Referat DHF Interna
Referat DHF Interna
PENDAHULUAN
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2007 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan
rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak (WHO, 2012)
Demam dengue adalah wabah infeksi virus paling cepat menyebar yang di sebarkan
oleh nyamuk Aedes dan menjadi perhatian dalam departemen kesehatan masyarakat pada lebih
dari 100 negara tropis dan subtropics di Timur Laut Asia, Pasifik Barat dan Selatan, serta
Amerika Tengah. Lebih dari 2.5 miliar masyarakat dunia terancam oleh demam dengue dan
bentuk yang lebih parah dengue hemorrhagic fever (DHF) atau dengue shock syndrome (DSS).
Lebih dari 75% dari pasien ini, atau sampai dengan 1.8 miliar, hidup di daerah Timur Laut
Asia. Ketika penyakit ini menyebar ke daerah geografik yang baru, frekuensi wabah meningkat
bersamaan dengan perubahan epidemiologinya. Diperkirakan 50 miliar kasus demam dengue
timbul pada saat-saat tertentu dan setengah miliar penderita DHF harus masuk rumah sakit tiap
tahunnya, dan jumlah yang sangat luar biasa ( mencapai 90%) merupakan pasien anak dengan
usia kurang dari 5 tahun. Kira-kira 2.5% yang terinfeksi dengue, meninggal karena penyakit
ini. (Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Hemorrhagic Fever, WHO 2011)
Pada awal abad ke 20, epidemic demam dengue biasa terjadi di Amerika, Eropa,
Australia, dan Asia. Namun kini demam dengue telah menjadi endemic di Asia Tropis, Africa
Tropis, Carribbean, Amerika Tengah dan Selatan. Menurut World Health Organization, jumlah
kasus demam dengue dan dengue hemorrhagic fever yang biasanya terjadi di seluruh dunia
berkisar antara 50-100miliar. Diperkirakan 2000 kematian karena kasus ini dikarenakan
komplikasinya. Wabah Demam Dengue ini pertama kali muncul di Pakistan dan tercatat pada
tahun 1994- 1995 di Karachi. Setelah itu, wabah yang berbeda tercatat terjadi di daerah lain di
Pakistan khususnya Karachi dan Lahore. Meski anak-anak adalah grup utama yang biasanya
terinfeksi oleh penyakit ini, namun data tentang penyakit ini yang menginfeksi anak-anak di
Asia Selatan sangat sedikit. (Dengue Fever Outbreak 2011: Clinical Profile of Children
Presenting at Madina teaching Hospital Faisalabad, WHO 2011)
Sejumlah 2.5 miliar masyarakat di seluruh dunia tinggal di negara dengan endemic
dengue dan beresiko menderita penyakit DF/DHF. 1.3 billion tinggal di 10 negara WHO di
daerah Timur Laut Asia yang memiliki daerah endemic dengue. Sampai tahun 2003, hanya 8
negara di daerah tersebut yang melaporkan kasus dengue. Pada tahun 2009, seluruh Negara
anggota WHO kecuali Republik Demokratis (DPR) Korea melaporkan wabah dengue. Timor-
Leste melaporkan wabah pertama kali muncul pada tahun 2004. Bhutan juga melaporkan
wabah pertama kali menyerang pada tahun 2004. Hampir sama, Nepal juga melaporkan kasus
dengue ini pada November 2004. Kasus dengue dan kematian yang dilaporkan tahun 1985
sampai 2009 di 10 negara WHO di daerah SEA (South East Asia) (semua kecuali DPR Korea)
mengurangi perhatian kesehatan masyarakat terhadap penyakit ini di daerah ini. Jumlah kasus
dengue telah meningkat lebih dari tiga sampai lima tahun terakhir ini, dengan epidemic yang
muncul kembali. Selain itu, terdapat peningkatan proporsi pada kasus dengue terkait dengan
tingkat keparahan, khususnya di Thailand, Indonesia, dan Myanmar. (Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, Revised
and Expanded edition, WHO,2011)
BAB II
DEFINISI
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan
Aedes Albopictus (Sumarno dkk, 2008 )
INSIDEN
Dengue sering terdapat di daerah tropis terutama di Asia Tenggara, Afrika dan bagian
selatan Amerika. Epidemik DHF yang terbesar terjadi di Kuba pada tahun 1981 dengan 24.000
kasus DHF dan 10.000 kasus DSS. Pada tahun 1986 dan 1987 angka kejadian Dengue
dilaporkan di Brasil. Pada tahun 1988 epidemik dengue 3 dilaporkan terjadi di Meksiko dan
pada tahun 1990 kira-kira seperempat dari 300.000 penduduk yang tinggal di Iquitos Peru
menderita Demam Dengue (CAREC, 2016)
Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus
pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak dilaporkannya kasus demam berdarah dengue
(DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh
propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan
kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% pada tahun
1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi < 3% pada tahun 1991. ( Soedarmo 2012).
