaO, dibawah ini adalah urutan reaktifitas mineral dari
yang mudah sampai yang susah secara berurutan.

Calcite (aragonite) > dolomite > ankerite

Untuk mineral yang mengandung oksida alumina, urutan reaktifitasnya dari yang
mudah sampai yang susah berdasarkan urutan di bawah ini:

Teknologi Pembakaran di Kiln 18


Kaolinte > Illite > chlorite > Montmorillonite > Muscovite

Untuk mineral yang mengandung oksida silika, urutan reaktifitasnya dari yang
mudah sampai yang susah berdasarkan urutan di bawah ini:

Silica amorph (glassy slags) > Silika mica dan amphiboles silica (dari
clay minerals) > silica dari felspars > ά-tridymite > ά-cristobalite > opal >
chacedony > quartz

Selain mineral sumber oksida utama, mineral-mineral minor yang berfungsi sebagai
fluxes akan memperbaiki burnability raw mix. Mineral yang termasuk dalam
golongan ini diantaranya adalah CaF2, Na2SiF6, Ca3(PO4)2, dan lainnya.

Burnability akan turun sebanding dengan naiknya kadar mineral calcite dan quartz
yang terdapat dalam Raw Meal, hal ini disebabkan mineral calcite yang berasal dari
batu kapur membutuhkan energi yang relatif besar untuk proses kalsinasi sedangkan
mineral quartz yang berasal dari sand / pasir dan / atau clay mempunyai tingkat
reaktivitas yang rendah sehingga relatif sulit untuk bereaksi dengan CaO.

Parameter-parameter penting yang sangat berpengaruh pada burnability adalah :


ii. Komposisi Kimia Raw Meal
o Burnability dipengaruhi oleh perbandingan komposisi oksida-oksida utama
Raw Meal, LSF, HM, SM dan IM.
o Selain itu burnability dipengaruhi juga oleh senyawa-senyawa minor tertentu
baik sebagai volatile maupun non-volatile

iii. Granulometri Raw Meal


o Kehalusan dan distribusi ukuran partikel sangat besar pengaruhnya terhadap
burnability Raw Meal. Semakin halus Raw Meal, semakin besar luas
permukaannya, semakin mudah dibakar dan semakin rendah temperatur
sinteringnya. Ukuran butiran yang sangat berpengaruh dalam Raw Meal

Teknologi Pembakaran di Kiln 19


adalah mineral quartz dan calcite. Quartz berpengaruh lebih besar terhadap
burnability. Satu persen mineral quartz yang berukuran lebih besar dari 100
µm sama pengaruhnya dengan 6 % mineral calcite dengan ukuran yang
sama. Dari berbagai pengalaman dikemukakan bahwa Raw Meal yang baik
adalah Raw Meal yang mempunyai ukuran partikel mineral silika diatas 200
µm tidak melebihi 0,5 % atau mineral silika yang berukuran antara 90 – 200
µm tidak lebih dari 1 %. Mineral calcite yang berukuran diatas 150 µm masih
dapat diterima karena tidak memberikan pengaruh yang serius. Ukuran
maksimum yang masih diijinkan adalah 44 µm untuk mineral quartz dan 125
µm untuk mineral calcite, walaupun ada pabrik semen yang membatasi lebih
ketat lagi yaitu 32 µm untuk mineral quartz dan 90 µm untuk mineral calcite.

o Pada umumnya target kehalusan Raw Meal adalah 12 % tertahan pada


ayakan no. mesh 170 ( 90µm ) dan 2,5 % tertahan pada ayakan no mesh 72 (
212µm ). Pengendalian ukuran partikel sangat penting karena kecepatan
sintering berbanding terbalik dengan ukuran pertikel.

o Hal lain yang penting adalah homogenisasi umpan tanur. Homogenisasi


umpan tanur merupakan proses yang utama karena sangat berpengaruh
terhadap kualitas klinker, proses pembakaran dan kebutuhan bahan bakar.
Material yang kurang reaktif seperti quartz dan calcite, biasanya terdapat
pada fraksi kasar Raw Meal, sehingga sangat mempengaruhi homogenisasi
umpan tanur. Fluktuasi umpan tanur yang diukur dengan CaCO3 harus tidak
lebih dari + 0.2 % dari set point.

1.4.9 Perlakuan panas


Pemanasan raw mix menjadi mineral-mineral semen biasanya berlangsung
pada rentang suhu 1450 oC – 1500 oC. Apabila panas yang diberikan
berlebihan, akan mengakibatkan stress pada refractory, boros bahan bakar,
penurunan kuat tekan semen dan pembentukan cristal alite yang lebih besar.
Berdasarkan penelitian, kenaikan temperatur dari 1360 oC menjadi 1420 oC

Teknologi Pembakaran di Kiln 20


mengakibatkan penurunan waktu tinggal menjadi setengahnya untuk kondisi
hasil yang sama. Temperatur pembakaran secara empirik diperkirakan
dengan persamaan :

o
C = 1300 + 4,51 C3S – 3,74 C3A – 12,64 C4AF

Kecepatan pemasan yang tinggi lebih disukai karena:


o Ukuran partikel kasar masih dapat diatasi
o Distribusi ukuran partikel yang tidak merata masih dapat ditangani
o Pembentukan cristal C 2S yang relatif kecil sehingga
mempermudah interaksinya dengan CaO bebas membentuk C3S
di dalam fasa liquid

Selain temperatur, yang berpengaruh adalah waktu tinggal di dalam kiln.


Kenaikan waktu tinggal mengakibatkan:
o Kenaikan kandungan C3A dan penurunan C4AF
o Kenaikan C3S dan penurunan C2S
o Kuat tekan awal berkurang dan kuat tekan akhir bertambah
o Panas hidrasi awal berkurang
o Kualitas klinker relatif baik meskipun masih terdapat kandunagn
CaO bebas yang cukup tinggi

Untuk menentukan nilai dari burnability faktor, dapat dilakukan dengan


beberapa cara, salah satunya dilakukan dengan pendekatan secara
teoritis yang didapatkan dari hasil penelitian (empirik). Adapun
persamaan-persamaan yang digunakan adalah :

C3S
a. BI1 =  C3A
C4AF
C3S
b. BI2 =  C3A  MgO  K 2O  Na 2O
C4AF

Teknologi Pembakaran di Kiln 21


c. BF1 = LSF  10SM  3(MgO  K 2O  Na 2O)
d. BF2 = LSF  6(SM  2)  3(MgO  K 2O  Na 2O)
e. Bth = 55,5 + 11,9 R+90 + 1,58 (LSF3-90)2 – 0,43 Liq2

100(CaO  0,75MgO)
LSF3 =
2,8SiO 2  1,18Al2O3  0,65Fe2O3

R+90 = Persen massa raw mix yang tertahan ayakan 90 mikron


Liq = Persen liquid dalam raw mix

2. TEKNOLOGI SISTEM KILN

Teknologi Pembakaran di Kiln 22


Seperti telah kita ketahui bersama bahwa semen merupakan perekat
hidraulik yang memiliki unsur-unsur utama klinker (campuran antara C 3S,
C2S, C4AF, dan C3A) dan gypsum (CaSO4. 2H2O). Klinker dibuat dengan
bahan baku utama batu kapur (limestone sekitar 70% - 90%), tanah liat
(clay sekitar 10% - 30 %), dan sisanya adalah bahan koreksi (0 – 10%).

Bahan baku tersebut ditimbang dengan proporsi yang telah ditentukan


sesuai dengan jenis semen yang akan di buat kemudian digiling (terutama
untuk proses kering) dan dibakar di sistem kiln. Proses pembakaran
bahan baku hingga berubah menjadi klinker serta proses pendinginan
klinker hingga bertemperatur tertentu yang aman untuk digiling bersama
gipsum sampai menjadi semen merupakan rangkaian proses pembuatan
semen yang penting. Pada tulisan ini, pembahasan untuk sementara
dibatasi pada proses pembakaran bahan baku menjadi klinker dan
pendinginan klinker.

Dalam pembahasan ini beberapa parameter proses yang penting akan


dibahas pula mengingat parameter-parameter inilah yang akan
dipergunakan sebagai parameter pengendalian mutu proses sehingga
akhirnya akan diperoleh mutu klinker yang baik sesuai dengan spesifikasi
yang sudah ditetapkan.

1.2 Aspek Kimia, Fisika , Mineral dan Energi Pada Proses Pembakaran

Untuk memproduksi klinker semen, bahan baku (raw meal) harus


dipanaskan sampai  1450 C sehingga terjadi proses klinkerisasi. Proses
pembakaran raw meal membutuhkan kondisi oksidasi untuk menghasilkan
klinker yang berwarna abu-abu kehijauan.

Jika kondisi ini tidak memadai akan dihasilkan klinker yang berwarna
coklat sehingga semen yang dihasilkan kekuatannya rendah dan waktu
setting-nya rendah. Proses kimia fisika penting yang terjadi selama
pembakaran adalah dehidrasi mineral tanah liat, dekarbonisasi senyawa

Teknologi Pembakaran di Kiln 23


karbonat (kalsinasi), reaksi pada fasa padat, reaksi pada fasa cair dan
kristalisasi.

