Anda di halaman 1dari 12

A.

PENDAHULUAN

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2007 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan
rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak (WHO, 2012)

Demam dengue adalah wabah infeksi virus paling cepat menyebar yang di sebarkan
oleh nyamuk Aedes dan menjadi perhatian dalam departemen kesehatan masyarakat pada lebih
dari 100 negara tropis dan subtropics di Timur Laut Asia, Pasifik Barat dan Selatan, serta
Amerika Tengah. Lebih dari 2.5 miliar masyarakat dunia terancam oleh demam dengue dan
bentuk yang lebih parah dengue hemorrhagic fever (DHF) atau dengue shock syndrome (DSS).
Lebih dari 75% dari pasien ini, atau sampai dengan 1.8 miliar, hidup di daerah Timur Laut
Asia. Ketika penyakit ini menyebar ke daerah geografik yang baru, frekuensi wabah meningkat
bersamaan dengan perubahan epidemiologinya. Diperkirakan 50 miliar kasus demam dengue
timbul pada saat-saat tertentu dan setengah miliar penderita DHF harus masuk rumah sakit tiap
tahunnya, dan jumlah yang sangat luar biasa ( mencapai 90%) merupakan pasien anak dengan
usia kurang dari 5 tahun. Kira-kira 2.5% yang terinfeksi dengue, meninggal karena penyakit
ini. (Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Hemorrhagic Fever, WHO 2011)

Pada awal abad ke 20, epidemic demam dengue biasa terjadi di Amerika, Eropa,
Australia, dan Asia. Namun kini demam dengue telah menjadi endemic di Asia Tropis, Africa
Tropis, Carribbean, Amerika Tengah dan Selatan. Menurut World Health Organization, jumlah
kasus demam dengue dan dengue hemorrhagic fever yang biasanya terjadi di seluruh dunia
berkisar antara 50-100miliar. Diperkirakan 2000 kematian karena kasus ini dikarenakan
komplikasinya. Wabah Demam Dengue ini pertama kali muncul di Pakistan dan tercatat pada
tahun 1994- 1995 di Karachi. Setelah itu, wabah yang berbeda tercatat terjadi di daerah lain di
Pakistan khususnya Karachi dan Lahore. Meski anak-anak adalah grup utama yang biasanya
terinfeksi oleh penyakit ini, namun data tentang penyakit ini yang menginfeksi anak-anak di
Asia Selatan sangat sedikit. (Dengue Fever Outbreak 2011: Clinical Profile of Children
Presenting at Madina teaching Hospital Faisalabad, WHO 2011)
Sejumlah 2.5 miliar masyarakat di seluruh dunia tinggal di negara dengan endemic
dengue dan beresiko menderita penyakit DF/DHF. 1.3 billion tinggal di 10 negara WHO di
daerah Timur Laut Asia yang memiliki daerah endemic dengue. Sampai tahun 2003, hanya 8
negara di daerah tersebut yang melaporkan kasus dengue. Pada tahun 2009, seluruh Negara
anggota WHO kecuali Republik Demokratis (DPR) Korea melaporkan wabah dengue. Timor-
Leste melaporkan wabah pertama kali muncul pada tahun 2004. Bhutan juga melaporkan
wabah pertama kali menyerang pada tahun 2004. Hampir sama, Nepal juga melaporkan kasus
dengue ini pada November 2004. Kasus dengue dan kematian yang dilaporkan tahun 1985
sampai 2009 di 10 negara WHO di daerah SEA (South East Asia) (semua kecuali DPR Korea)
mengurangi perhatian kesehatan masyarakat terhadap penyakit ini di daerah ini. Jumlah kasus
dengue telah meningkat lebih dari tiga sampai lima tahun terakhir ini, dengan epidemic yang
muncul kembali. Selain itu, terdapat peningkatan proporsi pada kasus dengue terkait dengan
tingkat keparahan, khususnya di Thailand, Indonesia, dan Myanmar. (Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, Revised
and Expanded edition, WHO,2011)

BAB II

DEFINISI

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic


fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok. (Sudoyo, 2006).

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan
Aedes Albopictus (Sumarno dkk, 2008 )

INSIDEN

Dengue sering terdapat di daerah tropis terutama di Asia Tenggara, Afrika dan bagian
selatan Amerika. Epidemik DHF yang terbesar terjadi di Kuba pada tahun 1981 dengan 24.000
kasus DHF dan 10.000 kasus DSS. Pada tahun 1986 dan 1987 angka kejadian Dengue
dilaporkan di Brasil. Pada tahun 1988 epidemik dengue 3 dilaporkan terjadi di Meksiko dan
pada tahun 1990 kira-kira seperempat dari 300.000 penduduk yang tinggal di Iquitos Peru
menderita Demam Dengue (CAREC, 2016)

Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus
pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak dilaporkannya kasus demam berdarah dengue
(DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh
propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan
kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% pada tahun
1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi < 3% pada tahun 1991. ( Soedarmo 2012).

Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan
beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus
dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak
terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada
anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola
distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur
< 15 tahun (86-95 %). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus pada golonan usia dewasa
muda menngkat. Di indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara
garis besar jumlah kasus meningkat antara september sampai februari dengan mencapai
puncaknya pada bulan januari (Soedarmo, 2012).

Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam berdarah
dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air, manejemen sampah padat,
infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism, peningkatan aliran udara dan globalisasi, serta
mikroevolusi virus. Indonesia berada di wilayah endemis untuk demam dengue dan demam
berdarah dengue. Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan demam
dengue dan demam berdarah dengue di Indonesia menjadi masalah kesehatan mayor, tingginya
angka kematian anak, endemis yang sangat tinggi untuk keempat serotype, dan tersebar di
seluruh area (WHO, 2011).

MEKANISME

Mekanisme cara penularan yang terjadi dalam kasus DBD melalui 4 tahapan , yakni:
1. Masa Penularan Pada Manusia Orang yang terinfeksi DBD, yang masih dalam
periode 3-7 hari setelah demam, kemudian digigit oleh nyamuk Aedes betina, lalu
nyamuk itu menyebarkan virus DBD di dalam tubuhnya

2. Masa Inkubasi Pada Nyamuk Nyamuk menggigit tubuh manusia yang telah terinfeksi
virus dengue, kemudian virus tersebut terinkubasi di dalam tubuh nyamuk selama 7
hari.

3. Masa Penyebaran Penyakit Hanya dalam 7 hari nyamuk yang membawa virus
dengue, dapat menyebarkan penyakit DBD ke dalam tubuh manusia.

4. Masa Penularan Kepada Orang Baru Masa inkubasi pada pasien baru terjadi dalam
waktu 3-14 hari (rata-rata 4- 7 hari) Selama masa ini, belum menampakkan gejala
penyakit.

ETIOLOGI

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari
asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Sudoyo, 2006; Soedarmo, 2012)

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Infeksi dengan salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan
tetapi tidak ada perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat
jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Sudoyo, 2006;
Soedarmo, 2012).

Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan. Nyamuk
Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah,
yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini
sepintas lalu tampak berlurik, berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari,
terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk
Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini berada di
sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang bersih, seperti pohon
pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada siang hari dan memiliki jarak
terbang 50 meter (Rampengan, 2008)

Cara penularannya infeksi virus dengue ini ada tiga factor yang memegang peranan,
yaitu manusia, virus, dan vector perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada
saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di
kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation priod) sebelum
dapat menularkan kembali kepada manusia saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk
betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transmission), namun peranannya dalam
penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation priod) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari
setelah demam timbul (Rejeki dan Adinegoro, 2004).

PATOFISIOLOGI

a. Volume

Plasma Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan


membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis
hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine
labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa
syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan
menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit
pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke
daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti
yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang
tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada
otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema
(Soedarmo, 2012).
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan
memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan yang
mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan
drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang
bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan
fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang
bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut
memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau
luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau
dibuat keadaan trombositopenia (Soedarmo, 2012).

b. Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian


besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens
dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya
masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme
lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop
membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan
hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat
menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel
endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih
lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi
trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD (Soedarmo,
2012).

c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis

Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memajang.
Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada
kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP). Penelitian lebih
lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping
itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak
sebanyak seperti fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya
kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi,
tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan
dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen. Seluruh
penelitian di atas menunjukan bahwa (Soedarmo, 2012) :

1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis

2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi juga DBD tanpa
syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan
plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok
akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC saling
mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan
hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.

3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi
trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan
mekanisme yang lebih komplek seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan,
dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang
tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik.

4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan
antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang (Soedarmo, 2012).

d. Sistem Komplemen

Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3


proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat
hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini
menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur
klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radio isotop mendukung pendapat bahwa
penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan
oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan stimulasi sel mast untuk melepaskan
histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler,
pengurangan plasma dan syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus
pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh
trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen
juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor (TNF),
interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1) (Soedarmo, 2012).

Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1)
ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun
yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan maupun berat,
(3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit
(Soedarmo, 2012).

d. Respon Leukosit

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit
atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri
dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai
puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai
kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam
dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara
limfosit B dan limfosit T. (Soedarmo, 2012)

PATOGENESIS

Patogenesis terjadinya demam berdarah hingga saat ini masih diperdebatkan. Dua teori
yang banyak dianut pada DHF dan DSS adalah Hipotesis immune enhancement dan hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary hetelogous dengue infection). Berdasarkan data yang ada,
terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme Imunopatologis berperan dalam terjadinya demam
berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue (Sudoyo, 2006)

Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DHF adalah:

a. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses


netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi
antibody. Sel target virus ini adalah sel monosit terutama dan sel makrofag sebagai
tempat replikasi.
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan
limfokin. Sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5,IL-6,dan IL-10.

c. Monosit dan makrofag berferan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody.

Aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a akibat aktivasi C3 dan C5 yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler
(Sudoyo dkk, 2006 ; Rejeki dan Adinegoro, 2004)

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa


mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih
besar untuk menderita DHF berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus
lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari
membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (WHO, 2016 ; BHJ, 2016).

MANIFESTASI KLINIS

Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu (Pudjiadi, 2010; WHO, 2011):

1. Silent dengue atau Undifferentiated fever


Pada bayi, anak, dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali
mungkin akan berkembang gejala yang tidak bisa dibedakan dari infeksi virus lainnya.
Bercak maculopapular biasanya mengiringi demam. Biasanya juga muncul gejala
saluran pernafasan atas dan gejala gastrointestinal.
2. Demam dengue klasik
Demam dengue atau disebut juga dengan demam dengue klasik lebih sering
pada anak yang lebih tua, remaja, dan dewasa. Secara umum, 16 manifestasi berupa
demam akut, terkadang demam bifasik disertai dengan gejala nyeri kepala, mialgia,
atralgia, rash, leukopenia, dan trombositopenia. Adakalanya, secara tidak biasa muncul
perdarahan gastrointestinal, hipermenorea, dan epistaksis masif. Pada daerah yang
endemis, insidensi jarang muncul pada penduduk lokal
3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
Demam berdarah dengue lebih sering muncul pada anak usia kurang dari 15
tahun pada daerah yang hiperendemis. Hal ini dikaitkan dengan infeksi virus dengue
berulang. Demam berdarah dengue memiliki karakteristik onset akut demam yang
sangat tinggi, disertai dengan tanda dan gejala yang sama dengan demam dengue.
Gejala perdarahan yang muncul dapat berupa tes torniquet yang positif, ptekie,
perdarahan gastrointestinal yang masif. Saat akhir dari fase demam, ada tendensi untuk
berkembang menjadi keadaan syok hipovolemik oleh karena adanya plasma leakage.
Terdapat tanda bahaya, antara lain : muntah persisten, nyeri abdomen, letargi,
oligouria yang harus diketahui untuk mencegah syok. Kelainan hemostasis dan adanya
plasma leakage merupakan tanda utama dari demam berdarah dengue. Trombositopenia
dan peningkatan hematokrit harus segera ditemukan sebelum muncul adanya tanda
syok.
Demam berdarah dengue biasa terjadi pada anak dengan infeksi sekunder virus
dengue yang mana sudah pernah terinfeksi oleh virus dengue DEN-1 dan DEN-3.
4. Dengue Shock Syndrome (DSS)
Manifestasi yang tidak lazim melibatkan berbagai organ misalnya hepar, ginjal,
otak, dan jantung yang dikaitkan dengan infeksi dengue telah dilaporkan meningkat
pada berbagai kasus yang tidak memiliki bukti terjadinya plasma leakage. Manifestasi
tersebut dikaitkan dengan syok yang berkepanjangan.
 DEMAM DENGUE
Masa inkubasi antara 4 – 6 hari (berkisar 3 – 14 hari) disertai gejala
konstitusional dan nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise (WHO,2011). Awal
penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri pada
anggota badan dan ruam/rash (Soedarmo, 2012).
 Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam bersifat
bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari (WHO, 2011).
 Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada, tubuh
serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat
makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam
sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari
(Soedarmo, 2012).

Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak nyaman
di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Gejala
klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar limfa servikal dilaporkan
membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang
patognomonik (Soedarmo, 2012).

Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra demam
dan demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan
limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eusinofil
menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis
neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode
memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi menjadi
normal kembali dalam waktu 1 minggu (Soedarmo, 2012).

Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000
cell/mm3) dapat membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan angka
prediksi 70 – 80 %. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan (WHO, 2011):

 Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
 Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme
pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni
 Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin meningkat.
 Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan
dengan demam yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral.
 Penggunaaan analgesik, antipiretik, antiemetik, dan antibiotik dapat
mengintervensi peningkatan hasil laboratorium fungsi hepar dan pembekuan
darah.
 DEMAM BERDARAH DENGUE

Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD terdapat
perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan
darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila sering kali ditemukan
pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan
perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah
renjatan tidak dapat diatasi (Soedarmo, 2012).
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4
cm dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan dengan
keparahan penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan
setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil
kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar
dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan (Soedarmo, 2012)

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia


sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Fenomena patofisiologis utama yang
menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan
diatesis hemoragik (Soedarmo, 2012)

Anda mungkin juga menyukai