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan
beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus
dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak
terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada
anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola
distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur
< 15 tahun (86-95 %). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus pada golonan usia dewasa
muda menngkat. Di indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara
garis besar jumlah kasus meningkat antara september sampai februari dengan mencapai
puncaknya pada bulan januari (Soedarmo, 2012).
Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam berdarah
dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air, manejemen sampah padat,
infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism, peningkatan aliran udara dan globalisasi, serta
mikroevolusi virus. Indonesia berada di wilayah endemis untuk demam dengue dan demam
berdarah dengue. Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan demam
dengue dan demam berdarah dengue di Indonesia menjadi masalah kesehatan mayor, tingginya
angka kematian anak, endemis yang sangat tinggi untuk keempat serotype, dan tersebar di
seluruh area (WHO, 2011).
MEKANISME
Mekanisme cara penularan yang terjadi dalam kasus DBD melalui 4 tahapan , yakni:
1. Masa Penularan Pada Manusia Orang yang terinfeksi DBD, yang masih dalam
periode 3-7 hari setelah demam, kemudian digigit oleh nyamuk Aedes betina, lalu
nyamuk itu menyebarkan virus DBD di dalam tubuhnya
2. Masa Inkubasi Pada Nyamuk Nyamuk menggigit tubuh manusia yang telah terinfeksi
virus dengue, kemudian virus tersebut terinkubasi di dalam tubuh nyamuk selama 7
hari.
3. Masa Penyebaran Penyakit Hanya dalam 7 hari nyamuk yang membawa virus
dengue, dapat menyebarkan penyakit DBD ke dalam tubuh manusia.
4. Masa Penularan Kepada Orang Baru Masa inkubasi pada pasien baru terjadi dalam
waktu 3-14 hari (rata-rata 4- 7 hari) Selama masa ini, belum menampakkan gejala
penyakit.
ETIOLOGI
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari
asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Sudoyo, 2006; Soedarmo, 2012)
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Infeksi dengan salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan
tetapi tidak ada perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat
jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Sudoyo, 2006;
Soedarmo, 2012).
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan. Nyamuk
Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah,
yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini
sepintas lalu tampak berlurik, berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari,
terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk
Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini berada di
sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang bersih, seperti pohon
pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada siang hari dan memiliki jarak
terbang 50 meter (Rampengan, 2008)
Cara penularannya infeksi virus dengue ini ada tiga factor yang memegang peranan,
yaitu manusia, virus, dan vector perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada
saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di
kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation priod) sebelum
dapat menularkan kembali kepada manusia saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk
betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transmission), namun peranannya dalam
penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation priod) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari
setelah demam timbul (Rejeki dan Adinegoro, 2004).
PATOFISIOLOGI
a. Volume
b. Trombositopenia
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memajang.
Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada
kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP). Penelitian lebih
lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping
itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak
sebanyak seperti fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya
kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi,
tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan
dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen. Seluruh
penelitian di atas menunjukan bahwa (Soedarmo, 2012) :
1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis
2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi juga DBD tanpa
syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan
plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok
akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC saling
mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan
hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.
3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi
trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan
mekanisme yang lebih komplek seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan,
dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang
tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik.
4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan
antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang (Soedarmo, 2012).
d. Sistem Komplemen
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1)
ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun
yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan maupun berat,
(3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit
(Soedarmo, 2012).
d. Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit
atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri
dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai
puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai
kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam
dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara
limfosit B dan limfosit T. (Soedarmo, 2012)
PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya demam berdarah hingga saat ini masih diperdebatkan. Dua teori
yang banyak dianut pada DHF dan DSS adalah Hipotesis immune enhancement dan hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary hetelogous dengue infection). Berdasarkan data yang ada,
terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme Imunopatologis berperan dalam terjadinya demam
berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue (Sudoyo, 2006)
c. Monosit dan makrofag berferan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody.
Aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a akibat aktivasi C3 dan C5 yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler
(Sudoyo dkk, 2006 ; Rejeki dan Adinegoro, 2004)
MANIFESTASI KLINIS
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu (Pudjiadi, 2010; WHO, 2011):
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak nyaman
di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Gejala
klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar limfa servikal dilaporkan
membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang
patognomonik (Soedarmo, 2012).
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra demam
dan demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan
limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eusinofil
menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis
neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode
memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi menjadi
normal kembali dalam waktu 1 minggu (Soedarmo, 2012).
Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000
cell/mm3) dapat membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan angka
prediksi 70 – 80 %. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan (WHO, 2011):
Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme
pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni
Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin meningkat.
Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan
dengan demam yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral.
Penggunaaan analgesik, antipiretik, antiemetik, dan antibiotik dapat
mengintervensi peningkatan hasil laboratorium fungsi hepar dan pembekuan
darah.
DEMAM BERDARAH DENGUE
Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD terdapat
perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan
darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila sering kali ditemukan
pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan
perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah
renjatan tidak dapat diatasi (Soedarmo, 2012).
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4
cm dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan dengan
keparahan penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan
setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil
kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar
dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan (Soedarmo, 2012)