Perubahan bentuk kimia selama proses pembakaran ditujukkan pada tabel


berikut :
Temp, C Proses Reaksi Kimia
 100 pelepasan air bebas
100 – 400 pelepasan air terikat
400 – 750 Dekomposisi tanah liat Al4(OH)8Si4O10  2 (Al2O3.2SiO2) +
4H2O
600 – 900 Dekomposisi metakaolin Al2O3.2SiO2  Al2O3 + 2SiO2
membentuk campuran
oksida yang reaktif
600 – 1000 Dekomposisi limestone CaCO3  CaO + CO2
dan pembentukan CS 3 CaO + 2SiO2 + Al2O3  2CS + CA
dan CA
800 – 1300 reaksi lime dengan CS CS + C  C2S
dan CA serta 2C + S  C2S
pembentukan C4AF CA + 2C  C3A
CA + 3C + F  C4AF
1250 –1450 reaksi lanjut lime dengan C2S + C  C3S
C2S
1450 - 100 Pendinginan klinker di
cooler

Teknologi Pembakaran di Kiln 24


Proses-proses yang terjadi di atas berlangsung sejak bahan baku
diumpankan ke dalam peralatan proses (preheater) hingga saat keluar
dari reaktor (kiln) dan kemudian diteruskan dengan pendinginan klinker di
cooler. Berdasarkan hasil penelitian, proses pertama hingga proses
kelima yaitu dekomposisi limestone didominasi oleh mekanisme
perpindahan panas antara gas pembakaran dengan material bahan baku
dalam ujud serbuk atau debu. Sedangkan dua proses berikutnya lebih
didominasi oleh difusi material padat dan sebagian cair di dalam kiln. Oleh
sebab itu untuk proses difusi ini faktor utama yang mempengaruhi
jalannya proses adalah pertemuan antara oksida-oksida dan temperatur
tinggi serta waktu reaksi. Apabila ditinjau dari segi energi proses, secara
teoritis energi yang dibutuhkan dalam proses produksi klinker dapat
diuraikan sebagai berikut:
Tabel energi atau panas reaksi proses produksi klinker
Proses Kkal/kh clinker
Evaporasi combined water + 20
Dekomposisi material clay + 35
Dekomposisi karbonat + 475
Panas pembentukan klinker - 130
Panas zat yang bisa terbakar dalam - 15
rawmeal

Total panas reaksi + 385

Catatan :
a. Tanda + berarti proses endotermik (membutuhkan panas) dan tanda –
berarti proses eksotermik (menghasilkan panas).
b. Dekomposisi karbonat secara teoritik membutuhkan panas sebesar 370
kkal/kg CaCO3. Sedangkan untuk membentuk 1 (satu) kg klinker
dibutuhkan sekitar 1,2 hingga 1,3 kg CaCO 3, sehingga panas
dekomposisi karbonat memerlukan 445 – 480 kkal/kg klinker.
c. Proses-proses di atas memerlukan persyaratan lain yaitu temperatur
cukup tinggi sehingga menghasilkan material keluar sistem dengan
temperatur tinggi, gas hasil pembakaran yang cukup tinggi pula

Teknologi Pembakaran di Kiln 25


temperaturnya, dan kehilangan panas dari peralatan ke lingkungan.
Oleh sebab itu konsumsi panas spesifik untuk menghasilkan 1 kg
klinker tidak cukup dengan sekitar 400 kkal tersebut.
d. Selain itu, untuk tujuan konservasi energi pada pabrik modern,
sebagian panas terbuang telah dimanfaatkan lagi untuk pengeringan
bahan baku dan bahan bakar, sehingga kisaran energi riil yang
dibutuhkan untuk produksi klinker ini sekitar 700 hingga 850 kkal/kg
klinker untuk proses kering.

Berikut ini akan dibahas satu per-satu peralatan proses tersebut serta
ringkasan peristiwa yang dialami oleh meterial baku (raw meal) selama
berada di dalam peralatan tersebut.

1.3 Suspension Preheater dan Calciner

Suspension preheater merupakan salah satu peralatan produksi untuk


memanaskan awal bahan baku sebelum masuk ke dalam rotary kiln.
Suspension preheater terdiri dari siklon untuk memisahkan bahan baku
dari gas pembawanya, riser duct yang lebih berfungsi sebagai tempat
terjadinya pemanasan bahan baku (karena hampir 80% -90% pemanasan
debu berlangsung di sini), dan kalsiner untuk sistem-sistem dengan
proses prekalsinasi yang diawali di SP ini.

Pada awalnya proses pemanasan bahan baku terjadi dengan mengalirkan


gas hasil sisa proses pembakaran di kiln melalui suspension preheater ini.

Namun dengan berkembangnya teknologi, di dalam suspension preheater


proses pemanasan ini dapat dilanjutkan dengan proses kalsinasi sebagian
dari bahan baku, asal peralatan suspension preheater ditambah dengan
kalsiner yang memungkinkan ditambahkannya bahan bakar dan udara)
untuk memenuhi kebutuhan energi yang diperlukan untuk proses kalsinasi
tersebut. Peralatan terakhir ini sudah banyak ditemui untuk pabrik baru
dengan kapasitas produksi yang cukup besar, dan disebut dengan
suspension preheater dengan kalsiner.

Teknologi Pembakaran di Kiln 26


Gas & Non-separated Rawmix

Fresh Feed
1
Fresh Feed
1

2 Notation:
1. Top Cyclone
2 Notation: 2. Second Cyclone
1. Top Cyclone 3 3. Third Cyclone
2. Second Cyclone 4. The lowest cyclone
3 3. Third Cyclone 5. Calciner
4. The lowest 4 Hot Air from Cooler
cyclone

Kiln Combustion gas


5 Kiln
4 Combustion gas
Gas & dust Kiln

Rawmix Rawmix
Rawmix inside of the kiln Rawmix inside of the kiln

Gambar 3: Skema suspension preheater tanpa dan dengan kalsiner

Secara skematik gambaran kedua tipe suspension preheater ini


diperlihatkan pada gambar diatas. Perbedaan utama kedua sistem
preheater di atas adalah prosentase proses kalsinasi raw mix yang terjadi.
Pada suspension preheater tanpa kalsiner, prosentase proses kalsinasi
lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di dalam preheater dengan
kalsiner.

Pada suspension preheater dengan kalsiner ini derajat kalsinasi raw mix
(artinya prosentase bahan baku yang telah mengalami proses kalsinasi)
pada saat masuk ke kiln dapat mencapai 90 - 95 %. Sedangkan pada
suspension preheater tanpa kalsiner, menurut hasil penelitian selama ini,
tidak akan melebihi 40%. Sebagai konsekuensi dari pemakaian kedua
jenis preheater ini, proses yang terjadi di dalam kiln akan sedikit berbeda,
demikian pula energi yang dibutuhkannya.

Teknologi Pembakaran di Kiln 27


Pada prinsipnya dengan adanya kalsiner sebagian besar proses kalsinasi
dipindahkan dari kiln ke kalsiner sehingga proses kalsinasi yang terjadi di
kiln tinggal sedikit. Dengan demikian pada suspension preheater dengan
kalsiner ini, di dalam kiln tinggal terjadi sedikit proses kalsinasi,
klinkerisasi dan sintering, serta awal pendinginan klinker saja. Untuk itu
biasanya kiln dirancang dengan demensi yang lebih pendek.

Reaksi Kalsinasi :

CaCO3 ---------- Cao + CO2

MgCO3 ---------- MgO + CO2

Pada proses kalsinasi, energi yang dibutuhkan merupakan energi laten


reaksi sehingga tidak untuk meningkatkan temperatur bahan baku dan
sebagian atau seluruh udara pembakaran diambil dari udara pendinginan
klinker di cooler yang telah merekuperasi panas pendinginan klinker.

Udara pembakaran dari cooler ini disebut dengan udara tertier. Oleh
karena itu di dalam kalsiner ini beda temperatur antara gas dan material
paling rendah.

Dengan penggunaan kalsiner ini pembakaran klinker (klinkerisasi dan


sintering) dapat dilakukan pada rotary kiln yang lebih kecil dengan waktu
tinggal yang tepat. Dasar pemikiran penggunaan kalsiner ini adalah
bahwa rotary kiln, sebagai alat penukar panas, perpindahan panas yang
efektif terjadi pada zona pembakaran (burning zone) di mana perpindahan
panasnya hampir seluruhnya secara radiasi.

Sedang pada tempat yang bertemperatur lebih rendah seperti zona


kalsinasi perpindahan panas yang terjadi lebih didominasi oleh
mekanisme konveksi tidak cukup ekonomis dilakukan di dalam kiln karena

Teknologi Pembakaran di Kiln 28


kecepatan aliran gas cukup rendah. Berdasarkan konsep pemikiran inilah,
akan diperoleh penghematan energi pembakaran klinker bila proses
kalsinasi dilakukan sebagian besar di luar kiln.

Penggunaan kalsiner mempunyai keuntungan sebagai berikut :

a. Diameter kiln dan thermal load-nya lebih rendah terutama untuk kiln
dengan kapasitas besar. Pada sistem suspension preheater tanpa
kalsiner, 100% bahan bakar dibakar di kiln. Dengan kalsiner ini,
dibandingkan dengan kiln yang hanya menggunakan SP saja, maka
suplai panas yang dibutuhkan di kiln hanya 35% - 50%. Biasanya
sekitar 40 % bahan bakar yang dibakar di dalam kiln, sementara
sisanya dibakar di dalam kalsiner. Sebagai konsekuensinya untuk
suatu ukuran kiln tertentu, dengan adanya kalsiner ini, kapasitas
produksinya dapat mencapai hampir dua kali atau dua setengah kali
lipat dibanding apabila kiln tersebut dipergunakan pada sistem
suspension preheater tanpa kalsiner. Kapasitas kiln spesifik, dengan
penggunaan kalsiner ini, bisa mencapai 4,8 TPD/m 3.

b. Di dalam kalsiner dapat digunakan bahan bakar dengan kualitas


rendah karena temperatur yang diinginkan di kalsiner relatif rendah
(850 - 900 oC), sehingga peluang pemanfaatan bahan bakar dengan
harga yang lebih murah, yang berarti dalam pengurangan ongkos
produksi, dapat diperoleh.

c. Dapat mengurangi konsumsi refraktori kiln khususnya di zona


pembakaran karena thermal load-nya relatif rendah dan beban
pembakaran sebagian dialihkan ke kalsiner.

d. Emisi NOx-nya rendah karena pembakaran bahan bakarnya terjadi


pada temperatur yang relatif rendah.

Teknologi Pembakaran di Kiln 29


e. Operasi kiln lebih stabil sehingga bisa memperpanjang umur refraktori.

f. Masalah senyawa yang menjalani sirkulasi (seperti alkali misalnya)


relatif lebih mudah diatasi.

Selain beberapa keuntungan di atas, penggunaan kalsiner ini juga


memiliki beberapa hal yang kurang meguntungkan, di antaranya:

a. Temperatur gas buang keluar dari top cyclone relatif lebih tinggi. Untuk
mengatasi hal ini dirancang siklon dengan penurunan tekanan yang
rendah sehingga dapat ditambah dengan siklon ke-lima sehingga
secara keseluruhan suspension preheater memiliki lima tingkat siklon.
b. Temperatur klinker yang keluar dari kiln relatif lebih tinggi karena
berkurangnya jumlah udara sekunder yang diperlukan di kiln. Untuk
mengatasi hal ini biasanya digunakan pendingin klinker yang efektif
yaitu grate cooler.
c. Penurunan tekanan total di suspension preheater lebih tinggi dibanding
sistem tanpa kalsiner sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya
konsumsi daya listrik pada motor ID fan. Namun hal ini biasanya
dikompensasi dengan desain siklon yang hemat energi.
d. Lokasi kalsiner, ducting, tambahan alat pembakaran, duct udara tersier
akan menambah kompleksnya konstruksi peralatan.

Design Calciner pada umumnya adalah kalcinasi sekitar 90 – 95 %.


Kalsinasi 100 % harus dihindarkan, karena menyebabkan material tsb
lengket dan dapat menyumbat di cyclon atau down pipe. Waktu tinggal 1 –
3 detik, dan temperatur sekitar 850 – 900 ºC.

Parameter yang mempengaruhi pembakaran di Precalciner:


 Pencampuran yang baik antara batu bara dengan oxygen.

Teknologi Pembakaran di Kiln 30


 Waktu tinggal untuk pembakaran batu bara mencukupi.
 Pola aliran dari campuran gas, raw meal di dalam calciner.
 Distribusi raw meal didalam precalciner merata. Konsentrasi
raw meal yang terlalu besar akan menghalangi pembakaran
dari batu bara, dan akan menyebabkan terbentuknya gas CO.
CaCO3/CO2 + C → CO

Performance dari precalciner ditentukan oleh:


 Tingkat calcinasi sesuai dengan kebutuhan.
 Perbedaan temperatur gas dan material setelah precalciner
stage serendah mungkin.
 Pembakaran sempurna harus dicapai karena akan berbahaya
terhadap system.

Hubungan antara waktu bakar fine coal dan ukuran partikel dapat dilihat
pada gambar 4. dan hubungan Derajat Kalsinasi Raw Mix terhadap
temperatur dapat dilihat pada gambar 5.

Teknologi Pembakaran di Kiln 31


Gambar 4. Hubungan Waktu bakar fine coal terhadap ukuran partikel.

Gambar 5. Derajat kalsinasi Raw Mix terhadap Temperatur

2.1 Sistem Kiln

Beberapa Pabrikan seperti FLS, Fuller, Polysius, dll merancang system


kiln yang mempunyai spesifikasi dan design tidak terlalu jauh berbeda,
oleh sebab itu yang akan diuraikan dibawah ini adalah type Kiln system
yang didesign oleh FLS. Masing-masing system kiln tersebut mempunyai
keunggulan dan kelemahan tersendiri

Tabel 2.3 : Tipe Sistem Kiln Design FLS

Kiln System Valumetric Buring zone load


load 10 6 Kcal/kg/m²
Tpd/m³

SP 1,8 – 2,3 2,8 – 5,5


ILC – E 1,8 – 2,5 2,8 – 6,0
ILC 3,6 – 4,8 2,4 – 4,8
SLC 3,6 – 4,8 2,4 – 4,8
SLC – 1 3,6 – 4,8 2,4 – 4,8
SLC – S 3,6 – 4,8 2,4 – 4,8

Teknologi Pembakaran di Kiln 32


Catatan :

1. Tabel tersebut berlaku untuk kiln dengan tiga support. Untuk kiln
dengan dua support (kiln lebih pendek), khususnya untuk tipe
konfigurasi ILC dan SLC termasuk I dan S, beban volumetrik dapat
ditingkatkan menjadi hingga maksimum 5,0 (TPD/m 3) dan beban
panas di burning zone menjadi lebih rendah sedikit atau sama dengan
kiln tiga support.

2. Kapasitas produksi kiln dengan ukuran tertentu sangat tergantung


pada konfigurasi SP dan konsumsi bahan bakar yang dibakar di kiln.
Sebagai contoh suatu kiln dengan diameter 5 m biasanya memiliki luas
penampang bersih sebesar 16,6 m 2. Bila panjang kiln adalah 78 m,
maka volume bersih kiln adalah sekitar 1295 m 3. Apabila konsumsi
panas spesifik dianggap sebesar 740 kkal/kg klinker, maka produksi
maksimum yang dapat dihasilkan oleh kiln tersebut diperkirakan
dengan mengevaluasi volume dikalikan dengan beban panas
volumetrik maksimum yang diijinkan. Sedangkan beban panas zona
pembakaran dapat dihitung dengan mengalikan produksi per jam
(TPD/24) terhadap konsumsi panas spesifik dan prosentase bahan
bakar yang dibakar di kiln dibagi dengan luas penampang kiln. Untuk
data di atas akan diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Untuk kiln tanpa udara tertier:

1. Sistem SP : Produksi maksimum = 1295 x 2,3 = 2978 TPD


Burning zone load = (2978000/24) x (740/16,6)
= 5,53 x 106 (kkal/h/m2).

2. Sistem ILC-E :
Apabila diasumsikan 15% bahan bakar dibakar di Calciner dan
85% dibakar di kiln akan diperoleh:
Produksi maksimum = 1295 x 2,5 = 3237 TPD

Teknologi Pembakaran di Kiln 33


Burning zone load = (3237000/24)x(740/16,6) x 0,85
= 5,11 x 106 (kkal/h/m2).

b. Untuk kiln dengan udara tertier:


Apabila diasumsikan 60% bahan bakar dibakar di Calciner dan
40% dibakar di kiln akan diperoleh:

Produksi maksimum = 1295 x 4,8 = 6216 TPD


Burning zone load = (6216000/24) x (740/16,6) x 0,4
= 4,62 x 106 (kkal/h/m2).

Dalam hal ini konfigurasi SP dapat merupakan jenis ILC, SLC, SLC
– I, maupun SLC – S.

2.3.1 SP : Suspension Preheater Kiln

SP Kiln System sudah diperkenalkan sejak 1962, Kiln system ini biasanya
menggunakan planetary cooler dan single string preheater.

Special Advantages
 Untuk kapasitas kecil (solusi pilihan secara ekonomis)
 Spesifik power consumption rendah dengan planetary cooler
 Pengoperasian sederhana (cocok untuk control manual)

Teknologi Pembakaran di Kiln 34


Feature
 Range normal kapasitas : 700 – 2500 tpd
 Ratio firing di riser duct : 0 – 15 %
 Derajad kalsinasi di kiln inlet : 30 – 40 %
 Bypass gas kiln : 0 – 30 %

Teknologi Pembakaran di Kiln 35


2.3.2 ILC-E : In-Line Calciner Using Excess AIR

System ini adalah pengembangan dari SP Kiln, yang dilengkapi dengan


precalciner kecil, dimana pembakaran dicalciner hanya 10 – 25 % saja.

Special Advanteges
 Lebih ekonomis untuk kiln kapasitas kecil dan menengah.
 Spesifik power consumption rendah dengan planetary cooler.
 Pengoperasian mudah sehubungan dengan percentase excess
air tinggi dalam kiln.
 Kecendrungan yang rendah clogging di kiln inlet dan riser duct.
 Sedikit sensitif terhadap unsur klorida di kiln feed.
 Dimensi kiln yang lebih kecil dibanding SP.

Teknologi Pembakaran di Kiln 36


Feature
 Range normal kapasitas : 800 – 3500 tpd
 Ratio firing di riser duct : 10 – 25 %
 Bypass gas kiln : 0 – 25 %
 Derajad kalsinasi di kiln inlet : 50 – 70 %
 System cooler dapat dipasang planetary atau grate cooler

Teknologi Pembakaran di Kiln 37


2.3.3 ILC : InLine Calciner

System ini diperkenalkan tahun 1976, yang memiliki single string 4-6
stage preheater, dan dilengkapi calciner yang di pasang di Riser duct.
Udara pembakaran diambil dari cooler melalui TAD.

Special Advantages
 Waktu tinggal yang lama material dan gas di calciner
sehubungan dengan volume yang besar calciner dan moderate
swirl.
 Cocok untuk low grate fuel.
 Kecendrungan yang rendah coating di kiln dan riser duct
 Dimensi kiln yang lebih kecil dibanding SP dan ILC-E

Teknologi Pembakaran di Kiln 38


Feature
 Range normal kapasitas : 1500 – 5000 tpd
 Ratio firing di riser duct : 55 – 65 %
 Bypass gas kiln : 0 – 60 %
 Derajad kalsinasi di kiln inlet : 90 – 95 %
 System cooler grate cooler

Teknologi Pembakaran di Kiln 39


2.3.4 SLC-D : Separate Line Calciner Down Draft

Special Advantages
 Waktu tinggal yang lama material dan gas di calciner dimana
dimensi adalah minimal selama gas kiln tidak melewati calciner.
 Cocok untuk segala jenis fuel, terutama low volatile,
sebagaimana pembakaran dalam kalsiner terjadi dengan udara
kaya oksigen panas dan temperature pembakaran di kalsiner
dapat dikontrol secara terpisah dari temperature material yang
terkalsinasi menuju kiln.
 Dimensi calciner lebih kecil.
 Sangat cocok untuk retrofit dari existing SP atau ILC-E.
 Umur batu tahan api yang lama sehubungan dengan kestabilan
coating kiln.
 Sedikit sensitif terhadap unsur klorida di kiln feed.

Teknologi Pembakaran di Kiln 40


Feature
 Range normal kapasitas : 1500 – 6000 tpd
 Dengan multiple string : > 1000 tpd
 Ratio firing di calciner : 55 – 60 %
 Bypass dari gas kiln : 0 – 60 %
 Derajad kalsinasi di kiln inlet : 90 – 95 %
 System cooler grate cooler

Teknologi Pembakaran di Kiln 41


2.3.5 SLC : Separate Line Calciner

SLC mulai diperkenalkan tahun 1977, dengan kapasitas dapat mencapai


10.000 TPD. SLC Kiln dapat dilengkapi double atau tripple string
preheater. Dimana kapasitas kiln string sebesar 3.500 TPD.

Special Advantages
 Waktu tinggal material dan gas yang lama di calciner dimana
volume calciner yang besar.
 Cocok untuk segala jenis fuel, terutama low volatile,
sebagaimana pembakaran dalam kalsiner terjadi dengan udara
kaya oksigen panas dan temperature pembakaran di kalsiner
dapat dikontrol secara terpisah dari temperature material yang
terkalsinasi menuju kiln.
 Tidak ada damper di TAD.

Teknologi Pembakaran di Kiln 42


 Kecendrungan yang rendah coating di kiln inlet dan riser duct.
 Umur batu tahan api yang lama sehubungan dengan kestabilan
coating kiln dan termal load kiln yang rendah.
 Sedikit sensitif terhadap unsur klorida di kiln feed

Feature
 Range normal kapasitas : 3000 – 7500 tpd (2 string)
 7500 – 12000 (3 string)
 Ratio firing di calciner : 55 – 60 %
 Bypass dari gas kiln : 0 – 100 %
 Derajad kalsinasi di kiln inlet : 90 – 95 %

Teknologi Pembakaran di Kiln 43


2.3.6 SLC-I : Separate Line Calciner With In-Line Calciner

Untuk meningkatkan kapasitas kiln type SLC maka ILC calciner dipasang
pada kiln string. SLC-I Kiln system dapat dilengkapi double atau tripple
string preheater dimana kapasitas kiln dapat mencapai 6.500 – 9.000
TPD.

Special Advantages
 Waktu tinggal material dan gas yang lama di calciner dimana
volume calciner yang besar.
 Cocok untuk segala jenis fuel, terutama low volatile,
sebagaimana pembakaran dalam kalsiner terjadi dengan udara
kaya oksigen panas dan temperature pembakaran di kalsiner
dapat dikontrol secara terpisah dari temperature material yang
terkalsinasi menuju kiln.

Teknologi Pembakaran di Kiln 44


Feature
 Range normal kapasitas : 6500 – 11000 tpd (2 string)
 7500 – 12000 (3 string)
 Ratio firing di calciner ILC : 10 – 15 %
 Ratio firing di calciner SLC : 40 – 50 %
 Bypass dari gas kiln : 0 – 30 %
 Derajad kalsinasi di kiln inlet : 90 – 95 %

Teknologi Pembakaran di Kiln 45


2.4 Sistem Cooler

Cooler adalah alat untuk mendinginkan klinker yang keluar dari kiln.

Tujuan pendinginan Klinker :


 Heat recovery dari kiln ke udara Sekunder dan Tertier.
 Menghindari terurainya C3S menjadi C2S.
 Menghindari terbentuknya periclase kristal yang dapat
menurunkan mutu semen.
 Melindungi alat transport dan pengolahan lebih lanjut.

Ada dua jenis / type cooler untuk proses kering yang digunakan PTSP
yaitu :
 Planetary/Satelite Cooler.
 Grate Cooler.

Teknologi Pembakaran di Kiln 46


2.4.1 Planetary Cooler
Planetary cooler merupakan cooler yang cukup simple, tidak ada
penanganan excess air, tidak tambahan fan, tidak ada instrumentasinya
sehingga dalam operasi tidak ada yang perlu dikontrol. Power
consumption cukup rendah hanya 1,0 – 1,5 kWh/ton klinker ditambahkan
ke kiln drive dan ID fan.

Prinsip pendinginan adalah cascade (penaburan) klinker terhadap aliran


udara pendingin. Hal yang sangat mempengaruhi pendinginan klinker
adalah bentuk dan jumlah dari lifter pada section berbeda temperature.

Pada prinsipnya, untuk zone yang panas, klinker yang halus


membutuhkan penaburan yang sedikit agar sirkulasi klinker ke arah kiln
kecil sementara klinker yang kasar membutuhkan penaburan yang
banyak. Untuk zone yang dingin, klinker harus diangkat lebih tinggi dan
akan meningkat hingga outlet.

Jumlah lifter yang berlebih akan mengakibatkan overfilling dari cooler,


adanya klinker yang kembali ke kiln pada posisi cooler di atas, dan
temperatur klinker keluar tinggi. Untuk itu, bentuk dan jumlah lifter di
berbagai zone temperatur perlu diperhatikan.

Efek pendinginan bergantung pada ukuran cooler, yang biasanya


dinyatakan dalam spesific load dan kecepatan udara :
P
 P   t  v
specific _ Load   1,5    2,5  dan 
 nD L   m d  n D2
4
Dimana :
P = Produksi klinker sehari, t/d atau sht/d
n = jumlah cooler
L = Panjang cooler, m
D = Diameter cooler, m

Teknologi Pembakaran di Kiln 47


Normal specific load adalah 3.65 t/m 2.5 dan kecepatan udara tidak
melebihi 70 t/m².

2.4.2 Grate Cooler


Untuk kiln kapasitas besar yang sudah tentu menggunakan calsiner yang
akan menggunakan grate cooler. Prinsip pendinginan adalah cross
currrent klinker terhadap aliran udara, dimana udara pendinginan akan
digunakan untuk udara pembakaran di kiln dan calsiner. Jumlah udara
yang dibutuhkan untuk pendinginan bergantung pada temperatur klinker
yang dihasilkan. Biasanya kebutuhan udara antara 2.3 – 3.3 kg udara/kg
klinker dengan desain fan sekitar 3.8 kg udara/kg klinker.

Spesific load grate cooler yang dinyatakan dalam t/d per m area grate,
yang menunjukkan kecendrungan grate dapat dibebani dengan klinker
bed yang lebih tebal, yaitu sekitar 30-40. untuk grate cooler desain lama
hanya sekitar 20.
Biasanya grate cooler dalam pengontrolan (automatic control) dibagi 3
grate dan grate 1 yang paling ketat pengontrolan karena merupakan
daerah jatuhan pertama klinker dari kiln, dan merupakan patokan
keberhasilan pendinginan grate berikutnya.

Grate cooler desain terbaru akan mengutamakan pada pemanfaatan


(rekuperasi) panas setinggi mungkin di grate 1 dengan pembagian
pengaturan flow udara (konstan flow) yang bergantung pada ukuran
klinker yang akan didinginkan (yang ditunjukkan oleh differential pressure)
karena klinker yang jatuh dari kiln tersegregasi akibat putaran kiln.

Keuntungan menggunakan Grate Cooler :


 Pemanfaatan panas untuk udara Sekunder.
 Udara panas dalam jumlah besar dan temp. tinggi dapat
digunakan untuk pembakaran Calciner.
 Temperatur Klinker lebih rendah.

Teknologi Pembakaran di Kiln 48


Kerugian penggunaan grate cooler :
 Investasi Tinggi
 Power consumption tinggi, 4 – 6 kWh/ton.
 Pengoperasian lebih rumit.

Conventional Grate Cooler


Sistem conventional grate cooler adalah di grate 1 (pendinginan menurut
baris grate), udara pendingin dialirkan ke satu chamber dan flow udara
dengan tekanan yang sama akan mendinginkan klinker segregasi. Untuk
klinker yang kasar (hilang pressure rendah) udara pendingin akan
mengalir dengan mudah karena rongga yang banyak sementara untuk
klinker halus udara pendingin akan melewati agak susah. Untuk
mencukupi pendinginan klinker halus biasanya udara pendinginan
dilebihkan. Hal ini akan menimbulkan heat transfer yang kurang bagus
antara klinker dan udara. Cooler/kiln dan kalsiner dusty, pembentukan red
river, dan high air consumption.

Modern Grate Cooler


Konsep dasar dari modern grate cooler adalah grate plate didesain
dengan oressure drop tinggi dan udara pendinginan dapat dikontrol
dengan membagi grate menjadi sektor yang lebih kecil sehingga
rekuperasi panas setinggi mungkin dan menghindari terjadi red river dan
snowman.

Ada dua sistem udara pendingin untuk grate cooler : CFG (controlled flow
grate) untuk comparment 1 dan RTF (reduced fall through) untuk grate 2
dan 3.

Controlled Flow Grate (CFG)


Udara pendingin disuplai langsung melalui duct dan hollow beam dan
distribusikan ke masing-masing grate.

Teknologi Pembakaran di Kiln 49


Untuk mensupply udara ke grate plate menggunakan channel system
yang dapat mengontrol pada sector area yang kecil, dimana 1 buah
Cooling fan mendinginkan 1 sector. Pada moveable grate chanel system
menggunakan system fleksible connection, yang menyalurkan udara dari
duct ke moveable grate row, sedangkan untuk fixed grate plate
menggunakan system fixed duct.
Untuk mencegah klinker halus jatuh ke chamber di grate 1 dilengkapi
dengan 2 buah sealing fan.
Pengontrolan supply udara ke masing – masing sektor dapat diatur
dengan membuka atau menutup dampar cooling fan, demikian juga di
dalam satu sektor untuk masing – masing row fixed grate atau moveable
grate plate dapat diatur dengan swivel damper.

Sistem RTF ( Grate 2 dan 3 )


Supply udara ke grate plate pada grate 2 dan 3 sama seperti sistem pada
grate cooler convensional, dimana udara pendingin dihembuskan ke
masing – masing chamber oleh 1 buah cooling fan.

Grate Plate
Grate plate di design dengan sistem high pressure drop, dimana masing –
masing grate plate mempunyai air slote yang terdiri dari 3 double row. Air
slot di design sedemikian rupa sehingga tidak ada klinker yang akan jatuh
ke dalam slot dari grate plate tersebut. Udara pendingin sekaligus
berfungsi sebagai pendingin grate plate secara merata.

Peningkatan performa modern grate cooler dibanding convensional grate


cooler:
 Dapat mengurangi konsumsi panas 30 – 40 kcal/kg klinker
 Mengurangi ukuran cooler sekitar 30%
 Memperbaiki operasi kiln dan cooler
 Mengurangi pembentukan red river dan snowman

Teknologi Pembakaran di Kiln 50


2.5 Teknologi Burner
Api yang terbentuk di dalam kiln misalnya, sangat tergantung salah
satunya pada tipe burner yang digunakan dan pencampuran antara bahan
bakar, udara primer dan udara sekunder karena dalam teori api dalam kiln
digolongkan pada diffusi. Diffusi nyala api artinya adalah bahwa antara
bahan bakar dan udara pembakaran, khususnya udara sekunder,
dimasukkan ke ruang bakar secara terpisah. Pencampuran antara bahan
bakar, udara primer dan udara sekunder dihasilkan oleh adanya energi
kinetik masing-masing saat memasuki ruang bakar. Namun di dalam
praktek hanya energi kinetik dari udara primer yang dapat diatur,
sedangkan lainnya mengikuti atau sangat sedikit variasi pengaturannya.
Energi kinetik biasanya dirumuskan berdasarkan momentum yaitu:

Momentum = Lp x V ( dalam %xm/s)

Dimana Lp adalah % udara primer dan V adalah kecepatan pada burner


nozle (m/s). Pengalaman FL Smidth mengatakan biasanya untuk
memperoleh api optimum diperlukan momentum sebesar 1400 (% x m/s).
Namun pada kenyataannya nilai momentum ini memiliki batasan praktis
karena jumlah udara primer terbatas mengingat agar selalu dicapai
pemanfaatan energi semaksimal mungkin. Kecepatan pada nozle
merupakan fungsi dari tekanan blower yang ada. Dengan demikian
pemilihan dan penyetelan burner bukanlah hal yang mudah.

Beberapa persyaratan burner antara lain:


1. Cocok dengan konsumsi udara primer yang diperlukan dengan
memakai bahan bakar yang diinginkan (tipe dan kualitas bahan
bakar).

Teknologi Pembakaran di Kiln 51


2. Kalau mungkin serendah mungkin konsumsi udara primer yang
diperlukan untuk menjaga optimumnya pemakaian bahan bakar
secara keseluruhan.
3. Mudah dan tersedia kemungkinan yang banyak untuk menyetel
agar diperoleh kemudahan mengontrol api.
4. Cocok dengan instalasi blower/fan serta instalasi lainnya yang ada.
5. Memungkinkan membakar bahan bakar kombinasi atau dapat
menampung variasi kualitas bahan bakar yang cukup lebar.
6. Memenuhi atau cocok dengan fasilitas start up yang dimiliki.

Namun demikian operasi pembakaran dengan burner yang telah dipilih


dengan persyaratan tersebut di atas masih sangat bergantung pada
kinerja cooler kita serta sirkulasi debu di sekitar burner.

Khusus untuk pembakaran di kiln burner yang dipilih hendaknya akan


menghasilkan api yang memenuhi beberapa kriteria di bawah ini:
1. Bata tahan api dalam kiln (kiln brick lining) tidak akan over heated
dan rusak sehingga umur yang optimum dapat dicapai.
2. Temperatur dan bentuk yang dihasilkan cocok dengan kebutuhan
proses klinkerisasi sehingga diperoleh kualitas klinker yang bagus.
Hal ini perlu kompromi karena temperatur yang tinggi berarti
burning zone akan lebih pendek dan temperatur api yang lebih
rendah akan memerlukan waktu yang lebih panjang untuk proses
klinkerisasi yang sempurna.
3. Pembakaran yang sempurna dapat diperoleh pada biaya operasi
yang terendah.

Dari hal-hal di atas tampak bahwa pemilihan burner dan penyetelan api
merupakan sesuatu yang tidak mudah mengingat banyaknya kriteria yang
harus dipenuhi. Berikut ini diberikan beberapa contoh tentang burner dan
karakteristik masing-masing sebagai gambaran.

Teknologi Pembakaran di Kiln 52


Burner untuk batubara
Karena hampir seluruh pabrik semen di Indonesia berbahan bakar utama
batubara dan tipe pabrik semennya juga bervariasi, maka tentu saja
banyak sekali tipe burner yang digunakan untuk mebakar batu bara ini
yang digunakan di Indonesia seperti Pillard, FLS (uniflow, swirlax, dan
centrax), UBE dan lain sebagainya.

Apapun jenis burnernya yang lebih penting adalah bentuk nyala yang
dihasilkan untuk batubara yang kita bakar karena bentuk nyala erat
kaitannya dengan kualitas operasi kiln. Pengontrolan pembentukan nyala
sangat kompleks karena disamping tergantung pada mekanisme bahan
bakar dan udara primer yang keluar dari mulut burner, juga dipengaruhi
oleh pencampurannya dengan udara sekunder dan kondisi di dalam kiln
itu sendiri.

Terdapat dua alternatif untuk mengatur semburan udara dan batubara


serbuk yang dapat diatur secara terpisah atau sendiri-sendiri, yaitu:

1. Komponen kecepatan aksial di bagian dalam dan komponen


kecepatan radial di bagian luar yang bertujuan untuk membentuk
dua daerah nyala sehingga diperoleh bentuk nyala yang disebut
cone flame.
2. Komponen kecepatan aksial di luar dan komponen kecepatan
radial di dalam yang bertujuan untuk membentuk nyala yang
disebut hollow cone flame atau api dengan bentuk tirus tetapi
ditengahnya berlubang.

Perbedaan dari kedua bentuk api tersebut akan lebih mudah apabila
diterangkan dengan gambar-gambar seperti diperlihatkan pada gambar 6
untuk cone flame dan gambar 7 untuk hollow cone flame.

Teknologi Pembakaran di Kiln 53


radi
al

axial

radi
al

Gambar 6. Bentuk api dengan sebutan cone flame.

axial

radi
al

axial

Gambar 7. Bentuk api hollow cone flame.

Teknologi Pembakaran di Kiln 54


Penjelasan kedua gambar tersebut adalah sebagai berikut:

Untuk cone flame:


Titik A :
Bagian luar, komponen radial dari gas menyebabkan nyala
terpancar dengan bentuk konis sehingga pada bagian tengah akan
terjadi tekanan yang lebih rendah dan diisi oleh komponen aliran
aksial gas yang menyembur pada bagian tengah.
Titik B :
Arus balik dari gas panas hasil proses pembakaran menyebabkan
hidrokarbon menjadi tinggi temperaturnya dan terurai.
Pembentukan jelaga hasil pencampuran yang tidak sempurna
dengan udara sekunder akan memperbaiki radiasi dari nyala.
Titik C :
Terjadinya perbedaan momentum yang tinggi pada daerah C ini
antara gas yang keluar dari mulut burner dan udara sekunder akan
mengakibatkan pencampuran dan pembakaran sangat cepat
sehingga terbentuknya jelaga sangat tipis di daerah ini.
Pemanasan, peruraian dan pembakaran dimulai segera dari
permukaan konis dan sedikit terlambat pada bagian tengah.

Untuk hollow cone flame:


Titik A :
Komponen kecepatan aliran radial menempati bagian dalam
sehingga menyebabkan terbentuknya daerah bertekanan rendah
yang luas pada bagian dalam nyala.
Titik B :
Daerah bertekanan rendah yang lebih luas di bagian dalam akan
menyebabkan aliran balik gas hasil pembakaran sehingga tempat
terjadinya temperatur maksimum lebih dekat ke kiln outlet. Pada

Teknologi Pembakaran di Kiln 55


waktu yang bersamaan terjadi pula penguraian hidrokarbon tanpa
adanya udara di bagian tengah sehingga terbentuk jelaga yang
lebih awal pada permukaan bagian dalam nyala, sehingga
emisivitas maksimum atau perpindahan panas maksimum terjadi
lebih mendekat ke arah kiln outlet.
Titik C :
Kejadiannya sama dengan cone flame, hanya pada hollow cone
flame persiapan pemanasan bahan bakar terjadi hampir
bersamaan antara bagian dalam dan bagian luar dari hollow cone.
Karena adanya peningkatan pembentukan jelaga maka nyala tipe
ini cnderung lebih pendek dengan kerapatan energi yang tinggi dan
lebih terang.

Berdasarkan sifat nyala dari kedua tipe nyala tersebut, apabila diterapkan
pada proses pembakaran di kiln, maka tipe hollow cone flame dirasa lebih
cocok karena dengan adanya sirkulasi internal dari gas panas
menunjukkan kestabilan nyala yang lebih baik.

Macam – macam Burner


 Conventional Burner
 High Efisiensi Burner
Contoh : Swirlax burner – FLS, Pilard Burner

Tujuan penggunaan High Efisiensi Burner :


 Terjadinya pembakaran sempurna
 Temperatur nyala setinggi mungkin
 Mampu membentuk coating yang baik
 Nyala pendek dan slim
 Menekan terjadinya gas beracun

Teknologi Pembakaran di Kiln 56


Gambar 8 : Swirlax Burner

Gambar 9: Tip Burner Pillard Burner

Teknologi Pembakaran di Kiln 57


Beberapa hal yang perlu diketahui mengenai Swirlax / Pillard Burner :
1. Burner yang dapat mengkombinasikan minyak dengan fine coal
dengan bentuk nyala hollow cone flame ( nozle aksial paling luar ).
Untuk swirlax burner aliran fine coal terletak diantara posisi nozle
radial dan aksial sedangkan untuk pillard burner aliran fine coal
terletak pada posisi yang paling dalam.
2. Burner digantung di Carriage dan dapat di adjust secara vertical
dan horizontal untuk memposisikan ujung burner.
3. Untuk menentukan bentuk nyala dilakukan dengan mengadjust
nozzle radial atau aksial dan posisi valve radial yang ditunjukkan
dengan ratio tekanannya.
4. Primary Air Fan biasanya didesaign untuk 10% primary air ( untuk
operational sekitar 7% ) dan tekanan total Pt = 150 – 160 mbar dan
kecepatan di Burner nozzle dalam range 140 – 140 m/sec
5. Dengan ratio udara pengangkut dari blower dengan range 3.5 – 8
kg coal fine coal / m3 didapat udara primer hanya 10%

Teknologi Pembakaran di Kiln 58


3. BAHAN BAKAR DAN TEKNOLOGI PEMBAKARAN

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pabrik semen merupakan


pabrik yang intensif dalam pemakaian energi panas dari bahan bakar.
Oleh sebab itu masalah bahan bakar dan teknologi pembakaran
merupakan hal yang sangat penting untuk dikuasai baik oleh engineers
proses maupun para operator kiln. Selain itu apabila pabrik semen dapat
memakai bahan bakar dengan konsumsi panas spesifik yang cukup
rendah, maka keuntungan biaya produksi dapat diperoleh dengan pasti
karena sekitar 30% biaya produksi berasal dari biaya bahan bakar ini.

Tujuan pembakaran bahan bakar baik di kiln maupun di kalsiner adalah


untuk mengubah panas latent yang dimiliki bahan bakar menjadi panas
hasil pembakaran yang langsung dapat digunakan untuk mengubah atau
mereaksikan material baku menjadi klinker. Selain itu proses pembakaran
tidak cukup hanya bertujuan menghasilkan sejumlah energi atau kalor
yang dapat segera dimanfaatkan oleh bahan baku, tetapi masih
diperlukan untuk menghasilkan temperatur gas hasil pembakaran yang
tinggi agar proses perubahan dari material baku menjadi klinker dapat
berjalan dengan baik serta menghasilkan klinker dengan kualitas baik. Di
kiln, temperatur gas di atas 1400 oC sangat diperlukan untuk proses
klinkerisasi.

Pada pasal-pasal berikut akan dibahas secara singkat mengenai


beberapa hal penting yang erat kaitannya dengan bahan bakar dan
proses pembakaran ini antara lain jenis bahan bakar dan sifat-sifatnya,
proses pembakaran dan api, jenis burner dan karakteristiknya,
perpindahan panas, kaitan parameter pembakaran dengan proses kimia
pembentukan klinker dan lain-lain.

Teknologi Pembakaran di Kiln 59


3.1 Jenis-jenis Bahan Bakar
Secara umum, berdasarkan wujudnya, bahan bakar dapat diklasifikasikan
menjadi 3 (tiga) jenis yaitu bahan bakar padat, cair dan gas. Contoh
bahan bakar padat adalah batu bara, arang, kayu, pet coke, dan lain-lain.
Untuk bahan bakar cair misalnya IDO, minyak solar, bensin, minyak
tanah, bahan bakar sintetik, dan lain-lainnya. Sedangkan yang ujudnya
gas antara lain LPG, gas alam, dan lainnya. Dalam diskusi selanjutnya
kita batasi lingkup bahasan yang kita kaji terutama untuk bahan bakar
yang banyak digunakan di pabrik semen di Indonesia .

3.1.1 Batu-bara
Batubara diklasifikasikan menjadi beberapa macam berdasarkan pada
sifat-sifat dan umur terbentuknya antara lain lignit, bituminous, anthracite,
dan lain-lain. Beberapa sifat yang membedakan antara beberapa jenis
batubara tersebut antara lain diperlihatkan pada tabel 1.

Tabel 1: Sifat-sifat beberapa jenis batubara


Parameter Satuan Jenis batubara
Lignite Bituminou Anthracite
s
Total moisture % 40 -50 5 - 10 0 -3
Volatile matter % 40 - 50 10 - 40 5
Hygr. water % 10 - 25 1-3 1
Ash (debu) % 5 - 25 10 - 20 5 - 10
Komposisi Kimia: C % 56 70 78
H % 4 3 2
S % 1 1 1
N+O % 19 3 2
Nilai Kalor: Gross Kkal/kg 5120 6625 7100
Net 4820 6310 6900
Combustion Air Kg/kg 7,1 9,2 9,9
3
Nm /kg 5,5 7,1 7,8
Combustion Gas (0% Oks) Nm3/kg 6 7,4 7,8

Teknologi Pembakaran di Kiln 60


Untuk memperoleh proses pembakaran yang baik dan api yang cocok
dengan proses pembentukan klinker di dalam kiln, kehalusan butir
batubara merupakan parameter yang penting. Pada umumnya untuk
batubara dengan kadar volatile rendah, semakin lembut ukuran butir
proses pembakaran akan berjalan lebih cepat.

Namun untuk batubara dengan kadar volatile tinggi, sebaiknya ukuran


butir dibuat lebih kasar untuk mengatur laju keluarnya gas dari padatan
sehingga tidak terlalu membahayakan proses pembakaran dan dapat
dikontrol dengan lebih baik. Jika keluarnya gas dari padatan terlalu cepat,
percampurannya dengan udara akan menyulitkan pengaturan proses
pembakaran seperti terjadi pada proses pembakaran bahan bakar gas.

Hubungan antara kehalusan butir serta kadar air yang disarankan dengan
kemudahan proses pembakaran diberikan pada gambar 1 dan gambar 2.

Gambar1. Kehalusan butir batubara yang direkomendasikan

Teknologi Pembakaran di Kiln 61


Gambar2. Kadar air butir batubara yang direkomendasikan

3.1.2 Bahan bakar minyak


Bahan bakar minyak masih banyak digunakan di pabrik semen di
Indonesia walaupun bukan merupakan bahan bakar utama. Pada
umumnya bahan bakar minyak digunakan saat heating up karena sifatnya
yang mudah dibakar dan kestabilan apinya walaupun proses pembakaran
berlangsung pada kondisi lingkungan yang masih dingin atau pada kondisi
dimana terdapat problem dengan batubara.

Banyak sekali jenis bahan bakar minyak ini, misalnya IDO, HFO, dan lain-
lain.

Contoh beberapa sifat yang dimiliki oleh bahan bakar minyak diberikan
pada tabel 2.

Teknologi Pembakaran di Kiln 62


Tabel 2: Sifat-sifat beberapa jenis bahan bakar minyak
Jenis minyak
Parameter Satuan
Gas oil LFO HFO
Komposisi Kimia: C % 86,3 86,2 86,1
H % 12,8 12,4 11,8
S % 0,9 1,4 2,1
Specific Gravity : 0oC Kg/liter 0,88 0,905 0,96
15oC 0,87 0,895 0,95
Panas Spesifik Kkal/kg/K 0,485 0,48 0,465
o
Temp. Api teoritis C 2160 2120 2120
o
Dew Point C 50 50 49
Nilai Kalor: Gross Kkal/kg 10875 10550 10375
Net 10200 9900 9750
Kg/kg 14,4 14,2 14,0
Combustion Air
Nm3/kg 11,1 11,0 10,8
Combustion Gas (0% Oks) Nm3/kg 11,8 11,68 11,51

Kadar belerang bahan bakar minyak tergantung pada asal sumber minyak
tersebut. Kadar belerang ini bisa mencapai sekitar 4,5%. Sifat specific
gravity penting untuk minyak ini karena terkorelasi dengan nilai kalor
bahan bakar. Pada umumnya semakin tinggi nilai specific gravity semakin
rendah nilai kalornya.

3.1.3 Bahan bakar alternatif


Yang dimaksud dengan bahan bakar alternatif di sini adalah bahan bakar
yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif di pabrik semen
untuk mengurangi konsumsi bahan bakar utama dalam rangka program
penghematan energi. Beberapa contoh bahan bakar alternatif ini antara
lain pet coke, karet, kayu, sekam padi dan kertas. Bahan bakar alternatif
ini banyak digunakan oleh pabrik semen di luar negeri, mengingat harga
bahan bakar utama seperti minyak, gas dan batubara barangkali mahal di
sana. Beberapa sifat bahan bakar alternatif ini diberikan pada tabel 4.
Tabel 4: Sifat-sifat beberapa jenis bahan bakar alternatif
Parameter Satuan Jenis bahan bakar alternatif
Pet Coke Karet Kayu Kertas

Teknologi Pembakaran di Kiln 63


Komposisi Kimia: C % 87,6 66,8 47,2 43,4
H % 3,8 5,7 6,5 5,8
S % 5,1 1,2 0 0,2
N % 1,5 0,4 0 0,3
O % 1,2 0,1 45,4 44,3
H2O % 0,6 0,8 0 0
Ash % 0,2 25,0 1,0 6,0
Nilai Kalor: Gross Kkal/kg 8440 7400 4700 4040
Net 8240 7090 4360 3730

3.2 Teori Proses Pembakaran Bahan Bakar


Jika suatu bahan bakar berdasarkan ultimate analysis mengandung
komposisi berat masing-masing A% Carbon, B% Hydrogen, C% Nitrogen,
D% Sulfur, E% Oxigen, maka bahan bakar tersebut dapat dituliskan
rumus kimianya berdasarkan perbandingan molar dari setiap elemennya
sebagai CxHyNzSpOq dimana x = A/12, y = B/1, z = C/14, p = D/32, q =
E/16. Dari elemen-elemen yang terkandung dalam bahan bakar tersebut,
hanya C, H dan S yang apabila terbakar akan menghasilkan panas.

Uraian reaksi pembakaran ketiga elemen tersebut adalah sebagai berikut:


C + O2  CO2 + 8133 kkal/kg
C + 0,5 O2  CO + 3450 kkal/kg
CO + 0,5 O2  CO2 + 5683 kkal/kg

H2 + 0,5 O2  H2O + 3450 kkal/kg

S + O2  SO2 + 2248 kkal/kg


SO2 + 0,5 O2  SO3 + 2200 kkal/kg

Oksigen yang dibutuhkan dalam proses pembakaran diambil dari udara,


baik udara primer (yang ikut bersama-sama dengan mengalirnya bahan

Teknologi Pembakaran di Kiln 64


bakar ke ruang bakar) dan udara sekunder (diambil dari udara
pendinginan klinker di cooler).

Kebutuhan oksigen minimal agar seluruh bahan bakar dapat bereaksi


secara sempurna dapat dievaluasi berdasarkan reaksi di atas. Karena dari
bahan bakar sendiri telah memiliki oksigen, dalam perhitungan biasanya
diasumsikan bahwa oksigen yang terkandung dalam bahan bakar ini
selalu bereaksi dengan unsur lain yang membutuhkannya, baru
kekurangannya diambil dari udara primer dan sekunder. Karena udara di
atmosfer mengandung 23% Oksigen dalam berat dan sekitar 77%
Nitrogen

Perhitungan kebutuhan udara minimal untuk proses pembakaran bahan


bakar secara sempurna yang diambil dari udara primer dan sekunder
dapat dihitung dari reaksi kimia berikut:
CxHyNzSpOq + () (O2 + 3,762 N2)  xCO2 + y/2 H2O + p SO2 + (3,762 
+ z/2) N2 (1)

dimana  = (x + y/4 + p – q/2) adalah mol udara yang dibutuhkan dan


komposisi gas hasil pembakarannya terdiri dari CO 2, H2O, SO2 dan N2.

Contoh perhitungan kebutuhan udara minimal untuk pembakaran adalah


sebagai berikut:
Misalkan suatu batubara berdasarkan ultimate analysis mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
Karbon C = 61,4%
Hidrogen H = 5,24%
Belerang S = 2,46%
Nitrogen N = 1,73%
Oksigen O = 19,09%
Abu/ash = 9,74%

Teknologi Pembakaran di Kiln 65


Moisture = 9,0 %
Volatile matter = 32,49%

Untuk setiap 100 kg batubara akan mengandung :


x = 61,4/12 = 5,1167
y = 5,24
p = 2,46/32 = 0,076875
z = 1,73/28 = 0,06178
q = 19,06/16 = 1,19125

Jadi rumus kimia umum dari batu bara tersebut adalah C 5,1167 H5,24 S0,07685
N0,06178 O1,19125. Sedangkan kebutuhan udara minimal untuk pembakaran
sempurna batubara tersebut setiap 100 kg nya adalah sebesar  = (x +
y/4 + p – q/2) kmol = (5,1167 + 5,24/4 + 0,076875 –1,19125/2) kmol =
5,90795 kmol atau 0,0590795 kmol udara/kg batubara atau sama dengan
[(0,0590795)x(32 + 3,762x28)] kg udara/kg batubara = 8,114 kg udara/kg
batubara.

Pada kenyataannya, karena mekanisme pembakaran membutuhkan


waktu dan kemungkinan bertemunya oksigen dengan bahan bakar juga
merupakan hal yang penting dalam proses pembakaran, maka kebutuhan
udara dalam pembakaran riil biasanya dilebihkan untuk menjamin
kesempurnaan reaksi pembakaran. Untuk itu diberikan kelebihan udara.

Namun perlu diingat bahwa pembakaran di kiln membutuhkan temperatur


yang cukup tinggi sehingga kelebihan udara dibatasi tidak terlalu besar
agar dicapai temperatur hasil pembakaran yang cukup tinggi.

3.3 Nyala Api dan Temperatur Api


Api merupakan campuran gas-gas hasil pembakaran yang panas atau
bertemperatur tinggi. Temperatur gas yang tinggi diperoleh dari kalor yang

Teknologi Pembakaran di Kiln 66


dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar. Kalor tersebut dipergunakan
untuk meningkatkan temperatur atau memanaskan gas-gas hasil
pembakaran sehingga temperaturnya menjadi tinggi.

Apabila dianggap tidak ada panas yang hilang kecuali hanya untuk
memanaskan produk pembakaran serta jumlah udara yang dibutuhkan
pas atau sama dengan kebutuhan udara stoikiometriknya, maka
temperatur akhir gas-gas hasil pembakaran merupakan temperatur
adiabatik atau temperatur teoritik. Secara teoritik temperatur adiabatik ini
dapat dihitung berdasarkan persamaan kekekalan energi.

Temperatur api tergantung pada panas spesifik bahan bakar, komposisi


bahan bakar serta temperatur udara yang dipergunakan untuk proses
pembakaran. Semakin tinggi temperatur udara yang dipergunakan untuk
pembakaran semakin tinggi pula temperatur teoritik api yang dihasilkan.

Namun demikian temperatur udara ini tidak dapat secara langsung


ditambahkan begitu saja bila kita ingin memperkirakan temperatur api
teoritik antara memakai udara bertemperatur dingin dengan udara
bertemperatur tinggi, karena pada temperatur yang lebih tinggi CO 2 dan
airakan berdisosiasi dengan derajad disosiasi yang lebih tinggi dan
selama proses disosiasi akan menyerap panas.

Oleh karena kompleksnya proses pembakaran, barangkali akan lebih


sederhana bila diterangkan urutan proses pembakaran bahan bakar
hingga diperoleh temperatur gas produk pembakaran yang tinggi.

Urutan proses pembakaran tersebut antara lain:

Teknologi Pembakaran di Kiln 67


a. Pemanasan bahan bakar di ruang bakar (misalnya burning zone di
kiln). Pemanasan ini terjadi karena temperatur bahan bakar dan
udara primer yang keluar dari burner tip lebih rendah dibanding
lingkungannya dimana dia disemprotkan. Jadi pemanasan ini
terjadi dengan mekanisme radiasi dan konveksi dari ruang bakar ke
bahan bakar.
Sumber panas untuk pemanasan bahan bakar berasal dari tiga
tempat yaitu dinding ruang bakar (secara radiasi), api yang sudah
terbentuk sebelumnya (secara radiasi), dan temperatur udara
sekunder. Perpindahan panas ini diteruskan dari permukaan bahan
bakar yang biasannya untuk batubara tertutup oleh abu menuju ke
bagian bahan bakar yang akan bereaksi secara konduksi.
Apabila ukuran butir bahan bakar semakin kecil, pada umumnya
proses perpindahan panas ini berlangsung semakin cepat.
Perpindahan panas atau pemanasan ini berlangsung terus hingga
temperatur bahan bakar mencapai temperatur nyalanya dimana
reaksi pembakaran mulai terjadi.

b. Reaksi kimia pembakaran. Setelah temperatur bahan bakar


mencapai temperaturnyalanya, unsur yang dapat terbakar akan
mulai terbakar karena bertemu dengan oksigen yang berada di
udara sekitar bahan bakar. Reaksi ini terjadi khususnya untuk C,
H2, dan S degan oksigen O2 dan membentuk CO2, CO, H2O, dan
SO2 sambil terbentuk kalor yang dipergunakan untuk meningkatkan
gas hasil pembakaran.

c. Proses selanjutnya adalah keluarnya gas produk pembakaran dari


tempat terjadinya reaksi menuju permukaan luar dan bercampur
dengan gas yang sudah ada diskitar bahan bakar. Proses difusi ini
berbeda antara satu jenis bahan bakar dengan bahan bakar yang

Teknologi Pembakaran di Kiln 68


lain dan kandungan abunya juga mempengaruhi karena biasanya
abu akan menutup permukaan bahan bakar.

d. Proses terakhir adalah adanya perubahan komposisi gas produk


pembakaran akibat adanya proses disosiasi dan mekanisme reaksi
lainnya yang sangat kompleks termasuk reaksi terbentuknya NO x.

No Jenis Bahan Bakar Temp Nyala Temp Api Teoritik


1 Batu Bara 450 - 600 2150
2 Minyak 300 - 550 2120
3 Gas 600 - 700 2050

Karena tingginya temperatur api erat kaitannya dengan panjang


gelombang sinar nyalanya, maka adanya distribusi temperatur api akan
mengakibatkan adanya pula bentuk api. Bentuk api ini perlu diperhatikan
dalam operasi kiln karena erat kaitannya dengan kualitas klinker yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh reaksi klinkerisasi yang sangat erat
kaitannya dengan temperatur sekitar dimana reaksi tersebut berlangsung.

Bentuk nyala api dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

a. Temperatur udara pembakaran yang erat kaitannya dengan


rekuperasi panas di cooler karena biasanya udara pembakaran
sekunder diambil dari cooler.
b. Jumlah kelebihan udara yang dipergunakan dalam proses
pembakaran. Jumlah udara berlebih yang terlalu sedikit akan
mengakibatkan bentuk nyala api panjang karena lamanya untuk
mencapai reaksi sempurna.
c. Laju pencampuran antara bahan bakar dan udara pembakaran.
Parameter ini juga mempengaruhi laju pembakaran itu sendiri.
Semakin baik proses pencampuran antara bahan bakar dan udara
semakin meningkat pula laju pembakarannya.

Teknologi Pembakaran di Kiln 69


d. Tipe burner yang dipergunakan.
e. Jenis dan kualitas bahan bakar yang akan dibakar.

Untuk memenuhi beberapa hal di atas agar bentuk nyala api di dalam kiln
baik , perlu kiranya dilakukan kontrol pembakaran antara lain:

a. Memilih batubara berkualitas baik misalnya kadar abu rendah,


kadar belerang rendah, volatile matter cukup (tidak terlalu tinggi
atau terlalu rendah), dan lain-lain.
b. Memperkaya udara primer sampai batas tertentu
c. Meningkatkan pencampuran
dengan cara memperbaiki turbulensi aliran dengan mengatur
burner tip.
d. Menjaga perbandingan antara bahan bakar dan udara yang ideal
dengan cara mengontrol kadar oksigen di inlet kiln.
e. Menaikkan temperatur udara primer dan sekunder.

Selain hal-hal di atas, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengaruh
batubara terhadap klinker dan coating yang antara lain terkait dengan
komposisi abu, suasana di burning zone, dan bentuk nyala.

Berikut akan diuraikan satu-persatu:


a. Pengaruh abu:
Abu bersifat asam yang cukup ekstrem jika dibandingkan dengan
klinker. Oleh karena itu abu harus dianalisis agar kita dapat
merancang komposisi rawmix yang sesuai untuk mengimbangi sifat
abu. Abu terlalu asam yang tidak diimbangi akan menyebabkan
fasa cair klinker memiliki kekentalan tinggi sehingga berpengaruh
negatip terhadap proses pembakaran sendiri.

b. Suasana burning zone:

Teknologi Pembakaran di Kiln 70


Sebaiknya diusahakan agar suasana di burning zone dalam kondisi
oksidasi, artinya pada keadaan normal kandungan oksigen di inlet
kiln berkisar 1 – 3 % dan CO sekitar 0,01%. Jika kandungan
oksigen terlalu rendah maka kadar CO akan meningkat karena
pembakaran menjadi kurang sempurna. Isamping itu akan
kehilangan panas karena nilai kalor berkurang sehingga beberapa
akibat dapat timbul seperti:
1. Temperatur nyala turun
2. Daerah transisi bergeser ke depan menuju burning
zone, sehingga memungkinkan raw meal masuk ke
daerah burning zone dan untuk beberapa saat
coating akan drop karena adanya perubahan panas.
Liter weight klinker turun dan kiln menjadi dusty,
akhirnya banyak debu yang kembali ke kiln dari
cooler sehingga menganggu kondisi burning zone.

c. Bentuk nyala:
Bentuk nyala erat kaitannya dengan temperatur api sehingga akan
berpengaruh terhadap perpindahan panas radiasi ke raw meal
yang akhirnya berpengaruh terhadap kualitas klinker.

Tolok ukur yang biasanya dipakai dalam operasi pembakaran yang baik
antara lain:

1. Konsumsi panas normal


2. Produksi klinker sesuai yang diharapkan
3. Distribusi temperatur shell kiln yang mencerminkan distribusi gas
dan material di dalamnya dalam kondisi optimum.

Teknologi Pembakaran di Kiln 71

Anda mungkin juga menyukai